Penampilan Reproduksi Domba Lokal dan Penampilan Produksi Anak yang Mendapat Ransum Flushing dengan Tingkat Energi Berbeda.

(1)

ABSTRACT

Reproduction Performance of Local Sheep and Production Performance of Lambs Given Flushing Ration With Various Energy Content

Ismoyo, W., K. B. Satoto and K. G. Wiryawan

This research aims to compare the reproduction and production performance of local ewes and the offspring productivity from ewes given different energy content of flushing feed. Diets given were native grass and concentrate with 30-40 : 60-70 ratio. The diets were composed based on various energy content. This research used Completely Randomized Design (CRD) with three diets treatments with various energy content. Each treatment was given to four sheep as replicates. The first treatment was diet with 65% of total digestible nutrient (TDN) and 14% crude protein, the second treatment was diet with 70% TDN and 14% crude protein and the third treatment was diet with 75% TDN and 14%. The result showed that the energy content had a significant impact on total dry matter consumption of grass and concentrate. It also influenced average daily gain and diet efficiency during pregnancy. Dry matter consumption, average daily gain, and diet efficiency during lactation, number of fetus and number of offspring, and birth weight and wean weight were not influenced by diet


(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan suatu usaha dibidang peternakan tidak terlepas dari pengaruh pakan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pakan memiliki porsi yang besar pada suatu usaha peternakan yaitu 70% dari biaya total produksi dan sisanya dipengaruhi oleh genetik ternak serta manajemen perkandangan. Pakan ternak penting sekali guna memelihara tubuh, baik untuk kebutuhan pokok hidup, reproduksi dan produksi, terutama pada ternak bunting dan laktasi (Devendra dan McLeroy, 1982). Nutrisi yang rendah pada pakan akan menyebabkan efek yang merugikan, antara lain kemunduran pertumbuhan ternak.

Peningkatan populasi ternak merupakan salah satu tujuan pada usaha peternakan untuk dapat meningkatkan profitabilitas. Saat ini pemerintah sedang berusaha menjalankan programnya yaitu Swasembada Daging 2014. Segala upaya yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas dalam negeri serta mengurangi impor daging yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Populasi ternak yang tersedia saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging, baik yang disediakan dari ternak unggas, sapi, kerbau, domba maupun kambing. Pada sisi lain populasi penduduk dari tahun ke tahun kian meningkat, yang menyebabkan kebutuhan terhadap daging juga meningkat.

Secara umum telah diketahui bahwa sebagian besar peternakan di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat, bukan skala industri. Domba merupakan salah satu ternak yang banyak ditemukan pada peternakan rakyat. Kemudahan pemeliharaan dan penjualan membuat masyarakat lebih tertarik beternak domba. Selain itu, domba memiliki sifat prolifik yaitu mempunyai kemampuan melahirkan anak hingga 4 ekor dalam satu kali kelahiran (Inounu, 1991). Kenyataan di lapangan menunjukkan domba-domba yang melahirkan lebih dari 2 ekor akan diikuti dengan angka kematian yang tinggi, sehingga pada akhirnya mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi. Dugaan kuat, telah terjadi persaingan antar anak dalam pengambilan zat makanan sejak awal kebuntingan, sementara induk tidak


(3)

mempunyai persiapan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan zat makanan bagi anak dan induk.

Flushing merupakan suatu teknik pemberian pakan dengan kadar nutrisi yang tinggi selama 2-3 mingu sebelum dikawinkan pada domba betina (Pulina, 2004). Flushing pada domba akan mengoptimalkan pada saat ovulasi sehingga akan berdampak pada meningkatnya persentase jumlah anak lahir (Freer dan Dove, 2002). Pada peternakan rakyat yang rata-rata memelihara domba lokal, flushing belum diterapkan karena keterbatasan penelitian mengenai pengaruh flushing terhadap domba lokal. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh flushing dengan pakan kadar energi tinggi pada domba lokal.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan penampilan reproduksi dan produksi induk domba lokal/Jonggol dan produksi anak yang dilahirkan yang mendapat ransum


(4)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Domba Lokal

Domba adalah ternak ruminansia yang memiliki perut majemuk dan secara fisiologis sangat berbeda dengan ternak ruminansia yang memiliki perut tunggal seperti unggas dan babi (Tomaszewska et al., 1993). Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis, makanan yang kualitasnya rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah serta dapat beranak sepanjang tahun (FAO, 2002). Sumantri et al. (2007) menyatakan bahwa domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi sosial, ekonomis, dan budaya serta merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor. Selain itu, domba juga termasuk ternak penghasil daging yang sangat potensial (Hudallah et al., 2007), mampu mengonversi bahan pakan berkualitas rendah menjadi produk bergizi tinggi, memiliki kemampuan reproduksi yang relatif tinggi, produk sampingan berupa kulit, bulu, tulang, kotoran ternak bisa digunakan sebagai bahan baku industri (Abidin dan Sodiq, 2002).

Menurut Subandriyo et al. (1981), domba ekor tipis mempunyai fertilitas yang tinggi. Tomaszewska (1993) menyatakan bahwa walaupun domba lokal hanya mendapatkan pakan untuk hidup pokok, namun dapat mempertahankan kebuntingannya. Lama kebuntingan pada domba-domba yang akan melahirkan anak tunggal lebih lama dari domba-domba yang akan melahirkan anak kembar. Jarak beranak domba tersebut berkisar antara 7,5-12,5 bulan. Rata-rata litter size adalah 1,97 dengan rata-rata jumlah anak yang disapih 1,32.

Flushing

Flushing adalah pemberian pakan tambahan terhadap domba induk sebelum dikawinkan untuk meningkatkan bobot badan. Pemberian pakan tambahan tersebut dapat meningkatkan rata-rata ovulasi dan tercermin dari jumlah anak per kelahiran (Bearden et al., 2004). Pulina (2004) menyarankan bahwa flushing cukup efektif dilakukan dua sampai tiga minggu sebelum induk dikawinkan. Flushing selama dua minggu dapat meningkatkan lambing rate sebesar 10-20%. (Bush dan Thompson,


(5)

2011). Bearden et al. (2004) melaporkan, pada babi yang mendapatkan pakan dengan peningkatan kandungan energi delapan sampai 12 hari sebelum dikawinkan dapat meningkatkan rata-rata ovulasi berkisar 14,2-18,6. Pengaruh flushing diketahui dapat meningkatkan insulin dan insulin-like growth factor didalam ovari. Hasil tersebut dari meningkatnya respon ovari terhadap FSH dan LH serta menurunnya atresi folikel. Menurut Tillman et al. (1989), penggunaan energi tinggi akan merangsang estrus dan memiliki efek positif pada tingkat konsepsi. Schoenian (2010) menyatakan bahwa flushing dapat dilanjutkan hingga akhir musim kawin. Pengaruhnya terhadap meningkatnya daya tahan embrio selama awal kebuntingan. Pada domba merino terjadi peningkatan rata-rata ovulasi sebesar 20-30% dengan pemberian pakan sebesar 750 g/ekor/hari selama 6 hari yang mengandung protein tinggi (Oldham dan Lindsay, 1984). Penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan pakan sebesar 750 g/ekor/hari selama 9 hari dapat meningkatkan rata-rata ovulasi (Teleni et al., 1984).

Bahan Pakan Jagung

Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman biji-bijian. Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Sebagai pakan ternak, jagung merupakan sumber karbohidrat. Kandungan gizi utama jagung adalah pati (72-73%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30% : 70-75%, namun pada jagung pulut (waxy maize) 0-7% : 93-100%. Kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%. Protein jagung (8-11%) terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan nitrogen nonprotein. Asam lemak pada jagung meliputi asam lemak jenuh (palmitat dan stearat) serta asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat (omega 9), linoleat (omega-6) dan linolenat (omega-3). Linoleat dan linolenat merupakan asam lemak esensial. Lemak jagung terkonsentrasi pada lembaga, sehingga dari sudut pandang gizi dan sifat fungsionalnya, jagung utuh lebih baik daripada jagung yang lembaganya telah dihilangkan. Vitamin A atau karotenoid dan vitamin E terdapat dalam komoditas ini, terutama pada jagung kuning. Selain fungsinya sebagai zat gizi mikro, vitamin tersebut berperan sebagai antioksidan alami yang dapat meningkatkan imunitas tubuh dan menghambat kerusakan degeneratif sel. Jagung juga mengandung berbagai mineral esensial,


(6)

seperti K, Na, P, Ca, dan Fe. Faktor genetik sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan sifat fungsional. Jagung dalam bentuk bijian utuh mengandung protein kasar 3,7%, lemak kasar 1%, serat kasar 86,7%, abu 0,8%, pati 71,3%, dan 0,34% dalam bentuk bahan kering (Suarni dan Widowati, 2011). Bobot lahir domba persilangan Finn dengan Awassi lebih tinggi dihasilkan oleh domba yang diberi jagung utuh dibandingkan jagung yang telah digiling. Namun, domba yang mendapat jagung giling menghasilkan litter size lebih tinggi dibandingkan jagung utuh (Landau et al., 2011).

Onggok

Onggok sebagai hasil sampingan pembuatan tepung tapioka selain harganya murah, tersedia cukup, mudah didapat, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Hasil pengolahan ubi kayu dapat menghasilkan 20-30% tepung tapioka (Prabawati dan Suismono, 2005), kemudian dari pengolahan tepung tapioka akan menghasilkan 11,4% onggok (Hidayat, 2011). Menurut Rasyid et al. (1996), onggok merupakan bahan sumber energi yang mempunyai kadar protein kasar rendah, tetapi kaya akan karbohidrat yang mudah dicerna (BETN) bagi ternak serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum. Onggok mengandung 1,6% protein kasar, 0,4% lemak kasar, 10,4% serat kasar, 0,8% kalsium, 0,6% fosfor, dan 2670 kkal/kg ME (Gunawan et al., 1995). Ali (2006) melaporkan bahwa semakin tinggi penggunaan onggok maka konsumsi dan kecernaan bahan kering akan semakin rendah. Supriyati (2011) menyatakan bahwa pada onggok yang terfermentasi dapat meningkatkan produksi susu dan kualitas susu. Namun, adanya asam sianida (HCN) pada onggok dapat menyebabkan rendahnya terjadinya kebuntingan, menurunkan bobot fetus, bobot lahir yang dihasilkan rendah, kematian anak yang tinggi, dan rusaknya fungsi tiroid (FSANZ, 2004).

Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa merupakan sisa hasil ekstrasi minyak kelapa. Kandungan protein bungkil kelapa 18%, memiliki jenis protein yang berbeda persentasenya dibanding jagung, yaitu globulin 39,25%, albumin 6,64%, glutelin 15,27%, dan prolamin 38,84% (Wibowo, 2010). Sebagai sumber protein, bungkil kelapa baik


(7)

digunakan untuk ternak, namun bungkil kelapa memiliki kecernaan yang rendah. Bungkil kelapa mengandung 21,7% protein kasar, 17,1% lemak kasar, 16,2% serat kasar, 0,1% kalsium, 0,62% fosfor, 1667 kkal/kg ME, dan daya cerna bahan kering sebesar 60% (Balitnak, 2011). Aregheore (2005) menyatakan bahwa peningkatan pemberian bungkil kelapa dapat menurunkan konsumsi bahan kering, namun dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan memberikan konversi pakan yang rendah. Theodore (2010) melaporkan bahwa pemberian bungkil kelapa menghasilkan jumlah anak sekelahiran lebih baik dibandingkan pemberian bungkil inti sawit. Garam

Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Klorida (>80%) serta senyawa lainnya seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat, Calsium Chlorida, dan lain-lain. Garam mempunyai sifat atau karakteristik higroskopis yang berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 - 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 801 oC (Burhanuddin, 2001). Garam Natrium Klorida untuk keperluan masak dan biasanya diperkaya dengan unsur iodin yaitu padatan kristal berwarna putih, asin, dan tidak higroskopis, bila mengandung MgCl2 akan terasa agak pahit dan higroskopis (Mulyono, 2009). Klorida banyak terdapat pada plasma darah, serta banyak ditemukan dalam kelenjar pencernaan lambung sebagai asam klorida. Ion-ion klorida mengaktifkan enzim amilase dalam mulut untuk memecahkan pati yang dikonsumsi. Sebagai bagian terbesar dari cairan ekstraseluler, natrium dan klorida juga membantu mempertahankan tekanan osmotik, disamping juga membantu menjaga keseimbangan asam dan basa (Winarno, 1997). Iodium pada garam penting dalam sintesa hormon tiroksin, yaitu suatu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan. Iodium juga sebagai pembentukan hormon kalsitonin, yang juga dihasilkan oleh kelenjar tiroid, berasal dari sel parafolikular (sel CO). Hormon ini berperan aktif dalam metabolisme kalsium, maka harus selalu tersedia iodium yang cukup dan berkesinambungan (Djokomoeljanto, 2006).


(8)

Premix

Premiks (bahasa latin: premix), dikenal dalam dunia peternakan sebagai bahan tambahan yang dicampurkan dalam pakan untuk meningkatkan jumlah nutrisi yang ada di dalam pakan. Asam amino, vitamin dan mineral adalah beberapa nutrisi yang sering terkandung di dalam premix. Manfaat premix dapat mengoptimalkan produktivitas, menjadikan daya tahan tubuh lebih baik, menekan stres, dan meningkatkan pertambahan berat badan. Beberapa contoh nutrisi yang terkandung di dalam premiks ialah vitamin A, C dan E yang digunakan untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Terdapat vitamin B kompleks untuk meningkatkan metabolisme tubuh (Medion, 2010).

CPO

CPO (Crude Palm Oil) atau minyak mentah kelapa sawit biasanya digunakan sebagai bahan bakar dasar untuk pembuatan bahan bakar biodiesel. CPO dapat digunakan untuk bahan pakan ternak sebagai bahan pakan sumber energi. Kandungan energi CPO yaitu 7800 kkal/kg (Tangendjaja dan Wina, 2011). Minyak sawit kasar (CPO/crude palm oil) yang diekstrak dari mesokarp buah sawit (Loi et al., 2010), mengandung asam lemak poli tak jenuh (polyunsaturated fatty acid


(9)

CaCO3

CaCO3 merupakan substrat anorganik yang sering digunakan aplikasi polimer antara lain sering digunakan dalam pembuatan plastik, industri pembuatan kertas, isolasi kabel, pipa fleksibel dan lainnya, selain itu CaCO3 terdapat dalam jumlah yang besar dialam dan mudah untuk mengolahnya. CaCO3 juga terdapat dalam berbagai jenis dimana jenisnya tergantung kepada bahan asal atau dasarnya, adapun jenis CaCO3 antara lain adalah jenis K yang berasal dari batu kapur dengan kemurnian 96%, jenis C berasal dari kalsit dengan kemurnian mencapai 98%, dan jenis CC yang berasal dari hasil pengendapan dengan tingkat kemurnian 98% (Rismana, 2003). CaCO3 merupakan sumber kalsium yang baik, karena dapat mencegah kehilangan kalsium. Namun, penambahan CaCO3 dapat menghambat penyerapan fosfat di usus halus karena terjadi pembentukan fosfor yang tidak larut (Mortensen dan Charles, 1996).

Dicalcium Phosphate

Dicalcium Phosphate (DCP) dapat digunakan sebagai sumber fosfor untuk pakan ternak. Fosfor berperan dalam mengatur tekanan osmotik dan semua reaksi metabolis tubuh (Casacuberta et al., 2007). Semakin tinggi pengunaan DCP dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan. Selain itu, penambahan DCP dapat meningkatkan ketersediaan fosfor yang berfungsi untuk pertumbuhan dan pembentukan tulang (El-Sherbiny et al., 2010)

Urea

Urea merupakan salah satu sumber protein bukan nitrogen (Non Protein Nitrogen) yang berbentuk kristal putih, bersifat mudah larut dalam air dan mengandung 45% unsur nitrogen yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak (Parakkasi, 1995). Nitrogen memiliki fungsi fisiologis bagi mikroorganisme yaitu sebagai bahan untuk mensintesis protein, asam nukleat, dan koenzim (Fardiaz, 1992). Penggunaan urea sebagai bahan pakan ternak dibatasi yaitu maksimal 1% dari ransum atau 5% dari konsentrat dan pemberiannya disarankan disertai dengan penambahan mineral mix (Parakkasi, 1995).


(10)

Molases

Molases dapat dipergunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan molases untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48%-60% sebagai gula), kadar mineral cukup dan rasanya disukai ternak. Molases juga mengandung vitamin B komplex dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti Kobalt, Boron, Yodium, Tembaga, Magnesium dan Seng sedangkan kelemahannya ialah kadar kalium yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak (Rangkuti et al., 1985).

Litter Size

Litter size atau jumlah anak sekelahiran adalah hasil dari tingkat ovulasi pada saat siklus saat mana terjadi pembuahan, dikurangi kehilangan sel telur, janin dan anak dalam kandungan. Kondisi tubuh dan kualitas pakan yang baik dapat meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan melalui peningkatan ovulasi. Kondisi tubuh dan bobot badan yang tinggi pada saat perkawinan, berakibat ovulasi yang lebih banyak dibandingkan bobot badan yang lebih ringan. Hal tersebut diistilahkan dengan pengaruh statis. Selain itu, kualitas pakan sebelum kawin dapat meningkatkan ovulasi atau dapat disebut pengaruh dinamis (Tomaszewska et al., 1993). Dimsoski et al. (1999) dan Inounu et al. (1993) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah anak sekelahiran adalah genotipe, manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk, bangsa induk serta pertambahan bobot badan induk. Adawiyah (1993) melaporkan bahwa bertambahnya umur induk akan meningkatkan jumlah anak sekelahiran. Inounu (1996) melaporkan bahwa jumlah anak sekelahiran domba ekor tipis jawa yaitu sebesar 1,77 ekor/induk. Sementara itu, Jarmuji (2008) melaporkan bahwa jumlah anak sekelahiran pada domba Jonggol sebesar 1,27 ekor/induk.

Konsumsi

Konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan produktifitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakan (Aregheore, 2000), karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu


(11)

faktor makanan, faktor hewan, dan faktor lingkungan. Faktor makanan antara lain bentuk, bau, rasa, tekstur dan komposisi nutrien. Faktor hewan antara lain bobot badan, palatabilitas, status fisiologis dan kapasitas rumen serta faktor lingkungan antara lain suhu dan kelembaban udara (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1989), konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak, zat makanan yang dikandungnya akan digunakan ternak untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan keperluan produksi.

Nurachma (1991) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering ransum induk pada saat bunting (6 minggu menjelang kelahiran) yang diberikan rumput secara ad libitum dan konsentrat sebanyak 150, 300, 450 gram/ekor/hari secara berturut-turut 952, 1053, dan 1170 gram/ekor/hari. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrat maka konsumsi bahan kering ransum akan semakin tinggi. Sitepu (2011) dalam penelitiannya melaporkan, pemberian rumput dan konsentrat secara terpisah dengan rasio 40 : 60 menghasilkan konsumsi bahan kering rumput berkisar 207,57-216,81 gram/ekor/hari dan konsumsi bahan kering konsentrat berkisar 311,36-325,21 gram/ekor/hari.

Kebutuhan Zat Makanan Domba Reproduksi

Fungsi reproduksi pada ternak tergantung oleh beberapa perkembangan fisiologi alat-alat tubuh umumnya yang nyata dan saling terkait satu sama lain terutama alat-alat reproduksi. Makanan berperan penting dalam perkembangan umum dari tubuh dan reproduksi. Pengaruh makanan terhadap reproduksi ternak diatur melalui sistem endokrin. Kekurangan energi atau zat makanan dapat menyebabkan pengurangan hasil hormon tertentu. Hal ini dapat diperbaiki dengan penambahan hormon atau perbaikan makanan. Kekurangan ataupun kelebihan dalam pemberian makanan kepada ternak berdampak kurang baik. Pada ternak betina yang kegemukan, sel telur sering mengalami infiltrasi jaringan lemak sehingga dapat mencegah pertumbuhan dan pelepasan telur (Tillman et al., 1989).

Nutrisi berperan terhadap rata-rata ovulasi melalui cara yang berbeda-beda yaitu bobot badan dan kondisi tubuh saat dikawinkan (pengaruh statis), perubahan bobot badan dan kondisi tubuh yang terjadi 2-3 minggu sebelum dikawinkan, serta pemberian pakan tambahan 4-6 hari sebelum dan sesudah dikawinkan (pengaruh


(12)

waktu). Peningkatan konsumsi energi dan protein berperan dalam peningkatan konsentrasi insulin dan insulin growth factor (IGF) dalam darah yang berpengaruh terhadap folikel yang hubungannya dengan FSH dan LH (Pulina, 2004).

Fase Bunting

Pada dasarnya ternak membutuhkan zat makanan atau energi untuk hidup pokok dan untuk energi cadangan yang akan disimpan dalam jaringan baru dan energi untuk proses-proses metabolisme. Jaringan yang dimaksud yaitu janin, membran janin, pembesaran uterus, dan perkembangan glandula mammaria (Tillman et al., 1989). Secara langsung, nutrisi menyediakan glukosa, asam amino, vitamin, dan elemen kimia essensial. Secara tidak langsung, nutrisi dapat memodifikasi fungsi hormonal, dimana dapat meningkatkan kematangan sel telur, ovulasi, perkembangan embrio, pertumbuhan fetus, dan daya tahan anak yang lahir (Freer dan Dove, 2002).

