Berdasarkan pendapat tersebut maka menurut R. Wirjono Prodjodikoro yang memberikan batasan itikad baik menurut Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata dengan
istilah jujur di mana tidak hanya bermakna itikad baikkejujuran yang bersifat objektif melainkan juga itikad baikkejujuran yang bersifat subjektif.
162
Demikian bahwa pelaksanaan kontrak dengan itikad baik tidak hanya pada fase pelaksanaan kontrak tetapi juga mencakup keseluruhan proses kontrak.
Pelaksanaan kontrak dengan itikad baik ini menurut kepatutan dan kepantasan tidak hanya itikad baik yang bersifat objektif saja karena itikad baik yang bersifat objektif
harus sesuai dengan moral dan kesusilaan yang diakui khalayak umum dalam masyarakat. Di mana isi dari itikad baik, kepatutan, serta moral tidak universal
sehingga itikad baik dalam kontrak menurut kepatutan dan kepantasan hendaknya lebih menitikberatkan pada pembagian hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak
secara proporsional.
4. Unsur-Unsur Dalam Kontrak Bisnis
Pada hakekatnya unsur pokok dalam kontrak merupakan perwujuan dari pengaturan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1339 KUH Perdata.
163
162
R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: C.V. Mandar Maju, 2000, hal 107.
Maka, terjadinya suatu kontrak harus memenuhi unsur-unsur yang dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
163
Kartini Muljadi et al, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Op.cit, hal 84.
Universitas Sumatera Utara
a. Unsur Essensialia
Unsur essensialia merupakan sifat yang harus ada di dalam kontrak karena sifat ini yang menentukan atau menyebabkan kontrak itu tercipta.
164
Unsur essensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu kontrak di mana yang menjadi pembeda
antara kontrak yang satu dengan yang lain karena semua kontrak yang diatur dalam KUH Perdata mempunyai unsur essensialia dan karakteristik yang berbeda di mana
tanpa adanya unsur essensialia tersebut, maka kontrak yang dimaksudkan para pihak akan menjadi berbeda dengan kehendak para pihak.
165
b. Unsur Naturalia
Unsur naturalia adalah bagian kontrak yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.
166
Unsur naturalia ini merupakan sifat bawaan atau natur kontrak sehingga secara diam-diam melekat pada
kontrak.
167
Unsur naturalia pada umunya melekat pada kontrak dan diatur dalam undang-undang. Namun keberlakuan unsur tersebut dalam kontrak dapat
dikesampingkan oleh para pihak yang berkontrak melalu suatu kesepakatan yang tegas untuk mengesampingkan keberlakuannya.
168
164
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: PT Alumni, 2005, hal 25.
165
Kartini Muljadi et al, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Op.cit, hal 86.
166
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 70.
167
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Op.cit, hal 99.
168
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 115.
Universitas Sumatera Utara
c. Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah unsur yang pada dasarnya menggambarkan keterbukaan dari suatu kontrak dalam mewujudkan prinsip kebebasan berkontrak bagi
para pihak.
169
Unsur ini berbagi hal khusus yang dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Unsur ini adalah syarat yang tidak harus ada bergantung
pada keinginan para pihak, merasa perlu memuat atau tidak.
170
B. Kontrak Baku dan Perlindungan Konsumen 1. Pengertian, Penggolongan, dan Ciri-Ciri Kontrak Baku.
Dalam pustaka hukum ada beberapa istilah bahasa Inggris yang dipakai untuk kontrak baku yaitu “standardized agreement, standardized contract, pad
contract, standard contract, standardized mass contract, dan contract of adhesion”.
171
169
Ibid.
Menurut H.P. Panggabean, standard contracts dan adhesion contracts dibedakan secara tegas dalam hukum Amerika Serikat. Standard contract
menekankan pada pengkajian terhadap bentuk penyajian janji-janji kontrak, sedangkan adhesion contracts lebih menekankan pada kekuatan antara para pihak
170
I.G. Rai Widjaja, Merancang Suatu Kontrak: Contract Drafting dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Megapoin Kesaint Blanc, 2007, hal 120.
