Impact Analisys of ASEAN’s +3 Non Tariff Measures (NTM) on the Performance of Indonesian Horticulture Exports

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN NON TARIF TERHADAP
KINERJA EKSPOR HORTIKULTURA INDONESIA KE
NEGARA-NEGARA ASEAN +3

DARMIATI DAHAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Dampak
Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negaranegara ASEAN +3” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.


Bogor, Maret 2014

Darmiati Dahar
NIM H151110161

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

RINGKASAN
DARMIATI DAHAR. Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja
Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-negara ASEAN +3 . Dibimbing oleh
RINA OKTAVIANI dan WIWIEK RINDAYATI.
Perdagangan pertanian dihadapkan pada hambatan tarif dan non tarif. WTO
telah menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditas dagang pada
seluruh negara baik negara maju maupun negara berkembang. Adanya batasan
tarif yang diberlakukan dalam perdagangan, membuat negara untuk melakukan
tindakan non tarif. Salah satu tujuan dari tindakan non tarif (non tariff
measures/NTM) ini yaitu sebagai proteksi pada produsen domestik dalam
menghadapi persaingan impor dengan produk asing. Penggunaan NTM yang

paling banyak diberlakukan yaitu Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan
Technical Barriers to Trade (TBT). Pemberlakuan SPS dan TBT juga banyak
ditemukan di kawasan Asia. Salah satu kerjasama tingkat regional yang
berkembang adalah ASEAN +3. ASEAN +3 ini dipelopori oleh negara-negara
ASEAN, Cina, Jepang, dan Korea.
Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN yang juga merupakan negara
agraris memiliki potensi yang besar dalam sektor pertaniannya. Neraca
perdagangan hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN + 3 menunjukkan
neraca yang bagus. Ini dikarenakan ekspor hortikultura Indonesia ke seluruh di
dunia menunjukkan neraca yang positif. Walaupun, ada ekspor dengan negara
tujuan yang negatif. Selain itu, potensi produksi hortikultura yang masih bisa
dikembangkan. Oleh karenanya, penelitian mengenai dampak NTM terhadap
ekspor hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 perlu dilakukan.
Dengan adanya penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai kebijakan
perdagangan dalam bentuk NTM.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja perdagangan ekspor
subsektor hortikultura di Indonesia; mendeskripsikan pemberlakuan NTM pada
subsektor hortikultura di negara-negara ASEAN +3; menganalisis dan
mengestimasi dampak pemberlakuan NTM terhadap kinerja ekspor pertanian
subsektor hortikultura. Hortikultura terdiri atas beberapa kelompok yaitu tanaman

hias, sayuran, buah-buahan, dan tanaman obat. Data yang digunakan dalam
penelitian ini berupa data sekunder dengan kurun waktu tiga tahun terakhir yaitu
2010-2012. Penelitian ini difokuskan pada ekspor hortikultura Indonesia ke
negara-negara ASEAN +3. NTM yang dikaji yaitu SPS dan TBT. Analisis yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif dan analisis panel data
dengan model gravity.
Neraca perdagangan hortikultura Indonesia terhadap negara ASEAN +3
menunjukkan untuk negara Cina dan Thailand mengalami defisit baik pada
kelompok sayuran maupun kelompok buah-buahan. Sementara negara-negara
lainnya (Jepang, Korea, Malaysia, Piliphina, Singapura) memiliki neraca yang
surplus. Non Tarif Measures berupa SPS dan TBT yang diberlakukan oleh negaranegara ASEAN +3 masing-masing berjumlah 200 dan 43 kebijakan. Negara yang
tidak memberlakukan NTM pada produk hortikulturanya adalah Singapura.

Pendekatan yang digunakan dalam mengukur besaran NTM pada penelitian
ini adalah frequency index dan coverage ratio. Secara umum untuk SPS dan TBT
yang dilihat dari frekuensi indeksnya selama kurun waktu 2010-2012 pada negara
ASEAN +3 mengalami peningkatan khususnya dengan negara tujuan Cina dan
Malaysia. Negara tujuan yang paling banyak memberlakukan NTM adalah
Malaysia dan negara yang sama sekali tidak memberlakukan NTM adalah
Singapura. Berdasarkan coverage ratio SPS dan TBT pada setiap negara ASEAN

+3 menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu sebesar 100%. Kelompok
hortikultura yang paling banyak terkena NTM yaitu pada kelompok tanaman hias
dan sayuran.
Hasil dari analisis model data panel gravity menunjukkan bahwa NTM
berupa SPS dan TBT berpengaruh negatif pada ekspor produk hortikultura
Indonesia ke negara-negara ASEAN +3. Terdapat beberapa faktor yang
berpengaruh yaitu populasi negara pengimpor, GDP per kapita negara pengimpor,
jarak ekonomi, dan NTM (SPS dan TBT). NTM dan jarak ekonomi berpengaruh
negatif pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3.
Untuk SPS dan TBT yang didekati dengan dua pendekatan dalam model
(frequency index dan coverage ratio) menunjukkan koefisien yang tidak terlalu
besar dengan tanda negatif masing-masing sebesar 0.006 dan 0.003.
Implikasi kebijakan yang dapat disarankan pada penelitian ini yaitu upaya
dalam memenuhi persyaratan/ketentuan SPS dan TBT oleh setiap negara harus
saling mendukung. Ketentuan mengenai SPS dan TBT dipelihara dan diperkuat
dengan saling membantu dalam menerapkan dan mengambil keuntungan dari
perjanjian yang ada. Implikasi selanjutnya adalah pemerintah sebaiknya
mendukung pelaku usaha agribisnis hortikultura dengan memberikan sosialisasi
yang lebih efektif mengenai pemenuhan syarat SPS dan TBT. Terakhir,
implikasinya yaitu pembuat kebijakan dalam hubungannya dengan ekspor produk

hortikultura sebaiknya mempertimbangkan karakteristik dari SPS dan TBT.
Kata kunci :

