ANALISIS SINKRONISASI LEGALITAS PENYADAPAN (WIRETAPPING) OLEH JAKSA PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

ABSTRAK
ANALISIS SINKRONISASI LEGALITAS PENYADAPAN (WIRETAPPING)
OLEH JAKSA PENYIDIK DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK
PIDANA KORUPSI

Oleh
Cipta Pertiwi

Korupsi merupakan salah satu extra ordinary crimes karena pada umumnya
dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan dan kewenangan yang dengan
wewenangnya itu berusaha untuk memperkaya diri sendiri. Penyadapan menjadi
alat ampuh dalam menjerat para pelaku korupsi di Indonesia. Dalam pelaksanaan
penyadapan harus dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang mengaturnya
agar tidak bertentangan dengan hak asasi manusia mengingat fungsi hukum acara
pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta
melaksanakan hukum pidana materiil. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian
ini beserta tujuannya adalah untuk mengetahui sinkronisasi vertikal dan horizontal
legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi
terhadap UUD 1945, KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, mengkaji sinkronisasi hukum

legalitas penyadapan (wiretapping) oleh jaksa penyidik dalam penanganan
perkara tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam sinkronisasi yang dilakukan secara vertikal, terdapat
ketidakselarasan pengaturan antara KUHAP terhadap UUD 1945, dalam
KUHAP tidak ada pengaturan mengenai penyadapan. Sedangkan dalam
sinkronisasi yang dilakukan secara horizontal ketidakselarasan pengaturan
terdapat pada sinkronisasi yang dilakukan antara Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terhadap KUHAP dan Undang-Undang KPK terhadap
KUHAP.
Kata Kunci : sinkronisasi, legalitas, penyadapan, tindak pidana korupsi.

ABSTRACT

ANALYZING THE SYNCHRONIZATION OF WIRETAPPING
LEGALITY BY INVESTIGATING PROSECUTOR IN HANDLING
THE CORRUPTION CASE
By
Cipta Pertiwi
Corruption is one of the extraordinary crimes because it is usually done by those
who have the position and authority which by the authority they sought to enrich

themselves. Wiretapping is a powerful tool to ensnare the corruption perpetrators
in Indonesia. However, in the implementation of wiretapping should be done
under the laws provisions in order to it is not contradictory to human rights in
view of the function of criminal procedural law is to restrict the state authority in
action and implement the substantive criminal law. The problems and the aim of
this research was to find out the vertical and horizontal synchronization legality of
wiretapping by prosecutors investigating in handling the corruption crimes against
the institution of 1945, the Criminal Procedure Code, Corruption eradication
constitution and Corruption Eradication Commission constitution. This study is
prescriptive normative law, reviewing the synchronization of wiretapping legality
law by investigating prosecutors in handling the corruption cases. The result
showed that the synchronization conducted vertically, there were inconsistencies
setting between Procedure Criminal Code against 1945 institution, the Criminal
Procedure Code there was no regulation regarding wiretapping. While the
synchronization was done horizontally, inconsistencies contained in the
synchronization settings conducted between the Corruption Eradication institution
against the Code of Criminal Procedure and corruption eradication Commission
institution against Criminal Procedure Code.

Keywords: synchronization, legality, wiretapping, corruption


ANALISIS YURIDIS SINKRONISASI LEGALITAS PENYADAPAN
(WIRETAPPING) OLEH JAKSA PENYIDIK DALAM PENANGANAN
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh
Cipta Pertiwi

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 22 April 1990, anak ketiga dari lima
bersaudara, pasangan Bapak Mahbur, B.Sc., dan Ibu Dra. Artika.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Merapi Way Halim Bandar Lampung diselesaikan pada
tahun 2002. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 29 Bandar Lampung
diselesaikan pada tahun 2005. Pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Bandar
Lampung diselesaikan pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1) Fakultas Hukum, Jurusan
Hukum Pidana, melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (UMPTN) di Universitas
Lampung.

Pada tahun 2011 penulis mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Negara Batin,
Kecamatan Way Kanan sebagai salah satu syarat wajib dalam menyelesaikan studi di Universitas
Lampung.

PERSEMBAHAN
Yang Utama Dari Segalanya...