Pada domba bunting, kebutuhan nutrisi dibutuhkan untuk perkembangan embrio dan pertumbuhan fetus melalui perbaikan kondisi uterus sebagai tempat tinggal embrio dan plasenta sebagai saluran yang menghubungkan aliran nutrisi dari induk ke anak. Kekurangan pakan yang sangat berat dapat menyebabkan beberapa kematian janin hingga 15-20 persen (Tomaszewska et al., 1993). Pulina (2004) membagi masa kebuntingan domba menjadi tiga fase, 1) fase awal kebuntingan (bulan pertama kebuntingan), dimana pada fase ini banyak terjadi kematian embrio saat implantasi di uterus. 2) fase pertengahan kebuntingan (dua sampai tiga bulan kebuntingan), pada fase ini perkembangan plasenta sangat penting karena berpengaruh terhadap bobot lahir anak. Pengaruh nutrisi terhadap perkembangan plasenta dihubungkan oleh bobot badan, skor kondisi tubuh, dan umur induk domba. 3) fase akhir kebuntingan (tiga sampai lima bulan kebuntingan), pada fase ini terjadi perkembangan fetus yang sangat cepat. Hormon plasenta laktogen yang dihasilkan oleh chorion berperan penting dalam mengalirkan glukosa dari induk untuk pertumbuhan fetus. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan pada awal kebuntingan, terutama sebelum pertautan janin merupakan saat yang paling peka oleh pengaruh luar yang mengganggu yaitu kira-kira hingga hari ke-35. Pada periode pertengahan, janin relatif tidak peka lagi terhadap pengaruh-pengaruh yang merusak dan juga terhadap makanan sebab janin masih kecil. Pada periode ketiga atau terakhir, janin tumbuh dengan cepat dan laju pertumbuhannya tergantung pada keadaan makanan


(13)

induknya. Tillman et al. (1989) mengatakan bahwa energi yang ditimbun pada jaringan selama sepertiga masa kebuntingan terakhir naik 15% dari kebutuhan untuk hidup pokok, sehingga sebelum masa tersebut standar makanan hanya untuk kebutuhan hidup pokok hewan dewasa. Ensminger (1980) menyatakan, kebutuhan energi (TDN) untuk domba bunting lebih kurang sebesar 66%.

Fase Laktasi

Laktasi adalah produksi susu oleh mammary glands, dimana dengan maksud untuk memberi makan kepada anak yang baru lahir (Bearden et al., 2004). Pada fase ini kebutuhan gizi dari siklus reproduksi mencapai tahap tertinggi. Produksi susu yang dihasilkan selama laktasi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konsumsi pakan, bobot hidup, komposisi tubuh, potensi genetik, dan kondisi iklim. Selain itu, nutrisi selama kebuntingan memiliki hubungan yang erat terhadap produksi susu (Tomaszewska et al., 1993).

Kebutuhan domba bunting atau yang sedang laktasi membutuhkan nutrisi yang lebih banyak bila dibandingkan dengan kebutuhan induk domba yang tidak bunting atau tidak laktasi (Robinson, 1986). Kebutuhan energi induk domba, baik yang bunting maupun yang sedang laktasi sangat tinggi, maka jumlah energi yang dikonsumsi harus ditingkatkan yakni sebanyak 1,5 sampai 2 kali dari kebutuhan hidup pokok (NRC, 1985). Tillman et al. (1989) mengatakan bahwa kebutuhan zat makanan domba yang sedang laktasi dipengaruhi oleh komposisi air susu. Air susu domba mengandung energi lebih besar dibandingkan ternak lain seperti sapi dan kambing. Menurut Anggorodi (1979) domba yang bunting maupun laktasi dapat diberikan ransum yang mengandung TDN 75%. Poli (1998) dalam penelitiannya melaporkan bahwa kebutuhan TDN dan protein domba lokal saat laktasi pertama sebesar 44%-61% TDN dan 8%-15% protein dengan bobot badan berkisar 27,5-30 kg dan produksi susu hingga 600 gram.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria untuk mengukur pertumbuhan. Pertambahan bobot badan sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan melakukan penimbangan berulang


(14)

setiap hari, minggu atau bulan (Tillmann et al., 1989). Judge et al. (1989) menyatakan bahwa ternak dari satu bangsa tertentu cenderung tumbuh dan berkembang dalam suatu sifat yang khas.

Pada domba bunting, pertambahan bobot badan induk dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan fetus. Meningkatnya umur kebuntingan akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan fetus, namun laju peningkatannya menurun seiring umur kebuntingan (Sugana, 1988). Sudjatmogo (1998) melaporkan bahwa domba bunting yang diberi pakan dengan TDN 75% dan PK 15% menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi 13,56% dibandingkan yang diberi pakan TDN 65% dan PK 12%.

Pada masa laktasi, terutama pada masa awal laktasi akan terjadi penurunan bobot badan. Penurunan bobot badan terjadi saat bulan pertama laktasi, kemudian akan meningkat kembali setelah satu bulan laktasi (Freer dan Dove, 2002). Hal tersebut disebabkan pada awal laktasi aliran metabolit dari darah terjadi dengan cepat untuk produksi susu, sementara konsumsi induk tidak dapat memenuhi kebutuhan zat makanan induk sehingga penggunaan cadangan lemak tubuh akan dilakukan (Forbes, 2007). Induk domba yang mendapatkan pakan dengan TDN 65 dan 75%, puncak laktasi terjadi pada hari ke-35 laktasi (Frimawaty, 1998). Mathius (1996) melaporkan bahwa pada saat laktasi terjadi penurunan bobot badan induk domba yaitu sebesar 10-36 g/ekor/hari.

Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan merupakan nilai yang menggambarkan banyaknya pakan yang dapat diubah menjadi satuan unit produk ternak. Pakan yang mudah dicerna akan meningkatkan efisiensi pakan karena dapat meningkatkan penyerapan zat makanan untuk kebutuhan ternak (Parakkasi, 1999). Selain itu, bentuk fisik dapat mempengaruhi efisiensi, rumput yang dipotong-potong atau memiliki ukuran lebih pendek lebih efisien dibandingkan rumput yang lebih panjang (Freer dan Dove, 2002). Forbes (2007) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi pakan diantaranya adalah laju perjalanan pakan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, dan komposisi zat makanan pakan.


(15)

Bobot Lahir

Bobot lahir merupakan salah satu komponen dari penampilan reproduksi ternak. Tingkatan nutrisi selama bunting cukup berpengaruh terhadap bobot lahir (Tomaszewska et al., 1993). Anak domba jantan selalu lebih berat saat lahir dibandingkan dengan domba betina, dan bobot lahir tersebut akan berkorelasi positif dengan bobot sapih dan pertambahan bobot badan (Ramsey et al., 1994). Anak domba yang lahir tunggal selalu lebih berat dibandingkan dengan yang lahir kembar, keadaan ini dapat diduga bahwa pada masa pertumbuhan prenatal atau pertumbuhan fetus selama kandungan, dalam memperoleh makanan fetus tunggal tidak mengalami persaingan seperti yang terjadi pada anak kembar. Di lain pihak, kelahiran tunggal lebih berat daripada kelahiran kembar hanya pada anak domba jantan, tetapi pada anak domba betina tidak berbeda. Disimpulkan bahwa jumlah anak sekelahiran dan jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir, pertambahan bobot badan prasapih, dan bobot sapih anak domba ekor gemuk (Suryadi, 2008). Selain itu, bobot lahir ditentukan juga oleh bobot badan induk waktu melahirkan (Pitono dan Romjati, 1992). Nurachma (1991) melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak domba pada induk yang diberi pakan PK 15%, TDN 65,8% dan PK 17%, TDN 77% masing-masing sebesar 2,22 kg dan 2,35 kg.

Bobot Sapih

Bobot sapih ialah bobot badan anak sampai umur penyapihan. Bobot sapi merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan air susu dan kemampuan anak untuk mendapatkan air susu dan tumbuh (Hardjosubroto, 1994). Subandriyo (1996) menyatakan bahwa bobot anak saat di sapih dipengaruhi oleh tipe kelahirannya. Hal ini disebabkan terbatasnya produksi susu induk sehingga apabila induk mempunyai anak kembar maka jumlah susu yang terbatas tersebut harus di bagi-bagi. Domba induk yang diberi pakan dengan PK 17% dan TDN 77% menghasilkan rataan bobot sapih sebesar 9,01 kg. Pada pakan PK 15% dan TDN 65,8% menghasilkan rataan bobot sapih sebesar 7,7 kg (Nurachma, 1991).

Mortalitas

Mortalitas atau kematian dibagi menjadi dua yaitu mortalitas perinatal dan postnatal. Menurut Chaniago (1987), mortalitas perinatal adalah kematian anak


(16)

domba dalam waktu 24 jam setelah kelahiran pada temperature yang normal. Selanjutnya dikemukakan bahwa makanan, umur induk dan faktor keturunan pada hakekatnya dapat mempengaruhi mortalitas perinatal. Hinch et al. (1983) menyatakan bahwa mortalitas perinatal berhubungan dengan bobot lahir dan jumlah anak sekelahiran. Rendahnya bobot lahir akibat dari jumlah anak sekelahiran yang tinggi, secara langsung berpengaruh terhadap rendahnya kemampuan hidup anak. Pemberian pakan yang baik pada akhir kebuntingan meningkatkan kemampuan mencapai maksimum 94% atau mortalitas 6% pada kelahiran kembar tiga.

Kematian dapat terjadi pada fase embrio maupun fetus. Dixon et al. (2007) melaporkan bahwa kematian pada fase embrio dan fetus sebesar 19,9%. Pada hari ke-25 masa kelahiran, kematian embrio dan fetus dapat mencapai 21,2%, lebih lengkapnya potensi kematian embrio 3,7% pada hari ke 25-45, kematian fetus 4,3% pada hari ke 45-65, 3,3% pada hari ke 65-85 dan 11,5% pada hari ke 85 sampai beranak. Induk domba yang diberi pakan PK 15%, TDN 65,8% dan PK 17%, TDN 77% memiliki mortalitas anak sebesar 11,22% dan 12.5% (Nurachma, 1991).

Prediksi Produksi Susu

Susu disekresi dari kelenjar alveoli pada ambing saat periode antara pertengahan kebuntingan hingga setelah beranak dibawah kontrol hormon. Susu berperan penting terhadap pertumbuhan anak domba hingga lepas sapih, karena pada periode tersebut anak domba hanya mampu mengonsumsi air susu. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur produksi susu domba adalah denngan menggunakan oksitosin, menimbang bobot anak sebelum dan setelah menyusui, dan menggunakan komposisi tubuh anak (Freer dan Dove, 2002). Dove (1988) menyatakan bahwa anak domba yang hanya mengonsumsi susu menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 160-170 g/hari/kg susu, artinya enam kilogram susu untuk satu kilogram pertambahan bobot badan. Hubungan ini hanya berlaku hingga 4-6 minggu periode laktasi, setelah dari itu kurva hubungan antara produksi susu dan pertambahan bobot badan menurun.


(17)

Income Over Feed Cost

Income Over Feed Cost (IOFC) adalah salah satu cara dalam menentukan indikator keuntungan. IOFC biasa digunakan untuk mengukur performa pada program pemberian pakan. Analisis pendapatan dengan cara ini didasarkan pada harga jual domba dan biaya pakan selama pemeliharaan. Prawirokusumo (1990) menyatakan bahwa Income Over Feed Cost diperoleh dengan menghitung selisih pendapatan usaha peternakan dikurangi dengan biaya ransum. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Income Over Feed Cost yaitu harga ransum, konsumsi ransum, besarnya pendapatan, dan jumlah anak sekelahiran (Prawirokusumo, 1990; Kasim 2002; Kosgey et al., 2004).