ASEAN +3, ekspor, hortikultura, NTM, SPS dan TBT

SUMMARY
DARMIATI DAHAR. Impact Analisys of ASEAN’s +3 Non Tariff Measures
(NTM) on the Performance of Indonesian Horticulture Exports. Supervised by
RINA OKTAVIANI and WIWIEK RINDAYATI.
Agricultural trading nowadays is facing the tariff and non tariff barriers.
WTO has been set the tariff rate which applied to trade commodities for in entire
countries either developed or developing countries. The existence of tariff
limitation that already occurred into global trading imposes the country to conduct
non-tariff measures (NTM). One of the main point of NTM is the protection of
domestic producers facing import competition with foreign products. Utility of
NTM that most widely applied NTM is Sanitary and Phytosanitary (SPS) and
Technical Barriers to Trade (TBT). The implementation of SPS and TBT are also
commonly occurred in Asia. One of the extending regional cooperation is ASEAN
+3 which is led by ASEAN countries, China, Japan, and Korea.
Indonesia as one of the ASEAN countries which has a huge potential in

agricultural sector. Indonesia has a positive balance of trade on horticulture
towards ASEAN +3 countries due the positive balance Indonesian export
horticulture of the global trading, regardless there are some negative exports trade
with others countries which still exist. Furthermore, potential horticulture
production is still able to being developed. Thus, it is necessary to exploring the
research about impact of NTM for Indonesian horticultural exports towards the
ASEAN +3 countries. This research is expected to provides knowledge about
trade policy by NTM system.
The aim of this study are describing the performance of the export trade of
horticultural subsector in Indonesia; describing the application of NTM in the
horticultural subsector in the ASEAN +3 countries; analyzing and estimating the
impact of the implementation of the NTM on the performance of horticultural
exports which is NTM was about SPS and TBT. Horticultural consists of several
groups of floriculture/ornamental plants, vegetables, fruits, and medical herbs.
The data used in this research is a secondary data with a period of last three years
that occurred on 2010-2012 and focused on the Indonesian horticultural exports
towards the ASEAN +3 countries. The approach used in this study is a descriptive
approach and data analysis with gravity models.
Indonesia’s trade balance to ASEAN +3 countries showed deficit for China
and Thailand either in the group of vegetable or fruit while other countries (Japan,

Korea, Malaysia, Philipina, and Singapore) derived surplus. Non tariff measures
such as SPS and TBT which is imposed by ASEAN +3 countries have been
applying 200 and 43 policies. The country which is not imposing the products
NTM horticulture is Singapore.
The approach used to measure the amount of NTM in this study is the
frequency index and the coverage ratio. In general, for the SPS and TBT as seen
from frequency index during the period 2010-2012 at the ASEAN +3 countries
have increased, especially with the destination country of China and Malaysia.
Country of the most imposing NTM is Malaysia and Singapore the lowest is
completely not impose NTM. Based on the coverage ratio of SPS and TBT in

each ASEAN +3 shows almost the same value that is equal to 100%. Horticulture
group most affected NTM is ornamental plants and vegetables.
The results of the analysis of the gravity panel data model showed that the
SPS and TBT a negative effect on the export of horticultural products from
Indonesia to ASEAN +3 countries. There are several factors that affecting the
population of the importing country, GDP per capita of importing countries,
economic distance, and NTM (SPS and TBT). NTM and economic distance have
a negative effect on the export of horticultural products from Indonesia to ASEAN
+3 countries. For SPS and TBT were approached by the two approaches in the

model (frequency index and coverage ratio) indicates that the coefficient is not
quite large with a negative sign respectively 0.006; 0.003, and 0.006.
Policy implications can be suggested in this study is an attempt to meet the
requirements/provisions of the SPS and TBT by each country should be mutually
supportive. Provisions on SPS and TBT maintained and strengthened by helping
each other in implementing and taking advantage of the existing agreements.
Further implication is that the government should support the horticultural
agribusiness entrepreneurs by providing a more effective dissemination regarding
eligibility of SPS and TBT. Finally, the implication that policy makers in relation
to the export of horticultural products should consider the characteristics of the
SPS and TBT.

Keywords: ASEAN +3, export, horticulture, NTM, SPS and TBT

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN NON TARIF TERHADAP
KINERJA EKSPOR HORTIKULTURA INDONESIA KE
NEGARA-NEGARA ASEAN +3

DARMIATI DAHAR

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Muhammad. Firdaus, SP., MSi.

Judul Tesis

:

Nama
NIM

:
:

Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja
Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-negara ASEAN +3
Darmiati Dahar
H151110161

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS.
Ketua

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono , M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr

Tanggal Ujian: 24 Januari 2014

Tanggal Lulus:

Judul Tesis
Nama
NIM

Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja
Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-negara ASEAN +3
Danniati Dahar
H151110161

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS.
Ketua

iwiek Rindayati, M.Si
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Tanggal Ujian: 24 Januari 2014

Tanggal Lulus:

0 4 MAR 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Analisis Dampak Kebijakan
Non Tarif terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-negara
ASEAN +3” dapat diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si, sebagai
komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada
penulis.
2. Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP., MSi., sebagai dosen penguji luar komisi
atas saran dan kritiknya.
3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, MScAgr., selaku dosen penguji perwakilan program studi
Ilmu Ekonomi.
4. Orang tua penulis Muh. Dahar Mangngungjungi dan Runciasmi Daming,
saudara penulis Putrawal Dahar, S.Kom., Al Chudri Dahar, Al Azhar Dahar,
Dian Prasakti Dahar, dan Rinda Safitri serta keluarga besar penulis, terima
kasih atas doa dan dukungannya kepada penulis.
5. Semua teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 2011, terima kasih telah
memberikan bantuan, masukan, dan semangat kepada penulis.
6. Teman-teman dari Makassar terima kasih atas semangat dan bantuannya.
7. Rektor, Dekan dan Rekan-rekan kerja Universitas Ichsan Gorontalo atas
bantuan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama menjalani studi.
8. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas bantuan beasiswa BPPS kepada
penulis selama menjalani studi di Program Studi Ilmu Ekonomi Institut
Pertanian Bogor.
Demikian, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat

Bogor, Maret 2014

Darmiati Dahar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perdagangan Internasional
Hambatan Perdagangan
Non Tariff Measures (NTM)
Model Gravity
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
3 METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Definisi Operasional
4 GAMBARAN UMUM
Perkembangan Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia
Non Tariff Measures (NTM) Hortikultura Indonesia
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Model Gravity
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Hortikultura
Indonesia
Dampak NTM Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negaranegara ASEAN +3
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan
Saran Penelitian Lanjutan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
x
xi
1
5
7
7
7
7
9
10
15
16
17
18
19
19
21
23
26
34
35
39

