AKAL DAN WAHYU DALAM PANDANGAN IBNU RUSYD DAN IBN TAIMIYYAH

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

AKAL DAN WAHYU
DALAM PANDANGAN IBNU RUSYD
DAN IBN TAIMIYYAH
Hamid Fahmi Zarkasy
Institut Studi Islam Darussalam
Pondok Modern Gontor Ponorogo

Abstract
The relation problem of thinking and message is very interesting topic for
debating among Mutakallimun and Muslim philosophers dealing with their own
tendency. Among them, there is rational extreme; therefore, the truth barometer is
in thinking ability, on the contrary, there is traditional extreme which refused that
thinking is as the only resources of religion. This writing will study the effort of
integrity for both of the extremes that had mentioned above. By observing the effort
of two greatest thinkers in Islam History those are; Ibnu Rusyd and Ibnu
Taimiyyah.
The effort of Ibnu Rusyd for connecting between thinking and message is
very systematic, but the meaning limitation of thinking on the ability to think
demonstrative that only owned by philosophers invited varied questions. He seems

outrageous in valuing the thinking ability and demonstration method, but he didn’t
carry out ta’wil without based on Al Burhan in discussing the philosophy issues. He
gave more authority to the philosophers for interpreting the message than the other.
He has preferred thinking than message and this can be decreased the absolutely of
the message.
Ibnu Tamiyyah has the contrary view, mainly by giving priority to message
but didn’t ignore thinking at all. The rightly thinking will never cross over with the
message. Thinking for Ibnu Tamiyyah has not got independence status as Ibnu Rusyd
view.
Key Words: ittishal, muwafaqat, al-burhan, dar’al-ta’arudh

18

Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran Islam
persoalan hubungan antara akal dan
wahyu merupakan issu yang selalu


hangat diperdebatkan oleh mutakallimun dan filosof.1 Issu ini menjadi
penting karena ia memiliki kaitan
dengan argumentasi-argumentasi
mereka dalam pembahasan tentang

1

Pembahasan tentang problem akal dan wahyu dalam Islam dibahas oleh A.J. Arberry,
dalam bukunya Revelation and Reason in Islam, George Allen & Unwin Ltd, London, 1965. Artikel
tentang sejarah singkat ditulis oleh A.S. Tritton, dalam “Reason and Revelation”, dalam Arabic
and Islamic Studies in Honor of Hamilton Gibb, ed. by George Makdisi, Leiden, A.J.Brill, 1965, 619630. Pnejelasan singkat tenang aspek mistikalnya dihuraikan oleh D.B. MacDonald, “The
Doctrine of Revelation in Islam” Muslim World, vol. VII, January, 1977, no.2, 113-117.

19

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

konsep Tuhan, konsep Ilmu Ilmu,
konsep etika dan lain sebagainya. 2
Mereka berorientasi pada usaha untuk membuktikan kesesuaian atau

hubu-ngan antara akal dan wahyu.3
Dalam konteks ini konsep akal, wahyu dan ta’wil menjadi topik yang penting. Filosof Muslim terpenting yang
berusaha membuktikan hubungan
antara akal dan wahyu adalah Ibn
Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198)
penulis buku Fasl al-Maqal dan Ibn
Taymiyyah 662/ 1263 – 728/1328
A.H. penulis buku Dar’ Ta’arud al-‘aql
wa al-naql (sebelumnya diberi judul
muwafaqat sarih al-ma’qul ‘ala sahih almanqul). Yang pertama mencoba
menjelaskan “hubungan” sedang
yang kedua berusaha menghindarkan pertentangan atau menjelaskan
“kesesuaian”. Akan tetapi Arberry
2

menganggap karya Ibn Rushd itu
sebagai percobaan terakhir untuk
membuktikan hubungan antara akal
dan wahyu, sedangkan Ibn Taymiyyah digambarkan sebagai orang
yang menghentikan percobaan ini. 4

Sejatinya keduanya berasumsi sama
bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan
latar belakang pemikiran mereka
tidak sama 5 kesimpulan yang mereka
hasilkan berbeda .