171
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hlm 74-75.
Universitas Sumatera Utara
pada saat pembuatan kontrak.
172
Maka menurut Sutan Remy Sjahdeini, kontrak baku adalah:
173
perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah warna,
tempat,waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain, yang dibakukan bukan formulir perjanjian
tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu, suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh akta notaris dengan klausul-klausul yang
hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah perjanjian baku.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, kontrak baku dapat digolongkan dalam 4 jenis yaitu:
174
a. Pertama, kontrak baku sepihak adalah kontrak yang ditentukan oleh pihak yang
kuat kedudukannya di dalam kontrak itu.pihak yang kuat di sini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak
debitur. b.
Kedua, kontrak baku timbal balik adalah kontrak baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak misalnya kontrak baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak kreditur
dan pihak lainnya yaitu debitur.kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi.
172
H.P. Panggabean, Praktik Standaard Contract Perjanjian Baku dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Op.cit, hal 97-98.
173
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 74.
174
Mariam Darus Badzulzaman, “Perjanjian Baku Standard, Perkembangannya di Indonesia”,di dalam Tan Kamello ed, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke
Masa: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU 1979-2001, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 20-21.
Universitas Sumatera Utara
c. Ketiga, kontrak baku yang ditetapkan pemerintah ialah kontrak baku yang isisnya
ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu misalnya kontrak-kontrak yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.
d. Keempat, kontrak baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah
kontrak-kontrak yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantun notaris atau advokat yang
bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebut contract model.
Adapun ciri-ciri kontrak baku adalah sebagai berikut:
175
a. Kontrak baku yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan untuk penawaran produk
atau jasa yang sama atas dasar kebiasaan dengan memberikan formulir yang sama untuk semua transaksi.
b. Kontrak baku dirancang lebih dahulu oleh pengacara untuk memanfaatkan waktu
sedapat mungkin untuk mengoptimalkan kontrak terutama yang berfokus pada kepentingan perusahaan.
c. Kontrak baku yang diberikan kepada konsumen adalah pre-printed document atau
dokumen pra-cetak termasuk beberapa klausul yang sering ditulis dalam cetakan kecil dan umumnya sulit dimengerti oleh konsumen bahkan ahli hukum.
175
Christina Maria Vogerl, Unfair Terms in Standard Form Contract: A Law Economics Analysis of Key Issues in the Implementation of Cosumer Directive on Unfair Terms, Hamburg:
Thesis, European Master Program in Law Economics University of Hamburg, 2007, hal 3-4.
Universitas Sumatera Utara
d. Perusahaan-perusahaan memberikan kontrak yang disebut take it or leave it basis
di mana konsumen sering mempunyai kesempatan yang sedikit untuk menegosiasikan penggabungan semua klausul-klausul khusus dalam kontrak baku.
e. Konsumen sering menghadapi situasi di mana mereka tidak mempunyai waktu
yang cukup untuk membaca dan juga tidak berharap untuk membacanya atau menerima kontrak baku setelah transaksi berlangsung.
f. Sebagian dari klausul-klausul pre-printed yang digolongkan sebagai “the breath of
the parties obligation to one another” yang terkait secara umum pada peristiwa di masa depan dan seringkali kemungkinan resiko relatif rendah. Klausul ini disebut
klausul pelaksanaan performance terms yang terbuka untuk negosiasi. Klausul ini terkait dengan barang seperti kualitas, jumlah, dan harga dari produk atau jasa.
Demikian, sesuai dengan pendapat Paulus J. Soepratignja bahwa pembuatan kontrak baku hanya dapat dilakukan jika muncul urgensi tanggapan atas kepentingan
pelaku usaha yaitu:
176
a. Menghadapi kegiatan transaksional dalam frekuensi tinggi;
b. Demi persaingan bisnis harus memberikan pelayanan secara efisien dan efektif
kepada konsumen; c.
Demi efisiensi pendistribusian hasil produksi, seluruh atau sebagian syarat-syarat dalam tiap transaksi harus telah dipersiapkan lebih dahulu secara tertulis agar
segera dapat diketahui oleh konsumen;
176
Paulus J. Soepratignja, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2007, hal 146.
