Preservasi Jaringan Tanaman, Deteksi Dan Identifikasi Fitoplasma Pada Kacang Tanah Bergejala Sapu Dengan Teknik Nested Pcr
PRESERVASI JARINGAN TANAMAN, DETEKSI
DAN IDENTIFIKASI FITOPLASMA PADA KACANG TANAH
BERGEJALA SAPU DENGAN TEKNIK NESTED-PCR
SISKA IRHAMNAWATI PULOGU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Preservasi Jaringan
Tanaman, Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma pada Kacang Tanah
Bergejala Sapu dengan Teknik Nested-PCR adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2017
Siska Irhamnawati Pulogu
A352130221
RINGKASAN
SISKA IRHAMNAWATI PULOGU. Preservasi Jaringan Tanaman, Deteksi dan
Identifikasi Fitoplasma pada Kacang Tanah Bergejala Sapu dengan Teknik
Nested-PCR. Dibimbing oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan GIYANTO.
Fitoplasma adalah bakteri tanpa dinding sel yang menginfeksi jaringan
floem tanaman. Penyakit sapu tanaman kacang tanah yang disebabkan oleh
fitoplasma umum ditemukan di Indonesia. Deteksi fitoplasma pada tanaman
masih cukup sulit dilakukan dengan pendekatan konvensional karena patogen ini
bersifat obligat dan seringkali terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah.
Teknik molekuler telah banyak digunakan dalam penelitian fitoplasma untuk
mengatasi beberapa kendala ketika menggunakan metode konvensional.
Polymerase chain reaction (PCR) adalah metode yang handal untuk mendeteksi
fitoplasma pada tanaman inang. Namun berbagai faktor dapat mempengaruhi
deteksi fitoplasma dengan metode PCR, termasuk penyediaan tanaman segar.
Pengiriman contoh tanaman dalam waktu lama di perjalanan maupun
penyimpanan yang tidak tepat di laboratorium dapat mengakibatkan munculnya
senyawa-senyawa yang dapat menghambat amplifikasi DNA target. Penelitian ini
bertujuan menentukan aspek lama, suhu, dan media penyimpanan yang optimal
untuk jaringan tanaman kacang tanah terinfeksi fitoplasma, mengevaluasi
amplifikasi DNA yang optimal dalam deteksi fitoplasma menggunakan nestedPCR, dan identifikasi fitoplasma berdasarkan analisis nukleotida gen 16S rRNA.
Penyimpanan contoh tanaman kacang tanah bergejala sapu pada suhu dan
media berbeda dalam periode waktu 4 minggu menunjukkan hasil yang bervariasi.
Penyimpanan contoh selama 4 minggu pada suhu -20 ºC dan suhu 4 ºC hingga
minggu ke-3 tidak mengalami perubahan bentuk dan sedikit terjadi perubahan
warna contoh jaringan tanaman. Penyimpanan contoh pada suhu 25 ºC dalam
bufer CTAB selama 4 minggu tidak mengalami perubahan bentuk maupun warna.
Contoh yang tetap segar sebagai bahan untuk ekstraksi DNA total menggunakan
metode CTAB menghasilkan DNA pada kualitas dan kuantitas DNA yang
memadai berdasarkan pengukuran absorbansi dengan nanodrop spektrofotometer.
Sementara itu, jaringan yang disimpan menggunakan FTA-card menghasilkan
DNA dengan konsentrasi yang sangat tinggi dibandingkan hasil metode ekstraksi
tersebut, namun dengan kualitas kemurnian yang rendah.
DNA total hasil ekstraksi dari penyimpanan jaringan pada berbagai
kondisi dan DNA dari penyimpanan dengan FTA-card ketika dijadikan template
dalam PCR standar menggunakan pasangan primer P1/P7 menunjukkan bahwa
tidak semua DNA fitoplasma terdeteksi positif. Namun, pengujian selanjutnya
amplikon-amplikon PCR dengan primer P1/P7 tersebut sebagai template untuk
nested-PCR menggunakan fU5/rU3 mampu meningkatkan detektabilitas
fitoplasma yang berasal dari penyimpanan contoh pada berbagai kondisi dengan
memberikan hasil positif dari contoh yang negatif pada PCR standar. Analisis
nukleotida parsial gen 16S rRNA fitoplasma produk PCR standar berukuran
sekitar ±850 pb dengan menggunakan PCR standar menunjukkan homologi
dengan persentase tertinggi senilai 96% dengan beberapa strain yang data
nukleotidanya tersimpan di GenBank NCBI. Beberapa strain fitoplasma yang
terdekat adalah Sweet potato little leaf dan Peanut witches' broom phytoplasma.
Cara penyimpanan jaringan tanaman yang terinfeksi fitoplasma yang
optimum untuk mempertahankan kuantitas dan kualitas asam nukleat yang
diekstraksi dapat dimanfaatkan dalam kegiatan penelitian dan maupun terapan
yang melibatkan metode deteksi dan identifikasi menggunakan metode molekuler
untuk patogen tumbuhan lain.
Kata kunci: 16S rRNA, DNA total, FTA-card, CTAB, suhu penyimpanan.
SUMMARY
SISKA IRHAMNAWATI PULOGU. Preservation of Plant Tissue, Detection and
Identification of Peanut Witches’ Broom Phytoplasma with Nested-PCR
Technique. Supervised by KIKIN HAMZAH MUTAQIN and GIYANTO.
Phytoplasma is wall-less bacteria inhabiting phloem sieve elements of
infected plants. Witches’ broom of peanut plant caused by phytoplasma is
commonly found in Indonesia. Phytoplasma is quite difficult to detect directly
with conventional methods from infected plant since the pathogen is unculturable
and present in very low concentration within limited tissue of plant. Molecular
techniques have been used for phytoplasma research to overcome some
constraints when conventional methods are used. Polymerase chain reaction
(PCR) is a reliable method to detect phytoplasmas on host plants. However,
various factors can affect the detection of phytoplasmas using PCR method,
including the freshness of plant tissue assayed for obtaining pathogen’s DNA.
Transportation of plant samples for a long time or improper storage in the
laboratory can result in the emergence of compounds that can inhibit the
amplification of the target DNA. This research was to determine optimal aspects
of plant tissue preservation including storage time, temperature, and media for
peanut plants infected with phytoplasma, to evaluate the optimal DNA
amplification using nested-PCR for detecting phytoplasma, and identification of
phytoplasma based on its 16S rRNA gene nucleotide analysis.
Storage of peanut witches broom plant samples at different temperature
and media within a period of 4 weeks showed variation of results. Sample storage
for 4 weeks at -20 ºC and a temperature of 4 ºC until the 3rd week did not change
the tissue shape and resulted in little color change. Samples stored at temperature
of 25 ºC in CTAB buffer for 4 weeks did not change the shape or color. Sample
which remained fresh used as material for total DNA extraction using the CTAB
method produced DNA at adequate quality and quantity based on the absorbance
measurements using nanodrop spectrophotometer. Storage tissue using the FTAcards produced DNA concentrations at considerably higher compared to that of
extraction method, but with lower quality.
The total DNA extraction of tissue storage at various conditions and DNA
from FTA-card when then used as a template in a standard PCR using primers
P1/P7 resulted in that not all of DNA phytoplasmas were detected positively.
Further testing of PCR amplicon with primers P1/P7 as template for subsequent
nested-PCR employing fU5/rU3 primer pair was able to increase the detectability
of phytoplasmas derived from sample storage at various conditions by providing
positive results from those negative example in previous standard PCR.
Homology analysis of about ±850 bp nucleotides of phytoplasma partial 16S
rRNA gene produced by standard PCR showed highest similarities at 96% to
some phytoplasma strains in which their nucleotide data deposited in GenBank
NCBI. Those strains included Sweet potato little leaf and Peanut witches' broom
phytoplasma.
Optimum preservation method for plant tissue infected with phytoplasma
to maintain good quality and quantity of extracted nucleic acid may be useful for
research or application field which involving molecular detection and
identification for other plant pathogens in addition to phytoplasma.
.
Keywords: 16S rRNA, CTAB, FTA-card, storage temperature, total DNA.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRESERVASI JARINGAN TANAMAN, DETEKSI
DAN IDENTIFIKASI FITOPLASMA PADA KACANG TANAH
BERGEJALA SAPU DENGAN TEKNIK NESTED-PCR
SISKA IRHAMNAWATI PULOGU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil
diselesaikan. Penelitian dengan judul “Preservasi Jaringan Tanaman, Deteksi dan
Identifikasi Fitoplasma pada Kacang Tanah Bergejala Sapu dengan Teknik
Nested-PCR” telah dilaksanakan dari bulan Mei 2015 sampai Mei 2016.
Penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr Ir
Kikin Hamzah Mutaqin, MSi dan Dr Ir Giyanto, MSi selaku Komisi Pembimbing
serta Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr sebagai Penguji luar komisi dan Prof Dr
Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc sebagai Ketua Program Studi Fitopatologi.
Penulis juga menyampaikan banyak terimakasih kepada Tatit Sastrini SP MSi,
Muhammad Rizal SP MSi, Amelia Ferina Bulan Dini SP MSi, Syaiful Khoiri SP
MSi, Fitria Yuliani SP MSi, Novi Irawati SP MSi, dan Silviana Arsyad SP yang
telah banyak membantu dan memberi masukan selama pelaksanaan penelitian,
serta teman-teman anggota Laboratorium Bakteriologi, Virologi, dan Mikologi
Departemen Proteksi Tanaman IPB, mahasiswa S2 Fitopatologi tahun masuk
2013 dan seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas segala
bantuan dan masukan dalam mempermudah jalannya penelitian hingga selesai.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis
bapak (Alm) Rustamil Pulogu dan ibu Marata Mahadjani, kakakku Syukri Malik
Pulogu SPd, adik-adikku Hijriyana Rahmawati Pulogu dan Fadlan Saputra
Pulogu, serta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2017
Siska Irhamnawati Pulogu
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xviii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Fitoplasma
Taksonomi dan Klasifikasi
Biologi dan Ekologi
Penyakit Sapu Fitoplasma pada Kacang Tanah
Metode Molekuler untuk Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma
Isolasi DNA Total dari Jaringan Tanaman
Polymerase Chain Reaction
Teknik Sikuensing dan Analisis Filogenetik
3
3
3
5
6
7
7
9
10
3 BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Penyediaan Tanaman yang Terinfeksi Fitoplasma
Pengujian Daya Simpan Contoh Tanaman Sakit
Ekstraksi DNA dari Jaringan Tanaman Sakit
Isolasi DNA Total Menggunakan Metode Dellaporta et al. (1983)
Isolasi DNA Total Menggunakan FTA-card
Pengukuran Kuantitas dan Kualitas DNA
Amplifikasi DNA dengan PCR
PCR Standar
Nested-PCR
Elektroforesis dan Visualisasi DNA
Sikuensing DNA dan Kajian Filogenetik
Analisis Data
12
12
12
12
12
13
13
13
13
14
14
14
15
15
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyakit Sapu Kacang Tanah di Lapangan dan Deteksi Awal PCR
Tingkat Deteriorasi Contoh pada Berbagai Kondisi Penyimpanan
Kenampakan Contoh pada Berbagai Kondisi Penyimpanan
Kenampakan Visual DNA Total hasil Isolasi melalui
Elektroforesis
Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil Isolasi dari Jaringan yang
Disimpan
16
16
17
17
19
20
Detektabilitas PCR terhadap Fitoplasma dari Jaringan yang Disimpan
Optimalisasi Detektabilitas Fitoplasma dengan Nested-PCR
Analisis Sikuen Nukleotida Fitoplasma
22
24
25
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
28
28
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
44
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Tingkat deteriorasi contoh terinfeksi fitoplasma pada berbagai perlakuan
penyimpanan
Konsentrasi DNA total hasil isolasi dari jaringan tanaman terinfeksi
fitoplasma pada berbagai kondisi penyimpanan contoh
Kemurnian DNA total hasil isolasi dari jaringan tanaman terinfeksi
fitoplasma pada berbagai kondisi penyimpanan contoh
Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA hasil isolasi dari jaringan tanaman
terinfeksi fitoplasma pada berbagai kondisi penyimpanan contoh
Tingkat homologi sikuen nukleotida fitoplasma dari tanaman kacang
tanah bergejala sapu dengan beberapa sikuen pembanding dari GenBank
18
21
22
23
26
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Representasi diagram operon 16S-23 rRNA, menunjukkan posisi
beberapa primer universal yang telah dikembangkan untuk amplikasi
PCR daerah ini dari fitoplasma (Hodgetts & Dickinson 2010).
Hubungan filogenetika berdasarkan perbandingan gen 16S rRNA
diantara 27 Mollicute (Nishida 2013)
Gejala penyakit sapu (witches‘ broom) pada tanaman kacang tanah. (A)
tanaman sehat, (B) tanaman bergejala penyakit sapu, (C) pembentukan
tunas-tunas samping dengan daun yang kecil.
Visualisasi DNA fitoplasma hasil PCR menggunakan primer P1/P7
dalam deteksi awal penyakit sapu (withces’ broom) tanaman kacang
tanah.
Visualisasi fragmen DNA total hasil ekstrasi dari penyimpanan contoh
pada berbagai kondisi.
Visualisasi pita DNA fitoplasma hasil PCR standar menggunakan
primer P1/P7 pada penyimpanan contoh dalam berbagai kondisi.
Visualisasi pita DNA fitoplasma hasil nested-PCR menggunakan primer
P1/P7 → fU5/rU3 pada dari penyimpanan contoh pada berbagai kondisi
Pohon filogenetika yang menggambarkan hubungan kekerabatan PnWB
asal Bogor dengan beberapa strain fitoplasma di GenBank dengan
analisis bootstrap neighbor-joining program MEGA 6.06.