Prinsip hubungan Ibn Rushd
Dalam membahas masalah akal
dan wahyu Ibn Rushd menggunakan
prinsip hubungan (ittisal) yang dalam
argumentasi-argumentasinya
mencoba mencari hubungan antara
agama dan falsafah. Argumentasi-

Untuk pembahasan masalah etika lihat George F Hourani, Reason and Tradition in
Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985; Untuk perdebatan teologis
tentang akal dan wahyu antara al-Zamakhshari dan al-Baydawi lihat Lutpi Ibrahim,
“The Relation of Reason and Revelation in the Theology of al-Zamakhshari and alBaydawi”, Islamic Culture, Heyderabad- India, vol. LIV No.2, April 1980, 63-74.
3
Lebih detail tentang sejarah singkat usaha-usaha penyesuaian ini lihat A.J.Arberry,

Revelation and Reason in Islam.
4
Ibid, 69
5
Ibn Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan
bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik
yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian
Ibn Taymiyyah difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam
pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan filsafat seperti yang
nampak dalam amalan-amalan bid’ah di masyarakat Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic
Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989, 12. Ibn Taymiyyah,
“Haqiqat Madhhab al-Ittihadiyyah” dalam Majmu‘at al-Fatawa, Cairo, Matba ‘ah alHukumah, 1966, 175.

20

Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

argumentasinya adalah dengan:
Pertama, menentukan kedudukan
hukum belajar falsafah. Menurutnya

belajar falsafah adalah belajar ilmu
tentang Tuhan, yaitu kegiatan filosofis yang mengkaji dan memikirkan
segala sesuatu yang wujud (almawjudat) yang merupakan pertanda
adanya Pencipta (Sani‘), karena almawjudat adalah produk dari ciptaan.
Lebih sempurna ilmu kita tentang
hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat)
lebih sempurna pula ilmu kita
tentang Tuhan. Karena wahyu (shar‘)
mendorong aktivitas bertafakkur
tentang al-mawjudat ini, maka belajar
falsafah diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu. 6 Kedua membuat
justifikasi bahwa kebenaran yang
diperoleh dari demonstrasi (al-burhan)
sesuai dengan kebenaran yang
diperoleh dari wahyu. Disini ia berargumentasi bahwa di dalam alQur’an terdapat banyak ayat-ayat
yang memerintahkan kita untuk
menggunakan akal (nazar) untuk memahami segala yang wujud.7 Karena
nazar ini tidak lain daripada proses
berfikir yang menggunakan metode
logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka

metode yang terbaik adalah metode

demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama
seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas
al-fiqhi), yang digunakan untuk
menyimpulkan ketentuan hukum,
metode demonstrasi (qiyas al-burhan)
digunakan untuk mamahami segala
yang wujud (al-mawjudat),8 Hasil dari
proses berfikir demonstratif ini adalah
kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran wahyu,
karena kebenaran tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran. 9
Kedua thesis diatas merupakan asas
bagi kesimpulan Ibn Rushd selanjutnya yang menyatakan bahwa para
filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Qur’an.
Bagaimanapun thesis diatas
masih menyimpan satu pertanyaan:
apakah kebenaran yang diperoleh
akal tidak akan bertentangan dengan

kebenaran wahyu? Jawaban pertanyaan ini tidak dinyatakan secara
jelas, akan tetapi dapat difahami dari
teori Ibn Rushd tentang kemampuan
akal dalam memahami wahyu, dan
tentang wahyu yang diklassifikasikan
kedalam makna.
Berasaskan pada kemampuan
akal manusia, Ibn Rushd membagi
masyarakat kedalam tiga kelompok:

6

Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Immarah, 1
The verses are al-Hashr 2; al-A’raf 184; al-ghashiyah 16-17
8
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 28-29.
9
Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 31
7


