Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)

PENGEMBANGAN KEMASAN PRODUK PINDANG
IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)

WIDYA PURWANINGRUM

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan
Kemasan Produk Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Widya Purwaningrum
NIM F34090057

ABSTRAK
WIDYA PURWANINGRUM. Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan
Tongkol (Euthynnus affinis). Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI dan
INDAH YULIASIH.
Pemindangan merupakan salah satu teknik pengawetan yang
menggabungkan penggaraman dengan perebusan. Hingga saat ini, teknik
pemindangan hanya dilakukan secara tradisional dengan mengesampingkan
higienitas sehingga kualitas produk rendah. Beberapa perbaikan penanganan
bahan baku telah dilakukan sehingga proses pengolahan pada penelitian ini
menghasilkan produk yang sesuai dengan standar SNI 2717.1: 2009.
Teknologi pengemasan menggunakan plastik dalam kondisi vakum mampu
menurunkan tingkat kerusakan produk dibandingkan dengan pindang dalam
wadah besek. Besek merupakan sebuah anyaman dari bambu yang digunakan
sebagai wadah selama proses pengolahan pindang hingga penjualan. Besek
menjadi salah satu penyebab kerusakan produk saat distribusi dan penyimpanan.

Kondisi wadah yang terbuka membuat produk tidak terjaga dari pencemaran
mikroba, sehingga daya awet produk rendah. Pengamatan penyimpanan
menggunakan suhu rendah pun menunjukkan wadah besek tidak mampu menjaga
proses penguapan produk. Penampakan ikan menjadi kering, pecah sehingga
terjadi penyusutan bobot yang tinggi. Pada penyimpanan suhu 4 C kapang mulai
muncul pada permukaan produk di hari ketujuh.
Penyimpanan pindang dengan plastik dalam kondisi vakum mampu
menghambat penguapan di permukaan pindang hingga penyimpanan 13 hari, dan
tidak menyebabkan terjadinya penurunan bobot. Penerimaan panelis menunjukkan
hasil yang lebih baik, karena penurunan mutu terjadi setelah minggu kelima
penyimpanan pada suhu 4 C dan minggu keenam pada suhu -11 C.
Perbaikan teknologi proses dan pengemasan menghasilkan produk yang
lebih berkualitas, namun hal ini menyebabkan biaya produksi meningkat.
Berdasarkan analisis biaya produksi, diperoleh biaya pokok produksi dengan nilai
sebesar Rp 4 955 per kemasan. Nilai ini lebih tinggi dari biaya pokok produksi
pemindangan tradisional yang sebesar Rp 3 812.
Kata kunci: ikan tongkol, kemasan, pindang

ABSTRACT
WIDYA PURWANINGRUM. Packaging Development of Salted Boiled Cob Fish

(Euthynnus affinis) Product. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI and
INDAH YULIASIH.
Pemindangan is one of the preservation techniques that combines salting
and boiling processes. Until recent days, these method has been applied
traditionally without concerning of its hygiene, which causes low quality product.
Some improvement was introduced starting from raw material handling,

processing and up to packaging, storage and distribution, and produced high
quality product according to the SNI 2717.1: 2009 standard.
Application of vacuum plastic in packaging technology indicated less
damage level of products compared to besek (traditional basket) container. Besek
is a bamboo woven that is used as a container for boiling process and as end
consumer packaging. It was not able to protect the product then caused shorten it
shelf life. Storage in low temperature also implied that besek container was unable
to avoid the evaporation process or desiccation occured on the fish surface. Fish
appeared to be dried, broken, and even high loss weight. On the storage
temperature of 4 C the fungi began to grow after the seventh day.
Boiled fish packaged with vacuum plastics was capable to inhibit the
evaporation at the surface of the products until 13 days storage. Vacuum plastic
packaging also improved the consumer preference since the product deterioration

occurred after the fifth week in 4 C of storage temperature and sixth week in -11
C.
Development on the processing and packaging technology improved the
product quality but consequently also increased the production costs. Based on
production cost analysis, traditional salted boiled fish had lower production cost
(Rp 3 812 per package), while modern manufactured salted boiled fish increased
the production cost to Rp 4 955 per package.
Keywords: boiled fish, cob fish, packaging

