Potensi budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Gacilaria gigas dalam penyerapan karbon

POTENSI BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Kappaphycus alvarezii DAN Gracilaria gigas
DALAM PENYERAPAN KARBON

ERLANIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Budidaya
Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria gigas dalam Penyerapan
Karbon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Erlania
NIM C151110051

RINGKASAN
ERLANIA. Potensi Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan
Gracilaria gigas dalam Penyerapan Karbon. Dibimbing oleh KUKUH
NIRMALA dan DINAR TRI SOELISTYOWATI.
Pengikatan karbon oleh algae yang merupakan organisme fotoautotrofik,
berpotensi untuk mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer dan dapat membantu
mengurangi kecenderungan terjadinya pemanasan global. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis tingkat penyerapan karbon pada budidaya rumput laut
Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria gigas berdasarkan aktivitas fotosintesis
serta variabel-variabel yang mempengaruhinya, serta menganalisis potensi
penyerapan karbon oleh kawasan budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut
dilakukan dengan metode long-line di perairan Teluk Gerupuk, Lombok Tengah,
Nusa Tenggara Barat pada satu unit long-line dengan luas area budidaya 2.500
m2. Selama penelitian, dilakukan pengujian terhadap sampel rumput laut dan
sampel air laut dari lokasi budidaya yang diambil pada hari ke-0, 10, 20, 30 dan

45. Parameter uji yang diamati pada rumput laut yaitu laju pertumbuhan, laju
penyerapan karbon, produksi karbohidrat, kandungan pigmen fotosintesis,
produktivitas budidaya, dan indeks percabangan. Parameter kualitas air yang
diukur adalah suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH, total padatan terlarut, CO2
total, NO3-N, NO2-N, NH3-N, PO4-P, kecerahan dan kecepatan arus.
Laju penyerapan karbon total berdasarkan biomassa panen pada G. gigas
(20,67 ton C/ha/tahun) mencapai 335,79% lebih tinggi dibandingkan K.alvarezii
(90,09 ton C/ha/tahun). Selain itu, laju pertumbuhan dan produksi karbohidrat
pada G. gigas juga lebih tinggi, yang mengindikasikan laju fotosintesis yang lebih
tinggi, dan didukung oleh indeks percabangan yang juga lebih tinggi. Laju
penyerapan karbon oleh rumput laut memiliki korelasi positif tertinggi dengan
faktor internal rumput laut yaitu kandungan pigmen, dan faktor eksternal yaitu
kecerahan perairan. Potensi penyerapan karbon oleh kawasan budidaya rumput
laut di perairan Teluk Gerupuk mencapai 6.656,51 ton C/tahun untuk budidaya K.
alvarezii atau 0,36 ton C/ton biomassa panen; dan 29.008,53 ton C/tahun atau
0,58 ton C/ton biomassa panen untuk budidaya G. gigas. Besarnya potensi
penyerapan karbon oleh budidaya rumput laut, dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif dalam pengelolaan budidaya rumput laut yang berkelanjutan. Strategi
budidaya rumput laut disesuaikan berdasarkan segmen umur dengan laju
penyerapan karbon tertinggi, yaitu pada umur pemeliharaan 0 – 20 hari dengan

cara melakukan peremajaan, sehingga lebih efektif dalam penyerapan karbon dan
peningkatan produktivitas budidaya rumput laut.
Kata kunci: budidaya rumput laut, penyerapan karbon, Kappaphycus alvarezii,
Gracilaria gigas

SUMMARY
ERLANIA. Potency of Seaweeds Aquaculture Kappaphycus alvarezii and
Gracilaria gigas in Carbon Sequestration. Supervised by KUKUH NIRMALA
and DINAR TRI SOELISTYOWATI.
Carbon sequestration by algae as photoautotrophic organism is potential to
reduce CO2 released to the atmosphere, and support to reduce the inclination of
global warming. The aim of this study was to analyzed the level of carbon
sequestration by seaweed aquaculture of Kappaphycus alvarezii and Gracilaria
gigas based on photosynthesis activity included influential variabels, and also
analyzed potency of carbon sequestration by seaweed aquaculture area. Seaweed
cultivation was conducted at Gerupuk Bay, Central Lombok, West Nusa Tenggara
on long-line system with culture area of 2.500 m2. The seaweeds and sea water
parameters were analysed on days-0, 10, 20, 30 and 45. Seaweeds parameters was
observed included daily growth rate, carbon absorption rate, carbohydrate
production, photosynthesis pigment content, aquaculture productivity, and

branching index. Water quality parameters was analyzed included temperature,
salinity, dissolved oxygen, pH, total dissolved solid, total CO2, NO3-N, NO2-N,
NH3-N, PO4-P, transparency and current velocity.
Total rate of carbon sequestration based on biomass seaweeds harvesting at
the end of cultivation that showed G. gigas (20,67 ton C/ha/year) was almost
335,79% higher than K. alvarezii (90,09 ton C/ha/year), and also higher daily
growth rate, carbohydrates production, and photosynthesis rate that supported by
higher branching index. The rate of carbon absorption by seaweeds had the
highest positive correlation with pigment content as internal factor of seaweeds, as
well as water transparency as external factor. Potency of carbon sequestration by
seaweeds aquaculture area in Gerupuk Bay reached 6.656,51 tons C/year or 0,36
ton C/ton biomass for K. alvarezii; and 29.008,53 tons C/year or 0,58 ton C/ton
biomass for G. gigas cultivation. High potency of carbon sequestration of
seaweeds aquaculture could be an alternative of sustainable seaweed aquaculture
management. Strategy of seaweeds cultivation might applied based on the highest
carbon absorption rate on days 0 – 20 by getting rejuvenation, so that more
effective in carbon sequestration as well as increasing of seaweed aquaculture
productivity.
Keywords: seaweed aquaculture, carbon sequestration, Kappaphycus alvarezii,
Gracilaria gigas


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POTENSI BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Kappaphycus alvarezii DAN Gracilaria gigas
DALAM PENYERAPAN KARBON

ERLANIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Enang Harris, MS

Judul Tesis : Potensi Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan
Gacilaria gigas dalam Penyerapan Karbon
Nama
: Erlania
NIM
: C151110051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc
Ketua

Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Enang Harris, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 18 Maret 2013

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga karya
ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2012 ini ialah penyerapan karbon oleh
rumput laut, dengan judul Potensi Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
dan Gracilaria gigas dalam Penyerapan Karbon.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada:
1. Komisi pembimbing Bapak Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan Ibu Dr Ir Dinar Tri
Soelistyowati, DEA atas bimbingan, kebijaksanaan dan motivasi yang telah
diberikan kepada penulis
2. Bapak Prof Dr Ir Enang Harris, MS sebagai dosen penguji luar komisi dan
Bapak Dr Dedi Jusadi sebagai dosen penguji dari Program Studi Ilmu
Akuakultur atas saran dan masukan yang diberikan untuk tesis ini
3. Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa
Program Pascasarjana
4. Bapak Dr Ir I Nyoman Radiarta, MSc dan Bapak Dr Anang H. Kristanto atas
masukan, saran dan dukungan dalam pelaksaanaan penelitian
5. Bapak Ir. Ujang Komarudin A.K., MSc sebagai Kepala Balai dan Bapak
Rusman H., SPi MSi sebagai Koordinator Kegiatan Rumput Laut pada Balai

