In vitro regeneration of terubuk (Saccharum edule)

REGENERASI TERUBUK (Saccharum edule)
SECARA IN VITRO

PRIMADIYANTI ARSELA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Regenerasi Terubuk
(Saccharum edule) Secara In Vitro” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari
Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,


Desember 2011

Primadiyanti Arsela
NRP A253080051

ABSTRACT

PRIMADIYANTI ARSELA. In Vitro Regeneration of Terubuk (Saccharum edule). Under
supervision of BAMBANG S PURWOKO as chairman; AGUS PURWITO and ANAS D
SUSILA as members of the advisory committee.
Terubuk is one of the potential vegetable known as cauliflower sugarcane. It is characterized
by unusual, swollen and aborted inflorescences, which is sweet and edible. The
inflorescences are used as a source of food in Fiji, New Guinea, Indonesia and Malaysia by
the indigenous people. The inflorescences are abnormal in the sense that they remain
enclosed within the leaf-sheaths, forming a compact mass about the size of a banana fruit.
Terubuk is produced and consumed locally and traded in local market only. In Indonesian’s
traditional market, it is sold in bunches of 10. Terubuk is closely related to Saccharum
officinarum, S. spontaneum, and S. robustum. It is exclusively propagated by cuttings or by
division of clumps. To provide more inflorescences, it needs higher plants production. Its

production needs cutting materials or propagules. Conventional propagation requires a lot of
planting material. Tissue culture is an alternative propagation technique to solve the
inavailability of plant material. The objective of this research was to obtain the best method
to propagate terubuk using in vitro micropropagation through direct and indirect
organogenesis. Flower stalks were used as explants. The explant’s sterilization was done by
spraying the inflorescences with alcohol 96 %, then the flower was burnt. The indirect
organogenesis using calli induction showed that the best medium was MS + 3.0 mg l-1 2,4-D
+ 1.0 mg l-1 kinetin. This media did not produce shoots from calli proliferation stage. It was
only able to produce roots. The other method was by direct organogenesis. It was shown that
the best medium was MS + 0.25 mg l-1 thidiazuron + 0.1 mg l-1 NAA + 0.25 mg l-1 GA3 to
produce shoots in 2 weeks without putting the explants in calli induction medium. Shoots
obtained through the media varied in size. Only shoot with 1-3 cm in size were rooted. Root
formation required full strength of MS salt. The percentage of success in rooting ranged from
50-80%. Acclimatization has been done, however, after 2 weeks the planlet did not survive.

Keywords: flower stalks, organogenesis, Saccharum edule, sugarcane.

RINGKASAN

PRIMADIYANTI ARSELA. Regenerasi Terubuk (Saccharum edule) Secara In Vitro.

Dibawah bimbingan BAMBANG S PURWOKO sebagai ketua Komisi Pembimbing, AGUS
PURWITO dan ANAS D SUSILA sebagai anggota Komisi Pembimbing.

Terubuk merupakan salah satu sayuran indigenous yang berasal dari Fiji, New Guinea,
Indonesia dan Malaysia. Bunga terubuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan karena
mengandung nilai gizi dan vitamin. Bunga terubuk juga dikenal sebagai cauliflower
sugarcane karena tekstur bunganya yang sangat mirip dengan tekstur bunga kol (cauliflower).
Bunga terubuk berukuran antara 8-12 cm terbungkus dalam beberapa lapisan kelobot yang
berada di bagian pucuk tanaman. Terubuk berkerabat dekat dengan tebu (Saccharum
officinarum) dan gelagah (S. spontaneum), akan tetapi batang terubuk tidak begitu manis.
Permintaan bunga terubuk yang dijual sekitar 10 bunga per ikat cukup tinggi di pasar
tradisional. Perbanyakan tanaman ini hanya dilakukan dengan setek batang karena bunga
terubuk merupakan bunga tidak normal yang tidak dapat menghasilkan biji. Ketersediaan
bibit dibatasi oleh ketersediaan setek batang. Diperlukan suatu alternatif perbanyakan
tanaman ini. Metode kultur jaringan merupakan suatu metode perbanyakan yang dapat
memecahkan permasalahan bibit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari respon
perbanyakan terubuk secara kultur jaringan dengan prosedur awal mengeksplorasi bagian
tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan tanam in vitro. “Janggle” merupakan bagian
dari bunga terubuk yang dapat dijadikan sebagai bahan tanam in vitro. Kegiatan sterilisasi
bagian bunga terubuk adalah dengan menyikat bunga menggunakan sabun dalam air mengalir