PENGEMBANGAN KEMASAN PRODUK PINDANG
IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)

WIDYA PURWANINGRUM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan Tongkol
(Euthynnus affinis)
Nama
: Widya Purwaningrum
NIM
: F34090057

Disetujui oleh

Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Pembimbing I

Dr Indah Yuliasih, STP, MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan Tongkol
(Euthynnus afjinis)
Nama
: Widya Purwaningrum
NIM
: F34090057

Disetujui oleh

/

Dr Ir Tit" andra Sunarti MSi

Pembimbing I

ᄋセi@

STP MSi
Pembimbing II

Tanggal Lulus:

)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
Pengemasan, dengan judul Pengembangan Kemasan Produk Pindang Ikan
Tongkol (Euthynnus affinis). Karya ilmiah ini merupakan salah satu hasil dari
program technopreneurship dengan tema Pengembangan Pasar Produk Pindang
Modern.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi dan Dr

Indah Yuliasih, STP, MSi selaku pembimbing serta Prof Dr Ing Ir Suprihatin
selaku penguji. Penulis pun menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Aji
Hermawan, MM dan RAMP IPB yang telah memberikan bantuan dana sehingga
penelitian ini dapat dilaksanakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, seluruh keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Widya Purwaningrum

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

3

Bahan

3

Alat

3


Tahapan Penelitian

3

Prosedur Penelitian

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Identifikasi Masalah

6

Pengembangan Produk dan Kemasan

8

Analisis Biaya Produksi

17

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

32

DAFTAR TABEL
1 Nilai kerusakan pindang (SNI 2717.1:2009 yang dimodifikasi)
2 Syarat mutu produk pindang berdasarkan Standar Nasional Indonesia
2717.1:2009 tentang pindang
3 Dimensi ikan yang digunakan
4 Dimensi desain kemasan yang digunakan
5 Nilai kesetaraan simulasi transportasi menggunakan meja getar selama
2 jam

5
8
9
10
11

DAFTAR GAMBAR
1 Skema tahapan penelitian
2 Kondisi penataan pindang dalam kardus dengan kemasan primer
berupa (a) besek (b) vakum
3 Kondisi penataan pindang dalam kemasan sekunder pada meja getar
4 Kondisi pendistribusian pindang yang dilakukan oleh pengolah pindang
tradisional
5 Kenampakan produk dalam kemasan plastik vakum saat diaplikasikan
(a) ukuran 1 (b) ukuran 2 (c) ukuran 3
6 Persentase Tingkat Kerusakan produk pindang saat simulasi
transportasi dengan menggunakan kemasan besek dan plastik vakum
7 Kerusakan setelah transportasi berupa (a) kulit mengelupas (b) ekor
patah
8 Persentase penurunan berat pindang selama penyimpanan
9 Kondisi pindang setelah penyimpanan 13 hari (a) wadah besek suhu -11
C (b) wadah besek suhu 4 C (c) kemasan plastik vakum suhu -11 C
(d) kemasan plastik vakum suhu 4 C
10 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat
diterima (skor min. 7) pada kemasan besek selama penyimpanan suhu 4
C
11 Kondisi pindang saat disimpan menggunakan wadah besek pada suhu 4
C beberapa sampel tumbuh kapang saat penyimpanan 14 hari
12 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat
diterima (skor min. 7) pada kemasan besek selama penyimpanan suhu 11 C
13 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat
diterima (skor min. 7) pada kemasan vakum selama penyimpanan suhu
4 C
14 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat
diterima (skor min. 7) pada kemasan vakum selama penyimpanan suhu
-11 C

3
5
5
7
10
12
12
13

13

15
15

16

16

17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis bahan baku
2 Penilaian organoleptik pindang berdasarkan SNI 2717.1:2009

21
24

3

Analisis permasalahan pindang tradisional oleh 50 responden ibu rumah
tangga
4 Perhitungan kesetaraan jarak tempuh simulasi transportasi kemasan
hasil rancangan menggunakan truk pada jalan luar kota
5 Perhitungan finansial pengolahan pindang modern dan tradisional