40
41
42
42
44

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5

PDB Atas Dasar Harga Berlaku 2000-2011 (dalam milliar rupiah)
Kinerja ekspor dan impor hortikultura Indonesia ke Negara-negara
ASEAN +3
Jenis dan sumber data yang digunakan
Jumlah NTM yang diberlakukan pada produk hortikultura di negaranegara ASEAN +3 tahun 2000-2012
Hasil estimasi dampak SPS dan TBT

3
4
19
27
36

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Klasifikasi baru NTM
Kerangka Pemikiran
PDB Sektor Pertanian atas dasar harga konstan 2000 (Milliar
rupiah) tahun 2007-2012
Nilai PDB Hortikultura Tahun 2007-2011 berdasarkan harga
berlaku (dalam miliar rupiah)
Ekspor hortikultura Indonesia pada negara-negara ASEAN +3,
2012
Frequency index SPS pada ekspor produk hortikultura Indonesia
ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012
Frequency index TBT pada ekspor produk hortikultura
Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012
Frequency index SPS pada produk ekspor hortikultura Indonesia
ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012
Frequency index TBT pada ekspor produk hortikultura
Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012
Coverage ratio SPS pada ekspor produk hortikultura Indonesia
ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012
Coverage ratio TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia
ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012
Coverage ratio SPS pada ekspor produk hortikultura Indonesia
ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012
Coverage ratio TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia
ke negara ASEAN +3 tahun 2012

12
18
22
23
25
29
30
30
31
32
32
33
33

DAFTAR LAMPIRAN

01 Cakupan Kode HS Hortikultura
02 Neraca perdagangan beberapa komoditas hortikultura Indonesia
ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 (1000 USD)
03 Kinerja Ekspor impor hortikultura Indonesia ke negara-negara
ASEAN +3 berdasarkan kelompok komoditi tahun 2012 (1000
USD)
04 Trade Balance Hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN
+3 berdasarkan kelompok komoditi tahun 2010-2012 (1000
USD)
05 Uji Asumsi Dasar
06 Penetapan Model Terbaik

45
46
47

48

49
52

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ratifikasi pembentukan World Trade Organization (WTO) telah dilakukan
oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1994. Melalui ratifikasi ini,
Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang
terkandung di dalamnya, termasuk Perjanjian Pertanian (Agreement on
Agriculture = AoA) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen
WTO. Terdapat tiga pilar utama dalam AoA-WTO, yaitu: (1) Akses Pasar
(Market Access); (2) Subsidi Domestik (Domestik Supports); dan (3) Subsidi
Ekspor (Exports Subsidies). Selain itu, juga terdapat perlakuan khusus dan
berbeda (S & D) yang merupakan bagian inklusif dari ketiga elemen AoA-WTO
sehingga perlu dimanfaatkan untuk tujuan ketahanan pangan dan pembangunan
pedesaan (Malian 2004). Perjanjian pertanian yang dibentuk oleh WTO ini
semakin menunjukkan fokus dunia terhadap sektor pertanian. Perdagangan
pertanian yang banyak dilakukan oleh negara baik ekspor maupun impor,
mengharuskan setiap negara mempunyai daya saing dan proteksi pada sektor
pertanian. Oleh karenanya, terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi selaku
importir dan eksportir.
Perdagangan yang dilakukan menghadapi hambatan baik tarif maupun non
tarif. WTO menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditas dagang
pada seluruh negara baik negara maju maupun negara berkembang. Adanya
batasan tarif yang diberlakukan dalam perdagangan, membuat negara untuk
melakukan tindakan non tarif. Salah satu tujuan dari tindakan non tarif (non tarif
measures/NTM) yaitu sebagai proteksi pada produsen domestik dalam
menghadapi persaingan impor dengan produk asing. Beberapa tahun terakhir ini,
terjadi peningkatan penelitian pada tindakan non tarif dalam perdagangan pangan
dan pertanian diantaranya Mellado et al (2010); Lema et al (2011); ITC (2013);
dan Beghin (2013). Tindakan ini sering digunakan untuk melindungi produsen
dalam negeri dari persaingan impor. Tindakan non tarif (NTM) ini tidak sama
seperti tarif. NTM seringkali sebagai akibat dari prosedur peraturan.
International Trade Centre/ITC (2013) menyatakan bahwa NTM mendapat
perhatian khusus dari eksportir dan importir di negara berkembang. Hal ini
dikarenakan NTM merupakan hambatan utama dalam perdagangan internasional
dan dapat mencegah akses pasar. Sebagai perusahaan eksportir mencari akses ke
pasar luar negeri. Sementara sebagai importir produk perlu mematuhi berbagai
persyaratan dalam perdagangan termasuk regulasi teknis, standar produk, dan
prosedur kepabeanan.
Terdapat beberapa hambatan perdagangan, diantaranya adalah Non Tariff
Measures (NTM). NTM memperoleh perhatian signifikan di kalangan peneliti
perdagangan beberapa waktu lalu antara lain Chen et al. (2008); Aloka et al.
(2009); Nguyen (2010). Tujuan utamanya memberlakukan jenis tindakan untuk
melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan pada suatu negara dari penyakit dan
untuk menjamin kesejahteraan nasional dengan memperbaiki kegagalan pasar
(Aloka et al. 2009). Tindakan-tindakan non tarif (NTM) adalah langkah-langkah
kebijakan selain tarif yang memiliki potensi untuk mempengaruhi perdagangan