sambil mengupas beberapa helai kelobot bunga. Kegiatan sterilisasi dalam laminar adalah
dengan menyemprotkan alkohol 96 % pada permukaan bunga, membakarnya, dan mengupas
sampai habis kelobot yang melindungi bunga. Kultur jaringan tanaman terubuk dilakukan
melalui lintasan organogenesis secara langsung dan tidak langsung. Organogenesis secara
tidak langsung merupakan perbanyakan tanaman melalui pembentukkan kalus. Media terbaik
yang digunakan dalam percobaan ini adalah MS + 3,0 mg l-1 2,4-D + 1,0 mg l-1 kinetin. Kalus
kemudian disubkultur ke media induksi tunas, tetapi kalus tidak mampu membentuk tunas,
yang terbentuk adalah akar. Metode lain yang digunakan yaitu dengan perlakuan waktu
tanam dalam media induksi kalus terbaik hasil percobaan sebelumnya. Perlakuan ini
menggunakan beberapa taraf waktu antara lain 0 minggu, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan
4 minggu. Penanaman eksplan dengan perlakuan waktu 1, 2, 3 dan 4 minggu menghasilkan
eksplan berkalus, tetapi setelah eksplan berkalus tersebut disubkultur ke dalam media
induksi tunas, hanya mampu membentuk akar saja. Perlakuan 0 minggu dalam media kalus
(perlakuan melalui organogenesis secara langsung dengan menanam eksplan ke media
induksi tunas) mampu menghasilkan 50-80 tunas dengan komposisi media MS + 0,25 mg l-1
thidiazuron + 0,1 mg l-1 NAA + 0,25 mg l-1 GA3 selama 2 minggu kultur. Tunas yang
terbentuk sangat bervariasi dalam ukuran. Tunas yang terbentuk dapat dibagi menjadi 2
ukuran yaitu tunas berukuran besar (1-3 cm) dan tunas berukuran kecil (0,5-1 cm). Tunas
yang kemudian disubkultur ke media yang sama, akan tetapi tunas yang berukuran kecil
mengalami kematian setelah berumur 1-2 minggu pada subkultur pertama. Hanya tunas yang

berukuran besar saja yang dapat disubkultur.

Setelah beberapa subkultur di media yang sama, tunas kemudian disubkultur ke media MS
(kontrol) sebagai media elongasi dan pembentukkan akar. Persentase keberhasilan
terbentuknya planlet antara 50-80%. Planlet terubuk kemudian diaklimatisasi, akan tetapi
planlet mengalami kematian setelah 2 minggu ditanam di media tanah.
Keywords: cauliflower sugarcane, “janggle” bunga, organogenesis, tebu.

©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, pernulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan sebagian besar pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

REGENERASI TERUBUK (Saccharum edule)

SECARA IN VITRO

PRIMADIYANTI ARSELA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul Tesis : Regenerasi Terubuk (Saccharum edule) Secara In Vitro
Nama

: Primadiyanti Arsela

NIM


: A253080051

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc.
Ketua

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr
Anggota

Dr. Ir. Anas D. Susila, M.Si
Anggota

Diketahui,

Ketua Mayor
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Dr. Ir.Trikoesoemaningtyas, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 10 November 2011

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Regenerasi
Terubuk (Saccharum edule) Secara In Vitro yang dilaksanakan sejak bulan
Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang S.
Purwoko, M.Sc. , Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr , dan Dr. Ir. Anas D Susila,
M.Si atas bimbingan, saran, serta ilmu yang dapat menunjang terlaksananya
penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman, IPB, seluruh staf pengajar, dan seluruh teknisi yang telah
memberikan bantuan selama penelitian ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak Ari Yunanto dan ibu
Eko Saryuliningsih, adik-adik penulis Sarie dan Titie serta ananda Denny yang
selalu mendoakan dan memberikan semangat agar penulis tetap maju berkarya.
Terima kasih juga kepada teman-teman seperjuangan, PBT angkatan 2008 dan
2009 yang telah menemani dan memberikan kritik saran dalam penulisan tesis
ini. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pengembangan
ilmu pengetahuan. Terima kasih.