Alhamdulillahirabbil Alamin…
Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih sayang-Mu telah
memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta memperkenalkanku dengan cinta. Atas
karunia serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan.
Sholawat dan salam selalu terlimpahkan keharibaan Rasullah Muhammad SAW.
Ibunda dan Ayahanda Tercinta
(ARTIKA DAN MAHBUR)
Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya kecil
ini kepada Ibu dan Ayah yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang
tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata
cinta dan persembahan.
Terima Kasih Ibu.... Terima Kasih Ayah...
Saudaraku dan Keluarga Besar
(Affandi dan Mb’Dewi,Indira,Dayat,Zaky,Mubin,Kayla dan Si Dibul)
Untuk kakak dan adik-adikku, tiada yang paling mengharukan saat kumpul bersama kalian, terima
kasih atas doa dan bantuan kalian selama ini, hanya karya kecil ini yang dapat aq persembahkan.
Akhir kata, semoga skripsi ini membawa kebermanfaatan. Jika hidup bisa kuceritakan di atas
kertas, entah berapa banyak yang dibutuhkan hanya untuk kuucapkan terima kasih... :)
Almamater Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung


by: Cipta Pertiwi

MOTTO

Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah
dilaksanakan/diperbuatnya"
(Ali Bin Abi Thalib)

"Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat
kesalahan, selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya."
(Alexander Pope)

Saya datang, saya bimbingan, saya ujian, saya revisi dan saya menang.
(Penulis)

SANWACANA
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirabbil’alamin,segala puji hanyalah milik Allah SWT Rab semesta
alam yang tak hentinya memberikan nikmat. Berkat, rahmat dan hidayahNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga

selalu tercurah kepada Rosulullah Muhammad SAW, para sahabat, keluarga serta
pengikutnya yang tetapistiqomah hingga akhir zaman.
Penulisan

skripsi

berjudul

“Analisis

Sinkronisasi

Legalitas

Penyadapan

(Wiretapping) oleh Jaksa Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana
Korupsi” ini merupakan syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Hukum pada jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Lampung.
Penulis berharap, karya yang merupakan wujud kerja dan pemikiran maksimal

serta didukung dengan bantuan dan keterlibatan berbagai pihak ini akan dapat
bermanfaat di kemudian hari.
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, baik
bimbingan, maupun saran dan kritik dari berbagai pihak dan sebagai rasa syukur
perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Dosen
Pembahas I yang telah memberikan saran dan masukan demi kebaikan
penulisan skripsi ini;
3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memotivasi, member saran, meluangkan waktu untuk memberikan

bimbingan, dan pengarahan sehingga akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan;
4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah sabar meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, serta
petunjuk dan pengarahan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini;

5. Ibu Dona Raisa, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II terima kasih atas
perhatian, masukan, kritik dan saran yang sangat berarti selama proses
penulisan skripsi ini;
6. Seluruh dosen dan karyawan/wati Fakultas Hukum Universitas Lampung
yang penuh dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat bagi
penulis, serta segala bantuannya selama peneliti menyelesaikan studi;
7. Kedua orang tuaku, Ibu Dra. Artika dan Ayah Mahbur Haris, B.Sc., yang
telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini;
8. Kakak dan adik ku, Affandi Marguna dan Dewi Syarifah, Indira Sari, S.E.,
Rahmat Hidayat, Zaky Aslam, dan Fadhlul Mubin, Kayla Athaya, Gita;
9. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan aku semangat dan
motivasi;
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu
peneliti menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan dan
dukungannya;
11. Untuk Almamater tercinta Unila yang telah mendewasakan baik dalam
berfikir maupun bertindak.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah
diberikan kepada peneliti dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang
membacanya,


khususnya

bagi

peneliti

dalam

mengembangkan

dan

mengamalkan ilmu pengetahuan.
Wassalamualaikum, Wr., Wb.
Bandar Lampung, Desember 2015
Penulis,

Cipta Pertiwi


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ..................................................................................................

i

DAFTAR TABEL ........................................................................................

iv

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ......................................................

5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .........................................................

6

D. Kerangka Teori dan Konseptual ..........................................................

7

E. Sistematika Penelitian Hukum ............................................................

11

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan .........

14

1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia .......................

14

2. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan .................................

17

1. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan ................................

18

B. Tinjauan tentang Penyadapan ..............................................................

20

1. Pengertian Penyadapan ...................................................................

20

2. Tujuan Penyadapan ........................................................................

22

C. Tinjauan tentang Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) ...................

22

1. Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut UUD 1945 .........

22

2. Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana .....................