10
11
16
17
20
24
25
27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi larutan-larutan bufer (penyangga)
2 Perubahan bentuk dan warna contoh jaringan tanaman terinfeksi
fitoplasma yang disimpan dalam berbagai kondisi
3 Konsentrasi DNA total hasil isolasi dari jaringan tanaman terinfeksi
fitoplasma pada berbagai kondisi penyimpanan contoh yang dihitung
menggunakan nanodrop-spektrofotometer
4 Kesejajaran sikuen nukleotida gen parsial 16S rRNA fitoplasma kacang
tanah bergejala sapu isolat Bogor (PnWB) dengan isolat Sweet potato
little leaf phytoplasma (SPLL-AUS) pada GenBank NCBI
5 Kesejajaran sikuen nukleotida gen parsial 16S rRNA fitoplasma kacang
tanah bergejala sapu isolat Bogor (PnWB) dengan isolat Peanut witches'
broom phytoplasma (PnWB-China) pada GenBank NCBI
36
37
40
42
43
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fitoplasma atau dulu dikenal sebagai mycoplasma-like organisms (MLOs)
adalah bakteri tanpa dinding sel dari Kelas Mollicute yang menjadi patogen
tanaman. Patogen ini pertama kali diidentifikasi dengan nama MLOs berdasarkan
pengamatan mikroskop elektron dalam jaringan floem tanaman mulberry yang
mengalami penyakit kerdil, dan sebelumnya dianggap disebabkan oleh virus (Doi
et al. 1967). Fitoplasma memiliki ciri inti sel yang tidak terorganisasi dengan jelas
karena tidak memiliki membran inti (prokariotik), sel bersifat pleomorfik, tidak
mempunyai dinding sel kaku, hanya diselaputi suatu membran, serta rentan
terhadap antibiotik tetrasiklin (McCoy et al.1989).
Fitoplasma telah ditemukan berasosiasi dengan penyakit-penyakit pada
sejumlah besar tanaman di seluruh dunia dengan gejala yang bervariasi tergantung
jenis inang, strain fitoplasma, faktor lingkungan, dengan gejala berupa berwarna
kuning/perubahan warna ungu pada daun dan tunas, filodi, kerdil, penyakit sapu,
dan bahkan kematian tanaman (Dickinson et al. 2013). Gejala penyakit ini terjadi
karena terganggunya sistem fotosintesis terutama transfer fotosintat dan
konduktansi stomata, ketidakseimbangan hormon pertumbuhan, metabolisme
senyawa sekunder, dan perubahan nutrisi pada berbagai bagian tanaman (Marcone
2010).
Beberapa tanaman penting di Indonesia dilaporkan terserang fitoplasma.
Penyakit sapu (witches’ broom) merupakan salah satu penyakit penting pada
berbagai tanaman leguminosa seperti kacang merah, kacang hijau, kacang panjang,
kacang bogor, kacang buncis, kedelai, dan terutama kacang tanah yang dapat
menurunkan bobot polong dari 41-100% (Nugroho et al. 2000). Penyakit sapu ini
jarang mengalami ledakan, namun keberadaan penyakit ini dapat dikatakan
konstan dari waktu ke waktu. Selain tanaman kacang-kacangan, fitoplasma
terdeteksi menyerang tanaman rumput bermuda dan mengakibatkan daun
berwarna putih terutama rumput yang berada di padang golf maupun lapangan
sehingga mengurangi mutu dan nilai estetikanya (Mutaqin et al. 2003).
Deteksi dan identifikasi fitoplasma pada tanaman awalnya berdasarkan
beberapa teknik seperti pengamatan gejala, uji penularan, kisaran inang,
spesifisitas serangga vektor, kepekaan terhadap antibiotik, dan mikroskopi
elektron (McCoy et al. 1989). Dengan berkembangnya teknik biologi molekuler,
penelitian fitoplasma intensif kembali, karena dengan metode tersebut diperoleh
banyak informasi yang dengan metode konvensional sulit dilakukan (Marcone
2014). Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode molekuler yang
dapat mengamplifikasi sikuen DNA in vitro secara ekponensial. Metode PCR
merupakan metode yang sangat sensitif, dimana metode PCR tersebut dapat
mengamplifikasi sikuen DNA target walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit
(Yuwono 2006). Gen 16S dan 23S rRNA fitoplasma banyak digunakan sebagai
wilayah amplikasi PCR dan sikuensing untuk kepentingan deteksi, identifikasi
maupun klasifikasi fitoplasma (Hodgetts & Dickinson 2010).
2
Kegiatan deteksi dan identifikasi fitoplasma di laboratorium, menyangkut
penyediaan contoh segar merupakan hal yang sangat penting mengingat
fitoplasma belum dapat dibiakkan dalam media tumbuh. Faktor jarak dan waktu
dapat menjadi kendala dalam menjaga contoh tanaman tetap segar. Ketika
pengiriman contoh jaringan tanaman dari jarak jauh atau daerah terpencil kadang
membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan contoh tersebut cepat mengalami
deteriorasi yang disertai dengan munculnya senyawa-senyawa seperti polifenol
dan polisakarida. Senyawa ini jika terikut selama isolasi DNA dapat menjadi
inhibitor atau mempengaruhi kualitas DNA yang disyaratkan untuk digunakan
dalam proses PCR (Nejat & Vadamalai 2013). Untuk mencegah munculnya
senyawa-senyawa kontaminan perlu adanya penyimpanan contoh yang tepat,
mengingat penyimpanan jaringan tanaman dapat juga mempengaruhi tingkat titer
fitoplasma (Wongwarat et al. 2011). Selain itu, titer fitoplasma dalam jaringan
tanaman seringkali sangat rendah sehingga DNA yang diisolasi belum cukup
dalam PCR standar untuk menghasilkan amplikon yang terlihat jelas (false
negative), maka dilakukan modifikasi PCR untuk meningkatkan detektabilitasnya,
yaitu melalui PCR bersarang (nested-PCR) menggunakan pasangan primer untuk
reamplifikasi DNA sasaran secara internal dalam wilayah sasaran PCR standar
(Gundersen & Lee 1996). Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian dalam
mengatasi permasalahan tersebut, mulai dari metode praktis penyimpanan contoh
agar tetap awet dalam jangka panjang dan modifikasi PCR untuk meningkatkan
proses deteksi pada tingkat yang optimal sehingga kualitas DNA fitoplasma tetap
terjaga.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memperoleh teknik penyimpanan jaringan
tanaman bergejala sapu untuk memperoleh DNA fitoplasma yang memadai,
mengevaluasi amplifikasi DNA yang optimal dalam deteksi fitoplasma dengan
teknik nested-PCR, dan identifikasi fitoplasma asal tanaman kacang tanah dari
Bogor berdasarkan analisis nukleotida gen 16S rRNA.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi
masyarakat luas terutama mahasiswa, peneliti dan petugas perlindungan tanaman
ataupun instansi mengenai fitoplasma penyebab penyakit sapu kacang tanah, cara
penyimpanan optimal tanaman untuk deteksi dan identifikasi fitoplasma
menggunakan pendekatan molekuler PCR.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Fitoplasma
Fitoplasma merupakan bakteri patogen tanpa dinding sel yang memiliki
potensi menyebabkan kerugian yang parah pada tanaman (Hogenhout & Music,
2010). Pada tahun 1967, fitoplasma yang sebelumnya dikenal sebagai
“Mycoplasma-like organisms’’(MLOs) pertama kali ditemukan oleh peneliti
Jepang, berdasarkan pengamatan dalam jaringan floem tanaman yang terinfeksi
penyakit kerdil menggunakan teknik mikroskop elektron. Awalnya, sifat gejala
penyakit dan cara penularan patogen tersebut menyerupai virus (Kirkpatrick 1989).
Berdasarkan analisis urutan nukleotida gen ribosom dibuktikan bahwa
prokariot tanpa dinding sel ini merupakan kelompok monofiletik besar dalam
Kelas Mollicute atau disebut “fitoplasma” (phytoplasma). Kromosom fitoplasma
berukuran relatif paling kecil (680-1600 kb) dibandingkan kromosom prokariota
lainnya. Analisis gen16S rRNA menunjukkan bahwa fitoplasma lebih memiliki
kedekatan dengan Acholeplasma spp. dalam Kelas Mollicute (Bertaccini et al.
2014). Fitoplasma atau Mollicute secara umum diduga mengalami evolusi regresif
dari nenek moyang asalnya bakteri Gram positif khususnya grup Bacillus dan
Clostridium (Bai et al. 2006).
Fitoplasma diketahui berasosiasi dengan penyakit pada ratusan spesies
tanaman. Fitoplasma merupakan parasit obligat yang berada secara spesifik dan
terbatas dalam jaringan floem tanaman atau tubuh serangga vektornya. Penularan
fitoplasma oleh serangga vektor secara persisten sirkulatif propagatif (Maixner
2010). Fitoplasma menginfeksi tanaman dengan gejala yang khas seperti phyllody
(struktur bunga berubah menyerupai daun), ukuran daun mengecil, virescence
(perubahan warna bagian pembungaan), witches‘ broom (proliferasi daun, cabang,
dan batang), kerdil (bunga dan daun kecil dengan ruas memendek), dan bahkan
kematian tanaman. Adapun tanaman stres yang telah terinfeksi fitoplasma dapat
menimbulkan banyak gejala nonspesifik lainnya (Lee et al. 2000).
Taksonomi dan Klasifikasi
Fitoplasma termasuk ke dalam Kingdom Bacteria, Divisi Proteobacteria,
Kelas Mollicute, Ordo Acholeplasmatales, Famili Acholeplasmataceae, Genus
Candidatus Phytoplasma (Beattie 2006). Sistem penamaan fitoplasma belum
dikukuhkan secara tegas, penamaan genus atau spesies masih bersifat sementara
menggunakan kata depan “Candidatus” atau disingkat “Ca”, misalnya
Candidatus Phytoplasma asteris dan Candidatus Phytoplasma cynodontis.
Klasifikasi fitoplasma secara konvensional didasarkan atas sifat-sifat fenotip
terutama pada gejala penyakit tanaman yang ditimbulkan, masih belum
memuaskan. Suatu fitoplasma dapat menyebabkan perbedaan gejala penyakit pada
tanaman yang berbeda atau gejala penyakit yang sama dapat disebabkan oleh
fitoplasma yang berbeda (Lee et al. 2000). Metode ini dinilai kurang efektif
karena fitoplasma termasuk patogen obligat yang masih sangat sulit dibiakan
dalam media buatan. Kesulitan ini mengakibatkan proses determinasi status
taksonomi dengan serangkaian uji morfologi, fisiologi dan biokimia dalam media
buatan seperti halnya pada kelompok bakteri yang lain menjadi rumit bahkan
4
belum dapat dilakukan (Murray et al. 1990). Oleh karena itu, pendekatan
molekuler dibutuhkan untuk menjadi acuan utama dalam studi klasifikasi
fitoplasma saat ini. Klasifikasi fitoplasma secara molekuler berdasarkan pada data
sikuen genomik atau genetik dapat dilakukan tanpa membutuhkan biakan bakteri
hidup (Lee et al. 2010).
Sistem klasifikasi dan penamaan spesies fitoplasma baru didasarkan pada
karakteristik molekuler yaitu gen 16S rRNA (Zhao et al. 2010) dan gen selain 16S
rRNA seperti Intergenic Spacer Region (ISR) antara gen 16S-23S rRNA, gen Tuf,
gen Ribosomal Protein (rp), gen SecY, dan gen SecA (Lee et al. 2010). Sikuen gen
16S rRNA telah digunakan sebagai marka molekuler utama untuk identifikasi
fitoplasma. Skema klasifikasi fitoplasma komprehensif pertama kali adalah
berdasarkan analisis restrictiom fragment length polymorphism (RFLP) dari
amplifikasi PCR 16S rDNA (Lee et al. 1998). Analisis Restriction fragment
length polymorphism (RFLP) digunakan untuk klasifikasi fitoplasma dengan cara
membandingkan sikuen ke dalam grup 16Sr dan subgrup (Dickinson et al. 2013).
Selama beberapa tahun terakhir, banyak dan beragam fitoplasma telah
ditemukan di seluruh dunia. Klasifikasi fitoplasma berdasarkan pola RFLP
nukleotida 16S rDNA menjadi 33 grup besar, 126 subgrup, dan 39 spesies “Ca.
Phytoplasma”. 33 grup tersebut adalah: 16SrI (Aster yellow), 16SrII (Peanut
witches’ broom), 16SrIII (X-disease), 16SrIV (Coconut lethal yellow), 16SrV
(Elm yellow), 16SrVI (Clover proliferation), 16SrVII (Ash yellows), 16SrVIII
(Loofah witches’ broom), 16SrIX (Pigeon pea witches’ broom), 16SrX (Apple
proliferation), 16SrXI (Rice yellow dwarf), 16SrXII (Stolbur), 16SrXIII (Mexican
periwinkle), 16SrXIV (Bermudagrass), 16SrXV (Hibiscus witches’ broom),
16SrXVI (Sugarcane yellow leaf syndrome), 16SrXVII (Papaya bunchy top),
16SrXVIII (American potato purple top wilt), 16SrXIX (Chestnut witches’
broom), 16SrXX (Rhamnus witches’broom), 16SrXXI (Pinus Phytoplasmas),
16SrXXII, 16SrXXIII, 16SrXXIV, 16SrXXV, 16SrXXVI, 16SrXXVII,
16SrXXVIII, 16SrXXIX (Cassia witches’ broom), 16SrXXX (Salt cedar witches’
broom), 16SrXXXI (Soybean stunt), 16SrXXXII (Malaysian periwinkle
virescence dan phyllody), 16SrXXXIII ( Allocasuarina muelleriana Phytoplasma)
(Bertaccini et al. 2014).
Grup Peanut witches’ broom (16SrII) terdiri atas 12 subgrup yaitu 16SrII-A
(Peanut witches’ broom), 16SrII-B (Lime witches’ broom), 16SrII-C (Faba bean
phyllody), 16SrII-D (Papaya yellow crinkle), 16SrII-E (Pichris echioides
phyllody), 16SrII-F (Cotton phyllody), 16SrII-G (strain YN23 and YN25), 16SrIIH (strain YN24), 16SrII-I (strain YN06), 16SrII-J (strain YN07), 16SrII-K (strain
YN28), dan 16SrII-L (strain YN01). Ketujuh subgrup diantaranya merupakan
subgrup baru yang ditemukan dan berada di Yunnan, China. Perbedaan wilayah
geografis yang satu dengan yang lainnya memengaruhi keanekaragaman genetik
fitoplasma (Cai et al. 2008). Fitoplasma yang termasuk dalam grup 16SrII
diketahui menyebabkan penyakit pada tanaman kacang-kacangan di Asia. Selain
itu grup tersebut telah menyebabkan penyakit Tomato big bud dan Sweet potato
little leaf di Australia serta penyakit Cotton phyllody di Afrika Barat (Foissac &
Wilson 2010).