Bogor,

Desember 2011

Primadiyanti Arsela

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 30 Agustus
1984 dari pasangan bapak Ari Yunanto dan ibu Eko Saryuliningsih. Penulis
menempuh pendidikan formal di SDN Rajawali, Banjarmasin pada tahun 1990,
SLTPN 2 Seroja, Banjarmasin pada tahun 1996, SMUN 1, Banjarmasin pada

tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Jurusan Teknologi Hasil
Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat pada 2002 dan lulus
pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis bekerja sebagai Research
Officer, Forestry Division, PT. Riau Andalan Pulp and Paper sampai Juli 2008.
Pada Agustus 2008 penulis melanjutkan pendidikan program Magister, Program
Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Institut Pertanian Bogor (IPB).

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..........................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

xi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

xii


PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................
Tujuan Penelitian ................................................................................
Hipotesis .............................................................................................
Kerangka Penelitian ............................................................................

1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Tanaman Terubuk .............................................................
Teknik Kultur Jaringan .......................................................................
Zat Pengatur Tumbuh ..........................................................................

5
7
9

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................
Bahan dan Alat ....................................................................................
Metode Penelitian ...............................................................................
Persiapan Bahan Tanam ................................................................
Sterilisasi Eksplan .........................................................................
Pembuatan Media Tanam In Vitro ................................................
Induksi Kalus .................................................................................
Induksi Tunas ................................................................................
Elongasi dan Induksi Akar ............................................................
Aklimatisasi ....................................................................................

14
14
14
15
15
18
18
20
21
21

HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Eksplan Terubuk ................................................................
Induksi Kalus ......................................................................................
Induksi Tunas ......................................................................................
Elongasi dan Induksi Akar ..................................................................
Aklimatisasi ........................................................................................

22
23
26
30
32

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 35
LAMPIRAN .................................................................................................... 40

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kombinasi zat pengatur tumbuh pada kultur jaringan tebu ................. 13
2. Eksplorasi bahan tanaman in vitro terubuk .......................................... 23
3. Rataan waktu muncul kalus, persentase terbentuknya kalus dan
bobot kalus (set pertama) .................................................................... 24
4. Rataan waktu muncul kalus, persentase terbentuknya kalus dan
bobot kalus (set kedua) ....................................................................... 24
5. Jumlah tunas yang terbentuk pada media induksi tunas ...................... 28
6. Rataan jumlah planlet yang terbentuk pada media MS (kontrol) ........ 31
7. Rekapitulasi jumlah planlet yang terbentuk pada media MS (kontrol). 31

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan alir pelaksanaan penelitian ........................................................ 4
2. Morfologi tanaman terubuk ................................................................. 6
3. Bunga terubuk ...................................................................................... 7
4. Stek tanaman terubuk dalam polibag .................................................. 15
5. Potongan bunga terubuk....................................................................... 16
6. Tunas terubuk ....................................................................................... 17
7. Penampakan kalus pada media MS+ 3 mg l-1 2,4-D+ 1 mg l-1 kinetin . 25
8. Perlakuan induksi tunas dari kalus terubuk .......................................... 26
9. Eksplan dalam perlakuan induksi tunas ............................................... 27
10. Tunas yang terbentuk pada perlakuan MS+ 0,25 mg l-1 TDZ ............ 28
11. Tunas yang terbentuk pada perlakuan BAP dan kinetin .................... 30
12. Ukuran tunas terubuk .......................................................................... 30
13. Planlet terubuk dalam botol kultur ..................................................... 32
14. Planlet terubuk .................................................................................... 33

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Komponen media Murashige dan Skoog ........................................................ 40