2
barang internasional. Pengaruh NTM pada perdagangan sebagai tujuan utama dari
kebijakan (misalnya kuota dan larangan), atau tujuan kebijakan yang lain
(misalnya pengendalian mutu dan persyaratan kemasan).
Menurut perjanjian WTO, penggunaan NTM diperbolehkan dalam keadaan
tertentu. Misalnya yang termasuk perjanjian hambatan teknis perdagangan (TBT)
atau kebijakan kebersihan dan kesehatan (SPS) yang keduanya dinegosiasikan
selama putaran Uruguay. Perjanjian ini dimaksudkan untuk memungkinkan
pemerintah mencapai tujuan kebijakan yang sah bahkan jika hal ini dapat
menyebabkan peningkatan biaya perdagangan. Namun, NTM kadang-kadang
digunakan dengan tujuan untuk menghindari aturan-aturan perdagangan bebas
(ITC 2013).
Bachetta dan Beverelli (2012) dalam Beghin (2013) mengemukakan bahwa
NTM mencakup semua instrumen kebijakan selain tarif mulai dari persyaratan
pelabelan hingga kebijakan makro yang mempengaruhi perdagangan. Langkahlangkah sebagai tarif telah sangat berkurang dan kadang-kadang dihilangkan
melalui perdagangan global dan perjanjian preferensi yang banyak seperti WTO
dan FTA (Perjanjian perdagangan regional). Terdapat beberapa jenis NTM,
khususnya Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade
(TBT) telah bertambah semakin banyak.
Penggunaan kebijakan SPS lebih banyak pada sektor pertanian dan produk
yang berasal dari hewan. Kebijakan SPS ini sebagai kontrol yang sangat penting
untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan dari konsumen dan melindungi
lingkungan. UNCTAD (2013) bahwa akibat dari penggunaan tersebut, lebih dari
60 % produk yang berhubungan dengan pangan ditemukan akan terpengaruh oleh
setidaknya salah satu dari bentuk tindakan SPS ini. Selain itu, TBT dapat
diterapkan pada sektor yang lebih luas dan memang ditemukan lebih merata
pemberlakuannya pada seluruh sektor ekonomi. Penggunaannya paling banyak
pada tekstil, sepatu, makanan olahan, dan kimia.
Pada liberalisasi tarif dan pembatasan kuantitatif, telah berkembang
perhatian yang semakin difokuskan mengenai dampak hambatan yang lain.
Banyak diantaranya yang tidak secara eksplisit terkait dengan perdagangan pada
ekpor pangan dan pertanian. Henson (2001) bahwa banyak langkah-langkah
teknis mengenai kualitas makanan dan persyaratan sanitary dan phytosanitary
(SPS) yang dapat menghambat perdagangan, khususnya dalam kasus negaranegara berkembang. Langkah-langkah teknis yang banyak diterapkan pada
perdagangan pertanian dan produk pangan yaitu antara lain peratuaran keamanan
pangan, persyaratan pelabelan, kualitas dan komposisi standar.
Penggunaan SPS dan TBT juga banyak diberlakukan di kawasan Asia.
Sehingga tidak sedikit penelitian yang mengkaji mengenai hambatan non tarif ini.
Penelitian tersebut antara lain adalah Aloka et al. (2009) mengenai dampak NTM
pada ekspor pertanian di Srilanka; Nguyen (2010) tentang ekspor Vietnam; Chen
et al. (2008) mengenai efek SPS dari perspektif eksportir di Cina. Selain itu,
banyaknya kerjasama tingkat regional di kawasan Asia. Terdapat beberapa
kerjasama tingkat regional yang sudah berlangsung di antaranya adalah ASEAN
Free Trade Area (AFTA) sejak tahun 1992 yang beranggotakan sepuluh negara
dan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang ditandatangani tahun 2004.
Selain itu, telah dirintis pula kerangka kerjasama untuk mewujudkan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community, AEC) pada tahun 2015 dan

3
Masyarakat Ekonomi Asia Timur (East Asian Economic Community, EAEC) yang
dipelopori oleh negara-negara ASEAN, Cina, Jepang dan Korea Selatan atau
dikenal dengan sebutan ASEAN +3. Kerjasama regional ASEAN+3 dimaksudkan
untuk menjadikan kawasan ini sebagai kutub baru pertumbuhan dunia, selain
European Union (EU) di Benua Eropa dan North American Free Trade Area
(NAFTA) di Kawasan Amerika Utara (Purwanto 2011).
Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN yang juga sebagai negara
agraris memiliki potensi yang besar dalam sektor pertaniannya. Akan tetapi,
potensi ini belum dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Sektor pertanian
memiliki beberapa subsektor seperti tanaman pangan, hortikultura, peternakan,
perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Potensi yang belum termanfaatkan dengan
maksimal ini terlihat dari jumlah masyarakat miskin yang identik dengan
masyarakat pedesaan atau pertanian.
Salah satu subsektor yang berperan penting dan juga menunjang ketahanan
pangan yaitu subsektor hortikultura. Dimana subsektor hortikultura ini terdiri atas
sayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Kontribusi sektor
pertanian tanaman hortikultura terhadap produk domestik bruto selama periode
2000-2011, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 hanya
sebesar Rp41 731 M, hingga tahun 2011 menjadi Rp96 220 M. Perkembangan ini
berlaku untuk ke empat kelompok komoditas tanaman hortikultura. Keempat
kelompok komoditas tersebut adalah buah-buahan, sayuran, tanaman biofarmaka,
dan tanaman hias. Selain itu, kelompok buah-buahan memberikan konstribusi
yang cukup besar mencapai Rp53 437 M pada tahun 2011, yang kemudian diikuti
oleh sayuran sebesar Rp31 969 M, tanaman hias sebesar Rp7 302 M, dan tanaman
biofarmaka sebesar Rp3 512 M di tahun yang sama. Hortikultura memberikan
share yang cukup besar sekitar 11.83% pada PDB Indonesia. Nilai tersebut
menjadi tambahan devisa bagi pendapatan nasional.
Tabel 1 PDB atas dasar harga berlaku 2000 – 2011
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

Buah-buahan
22 533
25 620
29 168
28 246
30 765
31 694
35 448
42 362
47 060
48 437
45 482
53 437

Milyar Rupiah
Sayuran
Tan. Obat
15 525
430
17 704
491
17 867
506
20 573
565
20 749
722
22 630
2 806
24 694
3 762
25 587
4 105
28 205
3 853
30 506
3 897
31 244
3 665
31 969
3 512

Tan. Hias
3 242
3 706
3 458
4 501
4 609
4 662
4 734
4 741
5 085
5 494
6 174
7 302

Total
41 731
47 521
51 000
53 885
56 844
61 792
68 639
76 795
84 203
88 334
86 565
96 220

Share (%)
5.13
5.84
6.27
6.62
6.99
7.60
8.44
9.44
10.35
10.86
10.64
11.83

Sumber: Hasil kajian Dirjen Hortikultura 2012

Hortikultura menjadi subsektor yang mengalami perkembangan pada
beberapa tahun terakhir ini. Peningkatan tersebut dikarenakan masyarakat
Indonesia menyadari pentingnya mengkonsumsi tanaman dari hortikultura.
Subsektor tanaman hortikultura menyediakan kebutuhan yang menunjang
kesehatan manusia. Oleh karena itu, pertanian tanaman hortikultura menjadi

4
sebagai salah satu sub sektor pertanian yang mempunyai arti yang cukup strategis
dalam perekonomian nasional.
Dilihat dari laju pertumbuhan hortikultura lebih cepat dibandingkan dengan
komoditas pangan lainnya. Pertumbuhan hortikultura diperkirakan akan terus
meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2012) pengeluaran rata-rata
per kapita sebulan, masyarakat Indonesia untuk sayuran dan buah-buahan pada
tahun 2011 masing-masing sebesar 4.31 dan 2.15%. Konsumsi per kapita yang
meningkat bersamaan dengan jumlah penduduk yang bertambah telah mendorong
peningkatan konsumsi total hortikultura selama beberapa tahun terakhir ini. Akan
tetapi, jumlah hortikultura yang dikonsumsi masyarakat masih jauh dari
rekomendasi FAO sebesar 67 kg per kapita per tahun. Selama periode 2002-2012,
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat untuk konsumsi sayur-sayuran dan buahbuahan di Indonesia sekitar 40 kg per kapita per tahun.
Tabel 2 Kinerja ekspor dan impor hortikultura Indonesia ke negara-negara
ASEAN +3 tahun 2010-2012 (000 USD)
Negara Partner
Cina

Jepang

Korea

Malaysia

Philipina

Singapura

Thailand

World

Tahun
2010
2011
2012
2010
2011
2012
2010
2011
2012
2010
2011
2012
2010
2011
2012
2010
2011
2012
2010
2011
2012
2010
2011
2012

Ekspor
37 569.63
54 238.67
34 193.86
19 768.65
24 036.46
25 917.87
10 398.51
10 085.79
7 056.27
23 527.43
37 829.96
34 577.74
5 731.03
7 639.88
8 782.66
77 890.31
65 002.45
72 577.50
4 227.28
33 523.77
12 343.30
1 394 625.45
1 891 511.99
1 697 011.85

Impor
661 299.91
765 985.95
729 175.73
134.94
264.74
155.51
2 185.40
1 762.82
1 582.53
14 457.15
22 406.95
18 778.06
4 486.22
6 766.76
3 392.69
3 008.41
2 471.61
3 160.01
116 229.56
197 295.15
191 426.64
1 091 929.63
1 449 414.26
1 376 716.39

Neraca
-623 730.28
-711 747.28
-694 981.87
19 633.72
23 771.72
25 762.36
8 213.12
8 322.97
5 473.74
9 070.28
15 423.01
15 799.68
1 244.81
873.12
5 389.97
74 881.90
62 530.85
69 417.49
-112 002.28
-163 771.39
-179 083.33
302 695.82
442 097.73
320 295.46

Sumber: UNCOMTRADE 2013

Kinerja perdagangan hortikultura Indonesia dengan negara-negara ASEAN
+3 menunjukkan neraca yang positif kecuali pada Cina dan Thailand. Tujuan
ekspor hortikultura Indonesia yang paling banyak adalah ke Singapura. Sementara
ekspor yang terendah dengan negara tujuan Korea. Umumnya ekspor hortikultura
mengalami penurunan dari tahun 2011 ke tahun 2012. Kinerja impor hortikultura
di dominasi oleh Cina dan Thailand. Kinerja ekspor dan impor hortikultura
Indonesia ke seluruh dunia menunjukkan nilai yang positif.

5
Pengembangan subsektor hortikultura dalam perspektif paradigma baru
tidak hanya terfokus pada upaya peningkatan produksi komoditas saja namun
terkait dengan isu-isu strategis dalam pembangunan yang lebih luas.
Pembangunan subsektor hortikultura juga mengacu pada pencapaian target sukses
Kementerian Pertanian yaitu peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai
tambah, daya saing dan ekspor, peningkatan kesejahteraan petani. Selain itu,
pengembangan subsektor hortikultura juga untuk mengantisipasi meningkatnya
nilai impor komoditas hortikultura dan sebaliknya harus mampu meningkatkan
nilai ekspor (Ibrahim 2012). Situasi perdagangan yang semakin liberal dapat
dimanfaatkan sehingga kinerja produksi dan perdagangan dari komoditas ekspor
Indonesia harus dapat bersaing dengan negara-negara produsen utama lainnya.
Upaya menembus pasar ekspor komoditas hortikultura pun masih mengalami
hambatan dari negara-negara tujuan. Indonesia dengan kondisi pasar hortikultura
ke negara-negara ASEAN +3 harus mampu merebut akses pasar dengan
memenuhi persyaratan yang diberikan oleh negara tujuan.
Subsektor hortikultura beberapa tahun terakhir ini menjadi topik yang
banyak diperbincangkan di kalangan akademisi maupun praktisi. Hal ini
dikarenakan jumlah kebutuhan untuk konsumsi semakin meningkat. Dimana
masyarakat semakin sadar akan pentingnya mengkonsumsi sayuran dan buahbuahan bagi kesehatan. Ibrahim (2012) mengemukakan bahwa pada tahun 2013,
Direktorat Jenderal Hortikultura melakukan beberapa refocusing terhadap
kegiatan strategis pada program peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu
produk hortikultura berkelanjutan sehingga penyaluran dan pemanfaatannya lebih
efektif, efisien dan tepat sasaran. Refocusing tersebut dilakukan dengan
melakukan pengembangan komoditas utama pada lokasi sentra produksi.
Ekspor hasil pertanian menjadi salah satu program yang dicanangkan
pemerintah (Kementrian Pertanian) dalam dua belas program pembangunan
pertanian untuk periode 2010-2014. Untuk mengekspor hasil pertanian,
sebelumnya pemerintah juga membuat program strategis dalam hal peningkatan
produksi, produktivitas, dan mutu produk tanaman hortikultura berkelanjutan.
Selain itu, pemerintah juga memprogramkan peningkatan kualitas perkarantinaan
pertanian dan pengawasan keamanan hayati. Hal ini berhubungan dengan kondisi
pasar global yang dalam perdagangannya lebih banyak memberlakukan hambatan
non tarif.
Rumusan Permasalahan
Kemampuan untuk mendapatkan akses pasar yang dapat diandalkan
semakin tergantung pada kepatuhan terhadap peraturan tindakan perdagangan
yang berada di luar bagian kebijakan perdagangan internasional. Meskipun akses
pasar masih dapat ditingkatkan dengan liberalisasi yang lebih lanjut pada
sejumlah produk yang sebagian besar dibebaskan. Kebijakan perdagangan
tradisional seperti tarif dan kuota tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan
dalam membatasi akses pasar. Tarif pada perdagangan internasional umumnya
rendah karena telah semakin diliberalisasi. Pertama di bawah naungan perjanjian
umum tentang tarif dan perdagangan (GATT)/WTO. Selanjutnya dalam konteks
perjanjian perdagangan preferensial regional dan bilateral. Pentingnya penurunan
tarif untuk akses pasar juga hasil dari skema perlakuan khusus dan berbeda,

6
seperti preferensi tarif umum UNCTAD dan berbagai skema preferensial yang
diberikan kepada negara-negara yang paling membutuhkan. Fakta bahwa
liberalisasi tarif secara umum terbukti berhasil dalam menyediakan akses pasar
yang sebenarnya telah menarik perhatian lebih lanjut pada Non Tarif Measures
(NTM) sebagai penentu utama dalam membatasi akses pasar (UNCTAD 2013).
Tindakan non tarif mencakup kebijakan yang sangat beragam yang berlaku
bagi negara pengekspor dan pengimpor barang. Beberapa NTM digunakan dengan
jelas sebagai instrument kebijakan yang komersial. Misalnya kuota, subsidi,
langkah-langkah pertahanan perdagangan, dan pembatasan ekspor. Selain itu,
terdapat pula kebijakan non trade, misalnya mengenai tindakan teknis. Terlepas
dari tujuan NTM untuk proteksi atau mengatasi kegagalan pasar, NTM
diperkirakan memiliki efek distorsi pada perdagangan internasional. Kebijakan
yang diberlakukan oleh pemerintah khususnya kebijakan non tarif memberikan
hambatan perdagangan dalam bentuk yang baru dalam perdagangan dengan
negara lain. Perdagangan dengan negara ASEAN +3 dihadapkan dengan
banyaknya hambatan-hambatan baru yang menjauhkan tujuan dari perdagangan
bebas dengan kurang atau pun tidak adanya hambatan.
Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Techincal Barriers to Trade (TBT)
memiliki dampak perdagangan yang paling banyak diakui atau pun diterapkan
oleh negara-negara maju. Berdasarkan yang dikemukakan oleh UNCTAD (2013)
bahwa SPS dan TBT paling banyak diberlakukan oleh seluruh negara di dunia.
Dalam langkah-langkah regulasi yang paling umum digunakan adalah SPS dan
TBT dengan pemberlakuan 15-30% dari produk perdagangan. Tingginya angka
kejadian dari ketentuan SPS dan TBT ini menimbulkan kekhawatiran bagi
pengekspor dari negara berkembang. Ketentuan ini memaksakan kualitas dan
keamanan dan perpajakan yang tepat.
Hambatan-hambatan yang diterapkan negara tujuan pada produk
hortikulturanya mengharuskan Indonesia sebagai negara pengekspor
memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi. Sehingga dengan demikian,
perlu dikaji lebih lanjut mengenai SPS dan TBT yang diterapkan oleh negara
tujuan ekspor hortikultura Indonesia. BPS (2013) mencatat bahwa adanya
peningkatan produksi dari tahun ke tahun, dengan produksi pada tahun 2007
untuk keseluruhan hortikultura mencapai 698 juta ton. Jumlah ini terus
menunjukkan peningkatan hingga tahun 2012 dengan jumlah sebesar 1 101 juta
ton. Atau dengan pertumbuhan dari tahun 2007 sebesar 7.69% dan menjadi
12.12% pada tahun 2012.
Potensi produksi yang meningkat dari tahun ke tahun, hortikultura Indonesia
memiliki potensi ekspor yang besar. Indonesia sebagai negara agraris dengan
agroklimat yang bagus untuk hortikultura. Perdagangan hortikultura di kawasan
ASEAN +3 menjadi salah satu kajian menarik untuk diteliti. Penggunaan NTM di
kawasan ASEAN +3 memberikan dampak pada perdagangan. Dampak dari NTM
pada subsektor hortikultura menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. Terdapat
beberapa permasalahan yang ada untuk diteliti yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja ekspor subsektor hortikultura di Indonesia?
2. Bagaimana pemberlakuan NTM pada subsektor hortikultura di negara-negara
ASEAN+3?
3. Bagaimana dampak NTM pada ekspor pertanian khususnya subsektor
hortikultura?

7
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan pada uraian sebelumnya, tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan kinerja ekspor subsektor hortikultura di Indonesia.
2. Mendeskripsikan pemberlakuan NTM pada subsektor hortikultura di negaranegara ASEAN +3.
3. Menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan NTM terhadap kinerja
ekspor pertanian subsektor hortikultura.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan pengetahuan secara
umum dan khususnya pada kawasan ASEAN +3 mengenai kebijakan
perdagangan yang diambil dalam bentuk Non Tariff Measures (NTM). Dan
sebagai tambahan pengetahuan lebih pada dampak dari NTM terhadap arus ekspor
pada subsektor hortikultura. Serta memberikan masukan bagi pemerintah atau pun
stakeholder terkait dengan kebijakan perdagangan khususnya NTM.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu pada arus ekspor perdagangan
Indonesia dengan negara ASEAN (Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand)
dan tiga negara maju Asia Timur (Korea, Jepang, dan Cina). Pada penelitian ini
membahas sektor pertanian khususnya pada subsektor hortikultura. Subsektor
hortikultura terdiri dari empat kelompok besar yaitu buah-buahan, sayuran,
tanaman hias, dan tanaman obat-obatan. Penelitian ini menggunakan model data
panel. Data yang digunakan untuk analisis pada penelian ini dengan range tahun
2010-2012. Untuk estimasi NTM dikhususkan pada Sanitary dan Phytosanitary
(SPS) dan Technical Barriers Trade (TBT).

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perdagangan Internasional
Perkembangan ekonomi dunia yang begitu pesat telah meningkatkan kadar
hubungan saling ketergantungan dan mempertajam persaingan yang menambah
semakin rumitnya strategi pembangunan yang mengandalkan ekspor di satu pihak,
hal ini merupakan tantangan dan kendala yang harus dihadapi. Di pihak lain hal
tersebut merupakan peluang baru yang dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan
pelaksanaan pembangunan nasional. Kondisi perekonomian nasional yang
menjadi semakin saling berhubungan dan globalisasi (pergerakan ke arah satu
perekonomian global) telah semakin nyata. Pengaruh perekonomian luar negeri
berdampak kuat pada perekonomian Indonesia.