25

3. Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ...............................................................................

26

4. Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ...............................................................................

27

D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ......................................................

29

III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ............................................................................

32

B. Jenis dan Sumber Data ........................................................................

33

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .....................................

35

D. Analisis Data .......................................................................................

36

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sinkronisasi Vertikal Legalitas Penyadapan
(wiretapping) Oleh Jaksa Penyidik Dalam Penanganan Perkara
Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945,
KUHAP, UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Undang-Undang KPK ................................................................

37

1. Sinkronisasi antara KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar 1945 37
2. Sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 .........................................................

42

3. Sinkronisasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ................................

47

B. Sinkronisasi Horizontal Legalitas Penyadapan Oleh Jaksa Penyidik
Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Antara KUHAP, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK ............................

51

1. Sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Terhadap KUHAP ..................................

51

2. Sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPK terhadap KUHAP ....................................................

53

ii

3. Sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK ........................................................................

57

V. PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................................

61

B. Saran ....................................................................................................

63

DAFTAR PUSTAKA

iii

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Sinkronisasi Vertikal antara KUHAP terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 .............................................................................................

38

2. Sinkronisasi antara Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 .....................................

43

3. Sinkronisasi Vertikal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ..........................................

47

4. Sinkronisasi Horizontal Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terhadap KUHAP .........................................................

51

5. Sinkronisasi Horizontal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPK terhadap KUHAP ............................................................

54

6. Sinkronisasi Horizontal Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang KPK ..................................

57

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan salah satu extra ordinary crimes karena merupakan kejahatan
yang terorganisir dan bersifat transnasional sehingga sulit untuk diberantas. Para
pelaku pada umumnya adalah mereka yang memiliki jabatan dan wewenang yang
dengan wewenangnya itu berusaha untuk memperkaya diri sendiri. Dampak yang
diakibatkan cukup besar, karena korupsi mengakibatkan kerugian negara hal ini
akan berimbas pada tingkat kemakmuran rakyat. Karena dana yang seharusnya
dialokasikan untuk kepentingan rakyat akan tetapi dipergunakan secara pribadi
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu agar dampak
yang diakibatkan tidak semakin meluas, maka korupsi harus segera ditangani.
Cara penanganannya pun harus dengan cara yang khusus mengingat pelakunya
adalah mereka yang memiliki posisi dan kedudukan yang kuat sehingga hal ini
dikhawatirkan akan mempengaruhi dalam proses penegakan hukumnya. Salah
satu upaya khusus yang dimaksud adalah melalui penyadapan.

Penyadapan menjadi alat ampuh dalam menjerat para pelaku korupsi di Indonesia.
Dengan penyadapan telepon yang dilakukan tim penyidik KPK, beberapa kali
berhasil membongkar ulah pelaku korupsi, yang melibatkan pihak maupun
institusi penegak hukum lain. Seperti dalam kasus Jaksa Urip Tri Gunawan, di

2

persidangan terungkap bahwa melalui penyadapan telepon diketahui adanya
hubungan antara Artalyta Suryani dengan Jaksa Urip dan bahkan Jaksa Agung
Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Untung Uji Santoso. Dalam
kasus Bibit-Chandra, kemudian tersebutlah tokoh bernama Anggodo dan kawankawan.1

Berkaitan dengan substansi hukumnya, yang menjadi permasalahan ialah
mengenai legalitas penyadapan, apakah secara hukum hal tersebut sah dilakukan
dan tidak melanggar hak asasi manusia, mengingat fungsi hukum acara pidana
adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan
hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana
dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang
sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan.2

Pada sisi lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada negara
melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat
mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber
kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak lain yang terlibat
(penasehat hukum). Permasalah yang muncul adalah “penggunaan kewenangan
yang tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum”. Penyalahgunaan
kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang berdampak pada terampasnya
hak-hak asasi warga negara merupakan bentuk kegagalan negara dalam
mewujudkan negara hukum.