21

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

Pertama kelompok yang tidak dapat
menafsirkan al-Qur’an, Kedua, kelompok yang memiliki kemampuan menafsirkan secara dialektik dan ketiga
kelompok yang mampu menafsirkan
secara demonstratif yang disebut ahl alburhan .10 Akal dalam klassifikasi ini
difahami sebagai kemampuan untuk
berfikir dan memahami. Sedangkan
wahyu dibagi kedalam tiga bentuk
makna yang terkandung didalamnya
yaitu : 1) Teks yang maknanya dapat
difahami dengan tiga metode yang
berbeda (metode retorik, dialektik dan
demonstratif); 2) Teks yang mak-nanya
hanya dapat diketahui dengan metode
demonstrasi.11 Makna yang terkandung
dalam teks ini terdiri dari: a) makna
lahir, yaitu teks yang me-ngandungi

simbol-simbol (amthal ) yang dibuat
untuk menerangkan idea-idea yang
dimaksud.(

22

Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

mawjud “tidak disebutkan” dalam
wahyu dan dalam kasus yang lain
“disebutkan”. Jika tidak disebutkan
maka ia harus disimpulkan daripadanya, seperti qiyas dalam Fiqh. Jika
pengetahuan itu disebutkan dan
makna zahirnya bertentangan dengan hasil pemikiran demonstratif
maka diselesaikan dengan dua cara:14
Pertama dengan interpretasi secara
majazi (alegorik) atau kiasan makna
zahir itu sesuai dengan aturan-aturan
bahasa Arab yang berlaku, yaitu
“menterjemahkan arti sesuatu ekspresi dari yang bersifat metaforikal

kepada pengertian yang sesungguhnya.” 15
Kedua dengan mencari semua
makna zahir dalam al-Qur’an yang
sesuai dengan interpretasi alegorik
atau yang mendekati makna alegorik
itu. 16
Akan tetapi untuk menta’wilkan secara majazi makna ayat zahir
pada alternatif pertama Ibn Rushd
tidak hanya bersandar pada aturanaturan Bahasa Arab saja, ia juga me-

14
15

netapkan aturan berasaskan pada
kejelasan simbol dan benda yang disimbolkan untuk menentukan apakah sesuatu ayat zahir boleh dita’wilkan atau tidak. Jika makna zahir
sesuatu ayat adalah seperti arti yang
dimaksudkan (al-ma’na al-mawjud fi
nafsihi), ayat itu tidak perlu dita’wilkan. Jika zahir ayat-ayat itu adalah
simbol-simbol belaka dan bukan arti
yang sesungguhnya daripada zahirnya ayat-ayat itu harus dita’wilkan
sesuai dengan kesesuaian antara
simbol (al-mithal ) dengan benda yang
disimbolkan (al-mumaththal ).17 Jika
simbol dan benda yang disimbulkan
dapat mudah diketahui maka setiap
orang boleh menta’wilkannya. Tapi
jika simbol dan benda yang disimbolkan sulit diketahui atau jika simbolsimbol itu mudah diketahui tapi benda yang disimbolkan sulit untuk
diketahui atau jika benda yang disimbulkan dapat difahami dengan mudah tapi simbol-simbol ayat itu tidak
dapat begitu saja diketahui, maka
ayat-ayat ini hanya boleh dita’wilkan

G. Hourani, Averoes, 51.
definisi ta’wil sepenuhnya ialah:

23

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

oleh orang yang berilmu dan tidak
boleh diungkapkan kepada orang
awam kecuali dengan penjelasan
yang berbeda. 18 Disini Ibn Rushd
tidak menjelaskan lebih jauh tentang
standard pengetahuan al-mithal dan
al-mumaththal atau kreteria untuk
membenarkan kesahihan pengetahuan mereka tentang kedua hal itu.
Nampaknya asas yang digunakan Ibn Rushd dalam ta’wil adalah
Bahasa Arab yang merujuk kepada
kebiasaan (adat lisan al-‘Arab) dan
kejelasan simbol serta benda yang
disimbolkan, terutama adalah kemampuan akal memahami maknanya dengan menggunakan metode
demonstratif. Akan tetapi standard
bahasa Arab dengan simbol-simbol
itu tidak dikaitkan dengan bahasa
sebagai simbol suatu konsep yang
dijelaskan Nabi dan difahami oleh
para sahabat dan tabi’in. Demikian
pula proses ta’wil yang dijelaskan
seakan-akan menggambarkan bahwa
pengetahuan ahl al-burhan adalah
taken for granted, benar. Ini bermakna
bahwa kebenaran wahyu perlu dikaji
ulang dan tidak memberikan ruang
untuk menjelaskan proses bagaimana
seharusnya pengetahuan demonstrasi dikaji ulang. Pandangan ini
boleh difahami sebagai menda-