25
26
28

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan tongkol atau Euthynnus affinis merupakan salah satu jenis ikan pelagis
yang biasa hidup di permukaan air laut dengan membentuk gerombolan. Secara
morfologis ikan tongkol memiliki sirip dada melengkung, ujungnya lurus, dan
pangkalnya sangat kecil (Djuhanda 1981). Ketersediaan ikan tongkol sangat
melimpah yakni sebesar 154 487 ton (KKP 2010) dengan potensi produksi
perikanan tangkap di perairan umum sebesar 0.9 juta ton per tahun (DKP 2005)
sehingga harganya menjadi murah yakni berkisar Rp 7 000 per kg. Kondisi ini
membuat ikan tongkol menjadi dikesampingkan oleh para pengusaha ikan. Tidak
banyak pengusaha ikan olahan melirik ikan tongkol karena dianggap ikan
murahan, padahal jika dilihat dari kandungan proteinnya tidak kalah jika
dibandingkan dengan kakap dan mackerel. Menurut Ariyani (2010) kandungan
protein ikan tongkol per 100 g sebesar 25 g. Tingginya kandungan protein pada
ikan tongkol dengan kandungan air yang berkisar 80 % (DKP 2008) serta pH
yang mendekati netral menjadikan mikroba pembusuk mudah tumbuh sehingga
kebanyakan nelayan atau pengolah ikan pinggir pantai mengolahnya menjadi
pindang.
Pindang merupakan produk olahan ikan yang dihasilkan dari proses
pemindangan yang merupakan salah satu cara pengawetan ikan yang
menggabungkan proses penggaraman dengan perebusan. Garam digunakan untuk
menarik air dari daging ikan sehingga kadar air berkurang. Kadar air yang
semakin berkurang membuat proses pembusukan terhambat. Proses pembusukan
secara enzimatis oleh enzim autolisis dan jasad renik yang terdapat pada ikan
menguraikan senyawa kimia pada jaringan tubuh ikan (IPB 2008), sehingga ikan
mudah rusak jika tidak cepat diolah.
Pindang merupakan salah satu produk olahan tradisional dengan volume
produksi yang tinggi. Data statistik menunjukkan bahwa 49.99 % pemanfaatan
ikan laut adalah dalam bentuk produk tradisional (Direktorat Jendral Perikanan
Tangkap 2006), dengan 17.06 % dari total produksi olahan, berupa pindang yang
menduduki tempat ke-2 setelah ikan asin (Ariyani et al. 2004). Tingginya
produktivitas pindang ditunjang oleh banyaknya pengolah pindang yang sebagian
besar merupakan usaha kecil menengah.
Menurut sebagian pengolah pindang, permintaan pasar terhadap produk
pindang dapat mencapai angka 7 ton per hari, dengan permintaan pada tahun 2012
sebesar 157 000 ton pindang per tahun (Khoer 2012). Prospek usaha pindang
sangat baik jika dilihat dari tingginya permintaan pindang, walaupun produk
pindang terutama pindang ikan tongkol belum dapat menembus pasar modern,
sehingga permintaan pindang akan semakin meningkat jika produk ini mampu
menembus pasar modern. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan
analisis proses pemindangan modern, sehingga dihasilkan produk pindang dengan
kualitas baik dan mampu menembus pasar modern.