Universitas Sumatera Utara
d. Mengimbangi tingginya frekuensi kegiatan transaksional sehingga harus
menyediakan naskah danatau persyaratan kontrak secara massal dan seragam untuk transaksi yang sama dengan tanpa memperlihatkan kondisi danatau
kebutuhan dari masing-masing konsumen. e.
Persyaratan kontrak secara massal dan seragam secara efektif harus dapat memberikan jaminan atas kekuatan dan kepastian hukum bagi pelaku usaha sendiri
serta bagi konsumen. Demikian dapat disimpulkan beberapa hal dari pembahasan kontrak baku.
Pertama, kontrak baku lebih ditujukan pada penyajian janji-janji kontrak yang berbeda dengan adhesion contract yang menekankan kekuatan posisi tawar para
pihak. Kedua, tidak semua jenis kontrak baku bersifat sepihak karena ada kontrak baku timbal balik, kontrak baku pemerintah, dan kontrak baku di lingkungan notaris.
Ketiga, kontrak baku hanya bisa digunakan untuk menghadapi frekuensi transaksi yang tinggi untuk efisiensi dan efektivitas kegiatan bisnis dalam menjamin kepastian
hukum bagi para pihak.
Universitas Sumatera Utara
2. Perlindungan Hukum Yang Setara Terhadap Bargaining Power Para Pihak Yang Tidak Seimbang Dalam Kontrak Baku.
Kontrak baku di dalam praktik tumbuh sebagai kontrak tertulis dalam bentuk formulir. Perbuatan-perbuatan hukum sejenis yang selalu terjadi secara berulang-
ulang dan teratur bisa melibatkan banyak orang atau pihak sehingga menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi kontrak terlebih dahulu, kemudian dibakukan
sehingga memudahkan setiap saat jika masyarakat membutuhkannya.
177
Hal ini dapat dilihat dari generalisasi Henry Maine dalam bukunya Ancient Law yang menjadi
sangat terkenal yaitu “the movement of the progressive societies has hithero been a movement from status to contract”.
178
Perubahan yang demikian memungkinkan para warga masyarakat di dalam organisasi kehidupannya yang kemudian menentukan
secara bebas posisi hak dan kewajibannya di hadapan warga-warga yang lain dengan memastikannya lewat kontrak-kontrak.
179
Hal ini sesuai dengan Pasal 1319 KUH Perdata yang menganut sistem terbuka di mana para pihak diperkenankan membuat kontrak-kontrak yang
dikehendaki selain yang sudah diatur dalam Buku III Perdata sepanjang memenuhi syarat keabsahan suatu kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata
dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Kebebasan para
177
Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk Tabungan dan Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa
Ini,Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995, hal 26.
178
Henry Sumner Maine, Ancient Law. Cheap Edition. London: John Murray Albemarle, 1908, hal 151.
179
Soetandyo Wignjosoebroto, Op.cit, hal 292.
Universitas Sumatera Utara
pihak untuk membuat kontrak selanjutnya dipertegas oleh ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang memuat asas kebebasan berkontrak yang bersifat universal.
180
Menurut Setiawan, semakin banyaknya kontrak baku menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak.
181
Menurut Duncan Kennedy:
182
“Industri bersifat publik di mana klausula-klausula kontrak yang dirancang oleh pelaku usaha dan ditawarkan didasarkan pada basis take it or leave it, pelaku usaha
adalah entitas yang lebih besar dari konsumen, pelaku usaha memiliki kekuatan monopoli di pasar yang relevan, komoditas dalam permintaan menjadi kebutuhan,
dan terdapat kelangkaan yang memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk mengeksploitasi konsumen”.