18

hulukan akal daripada wahyu, yaitu
pandangan yang bertentangan dengan pemikiran salaf, seperti alGhazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah
atau lainnya. Dengan membatasi
makna perkataan
berarti ia memberikan otoritas menta’wilkan makna batin al-Qur’an
kepada filosof, tanpa mempertimbangkan otoritas Nabi dan para
sahabat. Hal ini membahayakan
kemutlakan kebenaran wahyu, walhal pengetahuan para filosof tentang
realitas (wujud), yang diperolehi dari
metode demonstrasi belum dapat
dikatakan final. Dalam masalah doktrin ketuhanan atau konsep tentang
Tuhan, misalnya, falsafah Yunani
masih mengandung pertentangan
dan berbeda dari konsep dalam alQur’an. Jika Ibn Rushd membahas
lebih detail konsep akal tanpa membatasi pada metode demonstrasi
falsafah Yunani kesesuaian akal dan
wahyu dapat difahami lebih jelas.

Prinsip kesesuaian Ibn Taymiyyah
Prinsip “kesesuaian” Ibn Taymiyyah yang berarti tanpa pertentangan tercemin dari judul kitabnya
yang menggunakan perkataan

Ibn Rushd, “al-Kashf ‘an Manahij al-Adillah”, terjemahan George Hournai, dalam
Averoes, 78-79

24

Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

Muwafaqat dan Dar’ Ta’arud. Meskipun implikasi makna perkataan ini
hampir sama dengan perkataan ittisal
dalam pandangan Ibn Rushd, tapi
prinsip-prinsip yang digunakan berbeda, terutama dalam memahami
makna akal (’aql ) dan dalam menjabarkan wahyu (al-naql, al-sam’).
Prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah ini
dapat difahami dari komentar dan
jawabannya terhadap masalah yang
dibahas oleh filosof dan mutakallimun
khususnya Fakhr al-Din al-Razi,
yaitu : bagaimanakah penyelesaiannya jika terjadi “pertentangan antara
akal dan wahyu”.19
Dari kesemua pembahasan Ibn
Taymiyyah sekurang-kurangnya terdapat tiga prinsip utama yang dimaksud untuk menjawab masalah itu dan
membangun prinsip kesesuaian antara akal dan wahyu. Ketiga-tiga prinsip itu ialah sebagai berikut:
Pertama, bahwa rasional atau
tradisional bukanlah sifat yang boleh
menentukan sesuatu itu benar atau
salah, diterima atau ditolak. Ia hanyalah metode atau jalan untuk
mengetahui sesuatu. Jika sesuatu itu
berasal dari tradisi (al-sam’) semesti-

nya ia bersifat rasional, sifat tradisional tidak bertentangan dengan sifat
rasional. Shariah terkadang bersifat
tradisional dan terkadang rasional;
bersifat tradisional (sam’iyyan) jika ia
menetapkan dan menunjukkan sesuatu, dan bersifat rasional jika ia
memperingatkan dan menunjukkan
sesuatu hal. 20
Kedua, jika terjadi pertentangan
antara akal dan wahyu, maka prioritas diberikan kepada wahyu dan menolak akal. Akal tidak mungkin diberi
prioritas karena melalui akal kebenaran wahyu dibuktikan. Jika akal
diberi prioritas sedangkan akal itu
sendiri boleh berbuat salah, maka ia
tidak boleh menjadi alat untuk menentukan kebenaran, lagi pula disini
wahyu akan dianggap mengandung
kesalahan.21 Prinsip ini masih bersifat
umum dan tidak termasuk pertentangan antara pengetahuan tradisional (wahyu) dan rasional (akal).
Ketiga, jika pertentangan terjadi
antara proposisi akal dan wahyu
maka harus dikaji apakah proposisi
itu qat’i atau zanni. Jika kedua proposisi itu qat’i, maka tidak mungkin
terjadi pertentangan dan jika kedua