8
Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi, dan
perdagangan yang kemudian mempengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa.
Proses globalisasi itu telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan
antar negara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga
batas-batas antar negara dalam berbagai praktik dunia usaha/bisnis seakan-akan
dianggap tidak berlaku lagi (Halwani 2002).
Selain hubungan saling ketergantungan (interdependence) antar negara,
adanya kecenderungan terpisahnya kegiatan ekonomi dimana proses kegiatan
ekonomi produksi industri pengolahan semakin melemah. Hal ini berakibat pada
tidak berkembangnya produksi barang primer. Pada akhirnya menyebabkan
merosotnya harga komoditi primer yang disebabkan oleh permintaan yang
berkurang, merosotnya nilai tukar perdagangan dari sektor pertanian, sementara
produksi yang terus menerus meningkat. Umumnya negara di dunia menghadapi
perkembangan tersebut dengan melakukan berbagai langkah penyesuaian yang
cenderung proteksionis. Munculnya berbagai blok perdagangan atau penerapan
perundang-undangan yang jelas proteksionis.
Halwani (2002) lebih lanjut mengemukakan bahwa globalisasi ekonomi
ditandai dengan makin menipisnya batas-batas investasi atau pasar secara
nasional, regional, ataupun internasional. Adanya komunikasi dan transportasi
yang semakin canggih; lalu lintas devisa yang semakin bebas; ekonomi negara
yang makin terbuka; penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif tiap-tiap negara; metode produksi dan perakitan dengan
organisasi manajemen yang makin efisien; dan semakin pesatnya perkembangan
perusahaan multinasional di hampir seluruh dunia, menjadi penyebab dari
menipisnya batas-batas investasi atau pasar secara keseluruhan.
Perdagangan internasional secara teori membahas hubungan ekonomi antar
negara di dunia yang merupakan refleksi dari munculnya saling ketergantungan
(interdependence) antara satu negara dengan negara lainnya karena adanya
perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi (resources)
yang dibutuhkan. Suatu negara mungkin memiliki sumber daya alam yang
melimpah tetapi tidak memiliki teknologi dan modal untuk memprosesnya,
sebaliknya negara lainnya miskin sumber daya alam tetapi memiliki teknologi
yang mampu menjadikan sumber daya alam tersebut lebih dekat pada penggunaan
akhir dan memiliki nilai guna yang lebih tinggi. Teori-teori perdagangan secara
umum banyak memusatkan perhatian pada persoalan pola perdagangan
internasional yang dapat berbeda dan bergeser karena perbedaan dalam memiliki
dan mengakses faktor-faktor produksi (Prabowo 2006).
Perdagangan internasional bagi negara-negara di dunia memiliki arti penting
yang berbeda-beda. Negara dengan ekonomi yang lebih kecil cenderung tidak
mampu menghasilkan berbagai jenis produk yang ingin dikonsumsi. Sehingga ada
kebutuhan untuk ekspor dengan dijual ke negara-negara lain, dengan pertukaran
barang yang tidak tersedia dalam negeri. Pada umumnya negara yang lebih besar
lebih mampu mendifersifikasi produksi mereka. Apalagi jika negara tersebut
memiliki keanekaragaman sumber daya yang besar dengan berbagai faktor
produksi. Husted dan Melvin (2010) menyatakan bahwa perubahan dalam
keterbukaan berbeda jauh antara kelompok pendapatan. Pada umumnya, negara
berpenghasilan rendah merupakan negara yang paling tertutup. Tingkat
keterbukaan dari pertumbuhan rata-rata merupakan indikasi dari kenyataan bahwa

9
perdagangan internasional telah menjadi semakin penting bagi perekonomian
dunia.
Tingkat partisipasi pada perdagangan internasional bersifat bebas (free),
sehingga keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut dilakukan secara
sukarela. Abidin (2000) bahwa menurut pendapat sebagian pakar ekonomi,
perdagangan antar negara sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan seminimum
mungkin pengenaan tarif dan hambatan lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa
perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara
pelaku dan bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar
dibandingkan tidak ada perdagangan. Namun karena terdapat perbedaan
penguasaan sumberdaya yang menjadi komponen pendukung daya saing,
sebagian pakar yang lain berpendapat liberalisasi pasar berpotensi menimbulkan
dampak negatif karena mendorong persaingan pasar yang tidak sehat. Atas dasar
itu maka timbul pandangan pentingnya upaya-upaya proteksi terhadap produksi
dalam negeri dan kepentingan lainnya dari tekanan pasar internasional melalui
pemberlakuan kendala atau hambatan perdagangan.
Pada kondisi semakin kuatnya tekanan untuk meliberalisasi pasar,
efektivitas pemberlakuan kendala atau hambatan tersebut dalam perdagangan
akan menentukan derajat keterbukaan pasar. Keterbukaan pasar semakin tinggi
bila pemerintah suatu negara menurunkan tarif (bea masuk) produk yang
diperdagangkan (tariff reduction) dan menghilangkan hambatan-hambatan non
tarif (non tariff barriers). Hal sebaliknya terjadi bila pemerintah cenderung
menaikkan tarif dan meningkatkan hambatan non tarif. Liberalisasi perdagangan
mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional dalam era globalisasi saat
ini, tidak terkecuali perdagangan pangan. Sebagai negara ekonomi terbuka dan
ikut meratifikasi berbagai kesepakatan kerjasama ekonomi dan perdagangan
regional maupun global, tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan kesepakatan
kerjasama tersebut bukan tidak mungkin pada akhirnya akan berbenturan dengan
kebijakan internal dan mengancam kepentingan nasional.