Konsep bargaining power sangat berguna untuk memahami pasar yang terdiri dari hanya ada jumlah pelaku usaha atau konsumen yang sedikit. Ini sesuai
logika untuk mengatakan bawah pelaku usaha yang bersifat monopoli mempunyai bargaining power lebih besar dari satu penjual yang berada diantara banyak penjual
dan ada ketidakseimbangan kekuatan inequality of power ketika penjual tunggal menghadapi banyak konsumen. dalam hal ini, tes kesetaraan adalah mengenai adanya
kesetaraan derajat dari persaingan pada masing-masing pihak dari suatu transaksi. Selain itu, pengetahuan yang dibutuhkan untuk merancang kontrak dan praktek dari
180
Lastuti Abubakar, Op.cit, hal 84.
181
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung: PT Alumni, 2008, hal 179-180.
182
Duncan Kennedy, “Distributive And Paternalist Motives In Contract And Tort Law, With Special Reference To Compulsory Terms And Unequal Bargaining Power”, Maryland Law Review,
Vol. 41 No. 4 1982, hal 616.
Universitas Sumatera Utara
pemaksaan klausula-klausula take it or leave it memberikan kekuatan bagi pelaku usaha untuk mendikte konsumen.
183
Hal ini sesuai dengan pendapat Phillip Nonet dan Phillip Selznick bahwa, “kebebasan berkontrak memperkuat persamaan tapi bersamaan dengan itu juga
meletakkan dasar bagi hubungan subordinasi yang tidak diatur”. Philippe Nonet dan Philip Selznick juga menambahkan dengan mengutip pendapat Karl Renner yang
menyatakan, “kontrak merupakan kontrol terhadap kepemilikan dalam hukum yang bersifat memaksa dan kekuasaan yang mutlak oleh manusia untuk mengontrol
manusia lainnya”.
184
Ini juga sesuai dengan pendapat Lawrence Friedman bahwa, “sebagian dari kita telah melihat gejala dari kontrak kembali ke status di mana
sebenarnya abad setelah masa Henry Maine nyaris tidak bergerak menuju arah kontrak bebas”.
185
Dari segi efisiensi waktu, biaya dan tenaga memang dapat diandalkan terlebih lagi dalam sistem ekonomi dan komunikasi serba cepat yang membuat para
pihak harus bergerak secepat mungkin dan seefisien mungkin. Namun di sisi lain, bentuk kontrak seperti ini tentu saja menempatkan pihak yang tidak ikut membuat
klausul-klausul dalam kontrak itu sebagai pihak baik yang langsung maupun tidak langsung sebagai pihak yang dirugikan yakni di satu sisi ia sebagai salah satu pihak
dalam kontrak itu memiliki hak untuk memperoleh kedudukan seimbang dalam
183
Ibid, hal 616-617.
184
Philippe Nonet Philip Selznick, Hukum Responsif. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010, hlm 50.
185
Lawrence Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh M. Khozim. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2009, hal 373.
Universitas Sumatera Utara
menjalankan kontrak tersebut, tetapi di sisi lain ia harus menurut terhadap isi kontrak yang disodorkan kepadanya.
186
Mempertimbangan hubungan kontrak yang akan dilakukan oleh perusahaan- perusahaan yang berbasis konsumen dengan ribuan ataupun bahkan jutaan
konsumennya ataupun nasabahnya mempunyai objek kesepakatan yang sama dan juga dengan pertimbangan efisiensi serta kemudahan pelayanan bagi kepentingan
perusahaan tersebut dan para nasabah serta keyakinan bahwa draft tersebut secara umum telah dapat mewakili kepentingan dari pelaku usaha dan para nasabah ataupun
konsumennya secara seimbang juga dengan pertimbangan bahwa draft-draft kontrak tersebut pada umumnya masih merupakan rancangan yang terbuka untuk
dinegoasiasikan, maka umumnya rancangan-rancangan kontrak seperti itu disediakan dalam bentuk yang telah dicetak printed draft.