1
2

(Jalan Tengah Penyadapan,hsutadi.blogspot.com, 10 Januari 2012)
Reksodiputro, Mardjono. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana, UI Press. Jakarta. Hlm 35

3

Masalah sah-tidak sahnya penyadapan ini sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh
banyak pihak (termasuk di dalamnya para akademisi hukum) hingga uji tuntas di
muka persidangan

konstitusional

yang semuanya berkesimpulan

bahwa

penyadapan oleh KPK merupakan tindakan yang diperbolehkan, sah dan
konstitusional walaupun membatasi atau terkesan mengenyampingkan HAM,
namun penerapannya masih dalam koridor yang tepat. Biasanya argumen yang
dibangun adalah Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK melanggar hak warga negara
atas rasa aman dan jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Sepintas argumen tersebut terlihat benar, namun apabila kita cermati bahwa hak
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945 bukanlah termasuk hak-hak konstitusional yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD
1945. Hak konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) dan Pasal
28G ayat (1) UUD 1945 tersebut dapat dibatasi/dikurangi apabila diatur dengan
undang-undang, sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
menyatakan:
“dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.3

3

(Bobby R. Manalu, Legalitas Penyadapan, www.forum.detik.com, 10 Januari 2012)

4

Pembatasan hak tersebut juga diatur dalam ketentuan Pasal 73 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat UU
HAM). Pembatasan oleh undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 28J ayat
(2) UUD 1945 dan Pasal 73 UU HAM tersebut terhadap hak konstitusional Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, telah diatur di dalam UU No. 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (selanjutnya disingkat UU Telekomunikasi)
yaitu Pasal 42 ayat (2) huruf b menyatakan ”Untuk keperluan proses peradilan
pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim
dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan
informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu
sesuai dengan undang-undang yang berlaku”. Dengan adanya ketentuan Pasal 42
ayat (2) huruf b UU Telekomunikasi tersebut maka Pasal 12 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU KPK) tentang kewenangan KPK
melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan adalah pengecualian dari
Pasal 40 UU Telekomunikasi karena dilakukan untuk keperluan proses peradilan
pidana yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.
Dengan demikian keberadaan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK tidaklah
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.4

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali mengenai
legalitas penyadapan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam penanganan
kasus tindak pidana korupsi terkait dengan pearturan perundang-undangan yang
mengaturnya, oleh karena itu peneliti ingin menuangkan hasil penelitian tersebut
4

(Bobby R. Manalu, Legalitas Penyadapan, www.forum.detik.com, 10 Januari 2012)

5

dalam Penelitian hukum yang berjudul “Analisis Sinkronisasi Legalitas
Penyadapan (wiretapping) Oleh Jaksa Penyidik dalam Penanganan Perkara
Tindak Pidana Korupsi”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas yang diuraikan sebelumnya maka
peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah sinkronisasi vertikal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik
dalam penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur KUHAP, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK terhadap Undang-Undang
Dasar Tahun 1945?
b. Bagaimanakah sinkronisasi horizontal legalitas penyadapan oleh jaksa
penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi antara KUHAP, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK?

2.

Ruang Lingkup

Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian
Hukum Pidana dan khususnya mengenai sinkronisasi vertikal legalitas
penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU
KPK terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 serta sinkronisasi horizontal
legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi
antara KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK.

6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
a.

Mengetahui sinkronisasi vertikal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik
dalam penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur KUHAP, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK terhadap Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.

b.

Mengetahui sinkronisasi horizontal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik
dalam penanganan tindak pidana korupsi antara KUHAP, UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, UU KPK.

2.

Kegunaan Penelitian

Peneliti berharap bahwa kegiatan penelitian dalam Penelitian hukum ini akan
bermanfaat bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian ini antara lain:
a.

Secara teoritis, yaitu dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam
upaya pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana mengenai
sinkronisasi vertikal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam
penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur KUHAP, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK terhadap Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 dan sinkronisasi horizontal legalitas penyadapan oleh jaksa
penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi antara KUHAP, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK.

7

b.

Secara praktis, yaitu memberikan masukan kepada DPR dan aparat penegak
hukum mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan
sinkronisasi vertikal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam
penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur KUHAP, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK terhadap Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 dan sinkronisasi horizontal legalitas penyadapan oleh jaksa
penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi antara KUHAP, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1.

Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.5

Penerapan hukum pidana tidak terlepas dari adanya peraturan perundangundangan pidana, menurut Sudarto usaha mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan
untuk masa-masa yang akan datang berarti melaksanakan politik hukum pidana.6
Politik hukum pidana dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan kebijakan
hukum pidana. Menurut Marc Ancel, kebijakan hukum adalah upaya
menanggulangi kejahatan dengan pemberian sanksi pidana atau penal. Sebagai
5

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Cet III, UI Press. Jakarta. Hlm

6

Sudarto. 1984. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung.