2

Perumusan Masalah
Proses pemindangan hingga saat ini dilakukan melalui metode sederhana
tanpa memperhatikan kualitas bahan baku dan produk yang dihasilkan, sehingga
daya tahan produk sangat pendek. Kondisi inilah yang membuat jangkauan
pemasaran pindang sangat terbatas. Menurut Djumarti (2004a) daya tahan
pindang yang diolah secara tradisional hanya berkisar 1-2 hari dengan kualitas
yang kurang memuaskan seperti penampilan kurang menarik, banyak luka, daging
retak, bau tengik, dan warna agak kecoklatan. Hal ini disebabkan dalam proses
pengolahannya kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higienitas. Wadah yang
digunakan untuk perebusan dan pemasaran adalah besek yang merupakan suatu
anyaman bambu dengan bentuk menyerupai keranjang. Menurut Yudoamijoyo et
al. (1983), terdapat beberapa jenis bakteri yang dapat hidup pada bambu, kondisi
ini membuat wadah yang digunakan mejadi salah satu media pencemar produk.
Wadah besek yang terbuka juga dapat menyebabkan oksidasi yang
menyebabkan bau tengik. Proses oksidasi dapat membuat kandungan nutrisional
protein berkurang (Raghunath 1995). Oleh karena itu, perbaikan proses
pengolahan dan kemasan perlu dilakukan. Sri (2002) menyatakan bahwa
perbaikan proses akan memperbaiki kualitas dan konsistensi produk sehingga
menghasilkan produk yang bermutu dan aman bagi konsumen. Penelitian yang
telah dilakukan oleh Djumarti (2004b) menyatakan bahwa kemasan plastik vakum
dengan penyimpanan suhu rendah mampu menahan laju pertumbuhan mikroba
pindang hingga penyimpanan hari ke-15. Kualitas produk yang baik karena
terjaga oleh kemasan, belum tentu diterima konsumen. Seperti yang dijelaskan
oleh Ariyani et al. (2004), meskipun produk pindang memiliki kualitas yang baik
dari nilai cemaran mikroba dan kadar histamin, konsumen menolaknya dari segi
tekstur dan kenampakan. Tekstur pindang sangat dipengaruhi oleh jenis bahan
baku ikan yang digunakan dan kadar air ikan tersebut. Semakin tinggi kadar
airnya, tekstur pindang menjadi lembek. Oleh karena itu, diperlukan pengamatan
terhadap perubahan tekstur pindang yang dilakukan oleh konsumen. Pengamatan
terhadap susut bobot juga dilakukan selama penyimpanan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk pindang
melalui perbaikan teknologi dan pengemasan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran perbandingan pada
pemindangan tradisional dan modern.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi :
1. Bahan baku pindang adalah ikan tongkol
2. Teknik pemindangan dengan air garam

3

3. Pengamatan dilakukan pada bahan baku, proses pemindangan serta
pendistribusian pada pemindangan tradisional di Malang
4. Perbandingan produk yang dihasilkan pemindangan tradisional dan modern
dilihat dari segi proses hingga kebutuhan biaya pokok produksi
METODE
Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri
Pertanian dan Laboratorium Teknik Pengolahan Hasil Pertanian Departemen
Teknik Mesin dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor, Darmaga-Bogor.
Pemilihan lokasi didasarkan atas kebutuhan peralatan yang digunakan untuk
analisis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret–September 2013.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pindang tongkol, besek,
plastik vakum dengan bahan nilon 6, dan kardus corrugated paper.
Alat
Alat yang digunakan yaitu vacuum sealer, meja getar, timbangan,
termometer, Thermo-Hygrometer dan lemari pendingin suhu -11 C dan suhu 4
C, serta peralatan untuk analisis.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan. Skema tahapan penelitian
tersebut secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 1.
Mulai
Identifikasi Masalah
Pengembangan Produk dan Kemasan
Analisis Biaya
Selesai
Gambar 1 Skema tahapan penelitian