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Terubuk (Saccharum edule Hasskarl) adalah salah satu jenis sayuran lokal
yang telah lama dikenal masyarakat sebagai sayuran indigenous. Sayuran
indigenous merupakan sayuran asli daerah atau wilayah tertentu yang sudah
dibudidayakan atau dimanfaatkan oleh penduduk setempat dari dulu, sehingga
sudah dianggap sebagai tanaman turun-temurun. Sayuran indigenous merupakan
bagian dari keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia, dan Indonesia
termasuk dalam 3 negara mega keanekaragaman hayati setelah Brazil dan
Madagaskar (Baihaki 2003). Beberapa sayuran indigenous lainnya antara lain
gambas/oyong, labu siam, leunca, katuk, kemangi, kenikir koro, paria dan selada
air (AVRDC 1999). Pemanfaatan sayuran indigenous merupakan salah satu
alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber nutrisi (gizi).
Terubuk adalah tanaman asli Asia Tenggara dan sekitar Pasifik yang
tersebar di daerah dataran rendah sampai daerah dataran tinggi. Terubuk termasuk
tanaman perenial. Umumnya terubuk dapat dipanen setelah berumur 5-10 bulan,
dengan daur hidup sekitar 2-3 tahun (Van den Bergh 1994). Tinggi terubuk
mencapai 1,5-4 m, dengan sistem pembungaan yang abnormal, bunga tetap
terbungkus dalam pelepah daun atau kelobot, berukuran sebesar buah pisang
(Martin 1984).
Sampai saat ini, terubuk masih dibudidayakan secara konvensional
(perbanyakan vegetatif menggunakan setek batang) di areal tanam yang tidak luas,
sedangkan permintaan beberapa sayuran indigenous cukup tinggi. Alasan sayuran
indigenous dibudidayakan masih secara konvensional antara lain kurang
tersedianya benih/bibit, kurang informasi teknologi budidaya, kurang informasi
tentang kesesuaian sayuran indigenous dengan sistem produksi yang ada
(Soetiarso 2010).
Permintaan sayuran indigenous di daerah Karawang, Jawa Barat
mencapai 2-4 ton/hari (Putrasamedja 2005). Mengingat bahwa terubuk memiliki
nilai ekonomis yang cukup tinggi (Rp 1000,- per bunga terubuk yang dijual per
ikat berisi sekitar 10-15 bunga terubuk, berdasarkan pengamatan pribadi di pasar

2

tradisional

daerah

Bogor

dan

sekitarnya),

serta

memungkinkan

untuk

dibudidayakan secara intensif, maka diperlukan usaha peningkatan produksi dan
kualitas terubuk.
Terubuk diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan setek batang,
karena terubuk tidak menghasilkan biji, bunga terubuk tidak normal dan tidak
dapat berkembang sempurna sampai membentuk biji (James 2004). Perbanyakan
dengan setek memerlukan bahan tanaman dalam jumlah banyak. Hal ini
menyebabkan penyediaan bahan setek

terubuk dalam waktu singkat akan

menemui kendala. Metode in vitro adalah suatu metode perbanyakan yang dapat
memecahkan permasalahan bibit (Farid 2003). Metode ini dapat menghasilkan
bibit dalam jumlah banyak tanpa memerlukan bahan tanaman yang banyak dan
dapat menyediakan bahan tanaman yang bebas patogen (Zulkarnain 2009).
Kultur jaringan terubuk belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu,
perbanyakan secara in vitro terubuk menggunakan acuan dari hasil penelitian
kultur jaringan keluarga dekat terubuk yaitu tebu (S. officinarum). Keberhasilan
regenerasi tanaman tebu secara in vitro telah banyak dilaporkan antara lain
produksi dan regenerasi kalus, induksi tunas dan proliferasinya, serta induksi
perakaran. Pada induksi kalus yang digunakan adalah media MS (Murashige dan
Skoog ) dengan auksin (2,4-D) 3 mg l-1 dan sitokinin (kinetin) 0,1 mg l-1, untuk
induksi tunas menggunakan kombinasi auksin (NAA) 2 mg l-1 dan sitokinin (BAP
atau kinetin) antara 0,1-2 mg l-1, sedangkan untuk induksi akar menggunakan
auksin saja (IBA atau NAA) antara 1-3 mg l-1 (Karim 2002; Farid 2003;
Chengalrayan et al. 2005; Khan & Abdullah 2008; Gandonou et al. 2005; Ali et
al. 2008; Roy & Kabir 2007; Behera & Santilata 2009).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.

Memperoleh bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan tanam in
vitro

2.

Mempelajari pengaruh auksin tunggal dan kombinasinya dengan sitokinin
terhadap kemampuan eksplan membentuk kalus

3

3.

Mempelajari pengaruh sitokinin terbaik terhadap kemampuan eksplan
membentuk tunas

4.

Mempelajari kemampuan elongasi dan perakaran tunas

5.

Mempelajari respon aklimatisasi planlet terubuk.

Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1.

Terdapat bagian tanaman terbaik yang digunakan sebagai eksplan in vitro

2.