125
Hlm 38

8

suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan positif
dirumuskan secara lebih baik.

Politik hukum sebagai kebijakan yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi:
a. Pembangunan hukum berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
b. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan Pembina para penegak hukum.7

Kebijakan hukum dengan sarana pidana merupakan serangkaian proses yang
terdiri atas tiga tahap yakni:
a. Tahap kebijakan legislatif/formulatif;
b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif;
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif.

Tahapan legislasi

dalam proses penanggulangan kejahatan memberikan

tanggungjawab kepada aparat pembuat hukum (aparat legislatif) menetapkan atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana disusun dalam satu kesatuan
sistem hukum pidana (kebijakan legislatif) yang harmonis dan terpadu.

Berkaitan dengan peran legislatif tersebut Nyoman Serikat Putra Jaya,
menyatakan lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan
memberikan kerangka hukum untuk memformulaikan kebijakan dan menerapkan
program kebijakan yang telah diterapkan. Keseluruhannya itu, merupakan bagian
7

MD, Moh. Mahfud, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media dan
Ford Foundation. Yogyakarta. Hlm 9

9

dari kebijakan hukum atau politik hukum yang pada hakikatnya berfungsi dalam
tiga bentuk, ialah:
a. Politik tentang pembentukan hukum;
b. Politik tentang penegakan hukum;dan
c. Politik tentang pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.8

Walaupun ada keterkaitan erat antara kebijakan legislasi dengan penegakan
hukum dan politik hukum, namun dilihat secara teoritis dan dari sudut realitas,
kebijakan penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan semata-mata hanya
dengan memperbaiki/memperbaharui sarana undang-undang. Namun evaluasi
tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan formulasi dalam perundangundangan yang ada. Evaluasi terhadap kebijakan formulasi mencakup tiga
masalah pokok dalam hukum pidana yaitu masalah perumusan tindak pidana
(kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan.9

Membahas mengenai sinkronisasi perundang-undangan, sinkronisasi merupakan
sebuah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan
yang terkait peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang
disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Sinkronisasi peraturan perundangundangan memiliki maksud agar substansi yang diatur dalam produk peraturan
perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer),
saling terkait dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan
operasional materi muatannya. Sedangkan tujuan dari sinkronisasi adalah untuk
mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan
8
9

Jaya, Nyoman Serikat Putra. 2006. Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang. Hlm 13
Jaya, Nyoman Serikat Putra. 2006. Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang. Hlm 13

10

kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara
efisien dan efektif.10

Sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan terdapat dua taraf, yaitu:
a. Sinkronisasi Vertikal
Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam suatu bidang tertentu saling bertentangan antara satu dengan yang
lain. Disamping harus memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan,
dalam sinkronisasi vertikal juga harus diperhatikan kronologis tahun dan nomor
penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

b. Sinkronisasi Horizontal
Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang
sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal
juga harus dilakukan secara kronologis yaitu sesuai dengan urutan waktu
ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang besangkutan.11

2.

Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah
yang diteliti.12

Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah
ini Peneliti memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam

10

(www.penataanruang.net, diakses 9 Januari 2012)
(prosedur penyusunan sinkronisasi, www.penataanruang.net. diakses 9 Januari 2012)
12
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Cet III, UI Press. Jakarta. Hlm
11

132

11

memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai
berikut :
a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.13
b. Sinkronisasi adalah sebuah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait peraturan perundang-undangan yang telah
ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu.14
c. Legalitas adalah suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya
(Pasal 1 ayat (1) KUHAP).
d. Penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan,
mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan
jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran
elektromagnetis atau radio frekuensi (Pasal 31 ayat (1) UU ITE).
e. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
(Pasal 2 UU PTPK).

13
14

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hlm 32
(www.wikipedia.org,diakses 7 Maret 2012 pukul 19.00 WIB)

12

E. Sistematika Penelitian Hukum

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan
gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan
dalam penelitian hukum, maka Peneliti menjabarkannya dalam bentuk sistematika
penelitian hukum yang terdiri dari 5 (lima) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam
sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan hasil penelitian. Adapun Peneliti menyususn sistematika penelitian
hukum sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika Penelitian.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini Peneliti akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan
tentang sinkronisasi peraturan perundang-undangan, tinjauan tentang penyadapan,
tinjauan tentang pengaturan penyadapan dalam beberapa produk undang-undang
dan diakhiri dengan kerangka pemikiran.
BAB III. METODE PENELITIAN
pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam Penelitian yang menjelaskan
mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu
dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur
pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul
dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

13

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang analisis sinkronisasi
hukum legalitas penyadapan (wiretapping) oleh jaksa penyidik dalam penanganan
perkara tindak pidana korupsi. Sinkronisasi yang dimaksud dilakukan secara
vertikal maupun horizontal terhadap beberapa undang-undang.