4

Prosedur Penelitian
Identifikasi Masalah
Permasalahan pada proses pemindangan tradisional diidentifikasi pada Juni–
Agustus 2012 di salah satu tempat pemindangan di daerah Malang yang telah
dilakukan saat praktik lapang. Hasil tersebut dikaitkan dengan permasalahan
konsumen yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan 50 orang ibu
rumah tangga. Permasalahan proses pemindangan tradisional dianalisis cara
perbaikannya sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih berkualitas sesuai
dengan yang diharapkan konsumen.
Pengembangan Produk dan Kemasan
Produk kemudian diuji karakteristiknya berdasarkan, SNI 01-2332.3-2006
untuk Angka Lempeng Total, Salmonella dan E. coli, SNI-01-2354.2-2006 untuk
kadar air dan SNI 01-2359-1991 untuk kadar garam yang tersaji pada Lampiran 1.
Penilaian organoleptik berdasarkan pada SNI 2717.1:2009 dengan 5 parameter uji
yakni kenampakan, bau, rasa, tekstur dan lendir. Masing-masing parameter dinilai
oleh panelis dengan nilai 1-9. Kualitas terbaik memperoleh nilai 9 dengan
penerimaan minimal adalah 7. Jika penilaian rata-rata dibawah 7 maka kualitas
pindang tersebut dianggap telah ditolak konsumen. Kuisioner penilaian
organoleptik ini tersaji pada Lampiran 2.
Selanjutnya pindang dikemas dengan plastik vakum, masing-masing
kemasan diisi dengan dua ekor pindang kemudian di-seal menggunakan
automatic vacuum sealer model Lapack 550/S dengan tekanan 2.5 atm dan suhu
yang digunakan berskala 4. Pengemasan ini dilakukan secara otomatis dengan
lama proses pengemasan selama 30 detik. Penetapan besarnya tekanan dan panas
seal dilihat dari ketebalan plastik yang digunakan dengan memperkirakan
kemampuannya dalam menahan panas.
Pindang yang telah dikemas diuji untuk mengetahui kegunaan kemasan
dalam menjaga produk saat didistribusikan dengan simulasi pada meja getar yang
dilakukan selama 2 jam. Lama waktu pengujian disesuaikan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk mendistribusikan produk dari Bogor ke Jakarta. Pada simulasi
ini frekuensi dan amplitudo awal pada meja getar akan diatur sehingga
menyerupai kondisi bak truk di jalan buruk beraspal. Amplitudo dan frekuensi ini
dapat berubah sehingga perlu dilakukan pengamatan setiap 20 menit sekali.
Produk yang sudah dikemas dengan kemasan primer dimasukkan dan
ditumpuk hingga 4 lapis dalam kemasan sekunder courugated paper berukuran 49
cm  23 cm  14 cm. Kondisi penataan kemasan primer dan sekunder seperti pada
Gambar 2. Masing-masing kardus kemudian ditumpuk hingga 2 tumpukan untuk
mendekati kondisi pendistribusian pindang seperti pada Gambar 3. Kemasan
yang tepat akan menjaga produk dari kerusakan saat distribusi, maka untuk
mengetahuinya produk yang sudah ditransportasikan diamati tingkat
kerusakannya yang kemudian diberikan skor sesuai Tabel 1.
Pengaruh kemasan dan suhu penyimpanan dilihat dari pengujian
penerimaan produk oleh 10 orang panelis terlatih, serta uji susut bobot. Suhu
penyimpanan yang digunakan 4 C, RH 70 % dan -11 C, RH 30 %. Hal ini
didasarkan atas konsep penjualan yang akan dilaksanakan dengan target pasar

5

adalah masyarakat menengah ke atas, sehingga tempat penjualan yang digunakan
adalah supermarket yang memiliki lemari pendingin.

a

b

Gambar 2 Kondisi penataan pindang dalam kardus dengan
berupa (a) besek (b) vakum

kemasan primer

Gambar 3 Kondisi penataan pindang dalam kemasan sekunder pada meja getar
Tabel 1 Nilai kerusakan pindang (SNI 2717.1:2009 yang dimodifikasi)
Kenampakan
Utuh, kulit sangat rapi
Utuh,kulit rapi
Utuh, kulit kurang rapi
Patah ekor, kulit rapi
Perut pecah,kulit rapi
Kepala pecah,kulit rapi
Patah ekor, perut pecah, kulit rapi
Patah ekor, perut pecah, kepala pecah kulit rapi
Patah ekor, perut pecah, kepala pecah,kulit tidak rapi

Skor
9
8
7
6
5
4
3
2
1

Analisis Biaya Produksi
Analisis biaya produksi erat kaitannya dengan harga jual produk. Kualitas
produk biasanya berbanding lurus dengan harga jualnya. Harga jual produk
pindang yang dihasilkan dari teknologi proses yang lebih higienis tentunya

