Pengaruh Modal Sosial Terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan Dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan

1

PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP EKSISTENSI
POLA HUBUNGAN JURAGAN DAN BURUH
KAMPOENG BATIK LAWEYAN

FAUZIAH KURNIATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

2

3

PERNYATAAN MENGENAI PENELITIAN DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1


Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh
Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan dan Buruh
Kampoeng Batik Laweyan“ benar hasil karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Fauziah Kurniati
NIM. I34120090

1

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.


4

5

ABSTRAK
FAUZIAH KURNIATI. Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola
Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan. Dibawah bimbingan
MARTUA SIHALOHO.
Indonesia memiliki beragam warisan budaya salah satunya adalah batik.
Batik telah diakui oleh United Nation Educational Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) sebagai warisan budaya Indonesia sehingga perlu dijaga eksistensinya. Salah
satu kampung batik tertua di Indonesia yaitu Kampoeng Batik Laweyan, pada proses
produksi batik juragan dan buruh menjalin hubungan melalui modal sosial dan membentuk
pola hubungan patron-klien. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah menganalisis
pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh, menganalisis pengaruh
pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, serta
menganalisis pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tersebut adalah pendekatan
kuantitatif dengan metode survei yang didukung oleh data kualitatif yang relevan. Hasil
analisis menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan modal sosial terhadap pola

hubungan juragan dan buruh pada setiap kelas perusahaan batik. Terdapat pengaruh
signifikan pola hubungan patron-klien terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada
setiap kelas perusahaan batik. Terdapat pengaruh signifikan modal sosial terhadap
eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada setiap kelas perusahaan batik.

Kata kunci: batik, eksistensi, modal sosial, dan pola hubungan juragan dan buruh
ABSTRACT
FAUZIAH KURNIATI. The influence of social capital to the existence of a
pattern of relationship juragan and buruh Kampoeng Batik Laweyan. Supervised by
MARTUA SIHALOHO.
Indonesia has a diverse cultural heritage of one of them is batik. Batik has been
recognized by the United Nations Educational Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) as an Indonesian cultural heritage that needs to be maintained existence. One
of the oldest villages in Indonesia, namely Kampoeng Batik Laweyan. Kampoeng Batik
Laweyan is one area in the city of Surakarta which has a rich cultural heritage, both
tangible (material) or intangible (non-material), the skipper of batik production process and
labor relations through social capital and form a pattern of patron-client relationships. The
purpose of this paper is to analyze the influence of social capital on the pattern of
relationship between juragan and buruh, analyze the influence of a pattern of relationship
between juragan and buruh to the existence of Kampoeng Batik Laweyan, and to analyze

the influence of social capital to the existence of Kampoeng Batik Laweyan. The approach
used to analyze the effect of these is the quantitative approach with survey supported by
qualitative data that is relevant. Results of the analysis showed that there is no influence of
social capital on pattern of relationship between juragan and buruh at each grade
companies batik. There is the influence of the pattern of relationship between juragan dan
buruh to the existence of Kampoeng Batik Laweyan at each grade companies batik. There
is the influence of social capital on the existence of Kampoeng Batik Laweyan at each
grade companies batik.

Keywords: batik, existence, social capital, and a pattern of relationship between
juragan and buruh

6

7

PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP EKSISTENSI
POLA HUBUNGAN ANTARA JURAGAN DAN BURUH
KAMPOENG BATIK LAWEYAN


FAUZIAH KURNIATI
I34120090

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

8

11

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Modal
Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik
Laweyan. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pada Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas mengenai pengaruh modal sosial
terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik
Laweyan, Surakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si
sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama
proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Bapak Syafi‟i dan Ibu Asnawati selaku orang tua serta Rista
Rikiatun dan A. Ridwan Suyuti selaku adik kandung yang selalu memberikan
saran, masukan dukungan, dan doa yang sangat berarti untuk penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman
terdekat, teman satu bimbingan yaitu Henny Kristikasari dan Suci Ayu
Rachmawati, serta kepada seluruh mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat angkatan 49, yang telah memberikan dukungan
semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Semoga hasil penelitian bermanfaat.
Bogor, Juli 2016


Fauziah Kurniati
NIM. I34120090

14

13

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi
vi
vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

Tinjaun Pustaka

5


Modal Sosial (Social Capital)

5

Eksistensi

9

Pola Hubungan Patron-Klien

10

Kerangka Pemikiran

14

Hipotesis Penelitian

16


PENDEKATAN LAPANG

17

Metode Penelitian

17

Lokasi dan Waktu Penelitian

17

Teknik Pengumpulan Data

18

Teknik Penentuan Informan dan Responden

20


Teknik Pengolahan dan Analisis Data

21

Definisi Operasional

22

Gambaran Umum Kampoeng Batik Laweyan

29

Kondisi Geografi Kampoeng Batik Laweyan

29

Kondisi Demografi Kampoeng Batik Laweyan

29

Potensi Sumberdaya Manusia
Kondisi Sarana Pendidikan Kampoeng Batik Laweyan

29
33

Gambaran Responden Penelitian

34

Sejarah dan Dinamika Kampoeng Batik Laweyan

37

Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan

45

Pengaruh Modal Sosial terhadap Pola Hubungan Juragan dan Buruh

51

Pengaruh Pola Hubungan Juragan dan Buruh terhadap Eksistensi Kampoeng Batik
Laweyan