(18)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Mulai dari bulan Februari sampai dengan Oktober yang meliputi masa perlakuan flushing, kebuntingan, hingga sapih (dua bulan).

Materi Ternak Percobaan

Ternak yang digunakan adalah domba lokal yang terdiri atas 12 ekor domba dara berumur lebih kurang 1 tahun dengan bobot badan rata-rata 19,87 ± 0,20 kg. Domba tersebut berasal dari Unit Pendidikan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J), Fakultas Peternakan IPB yang berada didaerah Jonggol, Jawa Barat. Ternak domba yang digunakan tercantum pada Gambar 1.

Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan dalam penelitian adalah kandang individu sebanyak dua belas. Masing-masing kandang berukuran 125x55x110 cm yang dilengkapi dengan tempat pakan.


(19)

Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain ember pakan dan ember air minum yang terbuat dari bahan plastik, termohigrometer digital untuk mengukur suhu dan kelembaban, timbangan gantung kapasitas 50 kg untuk menimbang bobot badan domba, timbangan duduk dengan kapasitas 2 kg untuk menimbang hijauan, timbangan digital untuk menimbang pakan konsentrat dan sisa pakan, serta alat USG untuk mendeteksi kebuntingan.

Ransum

Ransum yang diberikan sebesar 3% bobot badan dengan rasio hijauan:konsentrat 40:60 untuk P1 dan P2 serta 30:70 untuk P3 dengan harapan ransum mengandung TDN 65, 70, dan 75% serta iso protein yaitu 14%. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan konsentrat terdiri dari jagung, onggok, bungkil kelapa, CaCO3, DCP, garam, premix, urea, molases, dan CPO. Hijauan yang digunakan adalah rumput lapang yang diperoleh dari areal sekitar tempat penelitian. Komposisi bahan pakan yang digunakan secara lengkap tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Penelitian

Bahan Perlakuan

P1 P2 P3

---%---

Rumput 40 40 30

Konsentrat 60 60 70

Jagung 11,00 7,40 32,00

Onggok 14,10 15,00 12,00

Bungkil Kelapa 31,10 31,00 21,00

CaCO3 2,90 1,00 0,20

DCP 0,00 0,20 0,30

Garam 0,30 0,20 0,10

Premix 0,20 0,20 0,10

Urea 0,40 1,00 1,10

CPO 0,00 2,00 2,20

Molases 0,00 2,00 1,00

Total 100 100 100

Harga Ransum (Rp/Kg) 1.900 2.100 2.600

Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%. Berdasarkan perhitungan formulasi ransum.


(20)

Kandungan zat makanan ransum yang digunakan pada penelitian ini tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian (% BK)

Zat makanan Rumput Konsentrat

P1 P2 P3

---%---

Bahan Kering (%) 19,01 89,37 88,62 88,37

Abu (%) 5,73 11,43 13,48 7,56

Lemak Kasar (%) 5,36 10,45 13,81 8,21

Protein Kasar (%) 11,83 16,42 22,06 18,25

Serat Kasar (%) 23,20 6,95 7,64 6,28

Ca (%) 0,31 1,94 1,21 0,80

P (%) 0,05 0,15 0,07 0,15

TDN (%)* 56,20 74,00 78,70 80,76

Keterangan: Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB (2011). *) NRC (1985). TDN= Total Digestible Nutrients.

Metode Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Tiga perlakuannya yaitu P1 = TDN 65% + PK 14%, P2 = TDN 70% + PK 14%, dan P3 = TDN 75% + 14%. Perlakuan ini diberikan secara acak. Empat ulangannya yaitu jumlah domba yang digunakan dalam masing-masing perlakuan. Model matematik (Steel dan Torrie, 1993) dari rancangan adalah sebagai berikut :

Xij = m + ti + eij Keterangan :

Xij = Respon amatan pada ransum ke-i dan ulangan ke-j m = Rataan umum pengamatan

ti = Pengaruh pemberian ransum ke-i (i = 1, 2, 3)


(21)

Prosedur Pemeliharaan

Pemeliharaan domba dilakukan selama 9 bulan dalam kandang individu. Sebelum digunakan dalam penelitian, domba ditimbang bobot badannya terlebih dahulu. Penimbangan domba dilakukan setiap satu bulan sekali untuk mengetahui perubahan bobot badan. Ransum diberikan pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan siang hari pukul 14.00 WIB dengan urutan rumput diberikan terlebih dahulu kemudian konsentrat. Ransum yang diberikan 3% dari bobot badan dan air minum diberikan secara ad libitum. Sisa ransum dihitung tiap hari dari ransum yang tersisa dalam tempat pakan dan yang tercecer di kandang.

Perlakuan

Perlakuan flushing dengan tingkat energi yang berbeda dilakukan dua minggu sebelum dikawinkan. Berdasarkan rekomendasi Robinson et al. (1999), rata-rata ovulasi meningkat apabila lamanya periode flushing sepuluh sampai empat belas hari sebelum dikawinkan. Kemudian dilanjutkan sebulan setelah kebuntingan dan sepertiga akhir kebuntingan. Perlakuan pakan yang diberikan memiliki kandungan TDN dan protein yang berbeda. Perlakuan yang diberikan sebagai berikut:

P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14% Pengawinan Domba


(22)

menggunakan alat USG (Ultra Sonografi) melalui transrektal yang dilakukan kurang lebih satu bulan setelah domba dikawinkan (Bearden et al., 2004).

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)

Konsumsi ransum dihitung dari selisih pemberian dikurangi sisa, sedangkan konsumsi ransum per ekor per hari selama penelitian diperoleh dari konsumsi total selama penelitian dibagi lama penelitian.

Konsumsi ransum (g) = pemberian (g) - sisa (g)

Konsumsi selama pemeliharaan (g/ekor) Konsumsi ransum (g/ekor/hari) =

Lama penelitian 2. Pertambahan Bobot Badan

Pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) dilakukan dengan penimbangan ternak setiap satu bulan. Penimbangan menggunakan timbangan gantung dengan kapasitas 50kg. Pertambahan bobot badan (gram/ekor/hari) diperoleh dari pertambahan bobot badan dibagi dengan lamanya pemeliharaan.


(23)

5. Jumlah Anak Sekelahiran

Jumlah anak sekelahiran dapat dihitung dari banyaknya anak yang lahir dibagi dengan banyaknya induk yang beranak dalam satu kali kelahiran.

Jumlah anak lahir Jumlah Anak Sekelahiran =

Jumlah induk beranak

6. Mortalitas

Perhitungan mortalitas dapat dilakukan dari banyaknya anak yang mati per keseluruhan anak domba yang hidup hingga sapih.

Jumlah anak mati setelah lahir hingga sapih

Mortalitas = x 100% Jumlah anak hidup setelah lahir hingga sapih

7. Bobot Lahir

Bobot lahir didapatkan dari penimbangan anak yang baru dilahirkan. Bobot lahir anak total

Bobot lahir rata-rata (kg/ekor) = Jumlah anak yang lahir

8. Bobot Sapih

Bobot sapih didapatkan dari penimbangan anak saat lepas sapih. Bobot sapih anak total

Bobot sapih rata-rata (kg/ekor) = Jumlah anak yang disapih

9. Produksi Susu

Produksi susu didapatkan dari pertambahan bobot badan selama sapih. Dove (1988) menyatakan bahwa sebanyak 6 kg susu untuk menghasilkan 1 kg

pertambahan bobot badan anak domba.


(24)

10. Income Over Feed Cost (IOFC)

Income Over Feed Cost adalah pendapatan yang didapat setelah dikurangi biaya pakan.


(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Pedaging dan Kerja (kandang B), Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor adalah tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian. Kandang B terdiri dari empat bangunan, satu bangunan sebagai kantor atau untuk berbagai kegiatan yang menunjang selama penelitian dan tiga bangunan lainnya merupakan kandang domba. Penelitian ini menggunakan salah satu kandang yang didalamnya terdapat 30 kandang individu dengan masing-masing kandang individu berukuran 125x55x110 cm. Alas kandang terdiri dari kayu papan yang diatur sejajar dengan jarak antar papan kurang lebih 2cm agar kotoran dapat jatuh kebawah kandang. Setiap kandang individu dilengkapi bak pakan dan ember tempat air minum.

Suhu dan kelembaban kandang rata-rata 24,84±0,97 ºC dan 94,00±3,16%. Walaupun cukup panas, tetapi kandang memiliki sirkulasi udara yang cukup baik karena adanya atap monitor dan keempat dinding yang setengah bagian terbuka. Selama penelitian, semua domba yang digunakan mengalami pertumbuhan dengan baik. Pada saat laktasi terdapat salah satu domba yang sakit, namun kondisinya dapat membaik kembali.

Konsumsi Bahan Kering Ransum

Rataan konsumsi bahan kering konsentrat, rumput, dan ransum serta konsumsi bahan kering persen bobot badan selama penelitian secara lengkap tercantum pada Tabel 3.

Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering ransum domba induk pada saat bunting maupun laktasi. Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi bahan kering rumput (P<0,01) dan konsentrat (P<0,05) pada saat bunting maupun laktasi.


(26)

Tabel 3. Konsumsi Bahan Kering Ransum Domba Induk Status Fisiologi Konsumsi Bahan Kering Perlakuan Rataan

P1 P2 P3

Bunting

Rumput (g/e/h)1) 192,68±7,99A 185,06±2,27B 149,42±13,00C 175,72±23,09 Konsentrat (g/e/h)2) 377,58±34,23b 364,54±3,50b 442,88±51,60a 395,00±41,98 Ransum (g/e/h) 570,25±38,72 549,61±3,98 592,31±60,83 570,72±17,4

(%BB) 2,36 2,25 2,29 2,30

Rasio

Rumput:Konsentrat 34:66 34:66 25:75 31:69

Laktasi

Rumput (g/e/h)1) 238,54±4,48a 221,29±13,19b 173,54±7,39c 211,12±33,67

Konsentrat (g/e/h)2) 489,76±8,78b 466,13±33,58b 602,73±59,44a 519,54±73,00 Ransum (g/e/h) 728,30±13,26 687,41±46,21 776,27±55,46 730,66±36,3

(%BB) 2,67 2,76 2,78 2,74

Rasio

Rumput:Konsentrat 33:67 32:68 22:78 29:71 Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum

TDN 75%, PK 14%. 1) Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01). 2) Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Konsumsi bahan kering rumput menurun seiring dengan meningkatnya kandungan energi ransum. Sebaliknya, konsumsi bahan kering konsentrat meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan energi ransum. Hal tersebut disebabkan konsentrat diberikan terlebih dahulu dibandingkan rumput, sehingga domba mengonsumsi konsentrat untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, domba lebih menyukai konsentrat dibandingkan rumput. Hal tersebut terlihat pada rasio rumput:konsentrat yang dikonsumsi yaitu rata-rata sebesar 31 : 69 pada saat bunting dan 29 : 71 pada saat laktasi. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa ternak lebih memilih pakan yang memiliki kualitas baik.