Selain itu, tidak mungkin perusahaan misalnya perusahaan perbankan, perusahaan asuransi dan perusahaan leasing harus merancang kontrak dari awal
bersama-sama dengan masing-masing nasabah atau konsumen yang berjumlah ratusan atau ribuan bahkan jutaan calon mitra berkontraknya. Sulit untuk
membayangkan suatu bank yang menyalurkan kredit ke ratusan ribu bahkan jutaan nasabahnya, harus secara konvensional melakukan rangkaian proses perancangan
kontrak dari tahap awal terhadap masing-masing calon debiturnya serta proses-proses negosiasi penyempurnaan hingga pada tahap kesepakatan bersama sebelum perjanjian
186
Sriwati, “Perlindungan Hukum Bagi Para pihak dalam Perjanjian Baku”, Jurnal Yustika, Vol. 3 No. 2 2000, hal 176.
Universitas Sumatera Utara
kredit ditandatangani oleh kedua belah pihak yang begitu rumit dan panjang, maka akan sangat membutuhkan waktu yang lama sehingga akan mengganggu aktivitas
bank tetapi juga aktivitas calon debitur.
187
Maka ini sesuai dengan pendapat Max Weber bahwa perusahaan-perusahaan kapitalisme modern sangat bergantung pada prediksi.
188
Max Weber berpendapat bahwa kapitalisme tidak hanya membutuhkan teknik-teknik produksi, tetapi juga
membutuhkan sistem hukum yang dapat diprediksi.
189
Di satu sisi penggunaan kontrak baku memberikan keuntungan yaitu:
190
a. Biaya persiapan dari suatu kesepakatan lebih rendah berdasarkan fakta
bahwa tidak ada negosiasi antara para pihak; b.
Kontrak baku ini mengurangi biaya-biaya dengan pembatasan kebutuhan akan bantuan hukum.
c. Para pihak dalam kontrak baku mencapai tujuan ekonomi karena kontrak
baku menghemat waktu dan biaya baik untuk kosumen maupun perusahaan. d.
Kontrak baku memberikan peluang bagi manajemen perusahaan untuk membatasi resiko mereka.
e. Kontrak baku memberikan peluang bagi manajemen senior perusahaan
untuk mengendalikan perancangan-perancangan kontraktual yang dilakukan oleh staf yang bersifat subordinatif tanpa upaya apa pun.
Namun di sisi lain, kelemahan pokok dari kontrak baku ini karena kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula
dalam kontrak yang bersangkutan, sehingga kontrak baku sangat berpotensi untuk
187
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 178-179.
188
M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction Jurisprudence. 8th Edition. London: Sweet Maxwell, 2008, hal 841.
189
Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Diterjemahkan oleh Yusup Priyasidiarja. Yogyakarta: Jejak, 2007, hal 32.
190
Christelle Kok, The Effect of The Consumer Protection Act on Exemption Clauses in Standardised Contracts, Pretoria:Dissertation, Univeristy of Pretoria, 2010, hal 16.
Universitas Sumatera Utara
menjadi klausula yang berat sebelah. Adapun faktor-faktor yang membuat para pihak dalam kontrak baku tidak seimbang yaitu:
191
a. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak
untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya disodorkan kontrak tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi kontrak
tersebut, apalagi ada kontrak yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat kecil;
b. Karena penyusunan kontrak yang sepihak, maka pihak penyedia dokumen
biaanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah
berkonsultasi dengan para ahli atau dokumen tersebut justru dibuat oleh para ahli. Sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan dokumen tidak banyak
kesempatan dan seringkali tidak familiar dengan klausula-klausula tersebut;
c. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku menempati kedudukan yang
sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap “take it or leave it”.
Dalam praktek, klausula-klausula yang berat sebelah dalam kontrak baku tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut:
192
a. Dicetak dengan huruf kecil;
b. Bahasa yang kurang jelas dan susah dibaca;
c. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca;
d. Kalimat kompleks;
e. Bahkan ada kontrak baku yang tidak berwujud seperti kontrak tersamar;
f. Jika kalimat ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak
dibacakan oleh satu pihak.
Namun dalam kenyatannya menurut Sutan Remy Sjahdeini, tidak selamanya konsumen berada dalam pihak yang lemah karena dalam hal bank berhadapan dengan
pengusaha-pengusaha golongan konglomerat sebagai nasabah debitur, bank justru berada dalam kedudukan yang lemah karena jumlah pengusaha golongan
191
Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, Op.cit, hal 134.