59

Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan

63

16

15

PENUTUP
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA

67
67
69

17

DAFTAR TABEL
1 Dua unsur komplemen modal sosial
2 Metode pengumpulan data
3 Definisi operasional modal sosial
4 Definisi operasional pola hubungan patron-klien
5 Definisi operasional eksistensi
6 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis kelamin di Kampoeng Batik Laweyan
2016
7 Jumlah dan persentase penduduk menurut mata pencaharian (umur 10 tahun keatas)
Februari 2016
8 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan (umur 5 tahun keatas)
Februari 2016
9 Jumlah dan persentase penduduk menurut penganut agama di Kampoeng Batik
Laweyan 2016
10 Jumlah sarana pendidikan di Kampoeng Batik Laweyan
11 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas besar (large)
12 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas menengah (medium)
13 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas kecil (small)

6
19
22
24
27
29
31
32
33
33
51
53
54

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran
2 Sebaran jenis kelamin responden pada perusahaan batik kelas besar (large)
3 Sebaran jenis kelamin responden pada perusahaan batik kelas menengah (medium)
4 Sebaran jenis kelamin pada perusahaan batik kelas kecil (small)

16
34
35
35

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sketsa Kampoeng Batik Laweyan
75
2 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016
76
3 Kerangka sampling
77
4 Daftar nama responden
87
5 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) 91
6 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah
(medium)
92
7 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas kecil (small) 93
8 Panduan wawancara mendalam
94
9 Kebutuhan data dan metode pengumpulan data
103
10 Hasil uji validitas dan reabilitas modal sosial, pola hubungan, dan eksistensi
109
11 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada
perusahaan batik kelas besar (large)
119

18

19

12 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada
perusahaan batik kelas menengah (medium)
121
13 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh
pada perusahaan batik kelas kecil (small)
125
14 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi
Kampoeng Batik Laweyan

128

15 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi
Kampoeng Batik Laweyan

132

16 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi
Kampoeng Batik Laweyan

136

17 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
pada perusahaan batik kelas besar (large)
140
18 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
pada perusahaan batik kelas menengah (medium)
144
19 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan
pada perusahaan batik kelas kecil (small)
148
20 Dokumentasi lapang
152
21 Tulisan tematik
155

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki beragam warisan budaya salah satunya adalah batik.
Batik telah diakui oleh United Nation Educational Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya Indonesia sehingga perlu dijaga
keberadaan dan keasliannya2. Industri batik di Indonesia umumnya merupakan
industri Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menjadi mata pencaharian sebagian
masyarakat Kebijakan pemerintah untuk mendukung Usaha Kecil dihitung dalam
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah3. Batik selain sebagai karya kreatif yang sudah
berkembang sejak zaman dahulu serta sebagai hasil seni budaya, maka kerajinan
dan industri batik merupakan sumber kehidupan perekonomian masyarakat
diberbagai kota maupun konsentrasi industri seperti halnya di Surakarta. Kota
Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa memiliki dua kawasan kerajinan batik
yaitu Kawasan Kauman dan Kawasan Laweyan. Kawasan Kauman merupakan
bagian dari pusat kota Surakarta, sedangkan Kawasan Laweyan atau dikenal
dengan sebutan Kampoeng Batik Laweyan merupakan kawasan sentra industri
batik yang unik, spesifik, dan bersejarah.
Kampoeng Batik Laweyan adalah satu kawasan di kota Surakarta yang
memiliki kekayaan pusaka budaya, baik yang tangible (bendawi) maupun
intangible (non bendawi). Kampoeng Batik Laweyan ini merupakan kampung
batik tertua di Indonesia yang berasal dari kata lawe, yakni semacam benang
sebagai bahan pembuat kain4. Adapun produk batik yang dihasilkan oleh
masyarakat Kampoeng Batik Laweyan yaitu batik tulis, stamp batiks, dan printing
batiks. Proses pewarnaan batik yang dilakukan oleh para pengusa batik
menggunakan pewarna alami dan pewarna buatan. Wardani (2015) dalam
penelitiannya mengungkapkan industri yang menggunakan pewarna buatan di
Kampung Batik Laweyan sebesar 61%, sedangkan yang menggunakan pewarna
alami 39%. Pewarna alami yang digunakan berasal dari produk pertanian, yang
terdapat di lingkungan sekitar maupun dari pemasok. Pewarna alami dapat
diperoleh dari ekstrak daun, batang, akar, biji dari tumbuh-tumbuhan.
Kampoeng Batik Laweyan resmi dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya
pada tahun 2010 berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.
PM.03/PW.007/MKP/2010 tentang benda cagar budaya, situs atau kawasan cagar
budaya yang dilindungi UU No. 5 tahun 1992 yang kemudian diperbaharui

2

http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2015/07/14/53m-dagper72015-id1438313436.pdf diakses pada tanggal 16 Februari 2016.
3
http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/uu-bi/Documents/UU20Tahun2008UMKM.pdf
diakses pada tanggal 16 Februari 2016.
4
Dikutip dari buku “Sekilas tentang Kami Kampoeng LAWEYAN”.

2

dengan UU No. 11 tahun 20105. Majah (2015) mengatakan bahwa sejak
ditetapkannya sebagai kawasan wisata, Laweyan menjadi tempat yang banyak
dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke kota Surakarta, dalam bidang
kebudayaan mulai dibukanya Laweyan sebagai kawasan wisata telah memberikan
peluang bagi masyarakat Laweyan untuk melestarikan tradisi tradisionalnya
dengan cara memperkenalkan kepada wisatawan.
Kampoeng Batik Laweyan mengalami masa kejayaan pada abad 20 M dan
pada saat itu muncul metode pembuatan batik dengan cara cap, dengan metode ini
pembuatan batik bisa menjadi lebih mudah dan cepat. Era 1970-an mulai muncul
teknik baru untuk membuat batik tanpa menggunakan lilin panas namun
menggunakan screen sablon, pada saat itu disebut sebagai printing. Namun,
kemunculan batik printing yang dinilai lebih murah dan proses produksinya
sangat cepat, pada saat itu mampu menyaingi pemasaran batik tulis dan batik cap.
Kemudian, satu persatu industri batik di Laweyan mengalami kebangkrutan.
Geertz (1960) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi 3 golongan yaitu
priyayi, santri dan abangan. Sementara Menurut Priyatmono dan Fabela (2004)
menyebutkan di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan
masyarakatnya, kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik
(orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama), dan priyayi
(bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan
batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan
roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase. Menurut Karl Marx
(1848) perbedaan kelompok sosial tersebut akan menciptakan konflik,
sebagaimana padangan Karl Marx yang dikutip Magnis dan Suseno (2005).
“... Akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas
yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Selama sistem ekonomi
berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi
berlangsung, niscaya akan terjadi pertentangan antara kedua kelas itu ...”.