Budidaya Laut Lombok, serta Bapak Ir Buntaran, MSi beserta staf National
Seaweed Center Gerupuk, Lombok Tengah yang telah membantu selama
pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data.
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Drs Idrial Idris dan Ibunda Susiyanti, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya
7. Suamiku Kurniawan, SPi dan anakku tersayang Athaya Hazel Elwana atas
kesetiaan dan kesabaran selama penulis melaksanakan studi
8. Teman-teman AKU 2011 dan TEK 2012 atas bantuan dan dukungan yang
diberikan.
Tesis ini diharapkan memberikan informasi baru bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013
Erlania

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x


DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
3
3


2 TINJAUAN PUSTAKA
Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria gigas
Keragaan Budidaya Rumput Laut
Fotosintesis pada Rumput Laut
Karbondioksida (CO2) dan Perubahan Iklim
Blue carbon dan Peranan Ekosistem Laut dalam Penyerapan Karbon

4
4
5
6
10
11

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Materi Uji
Rancangan Penelitian
Prosedur Penelitian
Budidaya rumput laut
Teknik pengambilan sampel rumput laut
Pengukuran parameter kualitas air
Pengumpulan data sekunder
Parameter Uji
Analisis Data

13
13
13
14
14
14
15
16
16
17
19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pertumbuhan dan produktivitas budidaya rumput laut
Karbohidrat pada rumput laut
Penyerapan karbon oleh rumput laut
Kandungan pigmen pada rumput laut
Indeks percabangan
Rasio C:N:P rumput laut
Hubungan laju penyerapan karbon dengan lingkungan budidaya
rumput laut
Kondisi klimatologi lokasi penelitian
Pembahasan
Kondisi umum lokasi penelitian

20
20
20
21
22
24
25
25
26
29
31
31

Penyerapan karbon berdasarkan aktivitas fotosintesis pada
rumput laut K. alvarezii dan G. gigas
32
Hubungan parameter lingkungan perairan dengan tingkat
penyerapan karbon pada budidaya rumput laut
36
Potensi penyerapan karbon pada kawasan budidaya rumput laut di
38
perairan Teluk Gerupuk, Lombok
Strategi budidaya rumput laut berkelanjutan dalam konteks
40
mitigasi perubahan iklim
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

43
43
43

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

49

RIWAYAT HIDUP

66

DAFTAR TABEL
1 Metode analisa parameter uji rumput dan kualitas air
2 Parameter budidaya rumput laut K.alvarezii dan G. gigas yang diamati
pada akhir masa pemeliharaan
3 Laju penyerapan karbon dan jumlah serapan karbon total oleh rumput
laut K.alvarezii dan G. gigas pada akhir masa pemeliharaan
4 Indeks percabangan rumput laut yang diamati pada akhir masa
pemeliharaan
5 Rasio C:N:P, C:N, C:P dan N:P pada rumput laut K. alvarezii dan G.
gigas pada setiap umur pemeliharaan

16
21
24
25
25

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur molekul pigmen fotosintesis klorofil-a dan fikoeritrin
(fikoeritrobilin)
2 Lokasi penelitian di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah, Provinsi Nusa
Tenggara Barat
3 Sistem budidaya rumput laut dengan metode long-line, (a) tampak atas,
(b) tampak samping
4 Pertambahan biomassa dan laju pertumbuhan harian K. alvarezii dan
G.gigas pada setiap umur pemeliharaan
5 Kandungan karbohidrat dan produksi karbohidrat per m2 area budidaya
rumput laut K. alvarezii dan G. gigas pada setiap umur pemeliharaan
6 Laju penyerapan karbon pada rumput laut K. alvarezii dan G. gigas pada
setiap segmen umur pemeliharaan

9
13
15
20
21
22

7 Jumlah serapan karbon oleh rumput laut K. alvarezii dan G. gigas
berdasarkan biomassa produksi budidaya pada setiap segmen umur
pemeliharaan
8 Kandungan pigmen klorofil-a dan fikoeritrin rumput laut K. alvarezii
dan G. gigas pada setiap umur pemeliharaan
9 Dendogram hubungan inter-variabel penyerapan karbon oleh rumput
laut dengan variabel yang mempengaruhinya
10 Scree plot hasil analisis komponen utama dari variabel-variabel laju
penyerapan karbon oleh rumput laut
11 Loading plot dari dua komponen utama pertama yang menjelaskan
73.81% keragaman total dari seluruh variabel yang diamati
12 Nilai korelasi antara laju penyerapan karbon oleh rumput laut dengan
variabel-variabel yang mempengaruhinya
13 Kondisi klimatologi (suhu udara, kecepatan angin dan curah hujan)
lokasi penelitian pada tahun 2012. Garis merah merupakan kisaran
waktu pelaksanaan penelitian
14 Laju penyerapan karbon oleh berbagai komoditas pada ekosistem alami

23
24
26
27
28
29

30
41

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pertambahan bobot per titik tanam dan laju pertumbuhan harian rumput
laut pada setiap waktu pengamatan
2 Persentase kandungan karbohidrat dan produksi karbohidrat per m2 area
budidaya rumput laut
3 Persentase kandungan karbon dan laju penyerapan karbon oleh rumput
laut K. alvarezii dan G. gigas
4 Nilai absorbansi pada analisa kandungan pigmen klorofil-a dan
fikoeritrin rumput laut K. alvarezii dan G. gigas
5 Kandungan total nitrogen dan total fosfat rumput laut K. alvarezii dan
G. gigas
6 Kisaran nilai parameter kualitas perairan selama pelaksanaan penelitian
7 Analisis ragam pertambahan bobot rumput laut berdasarkan perbedaan
spesies
8 Analisis ragam pertambahan bobot rumput laut berdasarkan perbedaan
umur pemeliharaan
9 Analisis ragam laju pertumbuhan harian rumput laut berdasarkan
perbedaan spesies
10 Analisis ragam laju pertumbuhan harian rumput laut berdasarkan
perbedaan umur pemeliharaan
11 Analisis ragam produksi karbohidrat rumput laut berdasarkan
perbedaan spesies
12 Analisis ragam produksi karbohidrat rumput laut berdasarkan
perbedaan umur pemeliharaan
13 Analisis ragam kandungan karbohidrat rumput laut berdasarkan
perbedaan spesies
14 Analisis ragam kandungan karbohidrat rumput laut berdasarkan
perbedaan umur pemeliharaan