5
Biologi dan Ekologi
Fitoplasma merupakan kelompok bakteri terkecil (diameter sel ±500 nm)
yang tidak memiliki dinding sel, hanya diselimuti membran sel, bentuk sel
pleomorfik ataupun bulat dengan diameter kurang dari 1 µm, memiliki sitoplasma,
ribosom, dan untai DNA (Hogenhout & Music 2010). Ukuran genom fitoplasma
sekitar 530-1.350 kb dengan kandungan G+C yang rendah (23.0-29.5 Mol%)
(Dickinson et al. 2013). Fitoplasma memiliki ukuran genom terkecil dalam
kelompok bakteri, namun fitoplasma masih mempunyai sejumlah gen untuk
memperbanyak diri. Fitoplasma memiliki sejumlah gen transposon dan sikuen
penyisipan yang unik, dengan komposisi dan kandungan gen yang sama biasa
disebut variabel mosaik atau disebut potential mobile units (PMUs). Selain itu
terdapat DNA ekstrakromosom (EC-DNA) atau plasmid dari berbagai ukuran
ditemukan pada beberapa kelompok fitoplasma (Bertaccini et al. 2014). Sejumlah
ORFs dalam kromosom yang berfungsi untuk memperbanyak diri fitoplasma telah
diidentifikasi (Tran-Nguyen et al. 2008). Fitoplasma mampu berkembang-biak
dengan pertunasan atau pembelahan biner sel (Iwaki et al. 1978).
Genom fitoplasma memiliki gen untuk sintesis folat, yang memungkinkan
beradaptasi di lingkungan yang beragam pada tubuh tanaman inang dan serangga
vektor (Duduk 2009). Di dalam tubuh tanaman inang, fitoplasma berkembang dan
bereproduksi secara aseksual terutama di jaringan floem, termasuk sieve tubes
dewasa yang tidak memiliki inti sel dan sel floem yang masih memiliki inti sel.
Sedangkan pada tubuh serangga, fitoplasma harus melintasi sel-sel usus,
kemudian memperbanyak diri ke seluruh bagian jaringan tubuh serangga dan
melintasi sel kelenjar ludah agar saliva yang mengandung fitoplasma cukup untuk
introduksi fitoplasma ke dalam tanaman (Hogenhout et al. 2008).
Interaksi segitiga antara fitoplasma, vektor dan tanaman berkontribusi
terhadap kompleksitas ekologi fitoplasma. Setiap strain fitoplasma memiliki sifatsifat ekologi tertentu serta kenampakan biologis yang khas, seperti spesifitas
gejala tanaman terinfeksi fitoplasma berdasarkan jenis tanaman dan vektor.
Genom fitoplasma mengandung banyak gen yang mengkodekan sistem
transporter seperti malat, logam ion, dan asam amino transporter, dan diantaranya
muncul dengan beberapa salinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa fitoplasma
mengimpor banyak metabolit dari sel inang sehingga mengganggu keseimbangan
metabolisme dan menimbulkan gejala penyakit tanaman (Bertaccini et al. 2014).
Fitoplasma telah diketahui berasosiasi dengan penyakit pada ratusan
spesies tanaman (Hogenhout et al. 2008). Salah satunya penyakit Peanut witches’
broom pada berbagai tanaman kacang-kacangan yang disebabkan oleh fitoplasma.
Tanaman yang terinfeksi fitoplasma akan menginduksi gejala penyakit yang
melibatkan terganggunya keseimbangan hormon pertumbuhan, asam amino,
translokasi karbohidrat, menghambat fotosintesis dan penuaan dini (Zhao et al.
2010). Gejala dapat meliputi virescence (perubahan warna pada bagian bunga
menjadi hijau seperti daun), proliferasi tunas-tunas aksilar, witches’ broom dan
kerdil (Duduk 2009).
Fitoplasma dapat ditularkan oleh serangga vektor, tali putri, dan
penyambungan (McCoy 1979). Serangga vektor adalah agensi penular fitoplasma
yang paling utama di lapangan. Serangga vektor yang berperan dalam penularan
fitoplasma adalah serangga yang termasuk ke dalam Ordo Homoptera, Famili
Cicadellidae (wereng daun), Psyllidae (kutu loncat), Cercopidae, Delphacidae
6
(wereng batang), dan beberapa Ordo Hemiptera (D’Arcy & Nault 1982). Penyakit
sapu pada kacang tanah di Indonesia ditularkan oleh serangga wereng daun
Orosius argentatus (Evans) (Triharso 1975). Selanjutnya fitoplasma masuk ke
dalam jaringan tanaman dan menyebar secara sistemik melalui aktivitas makan
vektor serangga. Serangga vektor memakan getah di jaringan floem yang
terinfeksi fitoplasma, sehingga kisaran inang bergantung pada preferensi makan
serangga vektor. Fitoplasma mampu bertahan dalam tubuh serangga vektor
ataupun tanaman inang selama musim dingin. Penyebaran fitoplasma dapat
melalui perbanyakan vegetatif seperti inokulasi jaringan tanaman yang sakit ke
tanaman sehat (Bertaccini et al. 2014).
Penularan fitoplasma dengan serangga vektor bersifat persisten, transtadial,
dan tidak transovarial (tidak diturunkan pada generasi berikutnya). Serangga yang
terinfeksi terkadang mengalami gangguan fisiologis. Fitoplasma dan serangga
vektor memiliki hubungan yang spesifik, artinya bahwa suatu spesies serangga
hanya menularkan satu jenis fitoplasma (Nielson 1968). Distribusi fitoplasma
pada jaringan tanaman tidak merata, terutama pada tanaman berkayu dan
jumlahnya tergantung pada musim dan organ tanaman (Firrao et al. 2007).
Cara penularan fitoplasma dengan penyambungan adalah menyambung
atau menempelkan bagian tanaman sakit pada bagian tanaman sehat.
Penyambungan menjadi cara penularan yang efisien sehingga dapat digunakan
untuk skrining tanaman dengan tujuan resistensi terhadap patogen.
Penyambungan telah umum digunakan dalam menentukan kisaran inang beberapa
strain fitoplasma di Eropa (Ploaie 1981). Kelemahan cara penyambungan adalah
kompatibilitas antara stock (bagian batang pucuk sehat) dan scion (bagian batang
pucuk sakit) (McCoy 1979). Dalam penyambungan, tingkat keberhasilan lebih
tinggi jika spesies tanaman sama atau spesies tanaman memiliki kemiripan dalam
jenis batang. Adapun proses penyambungan spesies bersilang, seringkali scion
tidak akan tumbuh terus bahkan mengalami kematian, namun penularan
fitoplasma tersebut dapat teratasi dengan penggatian scion (Hodgetts et al. 2013).
Penyakit Sapu Fitoplasma pada Kacang Tanah
Penyakit sapu pada tanaman kacang tanah sudah dikenal di Indonesia,
sejak tahun 1910-an, khususnya di Jawa Timur bersama dengan penyakit sapu
pada beberapa tanaman kacang-kacangan, seperti orok-orok (Crotalaria) dan kara
(Dolichos) (Van Hall 1916). Seiring waktu, penyakit sapu terus menyebar luas ke
seluruh Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi (Iwaki 1979). Penyakit sapu yang
disebabkan oleh fitoplasma merupakan salah satu penyakit yang sering ditemukan
pada tanaman legum terutama pada tanaman kedelai, kacang hijau dan kacang
tanah. Gejala awal penyakit sapu kacang tanah adalah daun menjadi kecil dalam
jumlah yang banyak, pembentukan tunas-tunas samping (proliferasi) yang
berlebihan dari satu titik tumbuh (Hogenhout et al. 2008), dan ginofor tumbuh
mengikuti geotropi negatif. Setelah itu terjadi filodi pada bunga menjadi struktur
daun dan tanaman tersebut menghasilkan polong yang berukuran sangat kecil
ataupun hampa. Gejala-gejala tersebut muncul terutama apabila infeksi terjadi
pada saat umur tanaman masih sangat muda (Firrao et al. 2007).
7
Serangga wereng daun Orosius argentatus (Hemiptera: Cicadellidae)
adalah vektor penyakit sapu pada beberapa tanaman kacang-kacangan termasuk
pada tanaman kacang tanah (Iwaki et al. 1978). Penularan fitoplasma oleh
O.argentatus bersifat sirkulatif propagatif dan persisten, dalam penularannya
terdapat periode laten yang dibutuhkan untuk melakukan penggandaan dan
translokasi fitoplasma dalam tubuh serangga. Fitoplasma dapat ditularkan oleh
serangga vektor stadia nimfa hingga imago dan akan terus berada dalam tubuh
serangga walaupun serangga mengalami ganti kulit (tidak transtadial) (Weintraub
& Wilson 2010). Ketika O. argentatus mengakuisisi makanan pada tanaman sakit,
fitoplasma ikut terbawa ke dalam alat pencernaan serangga vektor tersebut.
Selanjutnya fitoplasma melakukan multiflikasi dalam saluran pencernaan dan
masuk ke dalam saluran peredaran darah hingga akhirnya fitoplasma menuju otak
dan kelenjar ludah serangga. Apabila konsentrasi fitoplasma dalam kelenjar ludah
meningkat, serangga mulai menularkan patogen tersebut ke tumbuhan baru
(Markham & Townsend 1974).
Metode Molekuler untuk Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma
Sebelum perkembangan teknik molekuler, deteksi terhadap penyakit yang
yang disebabkan oleh fitoplasma tergolong sulit. Metode diagnosis untuk
mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh fitoplasma berupa pengamatan gejala,
serangga vektor, dan penyambungan dari tanaman inang terinfeksi, pengamatan
menggunakan mikroskop elektron pada jaringan floem yang terinfeksi fitoplasma,
dan pemberian antibiotik (tetrasiklin) pada tanaman terinfeksi (Duduk 2009).
Deteksi yang sensitif dan akurat mikroorganisme merupakan prasyarat
dalam pengelolaan penyakit. Penggunaan mikroskop elektron merupakan
pendekatan alternatif pengamatan fitoplasma dalam jaringan floem tanaman.
Dalam pendekatan lain, teknik serologi untuk deteksi fitoplasma muncul di tahun
1980-an dengan metode berdasarkan ELISA seperti blotting jaringan untuk
deteksi antigen langsung dan tidak langsung dilakukan untuk mendeteksi
fitoplasma. Pada awal 1990-an, analisis RFLP memungkinkan identifikasi strain
fitoplasma dengan akurat (Duduk 2009).
Akhir-akhir ini deteksi dan identifikasi fitoplasma lebih berdasarkan pada
karakteristik molekuler, khususnya terhadap gen 16S rRNA (Zhao et al. 2010).
Adapun metode diagnosis yang paling umum digunakan dan terus berkembang
adalah PCR dan penggembangan primer spesifik fitoplasma untuk
mengamplifikasi berbagai daerah pada operon rRNA. Berbagai metode ekstraksi
dilakukan menggunakan tanaman uji atau serangga yang terinfeksi untuk
menghasilkan DNA total yang mengandung fitoplasma (Dickinson et al. 2013).
Deteksi fitoplasma menggunakan teknik PCR dilakukan menggunakan sepasang
primer oligonukleotida yang mampu mengamplifikasi sikuen DNA pada daerah
seluruh gen 16S, spacer region dan pangkal gen 23S rRNA dari umumnya
fitoplasma (Schneider et al. 1995).
Isolasi DNA Total dari Jaringan Tanaman
Fitoplasma menginfeksi jaringan floem tanaman dan menimbulkan gejala
yang bervariasi pada tanaman inang. Tanaman yang terinfeksi dapat dijadikan
sampel untuk proses deteksi fitoplasma. Namun ketika tanaman atau organ
8
tanaman mati maka akan sulit untuk mendeteksi fitoplasma yang berada dalam
jaringan. Perkembangan teknologi memungkinkan untuk penyimpanan jaringan
tanaman dengan berbagai metode seperti pengeringan sampel pada suhu ruang,
oven di laboratorium, penyimpanan dalam freezer dan menggunakan larutan bufer
(Bressan et al. 2014).
Penyimpanan sampel tanaman/jaringan dapat mengurangi resiko
terbentuknya senyawa tertentu yang tidak diinginkan terbawa dalam isolasi DNA.
Jaringan tanaman umumnya menghasilkan berbagai senyawa sekunder seperti
fenolat, tanin, lateks, dan polisakarida. Senyawa tersebut dapat menghambat
reaksi amplifikasi DNA dan sikuensing (Bressan et al. 2014).
Jaringan tanaman yang disimpan dalam jangka panjang dapat disertai
dengan penggunaan media pengawet misalnya pelarut/penyangga (bufer) agar
jaringan tetap terjaga dalam kondisi baik. Media penyangga yang mengandung
garam dalam suhu rendah dapat menjaga kondisi jaringan tanaman (Brockbank &
Taylor 2006). Penyimpanan jaringan tanaman menggunakan etanol 96% selama
30 hari menghasilkan kualitas DNA yang setara dengan jaringan yang segar
setelah diekstraksi (Bressan et al. 2014). Penyimpanan jaringan tanaman
menggunakan media penyangga kombinasi NaCl-CTAB pada jangka panjang
mampu menghasilkan kualitas DNA yang baik dan bervariasi (Thomson 2002).
Selain itu, FTA-card yang berupa lembar nitroselulosa dapat digunakan sebagai
penyimpanan jaringan secara langsung dari tanaman segar. Substansi yang
disimpan dalam FTA-card, misalkan asam nukleat total dari tanaman mampu
terawetkan dalam jangka panjang. Recovery substansi yang tersimpan dalam
FTA-card dilakukan dengan menggunakan bahan larutan kimia yang bersifat
dapat melisiskan sel, menjaga asam nukleat dari kerusakan, dan menonaktifkan
mikroorganisme (Smith & Burgoyne 2004).