Berbeda halnya dengan Probowati (2011) yang menyatakan bahwa
meskipun berbeda kelas antara juragan dan buruh, buruh sudah sadar akan
posisinya sehingga pola hubungan keduanya tetap terjalin baik, melalui modal
sosial. Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat
sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas
sosialnya. Putnam (1993) menyatakan bahwa modal sosial sebagai bagian dari
organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat
memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi.
Berdasarkan data dari Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan,
Kampoeng Batik Laweyan memiliki 72 perusahaan batik yang terbagi kedalam
tiga kelas perusahaan yaitu besar (large), menengah (medium), dan kecil (small),
namun saat ini jumlah perusahaan batik yang masih tetap eksistensi untuk memproduksi
batik hanya mencapai 40% dari seluruh jumlah perusahaan batik.

Oleh karena itu menjadi penting untuk diteliti Pengaruh modal Sosial
terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Kampoeng
Batik Laweyan.
5

http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/siteregnas/uploads/file_dokumen/44062112520140904-121701.pdf diakses pada tanggal 16 Februari 2016.

3

Perumusan Masalah
Kampoeng Batik Laweyan memiliki jumlah perusahaan batik sebanyak 72
perusahaan yang terbagi kedalam tiga kelas perusahaan batik yaitu perusahaan
batik kelas besar (large), kelas menengah (medium), dan kelas kecil (small).
Namun saat ini hanya mencapai 40% dari jumlah perusahaan tersebut yang tetap
bertahan untuk memproduksi batik. Tipe pola hubungan yang terjadi antara juragan
dan buruh pada aktivitas produksi batik yaitu tipe hubungan patron-klien, perusahaan
batik yang saat ini masih tetap bertahan menerapkan modal sosial untuk menjaga pola
hubungan tersebut. Berdasarkan hal tersebut sehingga muncul pertanyaan pertama

dalam penelitian ini yaitu bagaimana pengaruh modal sosial terhadap pola
hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan?.
Pola hubungan juragan dan buruh di Kampoeng Batik Laweyan yang
terjalin sejak lama, selama bertahun-tahun menyebabkan Kampoeng Batik
Laweyan hingga saat ini tetap bertahan, meskipun mengalami perubahan baik
secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Berdasarkan hal tersebut sehingga
muncul pertanyaan kedua yaitu bagaimana pengaruh pola hubungan juragan
dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan?.
Selain itu para pengusaha Kampoeng Batik Laweyan memegang teguh
kepercayaan dalam hal penyediaan bahan baku antar sesama juragan, sehingga
sampai saat ini Kampoeng Batik Laweyan masih ada. Berdasarkan hal tersebut
sehingga muncul pertanyaan ketiga yaitu bagaimana pengaruh modal sosial
terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng
Batik Laweyan?.
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan
buruh Kampoeng Batik Laweyan.
2. Menganalisis pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap
eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.
3. Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik
Laweyan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pihakpihak yang berminat maupun yang terkait kajian modal sosial terhadap eksistensi
pola hubungan di suatu wilayah. Secara spesifik dan terperinci manfaat yang
didapatkan oleh berbagai pihak.

4

1. Akademisi
Bagi akademisi, penelitian ini menjadi proses pembelajaran dalam memahami
fenomena sosial di lapangan. Selain itu diharapkan hasil dari penelitian ini dapat
menambah informasi dari perkembangan fenomena sosial mengenai pengaruh
modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan juragan dan buruh Kampoeng
Batik Laweyan. Penelitian ini juga dapat menjadi literatur bagi akademisi yang
ingin mengkaji lebih lanjut.
2. Pembuat kebijakan
Bagi pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat menambah rujukan
dalam menganalisis bagaimana seharusnya regulasi dibentuk dan dilaksanakan
untuk mengatur Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan cagar budaya, yang
dapat meningkatan pendapatan daerah dan menjaga eksistensi batik sebagai
warisan dunia yang dimiliki oleh Indonesia.
3. Masyarakat
Bagi masyarakat khususnya pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan mengenai pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan
juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan.