192
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
konglomerat tidak banyak sehingga menjadi objek persaingan antar bank. Agar bank tidak kehilangan nasabah-nasabah golongan konglomerat yang besar sumbangannya
terhadap profitabilitas bank maka bank sering bersikap mengalah terhadap tuntutan- tuntutan atau persyaratan yang diminta oleh mereka.
193
Menurut Duncan Kennedy, barang merupakan kebutuhan seperti makanan tetapi bukan berarti pelaku usaha mempunyai kekuatan yang lebih besar dari pelaku
usaha barang lainnya untuk mendikte harga atau klausula seperti kapal mewah. Jika ada banyak pelaku usaha dari suatu kebutuhan, tidak ada satu pun dari mereka dapat
membebankan lebih dari harga dan persyaratan tanpa kehilangan semua pembelinya. Jika ada beberapa penjual barang mewah, mereka mempunyai kekuatan yang
substansial untuk menetapkan harga dan persyaratan, walaupun tidak ada satu pun orang secara materi menjadi lebih buruk apabila industri berhenti melakukan
transaksi bisnis sama sekali. Duncan Kennedy juga menambahkan bahwa barang adalah kebutuhan bukan berarti pembeli karena kebutuhannya akan membiarkan
kenakan harga yang lebih tinggi tanpa mengurangi permintaan dari yang mereka akan biarkan dalam kasus barang mewah. Seseorang bisa terus menikmati kebutuhan-
kebutuhan yang paling utama khususnya makanan dan perumahan, lama setelah seseorang telah melewati tahap di mana dia perlu.
Harga dari sayur-sayuran mungkin ditentukan pada marjin bukan oleh pembeli yang harus membeli pada harga berapa pun atau dalam keadaan kelaparan,
193
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 213.
Universitas Sumatera Utara
tetapi oleh mereka yang memutuskan antara yang berkelebihanmengalami kejenuhan dan yang rakus absolut. Mereka akan mencapai kejenuhankelebihan belaka jika
harga terlalu tinggi. Di mana pembeli yang marginal adalah miskin, itu mungkin secara khusus sulit bagi penguasa pasar untuk menaikkan biaya dengan menaikkan
harga yang dibebankan pada pembeli, karena pembeli miskin yang marginal akan mengurangi konsumsi mereka ketika harga naik.
194
Melihat kelemahan kontrak baku maka menurut Mo Zhang, negara-negara telah menyadari kontrak baku sering disalahgunakan oleh pihak yang berposisi tawar
lebih kuat di pasar, maka banyak negara telah mengadopsi hukum atau aturan untuk memelihara penggunaan kontrak baku yang fair.
195
Inosentius Samsul sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie memandang intervensi pemerintah terhadap hubungan
antara produsen dan konsumen ditunjukkan dalam bentuk regulasi di bidang perlindungan konsumen.
196
Di mana dalam perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999.
197
194
Duncan Kennedy, Op.cit, hal 618-619.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan ketentuan khusus lex specialis
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
195
Mo Zhang, Chinese Contract Law: Theory and Practice, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2006, hal 130-140.
196
Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011, hal 217.
197
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT Grasindo, 2006, hal 52.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Dedi Harianto, sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generali maka ketentuan di luar Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau tidak
bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini termuat dalam Pasal 64 Bab XIV Ketentuan Peralihan yang
menegaskan, “segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan tetap
berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus danatau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.
198
Dengan demikian, perkembangan kontrak baku tidak cukup hanya berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam sistem terbuka Buku III KUH Perdata
saja. Hal ini dikarenakan dalam praktek, asas kebebasan berkontrak dalam sistem terbuka Buku III KUH Perdata telah menimbulkan posisi tawar bargaining position
para pihak yang tidak seimbang baik pengusaha maupun konsumen. Oleh karena itu, campur tangan pemerintah diperlukan untuk menyeimbangkan posisi tawar
bargaining position para pihak melalui undang-undang.
198
Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan yang Menyesatkan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 55.
Universitas Sumatera Utara
3. Larangan Terhadap Klausula Baku.