BAB V. PENUTUP
Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang dapat Peneliti kemukakan
kepada para pihak yang terkait dengan bahasan Penelitian hukum ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Setiap negara, baik besar atau kecil, berbentuk republik atau monarki, pasti
memiliki sistem administrasinya sendiri yang disesuaikan dengan situasi dan
kondisi negara tersebut. Peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai
penjabaran dari nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia merupakan piranti dalam rangka pencapaian cita-cita dan tujuan
nasional. Oleh karena itu landasan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
adalah Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia sebagai landasan konstitusional.15

a.

Pancasila Sebagai Landasan Idiil

Pancasila sebagai sebagai dasar Negara Republik Indonesia merupakan sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia. Sumber dari segala sumber hukum adalah
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang
meliputi suasana kejiwaan dan watak bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila
sebagai dasar negara yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian Pancasila merupakan:
15

Ragawino, Bega. 2005. Penganlar Ilmu hokum. Pahala Khatulistiwa. Bandung. Hlm 4-6

15

1) Dasar Negara Republik Indonesia yang merupakan sumber dari segala sumber
hukum yang berlaku di Indonesia.
2) Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan bangsa serta
memberi petunjuk dalam pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan
batin dalam bangsa Indonesia yang beraneka ragam.
3) Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena pancasila merupakan corak
yang khas kepada bangsa Indonesia dan tidak dapat dipisahkan dari bangsa
Indonesia serta merupakan ciri khas yang membedakan bangsa Indonesia dari
bangsa lain. Terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari
yang lain bersifat universal yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di
dunia. Akan tetapi kelima sila tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisah-pisah.
4) Tujuan yang akan dicapai, yakni suatu masyarakat yang adil dan makmur
yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan
berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan yang aman, tentram dan
tertibdan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,
bersahabat, tertib dan damai.
5) Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat
Indonesia menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan yang kita junjung
tinggi bukan karena sekedar ia ditemukan kembali dalam kandungan
kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang terpendam sejak berabadabad yang lalu melainkan karena Pancasila itu mampu membuktikan
kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa.

16

b.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
Landasan Konstitusional.

Landasan konstitusional bagi penyelenggara perundang-undangan negara adalah
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan perwujudan dari tujuan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang terdiri dari pembukaan, batang tubuh dan
penjelasan. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 selain merupakan penuangan
jiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yaitu Pancasila, juga mengandung
cita-cita luhur dari proklamasi kemerdekaan itu sendiri. Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 juga merupakan sumber motivasi dan aspirasi perjuangan
serta tekat bangsa Indonesia dan sumber cita-cita hukum dan cita-cita moral yang
ingin ditegaskan oleh bangsa Indonesia serta sekaligus merupakan dasar dan
sumber hukum dari batang tubuhnya. Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945
yang menetapkan bentuk dan kedaulatan, kekuasaan pemerintah negara,
kedudukan dan fungsi lembaga tinggi negara serta pemerintahan daerah,
merupakan dasar bagi penyelenggaraan dan pengembangan sistem perundangundangan negara Republik Indonesia. Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

Penjelasan umum memuat:
a. Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar.
b. Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan.
c. Undang-Undang Dasar 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam pembukaan dan dalam pasal-pasalnya.
d. Undang-Undang Dasar 1945 bersifat singkat dan supel.

17

e. Sistem Pemerintaha Negara.16

2. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk
kebijaksanaan tertulis yang bersifat pengaturan (relegen) yang dibuat oleh
aparatur negara mulai dari MPR sampai dengan Direktur Jenderal/Pimpinan
LPND pada lingkup nasional dan gubernur kepala daerah tingkat I,
bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II pada lingkup wilayah/daerah yang
bersangkutan. Tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan adalah
ketentuan yang sifatnya konkret, individual dan final (beschiking), misalnya
pemberian IMB, SIUP dan sebagainya.17

Tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini diatur dalam
Undang-undang nomor 10 Tahun 2004:
a.