49
50
51
53
54
54
55
55
56
56
57
57
58
58

15 Analisis ragam laju penyerapan karbon oleh rumput laut berdasarkan
perbedaan spesies
16 Analisis ragam laju penyerapan karbon oleh rumput laut berdasarkan
perbedaan umur pemeliharaan
17 Analisis ragam jumlah serapan karbon berdasarkan perbedaan spesies
18 Analisis ragam jumlah serapan karbon berdasarkan perbedaan umur
pemeliharaan
19 Analisis ragam kandungan pigmen pada rumput laut berdasarkan
perbedaan spesies
20 Analisis ragam kandungan pigmen pada rumput laut berdasarkan
perbedaan umur pemeliharaan
21 Analisis cluster laju penyerapan karbon oleh rumput laut dan variabelvariabel yang mempengaruhinya
22 Analisis komponen utama laju penyerapan karbon oleh rumput laut dan
variabel-variabel yang mempengaruhinya

59
59
60
60
61
61
62
64

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca (green house
gas/GHG) terpenting yang dihasilkan dari aktivitas manusia, yaitu 77% dari total
emisi GHG antropogenik pada tahun 2004. Laju peningkatan tahunan dari
konsentrasi CO2 di atmosfir secara global semakin besar dalam kurun waktu 10
tahun terakhir (1995 – 2005) yaitu rata-rata 1,9 ppm/tahun (IPCC 2007).
Terjadinya peningkatan emisi gas CO2 dan GHG lainnya ke atmosfir secara terusmenerus telah berkontribusi pada terjadinya perubahan iklim (Nellemann et al.
2009).
IPCC (2007) mendefinisikan perubahan iklim (climate change) sebagai
suatu perubahan kondisi iklim yang dapat teridentifikasi, melalui perubahan ratarata atau perubahan sifatnya dalam jangka waktu yang panjang, misalnya satu
dekade atau lebih. Faktor yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim dapat
berupa faktor alamiah maupun aktivitas manusia (antropogenik) yang
menyebabkan peningkatan emisi GHG ke atmosfir yang berdampak pada
terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi. Faktor alamiah diantaranya yaitu
kebakaran hutan dan aktivitas gunung berapi, sedangkan aktivitas manusia yang
utama berupa kegiatan transportasi dan industri. Sub sektor akuakultur saat ini
juga diposisikan sebagai salah satu aktivitas manusia yang ikut menyumbang
emisi GHG CO2 antropogenik ke atmosfir, walaupun besarannya belum diketahui
secara kuantitatif. Sementara itu, rumput laut sebagai salah satu komoditas
akuakultur berpotensi untuk menyerap karbon, yang dimanfaatkan dalam proses
fotosintesis untuk pertumbuhan dan produksi biomassanya. Hal ini dibuktikan
oleh hasil penelitian Muraoka (2004) yang menunjukkan bahwa berbagai spesies
rumput laut yang hidup secara alami pada perairan pantai di Jepang mampu
menyerap karbon sebesar 2.669 ton C/tahun dengan luas area 2.012 km2, dengan
rata-rata laju penyerapan sebesar 13,27 ton C/ha/tahun, yang setara dengan 48,66
ton CO2/ha/tahun.
Berbagai upaya mitigasi terhadap perubahan iklim telah dilakukan oleh
berbagai sektor, termasuk sektor Kelautan dan Perikanan. Salah satu langkah yang
telah diambil oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait upaya mitigasi
tersebut adalah penanaman vegetasi pantai yang dapat mengurangi konsentrasi
CO2 di atmosfer (Aldrian et al. 2011). Sejauh ini upaya mitigasi yang umumnya
dilakukan lebih cenderung berbasis ekosistem (ecosystem based).
Pelaksanaan program industrialisasi kelautan dan perikanan, dengan 6
komoditas unggulan yang menjadi prioritas produksi untuk tahun 2012 yaitu
udang, tuna, rumput laut, bandeng, lele dan patin; dengan target produksi
khususnya perikanan budidaya sebesar 9,4 juta ton, yakni 38% lebih tinggi dari
total capaian produksi tahun 2011 yaitu 6,8 juta ton (KKP 2012). Pada tahun
2012, rumput laut masih menjadi komoditas andalan untuk memenuhi target
produksi perikanan budidaya dimana pada tahun 2011 produksi rumput laut telah
menyumbangkan 60% dari total produksi perikanan nasional. Jenis rumput laut
yang menjadi komoditas unggulan untuk pencapaian target produksi tersebut

2
terutama adalah Kappaphycus alvarezii yang merupakan jenis utama dari
komoditas ekspor rumput laut Indonesia sebagai penghasil karaginan.
Pengikatan karbon oleh algae yang merupakan organisme fotoautotrofik
berpotensi untuk mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer dan dapat membantu
mengurangi kecenderungan terjadinya pemanasan global (Kaladharan 2009).
Rumput laut atau makroalgae termasuk salah satu vegetasi pantai yang merupakan
penyerap karbon (carbon sink) yang sangat baik jika dibandingkan dengan
tumbuhan terestrial. Untuk pertumbuhan dan perkembangannya, rumput laut
melakukan proses fotosintesis dengan memanfaatkan CO2 dan energi cahaya yang
dikonversi menjadi karbohidrat. Meskipun faktor-faktor yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan rumput laut tergolong sederhana (nutrien, trace mineral, air CO2 dan
cahaya matahari) dan relatif sama dengan tumbuhan terestrial, namun kelompok
algae ini dapat memanfaatkannya dengan sangat efisien sehingga menghasilkan
produktivitas yang tinggi (Packer 2009). Menurut Dawes (1981) terdapat empat
faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap laju fotosintesis pada rumput laut
yaitu intensitas cahaya, temperatur, salinitas dan kondisi kekeringan akibat
mekanisme pasang-surut. Selain itu, produktivitas algae juga dipengaruhi oleh
kompleksitas morfologi; algae dengan morfologi yang kompleks memiliki
produktivitas yang lebih rendah dibandingkan yang berbentuk lembaran.
Hasil penelitian Kaladharan (2009) memperlihatkan bahwa Gracilaria
corticata (alga merah) dan Sargassum polycystum (alga coklat) mampu
memanfaatkan 100% CO2 terlarut untuk fotosintesis dengan peningkatan
konsentrasi CO2 5 mg/L lebih tinggi dibandingkan kondisi di lingkungan asalnya.
Sedangkan Ulva lactuca (alga hijau) memanfaatkan 100% CO2 terlarut hingga
konsentrasi 15 mg/L melebihi kondisi lingkungan asalnya. Selain itu, hasil uji
terhadap beberapa spesies mikroalgae memperlihatkan kemampuan
memanfaatkan CO2 terlarut hanya pada perlakuan konsentrasi 15 mg/L, yaitu
sebesar 27,7%; sedangkan pada konsentrasi lebih tinggi atau lebih rendah tidak
menunjukkan adanya pengaruh terhadap fiksasi carbon.
Aktivitas marikultur pada skala besar, khususnya untuk spesies rumput laut
ekonomis penting, secara global dapat menurunkan konsentrasi CO2 di atmosfir
dan juga menghasilkan biomassa untuk bahan baku industri fikokoloid dari
rumput laut (Kaladharan 2009). Oleh karena itu, budidaya rumput laut sangat baik
dikembangkan untuk tujuan produksi dan sebagai agen penyerap karbon. Dengan
demikian, sektor kelautan dan perikanan juga dapat memberikan kontribusi positif
dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui kegiatan budidaya (culture based).
Untuk mengetahui potensi rumput laut dalam menyerap karbon dan peranan
kegiatan budidaya rumput laut dalam penurunan GHG CO2, maka perlu dilakukan
penelitian terhadap tingkat pemanfaatan CO2 melalui proses fotosintesis pada
aktivitas budidaya rumput laut. Jenis rumput laut yang digunakan pada penelitian
ini adalah Kappaphycus alvarezii yang menjadi komoditas unggulan budidaya di
laut sebagai penghasil karaginan (karaginofit) dan Gracilaria gigas yang
merupakan salah satu spesies rumput laut yang umumnya dibudidayakan di
tambak sebagai penghasil agar (agarofit).

