Formulasi Pupuk Lepas Terkendali Menggunakan Pelapisan Akrilik dan Kitosan serta Aplikasinya pada Pembibitan Acacia crassicarpa

FORMULASI PUPUK LEPAS TERKENDALI
MENGGUNAKAN PELAPISAN AKRILIK DAN KITOSAN
SERTA APLIKASINYA PADA PEMBIBITAN Acacia crassicarpa

LILI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Formulasi Pupuk Lepas
Terkendali Menggunakan Pelapisan Akrilik dan Kitosan serta Aplikasinya pada
Pembibitan Acacia crassicarpa adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014

Lili Handayani
NRP A152110031

RINGKASAN
LILI HANDAYANI. Formulasi Pupuk Lambat Terkendali Menggunakan
Pelapisan Akrilik dan Kitosan serta Aplikasinya pada Pembibitan Acacia
crassicarpa. Dibimbing oleh GUNAWAN DJAJAKIRANA, DARMAWAN, dan
CANECIO PERALTA MUNOZ.
Masalah rendahnya efisiensi pupuk dalam pemupukan dapat diatasi dengan
mengendalikan kelarutan pupuk yaitu membuat pupuk tersebut dapat melepaskan
unsur hara secara perlahan, sebagaimana dikenal sebagai pupuk lepas terkendali
(slow release fertilizer; SRF). Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan
dan membuat SRF dengan teknik pelapisan (coating) menggunakan akrilik dan
kitosan sebagai bahan coating serta mengetahui daya tahan dan laju pelepasannya.
Hasil SRF yang didapatkan diaplikasikan untuk pembibitan Acacia crassicarpa.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ruang lingkup pengambilan unsur
hara pada pembibitan tersebut kecil, sehingga membutuhkan pupuk yang dapat

diaplikasikan secara serentak namun dapat menyediakan unsur hara secara
perlahan.
Formulasi pupuk dilakukan dengan menggunakan senyawa kimia sumber
hara makro (N, P, K) dan sumber hara mikro (Fe, Cu, Zn) serta pembuatannya
dengan metode pencampuran (blending) dan teknik granulasi. Proses granulasi
pupuk menghasilkan 74 % pupuk granul dengan diameter 2-5 mm. Hasil analisis
menunjukkan bahwa SRF (pembuatan pupuk dengan coating akrilik dan kitosan)
lebih tahan terhadap tumbukan air dibandingkan dengan non-SRF. Selain itu, uji
pengocokan dengan akuades dan asam sitrat 2 % serta uji perkolasi dengan
akuades menunjukkan bahwa SRF memiliki kelarutan unsur hara lebih rendah
dibandingkan non-SRF. Uji kelarutan dengan asam sitrat 2 % menunjukkan
bahwa SRF coating akrilik lebih tahan dibandingkan dengan coating kitosan, hal
ini mengindikasikan bahwa coating akrilik lebih sesuai untuk tanah masam. Hasil
SRF yang diformulasikan dengan penambahan kitosan, sebelum blending dengan
unsur makro, granulasi, dan coating memiliki kelarutan yang lebih rendah
dibandingkan SRF tanpa penambahan kitosan saat blending unsur mikro.
Penambahan SRF dan non-SRF pada pembibitan A. crassicarpa
menunjukkan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang, bobot
kering, biomassa bawah, dan root/shoot ratio dibanding kontrol dan pemupukan
standar. Penambahan SRF tidak berbeda nyata dengan non-SRF, namun perlakuan

SRF menunjukkan nilai yang cenderung lebih besar untuk tiap parameter
pengamatan.
Kata kunci: akrilik, kitosan, slow release fertilizer

SUMMARY
LILI HANDAYANI. Slow Release Fertilizer Formulation using Acrylic and
Chitosan Coating and Its Aplication on the Nursery of Acacia crassicarpa.
Supervised by GUNAWAN DJAJAKIRANA, DARMAWAN, and CANECIO
PERALTA MUNOZ.
Low efficiency problem in fertilizer application can be overcome by
controlling the fertilizer solubility, i. e. by making fertilizer that can release
nutrient slowly, that is known as slow release fertilizer (SRF). This research was
aimed to formulate SRF by coating technuique using acrylic and chitosan as the
coating materials and to obtain information about its resistance and nutrient
releasing rate. The formulated SRFs were applied to Acacia crassicarpa nursery.
The application was based on the fact that the nursery medium has limited
nutrient uptake space and hence need fertilizer that can be applied once but can
provide the nutrients slowly.
The results showed that formulation of fertilizer containing N, P, K, Fe,
Cu, and Zn with granulation technique has resulted in 74 % of granules with 2-5

mm in diameter. The SRFs (formulated fertilizer with acrylic or chitosan) were
more resistant to water collision than of the non-SRF. Furthermore, shaking test
with distilled water or 2 % citric acid or percolation test with destilled water
show that the SRFs has lower solubility of nutrient than that of the non-SRFs. The
results of shaking test with 2 % citric acid showed that acrylic coating was more
resistant than the citric acid, indicating that this coating will be more suitable for
acidic soils. The SRFs formulated with addition of chitosan during blending of
micronutrients prior to blending with macronutrients, granulation, and final
coating have lower nutrient solubility than those of the SRFs without the precoating chitosan addition.
Application of fertilizer in nursery of A. crassicarpa showed that addition
the SRFs and non-SRFs has significant effect on height, diameter, dry weight, root
biomass, and root/shoot ratio than that of the control and standard fertilizer. The
SRFs have no significant different effects from the non-SRF, however the SRFs
addition tend to show higher values in all parameters.
Key words: acrylic, chitosan, slow release fertilizer.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

FORMULASI PUPUK LEPAS TERKENDALI
MENGGUNAKAN PELAPISAN AKRILIK DAN KITOSAN
SERTA APLIKASINYA PADA PEMBIBITAN Acacia crassicarpa

LILI HANDAYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agroteknologi Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi : Dr Ir Basuki Sumawinata, M.Agr.

Judul Tesis : Formulasi Pupuk Lepas Terkendali Menggunakan Pelapisan Akrilik
dan Kitosan serta Aplikasinya pada Pembibitan Acacia crassicarpa
Nama
: Lili Handayani
NIM
: A152110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Gunawan Djajakirana, M.Sc.
Ketua

Dr Ir Darmawan, M.Sc.
Anggota


Canecio Peralta Munoz, BSF, M.Sc.
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agroteknologi Tanah

Dr Ir Suwardi, M.Sc.

Tanggal Ujian:

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas

terselesaikannya karya ilmiah ini. Penelitian ini telah dilaksanakan selama 10
bulan oleh peneliti. Tema penelitian ini adalah memformulasikan pupuk lepas
terkendali menggunakan pelapisan akrilik dan kitosan, dengan tujuan untuk
mengontrol difusi unsur hara sehingga lebih efisien diambil oleh tanaman.
Selanjutnya, produk diaplikasikan pada pembibitan Acacia crassicarpa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gunawan Djajakirana, M.Sc.,
Dr Ir Darmawan, M.Sc., dan Canecio Peralta Munoz, BSF, M.Sc. selaku
pembimbing yang telah memberikan saran pada penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini serta Dr Ir Basuki Sumawinata, M.Agr. selaku dosen penguji yang telah
menguji dan memberikan saran pada penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga atas segala dukungan,
doa, dan kasih sayangnya.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat
memberikan kontribusi positif bagi kalangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang pertanian.