Hambatan Perdagangan
Pada umumnya dalam perdagangan internasional, negara mendapatkan
keuntungan dengan peningkatan perdagangannya. Para ekonom berpendapat
bahwa perdagangan internasional adalah perdagangan yang baik, tetapi
perdagangan bebas merupakan perdagangan yang terbaik. Dengan analisis tentang
kebijakan perdagangan yang lebih rinci, mereka mendasarkan pandangannya
bahwa perdagangan bebas umumnya lebih disukai daripada perdagangan dengan
ada restriksi parsial.
Perdagangan bebas (free trade) akan dapat memaksimalkan output dunia
dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat di dalamnya. Namun dalam
kenyataannya, hampir setiap negara masih menerapkan berbagai bentuk hambatan
terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas. Karena
hambatan-hambatan tersebut berkaitan erat dengan praktek dan kepentingan
perdagangan atau komersial dari masing-masing negara, maka hambatan tersebut
lazim disebut sebagai kebijakan perdagangan (trade policy) atau kebijakan
komersial (commercial policy). Meskipun secara umum penerapan kebijakan

10
perdagangan selalu dikemukakan sebagai suatu alat yang perlu diterapkan untuk
meningkatkan kesejahteraan nasional, dalam kenyataannya hal tersebut lebih
bertolak belakang dari kepentingan sepihak dari kelompok-kelompok tertentu
yang memang paling diuntungkan oleh pemberlakuan hambatan-hambatan
perdagangan (Salvatore 1997).
Halwani (2002) mengemukakan bahwa proteksi secara umum ditujukan
sebagai tindakan untuk melindungi produksi dalam negeri terhadap persaingan
barang impor di pasaran dalam negeri. Secara luas perlindungan ini juga
mencakup untuk promosi ekspor. Sedangkan metode proteksi yang dilakukan
menyangkut sistem pungutan tarif (pajak) terhadap barang impor yang masuk ke
dalam negeri. Tarif merupakan pajak yang dikenakan atas barang impor. Pajak
atas barang impor itu biasanya tertulis dalam bentuk pernyataan Surat Keputusan
(SK) atau undang-undang.
Tarif terhadap barang impor merupakakan salah satu hambatan perdagangan
internasional. Pengenaan tarif tersebut tentunya ada pihak yang diuntungkan dan
ada pula yang dirugikan. Adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi yang telah
diatur sebelumnya, menjadikan perdagangan yang akan dilakukan tidak sebebas
yang diharapkan oleh negara-negara tertentu. Lindert et al. (1993) mengemukakan
tentang keburukan dan kebaikan dari tarif. Tarif hampir selalu menurunkan
kesejahteraan dunia. Tarif juga biasanya menurunkan kesejahteraan masingmasing negara, termasuk negara yang mengenakan tarif. Sebagai aturan umum,
manfaat apa pun yang dapat diberikan oleh pengenaan tarif bagi suatu negara, cara
lainnya dengan melakukan yang lebih baik.
Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang
diperdagangkan lintas batas territorial. Ditinjau dari aspek asal komoditi, ada dua
macam tarif yakni tarif impor (import tariff) dan tarif ekspor (export tariff). Tarif
impor merupakan pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari
negara lain sedangkan tarif ekspor adalah pajak untuk suatu komoditi yang
diekspor. Kemudian jika ditinjau dari mekanisme perhitungannya, jenis tarif
terbagi atas tarif ad valorem (ad valorem tariffs) adalah pajak yang dikenakan
berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor; tarif
spesifik (specific tariffs) dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor;
dan tarif campuran (compound tariff) adalah gabungan dari keduanya, yaitu
mengenakan pungutan dalam jumlah tertentu dan juga memungut dalam bentuk
persen (Salvatore 1997).

Non Tarif Measures (NTMs)
Pemberlakuan NTM dalam arti sempit tidak menimbulkan masalah bagi
perekonomian, terlebih setelah tahun 2005, semua NTM untuk pertanian, tekstil
dan pakaian telah dihapus sesuai dengan perjanjian WTO. Akan tetapi, dalam arti
luas, NTM akan menjadi masalah yang sangat berkembang pada perdagangan
internasional dan atau untuk forum-forum internasional lainnya secara khusus.
Robert Baldwin dalam PECC (2000) bahwa kebijakan distorsi perdagangan non
tarif adalah setiap ukuran/langkah/tindakan (publik atau swasta) yang
menyebabkan perdagangan barang dan jasa internasional, atau sumber daya yang
dikhususkan untuk produksi barang dan jasa yang dialokasikan dengan cara

11
mengurangi pendapatan potensial riil dunia. Cakupan NTM dapat terus
berkembang menjadi lebih luas seiring dengan pemerintah yang dengan cerdik
mengembangkan langkah baru untuk menolong produsen domestiknya dari
persaingan dengan pihak asing.
NTM mencakup semua instrumen selain tarif, mulai dari persyaratan
pelabelan hingga makro yang mempengaruhi kebijakan perdagangan. Tindakan
ini telah tumbuh sebagai pengurangan tarif yang besar dan kadang-kadang
dihapuskan melalui banyak perjanjian komprehensif dan perdagangan
preferensial, seperti WTO dan sebelumnya, serta perjanjian perdagangan regional
(RTAs/Regional Trade Agreements). Di antara NTM, khususnya tindakan SPS
(Sanitary dan Phytosanitary) dan hambatan teknis perdagangan (TBTs/Technical
Barriers to Trade) telah diproliferasi/dikembangkan. Tindakan ini memiliki
banyak kesamaan tindakan standar yang mempengaruhi biaya dan potensi
permintaan dengan mengatasi ketidaksempurnaan pasar (informasi asimetris),
pengaruh eksternal (Baccheta dan Beverelli dalam Beghin 2013).
Istilah NTM meliputi sejumlah tindakan yang bukan tarif, dan definisi dari
NTM agak komprehensif dengan daftar yang cukup panjang. Secara umum untuk
definisi NTM oleh Von Lampe, OECD, Nicita, UNCTAD, dan Rau, LEI, cukup
berbeda antara satu sama lain. Tetapi dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
istilah NTM mengacu pada tindakan dan tidak mengacu pada kondisi yang
berlaku yang ada di negara seperti infrastruktur, kualifikasi dan pemerintahan.
NTM cenderung dipicu oleh kurangnya sarana transportasi yang efisien dan jalan
sebagai contoh yang berkontribusi terhadap kemungkinan NTM membatasi
pengaruh perdagangan (Mellado et al. 2010).
Sejak tahun 1994, UNCTAD mulai mengumpulkan dan mengklasifikasikan
Non Tariff Barriers (NTBs) berdasarkan Coding System of Trade Control
Measures (TCMCS). Coding system ini kemudian mengklasifikasikan tariffs,
para-tariffs, dan Non Tariff Measures (NTMs) ke dalam 100 sub kategori. Coding
system ini kemudian digunakan untuk membangun database NTM yang disebut
database Trade Analysis and Information System (TRAINS). Kemudian kerja
sama yang dibangun oleh UNTAD dan World Bank mengembangkan TRAINS
menjadi system yang dapat diakses oleh peneliti-peneliti di dunia melalui aplikasi
software yang disebut World Integrated Trade Solution (WITS).
Melalui klasifikasi dari United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD) dapat dibedakan antara inti NTM, seperti tingkat tarif
kuota dan