3
Perumusan Masalah
Rumput laut merupakan tumbuhan fotoautotrofik yang melakukan aktivitas
fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik. Proses
fotosintesis memanfaatkan karbondioksida dan air, dengan bantuan energi dari
cahaya matahari serta molekul klorofil, untuk menghasilkan senyawa karbohidrat
dan oksigen. Besarnya jumlah karbondioksida yang diserap dalam proses
fotosintesis mengindikasikan tingginya aktivitas atau laju fotosintesis. Parameter
yang dapat mengindikasikan laju fotosintesis antara lain adalah kandungan
pigmen fotosintesis, pertambahan biomassa, dan kandungan karbohidrat yang
dihasilkan sebagai produk akhir dari proses fotosintesis. Namun demikian, laju
fotosintesis juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun
faktor internal dari rumput laut sendiri.
Kemampuan rumput laut dalam menyerap karbondioksida melalui proses
fotosinntesis dapat menjadi manfaat tambahan dari kegiatan budidaya rumput laut
yang utamanya berorientasi pada keuntungan (profit oriented). Terjadinya
peningkatan konsentrasi karbondioksida pada lingkungan, seyogyanya
menyebabkan peningkatan aktivitas fotosintesis, sehingga meningkatnya laju
pertumbuhan dan produksi dari budidaya rumput laut. Semakin besar produksi
budidaya rumput laut, berarti semakin besar pula jumlah karbon yang diserap dan
disimpan (sequestered) dalam biomassa panen rumput laut, sehingga secara tidak
langsung budidaya rumput laut berperan dalam penyerapan karbon terkait mitigasi
terhadap perubahan iklim.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis tingkat penyerapan karbon oleh rumput melalui aktivitas
fotosintesis berdasarkan pigmen dan produk fotosintesis yang dihasilkan
2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor lingkungan yang mempengaruhi
tingkat penyerapan karbon pada budidaya rumput laut
3. Menganalisis tingkat penyerapan karbon pada kawasan budidaya rumput laut

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan informasi potensi rumput laut
sebagai penyerap karbon serta prospek pengembangan budidaya rumput laut yang
berkelanjutan sebagai upaya pengendalian GHG CO2, dan secara tidak langsung
berperan dalam proses mitigasi perubahan iklim.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria gigas
Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria gigas termasuk dalam kelompok
algae merah (Rhodophyta), yang memiliki pigmen asesori utama fikoeritrin yang
memberikan warna merah, bahkan seringkali menutupi klorofil-a secara
menyeluruh (Bold & Wynne 1985). Pemanfaatan utama dari kelompok alga
merah ini adalah sebagai makanan dan sumber dari dua senyawa hidrokoloid,
yaitu agar dan karaginan.
K. alvarezii hidup pada habitat pasang surut, rataan terumbu karang dan
menempel pada substrat yang keras. Talus lunak seperti tulang rawan, warna
merah-coklat, berbentuk silindris, percabangan tidak teratur, dikhotomous,
mempunyai duri yang pendek (Soekendarsi et al. 2004). Sebelum berganti nama
menjadi K. alvarezii, secara taksonomi jenis alga ini lebih dikenal dengan nama
spesies Eucheuma cottonii. Klasifikasi taksonomi dari spesies ini adalah sebagai
berikut (Dawes 1981, Bold & Wynne 1985, Lüning 1990, Soekendarsi et al.
2004):
Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Subkelas : Florideophycidae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Solieriaceae
Genus
: Kappaphycus
Spesies : Kappaphycus alvarezii (Doty)
Budidaya rumput laut jenis Kappaphycus pertama kali diperkenalkan di
Filipina sekitar tahun 1970-an, yang pada saat itu memberikan manfaat besar
berupa peningkatan suplai bahan baku bagi industri karaginan. Keuntungan lebih
lanjut menunjukkan bahwa salah satu spesies dari genus ini mengandung tipe
karaginan tertentu, yaitu kappa-karginan yang kandungannya bersifat hampir
eksklusif pada jenis rumput laut tersebut (McHugh 2003). K. alvarezii bernilai
ekonomis karena kandungan karaginannya yang tinggi (Bold & Wynne 1985)
yang banyak digunakan pada industri kosmetik, makanan dan obat-obatan.
Spesies ini merupakan salah satu jenis rumput laut yang saat ini banyak
dibudidayakan di perairan Indonesia.
Gracilaria hidup pada substrat kulit kerang, pecahan koral dan batu karang
pada perairan dengan dasar berpasir di bawah area pasang surut (Terada & Ohno
2000, Hirotoshi 1978). Genus Gracilaria pada umumnya memiliki struktur
percabangan talus dengan satu poros (uniaxial), dan biasanya talus memiliki
cabang yang sangat banyak (Bold & Wynne 1985). Namun Terada & Ohno
(2000) menyebutkan bahwa G. gigas memiliki struktur percabangan talus yang
bersifat multiaxial. Talusnya bersifat kaku, diameter 0,5 – 1,0 mm, berwarna
merah gelap hingga kecoklatan (FAO/NACA 1996). Menurut Dawes (1981), Bold
& Wynne (1985), Lüning (1990) dan Terada & Ohno (2000), secara taksonomi
Gracilaria gigas diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae

5
Subkelas : Florideophycidae
: Gigartinales
Ordo
Famili
: Gracilariaceae
Genus
: Gracilaria
Spesies : Gracilaria gigas (Harvey)
Gracilaria gigas termasuk salah satu spesies yang yang umumnya
dibudidayakan di tambak karena kandungan agarnya, sehingga spesies ini
digolongkan pada kelompok agarofit. Pada awalnya perkembangan industri agar,
Gracilaria hanya dikumpulkan dari alam dengan tujuan untuk menutupi
keterbatasan suplai dari jenis rumput yang dinggap sebagai penghasil utama agar,
yaitu Gelidium. Namun karena kebutuhan akan spesies ini semakin meningkat,
maka di Chili dikembangkan teknik budidayanya baik di tambak maupun di
perairan laut khususnya pada lokasi teluk tertutup. Teknik budidaya tersebut yang
kemudian menyebar ke berbagai negara seperti Cina, Korea, Indonesia, Namibia,
Filipina dan Vietnam yang diaplikasikan untuk spesies asli Gracilaria dari
masing-masing negara tersebut (McHugh 2003). Berbagai studi telah dilakukan
terhadap Gracilaria terkait budidaya dan produksi agar yang dihasilkan; namun
aspek yang paling menarik dari Gracilaria adalah laju pertumbuhan yang tinggi,
toleransi yang luas terhadap lingkungan, kemamuan dalam menyerap nutrien N
dan P yang tinggi, serta keanekaragaman spesiesnya yang tersebar di perairan
seluruh dunia mulai dari perairan tropis hingga sub tropis (Yu & Yang 2008,
Dawes et al. 1999).