Bogor, September 2014

Lili Handayani


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii
PENDAHULUAN ...........................................................................................
Latar Belakang .........................................................................................
Tujuan Penelitian ......................................................................................

1
1
3

BAHAN DAN METODE ..............................................................................
Waktu dan Tempat ...................................................................................
Bahan dan Alat .........................................................................................
Metode Penelitian ....................................................................................
Pembuatan kitosan ..........................................................................
Formulasi SRF ................................................................................
Pengujian daya tahan dan pelepasan unsur hara pada SRF ............

Aplikasi SRF pada pembibitan A. crassicarpa ...............................

3
3
3
4
4
4
5
6

HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
Karakteristik Pupuk .................................................................................
Ukuran butiran hasil granulasi ........................................................
Karakteristik fisik ...........................................................................
Kandungan hara ..............................................................................
Pelepasan Unsur Hara pada SRF .............................................................
Daya tahan terhadap tetesan air ......................................................
Pelepasan unsur hara makro (N, P, dan K) melalui pengocokan
dengan akuades dan asam sitrat 2 % ..............................................

Pelepasan unsur hara mikro (Fe, Cu, dan Zn) melalui pengocokan
dengan akuades dan asam sitrat 2 % ..............................................
Pelepasan unsur hara makro (N, P, dan K) melalui perkolasi ........
Pengaruh Pupuk terhadap Pertumbuhan Bibit A. crassicarpa .................
Tinggi tanaman ...............................................................................
Diameter batang ..............................................................................
Bobot kering ...................................................................................
Biomassa bawah dan root/shoot ratio ............................................

7
7
8
8
9
9
9

13
14
18
18
21
23
24

KESIMPULAN ..............................................................................................

26

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

26

LAMPIRAN ...................................................................................................

28

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................

40

10

DAFTAR GAMBAR
Gambar

Halaman

Teks
1. Perbedaan karakteristik SRF coating akrilik dan kitosan pada (a) PM1
dan (b) PM2 ..............................................................................................
2. (a) Uji daya tahan pupuk dan (b) uji perkolasi .........................................
3. Persentase perbandingan ukuran hasil granulasi pupuk ...........................
4. Hasil formulasi pupuk non-SRF (PM1, PM2) dan SRF (PM1A, PM1K)
PM2A, PM2K) .........................................................................................
5. Daya tahan pupuk terhadap tetesan air hingga pupuk pecah ...................
6. Hara N terlarut (a) akuades dan (b) asam sitrat 2 % ................................
7. Hara P terlarut (a) akuades dan (b) asam sitrat 2 % .................................
8. Hara K terlarut (a) akuades dan (b) asam sitrat 2 % ................................
9. Hara N tercuci pada uji perkolasi (a) PM1, PM1A, PM1K dan (b) PM2,
PM2A, PM2K ..........................................................................................
10. Hara P tercuci pada uji perkolasi (a) PM1, PM1A, PM1K dan (b) PM2,
PM2A, PM2K ...........................................................................................
11. Hara K tercuci pada uji perkolasi (a) PM1, PM1A, PM1K dan (b) PM2,
PM2A, PM2K ...........................................................................................
12. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
tinggi tanaman pada dosis 50 % ...............................................................
13. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
tinggi tanaman pada dosis 100 % .............................................................
14. Pengaruh pemberian PM1, PM1A, dan PM1K terhadap pertumbuhan
bibit A. crassicarpa dosis 50 % pada 0-12 MST ......................................
15. Pengaruh pemberian PM2, PM2A, dan PM2K terhadap pertumbuhan
bibit A. crassicarpa dosis 50 % pada 0-12 MST ......................................
16. Pengaruh pemberian PM1, PM1A, dan PM1K terhadap pertumbuhan
bibit A. crassicarpa dosis 100 % pada 0-12 MST ....................................
17. Pengaruh pemberian PM2, PM2A, dan PM2K terhadap pertumbuhan
bibit A. crassicarpa dosis 100 % pada 0-12 MST ....................................
18. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
diameter batang pada dosis 50 % .............................................................
19. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
diameter batang pada dosis 100 % ...........................................................
20. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
bobot kering pada dosis 50 % ..................................................................
21. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
diameter batang pada dosis 100 % ...........................................................
22. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
Root/shoot ratio pada dosis 50 % .............................................................
23. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
Root/shoot ratio pada dosis 100 % ...........................................................

5
6
8
8
9
10
11
12
15
16
17
18
19
20
20
21
21
22
22
23
24
25
25

DAFTAR TABEL
Tabel
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Halaman

Teks
Bahan baku sumber hara pupuk makro dan mikro ...................................
Dosis pupuk yang diberikan pada media tanam .......................................
Hasil analisis hara pupuk ..........................................................................
Kadar Fe hasil ekstraksi pupuk dengan akuades ......................................
Kadar Cu hasil ekstraksi pupuk dengan akuades ......................................
Kadar Zn hasil ekstraksi pupuk dengan akuades ......................................
Kadar Fe hasil ekstraksi pupuk dengan asam sitrat 2 % ...........................
Kadar Cu hasil ekstraksi pupuk dengan asam sitrat 2 % ..........................
Kadar Zn hasil ekstraksi pupuk dengan asam sitrat 2 % ..........................
Biomassa dan persentase biomassa bawah ...............................................

4
6
9
13
13
13
14
14
14
24

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Halaman
Teks
(a) Skema tahapan pembuatan kitosan dan (b) struktur kimia kitosan ...... 28
Gambar tahap formulasi pupuk majemuk (PM) ....................................... 29
Gambar tahap coating pupuk .................................................................... 30
Gambar uji kelarutan pupuk dengan metode perkolasi ............................ 30
Gambar bibit A. crassicarpa 5 MST (K, STD, PM1, PM1A, dan PMIK)
pada dosis 50% ........................................................................................ 31
Gambar bibit A. crassicarpa 5 MST (K, STD, PM2, PM2A, dan PM2K)
pada dosis 50% ........................................................................................ 31
Gambar bibit A. crassicarpa 5 MST (K, STD, PM1, PM1A, dan PMIK)
pada dosis 100% ...................................................................................... 32
Gambar bibit A. crassicarpa 5 MST (K, STD, PM2, PM2A, dan PM2K)
pada dosis 100% ...................................................................................... 32
Gambar bibit A. crassicarpa 12 MST pada dosis 50 % ........................... 33
Gambar bibit A. crassicarpa 12 MST pada dosis 100 % ......................... 33
Pertumbuhan tinggi tanaman (cm) tiap satuan MST ................................ 34
Hasil pengukuran diameter batang, bobot kering (daun, batang, akar),
dan root/shoot ratio ................................................................................... 36
Tabel ANOVA pengaruh pupuk terhadap berbagai parameter
pengamatan bibit A. crassicarpa .............................................................. 38