6

berbeda dengan yang tradisional. Oleh karena itu dilakukan perbandingan pada
biaya pokok produksi, selisih biaya pokok produksi, serta harga jualnya.
Perhitungan meliputi biaya peralatan, pekerja, bahan baku penolong, bahan baku
utama dan biaya pemasaran dengan metode full costing.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Masalah
Berdasarkan pengamatan selama kegiatan praktik lapang, proses
pemindangan yang dilakukan pengolah pindang ternyata kurang memperhatikan
aspek kebersihan dan cara pengolahan yang baik. Ikan yang diperoleh dari
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ditempatkan dalam keranjang besar yang terbuat
dari anyaman bambu. Keranjang ini kemudian diberi es dan dipikul menggunakan
bambu oleh dua orang menuju ke mobil bak terbuka. Ikan kemudian dibawa ke
tempat pengolahan yang biasanya tidak jauh dari tempat pelelangan ikan.
Ikan yang sudah berada di tempat pengolahan pindang diletakkan di lantai
kemudian ditata dalam wadah besek. Masing-masing wadah besek terdiri dari 2
ekor pindang. Setiap 10 wadah besek diikat menggunakan tali rafia. Biasanya
setiap dua ikatan tali rafia akan diikat kembali dengan tali rafia, sehingga terdapat
20 wadah besek. Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan mencelupkan wadah
besek yang telah diikat ke dalam bak yang berisi air. Kondisi air yang digunakan
untuk pencucian tidak selalu bersih.
Ikan dalam wadah besek yang sudah diikat tali rafia (20 wadah besek)
dimasukkan selama ± 30 menit ke dalam panci perebusan berukuran 1 m2. Ikan
tersebut dimasukkan ketika air garam telah mendidih (suhu ± 80 C). Menurut
Eko dan Indriyono (2007) pemindangan dengan metode air garam ini memiliki
waktu yang relatif lebih singkat jika dibandingkan dengan pemindangan dengan
metode garam. Lama waktu perebusan bergantung pada ukuran ikan yang
digunakan. Semakin besar ukuran ikan semakin lama waktu perebusannya.
Setelah itu, pindang diangkat dan diletakkan di lantai, kemudian disiram
menggunakan air dingin agar proses pemasakan berhenti dan ikan cepat dingin.
Ikan yang telah dingin didistribusikan menggunakan mobil bak terbuka. Penataan
pindang dalam mobil bak terbuka ini dengan cara menumpuk pindang hingga
seluruh pindang terangkut. Pindang yang telah ditumpuk ditutup kemudian
menggunakan plastik lebar dan tebal yang kemudian diikat menggunakan tali.
Kondisi pendistribusian ini membuat ikan tertumpuk dan rusak.
Permasalah yang dirasakan oleh konsumen, hasil wawancara langsung
dengan 50 panelis ibu rumah tangga diperoleh 3 masalah utama yang menjadi
kekurangan pindang tradisional. Permasalahan ini tersaji pada Lampiran 3.
Permasalahan pertama yaitu pindang dianggap kurang higienis dan tidak memiliki
kemasan. Kemasan yang digunakan saat ini adalah wadah besek atau kertas bekas.
Kedua, pindang tidak tahan lama dan yang ketiga pindang menyebabkan rasa
gatal. Permasalahan kedua dan ketiga dapat disebabkan kualitas bahan baku yang
kurang segar dan proses pemindangan yang kurang baik seperti pada penjelasan
sebelumnya.

7

Beberapa cara perbaikan permasalahan pemindangan yaitu pada proses
penanganan bahan baku di tempat pelelangan ikan, perlu digunakan wadah
tertutup yang terbuat dari bahan seperti stainless steel atau menggunakan cooler
box dengan menambahkan es, sehingga dapat mencegah pertumbuhan mikroba.
Kow et al. (1998) menyatakan bahwa setelah ikan didaratkan potensi
pertumbuhan mikroba menjadi tinggi oleh karena itu perlakuan yang baik dengan
tetap mempertahankan suhu ikan di bawah 5 C sangat diperlukan. Selanjutnya
pada proses penurunan ikan di tempat produksi sebaiknya tidak diletakkan di
lantai. Lantai juga dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba seperti E. coli.
Penurunan ikan seharusnya diletakkan pada meja bersih.
Pindang tradisional biasanya tidak membuang isi perut ikan, padahal isi
perut juga menjadi salah satu faktor pertumbuhan mikroba. Menurut Ilyas (1983)
ikan pada saat ditangkap dalam kondisi steril, namun ketika ikan sudah mati
beberapa mikroba yang terpusat pada lendir kulit, insang dan isi perut akan
menyebar ke seluruh tubuh ikan sehingga terjadi pembusukan. Oleh karena itu,
sebaiknya dilakukan pembersihan insang dan isi perut sehingga kondisi ikan
menjadi bersih dan terjaga dari adanya kemungkinan proses pembusukan secara
internal.
Wadah besek yang biasa digunakan sebagai wadah perebusan sangat
berguna dalam menjaga kerusakan pindang saat direbus, namun seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa wadah ini dapat menjadi salah satu penyebab
kontaminasi. Terdapat kemungkinan adanya bakteri psikrofilik pada wadah
bambu tersebut dan tidak mati pada saaat perebusan. Bakteri psikrofilik biasanya
dapat hidup hingga suhu 75 C (Tampubolon 2008), sehingga pada saat perebusan
kemungkinan bakteri ini hanya ternonaktifkan saja dan dapat aktif kembali saat
suhu pindang mencapai kondisi maksimum pertumbuhan. Proses pengolahan
pindang secara tradisional biasanya menggunakan wadah ini sebagai kemasan
distribusi. Kondisi ini membuat kerusakan fisik pindang saat distribusi menjadi
tinggi dilihat dari cara pendistribusian pindang seperti pada Gambar 4 dengan
kemungkinan adanya kontaminasi mikroba (Ariyani et al. 2010).