Penyimpanan sampel jaringan tanaman yang tepat, penting dalam
mendukung keberhasilan penelitian molekuler (Prendini et al. 2002).
Keberhasilan dalam proses deteksi tergantung dari jumlah dan kualitas asam
nukleat/DNA fitoplasma dari hasil ekstraksi sehingga persiapan ekstraksi DNA
total dengan baik dapat memungkinkan konsentrasi DNA fitoplasma yang
terisolasi tinggi. Konsentrasi sel fitoplasma dalam jaringan floem bervariasi
tergantung dari lingkungan, bagian tanaman, dan spesies tanaman, dan sering
dijumpai rendah pada tanaman berkayu (Firrao et al. 2007). Jumlah DNA
fitoplasma yang diperoleh adalah hanya sekitar 1% dari DNA total tanaman.
Dalam melakukan isolasi DNA, ada beberapa macam protokol yang digunakan,
namun tujuan dari setiap protokol adalah untuk memperoleh DNA fitoplasma
dengan konsentrasi tinggi dan mengurangi senyawa polifenol, polisakarida, dan
enzim penghambat lainnya (Duduk 2009).
Teknik isolasi DNA dapat menggunakan kit maupun metode
konvensional. Metode konvensional dapat digunakan dalam lingkup yang luas,
namun membutuhkan waktu relatif lebih lama. Metode konvensional yang sering
digunakan untuk isolasi DNA fitoplasma yaitu metode Dellaporta et al (1983).
Isolasi DNA diawali dengan pengambilan sampel. Sampel untuk isolasi DNA
fitoplasma lebih ditekankan pada bagian tanaman yang mengandung banyak
jaringan floem. Umumnya titer tertinggi sel fitoplasma terdapat pada organ daun
(daun dewasa), sedang pada bagian batang dan paling terendah pada akar tanaman
(Duduk 2009). Selanjutnya mengekstraksi DNA dari tanaman menggunakan bufer
9
lisis (PGB atau CTAB) yang berfungsi memisahkan DNA dari sel. Selanjutnya
presipitasi untuk mengikat DNA dipermukaan dan memisahkan dengan
kotoran/senyawa-senyawa kontaminan. Setelah melalui serangkaian pencucian
dan terbentuk pelet, DNA ditambahkan dengan bufer TE (Mehle et al. 2013).
Proses deteksi untuk tanaman tahunan/berkayu jauh lebih sulit disebabkan
konsentrasi yang rendah dan distribusi yang tidak teratur fitoplasma dalam
jaringan tanaman sehingga protokol untuk proses isolasi DNA tanaman berkayu
berbeda dengan tanaman musiman (Harrison et al. 2013).
Polymerase Chain Reaction
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode molekuler yang
dapat mengamplifikasi sikuen DNA secara eksponensial (Yuwono 2006). Teknik
PCR merupakan teknik molekuler yang dapat digunakan untuk mendeteksi
fitoplasma pada jaringan tanaman secara akurat (Marcone et al. 1997).
Komponen utama yang dibutuhkan dalam proses PCR adalah DNA
cetakan (template)¸ yaitu DNA sasaran yang akan dilipatgandakan: primer, suatu
sekuan oligunukleotida pendek yang berfungsi untuk mengawali sintesis rantai
DNA, empat macam deoksiribonukleotida trifosfat (dNTPs, yang terdiri atas
dATP, dGTP, dCTP dan dTTP), dan enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang
melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga
dibutuhkan adalah larutan bufer (Yuwono 2006). Proses PCR terdiri atas tiga
tahapan reaksi yang berulang dalam beberapa siklus. Reaksi pelipatgandaan suatu
fragmen DNA dimulai dengan tahapan denaturasi DNA template untuk
memisahkan rantai DNA untai ganda sehingga menjadi untai tunggal. Denaturasi
dilakukan pada suhu tinggi (95 ºC), kemudian suhu diturunkan menjadi sekitar 5060 ºC sehingga primer menempel (annealing) pada template yang menjadi rantai
tunggal. Setelah dilakukan annealing, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 ºC.
Pada suhu ini, DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA
yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA template. Rantai DNA baru
selanjutnya akan berfungsi sebagai template bagi reaksi polimerasi berikutnya.
Pengujian PCR menggunakan primer universal berguna untuk identifikasi
awal penyakit yang disebabkan fitoplasma. Beberapa primer universal dan
spesifik kelompok telah banyak dirancang untuk deteksi fitoplasma pada gen
ribosom 16S. Penentuan gen 16S rRNA untuk klasifikasi fitoplasma terletak pada
kestabilan gennya, karena itu primer oligonukleotida universal relatif mudah
didesain dari banyak sikuen yang tersedia di database GenBank. Namun demikian,
karena tingginya kestabilan gennya, maka gen 16S rRNA tak sebanding untuk
perbedaan yang tepat antar strain fitoplasma. Hal ini dibuktikan dengan adanya
beberapa subgroup dari satu strain yang mempunyai sifat biologi yang berbeda
(Zhao et al. 2010).
Deteksi fitoplasma secara umum menggunakan sepasang primer universal
yang dirancang dengan sikuen terkonservasi seperti 16S rRNA, gen Ribosomal
Protein (rp), gen 16S-23S rRNA, gen Tuf, gen SecY, dan gen SecA. Adapun
primer universal sering digunakan yaitu primer oligonukleotida P1 (5’ AAG AGT
TTG ATC CTG GCT CAG GAT 3’) dan P7 (5’ CGT CCT TCA TCG GCT CCT
3’) yang mampu mengamplifikasi sikuen DNA pada daerah seluruh gen 16S
rRNA, spacer region dan pangkal gen 23S rRNA dari umumnya fitoplasma
(Schneider et al. 1995).
10
16S rRNA
tRNA
P1
1830 bp
R16F2n
fU5
1245 bp
890 bp
23S rRNA
P7
R16R2
rU3
Gambar 1 Representasi diagram operon 16S-23 rRNA, menunjukkan posisi
beberapa primer universal yang telah dikembangkan untuk
amplikasi PCR daerah ini dari fitoplasma (Hodgetts & Dickinson
2010).
Ket: Nama primer diberikan dibawah tanda panah dan ukuran perkiraan
amplikon ditunjukkan diantara garis putus-putus.
Proses PCR sering mengalami hambatan seperti titer yang sangat rendah
dari sampel fitoplasma atau adanya inhibitor yang mengganggu efektivitas PCR.
Nested-PCR menjadi pilihan yang tepat untuk mengamplifikasi daerah 16S rRNA
dengan menggunakan pasangan primer universal pertama yang kemudian diikuti
dengan pasangan primer universal kedua dengan produk hasil PCR yang pertama
menjadi DNA template. Nested-PCR merupakan modifikasi PCR yang didesain
untuk meningkatkan sensitifitas deteksi dan spesifisitas dalam amplikasi
fitoplasma. Teknik ini digunakan untuk mengantisipasi sedikitnya jumlah patogen
yang ditemukan pada jaringan floem (Nejat et al. 2009). Pada umumnya,
fitoplasma lebih mudah dideteksi dari jaringan yang masih muda daripada
jaringan yang sudah tua (Harrison et al. 1999). Metode ini mampu mendeteksi
fitoplasma ganda yang menginfeksi jaringan tanaman (Duduk 2009).
Teknik Sikuensing dan Analisis Filogenetika
Kemajuan studi filogenetika dan penyempurnaan proyek sikuensing
sejumlah genom dari bakteri yang dapat dibiakkan telah mendeterminasikan
keragaman genomik dalam hubungannya dengan kenampakan fenotipik kingdom
bakteri. Hasilnya, pandangan taksonomi modern dalam dunia prokariot telah
berubah. Terdapat kesepakatan bahwa gen 16S rRNA akan digunakan sebagai
parameter filogenetika utama untuk spesifikasi bakteri sehingga menggantikan
prosedur konvensional berdasarkan homologi DNA-DNA (Brown et al. 2007).
Penggunaan sistem banyak gen akan memberikan kriteria molekuler untuk
klasifikasi fitoplasma sampai tingkat spesies dan strain yang lebih baik.
Kelemahan sistem berdasarkan gen 16S rRNA sebagai sistem klasifikasi strain
fitoplasma akan tertutupi dengan penambahan marka-marka molekuler lain
sebagai parameter baru. Beberapa marka molekuler, selain gen 16S rRNA telah
berhasil diidentifikasi dan menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
mengklasifikasi ekologis strain patogen tersebut (Dickinson & Hodgetts 2013).
Berdasarkan urutan DNA yang telah dianalisis secara filogenetika
menunjukkan bahwa fitoplasma termasuk dalam kelompok monofiletika Mollicute
(Hogenhout et al. 2008). Kemajuan pengetahuan genom dan bioinformatika telah
11
menghasilkan empat genom yang tersikuensing lengkap. Adapun 4 strain tersebut
diantaranya: Onion Yellows M (OY-M), Aster yellows witches’ broom (AY-WB),
tuf-Australia; rp-A australiense, dan AT ‘Ca’. Phytoplasma mali (Hogenhout &
Music 2010). Dengan demikian, sistem klasifikasi fitoplasma sampai saat ini
kebanyakan masih berdasarkan gen 16S rRNA (Lee et al. 2010).
Gambar 2 Hubungan filogenetika berdasarkan perbandingan gen 16S rRNA
diantara 27 Mollicute (Nishida 2013)
12
3 BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan
tanaman sakit diperoleh di lahan pertanian Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Mei 2015 sampai Mei
2016.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan yaitu tabung eppendorf berukuran 2 mL, 1.5 mL, dan
0.2 mL, mortar, alat elektroforesis, transilluminator UV. Bahan yang digunakan
yaitu contoh tanaman kacang tanah yang bergejala sapu (witches’ broom),
Phytoplasma grinding buffer (47.4 mM K2HPO4.3H2O; 15 mM KH2PO4; Sukrosa
5%; Polyvinylpyrrolidone-101%), buffer CTAB (CTAB 2%; 1.4 M NaCl; 100
mM Tris; 20 mM EDTA; Polyvinylpyrrolidone-40 1%; mercaptoethanol 1%), TE,
NaCl 3 M, TAE 1X, TAE 2X, alkohol 70%, isopropanol dingin, Chloroform/
isoamylalcohol (24:1), pasangan primer P1/P7 (untuk PCR standar), primer
fU5/rU3 (untuk nested-PCR), DreamTaq Green PCR master mix (2X), penanda
DNA 1 Kpb, larutan Ethidium bromide, Loading dye, dan gel agarosa.
Penyediaan Tanaman yang Terinfeksi Fitoplasma
Tanaman kacang tanah terserang fitoplasma berasal dari lahan pertanian di
Cikarawang, Bogor. Sumber inokulum terlebih dahulu diuji dengan PCR untuk
memastikan terinfeksi fitoplasma di lahan tersebut. Pengambilan contoh dibagi
sebanyak 3 tanaman kacang tanah bergejala terserang penyakit sapu (witches’
broom) dengan 3 ulangan dalam suatu lahan untuk pengujian penyimpanan
fitoplasma.
Pengujian Daya Simpan Contoh Tanaman Sakit
Contoh berasal dari tanaman kacang tanah bergejala sapu (witches’ broom).
Masing-masing contoh tanaman terdiri atas potongan batang muda, tangkai daun,
dan tulang daun tanpa nekrosis yang telah dikomposit. Contoh yang digunakan
berukuran 1 g dan disimpan dalam botol vial berukuran 30 mL. Penyimpanan
terdiri atas 3 aspek yang meliputi:
(1) Lama penyimpanan : 1, 2, 3, dan 4 minggu
(2) Suhu penyimpanan : 25 ºC, 4 ºC, dan -20 ºC
(3) Medium penyimpanan : bufer PGB 1X, NaCl 3 M, bufer CTAB 2%, alkohol
70%, tanpa media, dan FTA-card (P, N, C, A, K, F)
Selanjutnya contoh yang telah melalui aspek lama, suhu, dan media
penyimpanan berbeda diekstraksi DNA-nya untuk dianalisis secara kuantitatif dan
secara kualitatif. Adapun peubah pengamatan dari pengujian daya simpan yaitu :
13
(1)
(2)
(3)
(4)
Kenampakan visual contoh setelah disimpan pada berbagai kondisi
Kenampakan visual DNA total hasil isolasi melalui elektroforesis
Konsentrasi dan kemurnian DNA melalui pengukuran dengan Nanodrop
Detektabilitas DNA hasil isolasi melalui pengujian PCR
Ekstraksi DNA dari Jaringan Tanaman Sakit
Isolasi DNA Total menggunakan Metode Dellaporta et al. (1983)
Ekstraksi DNA total dari contoh jaringan menggunakan metode Dellaporta
et al. (1983) yaitu sebanyak 0.1 g (tangkai, tulang daun, dan batang muda segar)
tanpa nekrosis direndam dalam 1.5 mL bufer ekstraksi fitoplasma dingin
(Phytoplasma grinding buffer) dalam mortar dingin selama 15 menit agar terjadi
plasmolisis, kemudian digerus. Hasil gerusan dipindah ke dalam tabung 2 mL dan
disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 3 menit pada suhu 4 ºC.
Selanjutnya, supernatan dipindah ke tabung 2 mL dan disentrifugasi 12 000 rpm
selama 25 menit pada suhu 4 ºC. Supernatan dibuang, endapan diresuspensi
dengan 0.75 mL bufer CTAB suhu 60 ºC (CTAB + mercaptoethanol) dan
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 ºC. Selama inkubasi, tabung dibolakbalik setiap 10 menit. Suspensi ditambahkan 0.75 mL Chloroform/isoamylalcohol
(24:1 v/v). Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit.
Lapisan epifase dipindahkan ke tabung 1.5 mL baru dan dipresipitasi dengan
isopropanol dingin (-20 ºC) dengan volume setara dan diinkubasi selama 15 menit.
Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit pada suhu 4
º
C. Supernatan dibuang, endapan DNA dicuci dua kali den
DAN IDENTIFIKASI FITOPLASMA PADA KACANG TANAH
BERGEJALA SAPU DENGAN TEKNIK NESTED-PCR
SISKA IRHAMNAWATI PULOGU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Preservasi Jaringan
Tanaman, Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma pada Kacang Tanah
Bergejala Sapu dengan Teknik Nested-PCR adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2017
Siska Irhamnawati Pulogu
A352130221
RINGKASAN
SISKA IRHAMNAWATI PULOGU. Preservasi Jaringan Tanaman, Deteksi dan
Identifikasi Fitoplasma pada Kacang Tanah Bergejala Sapu dengan Teknik
Nested-PCR. Dibimbing oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan GIYANTO.
Fitoplasma adalah bakteri tanpa dinding sel yang menginfeksi jaringan
floem tanaman. Penyakit sapu tanaman kacang tanah yang disebabkan oleh
fitoplasma umum ditemukan di Indonesia. Deteksi fitoplasma pada tanaman
masih cukup sulit dilakukan dengan pendekatan konvensional karena patogen ini
bersifat obligat dan seringkali terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah.
Teknik molekuler telah banyak digunakan dalam penelitian fitoplasma untuk
mengatasi beberapa kendala ketika menggunakan metode konvensional.
Polymerase chain reaction (PCR) adalah metode yang handal untuk mendeteksi
fitoplasma pada tanaman inang. Namun berbagai faktor dapat mempengaruhi
deteksi fitoplasma dengan metode PCR, termasuk penyediaan tanaman segar.
Pengiriman contoh tanaman dalam waktu lama di perjalanan maupun
penyimpanan yang tidak tepat di laboratorium dapat mengakibatkan munculnya
senyawa-senyawa yang dapat menghambat amplifikasi DNA target. Penelitian ini
bertujuan menentukan aspek lama, suhu, dan media penyimpanan yang optimal
untuk jaringan tanaman kacang tanah terinfeksi fitoplasma, mengevaluasi
amplifikasi DNA yang optimal dalam deteksi fitoplasma menggunakan nestedPCR, dan identifikasi fitoplasma berdasarkan analisis nukleotida gen 16S rRNA.
Penyimpanan contoh tanaman kacang tanah bergejala sapu pada suhu dan
media berbeda dalam periode waktu 4 minggu menunjukkan hasil yang bervariasi.
Penyimpanan contoh selama 4 minggu pada suhu -20 ºC dan suhu 4 ºC hingga
minggu ke-3 tidak mengalami perubahan bentuk dan sedikit terjadi perubahan
warna contoh jaringan tanaman. Penyimpanan contoh pada suhu 25 ºC dalam
bufer CTAB selama 4 minggu tidak mengalami perubahan bentuk maupun warna.
Contoh yang tetap segar sebagai bahan untuk ekstraksi DNA total menggunakan
metode CTAB menghasilkan DNA pada kualitas dan kuantitas DNA yang
memadai berdasarkan pengukuran absorbansi dengan nanodrop spektrofotometer.
Sementara itu, jaringan yang disimpan menggunakan FTA-card menghasilkan
DNA dengan konsentrasi yang sangat tinggi dibandingkan hasil metode ekstraksi
tersebut, namun dengan kualitas kemurnian yang rendah.
DNA total hasil ekstraksi dari penyimpanan jaringan pada berbagai
kondisi dan DNA dari penyimpanan dengan FTA-card ketika dijadikan template
dalam PCR standar menggunakan pasangan primer P1/P7 menunjukkan bahwa
tidak semua DNA fitoplasma terdeteksi positif. Namun, pengujian selanjutnya
amplikon-amplikon PCR dengan primer P1/P7 tersebut sebagai template untuk
nested-PCR menggunakan fU5/rU3 mampu meningkatkan detektabilitas
fitoplasma yang berasal dari penyimpanan contoh pada berbagai kondisi dengan
memberikan hasil positif dari contoh yang negatif pada PCR standar. Analisis
nukleotida parsial gen 16S rRNA fitoplasma produk PCR standar berukuran
sekitar ±850 pb dengan menggunakan PCR standar menunjukkan homologi
dengan persentase tertinggi senilai 96% dengan beberapa strain yang data
nukleotidanya tersimpan di GenBank NCBI. Beberapa strain fitoplasma yang
terdekat adalah Sweet potato little leaf dan Peanut witches' broom phytoplasma.
Cara penyimpanan jaringan tanaman yang terinfeksi fitoplasma yang
optimum untuk mempertahankan kuantitas dan kualitas asam nukleat yang
diekstraksi dapat dimanfaatkan dalam kegiatan penelitian dan maupun terapan
yang melibatkan metode deteksi dan identifikasi menggunakan metode molekuler
untuk patogen tumbuhan lain.
Kata kunci: 16S rRNA, DNA total, FTA-card, CTAB, suhu penyimpanan.
SUMMARY
SISKA IRHAMNAWATI PULOGU. Preservation of Plant Tissue, Detection and
Identification of Peanut Witches’ Broom Phytoplasma with Nested-PCR
Technique. Supervised by KIKIN HAMZAH MUTAQIN and GIYANTO.
Phytoplasma is wall-less bacteria inhabiting phloem sieve elements of
infected plants. Witches’ broom of peanut plant caused by phytoplasma is
commonly found in Indonesia. Phytoplasma is quite difficult to detect directly
with conventional methods from infected plant since the pathogen is unculturable
and present in very low concentration within limited tissue of plant. Molecular
techniques have been used for phytoplasma research to overcome some
constraints when conventional methods are used. Polymerase chain reaction
(PCR) is a reliable method to detect phytoplasmas on host plants. However,
various factors can affect the detection of phytoplasmas using PCR method,
including the freshness of plant tissue assayed for obtaining pathogen’s DNA.
Transportation of plant samples for a long time or improper storage in the
laboratory can result in the emergence of compounds that can inhibit the
amplification of the target DNA. This research was to determine optimal aspects
of plant tissue preservation including storage time, temperature, and media for
peanut plants infected with phytoplasma, to evaluate the optimal DNA
amplification using nested-PCR for detecting phytoplasma, and identification of
phytoplasma based on its 16S rRNA gene nucleotide analysis.
Storage of peanut witches broom plant samples at different temperature
and media within a period of 4 weeks showed variation of results. Sample storage
for 4 weeks at -20 ºC and a temperature of 4 ºC until the 3rd week did not change
the tissue shape and resulted in little color change. Samples stored at temperature
of 25 ºC in CTAB buffer for 4 weeks did not change the shape or color. Sample
which remained fresh used as material for total DNA extraction using the CTAB
method produced DNA at adequate quality and quantity based on the absorbance
measurements using nanodrop spectrophotometer. Storage tissue using the FTAcards produced DNA concentrations at considerably higher compared to that of
extraction method, but with lower quality.
The total DNA extraction of tissue storage at various conditions and DNA
from FTA-card when then used as a template in a standard PCR using primers
P1/P7 resulted in that not all of DNA phytoplasmas were detected positively.
Further testing of PCR amplicon with primers P1/P7 as template for subsequent
nested-PCR employing fU5/rU3 primer pair was able to increase the detectability
of phytoplasmas derived from sample storage at various conditions by providing
positive results from those negative example in previous standard PCR.
Homology analysis of about ±850 bp nucleotides of phytoplasma partial 16S
rRNA gene produced by standard PCR showed highest similarities at 96% to
some phytoplasma strains in which their nucleotide data deposited in GenBank
NCBI. Those strains included Sweet potato little leaf and Peanut witches' broom
phytoplasma.
Optimum preservation method for plant tissue infected with phytoplasma
to maintain good quality and quantity of extracted nucleic acid may be useful for
research or application field which involving molecular detection and
identification for other plant pathogens in addition to phytoplasma.
.
Keywords: 16S rRNA, CTAB, FTA-card, storage temperature, total DNA.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRESERVASI JARINGAN TANAMAN, DETEKSI
DAN IDENTIFIKASI FITOPLASMA PADA KACANG TANAH
BERGEJALA SAPU DENGAN TEKNIK NESTED-PCR
SISKA IRHAMNAWATI PULOGU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil
diselesaikan. Penelitian dengan judul “Preservasi Jaringan Tanaman, Deteksi dan
Identifikasi Fitoplasma pada Kacang Tanah Bergejala Sapu dengan Teknik
Nested-PCR” telah dilaksanakan dari bulan Mei 2015 sampai Mei 2016.
Penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr Ir
Kikin Hamzah Mutaqin, MSi dan Dr Ir Giyanto, MSi selaku Komisi Pembimbing
serta Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr sebagai Penguji luar komisi dan Prof Dr
Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc sebagai Ketua Program Studi Fitopatologi.
Penulis juga menyampaikan banyak terimakasih kepada Tatit Sastrini SP MSi,
Muhammad Rizal SP MSi, Amelia Ferina Bulan Dini SP MSi, Syaiful Khoiri SP
MSi, Fitria Yuliani SP MSi, Novi Irawati SP MSi, dan Silviana Arsyad SP yang
telah banyak membantu dan memberi masukan selama pelaksanaan penelitian,
serta teman-teman anggota Laboratorium Bakteriologi, Virologi, dan Mikologi
Departemen Proteksi Tanaman IPB, mahasiswa S2 Fitopatologi tahun masuk
2013 dan seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas segala
bantuan dan masukan dalam mempermudah jalannya penelitian hingga selesai.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis
bapak (Alm) Rustamil Pulogu dan ibu Marata Mahadjani, kakakku Syukri Malik
Pulogu SPd, adik-adikku Hijriyana Rahmawati Pulogu dan Fadlan Saputra
Pulogu, serta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2017
Siska Irhamnawati Pulogu
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xviii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Fitoplasma
Taksonomi dan Klasifikasi
Biologi dan Ekologi
Penyakit Sapu Fitoplasma pada Kacang Tanah
Metode Molekuler untuk Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma
Isolasi DNA Total dari Jaringan Tanaman
Polymerase Chain Reaction
Teknik Sikuensing dan Analisis Filogenetik
3
3
3
5
6
7
7
9
10
3 BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Penyediaan Tanaman yang Terinfeksi Fitoplasma
Pengujian Daya Simpan Contoh Tanaman Sakit
Ekstraksi DNA dari Jaringan Tanaman Sakit
Isolasi DNA Total Menggunakan Metode Dellaporta et al. (1983)
Isolasi DNA Total Menggunakan FTA-card
Pengukuran Kuantitas dan Kualitas DNA
Amplifikasi DNA dengan PCR
PCR Standar
Nested-PCR
Elektroforesis dan Visualisasi DNA
Sikuensing DNA dan Kajian Filogenetik
Analisis Data
12
12
12
12
12
13
13
13
13
14
14
14
15
15
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyakit Sapu Kacang Tanah di Lapangan dan Deteksi Awal PCR
Tingkat Deteriorasi Contoh pada Berbagai Kondisi Penyimpanan
Kenampakan Contoh pada Berbagai Kondisi Penyimpanan
Kenampakan Visual DNA Total hasil Isolasi melalui
Elektroforesis
Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil Isolasi dari Jaringan yang
Disimpan
16
16
17
17
19
20
Detektabilitas PCR terhadap Fitoplasma dari Jaringan yang Disimpan
Optimalisasi Detektabilitas Fitoplasma dengan Nested-PCR
Analisis Sikuen Nukleotida Fitoplasma
22
24
25
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
28
28
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
44
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Tingkat deteriorasi contoh terinfeksi fitoplasma pada berbagai perlakuan
penyimpanan
Konsentrasi DNA total hasil isolasi dari jaringan tanaman terinfeksi
fitoplasma pada berbagai kondisi penyimpanan contoh
Kemurnian DNA total hasil isolasi dari jaringan tanaman terinfeksi
fitoplasma pada berbagai kondisi penyimpanan contoh
Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA hasil isolasi dari jaringan tanaman
terinfeksi fitoplasma pada berbagai kondisi penyimpanan contoh
Tingkat homologi sikuen nukleotida fitoplasma dari tanaman kacang
tanah bergejala sapu dengan beberapa sikuen pembanding dari GenBank
18
21
22
23
26
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Representasi diagram operon 16S-23 rRNA, menunjukkan posisi
beberapa primer universal yang telah dikembangkan untuk amplikasi
PCR daerah ini dari fitoplasma (Hodgetts & Dickinson 2010).
Hubungan filogenetika berdasarkan perbandingan gen 16S rRNA
diantara 27 Mollicute (Nishida 2013)
Gejala penyakit sapu (witches‘ broom) pada tanaman kacang tanah. (A)
tanaman sehat, (B) tanaman bergejala penyakit sapu, (C) pembentukan
tunas-tunas samping dengan daun yang kecil.
Visualisasi DNA fitoplasma hasil PCR menggunakan primer P1/P7
dalam deteksi awal penyakit sapu (withces’ broom) tanaman kacang
tanah.
Visualisasi fragmen DNA total hasil ekstrasi dari penyimpanan contoh
pada berbagai kondisi.
Visualisasi pita DNA fitoplasma hasil PCR standar menggunakan
primer P1/P7 pada penyimpanan contoh dalam berbagai kondisi.
Visualisasi pita DNA fitoplasma hasil nested-PCR menggunakan primer
P1/P7 → fU5/rU3 pada dari penyimpanan contoh pada berbagai kondisi
Pohon filogenetika yang menggambarkan hubungan kekerabatan PnWB
asal Bogor dengan beberapa strain fitoplasma di GenBank dengan
analisis bootstrap neighbor-joining program MEGA 6.06.