19

Ibn Sina dalam al-Risalah al-Adhawiyyah, al-Ghazzali dalam risalah Qanun al-Ta’wil
membahas masalah ini, tapi pembahasan Ibn Taymiyyah difokuskan pada Fakhr al-Din
al-Razi dalam kitabnya Asas al-Taqdis fi ‘ilm al-Kalam, dan al-Matalib al-‘Aliyah.
20
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.I,ed. M. Rishad Salim, Dar al-Kutub, Cairo,
1981,198.
21
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.I, 170-71.

25

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

proposisi itu zanni maka dipilih proposisi yang lebih pasti (rajih). Jika
proposisi yang dihasilkan akal lebih
pasti (qat’i), maka prioritas diberikan
kepada proposisi akal daripada
proposisi dari pengetahuan wahyu
(al-sam’i) dan sebaliknya. Tapi proposisi akal diutamakan bukan karena ia
berasal dari akal tapi karena sifat
qat’i-nya itu.22
Secara umum pandangan Ibn
Taymiyyah menolak prinsip akal
sebagai asas wahyu dan asas bagi
menentukan kesahihan wahyu yang
berarti mendahulukan akal daripada
wahyu. Alasannya, karena keberadaan wahyu berasal dari nabi (alsam’) dan bukan dari akal. Meskipun
kebenaran wahyu dapat diketahui
dengan pengetahuan akal, tapi
pengetahuan akal tidak dapat menetapkan adanya (thubut) wahyu. 23
Kesahihan wahyu tidak mungkin
bergantung pada pengetahuan yang
diperoleh akal, sebab sifat dapat
difahami atau diketahui oleh akal
bukanlah sifat lazim (sifah lazimah)
sesuatu benda. 24 Seandainya kebenaran wahyu itu tidak diketahui atau
dibuktikan oleh akal sekalipun ia
tetap memiliki sifat kebenaran, kare22

na itu kita tidak dapat menjadikan
semua pengetahuan akal sebagai
asas bagi wahyu atau dalil bagi
kebenarannya. Baginya, asas kesahihan wahyu adalah kebenaran Nabi
(sidq al-rasul ). Mendahulukan akal
berarti mengutamakan pendapat filosof, mutakallim atau sufi daripada
risalah Nabi,25 dan dapat mengakibatkan bid’ah dan kekufuran.
Meskipun demikitan, Ibn Taymiyyah sama sekali tidak merendahkan
makna akal jika akal difahami sebagai a) watak (gharizah) atau b) pengetahuan yang diperoleh dari akal (alma’rifa al-hasila bi-l-‘aql). Sebagai
gharizah akal menjadi syarat bagi
segala macam ilmu, apakah rasional
ataupun irrasional, dan dalam kedudukannya sebagai syarat, akal tidak
dapat bertentangan dengan wahyu.
Demikian pula sebagai pengetahuan
yang diperoleh dari gharizah tadi akal
difahami sebagai pengetahuan akal
yang jelas dan pasti kebenarannya
(‘aqli qat’i). Pada poin ini Ibn Taymiyyah tidak memberikan penjelasan
lebih detail atau contoh tentang apa
hakekat pengetahuan akal yang pasti
(‘aqli qat’i) itu. Mungkin maksudnya
adalah pengetahuan yang diperoleh

Dar’ Ta’arud, vol.I, 87.
Ibid, 88ff.
24
Ibid, 193. Cf. Naqd al-Mantiq, ed. by Muhammad Hamid al-Faqi, Cairo: Matba‘ah alSunnah al-Muhammadiyyag, 1951, 42-44.
25
Dar’ Ta’arud, vol.V, 320-322. Cf. Naqd al-Mantiq, 54.
23