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi pupuk dan praktek pemupukan yang terus
berlangsung belum sepenuhnya dapat mengatasi masalah rendahnya efisiensi
pemupukan. Unsur hara dalam pupuk seperti nitrogen mudah menguap dan
tercuci, kalium mudah tercuci, dan fosfor mudah terfiksasi menyebabkan tanaman
tidak mudah mengambil secara optimal unsur hara yang tersedia. Hal ini antara
lain dikemukakan oleh Tomaszewka dan Jarosiewicz (2002), yaitu bahwa jumlah
unsur hara dari pupuk yang hilang ke lingkungan dan tidak dapat diserap oleh
tanaman ialah sekitar 40-70 % untuk nitrogen, 80-90 % untuk fosfor, dan 50–70
% untuk kalium. Upaya pemupukan secara bertahap yaitu pupuk diberikan
beberapa kali untuk meningkatkan efisiensi dinilai tidak ekonomis karena antara
lain menyebabkan biaya tenaga kerja menjadi lebih besar.
Prinsip pemberian unsur hara secara bertahap telah diadopsi dalam
pengembangan formulasi pupuk, yaitu yang dikenal dengan pupuk lepas
terkendali atau Slow Release Fertilizer (SRF). Pupuk dengan formulasi SRF ini
mampu menyediakan hara secara lebih efisien, yaitu unsur hara terlepas dan
tersedia secara perlahan sehingga lebih berpotensi diserap tanaman. Selain itu
prinsip SRF ini juga sangat sejalan dengan upaya mengatasi masalah pemupukan
yang lain, yaitu menyangkut pemupukan unsur mikro yang dapat bersifat toksik
jika diberikan dalam jumlah besar dan serentak. Prinsip memperlambat pelepasan
unsur hara pada SRF ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti
mengendalikan kelarutan bahan di dalam air (melalui pelapisan semipermeabel,
oklusi, bahan protein, polimer, atau dalam bentuk senyawa kimia lainnya),
hidrolisis lambat, dan sebagainya (UNIDO dan IFDC 1998).
Penelitian mengenai formulasi dan aplikasi SRF telah cukup berkembang
di banyak negara. Chatzsoudis dan Rigas (1998) menggunakan polyalkene yang
diberi talcum powder dan metal oxide sebagai campuran pada pupuk agar menjadi
lambat tersedia. Tomaszewska dan Jarosiewicz (2002) membuat campuran
polysulfone sebagai bahan pelapis pupuk NPK granular. Fernandez et al. (2004)
menggunakan bentonit aktif dalam pembuatan SRF yang terformulasikan dari
atrazine dalam alginat, dibuat berbentuk butiran untuk memperoleh sifat pupuk
lambat tersedia. Penelitian mengenai SRF masih jarang dilakukan di Indonesia.
Beberapa penelitian di Indonesia fokus pada penggunaan berbagai bahan
tambahan seperti arang aktif, bentonit, dan zeolit sebagai campuran atau pelapis
pupuk agar menjadi SRF. Styana (2010) memanfaatkan campuran zeolit dan pati
sebagai coating untuk meningkatkan keterikatan nitrogen dan kekuatan pada
pupuk granul. Rosadi (2010) memanfaatkan zeolit dan bentonit sebagai bahan
coating pada pembuatan pupuk granul SRF.
Bahan-bahan yang berpotensi untuk dijadikan pelapisan (coating) pada
pembuatan SRF dan belum banyak diteliti antara lain ialah akrilik dan kitosan.
Akrilik merupakan suatu senyawa yang terbuat dari minyak bumi dan gas bumi.
Selain itu, akrilik dapat berasal dari senyawa sintesis bahan organik. Kitosan
adalah glukosamin nomor dua terbanyak setelah selulosa yang bersifat nontoksik,
biokompatibel, dan biodegradabel sehingga aman digunakan (Huacai et al. 2006).
Sumber kitosan terbesar dapat diperoleh dari limbah udang. Di Indonesia,

2

sebanyak 80-90 % ekspor udang dilakukan dalam bentuk udang beku tanpa kepala
dan kulit sehingga limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu mencapai 50-60 %
dari bobot udang utuh (Sugita et al. 2009).
Suatu produk SRF akan dapat diterima jika bersifat ramah lingkungan dan
akan laku di pasaran jika berdasarkan pengujian terbukti dapat meningkatkan
efisiensi pemupukan, yang artinya laju pelepasan haranya sesuai dengan yang
diinginkan jika diaplikasikan pada tanaman. Salah satu tanaman yang dalam
proses pertumbuhannya membutuhkan SRF dikarenakan ruang lingkup
pengambilan unsur hara yang kecil adalah pembibitan tanaman kehutanan. SRF
telah berhasil dimanfaatkan pada beberapa pembibitan tanaman kehutanan. Oliet
et al. (2004) memanfaatkan SRF pada pembibitan Pinus halepensis dengan
root/shoot ratio mencapai 3.3 (b/b) dan efisiensi penyerapan N sebesar 40 %;
Girardi et al. (2005) meningkatkan pertumbuhan vegetatif pada pembibitan Citrus
sinensis; Fernandez-Escobar et al. (2004) memberikan pupuk N lambat tersedia
untuk meningkatkan pembibitan Olea europaea L.; dan Walker dan Huntt (1999)
memberikan SRF NPK pada Pinus monophylla.
Selain beberapa pembibitan tanaman tersebut, tanaman kehutanan yang
bernilai ekonomi tinggi dan saat ini telah dikembangkan sebagai tanaman hutan
industri ialah Acacia crassicarpa. Tanaman A. crassicarpa merupakan salah satu
jenis akasia tropik dan termasuk dalam famili Leguminosae, subfamili
Mimosoidea (Turnbull 1986). Menurut Harwood et al. (1993) A. crassicarpa
termasuk jenis akasia yang cepat tumbuh, pertumbuhannya lebih dari 5 m setelah
16 bulan. Dari hasil uji jenis 12 tanaman cepat tumbuh pada umur 14 bulan
setelah penanaman, penambahan tinggi dan diameter A. crassicarpa adalah yang
terbaik dibanding dengan jenis-jenis akasia dan tanaman cepat tumbuh lainnya
(Jayusman, 1992). Densitas kayu sebesar 600-650 kg.m-3 lebih tinggi
dibandingkan dengan A. mangium dan A. auriculiformis (Clark et al. 1991).
Selain itu, tanaman A. crassicarpa merupakan tanaman dengan daya adaptasi dan
toleransi tinggi terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Tanaman ini dapat
tumbuh pada tanah dengan drainase buruk, tanah berlumpur, tanah berpasir, dan
tanah terdegradasi. Di Indonesia A. crassicarpa banyak ditanam pada tanah
gambut.
Kemampuan tumbuh yang baik di berbagai tempat menyebabkan tanaman
ini memiliki nilai penting. Untuk mendapatkan tanaman yang baik, maka perlu
adanya bibit tanaman yang baik. Bibit yang baik dapat diperoleh dengan
pembibitan yang baik, antara lain dapat menggunakan media pembibitan yang
baik. Media pembibitan yang baik sulit diperoleh pada tanah-tanah di daerah
seperti kondisi lingkungan di atas. Oleh karena itu, diperlukan media pembibitan
yang dapat menyediakan unsur hara bagi bibit A. crassicarpa. Penggunaan SRF
diharapkan dapat menyediakan kebutuhan unsur hara pada pembibitan A.
crassicarpa secara efisien.