10
11
16
17
20
24
25
27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi larutan-larutan bufer (penyangga)
2 Perubahan bentuk dan warna contoh jaringan tanaman terinfeksi
fitoplasma yang disimpan dalam berbagai kondisi
3 Konsentrasi DNA total hasil isolasi dari jaringan tanaman terinfeksi
fitoplasma pada berbagai kondisi penyimpanan contoh yang dihitung
menggunakan nanodrop-spektrofotometer
4 Kesejajaran sikuen nukleotida gen parsial 16S rRNA fitoplasma kacang
tanah bergejala sapu isolat Bogor (PnWB) dengan isolat Sweet potato
little leaf phytoplasma (SPLL-AUS) pada GenBank NCBI
5 Kesejajaran sikuen nukleotida gen parsial 16S rRNA fitoplasma kacang
tanah bergejala sapu isolat Bogor (PnWB) dengan isolat Peanut witches'
broom phytoplasma (PnWB-China) pada GenBank NCBI
36
37
40
42
43
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fitoplasma atau dulu dikenal sebagai mycoplasma-like organisms (MLOs)
adalah bakteri tanpa dinding sel dari Kelas Mollicute yang menjadi patogen
tanaman. Patogen ini pertama kali diidentifikasi dengan nama MLOs berdasarkan
pengamatan mikroskop elektron dalam jaringan floem tanaman mulberry yang
mengalami penyakit kerdil, dan sebelumnya dianggap disebabkan oleh virus (Doi
et al. 1967). Fitoplasma memiliki ciri inti sel yang tidak terorganisasi dengan jelas
karena tidak memiliki membran inti (prokariotik), sel bersifat pleomorfik, tidak
mempunyai dinding sel kaku, hanya diselaputi suatu membran, serta rentan
terhadap antibiotik tetrasiklin (McCoy et al.1989).
Fitoplasma telah ditemukan berasosiasi dengan penyakit-penyakit pada
sejumlah besar tanaman di seluruh dunia dengan gejala yang bervariasi tergantung
jenis inang, strain fitoplasma, faktor lingkungan, dengan gejala berupa berwarna
kuning/perubahan warna ungu pada daun dan tunas, filodi, kerdil, penyakit sapu,
dan bahkan kematian tanaman (Dickinson et al. 2013). Gejala penyakit ini terjadi
karena terganggunya sistem fotosintesis terutama transfer fotosintat dan
konduktansi stomata, ketidakseimbangan hormon pertumbuhan, metabolisme
senyawa sekunder, dan perubahan nutrisi pada berbagai bagian tanaman (Marcone
2010).
Beberapa tanaman penting di Indonesia dilaporkan terserang fitoplasma.
Penyakit sapu (witches’ broom) merupakan salah satu penyakit penting pada
berbagai tanaman leguminosa seperti kacang merah, kacang hijau, kacang panjang,
kacang bogor, kacang buncis, kedelai, dan terutama kacang tanah yang dapat
menurunkan bobot polong dari 41-100% (Nugroho et al. 2000). Penyakit sapu ini
jarang mengalami ledakan, namun keberadaan penyakit ini dapat dikatakan
konstan dari waktu ke waktu. Selain tanaman kacang-kacangan, fitoplasma
terdeteksi menyerang tanaman rumput bermuda dan mengakibatkan daun
berwarna putih terutama rumput yang berada di padang golf maupun lapangan
sehingga mengurangi mutu dan nilai estetikanya (Mutaqin et al. 2003).
Deteksi dan identifikasi fitoplasma pada tanaman awalnya berdasarkan
beberapa teknik seperti pengamatan gejala, uji penularan, kisaran inang,
spesifisitas serangga vektor, kepekaan terhadap antibiotik, dan mikroskopi
elektron (McCoy et al. 1989). Dengan berkembangnya teknik biologi molekuler,
penelitian fitoplasma intensif kembali, karena dengan metode tersebut diperoleh
banyak informasi yang dengan metode konvensional sulit dilakukan (Marcone
2014). Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode molekuler yang
dapat mengamplifikasi sikuen DNA in vitro secara ekponensial. Metode PCR
merupakan metode yang sangat sensitif, dimana metode PCR tersebut dapat
mengamplifikasi sikuen DNA target walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit
(Yuwono 2006). Gen 16S dan 23S rRNA fitoplasma banyak digunakan sebagai
wilayah amplikasi PCR dan sikuensing untuk kepentingan deteksi, identifikasi
maupun klasifikasi fitoplasma (Hodgetts & Dickinson 2010).
2
Kegiatan deteksi dan identifikasi fitoplasma di laboratorium, menyangkut
penyediaan contoh segar merupakan hal yang sangat penting mengingat
fitoplasma belum dapat dibiakkan dalam media tumbuh. Faktor jarak dan waktu
dapat menjadi kendala dalam menjaga contoh tanaman tetap segar. Ketika
pengiriman contoh jaringan tanaman dari jarak jauh atau daerah terpencil kadang
membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan contoh tersebut cepat mengalami
deteriorasi yang disertai dengan munculnya senyawa-senyawa seperti polifenol
dan polisakarida. Senyawa ini jika terikut selama isolasi DNA dapat menjadi
inhibitor atau mempengaruhi kualitas DNA yang disyaratkan untuk digunakan
dalam proses PCR (Nejat & Vadamalai 2013). Untuk mencegah munculnya
senyawa-senyawa kontaminan perlu adanya penyimpanan contoh yang tepat,
mengingat penyimpanan jaringan tanaman dapat juga mempengaruhi tingkat titer
fitoplasma (Wongwarat et al. 2011). Selain itu, titer fitoplasma dalam jaringan
tanaman seringkali sangat rendah sehingga DNA yang diisolasi belum cukup
dalam PCR standar untuk menghasilkan amplikon yang terlihat jelas (false
negative), maka dilakukan modifikasi PCR untuk meningkatkan detektabilitasnya,
yaitu melalui PCR bersarang (nested-PCR) menggunakan pasangan primer untuk
reamplifikasi DNA sasaran secara internal dalam wilayah sasaran PCR standar
(Gundersen & Lee 1996). Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian dalam
mengatasi permasalahan tersebut, mulai dari metode praktis penyimpanan contoh
agar tetap awet dalam jangka panjang dan modifikasi PCR untuk meningkatkan
proses deteksi pada tingkat yang optimal sehingga kualitas DNA fitoplasma tetap
terjaga.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memperoleh teknik penyimpanan jaringan
tanaman bergejala sapu untuk memperoleh DNA fitoplasma yang memadai,
mengevaluasi amplifikasi DNA yang optimal dalam deteksi fitoplasma dengan
teknik nested-PCR, dan identifikasi fitoplasma asal tanaman kacang tanah dari
Bogor berdasarkan analisis nukleotida gen 16S rRNA.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi
masyarakat luas terutama mahasiswa, peneliti dan petugas perlindungan tanaman
ataupun instansi mengenai fitoplasma penyebab penyakit sapu kacang tanah, cara
penyimpanan optimal tanaman untuk deteksi dan identifikasi fitoplasma
menggunakan pendekatan molekuler PCR.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Fitoplasma
Fitoplasma merupakan bakteri patogen tanpa dinding sel yang memiliki
potensi menyebabkan kerugian yang parah pada tanaman (Hogenhout & Music,
2010). Pada tahun 1967, fitoplasma yang sebelumnya dikenal sebagai
“Mycoplasma-like organisms’’(MLOs) pertama kali ditemukan oleh peneliti
Jepang, berdasarkan pengamatan dalam jaringan floem tanaman yang terinfeksi
penyakit kerdil menggunakan teknik mikroskop elektron. Awalnya, sifat gejala
penyakit dan cara penularan patogen tersebut menyerupai virus (Kirkpatrick 1989).
Berdasarkan analisis urutan nukleotida gen ribosom dibuktikan bahwa
prokariot tanpa dinding sel ini merupakan kelompok monofiletik besar dalam
Kelas Mollicute atau disebut “fitoplasma” (phytoplasma). Kromosom fitoplasma
berukuran relatif paling kecil (680-1600 kb) dibandingkan kromosom prokariota
lainnya. Analisis gen16S rRNA menunjukkan bahwa fitoplasma lebih memiliki
kedekatan dengan Acholeplasma spp. dalam Kelas Mollicute (Bertaccini et al.
2014). Fitoplasma atau Mollicute secara umum diduga mengalami evolusi regresif
dari nenek moyang asalnya bakteri Gram positif khususnya grup Bacillus dan
Clostridium (Bai et al. 2006).
Fitoplasma diketahui berasosiasi dengan penyakit pada ratusan spesies
tanaman. Fitoplasma merupakan parasit obligat yang berada secara spesifik dan
terbatas dalam jaringan floem tanaman atau tubuh serangga vektornya. Penularan
fitoplasma oleh serangga vektor secara persisten sirkulatif propagatif (Maixner
2010). Fitoplasma menginfeksi tanaman dengan gejala yang khas seperti phyllody
(struktur bunga berubah menyerupai daun), ukuran daun mengecil, virescence
(perubahan warna bagian pembungaan), witches‘ broom (proliferasi daun, cabang,
dan batang), kerdil (bunga dan daun kecil dengan ruas memendek), dan bahkan
kematian tanaman. Adapun tanaman stres yang telah terinfeksi fitoplasma dapat
menimbulkan banyak gejala nonspesifik lainnya (Lee et al. 2000).
Taksonomi dan Klasifikasi
Fitoplasma termasuk ke dalam Kingdom Bacteria, Divisi Proteobacteria,
Kelas Mollicute, Ordo Acholeplasmatales, Famili Acholeplasmataceae, Genus
Candidatus Phytoplasma (Beattie 2006). Sistem penamaan fitoplasma belum
dikukuhkan secara tegas, penamaan genus atau spesies masih bersifat sementara
menggunakan kata depan “Candidatus” atau disingkat “Ca”, misalnya
Candidatus Phytoplasma asteris dan Candidatus Phytoplasma cynodontis.
Klasifikasi fitoplasma secara konvensional didasarkan atas sifat-sifat fenotip
terutama pada gejala penyakit tanaman yang ditimbulkan, masih belum
memuaskan. Suatu fitoplasma dapat menyebabkan perbedaan gejala penyakit pada
tanaman yang berbeda atau gejala penyakit yang sama dapat disebabkan oleh
fitoplasma yang berbeda (Lee et al. 2000). Metode ini dinilai kurang efektif
karena fitoplasma termasuk patogen obligat yang masih sangat sulit dibiakan
dalam media buatan. Kesulitan ini mengakibatkan proses determinasi status
taksonomi dengan serangkaian uji morfologi, fisiologi dan biokimia dalam media
buatan seperti halnya pada kelompok bakteri yang lain menjadi rumit bahkan
4
belum dapat dilakukan (Murray et al. 1990). Oleh karena itu, pendekatan
molekuler dibutuhkan untuk menjadi acuan utama dalam studi klasifikasi
fitoplasma saat ini. Klasifikasi fitoplasma secara molekuler berdasarkan pada data
sikuen genomik atau genetik dapat dilakukan tanpa membutuhkan biakan bakteri
hidup (Lee et al. 2010).
Sistem klasifikasi dan penamaan spesies fitoplasma baru didasarkan pada
karakteristik molekuler yaitu gen 16S rRNA (Zhao et al. 2010) dan gen selain 16S
rRNA seperti Intergenic Spacer Region (ISR) antara gen 16S-23S rRNA, gen Tuf,
gen Ribosomal Protein (rp), gen SecY, dan gen SecA (Lee et al. 2010). Sikuen gen
16S rRNA telah digunakan sebagai marka molekuler utama untuk identifikasi
fitoplasma. Skema klasifikasi fitoplasma komprehensif pertama kali adalah
berdasarkan analisis restrictiom fragment length polymorphism (RFLP) dari
amplifikasi PCR 16S rDNA (Lee et al. 1998). Analisis Restriction fragment
length polymorphism (RFLP) digunakan untuk klasifikasi fitoplasma dengan cara
membandingkan sikuen ke dalam grup 16Sr dan subgrup (Dickinson et al. 2013).
Selama beberapa tahun terakhir, banyak dan beragam fitoplasma telah
ditemukan di seluruh dunia. Klasifikasi fitoplasma berdasarkan pola RFLP
nukleotida 16S rDNA menjadi 33 grup besar, 126 subgrup, dan 39 spesies “Ca.
Phytoplasma”. 33 grup tersebut adalah: 16SrI (Aster yellow), 16SrII (Peanut
witches’ broom), 16SrIII (X-disease), 16SrIV (Coconut lethal yellow), 16SrV
(Elm yellow), 16SrVI (Clover proliferation), 16SrVII (Ash yellows), 16SrVIII
(Loofah witches’ broom), 16SrIX (Pigeon pea witches’ broom), 16SrX (Apple
proliferation), 16SrXI (Rice yellow dwarf), 16SrXII (Stolbur), 16SrXIII (Mexican
periwinkle), 16SrXIV (Bermudagrass), 16SrXV (Hibiscus witches’ broom),
16SrXVI (Sugarcane yellow leaf syndrome), 16SrXVII (Papaya bunchy top),
16SrXVIII (American potato purple top wilt), 16SrXIX (Chestnut witches’
broom), 16SrXX (Rhamnus witches’broom), 16SrXXI (Pinus Phytoplasmas),
16SrXXII, 16SrXXIII, 16SrXXIV, 16SrXXV, 16SrXXVI, 16SrXXVII,
16SrXXVIII, 16SrXXIX (Cassia witches’ broom), 16SrXXX (Salt cedar witches’
broom), 16SrXXXI (Soybean stunt), 16SrXXXII (Malaysian periwinkle
virescence dan phyllody), 16SrXXXIII ( Allocasuarina muelleriana Phytoplasma)
(Bertaccini et al. 2014).
Grup Peanut witches’ broom (16SrII) terdiri atas 12 subgrup yaitu 16SrII-A
(Peanut witches’ broom), 16SrII-B (Lime witches’ broom), 16SrII-C (Faba bean
phyllody), 16SrII-D (Papaya yellow crinkle), 16SrII-E (Pichris echioides
phyllody), 16SrII-F (Cotton phyllody), 16SrII-G (strain YN23 and YN25), 16SrIIH (strain YN24), 16SrII-I (strain YN06), 16SrII-J (strain YN07), 16SrII-K (strain
YN28), dan 16SrII-L (strain YN01). Ketujuh subgrup diantaranya merupakan
subgrup baru yang ditemukan dan berada di Yunnan, China. Perbedaan wilayah
geografis yang satu dengan yang lainnya memengaruhi keanekaragaman genetik
fitoplasma (Cai et al. 2008). Fitoplasma yang termasuk dalam grup 16SrII
diketahui menyebabkan penyakit pada tanaman kacang-kacangan di Asia. Selain
itu grup tersebut telah menyebabkan penyakit Tomato big bud dan Sweet potato
little leaf di Australia serta penyakit Cotton phyllody di Afrika Barat (Foissac &
Wilson 2010).