Keragaan Budidaya Rumput Laut
Rumput laut merupakan salah satu vegetasi perairan pantai yang dapat
berperan sebagai penyerap karbon yang sangat baik. Budidaya rumput laut sangat
potensial untuk dikembangkan, karena terdapat beberapa kelebihan dibandingkan
dengan budidaya komoditas perikanan lainnya. Teknologi yang digunakan dalam
budidaya rumput tergolong sederhana, tidak membutuhkan biaya produksi yang
tinggi (seperti biaya pakan pada budidaya ikan), waktu pemeliharaan yang relatif
singkat serta kegiatan budidayanya bersifat ramah lingkungan.
Budidaya rumput laut komersial di Indonesia berawal pada tahun 1979 yang
dilakukan dalam skala kecil (Anggadiredja 1989). Jenis-jenis rumput laut yang
terdapat di perairan Indonesia sangat beragam. Namun jenis yang sudah
dibudidayakan masih sangat terbatas, diantaranya adalah K. alvarezii, Gracilaria
eucheumoides, G. Spinosum, G. Coronopifolia, G. Poliifera dan Hypnea
boergeseneii (Soekendarsi et al. 2004). Teknologi budidaya rumput laut yang
berkembang di masyarakat saat ini umumnya masih bersifat tradisional. Bibit
yang digunakan masih berasal dari indukan yang sama dan tidak dilakukan seleksi
bibit, pola tanam dan siklus produksi kurang menjadi perhatian, sehingga kualitas
rumput laut yang dihasilkan semakin menurun. Metode budidaya yang umumnya
diaplikasikan oleh pembudidaya antara lain metode long-line, lepas dasar, rakit
apung serta budidaya di tambak. Saat ini, permasalahan yang umumnya dihadapi
dalam budidaya rumput laut jenis K. alvarezii antara lain sulitnya memperoleh
bibit yang berkualitas, kondisi cuaca yang berubah-ubah dan tidak dapat

6
diprediksi, kurangnya kandungan nutrien di perairan, serta serangan hama,
penyakit ice-ice dan ikan-ikan pemakan rumput laut (Neis 2003).
Merebaknya penyakit udang pada awal tahun 1980 di Sulawesi Selatan
menyebabkan banyaknya lahan tambak yang tidak operasional. Hal ini merupakan
awal dimulainya budidaya Gracilaria di lahan tambak yang dilakukan pada skala
komersil di Indonesia (Hussain 1989). Hingga saat ini usaha budidaya Gracilaria
lebih banyak dilakukan di lahan tambak; selain memudahkan pengontrolan juga
untuk dibudidayakan secara terpadu dengan udang (polikultur). Penerapan
aktivitas budidaya Gracilaria di tambak udang juga diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan lahan untuk memanfaatkan relung (niche)
yang tersedia di tambak (Widyorini 2010).
Produksi rumput laut Indonesia hingga saat ini masih terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 1999 volume produksi rumput laut sebesar 133.720 ton,
dan terus meningkat hingga mencapai 1.485.654 ton pada tahun 2007 (MMAFJICA 2009). Pengembangan program industrialisasi kelautan dan perikanan,
khususnya untuk komoditas rumput laut saat ini didukung oleh ketersediaan
potensi wilayah yang cukup besar yang tersebar pada 15 provinsi di seluruh
Indonesia, dengan total luas area mencapai 1.381.332 hektar (MMAF-JICA 2010).
Menurut Lucas & Southgate (2003), total produksi rumput laut dunia mencapai
9,5 juta ton pada tahun 1999, yang merupakan 22% dari total produksi akuakultur
dunia.
...)
Fotosintesis pada Rumput Laut
Fotosintesis merupakan proses metabolisme yang menggunakan energi
cahaya tampak (visible light energy) untuk mengkonversi karbon anorganik
(dalam bentuk CO2) dan air menjadi karbon organik (dalam bentuk karbohidrat)
dan molekul oksigen (O2) (Diaz-Pulido & McCook 2008) dengan reaksi sebagai
berikut :
CH2 O n +n O2 +n H2 O
n CO2 +2n H2 O+ energi matahari
klorofil
Berdasarkan reaksi tersebut, peningkatan konsentrasi CO2 seharusnya dapat
meningkatkan produktivitas biologis dengan harapan terjadinya peningkatan
penyimpanan karbon fotosintetik dan juga laju pertumbuhan yang lebih tinggi
pada berbagai jenis tanaman.
Menurut Stumm & Morgan (1981) in Gao & McKinley (1994), proses
fotosintesis pada lingkungan akuatik disertai oleh proses asimilasi NO3-, NH4+ dan
HPO42-. Untuk makroalgae, Atkinson & Smith (1983) mengemukakan persamaan
kesetimbangan massa berdasarkan median dari rasio C:N:P, yaitu sebagai berikut :
550 CO2 + 580 H2 O + 30 HNO3 + H3 PO4 ↔ (CH2 O)550 (NH3 ) H3 PO4 + 610 O2
30
Fotosintesis diinisiasi dengan penyerapan energi cahaya (photon) oleh
pigmen di dalam kloroplas dari tumbuhan, algae dan jenis bakteri tertentu.
Menurut Lakitan (2011), cahaya mempunyai sifat gelombang (wave nature) dan
sifat partikel (particle nature), yang mencakup bagian dari energi matahari dengan
panjang gelombang 390 – 760 nm dan tergolong cahaya tampak. Sifat cahaya
sebagai partikel biasanya diekspresikan dengan pernyataan bahwa cahaya
menerpa sebagai foton (photon) atau kuanta, yang merupakan suatu paket diskrit
dari energi.