3

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Mem-formulasikan dan membuat SRF yang mengandung unsur hara makro
dan mikro dengan teknik coating menggunakan bahan akrilik dan kitosan.
2. Mengetahui pelepasan unsur hara dari SRF melalui uji ketahanan pupuk
terhadap tumbukan air hingga pupuk pecah, uji kelarutan menggunakan
akuades dan asam sitrat 2 %, dan uji perkolasi menggunakan akuades.
3. Mengetahui pengaruh penambahan pupuk terhadap pertumbuhan bibit A.
crassicarpa.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan September 2013 sampai Juli 2014. Tahap
pembuatan SRF dan uji laju pelepasan unsur hara pada pupuk dilakukan di
Laboratorium Bagian Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan dan Laboratorium
Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tahap aplikasi SRF pada pembibitan
A. crassicarpa dilakukan di rumah plastik wing 21 level 5, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan SRF adalah akrilik,
kitosan, senyawa kimia sumber hara makro (urea, ZA, H3PO4, dan K2SO4),
senyawa kimia sumber hara mikro (FeSO4.7H2O, CuSO4.5H2O, dan ZnSO4.7H2O)
serta bahan lainnya. Akrilik yang digunakan ialah akrilik cair yang dijual di
pasaran sedangkan kitosan dibuat sendiri dari limbah kulit udang. Bahan-bahan
untuk uji kelarutan menggunakan akuades dan asam sitrat 2 % sedangkan untuk
perkolasi menggunakan media campuran gambut dan tanah mineral. Analisis SRF
menggunakan bahan kimia yang biasa dipakai untuk keperluan analisis di
laboratorium. Aplikasi SRF pada pembibitan A. crassicarpa menggunakan benih
tanaman A. crassicarpa yang diperoleh dari PT Wira Karya Sakti (WKS), Jambi.
Media tanam berupa tanah gambut.
Alat yang digunakan pada proses pembuatan SRF meliputi mesin
granulator, sprayer, dan dryer. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat
Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), Flame Photometer, dan
Spectrophotometer UV Vis. Aplikasi SRF pada pembibitan A. crassicarpa
digunakan peralatan tanam, pengukuran, dan pemeliharaan.

4

Metode Penelitian
Pembuatan kitosan
Kitosan dibuat dari limbah kulit udang menggunakan metode seperti yang
dilakukan Suptijah (2012) dengan beberapa modifikasi pada tahap pembuatannya.
Tahapan pembuatan kitosan yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.
Pertama-tama limbah kulit udang dicuci bersih, kemudian dikeringkan dalam
oven pada suhu 60 °C sampai kering. Tahap demineralisasi menggunakan HCl 1
N yaitu 1:7 b/v yang dipanaskan selama 1 jam pada suhu sekitar 90 °C. Tahap
deproteinasi untuk mendapatkan kitin menggunakan NaOH 3.5 % yaitu 1:10 b/v
yang dipanaskan selama 1 jam pada suhu 90 °C. Kitin dideasetilasi menggunakan
NaOH 50 % sebanyak 1:10 yang dipanaskan pada suhu sekitar 110 °C.
Selanjutnya, kitosan dicuci menggunakan akuades hingga pH mendekati netral
dan dikeringkan. Diagram tahap pembuatan kitosan disajikan pada Lampiran 1.
Formulasi SRF
Formulasi SRF dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan
pupuk majemuk dan tahap coating pupuk. Tahap pembuatan pupuk dilakukan
dengan metode blending yaitu mencampurkan senyawa kimia sumber hara makro
dan mikro dengan cara diaduk hingga bahan tercampur rata. Kemudian dilakukan
granulasi menggunakan mesin granulator menjadi pupuk majemuk (PM). Bahan
baku sumber hara makro dan mikro disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Bahan baku sumber hara pupuk makro dan mikro
Sumber hara makro dan mikro
Nitrogen (N)
Fosfor (P)
Kalium (K)
Besi (Fe)
Tembaga (Cu)
Seng (Zn)

Bahan baku
Urea dan ZA
H3PO4
K2SO4
FeSO4.7H2O
CuSO4.5H2O
ZnSO4.7H2O

Formulasi pupuk menghasilkan dua jenis PM yaitu PM1 dan PM2.
Formulasi PM1 merupakan hasil blending bahan baku sumber hara makro dan
mikro secara langsung. Sementara itu formulasi PM2 merupakan hasil blending
sumber hara makro dan mikro, namun sebelum dilakukan blending dengan unsur
hara makro, unsur mikro terlebih dahulu diberi tambahan kitosan sebanyak 0.5 %
dari bobot keseluruhan pupuk. Hasil blending ini berupa pasta yang selanjutnya
digranulasikan dengan mesin granulator dan dikeringan dengan dryer dan oven.
Gambar pembuatan PM dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tahap coating dilakukan terhadap PM hasil granulasi yaitu menggunakan
bahan akrilik dan kitosan terhadap PM1 dan PM2. Coating pupuk menggunakan
mesin granulator dengan kapasitas yang lebih kecil (skala laboratorium) dan
sprayer. Cara coating PM yaitu bahan caoting akrilik cair atau kitosan
dimasukkan ke dalam sprayer, lalu disemprotkan pada permukaan PM1 atau PM2
sambil dikeringkan menggunakan dryer. Kitosan yang digunakan berupa larutan.
Larutan kitosan berasal dari pelarutan kitosan padat menggunakan asam sitrat

5

1 %. Perbandingan kitosan dan asam sitrat 1 % yaitu 1:20 b/v dan ditera hingga
100 ml. Gambar tahap coating pupuk disajikan pada Lampiran 2.
Coating dilakukan pada PM1 yaitu PM1 coating akrilik (PM1A) dan PM1
coating kitosan (PM1K), yang digambarkan pada Gambar 1 (a). Hal sama juga
dilakukan coating pada PM2. Coating yang dilakukan pada PM2 yaitu PM2
coating akrilik (PM2A) dan PM2 coating kitosan (PM2K) yang digambarkan
pada Gambar 1 (b).
(a)

Coating
akrilik/kitosan
(PM1A/PM1K)
Sumber hara makro dan mikro

(b)
Coating
akrilik/kitosan
(PM2A/PM2K)
Sumber hara makro
Sumber hara mikro dan kitosan
Gambar 1. Perbedaan karakteristik SRF coating akrilik dan kitosan pada (a) PM1
dan (b) PM2
Pengujian daya tahan dan pelepasan unsur hara pada SRF
Daya tahan pupuk dilakukan dengan cara meneteskan air pada pupuk
dengan tetesan air dari buret pada ketinggian 20 cm hingga pupuk larut (Gambar 2
(kiri)). Uji laju pelepasan unsur hara dilakukan dengan 2 cara, yaitu pengocokan
dan perkolasi. Pengocokan dilakukan dengan pengekstrak akuades dan asam sitrat
2 % pada waktu pengocokan yaitu 0, 15, 30, 45, dan 60 menit. Setelah itu
dilakukan pengukuran hara terlarut. Uji pelepasan unsur hara dengan metode
perkolasi (Gambar 2 (kanan)) dilakukan selama satu bulan. Tiap minggu
dilakukan penyiraman sesuai curah hujan rata-rata menggunakan akuades dan
dilakukan pengukuran hara terlarut (N, P, dan K) dari perkolatnya. Gambar uji
kelarutan pupuk dengan metode perkolasi disajikan pada Lampiran 3.