Terdapat pengaruh auksin dan sitokinin terhadap induksi kalus

3.

Terdapat pengaruh sitokinin dalam induksi tunas

4.

Terdapat metode terbaik dalam elongasi dan perakaran tunas

5.

Terdapat respon aklimatisasi planlet terubuk.

Kerangka Pemikiran
Salah satu upaya untuk mendapatkan bibit dalam jumlah besar tanpa
memerlukan bahan tanaman yang banyak yaitu melalui perbanyakan secara in
vitro. Perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan melalui organogenesis
secara langsung dan tidak langsung. Organogenesis secara langsung terjadi bila
eksplan langsung dapat membentuk tanaman utuh tanpa melalui pembentukan
kalus terlebih dahulu, sedangkan organogenesis secara tidak langsung terjadi bila
eksplan membentuk kalus kemudian kalus membentuk tunas dan akar yang dapat
disebut sebagai tanaman utuh atau planlet.
Perlakuan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian in vitro kerabat
dekat terubuk yaitu tebu. Penelitian in vitro tebu telah banyak dilakukan melalui
lintasan organogenesis secara tidak langsung, yaitu melalui induksi kalus terlebih
dahulu. Bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan in vitro juga beragam
sehingga perlu adanya kegiatan eksplorasi bagian tanaman yang nantinya dapat
digunakan sebagai eksplan in vitro tanaman terubuk. Rangkaian penelitian yang
dilakukan untuk mendapatkan metode perbanyakan terubuk secara in vitro dapat
dilihat pada Gambar 1.

4

Perbanyakan setek tanaman terubuk

Eksplorasi sumber bahan tanam in vivo

Sumber eksplan in vitro

Induksi kalus dari eksplan “janggle” bunga terubuk

Eksplorasi metode lain :
Perlakuan lama waktu tanam eksplan
dalam media induksi kalus terbaik

Tunas

Perbanyakan tunas menggunakan media
induksi tunas terbaik

Elongasi tunas dalam media MS

Aklimatisasi
Gambar 1 Bagan alir pelaksanaan penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Tanaman Terubuk
Terubuk (Saccharum edule Hasskarl) termasuk dalam famili Gramineae
(Poaceae). Dillon et al. (2007), Daniels & Roach (1987), James (2004) membagi
genus Saccharum ke dalam enam spesies yaitu, S. spontaneum, S. robustum
Brandes Jeswit ex Grassl, S. officinarum L., S. barberi Jeswit, S. sinense Roxb.,
dan S. edule Hasskarl. Irvine (1999) juga menyebutkan bahwa setiap spesies
dikarakterisasi berdasarkan karakter bunga, kandungan gula, dan jumlah
kromosom.
Irvine (1999) dan Nakayama (2005) menyatakan bahwa S. spontaneum,
dan S. robustum Brandes Jeswit ex Grassl. merupakan spesies liar sedangkan S.
officinarum, S. barberi Jeswit., S. sinense Roxb., dan S. edule Hasskarl.
merupakan spesies budidaya. Diantara spesies budidaya, S. barberi Jeswit dan S.
sinense Roxb. diyakini merupakan hibrid alami S. spontaneum dan S. officinarum
yang merupakan spesies budidaya turunan dari S. robustum (Irvine 1999; Ming et
al. 2002; Grivet et al. 2004).
Spesies budidaya S. edule memiliki pembungaan yang tidak normal yang
tidak terjadi pada varietas komersial tebu lainnya walaupun terjadi banyak
persilangan setiap tahunnya di negara-negara berbeda. Pembungaan yang mirip
cauliflower pada S. edule

disebabkan oleh adanya beberapa mutasi gen.

Identifikasi gen yang bertanggung jawab terhadap fenotipe cauliflower pada S.
edule memungkinkan untuk usaha memanipulasi gen pembungaan pada tebu
varietas komersil dan fenotipe juga dapat terbawa. Ada 1 produk ekonomis baru
dari tebu yang dapat meningkatkan keuntungan petani tebu. Seperti pada kasus
“baby corn” yang telah menjadi salah satu jenis sayuran favorit, “cane flower”
juga dapat menjadi sayuran favorit di daerah non-tradisional (Guimaeraes &
Sobral 1997; D’Hont et al. 2002). James (2004) menyatakan bahwa dengan
pembungaan yang tidak biasa, membengkak dan bunga aborsi, terubuk
dimanfaatkan sebagai sumber makanan di Melanesia.
Bunga terubuk sering digunakan sebagai bahan pengganti cauliflower di
Eropa (Premachandran 2006). Pada umumnya masyarakat tidak mengetahui cara