5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjaun Pustaka
Modal Sosial (Social Capital)
Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat
sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas
sosialnya. Istilah modal sosial (social capital) pertama kali digunakan oleh Robert
D. Putnam, ia mengartikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial
seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi
masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi (Putnam 1993). Menurut
Putnam (1993) modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial seperti
kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat
dengan mengfasilititasi tindakan terkoordinasi dan kerjasama yang saling
menguntungkan. Bourdie yang dikutip oleh Field (2003) mendefiniskan modal
sosial sebagai kumpulan sumberdaya yang dibutuhkan oleh individu atau
kelompok sehingga dapat memiliki jaringan hubungan institusional yang lebih
tahan lama agar saling mengakui dan menghargai. Sementara menurut Coleman
(1988) mengatakan bahwa modal sosial mencakup beberapa aspek pada struktur
sosial dan melekat pada struktur hubungan yang antara aktor dan diantara aktor.
Grootaert (2002) menyatakan bahwa kapital sosial merupakan salah satu
alternatif untuk mengatasi kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketersedian
kapital ekonomi ditingkat rumah tangga, bahwa menurutnya, kontribusi kapital
sosial sebanding dengan modal manusia. Artinya, kapital sosial yang bersifat non
fisik diyakini mampu menandingi peran kapital fisik. Selanjutnya Nasdian (2014)
menyatakan bahwa konsep modal sosial terbagi kedalam empat dimensi. Pertama
adalah integrasi (integration) yaitu ikatan yang kuat antar masyarakat, keluarga
dengan tetangga sekitarnya, contohnya ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan,
etnik, dan agama. Kedua, pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain
diluar komunitas asal, contohnya jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat
kewargaan yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama. Ketiga,
integritas organisasional yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk
menjalankan fungsinya termasuk kepastian hukum dan menegakkan peraturan.
Keempat, sinergi yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan
komunitas ( state-community relations).
Hasbullah (2006) mengatakan enam unsur pokok dalam modal sosial
berdasarkan berbagai pengertian modal sosial.
1. Participan in network (partisipan dalam jaringan)
2. Resciprocity (pembalasan)
3. Trust (percaya)
4. Social norms (norma sosial)
5. Values (nilai)

6

6. Proactive action (tindakan proaktif).
Sementara Coleman (1989) menekankan tiga bentuk modal sosial, yaitu
jaminan dan harapan, saluran informasi, dan norma-norma sosial. Harapan,
jaminan, dan tegaknya norma-norma sosial tersedia apabila suatu struktur sosial
memiliki tatanan dan aturan sosial yang terbuka. Uphoff (1999) membedakan
modal sosial kedalam dua dimensi komplementer, yaitu dimensi struktural dan
dimensi kognitif. Dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan dalam
organisasi sosial dalam jaringan dan hubungan interpersonal, serta prosedurprosedur dan preseden-preseden, yang didorong oleh faktor-faktor dinamis baik
vertikal maupun horizontal. Adapun dimensi kognitif bersumber dari normanorma, nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan yang hidup di dalam masyarakat
sipil oleh dorongan kepercayaan, solidaritas, kerjasama, dan persahabatan. Kedua
dimensi memiliki elemen-elemen umum yang mendorong tingkah laku bekerja
sama secara saling menguntungkan.
Tabel 1 Dua unsur komplemen modal sosial
Ciri
Sumber-Sumber dan
Manifestasi






Struktural
Peran dan Aturan
Jaringan dan
Hubungan
Interpersonal
Prosedur dan
Preseden






Kognitif
Norma-Norma
Nilai-Nilai
Sikap-Sikap
Keyakinan

Ranah



Organisasi Sosial



Budaya Sipil

Faktor-Faktor Dinamik



Hubungan
Vertikal
Hubungan
Horizontal



Kepercayaan,
Solidaritas
Kerjasama,
Keramahan



Elemen-Elemen Umum



Harapan-harapan yang mendorong tingkah laku
kerjasama dimana prosedur-prosedur bersifat saling
menguntungkan.

Sumber: Uphoff (1999).

Fukuyama (2010) mengungkapkan modal sosial secara sederhana
didefinisikan sebagai kumpulan nilai-nilai atau norma-norma informal secara
spontan terbagi diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan
terjadinya kerja sama diantara mereka. Fukuyama mengungkapkan bahwa mereka
harus mengarah kepada kerja sama dalam kelompok dan berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan tradisional seperti: kejujuran; memegang komitmen;
bertanggung jawab terhadap pekerjaan, dan norma saling timbal balik, Fukuyama
(2010) juga menjelaskan bahwa modal sosial mustahil dimiliki oleh individuindividu yang bergerak diatas kepentingannya sendiri.

7

Lawang (2004) membagi modal sosial kedalam bentuk kepercayaan, norma,
dan jaringan, sedangkan konsep-konsep tambahan terdiri dari tindakan sosial,
interaksi sosial dan sikap.
1. Kepercayaan (trust)
Hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang
menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial.
2. Jaringan (network)
Sumber pengetahuan yang menjadi dasar utama dalam pembentukan
kepercayaan strategik. Salah satu karakteristiknya adalah ikatan antar simpul
(orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial).
Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan, boleh dalam bentuk strategik,
boleh pula dalam bentuk moralistik. Terdapat jaringan antar personal, jaringan
antar individu dan institusi, serta jaringan antar institusi.
3. Norma
Norma itu muncul dari pertukaran saling menguntungkan, artinya kalau dalam
pertukaran itu keuntungan dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran
selanjutnya pasti tidak akan terjadi, karena itu norma disini muncul bukan
menyangkut hak dan kewajiban suatu kegiatan tertentu, yang melanggar
prinsip keadilan akan dikenakan sanksi yang keras juga.
Poli (2007) mengatakan ciri-ciri modal sosial yaitu sebagai berikut:
a. dimiliki bersama
b. dapat digunakan untuk pencapaian tujuan bersama
c. dapat bertambah dan dapat pula berkurang
d. kian dibagi-bagi kian bertambah
e. kian tidak dibagi-bagi, kian berkurang.
Lawang (2004) mengatakan norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan
kepercayaan. Jika struktur jaringan tersebut terbentuk karena pertukaran sosial
yang terjadi antara dua orang atau lebih.
1. Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya
jika perturan tersebut hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja,
pertukaran sosial yang selanjutnya pasti tidak akan terjadi, karena itu
norma yang muncul disini, bukan sekali jadi melalui suatu pertukaran
saja. Norma muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling
menguntungkan dan ini dipegang terus menjadi sebuah kewajiban sosial
yang harus terpelihara.
2. Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut keuntungan
yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar
norma ini yang berdampak pada berkurangnya keuntungan dikedua
belah pihak, akan diberi sanksi negatif yang keras.