26

Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

melalui fitrah, seperti yang ia jelaskan
dalam kitabnya Naqd al-Mantiq. 26
Tapi mungkin juga bermaksud

27

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

yang tidak terdapat dalam tradisi
(shari’ah, nusus wahyu dan sunnah).30
Untuk membedakan keduanya yang
diperlukan adalah pemahaman terhadap tradisi (al-sam’, al-sunnah) yang merujuk pada perkataan Nabi, Sahabah,
tabi‘un and tabi‘ al-tabi’in. Dari mereka
inilah otoritas memahami wahyu
bermula, sebab Nabi Muhammad SAW
adalah makhluk yang paling tahu
kebenaran (
) dan karena
itu ia adalah orang paling mampu
untuk menerangkan kebenaran.
(

28

Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

terdapat dalam Bahasa Arab dan
maksud al-shari’ serta tidak memahami dengan makna lain. 2) menjaga
agar maknanya sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh pembicara dalam
konteks lafaznya. 3) memperhatikan
ikatan-ikatan (quyud ) yang terdapat
dalam lafaz dan yang mengikat
maknanya, sebab perbedaan satu
lafaz dengan lafaz lain ditentukan
oleh ikatan yang menyertainya. Oleh
itu kita tidak boleh menta’wilkan
lafaz-lafaz al-Qur’an dengan sesuka
hati tanpa mengkaji maksud yang
sesungguhnya sesuai dengan konteks
masing-masing lafaz.35
Selanjutnya ia membagi ta’wil
menjadi dua: Pertama, ta’wil yang
berkaitan dengan perintah kepada
manusia untuk berbuat, disebut
dengan al-ta’wil al-talabi, yaitu ta’wil
tengang perintah dan larangan (alamr wa al-nahy). Disini Ibn Taymiyyah
menerima adanya kontradiksi antara
satu teks dengan yang lain, berkaitan
dengan teks-teks nasikh dan mansukh.
Kedua, ta’wil yang berkaitan dengan

apa-apa yang disampaikan Tuhan
(akhbar) tentang diriNya, tentang Hari
Akhir dan lain-lain yang benar belaka
sifatnya. Ta’wil dalam masalah yang
kedua ini hanya Allah saja yang
mengetahuinya, sedangkan manusia
hanya dapat mengetahui arti literal
teks itu, tapi tidak mengetahui ta’wil
atau realitas yang sesungguhnya. 36
Dalam masalah-masalah doktrin
(akhbar) ini Ibn Taymiyyah tidak
melihat adanya kontradiksi teks
wahyu seperti dalam al-ta’wil al-talabi,
kontradiksi itu wujud hanya dalam
akal orang yang memahami.37
Jelaslah bahwa Ibn Taymiyyah
dan Ibn Rushd berbeda dalam
memahami makna ta’wil. Bagi yang
pertama ta’wil sama dengan tafsir dan
menekankan pada kesesuaian zahir
lafaz dengan makna dan makna
dengan maksud al-shari’, sedangkan
yang kedua menekankan makna
ta’wil pada penjelasan makna sebenar
(haqiqi) dari makna majazi atau makna batin sesuatu teks. Perbedaan ini
dapat difahami lebih jelas melalui

33

(Proses) menta’birkan sesuatu sesuai dengan indikasi lafaz dan pengertian
zahirnya, yaitu mentafsirkan ucapan dan menjelaskan artinya.Dar’ Ta’arud, vol. I, 14.
34
Ibnrahim ‘Uqaili, Takamul al-Manhaj al-Ma’rifi ‘inda Ibn Taymiyyah, al-Ma’had alAlami li-l-Fikri al-Islami, 1981, 172-73. Dalam hal ini Ibn Taymiyyah mengkritik filosof
karena mereka menggunakan terminologi (lafaz) tanpa memperhatikan ikatan-ikatan
maknanya (quyud). istilah-istilah seperti ‘ashiq, ma’shuq, illah dan sebagainya bukanlah
istilah-istilah yang ada dalam shari’ah. Lihat Dar’ Ta’arud, I, 231.
35
Ibn Taymiyyah, “Muqaddimah fi al-Tafsir”, 255-257.
36
Dar’ Ta’arud, vol. I 206-207.
37
Ibid , vol. V,230ff.