5
Biologi dan Ekologi
Fitoplasma merupakan kelompok bakteri terkecil (diameter sel ±500 nm)
yang tidak memiliki dinding sel, hanya diselimuti membran sel, bentuk sel
pleomorfik ataupun bulat dengan diameter kurang dari 1 µm, memiliki sitoplasma,
ribosom, dan untai DNA (Hogenhout & Music 2010). Ukuran genom fitoplasma
sekitar 530-1.350 kb dengan kandungan G+C yang rendah (23.0-29.5 Mol%)
(Dickinson et al. 2013). Fitoplasma memiliki ukuran genom terkecil dalam
kelompok bakteri, namun fitoplasma masih mempunyai sejumlah gen untuk
memperbanyak diri. Fitoplasma memiliki sejumlah gen transposon dan sikuen
penyisipan yang unik, dengan komposisi dan kandungan gen yang sama biasa
disebut variabel mosaik atau disebut potential mobile units (PMUs). Selain itu
terdapat DNA ekstrakromosom (EC-DNA) atau plasmid dari berbagai ukuran
ditemukan pada beberapa kelompok fitoplasma (Bertaccini et al. 2014). Sejumlah
ORFs dalam kromosom yang berfungsi untuk memperbanyak diri fitoplasma telah
diidentifikasi (Tran-Nguyen et al. 2008). Fitoplasma mampu berkembang-biak
dengan pertunasan atau pembelahan biner sel (Iwaki et al. 1978).
Genom fitoplasma memiliki gen untuk sintesis folat, yang memungkinkan
beradaptasi di lingkungan yang beragam pada tubuh tanaman inang dan serangga
vektor (Duduk 2009). Di dalam tubuh tanaman inang, fitoplasma berkembang dan
bereproduksi secara aseksual terutama di jaringan floem, termasuk sieve tubes
dewasa yang tidak memiliki inti sel dan sel floem yang masih memiliki inti sel.
Sedangkan pada tubuh serangga, fitoplasma harus melintasi sel-sel usus,
kemudian memperbanyak diri ke seluruh bagian jaringan tubuh serangga dan
melintasi sel kelenjar ludah agar saliva yang mengandung fitoplasma cukup untuk
introduksi fitoplasma ke dalam tanaman (Hogenhout et al. 2008).
Interaksi segitiga antara fitoplasma, vektor dan tanaman berkontribusi
terhadap kompleksitas ekologi fitoplasma. Setiap strain fitoplasma memiliki sifatsifat ekologi tertentu serta kenampakan biologis yang khas, seperti spesifitas
gejala tanaman terinfeksi fitoplasma berdasarkan jenis tanaman dan vektor.
Genom fitoplasma mengandung banyak gen yang mengkodekan sistem
transporter seperti malat, logam ion, dan asam amino transporter, dan diantaranya
muncul dengan beberapa salinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa fitoplasma
mengimpor banyak metabolit dari sel inang sehingga mengganggu keseimbangan
metabolisme dan menimbulkan gejala penyakit tanaman (Bertaccini et al. 2014).
Fitoplasma telah diketahui berasosiasi dengan penyakit pada ratusan
spesies tanaman (Hogenhout et al. 2008). Salah satunya penyakit Peanut witches’
broom pada berbagai tanaman kacang-kacangan yang disebabkan oleh fitoplasma.
Tanaman yang terinfeksi fitoplasma akan menginduksi gejala penyakit yang
melibatkan terganggunya keseimbangan hormon pertumbuhan, asam amino,
translokasi karbohidrat, menghambat fotosintesis dan penuaan dini (Zhao et al.
2010). Gejala dapat meliputi virescence (perubahan warna pada bagian bunga
menjadi hijau seperti daun), proliferasi tunas-tunas aksilar, witches’ broom dan
kerdil (Duduk 2009).
Fitoplasma dapat ditularkan oleh serangga vektor, tali putri, dan
penyambungan (McCoy 1979). Serangga vektor adalah agensi penular fitoplasma
yang paling utama di lapangan. Serangga vektor yang berperan dalam penularan
fitoplasma adalah serangga yang termasuk ke dalam Ordo Homoptera, Famili
Cicadellidae (wereng daun), Psyllidae (kutu loncat), Cercopidae, Delphacidae
6
(wereng batang), dan beberapa Ordo Hemiptera (D’Arcy & Nault 1982). Penyakit
sapu pada kacang tanah di Indonesia ditularkan oleh serangga wereng daun
Orosius argentatus (Evans) (Triharso 1975). Selanjutnya fitoplasma masuk ke
dalam jaringan tanaman dan menyebar secara sistemik melalui aktivitas makan
vektor serangga. Serangga vektor memakan getah di jaringan floem yang
terinfeksi fitoplasma, sehingga kisaran inang bergantung pada preferensi makan
serangga vektor. Fitoplasma mampu bertahan dalam tubuh serangga vektor
ataupun tanaman inang selama musim dingin. Penyebaran fitoplasma dapat
melalui perbanyakan vegetatif seperti inokulasi jaringan tanaman yang sakit ke
tanaman sehat (Bertaccini et al. 2014).
Penularan fitoplasma dengan serangga vektor bersifat persisten, transtadial,
dan tidak transovarial (tidak diturunkan pada generasi berikutnya). Serangga yang
terinfeksi terkadang mengalami gangguan fisiologis. Fitoplasma dan serangga
vektor memiliki hubungan yang spesifik, artinya bahwa suatu spesies serangga
hanya menularkan satu jenis fitoplasma (Nielson 1968). Distribusi fitoplasma
pada jaringan tanaman tidak merata, terutama pada tanaman berkayu dan
jumlahnya tergantung pada musim dan organ tanaman (Firrao et al. 2007).
Cara penularan fitoplasma dengan penyambungan adalah menyambung
atau menempelkan bagian tanaman sakit pada bagian tanaman sehat.
Penyambungan menjadi cara penularan yang efisien sehingga dapat digunakan
untuk skrining tanaman dengan tujuan resistensi terhadap patogen.
Penyambungan telah umum digunakan dalam menentukan kisaran inang beberapa
strain fitoplasma di Eropa (Ploaie 1981). Kelemahan cara penyambungan adalah
kompatibilitas antara stock (bagian batang pucuk sehat) dan scion (bagian batang
pucuk sakit) (McCoy 1979). Dalam penyambungan, tingkat keberhasilan lebih
tinggi jika spesies tanaman sama atau spesies tanaman memiliki kemiripan dalam
jenis batang. Adapun proses penyambungan spesies bersilang, seringkali scion
tidak akan tumbuh terus bahkan mengalami kematian, namun penularan
fitoplasma tersebut dapat teratasi dengan penggatian scion (Hodgetts et al. 2013).
Penyakit Sapu Fitoplasma pada Kacang Tanah
Penyakit sapu pada tanaman kacang tanah sudah dikenal di Indonesia,
sejak tahun 1910-an, khususnya di Jawa Timur bersama dengan penyakit sapu
pada beberapa tanaman kacang-kacangan, seperti orok-orok (Crotalaria) dan kara
(Dolichos) (Van Hall 1916). Seiring waktu, penyakit sapu terus menyebar luas ke
seluruh Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi (Iwaki 1979). Penyakit sapu yang
disebabkan oleh fitoplasma merupakan salah satu penyakit yang sering ditemukan
pada tanaman legum terutama pada tanaman kedelai, kacang hijau dan kacang
tanah. Gejala awal penyakit sapu kacang tanah adalah daun menjadi kecil dalam
jumlah yang banyak, pembentukan tunas-tunas samping (proliferasi) yang
berlebihan dari satu titik tumbuh (Hogenhout et al. 2008), dan ginofor tumbuh
mengikuti geotropi negatif. Setelah itu terjadi filodi pada bunga menjadi struktur
daun dan tanaman tersebut menghasilkan polong yang berukuran sangat kecil
ataupun hampa. Gejala-gejala tersebut muncul terutama apabila infeksi terjadi
pada saat umur tanaman masih sangat muda (Firrao et al. 2007).
7
Serangga wereng daun Orosius argentatus (Hemiptera: Cicadellidae)
adalah vektor penyakit sapu pada beberapa tanaman kacang-kacangan termasuk
pada tanaman kacang tanah (Iwaki et al. 1978). Penularan fitoplasma oleh
O.argentatus bersifat sirkulatif propagatif dan persisten, dalam penularannya
terdapat periode laten yang dibutuhkan untuk melakukan penggandaan dan
translokasi fitoplasma dalam tubuh serangga. Fitoplasma dapat ditularkan oleh
serangga vektor stadia nimfa hingga imago dan akan terus berada dalam tubuh
serangga walaupun serangga mengalami ganti kulit (tidak transtadial) (Weintraub
& Wilson 2010). Ketika O. argentatus mengakuisisi makanan pada tanaman sakit,
fitoplasma ikut terbawa ke dalam alat pencernaan serangga vektor tersebut.
Selanjutnya fitoplasma melakukan multiflikasi dalam saluran pencernaan dan
masuk ke dalam saluran peredaran darah hingga akhirnya fitoplasma menuju otak
dan kelenjar ludah serangga. Apabila konsentrasi fitoplasma dalam kelenjar ludah
meningkat, serangga mulai menularkan patogen tersebut ke tumbuhan baru
(Markham & Townsend 1974).
Metode Molekuler untuk Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma
Sebelum perkembangan teknik molekuler, deteksi terhadap penyakit yang
yang disebabkan oleh fitoplasma tergolong sulit. Metode diagnosis untuk
mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh fitoplasma berupa pengamatan gejala,
serangga vektor, dan penyambungan dari tanaman inang terinfeksi, pengamatan
menggunakan mikroskop elektron pada jaringan floem yang terinfeksi fitoplasma,
dan pemberian antibiotik (tetrasiklin) pada tanaman terinfeksi (Duduk 2009).
Deteksi yang sensitif dan akurat mikroorganisme merupakan prasyarat
dalam pengelolaan penyakit. Penggunaan mikroskop elektron merupakan
pendekatan alternatif pengamatan fitoplasma dalam jaringan floem tanaman.
Dalam pendekatan lain, teknik serologi untuk deteksi fitoplasma muncul di tahun
1980-an dengan metode berdasarkan ELISA seperti blotting jaringan untuk
deteksi antigen langsung dan tidak langsung dilakukan untuk mendeteksi
fitoplasma. Pada awal 1990-an, analisis RFLP memungkinkan identifikasi strain
fitoplasma dengan akurat (Duduk 2009).
Akhir-akhir ini deteksi dan identifikasi fitoplasma lebih berdasarkan pada
karakteristik molekuler, khususnya terhadap gen 16S rRNA (Zhao et al. 2010).
Adapun metode diagnosis yang paling umum digunakan dan terus berkembang
adalah PCR dan penggembangan primer spesifik fitoplasma untuk
mengamplifikasi berbagai daerah pada operon rRNA. Berbagai metode ekstraksi
dilakukan menggunakan tanaman uji atau serangga yang terinfeksi untuk
menghasilkan DNA total yang mengandung fitoplasma (Dickinson et al. 2013).
Deteksi fitoplasma menggunakan teknik PCR dilakukan menggunakan sepasang
primer oligonukleotida yang mampu mengamplifikasi sikuen DNA pada daerah
seluruh gen 16S, spacer region dan pangkal gen 23S rRNA dari umumnya
fitoplasma (Schneider et al. 1995).
Isolasi DNA Total dari Jaringan Tanaman
Fitoplasma menginfeksi jaringan floem tanaman dan menimbulkan gejala
yang bervariasi pada tanaman inang. Tanaman yang terinfeksi dapat dijadikan
sampel untuk proses deteksi fitoplasma. Namun ketika tanaman atau organ
8
tanaman mati maka akan sulit untuk mendeteksi fitoplasma yang berada dalam
jaringan. Perkembangan teknologi memungkinkan untuk penyimpanan jaringan
tanaman dengan berbagai metode seperti pengeringan sampel pada suhu ruang,
oven di laboratorium, penyimpanan dalam freezer dan menggunakan larutan bufer
(Bressan et al. 2014).
Penyimpanan sampel tanaman/jaringan dapat mengurangi resiko
terbentuknya senyawa tertentu yang tidak diinginkan terbawa dalam isolasi DNA.
Jaringan tanaman umumnya menghasilkan berbagai senyawa sekunder seperti
fenolat, tanin, lateks, dan polisakarida. Senyawa tersebut dapat menghambat
reaksi amplifikasi DNA dan sikuensing (Bressan et al. 2014).
Jaringan tanaman yang disimpan dalam jangka panjang dapat disertai
dengan penggunaan media pengawet misalnya pelarut/penyangga (bufer) agar
jaringan tetap terjaga dalam kondisi baik. Media penyangga yang mengandung
garam dalam suhu rendah dapat menjaga kondisi jaringan tanaman (Brockbank &
Taylor 2006). Penyimpanan jaringan tanaman menggunakan etanol 96% selama
30 hari menghasilkan kualitas DNA yang setara dengan jaringan yang segar
setelah diekstraksi (Bressan et al. 2014). Penyimpanan jaringan tanaman
menggunakan media penyangga kombinasi NaCl-CTAB pada jangka panjang
mampu menghasilkan kualitas DNA yang baik dan bervariasi (Thomson 2002).
Selain itu, FTA-card yang berupa lembar nitroselulosa dapat digunakan sebagai
penyimpanan jaringan secara langsung dari tanaman segar. Substansi yang
disimpan dalam FTA-card, misalkan asam nukleat total dari tanaman mampu
terawetkan dalam jangka panjang. Recovery substansi yang tersimpan dalam
FTA-card dilakukan dengan menggunakan bahan larutan kimia yang bersifat
dapat melisiskan sel, menjaga asam nukleat dari kerusakan, dan menonaktifkan
mikroorganisme (Smith & Burgoyne 2004).