8

3. Jaringan yang terbina menjamin keuntungan kedua belah pihak secara
merata, akan memunculkan norma keadilan dan akan melanggar prinsip
keadilan akan dikenakan sangsi yang keras juga.
Lawang (2004) mengungkapkan tentang jaringan yang digunakan dalam
teori kapital sosial.
1. Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan
media (hubungan sosial).
2. Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media
hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama.
3. Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar
simpul itu pasti kuat menahan beban bersama.
4. Kerja jejaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri,
malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jejaring itu tidak
bisa berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi
satu kesatuan yang kuat.
5. Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan, atau antara
orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan.
6. Ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga
bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan.
Mudiarta (2009) mengatakan bahwa dalam memahami konsep agribisnis
berbasis komunitas sebagai proses interaksi sosial dan proses kerja sekaligus,
yang didalamnya teraktualisasikan tiga jenis modal yaitu modal alamiah, modal
ekonomi, dan modal sosial (kapital sosial); harus memperhatikan jaringan sosial
yang ada. Sinergi ketiga jenis kapital itulah yang semestinya menjadi bahan
pertimbangan utama dalam perencanaan maupun operasionalisasi suatu kebijakan
pembangunan pertanian. Thobias et al. (2013) dalam penelitiannya menyebutkan
modal sosial yang dimiliki masyarakat seperti kepercayaan, gotong royong,
jaringan dan sikap, memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan
perilaku kewirausahaan, seperti meningkatnya kepercayaan masyarakat yang
dimanifestasikan dalam prilaku jujur, teratur dan kerja sama berdasarkan normanorma yang dianut bersama, dalam kegiatan kewirausahaan modal sosial juga
dapat berfungsi sebagai pengungkit berhasilnya kegiatan usaha, karena dalam
modal sosial terdapat nilai-nilai kerjasama.
Wijaya (2009) menyatakan bahwa juragan batik dan saudagar batik
membentuk modal ekonomi, sosial, dan budaya seraca turun temurun.
Akumumulasi modal ekonomi, jaringan sosial ekonomi, dan pengetahuan usaha
secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Akumulasi modal
ekonomi dimanfaatkan untuk mengembangkan pabrikan batik cap dan manufaktur
batik printing. Akumulasi modal sosial dimanfaatkan untuk mengembangkan
jaringan hubungan produksi dan hubungan dagang. Akumulasi pengetahuan dan
keterampilan usaha digunakan sebagai acuan pengambilan keputusan dalam setiap
menjalankan kegiatan usaha. Modal uang tunai yang digunakan untuk biaya
operasional produksi dan biaya operasional pemasaran sebesar 3 kali siklus
kerja, satu siklus kerja selama 1 bulan. Rumusan modal operasional usaha
sebanyak 3 kali berhubungan mekanisme perputaran modal uang tunai yang

9

dijalankan oleh juragan dan saudagar batik dalam mengembangkan usahanya.
Juragan dan saudagar batik mengembangkan mekanisme pengeluaran dan
pemasukan modal uang tunai sebagai berikut: pertama, juragan dan saudagar
mengeluarkan sejumlah uang tunai untuk biaya produksi atau perdagangan selama
satu bulan atau satu siklus kerja usaha. Kedua, juragan dan saudagar
mengembangkan strategi penjualan ngalap nyaur kepada sejumlah pelanggan
pedagang baik dari dalam dan luar kota. Para pelanggan pedagang mengambil
barang dagangan bulan kesatu membayar barang dagangan tersebut pada bulan
kedua. Ketiga, juragan batik dan saudagar batik memberi kelonggaran tambahan
waktu pembayaran pada bulan ketiga pada para pelanggan pedagang. Keempat,
juragan dan saudagar menyediakan sejumlah modal uang tunai untuk biaya
operasional produksi dan penjualan selama tiga siklus kerja atau tiga kali.
Pemahaman budaya Jawa, orang yang telah menerima bantuan dari mereka
akan merasa berhutang budi dan wajib mengembalikan bantuan itu dimasa depan
“ utang dhuwit iso dilunasi utang budi digowo mati”. Pengrajin pembatik dan
bakul batik merasa berhutang budi pada juragan dan saudagar batik. Pengrajin
pembatik dan bakul batik memiliki keyakinan bahwa mendapat order pekerjaan
dan pinjaman materi merupakan sesuatu yang berhubungan budi pekerti. Secara
tidak langsung, nilai budaya ini diintrumentalisasi oleh para juragan dan saudagar
batik kedalam hubungan produksi dan dagang untuk mendukung aktivitasnya.
Pengrajin pembatik dan bakul batik mengembangkan modal sosial saling percaya,
norma tolong menolong dan kerja sama dalam kelompok-kelompok kekerabatan,
ketetanggaan dan keagamaan di pedesaan. Mereka mengembangkan norma tolong
menolong dengan ungkapan tepo sliro. Artinya jika seseorang ingin ditolong maka
ia harus menolong orang lain. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Hannida
(2009).
“... Social capital merujuk keperekat (the glue) yang mengikat warga
masyarakat secara bersama, menjadi kumpulan dan jaringan sosial dan
institusi, norma-norma sosial (seperti karjasama) dan nilai-nilai atau atribut
sosial (khususnya trust). Singkatnya social capital adalah “a convenient
shorthand for what makes societies work” . Tidak seperti modal fisik dan
modal manusia, social capital akan meningkat atau sebeliknya [sic]
menurun. Social capital akan meningkat menakala [sic] digunakan dan
akan menurun tatkala tidak dipergunakan. Social capital pengusaha batik
Laweyan terlihat apabila dari beberapa pengusaha batik Laweyan ada yang
membutuhkan bahan mori, untuk itu ada yang membeli dengan mencicil
ataupun dibayar setelah barang laku. Social capital pengusaha batik
Laweyan memegang teguh kepercayaan (trust) yang telah diberikan oleh
pengusha lain sehingga bila membutuhkan bantuan bahan baku dapat
meminjam ke pengusaha lain ...”.