29

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

pemahaman mereka dalam menta’wilkan ayat-ayat mutashabihat
(

30

Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

Taymiyyah tidak memiliki status
independen seperti pandangan Ibn
Rushd. Dan berbeda dari al-Razi akal
tidak dapat menjadi asas bagi wahyu,
tapi justru wahyu adalah asas bagi
akal. Karena ia tidak mengakui adanya pertentangan antara akal dan
wahyu maka ia melihat itu hanya
karena pengetahuan tentang wahyu
yang tidak jelas atau pengetahuan
akal yang salah. Untuk itu ia
memandang perlunya pengetahuan
tentang tradisi dan pendekatan
linguistik yang benar, dan inilah
esensi konsep ta’wil Ibn Taymiyyah.
Mungkin kesimpulan Abrahamov
benar bahwa dalam Islam reaksi
terhadap trend penggunaan akal
dapat di gambarkan sebagai berada

pada dua kutub: a) menolak secara
mutlak anggapan bahwa akal adalah
sumber pengetahuan agama dan b)
menerima akal sebagai satu-satunya
sumber ilmu pengetahuan.40 Tujuan
Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd
hakekatnya sama tapi posisi mereka
tidak sama, meskipun kedua-duanya
tidak berada pada salah satu kutub
secara ekstrim, tapi mereka memiliki
kecenderungan masing-masing pada
salah satunya. Akhirnya, dari pandangan kedua-dua pemikir ini kita
mengetahui bahwa konsep akal dan
konsep berfikir serta pengetahuan
yang benar dan tidak bertentangan
dengan wahyu masih merupakan
sesuatu poin yang perlu pembahasan
lebih detail.

Daftar Pustaka
A.J. Arberry, 1965. Revelation and Reason in Islam, George Allen & Unwin Ltd,
London.
A.S. Tritton. 1965. Arabic and Islamic Studies in Honor of Hamilton Gibb, ed. by
George Makdisi, Leiden, A.J.Brill.
Abrahamov, “Ibn Taymiyyah On the Agreement of Reason with Tradition”
dalam The Muslim World, vol. LXXXII, No. 3-4, 1992, 265.
al-Faqi, Muhammad Hamid (ed). 1951. Naqd al-Mantiq, Cairo: Matba‘ah alSunnah al-Muhammadiyyah.
40

Abrahamov, “Ibn Taymiyyah On ther Agreement” 256.

31

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

Bello, Iysa A. 1989. Medieval Islamic Controversy Between Philosophy and
Orthodoxy.Leiden, E.J.Brill,
D.B. MacDonald, “The Doctrine of Revelation in Islam” Muslim World, vol.
VII, January, 1977, no.2, 113-117.
G.Hourani, 1976. Averoes On the Harmony of Religion and Philosophy, London:
Luzac & Co.
Hourani, George F, 1985. Reason and Tradition in Islamic Ethic, Cambridge:
Cambridge University Press,
Ibn Rushd. 1960. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Cairo: al-Halabi,
third edition.
Ibn Taymiyyah, 1966.Majmu‘at al-Fatawa, Cairo: Matba ‘ah al-Hukumah.
____________. 1981. Dar’ Ta’arud, vol.I,ed. M. Rishad Salim, Cairo: Dar alKutub.
____________. 1993. al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin, ed. Rafiq al-‘Ajam, Beirut:
Dar al-Fikr al-Lubnani.
Ibnrahim ‘Uqaili, 1981. Takamul al-Manhaj al-Ma’rifi ‘inda Ibn Taymiyyah, alMa’had al-Alami li-l-Fikri al-Islami.

32