7
Fotosintesis melibatkan ratusan reaksi kimia, dimana produk dari satu reaksi
kimia akan menjadi reagen untuk reaksi berikutnya, dan laju fotosintesis secara
keseluruhan dapat dibatasi oleh salah satu reaksi yang terjadi (Byrne, 1998).
Proses fotosintesis secara keseluruhan terdiri dari dua fase yang berbeda, yaitu
fase terang (light dependent stages/LDS) dan fase gelap (light independent
stages/LIS) (Pace 2005, Byrne 1998).
Menurut Pace (2005), pada fase terang, energi cahaya diserap oleh antena
dari molekul klorofil yang berada di dalam membran sel khusus (thylakoids) dan
ditransfer ke pusat reaksi klorofil. Disini reaksi elektrokimia dimulai, yang
menghasilkan dua senyawa biologis vital yang kaya energi, yaitu ATP (adenosine
triphosphate) dan NADPH (nikotinamid adenin dinukleotida fosfat). Oksigen
dihasilkan sebagai produk sampingan dari proses tersebut dan dilepaskan ke
atmosfir. Pada fase gelap, produk yang dihasilkan pada fase terang yaitu ATP dan
NADPH digunakan di dalam sel untuk pembentukan karbohidrat atau zat gula dari
karbondioksida melalui serangkaian reaksi biokimia lanjutan. Byrne (1998)
menyatakan bahwa intensitas cahaya dibutuhkan untuk proses fotolisis dan
eksitasi elektron, dimana kedua proses tersebut terjadi pada fase terang di dalam
tilakoid. Jika intensitas cahaya meningkat, maka demikian juga dengan laju
fotofosforilasi, baik yang bersifat siklik maupun non-siklik, sehingga produksi
NADPH dan ATP juga meningkat. Selanjutnya kedua produk tersebut akan keluar
dari tilakoid menuju stroma dan digunakan pada fase gelap.
Sejumlah karakter lingkungan perairan dapat mempengaruhi laju
fotosintesis pada rumput laut. Beberapa faktor utama yang paling berpengaruh
nyata terhadap laju fotosintesis rumput laut, yaitu intensitas cahaya, temperatur
dan salinitas (Dawes 1981, Raikar et al. 2001) serta dessication atau kekeringan
akibat perubahan kondisi pasang-surut (Dawes 1981). Menurut Byrne (1998) dan
Dawes (1981), temperatur berpengaruh terhadap laju aktivitas enzim. Secara
umum, selama temperatur tidak menyebabkan terjadinya denaturasi enzim, maka
peningkatan temperatur akan menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas
enzim, sehingga diharapkan juga akan meningkatkan laju fotosintesis. Dalam hal
ini peningkatan temperatur memberikan pengaruh yang lebih besar dalam
mempercepat reaksi pada fase gelap dari pada pengaruhnya dalam mempercepat
reaksi fase terang. Oleh karena itu produk yang dihasilkan pada fase terang tidak
akan mampu memenuhi kebutuhan dari fase gelap. Dengan kata lain laju
fotosintesis secara keseluruhan akan dibatasi oleh suplai NADPH ataupun ATP.
Dawes (1981) menyatakan bahwa algae menunjukkan perbedaan respon
fotosintetik terhadap intensitas cahaya berdasarkan populasi, musim dan
morfologinya. Algae dapat beradaptasi dengan intensitas cahaya yang berbeda;
jenis algae yang dapat beradaptasi dengan intensitas cahaya yang rendah disebut
sebagai shade algae, sementara algae yang membutuhkan intensitas cahaya yang
tinggi disebut sun algae. Berbagai aktivitas metabolime pada algae dipengaruhi
oleh intensitas cahaya, termasuk laju fotosintesis dan produksi pigmen. Kualitas
cahaya dan lama penyinaran (photoperiod) menunjukkan adanya pengaruh
terhadap reproduksi algae. Selain itu juga terjadi respon struktural pada algae
terhadap cahaya yang meliputi perubahan ukuran, perbedaan morfologi dan
perubahan sitoplasmik. Pertumbuhan memanjang pada algae terjadi pada kondisi
lingkungan dengan intensitas cahaya rendah. Menurut Lüning (1990) pada algae
ditemukan bahwa spektrum cahaya merah mendukung terjadinya akumulasi

8
karbohidrat, sedangkan spektrum cahaya biru memicu peningkatan sintesis
protein, respirasi dan aktivasi enzim.
Rumput laut, sebagaimana tumbuhan darat dan fitoplankton memiliki
kemampuan adaptasi terhadap perubahan intensitas cahaya dengan penyesuaian
kandungan pigmen dan aktivitas fotosintesis, yang dikenal dengan
photoacclimation (Lüning 1990). Pada kondisi intensitas cahaya rendah,
kandungan pigmen yang lebih tinggi dibutuhkan untuk meningkatkan peluang
terserapnya foton oleh antena molekul dari fotosistem; pada kondisi intensitas
cahaya tinggi, kandungan pigmen harus lebih rendah untuk menghindari
terjadinya photodamage (kerusakan akibat paparan sinar matahari) dan
photoinhibition (penurunan laju fotosintesis karena penghambatan oleh intensitas
cahaya tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan pigmen fotosintesis) (Alves et
al. 2002, Lüning 1990). Konsekuensi dari terjadinya photoinhibition diantaranya
adalah penurunan efisiensi dari kuantum maksimum penyerapan CO2 dan
pelepasan O2, penurunan aktivitas fotokimia dari fotosistem II, serta penurunan
laju fotosintesis (Alves 2002).
Perubahan kondisi lingkungan akibat terjadinya mekanisme pasang surut
juga mempengaruhi proses fisiologis pada rumput laut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa spesies algae intertidal secara fotosintetik lebih aktif pada
kondisi surut, karena terekspos oleh intesitas cahaya yang lebih tinggi (Dawes
1981). Akan tetapi jenis algae tertentu mengalami penurunan laju fotosintesis
pada saat kekeringan, dan akan normal lagi ketika sudah terendam air kembali
(reimmersion). Namun, jika fotosintesis tidak mencapai laju optimum setelah
reimmersion, maka kondisi tersebut tidak akan pulih kembali dan tanaman akan
segera mati (Lüning 1990).
Menurut Dawes (1981) terdapat berbagai mekanisme toleransi struktur dan
fisiologi pada algae terhadap perubahan salinitas. Proses osmoregulasi dapat
terjadi dengan berbagai cara, melalui penggunaan asam amino maupun
karbohidrat. Asam amino yang umumnya berhubungan dengan proses
osmoregulasi adalah asam amino yang terkait dengan proses glikolisis dan enzim
pada siklus krebs. Jika algae diberi perlakuan salinitas yang lebih rendah, maka
asam amino bebas akan keluar dari sel, sehingga menyebabkan osmolaritas sel
menjadi lebih rendah. Menurut Lüning (1990) organisme laut terekspos pada
tekanan osmotik 2 MPa (20 bar) terkait kondisi lingkungan dengan salinitas 30‰.
Untuk menjaga tekanan turgor selnya, algae harus mengembangkan mekanisme
adaptasinya untuk menjaga agar tekanan osmotik di dalam selnya sedikit lebih
tinggi dari pada lingkungannya. Peningkatan atau penurunan salinitas secara tibatiba mengakibatkan terjadinya aliran air mengikuti gradien osmotik, serta
menyebabkan tekanan turgor berubah-ubah yang dapat membahayakan algae;
karena stabilitas, bentuk dan pertumbuhan algae tergantung pada tekanan turgor
yang konstan. Untuk itu, algae mengembalikan kondisi tekanan turgornya melalui
pengaturan osmotik atau dikenal dengan osmoacclimation.
CO2 merupakan faktor pembatas terhadap proses fotosintesis ketika
ketersediaan hanya 0,035% dari konsentrasi normalnya di udara (Byrne 2005),
yaitu 0,3 mL/L (Dawes 1981). Peningkatan konsentrasi CO2 akan meningkatkan
laju fotosintesis hingga pada titik tertentu, namun setelah melebihi titik tersebut,
maka laju fotosintesis cenderung konstan (Byrne 2005). Smith & Bidwell (1989)
menyatakan bahwa kandungan rata-rata karbon pada air laut dalam bentuk HCO3-