6

(a)

(b)

Akuades
Tanah dan pupuk
Glass wool
Selang
Tetesan air
Pupuk
Perkolat
Gambar 2. (a) Uji daya tahan pupuk dan (b) uji perkolasi
Aplikasi SRF pada pembibitan A. crassicarpa
Aplikasi SRF dilakukan pada pembibitan A. crassicarpa. Media tanam
yang digunakan adalah campuran antara gambut dan tanah mineral dengan
perbandingan 3:1. Benih dan media tanam A. crassicarpa diperoleh dari areal
nursery HTI PT WKS, Jambi. Benih disemai selama dua minggu, kemudian
ditanam pada media tanam dalam polybag dengan volume 250 cm3.
Penelitian menggunakan 6 perlakuan (PM1, PM1A, PM1K, PM2, PM2A,
dan PM2K. Masing-masing perlakuan dibandingkan dengan kontrol (media tanam
tanpa pupuk) dan standar (pemupukan dengan dosis hara N yang sama dengan
perlakuan). Banyaknya dosis pupuk yang diberikan pada media percobaan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Dosis pupuk yang berikan pada media tanam
Perlakuan
K
STD
PM1
PM1A
PM1K
PM2
PM2A
PM2K

Dosis 50 %
Dosis/m3
Dosis/polybag
(g)
(kg)
2.50
1.25
1.33
0.67
1.54
0.77
1.34
0.67
1.32
0.66
1.40
0.70
1.39
0.69

Dosis 100 %
Dosis/m3
Dosis/polybag
(g)
(kg)
5.00
0.63
2.67
0.34
3.09
0.39
2.69
0.34
2.65
0.33
2.81
0.35
2.78
0.35

Dosis pemupukan bibit A. crassicarpa menggunakan dosis rekomendasi
yaitu 5 kg/m3 pupuk NPK 15:15:15. Masing-masing perlakuan terdiri dari 5
ulangan. Dosis pemupukan dilakukan dengan dua dosis yaitu dosis 100 %
pemupukan dan 50 % pemupukan.

7

Rancangan penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL)
faktorial, dengan model rancangan sebagai berikut:
Yijk =
Yijk

i,

ijk

j

+

i+

j

+(

)ij +

ijk

= Variabel pengamatan pada faktor pupuk tanpa coating (PM1 dan PM2),
taraf keperlakuan dosis 50 % dan 100 %, faktor pupuk dengan coating
(PM1A, PM1K, PM2A, PM2K), taraf dosis 50 % dan 100 %, dengan
lima ulangan ( , i, j) merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh
utama faktor pupuk tanpa coating dan pengaruh utama faktor pupuk
dengan coating.
= Komponen interaksi dari faktor pupuk tanpa coating dan dengan coating
= Rata-rata umum
= Peubah acak unit eksperimen yang menyebar normal

Berdasarkan rancangan percobaan tersebut, selanjutnya dilakukan analisis
= 0.05, maka
ragam. Jika hasilnya menunjukkan signifikansi pada taraf
dilanjutkan dengan uji lajut metode Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk
mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan dan interaksinya (Sudjana 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pupuk
Ukuran butiran hasil granulasi
Hasil blending menghasilkan pupuk berbentuk pasta, bertekstur kasar, dan
lembab. Selanjutnya pasta ini dibentuk menjadi butiran dengan granulator melalui
beberapa kali percobaan (trial & error) yang didasarkan pada kecepatan
perputaran alat, kemiringan alat, kelembaban pupuk, dan lain sebagainya hingga
didapatkan butiran pupuk yang diinginkan. Persentase perbandingan ukuran butir
pupuk hasil granulasi disajikan pada Gambar 3.
Persentase butir pupuk dengan ukuran kurang dari 2 mm yaitu 4 %, 2-5 mm
yaitu 74 %, lebih dari 5 mm yaitu 20 %, dan tersisa pada mesin granulator yaitu
2 %. Pupuk dengan ukuran 2-5 mm tersebut yang kemudian dipakai sebagai
ukuran pupuk jadi. Ukuran ini didasarkan pada referensi ukuran butir pupuk yang
ada di pasaran.

8

2%
20%

4%
Tersisa pada mesin granulator
Ukuran < 2 mm
Ukuran 2 - 5 mm
Ukuran > 5 mm

74%
Gambar 3. Persentase perbandingan ukuran hasil granulasi pupuk
Karakteristik fisik
Penampakan pupuk tanpa coating (non-SRF) dan dengan coating (SRF)
secara kualitatif disajikan pada Gambar 4. Secara umum pupuk berbentuk butir
dan berwarna abu-abu hingga hitam. Secara fisual tampak bahwa SRF lebih
berkilap daripada non-SRF. SRF menggunakan coating kitosan memiliki kilap
seperti kilap lemak dan SRF menggunakan coating akrilik memiliki kilap yang
lebih terang.

Gambar 4. Hasil formulasi pupuk non-SRF (PM1, PM2) dan SRF (PM1A, PM1K,
PM2A, PM2K)

9

Kandungan hara
Kandungan unsur hara pada pupuk disajikan pada Tabel 2. Kadar N hara
pada pupuk berkisar antara 26.70-28.32 %. Kandungan unsur hara N dalam pupuk
yang diformulasikan ini dengan dibuat cukup tinggi karena mengacu pada
kebutuhan hara untuk pembibitan tanaman yang membutuhkan unsur N lebih
banyak.
Tabel 3. Hasil analisis hara pupuk
Pupuk
PM1
PM1A
PM1K
PM2
PM2A
PM2K

N
---------------28.09
26.95
27.89
28.32
26.70
26.97

P
K
% --------------5.80
9.46
5.50
9.35
5.12
9.44
5.24
9.30
5.13
8.93
5.10
9.16

Fe
------------52.17
48.03
49.50
65.79
56.31
60.91

Cu
Zn
ppm -------------14.47
14.55
12.50
13.51
13.09
13.03
15.28
19.40
15.98
16.38
14.45
16.72

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa unsur hara pada masing-masing
pupuk hasil formulasi SRF dan non-SRF tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata. Hal ini berarti bahwa penambahan coating pupuk tidak berpengaruh
terhadap kandungan hara pada pupuk.

Pelepasan Unsur Hara pada SRF
Daya tahan terhadap tetesan air
Hasil pengujian daya tahan pupuk terhadap tetesan air disajikan pada
Gambar 5.