Penyimpanan sampel jaringan tanaman yang tepat, penting dalam
mendukung keberhasilan penelitian molekuler (Prendini et al. 2002).
Keberhasilan dalam proses deteksi tergantung dari jumlah dan kualitas asam
nukleat/DNA fitoplasma dari hasil ekstraksi sehingga persiapan ekstraksi DNA
total dengan baik dapat memungkinkan konsentrasi DNA fitoplasma yang
terisolasi tinggi. Konsentrasi sel fitoplasma dalam jaringan floem bervariasi
tergantung dari lingkungan, bagian tanaman, dan spesies tanaman, dan sering
dijumpai rendah pada tanaman berkayu (Firrao et al. 2007). Jumlah DNA
fitoplasma yang diperoleh adalah hanya sekitar 1% dari DNA total tanaman.
Dalam melakukan isolasi DNA, ada beberapa macam protokol yang digunakan,
namun tujuan dari setiap protokol adalah untuk memperoleh DNA fitoplasma
dengan konsentrasi tinggi dan mengurangi senyawa polifenol, polisakarida, dan
enzim penghambat lainnya (Duduk 2009).
Teknik isolasi DNA dapat menggunakan kit maupun metode
konvensional. Metode konvensional dapat digunakan dalam lingkup yang luas,
namun membutuhkan waktu relatif lebih lama. Metode konvensional yang sering
digunakan untuk isolasi DNA fitoplasma yaitu metode Dellaporta et al (1983).
Isolasi DNA diawali dengan pengambilan sampel. Sampel untuk isolasi DNA
fitoplasma lebih ditekankan pada bagian tanaman yang mengandung banyak
jaringan floem. Umumnya titer tertinggi sel fitoplasma terdapat pada organ daun
(daun dewasa), sedang pada bagian batang dan paling terendah pada akar tanaman
(Duduk 2009). Selanjutnya mengekstraksi DNA dari tanaman menggunakan bufer
9
lisis (PGB atau CTAB) yang berfungsi memisahkan DNA dari sel. Selanjutnya
presipitasi untuk mengikat DNA dipermukaan dan memisahkan dengan
kotoran/senyawa-senyawa kontaminan. Setelah melalui serangkaian pencucian
dan terbentuk pelet, DNA ditambahkan dengan bufer TE (Mehle et al. 2013).
Proses deteksi untuk tanaman tahunan/berkayu jauh lebih sulit disebabkan
konsentrasi yang rendah dan distribusi yang tidak teratur fitoplasma dalam
jaringan tanaman sehingga protokol untuk proses isolasi DNA tanaman berkayu
berbeda dengan tanaman musiman (Harrison et al. 2013).
Polymerase Chain Reaction
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode molekuler yang
dapat mengamplifikasi sikuen DNA secara eksponensial (Yuwono 2006). Teknik
PCR merupakan teknik molekuler yang dapat digunakan untuk mendeteksi
fitoplasma pada jaringan tanaman secara akurat (Marcone et al. 1997).
Komponen utama yang dibutuhkan dalam proses PCR adalah DNA
cetakan (template)¸ yaitu DNA sasaran yang akan dilipatgandakan: primer, suatu
sekuan oligunukleotida pendek yang berfungsi untuk mengawali sintesis rantai
DNA, empat macam deoksiribonukleotida trifosfat (dNTPs, yang terdiri atas
dATP, dGTP, dCTP dan dTTP), dan enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang
melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga
dibutuhkan adalah larutan bufer (Yuwono 2006). Proses PCR terdiri atas tiga
tahapan reaksi yang berulang dalam beberapa siklus. Reaksi pelipatgandaan suatu
fragmen DNA dimulai dengan tahapan denaturasi DNA template untuk
memisahkan rantai DNA untai ganda sehingga menjadi untai tunggal. Denaturasi
dilakukan pada suhu tinggi (95 ºC), kemudian suhu diturunkan menjadi sekitar 5060 ºC sehingga primer menempel (annealing) pada template yang menjadi rantai
tunggal. Setelah dilakukan annealing, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 ºC.
Pada suhu ini, DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA
yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA template. Rantai DNA baru
selanjutnya akan berfungsi sebagai template bagi reaksi polimerasi berikutnya.
Pengujian PCR menggunakan primer universal berguna untuk identifikasi
awal penyakit yang disebabkan fitoplasma. Beberapa primer universal dan
spesifik kelompok telah banyak dirancang untuk deteksi fitoplasma pada gen
ribosom 16S. Penentuan gen 16S rRNA untuk klasifikasi fitoplasma terletak pada
kestabilan gennya, karena itu primer oligonukleotida universal relatif mudah
didesain dari banyak sikuen yang tersedia di database GenBank. Namun demikian,
karena tingginya kestabilan gennya, maka gen 16S rRNA tak sebanding untuk
perbedaan yang tepat antar strain fitoplasma. Hal ini dibuktikan dengan adanya
beberapa subgroup dari satu strain yang mempunyai sifat biologi yang berbeda
(Zhao et al. 2010).
Deteksi fitoplasma secara umum menggunakan sepasang primer universal
yang dirancang dengan sikuen terkonservasi seperti 16S rRNA, gen Ribosomal
Protein (rp), gen 16S-23S rRNA, gen Tuf, gen SecY, dan gen SecA. Adapun
primer universal sering digunakan yaitu primer oligonukleotida P1 (5’ AAG AGT
TTG ATC CTG GCT CAG GAT 3’) dan P7 (5’ CGT CCT TCA TCG GCT CCT
3’) yang mampu mengamplifikasi sikuen DNA pada daerah seluruh gen 16S
rRNA, spacer region dan pangkal gen 23S rRNA dari umumnya fitoplasma
(Schneider et al. 1995).
10
16S rRNA
tRNA
P1
1830 bp
R16F2n
fU5
1245 bp
890 bp
23S rRNA
P7
R16R2
rU3
Gambar 1 Representasi diagram operon 16S-23 rRNA, menunjukkan posisi
beberapa primer universal yang telah dikembangkan untuk
amplikasi PCR daerah ini dari fitoplasma (Hodgetts & Dickinson
2010).
Ket: Nama primer diberikan dibawah tanda panah dan ukuran perkiraan
amplikon ditunjukkan diantara garis putus-putus.
Proses PCR sering mengalami hambatan seperti titer yang sangat rendah
dari sampel fitoplasma atau adanya inhibitor yang mengganggu efektivitas PCR.
Nested-PCR menjadi pilihan yang tepat untuk mengamplifikasi daerah 16S rRNA
dengan menggunakan pasangan primer universal pertama yang kemudian diikuti
dengan pasangan primer universal kedua dengan produk hasil PCR yang pertama
menjadi DNA template. Nested-PCR merupakan modifikasi PCR yang didesain
untuk meningkatkan sensitifitas deteksi dan spesifisitas dalam amplikasi
fitoplasma. Teknik ini digunakan untuk mengantisipasi sedikitnya jumlah patogen
yang ditemukan pada jaringan floem (Nejat et al. 2009). Pada umumnya,
fitoplasma lebih mudah dideteksi dari jaringan yang masih muda daripada
jaringan yang sudah tua (Harrison et al. 1999). Metode ini mampu mendeteksi
fitoplasma ganda yang menginfeksi jaringan tanaman (Duduk 2009).
Teknik Sikuensing dan Analisis Filogenetika
Kemajuan studi filogenetika dan penyempurnaan proyek sikuensing
sejumlah genom dari bakteri yang dapat dibiakkan telah mendeterminasikan
keragaman genomik dalam hubungannya dengan kenampakan fenotipik kingdom
bakteri. Hasilnya, pandangan taksonomi modern dalam dunia prokariot telah
berubah. Terdapat kesepakatan bahwa gen 16S rRNA akan digunakan sebagai
parameter filogenetika utama untuk spesifikasi bakteri sehingga menggantikan
prosedur konvensional berdasarkan homologi DNA-DNA (Brown et al. 2007).
Penggunaan sistem banyak gen akan memberikan kriteria molekuler untuk
klasifikasi fitoplasma sampai tingkat spesies dan strain yang lebih baik.
Kelemahan sistem berdasarkan gen 16S rRNA sebagai sistem klasifikasi strain
fitoplasma akan tertutupi dengan penambahan marka-marka molekuler lain
sebagai parameter baru. Beberapa marka molekuler, selain gen 16S rRNA telah
berhasil diidentifikasi dan menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
mengklasifikasi ekologis strain patogen tersebut (Dickinson & Hodgetts 2013).
Berdasarkan urutan DNA yang telah dianalisis secara filogenetika
menunjukkan bahwa fitoplasma termasuk dalam kelompok monofiletika Mollicute
(Hogenhout et al. 2008). Kemajuan pengetahuan genom dan bioinformatika telah
11
menghasilkan empat genom yang tersikuensing lengkap. Adapun 4 strain tersebut
diantaranya: Onion Yellows M (OY-M), Aster yellows witches’ broom (AY-WB),
tuf-Australia; rp-A australiense, dan AT ‘Ca’. Phytoplasma mali (Hogenhout &
Music 2010). Dengan demikian, sistem klasifikasi fitoplasma sampai saat ini
kebanyakan masih berdasarkan gen 16S rRNA (Lee et al. 2010).
Gambar 2 Hubungan filogenetika berdasarkan perbandingan gen 16S rRNA
diantara 27 Mollicute (Nishida 2013)
12
3 BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan
tanaman sakit diperoleh di lahan pertanian Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Mei 2015 sampai Mei
2016.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan yaitu tabung eppendorf berukuran 2 mL, 1.5 mL, dan
0.2 mL, mortar, alat elektroforesis, transilluminator UV. Bahan yang digunakan
yaitu contoh tanaman kacang tanah yang bergejala sapu (witches’ broom),
Phytoplasma grinding buffer (47.4 mM K2HPO4.3H2O; 15 mM KH2PO4; Sukrosa
5%; Polyvinylpyrrolidone-101%), buffer CTAB (CTAB 2%; 1.4 M NaCl; 100
mM Tris; 20 mM EDTA; Polyvinylpyrrolidone-40 1%; mercaptoethanol 1%), TE,
NaCl 3 M, TAE 1X, TAE 2X, alkohol 70%, isopropanol dingin, Chloroform/
isoamylalcohol (24:1), pasangan primer P1/P7 (untuk PCR standar), primer
fU5/rU3 (untuk nested-PCR), DreamTaq Green PCR master mix (2X), penanda
DNA 1 Kpb, larutan Ethidium bromide, Loading dye, dan gel agarosa.
Penyediaan Tanaman yang Terinfeksi Fitoplasma
Tanaman kacang tanah terserang fitoplasma berasal dari lahan pertanian di
Cikarawang, Bogor. Sumber inokulum terlebih dahulu diuji dengan PCR untuk
memastikan terinfeksi fitoplasma di lahan tersebut. Pengambilan contoh dibagi
sebanyak 3 tanaman kacang tanah bergejala terserang penyakit sapu (witches’
broom) dengan 3 ulangan dalam suatu lahan untuk pengujian penyimpanan
fitoplasma.
Pengujian Daya Simpan Contoh Tanaman Sakit
Contoh berasal dari tanaman kacang tanah bergejala sapu (witches’ broom).
Masing-masing contoh tanaman terdiri atas potongan batang muda, tangkai daun,
dan tulang daun tanpa nekrosis yang telah dikomposit. Contoh yang digunakan
berukuran 1 g dan disimpan dalam botol vial berukuran 30 mL. Penyimpanan
terdiri atas 3 aspek yang meliputi:
(1) Lama penyimpanan : 1, 2, 3, dan 4 minggu
(2) Suhu penyimpanan : 25 ºC, 4 ºC, dan -20 ºC
(3) Medium penyimpanan : bufer PGB 1X, NaCl 3 M, bufer CTAB 2%, alkohol
70%, tanpa media, dan FTA-card (P, N, C, A, K, F)
Selanjutnya contoh yang telah melalui aspek lama, suhu, dan media
penyimpanan berbeda diekstraksi DNA-nya untuk dianalisis secara kuantitatif dan
secara kualitatif. Adapun peubah pengamatan dari pengujian daya simpan yaitu :
13
(1)
(2)
(3)
(4)
Kenampakan visual contoh setelah disimpan pada berbagai kondisi
Kenampakan visual DNA total hasil isolasi melalui elektroforesis
Konsentrasi dan kemurnian DNA melalui pengukuran dengan Nanodrop
Detektabilitas DNA hasil isolasi melalui pengujian PCR
Ekstraksi DNA dari Jaringan Tanaman Sakit
Isolasi DNA Total menggunakan Metode Dellaporta et al. (1983)
Ekstraksi DNA total dari contoh jaringan menggunakan metode Dellaporta
et al. (1983) yaitu sebanyak 0.1 g (tangkai, tulang daun, dan batang muda segar)
tanpa nekrosis direndam dalam 1.5 mL bufer ekstraksi fitoplasma dingin
(Phytoplasma grinding buffer) dalam mortar dingin selama 15 menit agar terjadi
plasmolisis, kemudian digerus. Hasil gerusan dipindah ke dalam tabung 2 mL dan
disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 3 menit pada suhu 4 ºC.
Selanjutnya, supernatan dipindah ke tabung 2 mL dan disentrifugasi 12 000 rpm
selama 25 menit pada suhu 4 ºC. Supernatan dibuang, endapan diresuspensi
dengan 0.75 mL bufer CTAB suhu 60 ºC (CTAB + mercaptoethanol) dan
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 ºC. Selama inkubasi, tabung dibolakbalik setiap 10 menit. Suspensi ditambahkan 0.75 mL Chloroform/isoamylalcohol
(24:1 v/v). Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit.
Lapisan epifase dipindahkan ke tabung 1.5 mL baru dan dipresipitasi dengan
isopropanol dingin (-20 ºC) dengan volume setara dan diinkubasi selama 15 menit.
Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit pada suhu 4
º
C. Supernatan dibuang, endapan DNA dicuci dua kali den