Konsumsi bahan kering konsentrat dipengaruhi oleh rasio rumput:konsentrat yang diberikan, baik saat bunting maupun laktasi. Konsumsi bahan kering konsentrat P3 lebih besar dibandingkan P1 dan P2. Hal tersebut disebabkan rasio rumput:konsentrat pada P3 lebih rendah dibandingkan P1 dan P2. Sulistyowati


(27)

(1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ransum yang terdiri dari hijauan dengan jumlah yang rendah dan konsentrat dengan jumlah yang tinggi ternyata mampu meningkatkan konsumsi bahan kering maupun bahan segar konsentrat. Konsumsi bahan kering konsentrat P1, P2, dan P3 secara berturut-turut sebesar 377,58±34,23, 364,54±3,50, dan 442,88±51,60 gram/ekor/hari pada saat bunting serta 489,76±8,78, 466,13±33,58, dan 602,73±59,44 gram/ekor/hari pada saat laktasi. Sitepu (2011) melaporkan bahwa domba lokal yang berasal dari Jonggol pada saat bunting dapat mengonsumsi bahan kering konsentrat berkisar 311,36-325,21 gram/ekor/hari. Sementara, konsumsi bahan kering konsentrat domba ekor tipis yang sedang laktasi yang diberi pakan dengan TDN 65 dan 75% berkisar 389-562 gram/ekor/hari (Frimawaty, 1998).

Konsumsi bahan kering rumput berbanding terbalik dengan konsumsi bahan kering konsentrat. Semakin tinggi konsumsi bahan kering konsentrat, menyebabkan konsumsi bahan kering rumput menurun. Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa konsumsi konsentrat yang melebihi 320 gram/hari pada domba yang digembalakan dapat menurunkan konsumsi hijauan. Sementara itu, Forbes (2007) menyatakan bahwa tingginya propionat yang dihasilkan konsentrat dapat menurunkan kecernaan rumput, sehingga sulitnya rumput yang dicerna pada rumen menyebabkan konsumsi bahan kering rumput rendah. Konsumsi bahan kering rumput P1, P2, dan P3 secara berturut-turut sebesar 192,68±7,99, 185,06±2,27, dan 149,42±13,00 gram/ekor/hari pada saat bunting serta 238,54±4,48, 221,29±13,19, dan 173,54±7,39 gram/ekor/hari pada saat laktasi. Sitepu (2011) melaporkan konsumsi bahan kering rumput saat domba bunting yaitu berkisar 207,57-216,81 gram/ekor/hari. Sementara, konsumsi bahan kering rumput domba ekor tipis yang sedang laktasi berkisar 138,31-377,77 gram/ekor/hari (Frimawaty, 1998).

Konsumsi bahan kering ransum domba induk saat laktasi lebih besar dibandingkan saat bunting. Rataan konsumsi bahan kering ransum domba induk saat bunting dan laktasi yaitu sebesar 570,72±17,4 dan 730,66±36,3 gram/ekor/hari atau setara dengan 2,30 dan 2,74 persen bobot badan. Perbedaan tersebut disebabkan pada saat laktasi, kebutuhan nutrisi domba sangat tinggi dibandingkan fase lainnya. Perpindahan metabolit yang sangat cepat dari darah untuk memproduksi susu dan kebutuhan nutrisi untuk perbaikan organ reproduksi setelah melahirkan merupakan


(28)

hal yang menyebabkan konsumsi bahan kering saat laktasi tinggi (Forbes, 2007). Selain itu, adanya fetus membuat volume rumen menjadi kecil sehingga menyebabkan konsumsi bahan kering menjadi terbatas (Freer dan Dove, 2002). Marai et al. (2007) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering. Suhu yang rendah dapat meningkatkan konsumsi bahan kering ransum. Pada penelitian ini, suhu lingkungan saat domba bunting rata-rata sebesar 26 oC dan pada saat laktasi rata-rata sebesar 25 oC (BMKG, 2010). Walaupun terdapat perbedaan suhu yang tidak besar, namun perbedaan suhu dapat mempengaruhi ransum yang dikonsumsi sehingga menyebabkan konsumsi bahan kering saat laktasi lebih tinggi dibandingkan saat bunting. Abdalla et al. (2003) menyatakan bahwa domba laktasi lebih tahan suhu panas dibandingkan domba bunting. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum. Konsumsi bahan kering ransum penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian (Nugroho, 2010), bahwa domba bunting yang yang digembalakan di Jonggol hanya mengonsumsi bahan kering sebesar 426,15 gram/ekor/hari pada musim kemarau dengan suhu lingkungan mencapai 32 oC. Marai et al. (2001) menyatakan bahwa domba akan mengalami stres panas yang rendah pada temperatur kurang dari 22,2 o

C, stres panas yang sedang pada temperatur 22,2-23,3 oC, stres panas yang tinggi pada temperatur 23,3-25,6 oC, dan stres yang ekstrem pada temperatur diatas 25,6 oC. Konsumsi bahan kering ransum penelitian lebih rendah bila dibandingkan standar kebutuhan nutrisi domba. Kebutuhan nutrisi domba yang sedang bunting dengan bobot badan 20 kg dan pertambahan bobot badan 50 g/hari dapat mengonsumsi bahan kering sebesar 660 g/hari atau 3,3 persen bobot badan dan saat laktasi pada bobot badan yang sama dengan pertambahan bobot badan 5 g/hari dapat mengonsumsi bahan kering sebesar 990 g/hari atau 5 persen bobot badan (Kearl, 1982). Forbes (2007) menyatakan bahwa besarnya tingkat konsumsi dapat dipengaruhi oleh genetik ternak, kualitas dan kuantitas pakan yang digunakan, status fisiologi serta lingkungan.


(29)

Pola Konsumsi Bahan Kering Ransum Domba

Pola konsumsi bahan kering domba terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering selama Pemeliharaan

Pada Gambar 2, rataan konsumsi bahan kering dari ketiga perlakuan meningkat secara perlahan dari awal hingga bulan ke-4 kebuntingan. Kemudian meningkat dengan cepat hingga bulan ke-6 (awal laktasi). Namun, pada P2 konsumsi bahan kering meningkat cepat baru dimulai pada bulan ke-5 atau setelah beranak hingga bulan ke-6. Hal ini disebabkan P2 memiliki rata-rata fetus kembar, sehingga konsumsinya terbatas. Pada akhir laktasi (bulan ke-7), konsumsi bahan kering konstan. Konsumsi yang meningkat cepat yang dimulai pada bulan ke-4 hingga bulan ke-6 disebabkan konsumsi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan fetus yang sangat cepat pada waktu tersebut (Saun, 2011) dan untuk memenuhi kebutuhan tingginya produksi susu hingga awal laktasi (Pulina, 2004). Puncak laktasi biasanya terjadi pada awal laktasi yaitu hari ke-35 laktasi (Frimawaty, 1998) atau sekitar minggu ke-3 sampai ke-4 laktasi (Poli, 1998). Konsumsi akan normal pada bulan ke-2 laktasi karena pada saat tersebut produksi susu telah menurun (Forbes, 2007).


(30)

Konsumsi Zat Makanan Ransum

Konsumsi zat makanan domba yang mendapatkan ransum penelitian secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Konsumsi Zat Makanan Induk Domba yang Mendapat Perlakuan Berbeda Selama Bunting dan Laktasi

Perlakuan Zat Makanan

BK Abu LK PK SK Ca P TDN

Bunting

P1 (g/e/h) 570,25 54,23 49,80 84,83 70,93 7,96 0,69 387,72 (%) 67,99 6,47 5,94 10,11 8,46 0,95 0,08 68,00 P2 (g/e/h) 549,61 59,77 60,28 102,32 70,78 4,99 0,34 393,67 (%) 64,81 7,05 7,11 12,07 8,35 0,59 0,04 71,63 P3 (g/e/h) 592,31 42,05 44,40 98,52 62,48 4,03 0,73 444,86 (%) 70,14 4,98 5,26 11,67 7,40 0,48 0,09 75,11 Laktasi

P1 (g/e/h) 728,30 69,68 63,98 108,68 89,37 10,29 0,89 496,52 (%) 67,99 6,51 5,97 10,15 8,34 0,96 0,08 68,17 P2 (g/e/h) 687,41 75,54 76,25 129,02 86,94 6,33 0,43 494,74 (%) 64,73 7,11 7,18 12,15 8,19 0,60 0,04 72,00 P3 (g/e/h) 776,27 55,51 58,83 130,55 78,11 5,39 0,98 588,67 (%) 70,21 5,02 5,32 11,81 7,06 0,49 0,09 75,83 Keterangan: P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum

TDN 75%, PK 14%. BK = Bahan Kering, LK = Lemak Kasar, PK = Protein Kasar, SK = Serat Kasar.

Berdasarkan konsumsi bahan kering, kandungan zat makanan yang dikonsumsi tidak sama dengan yang diharapkan, terutama yaitu kandungan TDN. Kandungan TDN yang dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan rasio rumput : konsentrat yang dikonsumsi berbeda dengan yang diharapkan. Konsumsi konsentrat lebih tinggi, sedangkan konsumsi rumput lebih rendah dibandingkan yang diharapkan. Pada penelitian ini, konsumsi TDN domba yang sedang bunting maupun laktasi secara berturut-turut berkisar 387,72


(31)

Penampilan Reproduksi Domba Induk

Penampilan reproduksi domba induk yang mendapat ransum penelitian secara lengkap tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Penampilan Reproduksi Domba Betina yang Mendapat Ransum dengan Tingkat Energi Berbeda

Peubah Perlakuan

Rataan

P1 P2 P3

Jumlah Induk Awal (ekor) 4,00 4,00 4,00 4,00

Berdasarkan USG

Jumlah Induk Bunting (ekor) 4,00 3,00 4,00 3,66

Jumlah Fetus:

Total (ekor) 8,00 8,00 8,00 8,00

Rata-rata/Induk (ekor) 2,00 2,66 2,00 2,22

Jumlah Anak Lahir:

Total 6,00 6,00 4,00 5,33

Rata-rata/Induk 1,50 2,00 1,00 1,50

Lambing Rate (%) 150 200 100 150

Rasio Anak Lahir:

Jantan:Betina 33:67 67:33 25:75 44:56

Tunggal:Kembar 50:50 17:83 100:0 50:50

Keterangan: P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%.

Jumlah Fetus

Berdasarkan hasil USG, jumlah fetus untuk perlakuan P1, P2, dan P3 masing-masing adalah 2, 2,66, 2 fetus/induk. Walaupun tingkat energi ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata, tetapi flushing dapat meningkatkan jumlah fetus. Pengaruh flushing pada penelitian ini dapat menghasilkan fetus kembar pada domba. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan Mathius (1996) yang dalam penelitiannya memberikan tingkatan energi dan protein berbeda terhadap domba selama bunting, rata-rata fetus yang dihasilkan sebesar 1,6 fetus/induk. Landau et al. (1995) melaporkan bahwa domba Boorola Merino yang mendapatkan pakan dengan kandungan pati yang tinggi selama tiga minggu sebelum ovulasi dapat menghasilkan rata-rata ovulasi yang tinggi.


(32)

Jumlah Anak Lahir

Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan lebih rendah dibandingkan jumlah fetus hasil USG (Tabel 5). Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada penelitian ini sebesar 1,5 ekor/induk. Sementara rata-rata jumlah fetus yang dihasilkan sebesar 2,22 fetus/induk. Secara keseluruhan domba belum cukup mampu untuk melahirkan anak kembar karena terdapat kematian embrio/fetus selama kebuntingan. König et al. (2006) menyatakan bahwa kelahiran anak kembar dipengaruhi oleh umur induk domba. Induk domba berumur satu tahun memiliki kemungkinan menghasilkan anak kembar rendah yaitu berkisar 10% dibandingkan induk domba yang berumur 2-3 tahun yaitu kemungkinan melahirkan anak kembar sebesar 40-50%. Hal ini disebabkan pada tahun pertama, energi yang tersedia dari makanan digunakan untuk pertumbuhan sehingga perkembangan alat reproduksi belum maksimal yang akan menurunkan kemampuan untuk menghasilkan anak kembar. Selain itu, anak yang lahir sangat dipengaruhi oleh daya hidup embrio selama di uterus. Domba lokal (berasal dari Garut, Semarang, dan Grati) memiliki rataan daya hidup embrio sebesar 85,74%, nilai tersebut dipengaruhi oleh kapasitas uterus domba yang terbatas. Domba yang memiliki laju ovulasi 2-4 memiliki kapasitas uterus sebesar 1,8-2,9 embrio. Hal ini akan menyebabkan kematian embrio selama berada didalam uterus (Inounu, 1996).

Tingkat energi ransum yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kematian fetus. Parr et al. (1987) menyatakan bahwa pemberian pakan yang berlebih pada awal kebuntingan dapat menurunkan domba yang bunting karena adanya kematian embrio, hal ini dihubungkan dengan aktivitas metabolisme di hati, pemberian pakan yang berlebih menyebabkan mmeningkatnya aliran darah pada hati sehingga terjadi pemecahan progesteron yang akan menurunkan kadar progesteron dalam darah (Parr et al., 1993).

Terjadinya kematian fetus selama domba bunting terbesar pada perlakuan P3 dibandingkan P1 dan P2 (50 vs 25 dan 25%). Penggunaan urea yang tidak diikuti dengan penggunaan bahan pakan sumber protein yang optimal dalam ransum dapat berpengaruh terhadap kematian embrio. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1, ransum P3 mengandung urea yang lebih tinggi dibandingkan P1 dan P2, serta


(33)

mengandung bungkil kelapa yang lebih rendah dibandingkan dengan P1 dan P2. Whittier (2011) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penggunaan urea yaitu bahan pakan sumber karbohidrat mudah dicerna, frekuensi pemberian urea, level urea pakan, dan bahan pakan sumber protein mudah larut. Tingginya penggunaan bahan pakan sumber protein dapat meningkatkan penggunaan urea dan sebaliknya. Tingginya konsumsi protein yang mudah terdegradasi rumen dapat meningkatkan urea maupun amonia dalam darah (Canfield et al., 1990). Urea dan amonia yang tinggi dalam darah dapat menjadi racun bagi embrio (Sinclair et al., 2000) dan merusak beberapa fungsi organ reproduksi yaitu menurunkan pH uterus yang dapat menyebabkan kematian embrio (Elrod et al., 1993). Mc Evoy et al. (1997) menyatakan bahwa urea secara langsung dapat merusak kematangan oosit dan perkembangan embrio, serta secara tidak langsung mengganggu lingkungan utero-oviductal selama perkembangan zigot.

Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada penelitian ini (Tabel 5) lebih besar dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Jarmuji (2008) bahwa induk domba Jonggol yang dipelihara secara ekstensif dapat menghasilkan rata-rata anak sebesar 1,3 ekor/induk. Sementara itu, Harahap (2008) yang menggunakan materi yang sama yaitu induk domba Jonggol berumur kurang lebih satu tahun yang dipelihara secara ekstensif tanpa mendapat pakan penguat, rata-rata anak yang dihasilkan yaitu sebesar 1,15 ekor/induk. Hasil yang sama juga terlihat pada rasio anak tunggal:kembar. Rasio anak tunggal:kembar penelitian ini lebih rendah atau cenderung menghasilkan anak kembar dibandingkan yang dilaporkan oleh Raharjo (2008) mengenai reproduksi domba Jonggol (50:50 vs 73:27). Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan secara intensif dengan memberikan pakan yang baik dapat meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan atau dapat meningkatkan penampilan reproduksi domba Jonggol. Tomaszewska (1991) menyatakan bahwa angka ovulasi maupun jumlah anak yang dilahirkan dipengaruhi genetik, umur, dan nutrisi. Perbaikan nutrisi selama kebuntingan dapat meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan.


(34)

Penampilan Produksi Domba Induk Pertambahan Bobot Badan Induk

Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan (PBB) induk pada saat bunting, tetapi tidak nyata pada saat laktasi. Pertambahan bobot badan perlakuan P1 dan P3 lebih besar dibandingkan P2 masing-masing sebesar 43,49±10,9, 52,47±10,47, dan 29,45±2,58 gram/ekor/hari. Besarnya pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh tingkat konsumsi induk domba. Konsumsi induk domba yang mendapat perlakuan P3 dan P1 lebih tinggi dibandingkan P2 (592,31 dan 570,25 vs 549,61). Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa konsumsi yang tinggi selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, kelebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus serta organ reproduksi induk domba. Pada penelitian ini, rataan pertambahan bobot badan induk domba selama bunting yaitu sebesar 41,80±9,47 gram/ekor/hari. Wardhani (2006) melaporkan bahwa rataan pertambahan bobot badan domba lokal sebesar 47,00 gram/ekor/hari. Sudjatmogo (1998) dalam penelitiannya melaporkan bahwa pertambahan bobot badan domba ekor pipih sedang bunting yaitu berkisar 41,50-67,70 gram/ekor/hari.

Tabel 6. Penampilan Produksi Domba Induk yang Mendapatkan Tingkat Energi Berbeda

Peubah Perlakuan Rataan

P1 P2 P3

BB Awal (kg/ekor) 19,63±0,96 20,13±0,82 19,88±0,89 19,88±0,20 BB Sesaat Setelah

Melahirkan (kg/ekor) 27,88±2,66 26,83±1,04 29,63±2,06 28,11±1,15 PBB Selama Bunting

(g/e/h)1) 43,49±10,91a 29,45±2,58b 52,47±10,47a 41,80±9,47 Efisiensi Ransum Selama

Bunting1) 0,076±0,015a 0,054±0,004b 0,089±0,012a 0,073±0,017 BB Saat Sapih

(kg/ekor) 27,25±0,75 25,17±0,62 27,75±2,27 26,72±1,12 PBB Selama Laktasi

(g/e/h) -40,18±18,94 -26,79±7,87 -33,48±15,25 -33,48±5,46 Efisiensi Ransum Selama

Laktasi

(tanpa PBB anak) -0,055±0,025 -0,039±0,012 -0,044±0,023 -0,046±0,008 (dengan PBB anak) 0,154±0,017 0,156±0,040 0,150±0,022 0,154±0,003 Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum

TDN 75%, PK 14%. 1) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).


(35)

Pada saat laktasi terjadi penurunan bobot badan. Rataan penurunan bobot badan induk domba 33,48±5,86 gram/ekor/hari. Penurunan bobot badan terjadi karena pakan yang dikonsumsi belum dapat memenuhi kebutuhan induk laktasi. Mathius (1996) melaporkan, pada domba yang sedang laktasi, perubahan bobot badan bernilai negatif. Pada periode tersebut, tingginya produksi susu tidak bisa dicukupi dari konsumsi pakan yang diberikan, maka terjadi mobilisasi lemak oleh induk domba, sehingga akan terjadi kehilangan bobot badan selama awal laktasi. Besarnya penurunan bobot badan selama awal laktasi yaitu 10-36 gram/ekor/hari. Pola Pertumbuhan Bobot Badan Domba Induk

Pola pertumbuhan bobot badan domba induk yang mendapatkan tingkat energi berbeda terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik Pola Pertumbuhan dari Bobot Badan Induk selama Pemeliharaan

Gambar 3 menunjukkan bahwa bobot badan domba induk meningkat mulai dari awal penelitian hingga beranak, kemudian akan terjadi penurunan bobot badan. Pada perlakuan P3, penurunan bobot badan terjadi setelah beranak hingga bulan ke-2 laktasi. Sementara itu, penurunan bobot badan pada perlakuan P1 terjadi hingga bulan pertama laktasi dan tidak terjadi pertambahan maupun penurunan pada bulan ke-2 laktasi. Pada perlakuan P1, penurunan bobot badan terjadi hingga bulan pertama laktasi, kemudian meningkat pada bulan ke-2 laktasi. Terjadinya penurunan bobot


(36)

badan hingga bulan ke dua laktasi pada perlakuan P3 dipengaruhi oleh produksi susu induk yang mendapatkan perlakuan P3 masih cukup tinggi dibandingkan P1 dan P2. Hal tersebut karena perlakuan P3 menghasilkan anak tunggal dibandingkan P1 dan P2 yang cenderung menghasilkan anak kembar. Raharjo (2008) menyatakan bahwa penurunan produksi susu secara nyata lebih besar terjadi pada induk yang menghasilkan anak kembar dibandingkan anak tunggal, penurunan tersebut terjadi setelah puncak laktasi atau pada hari ke-35.

Pola Pertambahan Bobot Badan Harian Domba Induk

Pola pertambahan bobot badan harian domba induk yang mendapatkan tingkat energi berbeda terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba Induk selama Pemeliharaan

Gambar 4 menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan meningkat cepat mulai awal penelitian hingga bulan ke-2 kebuntingan. Selanjutnya pertambahan bobot badan menurun secara cepat hingga bulan ke-3 dan menurun secara perlahan hingga bulan ke-5 (beranak). Penurunan bobot badan terjadi setelah domba beranak hingga bulan ke-1 laktasi, kemudian kembali meningkat hingga bulan ke-2 laktasi. Terjadinya pertambahan bobot badan secara cepat pada awal kebuntingan disebabkan zat makanan yang dikonsumsi diprioritaskan untuk pembentukan dan pertumbuhan


(37)

uterus, plasenta, dan membran. Sebaliknya, pada sepertiga akhir kebuntingan zat makanan diprioritaskan untuk perkembangan fetus. Forbes (2007) menyatakan bahwa meningkatnya ukuran fetus menyebabkan rongga perut mengecil dan laju aliran pakan meningkat sehingga penggunaan kapasitas energi menurun. Pada bulan pertama laktasi merupakan hal yang biasa terjadi penurunan bobot badan, karena pada awal laktasi terjadi aliran metabolit yang cepat dari darah untuk produksi susu, namun konsumsi pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh oleh induk untuk produksi susu, serta kebutuhan nutrisi untuk perbaikan organ reproduksi setelah beranak (Mathius 1996; Forbes 2007; Pulina 2004). Pertambahan bobot badan induk akan meningkat setelah puncak laktasi karena produksi susu mulai menurun, sehingga nutrisi yang ada digunakan untuk pertambahan bobot badan (Freer dan Dove, 2002).

Efisiensi Penggunaan Ransum

Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap efisiensi penggunaan ransum pada saat bunting, tetapi tidak pada saat laktasi. Pada saat bunting perlakuan P1 dan P3 memberikan efisiensi penggunaan ransum yang lebih tinggi dibandingkan P2 yaitu masing-masing sebesar 0,076±0,015, 0,089±0,012, dan 0,054±0,004. Efisiensi penggunaan ransum bergantung pada pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa efisiensi ransum dipengaruhi oleh genetik, kualitas pakan, suhu dan kelembaban.

Pada saat laktasi, apabila dilakukan perhitungan tanpa bobot badan anak, efisiensi penggunaan ransum yang dihasilkan rata-rata sebesar -0,046. Tetapi, jika pertambahan bobot badan anak selama 28 hari dimasukkan dalam perhitungan, efisiensi penggunaan ransum yang dihasilkan rata-rata sebesar 0,154. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pakan pada saat laktasi belum mampu memenuhi kebutuhan untuk produksi susu, sehingga akan terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh,maka yang terjadi adalah penurunan bobot badan (Mathius, 1996). Tillman et al. (1989) menyatakan bahwa energi pakan lebih efisien dimanfaatkan untuk produksi susu dibandingkan untuk pembentukan cadangan tubuh pada saat laktasi. Forbes (2007) juga menyatakan bahwa pada saat laktasi energi pakan secara berturut-turut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, lalu produksi susu dan yang terakhir untuk pertumbuhan.


(38)

Penampilan Produksi Anak

Penampilan produksi anak dari induk yang mendapatkan perlakuan ransum dengan energi yang berbeda tercantum pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tingkat energi ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap bobot lahir anak, bobot anak hari ke-28, bobot sapih anak (hari ke-56), pertambahan bobot badan anak pada hari ke 0 sampai 28 dan 29 sampai 56, serta produksi susu induk pada hari ke 0 sampai 28.

Tabel 7. Penampilan Produksi Anak Umur 0-28 Hari dari Induk Domba yang Mendapat Perlakuan Berbeda

Peubah Perlakuan Rataan

P1 P2 P3

Bobot Lahir 1,56±0,63 1,38±0,53 2,71±0,34 1,88±0,72 Bobot Hari Ke-28 (kg/e) 6,55±0,07 4,99±2,10 7,72±0,88 6,42±1,37 PBB Hari Ke 0-28 (g/e/h) 160,36±3,54 121,13±39,04 179,18±30,08 153,55±29,62 Produksi Susu Hari Ke

0-28 (g/e/h) 962,14±21,21 969,00±252,01 1075,07±180,45 1002,07±63,31 Keterangan: P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum

TDN 75%, PK 14%. Bobot Lahir

Bobot lahir antar perlakuan pada penelitian ini tidak berbeda nyata. Bobot lahir yang tidak berbeda nyata disebabkan jumlah anak yang dilahirkan tidak berbeda. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Subhagiana (2008) bahwa jumlah anak yang dilahirkan dapat mempengaruhi bobot lahir anak. Tingginya jumlah anak yang dilahirkan dapat menurunkan bobot lahir tiap ekor anak dan sebaliknya. Bobot lahir anak yang dihasilkan oleh induk yang mendapatkan ransum perlakuan P1, P2, dan P3 masing-masing sebesar 1,56±0,63, 1,38±0,53, dan 2,71±0,34 kg/ekor. Rataan bobot lahir anak yang dihasilkan sebesar 1,88±0,72 kg/ekor. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan penelitian Harahap (2008) yang melaporkan bahwa bobot lahir anak dari induk domba Jonggol berumur satu tahun yang hanya mendapatkan rumput lapang yaitu sebesar 1,83±0,84 kg/ekor. Konsumsi induk selama bunting dapat mempengaruhi bobot lahir anak. Zat makanan yang didapatkan selama induk bunting digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus. Kekurangan nutrisi pada induk akan menyebabkan bobot lahir yang rendah


(39)

(Freer dan Dove, 2002). Supriyanto (2010) melaporkan bahwa bobot lahir anak dari induk domba Jonggol yang mendapat Brachiaria humidicola dan legum yaitu berkisar 1,82


(40)

Bobot Sapih (Hari ke-56)

Bobot sapih anak tidak berbeda nyata antar perlakuan. Bobot sapih yang tidak berbeda nyata disebabkan bobot lahir dan produksi susu induk yang dihasilkan tidak berbeda. Siregar (2003) menyatakan bahwa bobot lahir yang rendah akan menghasilkan bobot sapih yang rendah dan bobot lahir yang tinggi akan menghasilkan bobot sapih yang tinggi pula. Freer dan Dove (2002) mengatakan beberapa faktor yang dapat memengaruhi bobot sapih yaitu genotip, bobot lahir, produksi susu, jumlah anak per kelahiran, umur induk, jenis kelamin anak, dan umur sapih. Bobot sapih yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 8,92


(41)

sel-sel sekretori kelenjar ambing terjadi sewaktu induk bunting atau pralaktasi, sehingga nutisi yang cukup sangat diperlukan untuk memproduksi susu.

Kematian Anak Sampai Sapih

Kematian anak setelah kelahiran yang tertinggi terjadi pada domba yang mendapat perlakuan P1 yang kemudian diikuti oleh P2, sedangkan P3 tidak ada (Tabel 8). Kematian anak terjadi pada induk yang melahirkan anak kembar. Farida (2008) menyatakan bahwa pada induk yang mengandung anak kembar akan terjadi kompetisi dalam memperoleh zat makanan, baik kompetisi antara induk dengan anak maupun antar anak yang dikandung. Terbatasnya zat makanan yang didapatkan oleh anak, membuat anak yang lahir akan memiliki kondisi yang lemah, sehingga akan menurunkan daya hidup anak serta menyebabkan kematian. Rata-rata kematian anak terjadi sesaat setelah kelahiran. Kematian anak disebabkan terdapat beberapa induk yang melahirkan anak dengan bobot lahir yang rendah (0,8-1,1kg). Inounu (1993) menyatakan bahwa untuk mendapatkan daya hidup yang tinggi maka anak domba yang dilahirkan harus memiliki bobot lahir diatas 1,5 kg.

Hubungan Bobot Lahir dengan Bobot Sapih

Pada penelitian ini, terdapat hubungan antara bobot lahir dengan bobot sapih. Bobot lahir berpengaruh terhadap bobot sapih. Nilai korelasi yang dihasilkan antara bobot lahir dengan bobot sapih pada penelitian ini yaitu sebesar 0,85. Nilai tersebut menunjukkan bahwa bobot lahir sangat berpengaruh terhadap bobot sapih. Martojo (1992) menyatakan bahwa nilai koefisien korelasi 0,1 sampai 0,2 adalah memiliki hubungan yang rendah, 0,4 sampai 0,5 sedang, dan 0,6 sampai 1,0 tinggi. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Freer dan Dove (2002) bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi bobot sapih yaitu genotip, bobot lahir, produksi susu, jumlah anak per kelahiran, umur induk, jenis kelamin anak, dan umur sapih. Bobot lahir memiliki pengaruh yang positif terhadap bobot sapih. Semakin tinggi bobot lahir akan menghasilkan bobot sapih yang semakin tinggi pula. Sesuai persamaan regresi liniar yang dipenuhi yaitu y = 5980,39 + 1,95x dengan y adalah bobot sapih (gram) dan x adalah bobot lahir (gram). Siregar (2003) menyatakan bahwa bobot lahir yang rendah akan menghasilkan bobot sapih yang rendah dan bobot lahir yang tinggi akan menghasilkan bobot sapih yang tinggi.


(42)

Gambar 5. Grafik Hubungan antara Bobot Lahir dengan Bobot Sapih

Hubungan Produksi Susu 0-28 Hari dengan Bobot Badan Anak Hari ke-28 Produksi susu yang dihasilkan oleh induk selama 28 hari memiliki hubungan yang erat terhadap bobot badan anak hari ke-28. Nilai korelasi yang dihasilkan yaitu sebesar 0,97. Produksi susu memiliki pengaruh yang positif terhadap bobot badan anak pada hari ke-28. Semakin tinggi produksi susu maka semakin tinggi bobot badan anak yang dihasilkan. Hal tersebut sesuai dengan persamaan liniar yang dipenuhi yaitu y = 809,21+ 6,12x dengan y adalah produksi susu (gram) dan x adalah bobot badan anak pada hari ke-28 (gram). Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa kebutuhan zat makanan anak hanya dipenuhi oleh susu yang dihasilkan oleh induknya. Produksi susu induk memiliki hubungan yang tinggi terhadap bobot badan anak hanya hingga 4-6 minggu setelah kelahiran, selanjutnya hubungan antara produksi susu dengan bobot badan menurun (Dove, 1988).


(43)

Gambar 6. Grafik Hubungan antara Produksi Susu Hari Ke 0-28 dengan Bobot Badan Anak Hari Ke-28

Perbandingan Penampilan Anak Tunggal dan Kembar

Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa bobot lahir anak tunggal lebih baik dibandingkan anak kembar. Bobot lahir anak tunggal lebih tinggi 138% (1380,43 gram) dari anak kembar. Hal tersebut sama dengan yang dinyatakan Harahap (2008) bahwa bobot lahir dapat dipengaruhi oleh tipe kelahiran dan bobot lahir anak tunggal lebih tinggi dibandingkan anak kembar. Farida (2008) menyatakan bahwa bobot lahir yang berbeda berdasarkan tipe kelahiran (tunggal, duplet, triplet, dan kuartet) dikarenakan adanya perbedaan zat makanan yang diterima dan ruang untuk tumbuh serta berkembang selama didalam uterus. Perbedaannya terdiri atas (1) fetus tunggal relatif menerima zat makanan lebih banyak dibanding yang lain karena pada fetus kembar terjadi persaingan perolehan nutrisi antar fetus dari induknya; (2) fetus tunggal lebih leluasa untuk tumbuh dan berkembang dibanding fetus kembar didalam uterus. Oleh karena itu, semakin banyak fetus didalam uterus, maka semakin sedikit zat makanan yang akan diterima oleh setiap fetus dan ruang lingkup untuk fetus berkembang juga semakin sempit.


(44)

Tabel 9. Perbandingan Penampilan Anak Kelahiran Tunggal dengan Anak Kelahiran Kembar dari Induk yang Mendapat Ransum dengan Tingkat Energi Berbeda

Peubah

Tipe Kelahiran

Tunggal Kembar

Jumlah Anak 7 3

Bobot Lahir (gram/ekor) 2377,43±356,55 997,00±108,87

Bobot Badan Hari Ke-28 (gram/ekor) 7442,86±884,79 3951,66±718,33

PBB Hari Ke 0-28 (gram/ekor/hari) 180,91±23,95 105,52±29,14

Bobot Sapih (gram/ekor) 10914,29±747,06 8333,33±1059,87

PBB Hari Ke 29-56 (gram/ekor/hari) 123,98±30,98 156,48±42,53

Bobot lahir anak tunggal pada penelitian ini lebih baik dibandingkan bobot lahir anak tunggal domba Jonggol yang dipelihara secara ekstensif yaitu rata-rata sebesar 2,13 kg/ekor, sedangkan untuk bobot lahir anak kembar lebih rendah dibandingkan bobot lahir anak kembar domba Jonggol yang dipelihara ekstensif yaitu rata-rata sebesar 1,26 kg/ekor (Harahap, 2008). Hal tersebut disebabkan pada bobot lahir anak kembar penelitian ini dari tipe kelahiran kembar tiga (triplet), sedangkan bobot lahir anak kembar Harahap (2008) dari tipe kelahiran dua (duplet).

Anak tunggal juga memiliki bobot badan hari ke-28, pertambahan bobot badan hari ke 0-28, dan bobot sapih yang lebih baik dibandingkan anak kembar yaitu secara berturut-turut sebesar 3491,20 gram/ekor, 71,44 gram/ekor/hari, dan 2580,96 gram/ekor. Bobot badan hari ke-28 dan pertambahan bobot badan anak hari ke 0-28 sangat dipengaruhi oleh produksi susu (Mathius, 1996). Pertumbuhan anak tunggal lebih tinggi dibandingkan anak kembar karena anak tunggal tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan susu dari induknya (Tomaszewska et al., 1991). Sementara itu, pertambahan bobot badan anak hari ke 29-56 untuk anak kembar lebih tinggi 32,50 gram/ekor/hari dibandingkan anak tunggal. Pertambahan bobot badan tersebut tidak dipengaruhi oleh produksi susu, namun dapat dipengaruhi oleh makanan induk. Sejak awal minggu ke lima, anak domba telah mampu untuk mengonsumsi pakan


(45)

padat, sehingga kekurangan kebutuhan anak domba diperoleh dari pakan padat dan produksi air susu setelah minggu ke empat juga mulai berkurang (Mathius, 1996). Penurunan produksi susu secara nyata mulai hari ke-35 dibandingkan pada anak tunggal (Raharjo, 2008). Cepatnya penurunan produksi susu pada anak kembar disebabkan laju penyusutan ambing yang besar setelah puncak produksi susu pada anak kembar (Adriani, 1998). Bulan pertama laktasi, susu yang didapatkan anak kembar terbatas dibandingkan anak tunggal (Tomaszewska et al., 1991) dan penurunan produksi susu pada kelahiran anak kembar juga lebih cepat dibandingkan anak tunggal (Raharjo, 2008), sehingga anak kembar akan mencukupi kebutuhannya dengan mengonsumsi pakan induk. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan kompensasi. Atti dan Ben Salem (2008) menyatakan bahwa domba yang pada awal mendapat pakan terbatas kemudian mendapatkan pakan yang berlebih akan memiliki pertambahan bobot badan lebih tinggi dibandingkan domba yang pada awal mendapatkan pakan berlebih kemudian mendapatkan pakan terbatas.

Perbandingan Penampilan Anak Jantan dan Betina

Penampilan produksi anak domba berdasarkan jenis kelamin tercantum pada Tabel 10.

Tabel 10. Perbandingan Penampilan Anak Jantan dengan Anak Betina dari Induk yang Mendapat Ransum dengan Tingkat Energi Berbeda

Peubah

Jenis Kelamin

Jantan Betina

Jumlah Anak 3 7

Bobot Lahir (gram/ekor) 1903,33±678,85 1680,00±682,03

Bobot Badan Hari Ke-28 (gram/ekor) 7216,67±2352,84 6043,57±1701,14

PBB Hari Ke 0-28 (gram/ekor/hari) 189,76±60,20 155,84±49,05

Bobot Sapih (gram/ekor) 10566,67±1205,54 9957,14±1627,74


(1)

Lampiran 1. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Rumput selama Bunting

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 4169,88 2084,94 23,52 4,45 8,65

Error 8 709,01 88,62

Total 10 4878,89

Lampiran 2. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Konsentrat selama Bunting

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 13083,54 6541,77 4,54 4,45 8,65 Error 8 11529,14 1441,14

Total 10 24612,68

Lampiran 3. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Rumput selama Laktasi

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 6994,44 3497,22 39,43 5,14 10,92

Error 6 532,15 88,69

Total 8 7526,60

Lampiran 4. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Konsentrat selama Laktasi

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 36597,51 18298,75 8,49 5,14 10,92 Error 6 12930,20 2155,03

Total 8 49527,71

Lampiran 5. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Ransum selama Bunting

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 3161,60 1580,80 0,81 4,45 8,65 Error 8 15630,49 1953,81

Total 10 18792,10

Lampiran 6. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Ransum selama Laktasi

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 13686,73 6843,36 3,00 5,14 10,92 Error 6 13673,83 2278,97


(2)

Lampiran 7. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Ransum Per Persen Bobot Badan selama Bunting

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 0,02 0,01 1,22 4,45 8,65

Error 8 0,08 0,01

Total 10 0,11

Lampiran 8. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Ransum Per Persen Bobot Badan selama Laktasi

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 0,02 0,01 0,34 5,14 10,92

Error 6 0,23 0,03

Total 8 0,26

Lampiran 9. Sidik Ragam Konsumsi TDN Ransum selama Bunting

SK db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 13430,99 6715,49 7,11 4,46 8,65 Error 8 7554,72 944,34

Total 10 20985,72

Lampiran 10. Sidik Ragam Konsumsi TDN Ransum selama Laktasi

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 19574,19 9787,09 10,90 5,14 10,92

Error 6 5386,49 897,74

Total 8 24960,68

Lampiran 11. Sidik Ragam Jumlah Fetus Rata-rata

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 0,97 0,48 0,83 4,45 8,65

Error 8 4,67 0,58

Total 10 5,64

Lampiran 12. Sidik Ragam Jumlah Anak Lahir Rata-rata

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 1,73 0,86 1,38 4,45 8,65

Error 8 5,00 0,62


(3)

Lampiran 13. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Induk selama Bunting

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 910,89 455,44 5,21 4,45 8,65

Error 8 699,18 87,39

Total 10 1610,08

Lampiran 14. Sidik Ragam Efisiensi Ransum Induk selama Bunting

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 0,0020 0,0010 6,989 4,4589 8,6491 Error 8 0,0011 0,0001

Total 10 0,0032

Lampiran 15. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Induk Selama Laktasi

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 219,23 109,61 0,55 5,14 10,92 Error 6 1180,29 196,71

Total 8 1399,52

Lampiran 16. Sidik Ragam Efisiensi Ransum Induk (tanpa bobot anak) selama Laktasi

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 0,0002 0,0001 0,3396 5,1432 10,9247 Error 6 0,0026 0,0004

Total 8 0,0029

Lampiran 17. Sidik Ragam Efisiensi Ransum Induk (dengan bobot anak) selama Laktasi

SK db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 0,00006 0,00003 0,03744 5,14325 10,92477 Error 6 0,00483 0,00081

Total 8 0,00489

Lampiran 18. Sidik Ragam Produksi Susu Induk

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 26368,67 13184,34 0,35 5,14 10,92 Error 6 225164,76 37527,46


(4)

Lampiran 19. Sidik Ragam Bobot Lahir Anak

SK db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 2480172,98 1240086 4,37 4,45 8,65 Error 8 2266268,25 283283,5

Total 10 4746441,23

Lampiran 20. Sidik Ragam Bobot Anak Hari Ke-28

SK db JK KT F F0,05 F0,01 Perlakuan 2 9054501,39 4527251 2,02 5,14 10,92

Error 6 13415254,17 2235876

Total 8 22469755,56

Lampiran 21. Sidik Ragam Bobot Sapih Anak

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 5923055,56 2961528 2,54 5,14 10,92 Error 6 6989166,67 1164861

Total 8 12912222,22

Lampiran 22. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Anak Hari Ke 0-28

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 3242,42 1621,20 0,86 5,14 10,92 Error 6 11280,12 1880,02

Total 8 14522,54

Lampiran 23. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Anak Hari Ke 29-56

SK Db JK KT F F0,05 F0,01

Perlakuan 2 856,37 428,18 0,36 5,14 10,92 Error 6 7089,35 1181,55


(5)

RINGKASAN

WAHYU ISMOYO. D24070276. Penampilan Reproduksi Domba Lokal dan Penampilan Produksi Anak yang Mendapat Ransum Flushing dengan Tingkat Energi Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Kukuh Budi Satoto, MS.

Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan.

Keberhasilan suatu usaha dibidang peternakan tidak terlepas dari pengaruh pakan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pakan memiliki porsi yang besar pada suatu usaha peternakan yaitu 70% dari biaya total produksi dan sisanya dipengaruhi oleh genetik ternak serta manajemen perkandangan. Salah satu usaha peternakan yang paling diminati adalah peternakan domba. Mudahnya dalam hal pemeliharaan dan penjualan membuat masyarakat lebih tertarik dengan ternak domba. Selain itu, domba memiliki sifat prolifik yaitu mempunyai kemampuan melahirkan anak hingga empat ekor dalam satu kali kelahiran. Namun, domba-domba yang melahirkan lebih dari dua ekor akan diikuti dengan angka kematian yang tinggi, sehingga pada akhirnya mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi maupun produktivitas ternak domba yaitu melalui flushing. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan penampilan reproduksi dan produksi induk domba lokal serta produksi anak yang dilahirkan yang mendapat ransum


(6)

menggunakan analisa sidik ragam (Analyses of Variance, ANOVA) kemudian apabila ada perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Ortogonal Kontras.

Hasil menunjukkan bahwa tingkat energi ransum hanya berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering rumput dan konsentrat, serta pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum selama bunting. Konsumsi bahan kering ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum selama laktasi, jumlah fetus dan jumlah anak yang dilahirkan, serta bobot lahir dan bobot sapih anak tidak dipengaruhi oleh tingkat energi ransum. Penampilan produksi anak kembar lebih baik dibandingkan anak tunggal dan penampilan anak jantan lebih baik dibandingkan anak betina. Hasil analisis korelasi, nilai korelasi antara bobot lahir dengan bobot sapih yaitu sebesar 0,85 dan antara produksi susu 0-28 hari dengan bobot badan anak hari ke-28 yaitu sebesar 0,97. Income over feed cost tertinggi dihasilkan oleh perlakuan 2. Dapat disimpulkan bahwa tingkat energi ransum yang berbeda tidak mempengaruhi penampilan produksi dan reproduksi domba induk serta penampilan produksi anak.

Kata-kata kunci: domba lokal, produksi, reproduksi, energi