Jumlah tetesan air
hingga pupuk pecah

200

178

177

160
120
70

80
40

23

63
19

0
PM1

PM1A

PM1K

PM2

PM2A

PM2K

Gambar 5. Daya tahan pupuk terhadap tetesan air hingga pupuk pecah
Berdasarkan Gambar 5, daya tahan pupuk ditunjukan dalam jumlah tetesan
yang dibutuhkan hingga pupuk pecah. Berdasarkan gambar tersebut diketahui
bahwa SRF dengan coating akrilik lebih tahan terhadap tumbukan air yaitu 6-7

10

kali lipat dibandingkan non-SRF dan SRF dengan coating kitosan yaitu 3-4 kali
lipat dibandingkan non-SRF.
Pelepasan unsur hara makro (N, P, dan K) melalui pengocokan dengan
akuades dan asam sitrat 2 %
Hasil pengujian daya pelepasan unsur hara N, P, dan K disajikan pada
Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8. Nitrogen terlarut dengan pengekstrak
akuades dan asam sitrat 2 % disajikan pada Gambar 6 (a dan b). Pengocokan
hingga menit ke-30 menunjukkan bahwa N terlarut dari pupuk non-SRF lebih
tinggi dibandingkan pupuk SRF. Hasil ini menunjukkan bahwa pupuk tanpa
coating menyebabkan N lebih mudah dan cepat terlarut.

Hara N terlarut (%)

Hara N terlarut (%)

(a)
0,40
0,30
0,20

0,40
0,30
0,20

0,10

0,10

0,00

0,00
0

0

15
30
45
60
Pengocokan (menit)

PM1

PM1A

15

30

45

60

Pengocokan (menit)
PM2

PM1K

PM2A

PM2K

0,40

Hara N terlarut (%)

Hara N terlarut (%)

(b)

0,30
0,20
0,10
0,00
0

15

30

45

60

0,40
0,30
0,20
0,10
0,00
0

Pengocokan (menit)
PM1

PM1A

PM1K

15

30

45

60

Pengocokan (menit)
PM2

Gambar 6. Hara N terlarut (a) akuades dan (b) asam sitrat 2 %

PM2A

PM2K

11

Pola pelarutan sama terlihat pada kelarutan unsur hara P dan K yang dapat
dilihat pada Gambar 7 (a dan b) dan Gambar 8 (a dan b). Hara P dan K terlarut,
baik pengocokan dengan pengekstrak akuades dan asam sitrat menunjukkan
bahwa kelarutan pupuk tanpa coating lebih tinggi dibandingkan pupuk dengan
coating. Adanya penambahan bahan coating pada pupuk, baik akrilik maupun
kitosan dapat menahan unsur hara terlarut sehingga dapat lebih lama tertahan di
dalam pupuk.

120

Hara P terlarut (ppm)

Hara P terlarut (ppm)

(a)

100
80
60
40
20

120
100
80
60
40
20

0

15

30

45

60

0

Pengocokan (menit)
PM1

PM1A

15

30

45

60

Pengocokan (menit)
PM2

PM1K

PM2A

PM2K

5

Hara P terlarut (%)

Hara P terlarut (%)

(b)

4
3
2
1

5
4
3
2
1

0
0

15

30

45

60

0
0

Pengocokan (menit)

PM1

PM1A

PM1K

15

30

45

60

Pengocokan (menit)
PM2

PM2A

Gambar 7. Hara P terlarut (a) akuades dan (b) asam sitrat 2 %

PM2K

12

8

8

Hara K terlarut (%)

Hara K terlarut (%)

(a)

6
4

6
4

2

2

0
0

15

30

45

0

60

0

15

Pengocokan (menit)

PM1

PM1A

30

45

60

Pengocokan (menit)

PM1K

PM2

PM2A

PM2K

(b)
10
Hara K terlarut (%)

Hara K terlarut (%)

10
8
6
4
2

8
6
4
2
0

0
0

15

30

45

60

0

PM1A

PM1K

30

45

60

Pengocokan (menit)

Pengocokan (menit)
PM1

15

PM2

PM2A

PM2K

Gambar 8. Hara K terlarut (a) akuades dan (b) asam sitrat 2 %
Perbandingan antara hasil pengocokan SRF menggunakan coating (PM1A,
PM1K, PM2A, dan PM2K) dengan bahan pengocok akuades tidak menunjukkan
perbedaan yang jelas antara SRF menggunakan coating akrilik atau kitosan.
Namun demikian, hasil pengocokan dengan asam sitrat 2 % menunjukkan
kelarutan hara dari pupuk yang lebih tinggi pada PM1K dan PM2K daripada
PM1A dan PM2A. Hal ini disebabkan oleh sifat kitosan yang larut pada asam
lemah sedangkan akrilik tidak. Mekanisme pelarutan ini mengindikasikan bahwa
penggunaan SRF dengan coating akrilik lebih cocok untuk tanah-tanah di
Indonesia yang umumnya ialah tanah masam.

13

Pelepasan unsur hara mikro (Fe, Cu, dan Zn) pada pupuk dengan akuades
dan asam sitrat 2 %
Data unsur mikro terlarut melalui pengocokan dengan akuades dan asam
sitrat 2 % disajikan pada Tabel 4 – Tabel 9. Pelepasan unsur hara mikro oleh
kedua pengekstrak tersebut menunjukkan hasil yang sama seperti pada hara makro
terlarut, yaitu hara mikro terlarut pupuk non-SRF lebih tinggi dibandingkan dari
pupuk SRF.
Tabel 4. Kadar Fe hasil ekstraksi pupuk dengan akuades
Pupuk
PM1
PM1A
PM1K
PM2
PM2A
PM2K

Kadar Fe (ppm) pada pengocokkan menit ke0
15
30
45
60
1.82
5.96
6.11
6.28
5.55
1.14
5.78
6.49
5.72
5.90
0.72
5.54
7.22
6.76
6.50
0.36
0.50
0.86
1.45
2.26
0.26
0.74
0.67
0.96
1.12
0.17
0.55
0.84
0.94
1.44

Kadar Fe
total (ppm)
52.17
48.03
49.50
65.79
56.31
60.91

Pelarutan Fe dengan pengekstrak akuades yang berbeda terlihat pada PM1
dan PM2 ditunjukkan pada Tabel 4. Kelarutan Fe oleh akuades dari PM2, baik
non-SRF maupun SRF menggunakan coating akrilik atau kitosan lebih rendah
dibandingkan dari PM1 hingga pengocokan menit ke-60. Pola sama terjadi pada
unsur Cu dan Zn yang ditunjukkan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Pemberian kitosan
sebanyak 0.5 % dari bobot keseluruhan pupuk pada saat blending dapat
membentuk coating sehingga terjadi double coating untuk unsur hara mikro pada
PM2A dan PM2K. Mekanisme ini menyebabkan unsur hara mikro lebih
terhambat pelarutannya.
Tabel 5. Kadar Cu hasil ekstraksi pupuk dengan akuades
Perlakuan
PM1
PM1A
PM1K
PM2
PM2A
PM2K