Undang-undang Dasar 1945

b.

UU/Perpu

c.

Peraturan Pemerintah

d.

Peraturan Presiden

e.

Peraturan Daerah

Tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut mengandung prinsip, yaitu:
a. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat
dijadikan landasana atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah atau dibawahnya.

16
17

Ragawino, Bega. 2005. Pengantar Ilmu hukum. Pahala Khatulistiwa. Bandung. Hlm 4-6
Ragawino, Bega. 2005. Pengantar Ilmu hukum. Pahala Khatulistiwa. Bandung. Hlm 10

18

b. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau
memiliki dasar dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
c. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya.
d. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak
sederajat.
e. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang
sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan
secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama dicabut. Selain itu,
peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari
peraturan perundang-undangan yang lebih umum.18

1. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan
Sinkronisasi adalah sebuah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait peraturan perundang-undangan yang telah ada
dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Sinkronisasi
peraturan perundang-undangan memiliki maksud agar substansi yang diatur dalam
produk peraturan perundangundangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi
(suplementer), saling terkait dan semakin rendah jenis pengaturannya maka
semakin detail dan operasional materi muatannya. Sedangkan tujuan dari
sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu

18

17

Ragawino, Bega. 2005. Pengantar Ilmu hokum. Pahala Khatulistiwa. Bandung. Hlm 15-

19

yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan
bidang tersebut secara efisien dan efektif.19

Sinkronisai terhadap peraturan perundang-undangan terdapat dua taraf yaitu:
a. Sinkronisasi vertikal
Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam suatu bidang tertentu saling bertentangan antara satu dengan yang
lain. Disamping harus memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan,
dalam sinkronisasi vertikal juga harus diperhatikan kronologis tahun dan nomor
penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

b. Sinkronisasi Horizontal
Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang
sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal
juga harus dilakukan secara kronologis yaitu sesuai dengan urutan waktu
ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang besangkutan.20
Dalam melakukan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan pada
umumnya menggunakan prosedur 4 tahap sebagai berikut:
1) Inventarisasi
Adalah suatu kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi
tentang peraturan perundangundangan terkait dengan bidang tertentu.
Selanjutnya, peraturan perundang-undangan yang telah diinventarisasi
kemudian dievaluasi untuk mendapatkan peraturan yang paling relevan atau
yang mempunyai kaitan secara teknis dan substansial terhadap bidang tertentu
19
20

(prosedur penyusunan sinkronisasi, www.penataanruang.net, diakses 9 Januari 2012)
(prosedur penyusunan sinkronisasi, www.penataanruang.net, diakses 9 Januari 2012)

20

yang telah dipilih sebelumnya. Dengan demikian, proses atau kegiatan
inventarisasi sesungguhnya telah dilakukan melalui proses identifikasi yang
kritis dan melalui proses yang logis dan sistematis.
2) Analisa substansi
Pada tahap ini dilakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
secara umum pengakajian tersebut dilakukan terhadap seluruh instansi.
Secara lebih khusus, pengkajian substansi tersebut mencakup peristilahan,
definisi dan substansi.
3) Hasil analisa
Dari substansi tersebut, selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mendapatkan
hasil yang valid dan benar kemudian digunakan sebagai bahan untuk
melakukan sinkronisasi.
4) Pelaksanaan sinkronisasi
Merumuskan dan mensinkronkan substansi peraturan perundang-undangan
serta merinci substansi peraturan perundang-undangan yang disusun. 21

B. Tinjauan tentang Penyadapan

1. Pengertian Penyadapan
Dalam frase Bahasa Inggris penyadapan disebut sebagai interception. Kamus.net
menerjemahkan intercept sebagai menahan, menangkap, mencegat atau memintas.
Sedangkan di dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai to cut off from access or
communication. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyadap adalah

21

(prosedur penyusunan sinkronisasi, www.penataanruang.net, diakses 9 Januari 2012)

21

mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan
sengaja tanpa sepengetahuan orangnya.22

Sementara itu, penyadapan menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam,
membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi
Elektronik dan/atau. Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik
menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti
pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Sedangkan pengertian dari Penyadapan secara sah atau Lawful Interception adalah
suatu cara penyadapan dengan menempatkan posisi penyadap di dalam
penyelenggara jaringan telekomunikasi sedemikiann rupa sehingga penyadapan
memenuhi syarat tertentu yang dianggap sah secara hukum. Dalam hal ini syaratsyarat tersebut diatur secara yuridis oleh negara yang bersangkutan. Sehingga
dimungkinkan terdapat perbedaan aturan serta standar antara suatu negara dengan
negara lainnya.