9
adalah 2 mM, sedangkan CO2 hanya 10 µM; dan hasil penelitian menunjukkan
makroalga Chondrus crispus cenderung menyerap CO2 daripada HCO3. Proses
difusi CO2 pada proses fotosintesis terjadi berdasarkan gradien konsentrasi, yang
masuk melalui epidermis menuju kloropas (Rychter & Rao 2005).
Klorofil merupakan pigmen utama yang berperan dalam proses fotosintesis.
Pada kelompok tumbuhan tertentu terdapat pigmen asesori (pelengkap) yang
menyerap cahaya pada panjang gelombang yang sedikit berbeda dengan klorofil.
Salah satu pigmen asesori yang terdapat pada rumput laut jenis K. alvarezii dan G.
gigas adalah fikoeritrin (Dawes 1981). Struktur molekul dari kedua pigmen
tersebut diperlihatkan pada Gambar 1. Klorofil memiliki struktur tetrapyrroles
yang berbentuk cincin dengan inti atom magnesium (Mg), serta terdapat bagian
yang bersifat hidrofobik yang disebut phytol tail (Naguit & Tisera 2009, Dawes
1981). Klorofil pada makroalgae umumnya menyerap energi cahaya pada
spektrum elektromagnetik merah dan biru. Fikoeritrin merupakan salah satu tipe
dari pigmen phycobilins yang tersusun atas phycobilin chromophores yang
berasosiasi dengan protein; phicobilin chromophores merupakan tetrapyrroles
linier dengan struktur yang hampir sama dengan tetrapyrroles cincin pada
molekul klorofil (Naguit & Tisera 2009).

Sumber: Taiz & Zeiger ( 2002)

Gambar 1 Struktur molekul pigmen fotosintesis klorofil-a dan fikoeritrin
(fikoeritrobilin)
Pengukuran kandungan pigmen pada tumbuhan merupakan pendekatan
kualitatif dasar yang menunjukkan hubungan antara laju fotosintesis,

10
pertumbuhan, dan jumlah dari material tumbuhan tersebut (Geider & Osborne
1992). Dawes (1981) juga menyatakan bahwa level kandungan klorofil dapat
digunakan untuk menyatakan laju fotosintesis pada suatu spesies alga; ekspresi
aktivitas relatif fotosintesis terhadap jumlah klorofil-a direkomendasikan untuk
membandingkan berbagai spesies algae.
Ketersediaan nutrien pada air laut memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap keberadaan tumbuhan akuatik, termasuk rumput laut. Empat elemen
utama yang dibutuhkan oleh tumbuhan akuatik untuk pertumbuhannya adalah
oksigen, karbon, nitrogen dan fosfor, dengan rasio O:C:N:P pada air laut adalah
212:106:15:1 (Davis 1977 in Dawes 1981). Senyawa nitrogen yang umumnya
ditemukan pada air laut adalah NO3, NO2, dan NH3 yang konsentrasinya semakin
menurun denganbertambahnya kedalaman perairan; pada algae merah
makroskopik menunjukkan terdapatnya hubungan antara laju pertumbuhan
dengan bentuk dan konsentrasi senyawa nitrogen (Dawes 1981).
Pada air laut, senyawa fosfor anorganik berada dalam bentuk H2PO4- dan
HPO42- (Dawes 1981). Tumbuhan akuatik umumnya memanfaatkan ortofosfat
sebagai sumber fosfor (Effendi 2003, Dawes 1981). Effendi (2003) menyatakan
bahwa pada saat perairan mengandung fosfor dalam jumlah cukup, algae akan
mengakumulasi fosfor di dalam sel melebihi kebutuhannya (luxury consumption),
dan kelebihan tersebut akan dimanfaatkan pada saat perairan mengalami defisiensi
fosfor sehingga algae masih dapat tumbuh selama beberapa waktu. Selain itu
algae juga dapat memanfaatkan fosfor organik dengan bantuan enzim alkalin
fosfat yang berfungsi memecah senyawa organofosfor; dengan demikian
keberadaan enzim tersebut akan meningkat jika terjadi kekurangan fosfor di
perairan.

Karbondioksida (CO2) dan Perubahan Iklim
Karbondioksida (CO2) adalah gas tanpa warna, tanpa bau dan sedikit asam
yang terdiri dari satu atom karbon (C) yang berikatan dengan dua atom oksigen
(O) pada kedua sisinya dengan ikatan ganda. CO2 merupakan gas yang bersifat
sangat stabil, non-reaktif dan tidak mudah terbakar (Aldrian et al. 2011, Dawson
& Spannagle 2009). CO2 merupakan GHG antropogenik yang paling penting,
dimana emisi tahunan dari gas tersebut mengalami peningkatan sebesar 80%
dalam kurun waktu antara tahun 1970 – 2004, dari 21 menjadi 38 Gt (gigaton),
dan pada tahun 2004 CO2 merupakan 77% dari total emisi GHG yang berasal dari
aktivitas manusia (IPCC 2007).
Secara alami, GHG merupakan bagian dari atmosfir bumi, berupa molekul
gas yang memiliki lebih dari dua atom dengan ikatan antar atom yang tidak
terlalu kuat sehingga dapat mengalami getaran (vibrasi) saat terjadinya proses
penyerapan panas. Selanjutnya molekul yang bergetar tersebut akan melepaskan
radiasi yang kemungkinan besar diserap lagi oleh molekul GHG lainnya, sehingga
siklus “penyerapan–pelepasan–penyerapan” tersebut mempertahankan panas di
dekat permukaan bumi dan secara efektif mengisolasi permukaan bumi dari ruang
angkasa yang dingin (Aldrian et al. 2011).
GHG paling banyak di muka bumi adalah uap air yang terbentuk secara
alami, selain itu juga terdapat GHG yang terbentuk akibat aktivitas manusia

11
(antropogenik). Berdasarkan protokol Kyoto tahun 1997, GHG antropogenik
terdiri dari enam jenis, yaitu CO2 (karbondioksida), CH4 (methane), N2O (nitrous
oxide), HFCs (hydrofluorocarbons), PFCs (perfluorocarbons) dan SF6 (sulphur
hexafluoride) (Aldrian et a. 2011). Konsensus saintifik secara umum menyatakan
bahwa tingginya laju peningkatan emisi GHG antropogenik lebih dari dua abad
yang lalu, terutama sejak tahun 1950, telah memberikan dampak utama perubahan
iklim (Dawson & Spannagle 2009).
Menurut Aldrian et al. (2011), perubahan iklim adalah berubahnya pola
intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya
terhadap rata-rata 30 tahun), yang dapat berupa suatu perubahan dalam kondisi
cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi
rata-ratanya. Rata-rata temperatur global telah mengalami peningkatan sebesar
0,76 oC sejak tahun 1900, dan telah menyebabkan terjadinya perubahan pada
sistem geofisik dan biofisik bumi (Dawson & Spannagle 2009). Secara umum,
mitigasi perubahan iklim bertujuan untuk menurunkan atau mengurangi faktor
yang menjadi penyebab perubahan iklim, khususnya emisi gas-gas yang
menyebabkan terjadinya pemanasan global (Houghton 2004).
Karbondioksida yang terlarut pada air laut berada dalam tiga bentuk utama
sebagai senyawa anorganik, yaitu karbondioksida cair bebas (CO2(aq)),
bikarbonat (HCO3-), dan ion karbonat (CO32-), sedangkan bentuk lainnya berupa
asam karbonat (H2CO3) yang konsentrasinya sangat kecil, yaitu kurang dari 0,3%
konsentrasi CO2 (aq) (Zeebe & Wolf-Gladrow 2001). CO2 yang terlarut dalam air
membentuk beberapa reaksi kesetimbangan sebagai berikut (Zeebe & WolfGladrow 2001):
CO2 (g) ⇄ CO2 (aq)
(1)
CO2 (aq) + H2O ⇄ H2CO3 (aq)
(2)
H2CO3 (aq) ⇄ H+ + HCO3- (aq)
(3)
(4)
HCO3- (aq) ⇄ H+ + CO32- (aq)
H2O ⇄ H+ + OH(5)
Blue carbon dan Peranan Ekosistem Laut dalam Penyerapan Karbon
Wilayah perairan pantai (coastal waters) merupakan 7% dari luas total area
lautan (ocean) (Nellemann et al. 2009). Perairan pantai memiliki peranan yang
cukup besar dalam siklus karbon. Gas CO2 di atmosfer masuk ke laut karena
adanya perbedaan antara tekanan parsial CO2 di laut dan atmosfer serta
kemampuan laut untuk melarutkan gas CO2 tersebut (KLH 2007). Pada wilayah
pantai terdapat berbagai vegetasi seperti mangrove, ketapang, waru dan cemara
laut. Vegetasi tersebut memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu terkait dengan upaya
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Disebut adaptasi, karena vegetasi pantai
tersebut dapat melindungi kawasan pesisir dari dampak perubahan iklim seperti
banjir, rob dan erosi, sedangkan di sisi lain vegetasi tersebut dapat menyerap
emisi karbon sehingga tergolong dalam mitigasi perubahan iklim (Aldrian et al.
2011).
Laut memiliki peranan yang sangat penting dalam siklus karbon dunia.
Hampir setengah dari jumlah oksigen yang kita hirup berasal dari hasil
fotosintesis yang terjadi di laut (KLH 2007). Sebagaimana halnya yang terjadi
pada ekosistem terestrial seperti hutan, di laut juga terjadi proses penyimpanan

12
dan pelepasan karbon. Total karbon yang disimpan di laut sekitar 50 kali lebih
besar daripada yang ada di atmosfer. Nilai pertukaran karbon di laut, yaitu sekitar
90 milyar ton/tahun yang dilepaskan ke atmosfer dan 92 milyar ton/tahun yang
diserap oleh laut. Selisih nilai pertukaran tersebut, yaitu sekitar 2 milyar ton
merupakan jumlah karbon yang terdapat pada biomassa laut yang hidup di
permukaan, sedangkan karbon yang tersimpan di dasar laut dan laut dalam
mencapai 38.000 – 40.000 milyar ton; dan sebagai perbandingan, vegetasi darat
melakukan siklus karbon sebesar 60 miliar ton karbon yang dilepaskan dan 61
miliar ton karbon yang diserap (KLH 2007). Keseluruhan hasil tangkapan karbon
biologis (biological carbon/green carbon) tahunan di dunia berasal dari aktivitas
fotosintesis, dan lebih dari setengahnya (55%) dilakukan oleh organisme laut
(Simon et al. 2009, Arrigo 2005, Falkowski et al. 2004), sehingga disebut sebagai
blue carbon (Nellemann et al. 2009).
Blue carbon didefinisikan sebagai karbon yang disimpan, diasingkan dan
dilepaskan dari ekosistem pantai termasuk rawa pasang surut, hutan bakau,
padang lamun (seagrass) (Herr et al. 2011) dan rumput laut (seaweed), yang
mengambil karbon dari atmosfir dan laut, kemudian menyimpannya di dalam
tanaman dan didepositkan dalam sedimen di bawahnya melalui proses natural.
Penangkapan dan penyimpanan karbon oleh ekosistem pantai berlangsung sangat
efisien, dimana laju penyerapan karbon dari atmosfir dan lautan untuk setiap km2
luasan ekosistem pantai lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tropis untuk
luasan yang sama.
Carbon sequestration merupakan proses yang berlangsung secara alami
maupun buatan untuk menghilangkan karbon dari atmosfir dan disimpan dalam
suatu sistem penyerap karbon (carbon sinks) seperti laut, hutan atau tanah melalui
proses fisik atau biologis, seperti fotosintesis (Sundquist 2008). Carbon sink
adalah reservoir karbon yang cenderung lebih banyak menyerap dari pada
menghasilkan emisi karbon (Dawson & Spannagle 2009). Laut merupakan salah
satu reservoir karbon yang berfungsi menyerap dan menyimpan karbon. Setiap
tumbuhan dan biota laut memiliki kemampuan menyerap karbon yang berbedabeda. Untuk wilayah laut Indonesia, perkiraan jumlah karbon yang dapat diserap
adalah sebesar 66,9 juta ton C/tahun, yang setara dengan 245,6 juta ton CO2/tahun
(CO2 equivalent), dimana nilai tersebut merupakan hasil kontribusi dari ekosistem
terumbu karang, mangrove, padang lamun dan laut terbuka dengan nilai berturutturut 20,0 juta; 20,6 juta; 15,3 juta; dan 11,0 juta ton C/tahun untuk luas area
masing-masing adalah 61.000, 93.000, 30.000 dan 5.800.000 km2 (KLH 2007).
Keempat ekosistem perairan laut yang berperan dalam penyerapan karbon tersebut
umumnya terdiri atas ekosistem vegetasi alami, dimana kontribusi penyerapan
karbon oleh ekosistem rumput laut dan fitoplankton diperkirakan termasuk ke
dalam kalkulasi untuk ekosistem laut terbuka.
Menurut Dawes (1981) konsentrasi gas CO2 yang terlarut dalam air laut
berkisar antara 34-56 mL/L, yang jauh lebih tinggi daripada konsentrasinya di
udara yaitu 0,3 mL/L; terkait dengan kemam