Kadar Cu (ppm) pada pengocokkan menit ke0
15
30
45
60
2.40
3.63
3.76
3.89
3.07
2.90
2.75
2.67
2.69
2.89
1.10
2.48
2.70
2.65
2.66
0.10
0.11
0.22
0.23
0.20
0.07
0.08
0.13
0.11
0.16
0.07
0.08
0.13
0.12
0.19

Kadar Cu
total (ppm)
14.47
12.50
13.09
15.28
15.98
14.45

Tabel 6. Kadar Zn hasil ekstraksi pupuk dengan akuades
Perlakuan
PM1
PM1A
PM1K
PM2
PM2A
PM2K

Kadar Zn (ppm) pada pengocokkan menit ke0
15
30
45
60
5.95
6.86
9.54
10.48
10.97
4.84
6.50
6.39
6.24
7.23
3.03
6.31
6.80
6.89
6.93
2.53
3.20
3.79
4.40
4.03
3.03
3.31
3.44
4.11
4.04
3.03
3.75
3.38
3.80
3.32

Kadar Zn
total (ppm)
14.55
13.51
13.03
19.40
16.38
16.72

14

Pelepasan unsur hara mikro dengan pengekstrak asam sitrat 2 % disajikan
pada Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9. Pada perlakuan PM1, PM1A, PM1K, PM2,
PM2A, PM2K memiliki kadar hara terekstrak yang hampir sama. Hal ini karena
asam sitrat mampu melarutkan kitosan, sehingga baik Fe, Cu, maupun Zn dapat
terlepas dan berada pada larutan asam sitrat.
Tabel 7. Kadar Fe hasil ekstraksi pupuk dengan asam sitrat 2 %
Perlakuan
PM1
PM1A
PM1K
PM2
PM2A
PM2K

Kadar Fe (ppm) pada pengocokan menit ke0
15
30
45
60
6.26
9.54
12.31
10.66
9.20
6.22
8.52
10.44
9.23
10.22
6.23
8.93
9.22
9.58
10.54
6.14
9.66
9.84
9.54
10.89
2.26
9.44
9.49
9.48
10.23
3.45
10.62
10.68
9.84
9.84

Kadar Fe
total (ppm)
52.17
48.03
49.50
65.79
56.31
60.91

Tabel 8. Kadar Cu hasil ekstraksi pupuk dengan asam sitrat 2 %
Perlakuan
PM1
PM1A
PM1K
PM2
PM2A
PM2K

Kadar Cu (ppm) pada pengocokkan menit ke0
15
30
45
60
6.70
10.90
11.50
11.50
12.80
4.50
9.40
9.90
11.20
10.10
4.30
6.90
9.40
12.80
10.30
5.10
8.40
9.10
10.60
10.70
1.70
7.30
9.10
9.80
10.80
2.90
7.20
8.00
9.40
10.90

Kadar Cu
total (ppm)
14.47
12.50
13.09
15.28
15.98
14.45

Tabel 9. Kadar Zn hasil ekstraksi pupuk dengan asam sitrat 2 %
Perlakuan
PM1
PM1A
PM1K
PM2
PM2A
PM2K

Kadar Zn (ppm) pada pengocokkan menit ke0
15
30
45
60
9.36
12.54
13.91
12.58
12.58
8.77
10.53
12.74
11.62
11.61
8.77
10.04
10.14
11.81
10.33
9.98
13.25
16.38
18.47
17.09
5.42
9.58
15.22
15.80
15.58
6.77
10.29
14.27
15.63
15.80

Kadar Zn
total (ppm)
14.55
13.51
13.03
19.40
16.38
16.72

Hal lainnya yang terlihat pada Tabel 8 dan Tabel 9 yaitu unsur mikro Cu
dan Zn yang diekstrak dengan pengekstrak asam sitrat 2 % menunjukkan hasil
ekstraksi yang mendekati kadar hara total di dalam pupuk. Hal ini sebenarnya
tidak terjadi pada konsentrasi asam organik di lingkungan perakaran, karena
konsentrasi asam organik pada lingkungan perakaran tidak mencapai konsentrasi
pada asam sitrat 2 %. Oleh karena itu, ketersediaan unsur mikro di dalam
lingkungan perakaran akan kurang dari kadar unsur mikro yang dilarutkan dengan
asam sitrat 2 %. Akan tetapi pola ini tidak terjadi pada Fe.
Pelepasan unsur hara makro (N, P, dan K) melalui perkolasi
Data analisis pelepasan unsur hara N, P, K berdasarkan metode perkolasi
disajikan pada Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11.

15

Hara N tercuci (mg)

(a)
1200
1000
800
600
400

200
0
0

1

2

3

4

Waktu pengamatan (minggu)
PM1
PM1A
PM1K
Total N PM1, PM1A, dan PM1K

Hara N tercuci (mg)

(b)
1200
1000
800
600
400
200
0
0

1

2

3

4

Waktu pengamatan (minggu)
PM2
PM2A
PM2K
Total N PM2, PM2A, dan PM2K

Gambar 9. Hara N tercuci pada uji perkolasi (a) PM1, PM1A, PM1K dan (b)
PM2, PM2A, PM2K
Berdasarkan data pada Gambar 9 terlihat jelas bahwa SRF pencuciannya
lebih lambat dibandingkan non-SRF pada minggu pertama hingga minggu
keempat. Pola yang sama terjadi pada unsur hara P dan K yang ditunjukkan pada
Gambar 10 dan Gambar 11. Selanjutnya dapat dilihat pula bahwa pada minggu

16

keempat sudah terjadi pencucian N sebesar 71.03 % dari total hara pada pupuk
PM1, 53.67 % dari PM1A, 53.27 % dari PM1K, 72.33 % dari PM2, 54.93 % dari
PM2A, dan 51.32 % dari PM2K. Hal ini menunjukkan bahwa sampai minggu
keempat, sekitar separuh unsur hara masih tertahan di dalam pupuk.
(a)
Hara P tercuci (mg)

250
200
150
100
50
0
0

1

2

3

4

Waktu pengamatan (minggu)
PM1

PM1A

PM1K

Total P PM1

Total P PM1A

Total P PM1K

(b)
Hara P tercuci (mg)

250
200
150
100
50
0
0

1
2
3
Waktu pengamatan (minggu)

4

PM1

PM1A

PM1K

Total P PM1

Total P PM1A

Total P PM1K

Gambar 10. Hara P tercuci pada uji perkolasi (a) PM1, PM1A, PM1K dan (b)
PM2, PM2A, PM2K

17

Lambatnya pelepasan hara hingga minggu keempat juga terlihat pada
unsur hara P. Berdasarkan Gambar 10 diketahui bahwa data perkolasi pada
minggu keempat sudah terjadi pencucian P sebesar 75.61 % dari total hara pada
pupuk dari PM1, 51.13 % dari PM1A, 48.95 % dari PM1K, 68.64 % dari PM2,
52.04 % dari PM2A, dan 51.04 % dari PM2K. .