Jika ditinjau dari keberadaan tentang aturan Lawful Interception di Indonesia,
negara kita telah mengeluarkan Peraturan Menkomino Nomor 11/PER/M.
KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi yang berisi
pedoman-pedoman dalam melakukan penyadapan secara sah. Dari definisi sesuai
peraturan

tersebut

disebutkan

bahwa

Penyadapan

Informasi

adalah

mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh
22

(http://www.thefreedictionary.com/intercept, diakses 24 Desember 2012)

22

Aparat Penegak Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada
jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan
atau komunikasi tersebut. Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
Penyadapan Secara Sah, berfokus pada pemotongan informasi di tengah jalan
dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur oleh yuridikasi masing-masing
negara.23

2. Tujuan Penyadapan
Telah didefinisikan sebelumnya bahwa tujuan dari Lawful Interception dapat
beragam dan berbeda untuk setiap negara. Hal ini merujuk pada definisi dari
yuridikasi tiap negara, serta definisi awal dari Lawful Interception itu sendiri yaitu
memenuhi syarat sehingga sah di mata hukum negara yang bersangkutan. Adapun
dalam

hal

ini

di

Indonesia,

Peraturan

Menkomino

Nomor

11

/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi
menyatakan bahwa penyadapan terhadap informasi secara sah (lawful
interception) dilaksanakan dengan tujuan untuk keperluan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu peristiwa tindak pidana
(Pasal 3). Sedangkan hal ini hanya dapat dilakukan oleh Penegak Hukum serta
wajib bekerjasama dengan Penyelenggaraan Telekomunikasi (Pasal 4 dan 11).

C. Tinjauan tentang Pengaturan Penyadapan (Wiretapping)

1. Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut UUD 1945
Komunikasi oleh warga negara merupakan hak pribadi yang harus dilindungi
hukum, sehingga penyadapannya dilarang. UUD 1945 menjamin hak setiap orang
23

(Lawfulinterception. http://panca.wordpress.com, 24 Desember 2012)

23

atas diri pribadi, kekayaan, kehormatan, martabat dan harta bendanya, konstitusi
juga menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hak-hak tersebut diatur
dalam Pasal 28F, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) yang menyebutkan:
Pasal 28F:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.

Pasal 28D ayat (1):
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28G ayat (1):
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Berdasarkan sudut konstitusi, penyadapan guna mengungkap suatu kejahatan,
sebagai suatu pengecualian, dapat dibenarkan. Hal ini karena kebebasan untuk
berkomunikasi dan mendapat informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 bukan pasal-pasal yang tak dapat disimpangi dalam
keadaan apa pun. Artinya, penyadapan boleh dilakukan dalam rangka
mengungkap kejahatan atas dasar ketentuan undang-undang yang khusus sifatnya
(lex specialis derogat legi generali).

24

Berdasarkan pasal-pasal di atas bahwa komunikasi oleh warga negara merupakan
hak pribadi yang harus dilindungi oleh hukum. Penyadapan atas suatu proses
komunikasi oleh pihak lain merupakan tindakan yang tercela karena melanggar
hak-hak privasi yang dilindungi secara hukum. Tapi, hak-hak yang diatur dalam
pasal tersebut termasuk hak untuk berkomunikasi bukanlah hak yang tidak dapat
disimpangi/dikurangi (nonderogable rights) sebagaimana diatur dalam Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:
Pasal 28I ayat (1):
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.

Menurut ketentuan pasal tersebut, bahwa hak untuk berkomunikasi tidak termasuk
ke dalam hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable
rights), sehingga hak ini dapat dikesampingkan. Dalam Pasal 28J ayat (2) UUD
1945 menyatakan:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Jadi menurut UUD 1945 Pasal 28F, penyadapan merupakan bentuk pelanggaran
HAM untuk berkomunikasi, tapi penyadapan dianggap sebagai perbuatan yang
sah untuk menegakkan keadilan guna mengungkap siapa pelaku tindak pidana
korupsi, karena Pasal 28J ayat (2) menjelaskan “di samping menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan

25

dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertim