Respons Fisiologis Benih Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) Pasca Transportasi Sistem Kering, Lembab dan Basah

RESPONS FISIOLOGIS BENIH UDANG MANTIS
(Harpiosquilla raphidea) PASCATRANSPORTASI
SISTEM KERING, LEMBAB DAN BASAH

M. YUSUF ARIFIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Respons Fisiologis
Benih Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) Pascatransportasi Sistem Kering,
Lembab, dan Basah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015
M. Yusuf Arifin
NIM C151120211

RINGKASAN
M. YUSUF ARIFIN. Respons Fisiologis Benih Udang Mantis (Harpiosquilla
raphidea) Pascatransportasi Sistem Kering, Lembab dan Basah. Dibimbing oleh
EDDY SUPRIYONO dan WIDANARNI.
Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) merupakan salah satu krustasea air
laut bernilai ekonomis tinggi yang diekspor ke Hongkong, Jepang dan Taiwan.
Saat ini udang mantis mulai dibudidayakan di beberapa daerah di Indonesia,
bahkan di Hongkong dan Taiwan. Sumber suplai benih udang mantis terbesar
berasal dari Jambi.
Pengangkutan benih dari Jambi hingga ke lokasi budidaya membutuhkan
waktu lebih dari 8 jam. Lamanya waktu transportasi tersebut memungkinkan
benih udang mengalami stres. Selama ini transportasi ikan hidup sudah dilakukan
dengan sistem basah dan sistem kering. Transportasi ikan hidup sistem kering
seperti lobster dan kepiting untuk kebutuhan konsumsi sudah dilakukan, namun

transportasi benih sistem kering untuk kebutuhan budidaya belum dilakukan.
Transportasi udang mantis selama ini dilakukan dengan sistem lembab, namun
respons fisiologisnya belum dikaji secara ilmiah baik itu transportasi sistem
kering, sistem basah, maupun sistem lembab. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membandingkan respons fisiologis benih udang mantis yang diangkut dengan
transportasi sistem kering, lembab, dan basah, sehingga dapat ditentukan
transportasi yang paling baik untuk benih udang mantis.
Penelitian dilakukan selama 3 bulan terhitung dari bulan April hingga Juni
2014 yang berlangsung di Teaching farm Departemen Budidaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Tahapan penelitian ini
terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan
meliputi uji penentuan jumlah es dan media pengisi serbuk gergaji, penentuan
suhu pembiusan, dan uji tingkat konsumsi oksigen (TKO). Penelitian utama
meliputi transportasi udang mantis selama 12 jam, dan pemeliharaan udang mantis
selama 14 hari dengan menganalisis respons fisiologisnya pada jam ke-1, 3, 6, 12,
24, 72, 168, dan 336 pascatransportasi. Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan
transportasi yaitu sistem kering, sistem lembab, dan sistem basah. Setiap
perlakuan diberi ulangan sebanyak tiga kali. Sebagai parameter kontrol dilakukan
analisis respons fisiologis pada udang mantis yang dipelihara tanpa diberi
perlakuan.

Hasil uji pendahuluan diperoleh jumlah es terbaik adalah 0,75kg dengan
ketebalan serbuk gergaji 3 cm, suhu pembiusan 15 °C dan tingkat konsumsi
oksigen udang mantis adalah 1,31± 0,064 mg O2/g/jam.
Hasil penelitian utama diperoleh bahwa pada saat pembongkaran udang
mantis yang diangkut dengan sistem kering 100% mati, sedangkan untuk sistem
lembab dan sistem basah 100% udang dalam kondisi hidup. Respons fisiologis
yang diukur saat pembongkaran menunjukkan bahwa transportasi sistem lembab
menghasilkan respons stres yang lebih rendah, jumlah total hemosit (THC)
1,97±0,15 sel/mL, glukosa 46,88±10,12 mg/dL, total protein 7,74±0,70 g/dL,
cholesterol 69,29±3,85 mg/dL, dan pH hemolim 7,57±0,15.
Hasil analisis respons fisiologis udang mantis pascatransportasi
menunjukkan bahwa udang yang diangkut dengan sistem lembab lebih cepat pulih

mendekati nilai normal dibanding sistem basah. Parameter fisiologis untuk sistem
lembab yaitu THC mendekati normal (5,1±0,2x10⁷sel/mL) pada jam ke 72
(4,77±0,312x10⁷sel/mL), glukosa mendekati normal (37,24±0,8 mg/dL) pada jam
ke 24 (50,63±3,02 mg/dL), kolesterol mendekati normal (55,68±5,11 mg/dL) pada
jam ke 72 (57,18±2,54 mg/dL), pH hemolim mendekati normal (7,41±0,12) pada
jam ke 24 (7,44±0,26). Parameter fisiologis untuk sistem basah yaitu THC
mendekati normal pada jam ke 168 (4.97±0,76x10⁷sel/mL), glukosa mendekati

normal pada jam ke 72 (47,77±5,37 mg/dL), kolesterol mendekati normal pada
jam ke 168 (56,96±9,32 mg/dL), dan pH hemolim mendekati normal pada jam ke
72 (7,31± 0,21).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa transportasi yang paling baik untuk
pengangkutan benih udang mantis adalah transportasi sistem lembab dengan
respons fisiologis yang lebih rendah, waktu pulih yang lebih cepat, dan
menghasilkan laju pertumbuhan sebesar 1,25±0,21% dengan tingkat kelangsungan
hidup sebesar 93.3 ± 1.15%.
Kata kunci: fisiologis, stres, udang mantis, pascatransportasi

SUMMARY
M. YUSUF ARIFIN. Physiological Responsses Mantis Shrimp Seeds
(Harpiosquilla raphidea) Post Transportation Dry System, Moist System and Wet
Systems.. Supervised by EDDY SUPRIYONO and WIDANARNI.
Mantis shrimp (Harpiosquilla raphidea) is one of marine crustacean with
high economical values and exports to Hongkong, Japan and Taiwan. Recently
mantis shrimp has been cultured in some areas in Indonesia, even in Hongkong
and Taiwan. The largest mantis shrimp seed supply comes from Jambi Province.
Transportation of seeds from Jambi to culture areas take more than 8 hours.
That length of transport time made mantis affected by stress. Transportation of

live fish has been done with wet systems and dry systems. Live fish transport
systems for lobster and crab dried for consumption has been conducted, but the
transport of mantis seeds with dry system for farming has not been done. The
transport of mantis shrimp was done by moist system, but responsses has not been
studied physiologically in dry, wet and moist transport system. The purpose of
this study was to examine or compare the physiological responsses of mantis
shrimp that transported by the dry, moist and wet transport system, so in the future
can be determined the best transportation system for the mantis shrimp.
The study was conducted for 3 months from April to June 2014 which took
place in the laboratory Teaching farm Aquaculture Department of the Faculty of
Fisheries and Marine Science, Bogor Agricultural University. Stages of the study
consisted of a preliminary study and the main study. Preliminary research includes
testing for determining the amount of ice and sawdust filler media, determination
of anesthesia temperature and test of the oxygen consumption level. The main
research include mantis shrimp transportation for 12 hours and maintenance of
mantis shrimp after transport by analyzing the physiological responsses on 1, 3, 6,
12, 24, 72, 168 and 336 hours after transportation. This study consisted of three
treatments, respectively dry system, moist system and wet systems. Each
treatment was repeated three times. Control treatment for physiological responsses
in mantis shrimp were maintained without any treatment.

Preliminary test showed that 0,75 kg of ice with a thickness of 3 cm sawdust
and 15°C temperature was the best treatment for anesthesia with oxygen
consumption level was 1.31 ± 0,064 mg O2/g/h.
The main research showed that mantis shrimp transported with dry system
caused 100% mortalities, while for moist system and wet system resulted 100%
survival. Physiological responsses were measured after demolition indicated that
the moist transport system produced lower stress responsses (THC 1,97 ± 0,15
Cell/ml, glucose 46,88 ± 10,12 mg/dl, total protein 7,74 ± 0,70 g/dl, cholesterol
69,29 ± 3,85 mg/dl, and the hemolymph pH 7,57 ± 0,15).
The results of physiological responsses of mantis shrimp post-transport
showed that mantis shrimp transported by moist system was more quickly
recovered close to normal conditions than wet system. Physiological parameters
for moist system showed that THC close to normal (5,1 ± 0,2x10⁷Cell/ml) at 72
hours (4,77 ± 0,312x10⁷Cell/ml), near normal glucose (37,24 ± 0,8 mg/dl) at 24
hours (50,63 ± 3,02 mg/dl), cholesterol close to normal (55,68 ± 5,11 mg/dl) in 72
hours (57,18 ± 2,54 mg/dl), pH hemolymph close to normal (7,41 ± 0,12) at 24

hours (7,44 ± 0,26). Physiological parameters for wet systems indicated that THC
near normal at 168 hours (4,97 ± 0,76x10⁷Cell/ml), glucose near normal at 72
hours (47,77 ± 5,37 mg/dl), cholesterol close to normal in 168 hours (56,96 ± 9,32

mg / dl), and the hemolymph pH close to normal at 72 hours (7,31 ± 0,21).
This research showed that the best transportation for seed mantis shrimp
transportation was moist system with lower physiological responsses, with
recovery time faster and produced specific growth rate 1,25±0,21% with survival
rate 93,3±1,15%.
Keywords: physiological, stress, mantis, post transportation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

RESPONS FISIOLOGIS BENIH UDANG MANTIS
(Harpiosquilla raphidea) PASCATRANSPORTASI
SISTEM KERING, LEMBAB DAN BASAH


M. YUSUF ARIFIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis:

Dr Ir Tatag Budiardi, MSi

Judul Tesis : Respons Fisiologis Benih Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea)
Pasca Transportasi Sistem Kering, Lembab dan Basah

Nama
: M. Yusuf Arifin
NIM
: C151120211

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc
Ketua

Dr Ir Widanarni, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir Widanarni, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 5 Januari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah
Transportasi benih, dengan judul Respons Fisiologis Benih Udang Mantis
(Harpiosquilla raphidea) Pascatransportasi Sistem Kering, Lembab dan Basah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Eddy Supriyono, MSc
dan Ibu Dr Ir Widanarni, MSi selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, isteri serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
motifasinya. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan untuk seluruh rekanrekan yang telah memberi bantuan berupa saran dan pemikiran.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Januari 2015
M.Yusuf Arifin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis

1
1
3
3
3
3

2 METODE
Waktu dan Tempat
Persiapan Penelitian
Rancangan Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Penelitian Utama
Parameter Uji
Analisis Data

3
3
3
4
5
6
8
10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Suhu Pembiusan
Jumlah Es dan Media Pengisi
Tingkat Konsumsi Oksigen
Penelitian Utama
Gambaran Hemolim Saat Pembongkaran
Gambaran Hemolim Pasca Transportasi
Respons THC
Respons Glukosa
Respons Total Protein
Respons Kolesterol
Respons pH Hemolim
Tingkat Kelangsungan Hidup
Respons Pertumbuhan
Kualitas Air

10
10
10
11
14
15
15
17
17
18
20
21
22
24
25
26

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA

28

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

61

DAFTAR TABEL
1 Parameter uji penelitian
2 Tingkah laku udang mantis saat dibius dengan metode penurunan suhu
secara bertahap
3 Gambaran hemolim udang mantis saat pembongkoran setelah 12 jam
perlakuan transportasi dan pada kondisi normal
4 Parameter kualitas air selama berlangsungnya transportasi sistem basah.

7
11
15
27

DAFTAR GAMBAR
1 Perubahan suhu didalam box styrofoam pada uji penentuan kombinasi
jumlah es 0,5 kg dengan ketebalan serbuk gergaji
2 Perubahan suhu didalam box styrofoam pada uji penentuan kombinasi
jumlah es 0,75 kg dengan ketebalan serbuk gergaji
3 Perubahan suhu didalam box styrofoam pada uji penentuan kombinasi
jumlah es 1 kg dengan ketebalan serbuk gergaji
4 Kondisi oksigen terlarut selama uji TKO udang mantis (Harpiosquilla
raphidea)
5 Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO) udang mantis (Harpiosquilla
rahphidea)
6 Jumlah total hemosit (THC) udang mantis pascatransportasi.
7 Konsentrasi glukosa udang mantis pascatransportasi
8 Konsentrasi total protein udang mantis pascatransportasi
9 Konsentrasi kolesterol udang mantis pascatransportasi
10 Nilai pH hemolim udang mantis pascatransportasi
11 Survival Rate (SR) atau tingkat kelangsungan hidup udang mantis
pascatransportasi
12 Bobot awal dan akhir udang mantis (A); Laju pertumbuhan spesifik
(SGR) udang mantis pascatransportasi (B); Frekuensi molting udang
mantis pascatransportasi (C).

12
12
13
14
14
18
19
20
21
23
24

26

DAFTAR LAMPIRAN
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Prosedur penentuan jumlah es dan serbuk gergaji
Prosedur pengemasan udang mantis pada transportasi sistem kering
Prosedur pengemasan udang mantis pada transportasi sistem lembab
Prosedur pengemasan udang mantis pada transportasi sistem basah
Uji-T Jumlah Total Hemosit (THC)
Uji-T Glukosa
Uji-T Total Protein
Uji-T Kolesterol
Uji-T pH Hemolim
Uji-T Spesific Growth Rate (SGR)
Uji-T Survival Rate (SR)

34
35
36
37
38
42
47
51
56
59
60

1

1 PENDAHULUAN
Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) merupakan salah satu krustasea air
laut yang memiliki bentuk fisik menyerupai belalang sembah (manthis). Udang ini
dikenal dengan nama udang pangko, udang Eiko, udang ketak atau udang nenek.
Istilah udang ronggeng digunakan untuk nama dagang dan nama dalam bahasa
Indonesia, sedangkan dalam bahasa Inggris udang ini dikenal dengan nama
manthis shrimp (Romimohtarto dan Juwana 2007; Mashar 2011; Dini et al. 2013).
Di Propinsi Jambi, tepatnya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung
Jabung Barat udang mantis merupakan komoditas unggulan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi. Harga per-ekor udang mantis untuk ekspor ke Hongkong dan
Taiwan berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp. 40.000 untuk kelas A (panjang
tubuh > 25cm) dan kelas B (panjang tubuh 20-25 cm). Sedangkan harga untuk
udang kelas C (panjang tubuh 15–20 cm) dan kelas K (panjang tubuh < 15 cm)
hanya berkisar antara Rp. 5.000 – Rp.7.000/ekor.
Kegiatan budidaya udang mantis saat ini mulai dilakukan di beberapa
daerah di Indonesia seperti di Jambi, Jakarta dan Karawang, bahkan di Hongkong,
dan Taiwan. Suplai benih terbesar berasal dari hasil tangkapan nelayan di Jambi.
Pengangkutan benih udang mantis dari tempat pengumpul benih hingga ke lokasi
budidaya di luar propinsi Jambi membutuhkan waktu perjalanan antara 8 – 12 jam.
Adanya jarak dan waktu tersebut memungkinkan terjadinya stres pada benih
selama pengangkutan. Menurut Verghese (2003), transportasi merupakan salah
satu penyebab stres pada proses pengangkutan lobster hidup. Lebih lanjut menurut
Lorenzon et al. (2007) transportasi dapat meyebabkan stres dan mempengaruhi
kondisi fisiologis pada lobster Homarus americanus.
Stres adalah suatu fenomena biologis yang non-spesifik dari suatu
perubahan lingkungan atau faktor lain yang mempengaruhi daya adaptasi
homeostasis, proses perubahan tersebut akan mempengaruhi proses fisiologis
yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan fisik bahkan kematian
(Makmur 2002). Respons stres yang disebabkan oleh perubahan kondisi
lingkungan dapat ditandai dengan adanya perubahan fisiologis dalam jangka
pendek atau jangka panjang yang menyebabkan pengalihan sumberdaya energi
untuk proses vital, proses tersebut dapat merusak atau mengancam kondisi
homeostasis (Buchanan 2000). Pada kondisi stres terjadi realokasi energi
metabolik aktivitas investasi (seperti pertumbuhan dan reproduksi) menjadi
aktivitas untuk memperbaiki homeostasis, seperti respirasi, pergerakan, regulasi
hidromineral dan perbaikan jaringan.
Respons fisiologis terhadap stresor lingkungan dikelompokkan menjadi
respons primer, sekunder dan tersier. Respons primer melibatkan respons
neuroendokrin termasuk pelepasan katekolamin dari sel chromaffin dan
rangsangan dari hipotalamus-hipofisis-interrenal (HPI) sebagai sumbu utama
dalam pelepasan kortikosteroid ke sirkulasi (Mommsen et al. 1999). Respons
sekunder termasuk perubahan dalam plasma, jaringan ion, tingkat metabolit dan
gambaran hematologi, yang semuanya berhubungan dengan penyesuaian
fisiologis seperti dalam metabolism, respirasi, status asam-basa, keseimbangan
Hydromineral (Pickering 1981; Mommsen et al. 1999). Respons tersier terjadi
pada aspek performance seperti perubahan dalam pertumbuhan, kondisi,
ketahanan terhadap penyakit, ruang lingkup kegiatan metabotik, perilaku dan
akhirnya survival (Wedemeyer dan Mcleay 1981; Wedemeyer et al. 1990). Untuk

2

meminimalisir tingkat stres tersebut dibutuhkan teknologi transportasi benih yang
mampu mengangkut benih udang sebanyak mungkin dengan kematian sekecil
mungkin dalam waktu yang dicapai selama mungkin, serta tidak mengganggu
fisiologisnya pascatransportasi.
Secara umum transportasi ikan hidup dilakukan dengan dua cara, yaitu
sistem tertutup dan terbuka. Transportasi tertutup dibagi menjadi sistem basah dan
kering. Transportasi sistem basah umumnya menggunakan media air yang
digunakan untuk distribusi jarak dekat. Menurut Hasan (2007) transportasi ikan
hidup menggunakan media air untuk jarak jauh tidak efektif karena memerlukan
biaya yang besar, kapasitas angkut kecil dan resiko kematian tinggi. Transportasi
kering umumnya menggunakan media pengisi yang mampu menyerap air dan
mempertahankan suhu. Transportasi sistem kering mempunyai kelebihan, yaitu;
mengurangi stres, menurunkan kecepatan metabolisme, mengurangi mortalitas
dan daya angkut lebih besar (Berka 1986). Lebih lanjut menurut Lorenzon et al.
(2008) transportasi kepiting dengan media air menyebabkan kematian sebesar
30%, sedangkan transportasi tanpa media air tidak terjadi kematian setelah 24 jam
pemeliharaan. Trasportasi sistem lembab merupakan suatu teknologi transportasi
tanpa media air atau media pengisi, dimana tingkat kelembaban di dalam wadah
dipertahankan dengan menggunakan es.
Krustasea memiliki kemampuan bertahan hidup di luar media air. Secara
anatomi, pada saat udang dalam keadaan tanpa air, pada rongga karapas masih
mengandung air, sehingga masih mampu menyerap oksigen yang terdapat pada air
dalam rongga karapas. Dengan memanfaatkan sifat fisiologis tersebut, maka
krustasea dapat diangkut dengan menggunakan sistem kering dalam lingkungan
yang lembab pada suhu rendah (Wijayanti et al. 2011).
Transportasi ikan hidup tanpa media air pada dasarnya menggunakan
prinsip hibernasi. Hibernasi dapat dilakukan melalui teknik pembiusan dengan
penggunaan suhu rendah atau bahan kimia. Penggunaan suhu rendah merupakan
cara yang paling efektif, ekonomis, dan aman karena tidak meninggalkan residu
bahan kimia (Wijaya 2008). Pembiusan dilakukan untuk menurunkan aktivitas
metabolisme dan respirasi krustasea, sehingga selama transportasi tidak banyak
bergerak dan tidak banyak memerlukan oksigen untuk respirasinya. Untuk
mempertahankan kondisi pingsan selama transportasi sistem kering dibutuhkan
media pengisi kemasan yang berkualitas. Media pengisi yang baik harus memiliki
daya serap air yang tinggi dan mampu mempertahankan suhu rendah
(Suryaningum et al. 2007). Umumnya media pengisi yang sering digunakan untuk
transportasi sistem kering adalah serbuk gergaji. Serbuk gergaji dapat digunakan
sebagai media pengisi karena mampu menyerap air dan merupakan penghambat
panas yang baik (Wijaya 2008).
Sampai saat ini penelitian tentang transportasi ikan hidup sistem basah dan
sistem kering untuk kebutuhan konsumsi sudah sering dilakukan. Namun
demikian, penelitian transportasi sistem kering untuk kebutuhan budidaya seperti
penyediaan benih untuk pembesaran belum pernah dilakukan. Khusus untuk
transportasi sistem lembab dan transportasi udang mantis dengan berbagai metode
transportasi secara ilmiah belum pernah diteliti. Selama ini para eksportir udang
mantis di Propinsi Jambi melakukan transportasi udang mantis dengan sistem
lembab. Transportasi udang mantis dengan sistem lembab tersebut belum pernah
dikaji atau diteliti. Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan penelitian tentang
transportasi udang mantis untuk kebutuhan budidaya dengan mengkaji respons
fisiologisnya pascatransportasi.

3

Perumusan Masalah
Transportasi benih merupakan suatu langkah awal yang sangat menentukan
dalam kegiatan budidaya ikan atau udang. Selama berlangsungnya proses
transportasi, benih dikenakan sejumlah stres yang dapat mempengaruhi kondisi
fisiologis biota tersebut yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan
hidupnya. Untuk meminimalisir tingkat stres tersebut dibutuhkan teknologi
transportasi yang baik. Oleh karena masih minimnya teknologi transportasi udang
mantis dan sebagai langkah awal dalam mendukung kegiatan budidaya udang
mantis, maka perlu kiranya dilakukan penelitian tentang transportasi udang mantis
dengan mengkaji respons fisiologisnya pascatransportasi.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan respons fisiologis udang
mantis (Harpiosquilla raphidea) pascatransportasi sistem kering, lembab dan
basah.

Manfaat Penelitian
Memberikan informasi tentang respons fisiologis udang mantis
pascatransportasi, sehingga nantinya dapat diterapkan sistem transportasi yang
paling baik guna meminimalisir tingkat stres.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah perlakuan transportasi
sistem lembab diduga mampu meminimalisir tingkat stres udang mantis.

2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan selama 3 bulan terhitung dari bulan April hingga Juni
2014 yang berlangsung di Teaching Farm Departemen Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Persiapan Penelitian
a. Media air
Air yang digunakan dalam penelitian ini adalah air laut dengan salinitas
25‰, suhu 30 °C, pH 7, dan DO > 5 mg/L. Nilai parameter tersebut digunakan
atas dasar hasil penelitian Mashar dan Wardiatno (2011) perairan yang cocok atau
habitat yang sesuai untuk kehidupan udang mantis adalah dengan salinitas 25‰,
suhu 30–33 °C, pH 7,5–8,0, dan DO 5,2–8,0 mg/L.

4

b. Media pengisi
Media pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk gergaji.
Serbuk gergaji yang digunakan dipilih dari jenis kayu yang tidak menghasilkan
racun, tidak berbau tajam dan bersih dengan ukuran partikel 0,5–1 mm. Sebelum
digunakan, serbuk gergaji diayak dan dicuci, kemudian ditiriskan dan dijemur
sampai kering. Selanjutnya direndam dalam air laut dengan salinitas 25‰ selama
24 jam dengan tujuan agar pori-pori bahan pengisi dapat menyerap air secara
homogen. Sebelum digunakan sebagai media pengisi, bahan tersebut didinginkan
sampai mendekati suhu pembiusan udang (Ahdiyah, 2011).
c. Wadah
Untuk pengangkutan ikan hidup sistem kering wadah kemasan yang sering
digunakan berupa kotak styrofoam atau istilah teknis dikenal sebagai foamed
polystyrene (FPS) atau expanded polystyrene (Karnila 1999).
Wadah yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari wadah untuk
pengangkutan dan wadah pemeliharaan. Untuk wadah pengangkutan pada sistem
kering digunakan kotak styrofoam dengan ukuran 40x25x15cm dengan ketebalan
2,5 cm. Untuk transportasi sistem lembab, kotak styrofoam yang digunakan sama
seperti pada sistem kering, namun dilengkapi dengan selongsong plastik mika dan
juga digunakan kantong plastik ukuran 50 kg. Untuk transportasi sistem basah
digunakan wadah berupa kantong plastik ukuran 25 kg. Wadah pemeliharaan
udang mantis pascatransportasi adalah akuarium dengan ukuran luas 250 cm2
yang dilengkapi dengan shelter dan sistem sirkulasi serta filter.
d. Biota uji
Biota uji yang digunakan adalah udang mantis yang berasal dari hasil
tangkapan nelayan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi dengan
ukuran panjang tubuh 15–18 cm. Udang mantis terlebih dahulu diadaptasikan di
dalam wadah pemeliharaan selama 7 hari sebelum perlakuan. Udang mantis uji
yang digunakan adalah yang sehat, bugar, tidak cacat fisik, tidak sedang dalam
fase ganti kulit (moulting).

Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan suhu
pembiusan, jumlah es dan media pengisi yang digunakan, dan Tingkat Konsumsi
Oksigen (TKO) udang mantis.
Penelitian utama yaitu dilakukannya uji transportasi udang mantis selama
12 jam. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan model linear yaitu ;
Yij = X + ai + Eij
Keterangan :
Yij : Pengamatan Perlakuan ke-i ulangan ke-j
X : Nilai rata-rata
ai : Pengaruh Perlakuan ke-i
Eij : Kesalahan Perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j

5

Perlakuan yang diuji terdiri dari tiga metode transportasi yang berbeda,
yaitu ;
1. Transportasi tanpa air dengan media pengisi serbuk gergaji dan tanpa injeksi
oksigen (selanjutnya disebut sebagai sistem kering)
2. Transportasi tanpa air dan tanpa media pengisi yang di injeksi oksigen
(selanjutnya disebut sebagai sistem lembab)
3. Transportasi dengan media air (selanjutnya disebut sebagai sistem basah)
Sebagai kontrol dilakukan analisis respons fisiologis terhadap udang mantis
yang dipelihara tanpa diberi perlakuan.

Penelitian Pendahuluan
Penentuan Suhu Pembiusan
Kondisi pingsan diperlukan agar proses metabolisme selama
berlangsungnya transportasi ikan hidup dapat berkurang, sehingga aktivitas
fisiologis, kebutuhan oksigen, dan produksi CO2 menjadi rendah (Nitibaskara et
al. 2006). Metode penentuan suhu pembiusan yang digunakan adalah penurunan
suhu secara bertahap. Suhu pembiusan yang diuji yaitu 15 °C, 12 °C dan 9 °C.
Penurunan suhu dilakukan dengan kecepatan 5-10 °C/jam atau 0,4-0,8 °C/menit
(Suryaningum et al. 2005). Penurunan suhu dilakukan dengan memasukkan es
batu yang dibungkus plastik ke dalam air secara perlahan hingga suhu yang
diinginkan tercapai. Setelah suhu imotilnya tercapai, udang dibiarkan selama ±30
menit hingga aktivitas udang diam (Ikasari et al. 2008). Suhu pembiusan terbaik
hasil percobaan tahap ini akan digunakan pada penelitian utama.

Penentuan Jumlah Es dan Media Pengisi
Penentuan jumlah es dilakukan serentak dengan penentuan jumlah media
pengisi serbuk gergaji. Jumlah es yang diuji yaitu sebanyak 0,5 kg, 0,75 kg, dan
1 kg, dengan ketebalan serbuk gergaji 3 cm, 5 cm, dan 7 cm. Masing-masing
perlakuan jumlah es dikombinasikan dengan tingkat ketebalan media pengisi.
Langkah awal yaitu meletakkan bongkahan es di bagian dasar styrofoam yang
dibungkus plastik, bagian atas es ditaburi serbuk gergaji dingin, dan diatas media
pengisi disusun udang mantis. Kemudian ditaburi lagi media pengisi hingga
penuh. Kotak styrofoam ditutup rapat dengan menggunakan lakban. Untuk
mengontrol perubahan suhu didalam kotak kemasan dipasang termometer, yang
mana bagian dasar termometer berada di sekitar ruang penyusunan udang mantis.
Prosedur penyusunan bahan-bahan didalam kotak styrofoam dalam uji penentuan
jumlah es dan media pengisi disajikan pada Lampiran 1.
Perubahan suhu didalam kotak styrofoam diamati setiap 1 jam selama 12
jam. Hasil terbaik dari perlakuan yaitu yang paling lama mempertahankan suhu
dan kemudian digunakan pada penelitian utama.
Penentuan Tingkat Konsumsi Oksigen
Tingkat konsumsi oksigen (TKO) ditentukan untuk mengetahui kebutuhan
oksigen udang mantis. Wadah yang digunakan berupa toples kaca bervolume 5

6

liter yang telah dibersihkan, dan dikeringkan, kemudian diisi air laut dengan
salinitas 25‰ yang sebelumnya diberi aerasi selama 3 hari hingga kandungan
oksigen dalam air jenuh. Udang mantis dimasukkan kedalam toples dengan
kepadatan 1 ekor/Liter air, kemudian wadah tersebut ditutup rapat.
Kandungan DO dalam air pada wadah toples diukur tiap satu jam. Pada
bagian tutup toples diberi lubang yang berfungsi untuk memudahkan prosedur
pengukuran DO dalam wadah. Saat tidak digunakan lubang tersebut ditutup
dengan lakban. Perlakuan penentuan tingkat konsumsi oksigen dilakukan
sebanyak 3 kali ulangan.
Tingkat konsumsi oksigen dihitung dengan menggunakan rumus Liao dan
Huang (1975).
TKO = {(DOawal – DOakhir)/W x t} x V
Keterangan :
TKO
DOawal
DOakhir
W
t
V

: tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g tubuh/jam)
: oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/L)
: oksigen terlarut pada akhir pengamatan (mg/L)
: berat ikan uji (g)
: periode pengamatan (jam)
: volume air (L)

Penelitian Utama
Pengemasan Udang Mantis
Prosedur pengemasan untuk perlakuan transportasi sistem kering (Lampiran
2), yaitu; pada bagian dasar kotak styrofoam diberi es sebanyak 0,75 kg yang
dibungkus kantong plastik. Bagian atas es diberi/dilapisi kertas koran, kemudian
di atasnya ditaburi media pengisi serbuk gergaji yang telah didinginkan mendekati
suhu pembiusan. Udang yang sudah terbius disusun sejajar di atas serbuk gergaji,
kemudian di atasnya ditaburi serbuk gergaji sampai kemasan penuh. Kemasan
ditutup rapat dan direkatkan dengan lakban.
Prosedur pengemasan untuk perlakuan transportasi sistem lembab
(Lampiran 3), yaitu; udang mantis yang telah terbius dimasukkan ke dalam
selongsong plastik, kemudian disusun sejajar dalam kotak styrofoam yang
sebelumnya telah diberi lubang untuk sirkulasi oksigen. Pada bagian samping kiri
dan kanan susunan udang diberi es batu sebanyak 0,75 kg. Kotak styrofoam
kemudian ditutup dan di lakban. Selanjutnya kotak dimasukkan ke dalam kantong
plastik, kemudian diinjeksi oksigen dan diikat dengan karet.
Pengemasan untuk perlakuan transportasi sistem basah (Lampiran 4) yaitu;
udang mantis dikemas ke dalam kantong plastik yang diisi air laut salinitas 25‰
yang sebelumnya sudah diaerasi selama 24 jam. Selanjutnya kantong plastik
diinjeksi oksigen murni dengan perbandingan 1:2.
Sebelum diberi perlakuan, terlebih dahulu udang mantis dipuasakan selama
24 jam. Setiap perlakuan digunakan 30 ekor udang mantis. Proses transportasi
dilakukan selama 12 jam.

7

Pembugaran Udang
Setelah dilakukan transportasi selama 12 jam, kemasan dibuka dan udang
mantis diangin-anginkan selama 3–5 menit (Suwandi et al. 2008). Hal ini
bertujuan agar gas amonia yang terbentuk selama transportasi dapat menguap.
Sebelum dimasukkan ke dalam akuarium, terlebih dahulu udang diberi percikan
air, kemudian udang dikeluarkan dari selongsong plastik mika. Selanjutnya udang
mantis dimasukkan ke dalam akuarium dengan ketinggian air setengah dari badan
udang (Frose 1997; Suryaningum et al. 2007). Suhu air awal disamakan dengan
suhu media pengisi kemasan saat dibongkar. Suhu air dinaikkan perlahan dengan
kecepatan 5-10 °C/jam hingga suhu air mencapai 30 °C. Penambahan air juga
dilakukan perlahan seiring dengan kenaikan suhu hingga mencapai ketinggian 30
cm.
Pemeliharaan Pascatransportasi
Udang ditebar sebanyak 10 ekor kedalam akuarium dengan luas 250 cm 2.
Akuarium pemeliharaan ditata sedemikian rupa hingga menyerupai kondisi
habitat aslinya. Menurut Mashar dan Wardiatno (2011) udang mantis cenderung
berlindung dalam lubang di dalam substrat lumpur dengan diameter dan
kedalaman lubang yang bervariasi sesuai dengan ukurannya. Lebih lanjut menurut
Dini et al. (2013) substrat pasir dan pasir berlempung serta lubang-lubang pada
dasar perairan merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan udang mantis. Oleh
karena itu untuk memberikan kenyamanan pada mantis, maka setiap akuarium
diberi shellter dari pipa paralon sebagai tempat berlindung mantis.
Menurut Mashar (2011) nilai parameter kualitas air pada habitat udang
mantis yaitu suhu 30–33 °C, pH 7,5–8,0, DO 5,2–8,0 mg/L, dan salinitas 25‰.
Sebelum digunakan air laut terlebih dahulu difiltrasi dengan filter cartridge
ukuran pori 5 µ. Pemeliharaan udang dilakukan selama 14 hari yang diberi pakan
berupa ikan rucah dengan frekwensi 3–4 kali/hari.

Parameter Uji
Uji respons fisiologis dilakukan melalui hemolim yang diambil sebanyak
0,5 mL pada udang normal (sebagai kontrol), udang perlakuan pada akhir
transportasi (saat pembongkaran), dan udang pascatransportasi yaitu pada jam ke1, 3, 6, 12, 24, 72 (hari ke-3), 168 (hari ke-7) dan jam ke-336 (hari ke-14).
Parameter uji pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter uji penelitian
NO
1
2
3
4
5
6
7
8

Parameter Uji
Total Hemocytes Count (THC)
Konsentrasi glukosa
Total Protein
Kolesterol
pH hemolim
Kualitas air (DO, suhu, pH, amonia)
Survival Rate (SR)

Specific Gowth Rate (SG)

Metode
Blaxhall&Daisley (1973)
Calorimetric
Weichselbaum et.al (1946)
CHOD-PAP (1981)
pH meter darah
APHA (1992)
Huisman(1987)
Huisman(1987)

8

Sampel hemolim diambil dari udang mantis yang dipilih secara acak dengan
jumlah sampel selama penelitian sebanyak 9 ekor untuk masing-masing perlakuan.
Pengukuran kualitas air pada transportasi sistem basah dilakukan pada jam ke 0, 1,
3, 6 dan 12 dengan parameter berupa DO, suhu, pH, dan Amonia.
a. Penghitungan THC
Hemolim diambil sebanyak 0,1 mL dengan syringe 1 mL yang sudah berisi
antikoagulan Na-sitrat sebanyak 0,1 mL, kemudian dihomogenkan selama 5 menit.
Tetesan pertama hemolim pada syringe dibuang, selanjutnya hemolim diteteskan
ke haemositometer dan dihitung jumlah selnya per mL menggunakan mikroskop
cahaya dengan perbesaran 40 kali. Hasil pengamatan jumlah sel dihitung dengan
rumus menurut Blaxhall and Daishley (1973), yaitu; Total Hemosit = [(rata-rata
total sel) x (1/volume kotak besar) x (faktor pengencer)].
b. Kadar glukosa
Kadar glukosa diukur dengan metode Wedemeyer & Yasutake (1977).
Sampel hemolim disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan putaran 1000
rpm untuk memisahkan plasma hemolim. Selanjutnya plasma hemolim sebanyak
0,5 µL ditambahkan ke dalam 3,5 mL reagen warna ortho-toluidin dalam asam
asetat glasial. Campuran tersebut dimasukkan dalam air mendidih selama 10
menit. Setelah didinginkan dalam suhu ruang, konsentrasi glukosa hemolim
diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 635 nm. Selanjutnya
nilai absorbansinya dikonversi menjadi kadar glukosa hemolim dalam mg/100 mL.
Kadar glukosa hemolim dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh
Wedemeyer dan Yasutake (1977) yaitu:

GD 

AbsSp
xGSt
AbsSt

Keterangan:
GD
= Konsentrasi glukosa hemolim (mg/dL)
AbsSp = Absorbansi sampel
AbsSt = Absorbansi standar
GSt = Konsentrasi glukosa standar (mg/dL)

c. Total Protein
Untuk mengukur total protein digunakan metode Biuret dengan jumlah
plasma yang dibutuhkan sebanyak 0,1 mL. Plasma tersebut dicampur dengan
larutan blanko reagen yang terdiri dari NaOH 0,1 N, K-Na-tartrat 16 mmol/L, KJ
15 mmol/L, dan Tembaga sulfat 6 mmol/L. Setelah tercampur homogen larutan
tersebut diinkubasi selama 30 menit pada suhu 20–25 °C. Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm,
kemudian di kalkulasi dengan rumus menurut Weichselbaum (1946), yaitu;

C  19 x E

sampel

( g / 100 ml)

9

Keterangan :
C
= Konsentrasi total protein
19
= Konstanta
Esampel = Ekstinksi dari sampel
d. Kolesterol
Untuk mengetahui konsentrasi kolesterol digunakan metode CHOD-PAP
yang merupakan tes warna enzimatik. Material pemeriksaan berupa plasma
sebanyak 0,02 mL yang dicampur dengan larutan reagen sebanyak 2 mL.
Campuran larutan tersebut diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20–25 °C.
Esktinksi sampel terhadap larutan Blanko Reagen (BR) dibaca dalam waktu 1 jam.
Konsentrasi kolesterol dihitung dengan rumus ;

C  14,9 X E

sampel

Keterangan :
C
= Konsentrasi kolesterol (mmol/L)
14,9
= Konstanta
Esampel = Ekstinksi dari sampel

e. Specific Gowth Rate (SG)
Laju pertumbuhan spesifik atau Specific Gowth Rate (SG) dihitung dengan
menggunakan rumus Huisman (1987);
SG (%) = [ (Wt/W0)1/t – 1] x 100%
Keterangan ;
SG
= Spesifik Gowth Rate (%)
Wt
= Berat rata-rata pada akhir pemeliharaan
Wo
= Berat rata-rata pada awal pemeliharaan
t
= Periode penelitian (hari)

f. Survival Rate (SR)
Data kelangsungan hidup diperoleh dengan pengamatan jumlah udang yang
hidup. Kelangsungan hidup atau Survival Rate (SR), dihitung dengan rumus
Huisman. (1987):

SR 

Nt
x 100%
N0

Keterangan ;
SR
= Survival Rate (%)

10

Nt
N0

= jumlah individu pada akhir perlakuan (hari ke-t)
= jumlah individu pada awal perlakuan (hari ke-0)

Analisa Data
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan statistik.
Secara statistik data dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan uji
F pada selang kepercayaan 95% menggunakan SPSS. Apabila berpengaruh nyata,
dilakukan uji lanjut menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Hasil dari penelitian pendahuluan yang terdiri dari penentuan suhu
pembiusan, penentuan jumlah es dan media pengisi, dan tingkat konsumsi oksigen
diperlukan sebagai acuan untuk pelaksanaan penelitian utama.

Suhu Pembiusan
Hasil pengamatan tingkah laku udang mantis yang dibius dengan tiga suhu
yang berbeda menunjukkan bahwa suhu terbaik adalah 15 °C (Tabel 2). Pada suhu
tersebut udang mantis terlihat diam tetapi masih menggerakkan kaki renangnya
saat diangkat dari air, hal ini berbeda dengan suhu pembiusan 12 °C dan 10 °C,
udang terlihat diam dan tidak bergerak sama sekali saat diangkat keluar dari air.
Kondisi tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan kematian pada udang saat di
dalam kotak pengemasan.
Hal tersebut berhubungan dengan kondisi suhu didalam kotak yang terus
turun hingga 2–3 °C dari suhu awal ketika kotak ditutup, yang selanjutnya akan
naik lagi setelah 1 jam. Menurut Richard dan Rajudarai (1983), udang windu
tambak tidak mampu hidup lama pada suhu di bawah 12 ºC karena pada suhu ini
dapat menyebabkan rusaknya sistem syaraf dan otak udang yang berakibat pada
kelumpuhan dan kematian. Pada suhu di bawah 12 °C, udang akan pingsan dan
menyebabkan kematian udang, (Wibowo et al. 1994).
Dari hasil percobaan, tampak bahwa pada suhu diatas 15 °C masih belum
mampu membuat udang melewati fase panik. Hal ini terlihat dengan reaksi udang
yang cenderung gelisah, berputar-putar, dan sesekali mencoba merangkak naik ke
dinding akuarium. Fase ini dianggap kritis karena udang dalam keadaan tidak
stabil sehingga dikhawatirkan kondisinya tidak cukup baik untuk hidup diluar
habitatnya (Wibowo dan Sukarto 1993). Sedangkan pada suhu 15 °C telah
berhasil membuat udang melewati fase tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan tingkah laku udang mantis ketika diberi
perlakuan suhu pembiusan (Tabel 2), maka suhu 15 °C dianggap suhu terbaik
untuk digunakan sebagai suhu pembiusan. Menurut Karnila et al. (1999), suhu
terbaik untuk pembiusan udang windu adalah 15 °C dengan waktu transportasi 18
jam menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 91,7%.

11

Tabel 2 Tingkah laku udang mantis saat dibius dengan metode penurunan suhu
secara bertahap

30-25°C

Waktu
(menit)
2–3

24-20°C

5–7

20-18°C

10 – 12

Udang agak limbung, anggota badan disekitar mulut
dan kaki jalan merapat

18-16°C

15 – 20

Diam, limbung, kaki jalan merapat, kaki renang
bergerak lemah, ketika diangkat tidak berontak
hanya merespons dengan gerakan lemah

15°C (*)

22 – 30

Udang terbalik, kaki renang bergerak lemah, ketika
diangkat tidak berontak hanya merespons dengan
gerakan lemah

12°C (**)

40 – 45

Diam terbalik, kaki renang hanya sekali-kali bergerak
sangat lemah, tidak memberikan respons ketika
diangkat

10°C (***)

45 – 57

Diam terbalik, kaki renang tidak bergerak sama
sekali, ketika diangkat tidak ada respons

Suhu

Tingkah laku/respons udang mantis
Responssif dan gelisah
Tenang, sesekali terlihat panik dan
merangkak naik dinding akuarium

mencoba

(*) batas akhir penurunan suhu pada perlakuan suhu pembiusan 15 °C
(**) batas akhir penurunan suhu pada perlakuan suhu pembiusan 12 °C
(***) batas akhir penurunan suhu pada perlakuan suhu pembiusan 10 °C

Jumlah Es dan Media Pengisi
Jumlah es dan media pengisi memegang peranan penting dalam transportasi
sistem kering, karena dengan jumlah yang tepat diharapkan mampu
mempertahankan suhu yang ideal selama mungkin didalam kotak styrofoam guna
mempertahankan kondisi udang agar tetap pingsan. Faktor yang mempengaruhi
ketahanan hidup udang adalah suhu media selama transportasi. Suhu media
selama transportasi tidak boleh lebih dari 20 °C (Suryaningum et al. 1994)
Hasil uji penentuan jumlah es dan media pengisi yang digunakan pada
penelitian utama didasari atas kemampuan dari kombinasi antara jumlah es dan
media pengisi dalam mempertahankan suhu selama mungkin. Hasil uji tersebut
disajikan pada gambar 1, 2, dan 3.
Hasil uji penentuan jumlah es 0,5 kg dengan ketebalan serbuk gergaji 3, 5,
dan 7 cm (Gambar 1) terlihat bahwa terjadi penurunan suhu di dalam kotak pada
jam ke-1 dari 14 °C menjadi 13,05±0,07 °C, 12,8±0,00 °C, 12,65±0,07 °C
masing-masing untuk ketebalan serbuk gergaji 3 cm, 5cm dan 7 cm. Namun pada
jam berikutnya suhu dalam kotak terus meningkat hingga pada jam ke-12

12

mencapai 21,4±0,57 °C, 20,95±0,07 °C, 20,55±0,21 °C masing-masing untuk
ketebalan serbuk gergaji 3, 5, dan 7 cm.

25

Suhu (°C)

20
15
10
5
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Waktu (Jam)
Sg 3 cm

Sg 5 cm

Sg 7 cm

Gambar 1. Perubahan suhu didalam kotak styrofoam pada uji penentuan
kombinasi jumlah es 0,5 kg dengan ketebalan serbuk gergaji (sg) 3, 5
dan 7 cm.

20

Suhu (°C)

15

10

5

0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Waktu (Jam)
Sg 3 cm

Sg 5 cm

Sg 7 cm

Gambar 2. Perubahan suhu didalam kotak styrofoam pada uji penentuan
kombinasi jumlah es 0,75 kg dengan ketebalan serbuk gergaji (sg) 3, 5
dan 7 cm.

13

20

Suhu (°C)

15

10

5

0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Waktu (Jam)
Sg 3 cm

Sg 5 cm

Sg 7 cm

Gambar 3. Perubahan suhu didalam kotak styrofoam pada uji penentuan
kombinasi jumlah es 1 kg dengan ketebalan serbuk gergaji (sg) 3, 5
dan 7 cm.

Pada perlakuan jumlah es 0,75 kg (Gambar 2) dan 1 kg (Gambar 3) terlihat
bahwa pada jam ke-1 terjadi penurunan suhu dibawah 12 °C, namun pada
perlakuan jumlah es 0,75 kg dengan ketebalan serbuk gergaji 3 cm suhu didalam
kotak hanya mencapai 12,3±0,14 °C. Dari jam ke-2 suhu media terus meningkat,
namun tetap berada dibawah suhu 20 °C pada jam ke-12.
Dengan terjadinya peningkatan suhu melebihi 20 °C, maka untuk perlakuan
jumlah es 0,5 kg tidak layak digunakan untuk transportasi kering, karena pada
suhu diatas 20 °C udang yang terbius diduga akan sadar sehingga proses
metabolisme berjalan cepat yang akhirnya akan menyebabkan stres pada udang.
Hal ini sesuai dengan pendapat Suryaningum et al. (1994), suhu media selama
transportasi tidak boleh lebih dari 20 °C. Lebih lanjut menurut Wibowo (1994)
menyatakan bahwa suhu 21 °C pada media untuk transportasi udang dengan
sistem kering menyebabkan aktivitas udang kembali normal, sehingga udang
banyak bergerak dan membutuhkan oksigen yang cukup untuk respirasi dan
metabolismenya.
Selain itu, untuk perlakuan yang mengalami penurunan suhu dibawah 12 °C
juga tidak dapat digunakan, karena pada suhu tersebut diduga udang akan mati
oleh suhu yang ekstrim. Hal ini sesuai dengan pendapat Richard dan Rajadurai
(1983), udang windu tidak mampu hidup lama pada suhu dibawah 12 °C, karena
pada suhu tersebut menyebabkan rusaknya sistem syaraf dan otak udang yang
mengakibatkan terjadinya kelumpuhan dan kematian. Lebih lanjut menurut
Wibowo (1994), suhu media dibawah 12 °C akan menyebabkan kematian pada
udang.
Berdasarkan hal tersebut, maka untuk perlakuan jumlah es 0,75 kg dengan
ketebalan serbuk gergaji 3 cm dianggap sebagai perlakuan terbaik, karena selama
12 jam suhu di dalam kotak styrofoam berkisar antara 12–16 °C. Oleh karena itu,
jumlah es 0,75 kg dengan ketebalan serbuk gergaji 3 cm digunakan dalam
penelitian utama.

14

Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO)
Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO) merupakan kemampuan satu individu
dalam menyerap oksigen untuk mendukung proses kehidupannya. Hasil penelitian
ini menyatakan bahwa terjadi penurunan oksigen terlarut dari 7,5±0,31 mg/L pada
awal perlakuan menjadi 2,2±0,12 mg/L pada jam ke-4 (Gambar 4). Untuk nilai
tingkat konsumsi oksigen dari tiga ulangan yang dilakukan tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan nilai rata-rata tingkat konsumsi oksigen udang
mantis adalah sebesar 1,31± 0,064 mg O2/g/jam (Gambar 5).
10

DO (mg/L)

8
6
4
2
0
0

1

Ulangan 1

2
Waktu (Jam)
Ulangan 2

3

4

Ulangan 3

Rerata

Gambar 4. Kondisi oksigen terlarut selama uji TKO udang mantis (Harpiosquilla
raphidea). Nilai dinyatakan ± sebagai standart error.

TKO (mg O₂/g/jam)

1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
TKO-1

TKO-2
TKO-3
Perlakuan (ulangan)

r

Gambar 5. Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO) udang mantis (Harpiosquilla
raphidea). Nilai dinyatakan ± sebagai standart error.

Menurunya pengambilan oksigen pada jam ke-4 menunjukkan bahwa
kandungan oksigen terlarut didalam air semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sufianto (2008), bahwa konsumsi O2 oleh ikan akan menurun seiring
dengan menurunnya tingkat kandungan O2 terlarut. Kandungan O2 terlarut sangat
dipengaruhi oleh suhu air, pH, konsentrasi CO2, dan metabolisme. Kadungan O2

15

terlarut di atas 5 mg/L dapat menjamin ikan tidak mengalami stres dan kandungan
O2 terlarut dalam media pengangkut harus lebih besar dari 7 mg/L (Piper et al.
1982). Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa udang akan mengalami stres
jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi sebagai penunjang kehidupannya. Oleh
karena itu untuk memenuhi kebutuhan oksigen selama transportasi maka wadah
transportasi perlu diberi oksigen murni dengan perbandingan 1:2. Menurut
Sufianto (2008), volume O2 yang diisikan pada wadah harus mencapai 2/3 bagian
dari volume kantung plastik atau 2 kali volume air.

Penelitian Utama
Seetelah 12 jam transportasi udang mantis pada perlakuan transportasi
sistem kering terjadi kematian sebesar 100%. Matinya seluruh udang uji diduga
karena tidak adanya pasokan oksigen didalam kotak, sementara biota tetap
membutuhkan oksigen walaupun dalam kondisi terbius.
Berbeda dengan krustasea lainnya seperti lobster dan kepiting yang
memiliki kerapas menutupi insangnya. Karapas tersebut mampu menyimpan air
yang mengandung oksigen. Secara anatomi, pada saat udang dalam keadaan tanpa
air, pada rongga karapas masih mengandung air, sehingga masih mampu
menyerap oksigen yang terdapat pada air dalam rongga karapas. Dengan
memanfaatkan sifat fisiologis tersebut, maka krustasea dapat diangkut dengan
menggunakan sistem kering dalam lingkungan yang lembab pada suhu rendah
(Wijayanti et.al, 2011). Namun demikian, berbeda dengan udang mantis, yang
tidak memiliki karapas yang menutupi insangnya, hal tersebut menyebabkan tidak
adanya pasokan oksigen disekitar insang.
Oleh karena seluruh hewan uji pada perlakuan transportasi sistem kering
mati, maka untuk selanjutnya hanya akan membahas perlakuan transportasi sistem
lembab dan perlakuan transportasi sistem basah.

Gambaran hemolim saat pembongkaran
Pada saat pembongkaran yaitu setelah 12 jam berlangsungnya proses
transportasi, dilakukan pengambilan sampel hemolim pada setiap perlakuan. Hasil
uji gambaran hemolim udang mantis saat pembongkaran disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Gambaran hemolim udang mantis saat pembongkoran setelah 12 jam
perlakuan transportasi dan pada kondisi normal
Normal
Parameter
Sistem Lembab
Sistem Basah
Jumlah total hemosit 1,97±0,15 sel/mL b
0,93±0,15 sel/mL a 0,93±0,15 sel/mL
Glukosa
46,88±10,12 mg/dL b 68,37±5,26 mg/dL a 37,24±5,26 mg/dL
T.protein
7,74±0,70 g/dL a
8,83±0,70 g/dL a
6,55±0,36 g/dL
b
a
Kolesterol
69,29±3,85 mg/dL 88,99±3,65 mg/dL 55,68±2,11 mg/dL
pH hemolim
7,57±0,15 a
7,8±0,06 a
7,41±0,12
Huruf berbeda pada parameter yang sama menunjukkan berbeda nyata

16

Berdasarkan data pada Tabel 3 terlihat bahwa saat pembongkaran nilai
Jumlah total hemosit (THC) antara kedua perlakuan berbeda secara signifikan
(P

Dokumen yang terkait

Perbandingan hasil penentuan curah hujan bulanan menurut Teori Mohr dan Oldeman dengan pendekatan sistem Informasi Geografis

2 20 123

Komposisi Mineral Makro Dan Mikro Daging Udang Ronggeng (Harpiosquilla Raphidea) Akibat Proses Perebusan

10 118 88

Komposisi Asam Lemak dan Kolesterol Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea) akibat Perebusan.

2 28 110

Distribusi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi

1 5 7

Pengelolaan sumberdaya udang mantis (harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) berdasarkan informasi biologi di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi

2 10 105

Formulir Hasil Validasi (Biochemical Composition in Two Populations of the Mantis Shrimp, Harpiosquilla raphidea (Fabricus 1798) (Stomatopoda Crustasea))

0 4 3

Udang Mantis, Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798) Asal Kuala Tungkal, Provinsi Jambi: Biologi, Upaya Domestikasi, dan Komposisi Biokimia

1 3 44

Pengelolaan sumberdaya udang mantis (harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) berdasarkan informasi biologi di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi

3 20 59

Biochemical Composition in Two Populations of the Mantis Shrimp, Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798) (Stomatopoda, Crustacea)

0 0 10

PERUBAHAN KOMPOSISI KIMIA DAN VITAMIN DAGING UDANG RONGGENG (Harpiosquilla raphidea) AKIBAT PEREBUSAN Composition Changes of Chemical And Vitamin of Ronggeng Shrimp (Harpiosquilla raphidea) Meat by Boiling

0 0 13