Eksistensi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensi berasal dari kata “ada”
yang berarti hadir, kelihatan, berwujud (Santoso 1995), dengan semikian
eksistensi atau keberadaan dapat diartikan sebagai hadirnya atau adanya seseuatu
dalam kehidupan. Eksistensi berasal dari kata “exist “ yang berarti hidup, dan
“ence” yang berarti hal, hasil, keadaan, keberadaan, kehidupan, semua yang ada
(Maulana 2011). Abidin (2007) mengatakan eksistensi adalah suatu proses yang
dinamis, suatu, menjadi atau mengada, ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu

10

sendiri yakni exsistere dan ex yang artinya keluar, sitere yang berarti membuat
berdiri. Apabila digabungkan exsistere diartikan apa yang ada, yang memiliki
aktualitas, dan apa yang dialami. Jadi, eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti,
melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya
kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensipotensinya.
Soren Kiegaard adalah pemikir pertama yang memperkenalkan istilah
“eksistensi” yang dipakai menurut pengertian sekarang dalam aliran
eksistensialisme. “Esensi” berarti yang ada, maka “eksistensi” dimengerti sebagai
yang berada. Konsep eksistensi menunjuk pada sesuatu yang hadir secara konkrit,
memiliki efek, jelas, pasti, kelihatan dan yang dilakukan sesuatu. Istilah eksistensi
pada manusia hanya diterapkan pada individu-individu konkrit. Hadiwijono
(2005) menyatakan kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang
diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Kata eksistensi diartikan
bahwa manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar darinya.
Maziyah (2014) menyebutkan eksistensi dapat dilihat dari beberapa
indikator sebagai berikut:
1. keberadaan, nyata
2. mengalami perkembangan
3. preferensi konsumen
4. harga
5. fleksibilitas mengikuti trend atau mode pakaian
6. hubungan personal
7. sinergi pasar tradisional dan modern.
Pola Hubungan Patron-Klien
Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng
Batik Laweyan terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan
sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya.
Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif
stabil dan lama diantara para pelakunya. Demikian juga yang berlangsung di
Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan buruh
(sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula
berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (buruh) yang besar
terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam
kurun waktu yang lama dan terus menerus). Aktivitas hubungan yang terjadi
antara juragan dan buruh batik membentuk suatu ruang sosial tersendiri sebagai
wadah komunal.
Hubungan banyak benang diadik vertikal menyangkut seseorang yang
mempunyai kedudukan sosial, politik atau ekonomi yang lebih tinggi, dalam
hubungan vertikal dengan seseorang yang kedudukan sosial, politik atau ekonomi
lebih rendah, karena sifatnya yang bercorak banyak benang, maka kedua pihak
harus dapat saling mempercayai (Purnamasari 2002). Tidak ada sanksi formal
dalam memaksakan pelaksanaan kontrak, hubungan kepercayaan yang
menyangkut saling pengertian mengenai motif dan perilaku masing-masing tidak
tercipta seketika melainkan tumbuh dalam waktu lama dan teruji (Wolf 1983).
Scott (1994) menyampaikan pengertian hubungan patron-klien sebagai suatu
ikatan diadik (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan instrumental.

11

Hubungan individu dengan status sosio ekonomi yang lebih tinggi (patron)
menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan
atau keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Pada
gilirannya klien membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan
termasuk jasa pribadi kepada patron. Sifat dari hubungan ini didasarkan
ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai suatu sistem
pertukaran pribadi.
Wolf (1983) mengatakan bahwa dalam hubungan patron-klien, seorang
patron menawarkan bantuan ekonomi dan perlindungan bagi klien, terhadap
pemerasan legal atau tidak legal dari pihak penguasa. Klien memberikan imbalan
berupa barang-barang berharga yang tidak berwujud, mendukung sang patron
dengan suaranya, informasi tentang komplotan dan intrik yang dilakukan oleh
pihak lain. Hubungan juga menentukan bahwa klien tidak boleh mempunyai
patron lain selain patron yang memberikan barang dan kredit kepadanya.
Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng
Batik Laweyan, terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan
sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya.
Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif
stabil dan lama diantara para pelakunya, demikian juga yang berlangsung di
Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan
pekerja batik (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak
jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (pekerja)
yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan
kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus).
Rustinsyah (2011) dalam penelitiannya menyebutkan upaya-upaya patron
dalam menjaga hubungan baik dengan klien.
“... Pertama, menunjukan kedermawanan terhadap kliennya. Kedermawan
seorang majikan sebagai patron dapat membuat klien kerasan bekerja, dan
merasa ada hutan budi. Misalnya, majikan tidak pelit dengan memberikan
hadiah pada saat lebaran dan memberikan pinjaman saat kliennya
membutuhkan karena tertimpa musibah. Kedermawanan para petani kaya
dan maju di desa ditunjukan ketika mereka memberikan sumbangan dalam
kegiatan upacara bersih desa, perayaan hari kemerdekaan, pembangunan
desa, dan pemberian sumbangan kepada tetangga yang kurang mampu.
Petani kaya dan maju diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
besar atau sebagai donatur pada perayaan-perayaan hari besar dan kegiatan
pembangunan desa. Jika ternyata petani maju tidak memberikan
sumbangan yang pantas maka menjadi pergunjingan antar warga.
Pergunjingan antar warga desa dan panitia tentang dana yang terkumpul
untuk suatu kegiatan bisa terjadi dimana saja, saat bertemu dalam acara
perayaan, bertemu di toko ketika membeli sarana produksi pertanian, dan
sebagainya. Kedua, patron dapat memberikan jaminan hidup keluarganya
dengan cara mempekerjakan klien sepanjang tahun. Umumnya patron
mempunyai kegiatan ekonomi ganda di sektor pertanian dan di luarr [sic]
pertanian agar dapat mempekerjakan kliennya sepanjang tahun ...”.