Gambar 4 Kondisi pendistribusian pindang yang dilakukan oleh pengolah pindang
tradisional
Kemungkinan terjadinya kerusakan dan kontaminasi pertumbuhan mikroba
ini dapat diatasi dengan pengemasan plastik vakum. Plastik vakum yang
digunakan berwarna bening dan transparan dengan komponen pembentuk nilon 6
dan PET. Kelebihan plastik vakum ini antara lain, inert, tidak berbau dan berasa

8
sehingga aman. Plastik vakum ini juga tahan terhadap suhu ekstrim (-70-100 C),
tidak terjadi kontak antara produk dengan udara sehingga membuat produk yang
dikemas tahan lama. Kekuatan elongisitas plastik vakum juga baik sehingga tidak
mudah rusak saat penyimpanan. Kekuatan tarik sebesar 5 800 psi dengan nilai
melting poit 216 C. Titik leleh ini erat kaitannya dengan nilai karbon pada nilon.
Semakin besar atom karbon, semakin kecil amida, titik lelehnya pun semakin
rendah (Mujiarto 2005). Kelebihan tersebut membuat kemasan ini aman karena
tidak menyebabkan migrasi plastik ke produk. Selain kemasan primer, kemasan
sekunder juga dibutuhkan untuk mempermudah handling saat pendistribusian
produk. Kemasan sekunder yang sesuai yaitu corrugated paper dengan tipe RSC
(regular slotted container) no 0201. Kemasan sekunder ini memiliki kekuatan dan
ukuran yang sesuai untuk pendistribusian produk berbahan ikan dengan harga
yang relatif terjangkau.
Pengembangan Produk dan Kemasan
Berdasarkan hasil pemindangan yang telah dilakukan menggunakan cara
perbaikan tersebut diperoleh hasil karakteristik pindang seperti pada Tabel 2.
Kualitas pindang diuji cemaran mikroba berupa angka lempeng total (ALT), E.
coli dan Salmonella. Pengujian angka lempeng total diperoleh 92 x 103 koloni/g
dimana jumlah ini berada dibawah standar yang ditetapkan oleh SNI 2717.1:2009
yakni sebesar 5  105 koloni/g. Bahan baku yang digunakan tidak mengandung E.
coli maupun Salmonella yang merupakan bakteri penyebab penyakit dan
mengindikasikan penanganan dan pengolahan yang buruk. Nilai kadar garam
pindang sebesar 0.58 % fraksi massa (basis basah) dan kadar air sebesar 66 %
fraksi massa yang melebihi standar SNI 2717.1:2009 yakni dibawah 60 %.
Tabel 2 Syarat mutu produk pindang berdasarkan Standar Nasional Indonesia
2717.1:2009 tentang pindang
Jenis Uji
a. Organoleptik
Nilai minimum
b. Cemaran mikroba
Angka Lempeng Total
E. coli
Salmonella
c. Kimia
Kadar air
Garam

Satuan

Persyaratan
Mutu

Hasil
Pengujian

Angka (1-9)

7

7.6

Koloni/g
APM/g
APM/25g

5  105