Hara K tercuci (mg)

(a)
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0

1

2

3

4

Waktu pengamatan (minggu)
PM1

PM1A

PM1K

Total K PM1

Total K PM1A

Total K PM1K

(b)
Hara K tercuci (mg)

400
350
300
250
200
150
100
50
0
0

1

2

3

4

Waktu pengamatan (minggu)
PM1

PM1A

PM1K

Total K PM1

Total K PM1A

Total K PM1K

Gambar 11. Hara K tercuci pada uji perkolasi (a) PM1, PM1A, PM1K dan (b)
PM2, PM2A, PM2K

18

Hal yang sama juga terlihat pada unsur hara K. Berdasarkan Gambar 11
diketahui bahwa pada minggu ke-4 sudah terjadi pencucian sebesar 83.05 % dari
total hara pada pupuk dari PM1, 52.26 % dari PM1A, 41.93 % dari PM1K, 77.94
% dari PM2, 53.54 % dari PM2A, dan 52.09 % dari PM2K.
Pengaruh Pupuk terhadap Pertumbuhan Bibit A. crassicarpa
Pengaruh pupuk terhadap pertumbuhan bibit A. crassicarpa dilakukan
dengan mengevaluasi pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang, bobot kering
tanaman, biomassa akar, dan root/shoot ratio. Pengamatan pertumbuhan tinggi
tanaman dilakukan pada 0-12 minggu setelah tanam (MST). Sedangkan
pengukuran diameter batang, bobot kering tanaman, dan root/shoot ratio
dilakukan bibit A. crassicarpa umur 12 MST.
Tinggi tanaman
Pengaruh pemberian pupuk pada dosis 50 % terhadap tinggi bibit A.
crassicarpa pada 12 MST disajikan pada Gambar 12 (a). Berdasarkan hasil
analisis statistik, perlakuan pupuk (PM1 dan PM2) berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman daripada kontrol (K) dan standar (STD). Gambar 12 (b) terlihat
bahwa perlakuan SRF tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman dibandingkan
dengan non-SRF. Walaupun demikian, secara umum terlihat ada kecenderungan
tinggi bibit A. crassicarpa pada SRF lebih besar daripada non-SRF. Pola
pengaruh pemberian pupuk ini juga tampak sama pada dosis 100 % (Gambar 13).
(b)

50

a

40

50
a

b

30

c

20
10
0
K

STD PM1 PM2

Perlakuan pupuk dosis 50 %

Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman (cm)

(a)

40
30
20
10
0

N

A

K

N

A

K

PM1
PM2
Perlakuan coating dosis 50 %

Angka pada diagram batang yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % menurut uji DMRT (uji selang berganda Duncan)
Keterangan :

N (PM1, PM2)
= non-SRF (tanpa coating pupuk)
A (PM1A, PM2A) = SRF menggunakan coating akrilik
K (PM1K, PM2K) = SRF menggunaka coating kitosan

Gambar 12. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
tinggi tanaman pada dosis 50 %

19

Gambar 12 menunjukkan bahwa perlakuan pupuk STD meningkatkan
tinggi tanaman sebesar 33.01 % terhadap K, sedangkan perlakuan PM1 sebesar
76.07 %, PM1A sebesar 89.47 %, PM1K sebesar 80.38 %, PM2 sebesar 66.99 %,
PM2A 82.77 %, dan PM2K 82.30 %.
Pengaruh pemberian pupuk terhadap tinggi tanaman pada dosis 100 %
disajikan pada Gambar 13 (a) dan pengaruh coating pupuk pada Gambar 13 (b).
Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa pemberian PM1 meningkatkan
tinggi tanaman sebesar 97.13 % daripada K %, PM1A sebesar 86.60 %, PM1K
sebesar 99.52 %, PM2 sebesar 100.96 %, PM2A sebesar %, dan 110.53 %.
(b)
50

a

40
30

a

ab
b

20
10

Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman (cm)

(a)

50
40
30

20
10
0

0
K

STD PM1 PM2

N

A
PM1

Perlakuan pupuk dosis 100 %

K

N

A

K

PM2

Perlakuan coating dosis 100 %

Gambar 13. (a) Pengaruh perlakuan pupuk dan (b) perlakuan coating terhadap
tinggi tanaman pada dosis 100 %
Hal menarik lainnya dapat dilihat pada Gambar 14, Gambar 15, Gambar
16, dan Gambar 17. Pertumbuhan tinggi bibit A. crassicarpa dengan perlakuan
non-SRF lebih tinggi dibandingkan SRF pada 1-6 MST, baik pada dosis
pemupukan 50 % maupun 100 %. Hal ini dapat terjadi karena unsur hara pada
perlakuan non-SRF lebih cepat larut dan tersedia bagi tanaman pada awal
penanaman daripada perlakuan SRF. Secara kualitatif, gambar bibit A.
crassicarpa pada 5 MST dapat dilihat pada Lampiran 5, Lampiran 6, Lampiran 7,
dan Lampiran 8.
Perlakuan SRF mulai lebih tinggi pertumbuhannya daripada non-SRF pada
7 MST dan seterusnya hingga 12 MST. Hal ini terjadi karena perlakuan SRF
masih konsisten memberikan unsur hara untuk tanaman hingga 12 MST.
Sebaliknya, pencucian unsur hara yang cepat pada perlakuan non-SRF
menyebabkan tanaman kekurangan unsur hara sehingga pertumbuhan tanaman
melambat. Gambar bibit A. crassicarpa 12 MST dapat dilihat pada Lampiran 9
dan Lampiran 10.

Tinggi tanaman (cm)

20

45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

MST
PM1

PM1A

PM1K

Tinggi tanaman (cm)

Gambar 14. Pengaruh pemberian PM1, PM1A, dan PM1K terhadap pertumbuhan
bibit A. crassicarpa dosis 50 % pada 0-12 MST
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

MST
PM2

PM2A

PM2K

Gambar 15. Pengaruh pemberian PM2, PM2A, dan PM2K terhadap pertumbuhan
bibit A. crassicarpa dosis 50 % pada 0-12 MST

Tinggi tanaman (cm)

21

45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

MST
PM1

PM1A

PM1K

Tinggi tanaman (cm)

Gambar 16. Pengaruh pemberian PM1, PM1A, dan PM1K terhadap pertumbuhan
bibit A. crassicarpa dosis 100 % pada 0-12 MST
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

MST
PM2

PM2A

PM2K

Gambar 17. Pengaruh pemberian PM2, PM2A, dan PM2K terhadap pertumbuhan
bibit A. crassicarpa dosis 100 % pada 0-12 MST
Diameter batang
Pengaruh pupuk terhadap diameter batang pada perlakuan dosis 50 % dan
100 % disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19. Diameter batang perlakuan
SRF dan non-SRF berpengaruh nyata terhadap K dan STD. Perlakuan SRF tidak
berbeda nyata dengan perlakuan non-SRF. Namun, pada masing-masing
perlakuan terlihat bahwa perlakuan SRF memiliki diameter batang lebih besar
dibandingkan perlakuan non-SRF. Tampak pula bahwa pada perlakuan SRF

22

coating kitosan (PM1K dan PM2K) memiliki diameter batang lebih besar
dibanding dengan SRF coa