Menurut Ahimsa (1996) mengungkapkan patron-klien adalah hubungan
yang terjadi antara individu-individu yang berbeda status sosial ekonominya yaitu
pihak yang satu lebih banyak memberi dan pihak yang lain lebih banyak

12

menerima, diantara pihak yang satu (patron) dan pihak lain (klien) sama-sama
saling membutuhkan, agar hubungan patron-klien dapat berjalan dengan baik,
maka diperlukan unsur didalamnya, yaitu: pertama, yang telah diberikan oleh satu
pihak adalah sesuatu yang berharga. Pemberian itu berupa barang ataupun jasa.
Kedua, hubungan timbal balik yang artinya dengan pemberian itu pihak penerima
merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya. Ahimsa (1998) menyebutkan
bahwa jaringan atau hubungan patron-klien terdapat tiga pihak yang berbeda
kedudukan yaitu juragan, pengrajin mandiri dan pengrajin upahan. Juragan pada
posisi yang lebih tinggi berdasarkan sosial ekonomi yang dimilikinya. Hubungan
yang terbentuk antara ketiganya yang berbeda status dan kedudukan sosial
ekonominya dan pertukaran diantara mereka mengarah pada hubungan patronase
atau hubungan patron-klien. Strategi yang dilakukan juragan untuk
mempertahankan hubungan kerja dengan anggotanya adalah pertama, bertindak
sebagai modal dan memberi dorongan. Kedua, berusaha mencari upah maupun
membayar hasil kerja tepat waktu. Ketiga, memberi pinjaman yang dibutuhkan
oleh anggota.
Hubungan buruh majikan itu sebagai keutuhan dan kesatuan, masingmasing orang dalam perusahaan dianggap sebagai teman baik dan anggota
keluarga. Dilihat dari sikap mereka secara lahir, para saudagar Laweyan memiliki
kebanggaan tersendiri gelar yang diperoleh dari lingkungan mereka sendiri.
Penelitian Probowati (2011) menyebutkan dalam komunitas pengusaha batik di
Laweyan, menunjukan suatu ciri sosial yang membentuk sistem stratifikasi antara
pengusaha besar dengan pengusaha kecil, antara buruh dan majikan dan antara
buruh tetap dengan buruh harian. Struktur kekuasaan majikan berjalan paralel
dengan struktur fungsionalnya ibu rumah tangga. Sebaliknya, tenaga buruh
sebagai tenaga bawahan di perusahaan sekaligus akan berfungsi sebagai pembantu
rumah tangga majikan. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan disebut
keluarga majikan, secara turun temurun terdiri dari mbok mase sepuh (nenek),
mas nganten sepuh (kakek), biasanya mereka orang tua dari keluarga ibu,
selanjutnya adalah mbok mase (ibu rumah tangga), mas nganten (ayah) sebagai
kepala rumah tangga, mas rara (anak perempuan) dan mas nganten (anak lakilaki) atau sering dipanggil gus.
Istilah patron-klien yang memiliki perbedaan dengan konsep hubunganhubungan sosial lainnya. Hubungan timbal balik antara patron dan klien yang
tidak seimbang dalam hal benda dan jasa yang dipertukarkan, merupakan ciri dari
perbedaan tersebut. Hubungan patron-klien disebabkan oleh adanya unsur-unsur
sebagai berikut:
1. interaksi tatap muka diantara para pelaku yang bersangkutan
2. adanya pertukaran benda dan jasa yang relatif tetap berlangsung diantara
para pelaku
3. adanya ketidaksamaan dan ketidakseimbangan dalam pertukaran benda
dan jasa tersebut
4. ketidakseimbangan tersebut menghasilkan kategori patron dan klien yang
memperlihatkan ciri-ciri ketergantungan dan ikatan yang bersifat meluas
dan melentur diantara patron dan kliennya.

13

Adapun ciri-ciri hubungan patron-klien menurut Scott (1972):
1. terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran, terjadi karena
patron berada dalam posisi yang lebih kuat. Lebih tinggi atau lebih kaya
daripada kliennya. Posisi ini patron mampu memberi lebih banyak kepada
si klien daripada sebaliknya, sehingga klien wajib membalasnya. Namun
rasa wajib membas hanya bertahan selama pemberian tersebut masih
dirasakan berharga (memenuhi kebutuhan pokok) dan jika pertukaran
didalamnya belum mecapai titik seimbang
2. bersifat tatap muka (face to face character) dalam relasi patron-klien
menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat didalamnya. Seorang patron
biasanya sangat mengenal klien nya, demikian pula sebaliknya sehingga
membuat relasi diantara mereka bertambah kuat dan dekat. Adanya
hubungan timbal balik antara kedua belah pihak membangkitkan rasa
saling percaya untuk menjaga pihak lain, walaupun hubungan ini bersifat
“Instrumental” (kedua pihak masih memperhitungkan untung rugi) namun
tidak berarti relasi tersebut bersifat netral atau tidak melibatkan faktor
perasaan sama sekali
3. bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility) yang dimiliki oleh hubungan
patron-klien menyebabkan dalam relasi seseorang patron tidak saja
dikaitkan dengan hubungan sewa menyewa tanah (umumya menjadi dasar
hubungan patronase) dengan klien nya, tetapi juga oleh hubungan sebagai
sesama tetangga, sahabat, dan sebagainya. Bantuan yang diminta seorang
patron kepada klien atau diperoleh klien dari patron nya digunakan untuk
berbagai macam keperluan sekaligus merupakan semacam jaminan sosial
bagi mereka, dengan demikian relasi patron-klien memberikan rasa
tenteram pada pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Ahimsa (1996) mengatakan bahwa hubungan patron-klien diperlukan
syarat tertentu antara lain sebagai berikut:
1. adannya sesuatu yang diberikan satu pihak, baik berupa uang atau jasa,
yang merupakan sesuatu yang berharga bagi pihak lain
2. terjadi transaksi pembelian antara pihak satu dengan lainnya maka yang
menerima mempunyai kewajiban untuk membalas
3. dalam hubungan tersebut terdapat norma-norma yang mengatur, misalnya
apabila seseorang telah menerima sesuatu dan tidak tahu membalas, maka
dianggap ingkar janji.
Sari (2014) menyatakan hubungan patron-klien dapat dilihat dari:
1. hubungan harapan
2. patron
3. klien
4. resiprositas
5. keuntungan.
Penelitian Probowati (2011) menyebutkan bahwa nilai pertolonganharus
bisa diukur menurut pertimbangan pinjam meminjam sehingga pada saatnya yang
tepat mereka akan meminta kembali nilai pertolongan itu. Prinsip ini nampaknya

14

sangat rasionalitas, karena segala bentuk hubungan sosial antar warga masyarakat
senantiasa diukur menurut kriteria untung dan rugi.
Kerangka Pemikiran
Geertz (1960) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi 3 golongan yaitu
priyayi, santri, dan abangan. Sementara Menurut Priyatmono dikutip oleh
Pratomo et al. (2006), di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam
kehidupan masyarakatnya. Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang),
wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama), dan
priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau
juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam
menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase.
Menurut Kal Marx (1848) perbedaan kelompok sosial tersebut akan menciptakan
konflik, sebagaimana padangan Karl Marx yang dikutip Magniz dan Suseno
(2005).
“... Akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas
yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Selama sistem ekonomi
berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses
produksi berlangsung, niscaya akan terjadi pertentangan antara kedua
kelas itu ...”.
Berbeda halnya dengan penelitian Probowati (2011) meskipun berbeda
kelas antara juragan dan buruh, buruh sudah sadar akan posisinya sehingga pola
hubungan keduanya tetap terjalin baik melalui modal sosial. Modal sosial (social
capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan
kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya.
Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng
Batik Laweyan, terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan
sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya.
Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif
stabil dan lama diantara para pelakunya, demikian juga yang berlangsung di
Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan
pekerja batik (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak
jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (pekerja)
yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan
kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus).
Adapun ciri-ciri hubungan patron-klien menurut Scott (1972).
1. Terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran, terjadi karena
patron berada dalam posisi yang lebih kuat. Lebih tinggi atau lebih kaya
daripada kliennya. Posisi ini patron mampu memberi lebih banyak kepada
si klien daripada sebaliknya, sehingga klien wajib membalasnya. Namun
rasa wajib membas hanya bertahan selama pemberian tersebut masih
dirasakan berharga (memenuhi kebutuhan pokok) dan jika pertukaran
didalamnya belum mecapai titik seimbang.
2. Bersifat tatap muka (face to face character) dalam relasi patron klien
menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat didalamnya. Seorang patron
biasanya sangat mengenal klien-nya, demikian pula sebaliknya sehingga

15

membuat relasi diantara mereka bertambah kuat dan dekat. Adanya
hubungan timbal balik antara kedua belah pihak membangkitkan rasa
saling percaya untuk menjaga pihak lain, walaupun hubungan ini bersifat
“Instrumental” (kedua pihak masih memperhitungkan untung-rugi) namun
tidak berarti relasi tersebut bersifat netral atau tidak melibatkan faktor
perasaan sama sekali.
3. Bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility) yang dimiliki oleh hubungan
patron-klien menyebabkan dalam relasi seseorang patron tidak saja
dikaitkan dengan hubungan sewa-menyewa tanah (umunya menjadi dasar
hubungan patronase) dengan klien-nya, tetapi juga oleh hubungan sebagai
sesama tetangga, sahabat, dan sebagainya. Bantuan yang diminta seorang
patron kepada kliennya atau diperoleh klien dari patron-nya digunakan
untuk berbagai macam keperluan sekaligus merupakan semacam jaminan
sosial bagi mereka, dengan demikian relasi patron-klien memberikan rasa
tenteram pada pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Sari (2014) menyatakan hubungan patron-klien dapat dilihat dari:
1. hubungan harapan
2. patron
3. klien
4. resiprositas
5. keuntungan.
Majah (2015) mengatakan sejak ditetapkannya sebagai kawasan wisata,
Laweyan menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh wisatawan yang
berkunjung ke kota Surakarta, dalam bidang kebudayaan mulai dibukanya
Laweyan sebagai kawasan wisata telah memberikan peluang bagi masyarakat
Laweyan untuk melestarikan tradisi tradisionalnya dengan cara memperkenalkan
kepada wisatawan. Oleh karena itu, Kampoeng Batik Laweyan ini perlu dijaga
eksistensinya. Maziyah (2014) dalam penelitiannya menyebutkan eksistensi dapat
dilihat dari:
1. keberadaan, nyata
2. mengalami perkembangan
3. preferensi konsumen
4. harga
5. fleksibilitas mengikuti trend atau mode pakaian
6. hubungan personal
7. sinergi pasar tradisional dan modern.

16

Tingkat Modal Sosial (X1)
1. Jaringan Sosial
2. Nilai dan Norma
3. Kepercayaan

Tingkat Eksistensi (Z1)