6

pengolahannya karena salah mengenali terubuk dengan menganggap tanaman ini
sebagai kaso (S. spontaneum) yang secara morfologi memang sangat mirip.
Secara tidak langsung pemanfaatan terubuk hanya sebatas sebagai pakan ternak
saja. Bentuk tanaman terubuk sama dengan tebu, yaitu memiliki batang yang
beruas-ruas dan berwarna hijau kemerahan, namun rasa batangnya tidak terlalu
manis (Gambar 2).

A

Gambar 2 Morfologi tanaman terubuk : A. di lapangan; B. dalam polibag

Di daerah Jawa Barat, terubuk dikenal dengan nama tiwu endog atau
terubus, sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan nama tebu
endog atau tebu terubuk. Bunga terubuk dipasarkan dengan cara dijual per ikat
yang berisi 10-15 bunga (Gambar 3A). Sebutan endog atau telur pada nama
tanaman ini disebabkan tekstur bunga yang dikonsumsi menyerupai telur ikan
(Daulay 1984) (Gambar 3B). Nama asing terubuk adalah Fiji asparagus, duruka
atau pit-pit (http://ecocrop.fao.org).
Seperti pada sayuran lainnya, terubuk kaya akan nutrisi dan zat-zat baik
bagi tubuh. Terubuk banyak mengandung mineral utama terutama kalsium dan
fosfor, disamping vitamin C. Dalam 100 g bunga terubuk segar terkandung

B

7

4,3 g, kalsium 25 mg, zat besi 2 mg, vitamin C 35 mg, dan air 92,4 % dengan total
energi sebesar 120 kJ (French 2006).

kk

A

B

Gambar 3 Bunga terubuk: A. dalam 1 ikat berisi 10-15 bunga; B. dibuka kelobot

Budidaya terubuk masih terbatas dengan bahan tanaman setek batang. Hal
ini disebabkan karena terubuk tidak dapat menghasilkan biji, bunga terubuk tidak
dapat berkembang sempurna sampai membentuk biji. Perbanyakan dengan
menggunakan setek batang memerlukan bahan tanam dalam jumlah banyak,
waktu yang lama dan areal penanaman yang luas. Hasil yang didapat dari
perbanyakan konvensional adalah antara 7-22 tunas per setek 2 buku tanaman
terubuk berumur antara 7-22 minggu dengan jarak tanam 70 cm x 70 cm, jumlah
bunga per rumpun yang berisi 14 tanaman antara 14-108 bunga terubuk
(Kurniatusolihat 2009, Jannah 2011).

Teknik Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman yang
dilakukan untuk menjawab berbagai masalah yang terjadi dalam perbanyakan
tanaman secara konvensional. Kultur in vitro adalah suatu teknik mengisolasi
bagian tanaman seperti protoplas, sel, jaringan dan organ, yang kemudian

8

menumbuhkannya dalam media buatan dengan kondisi aseptik dan terkendali.
Dasar teknik kultur jaringan adalah teori totipotensi sel yang menyatakan bahwa
setiap sel merupakan suatu satuan otonom dan mempunyai kemampuan untuk
beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Gunawan 1988). Metode kultur
jaringan dapat menghasilkan bibit dalam jumlah besar tanpa memerlukan jumlah
induk yang banyak, waktu yang relatif singkat dan bibit yang dihasilkan bebas
patogen (Zulkarnain 2009). Kultur in vitro merupakan teknik menumbuh
kembangkan bagian tanaman baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi
aseptik. Meskipun pada prinsipnya semua sel dapat ditumbuhkan, sebaiknya
dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh, seperti anakan atau
mata tunas, buku, daun muda, tangkai daun, akar, antera, ovul, polen (George &
Sherrington 1984; Hendaryono & Wijayani 1994; Yusnita 2004; Yuwono 2008).
Teknik ini pada awalnya digunakan dalam usaha perbanyakan tanaman
secara cepat, namun saat ini telah berkembang menjadi sarana pendukung
program perbaikan sifat tanaman (Farid 2003). Faktor penting dalam keberhasilan
perbanyakan tanaman secara in vitro, yaitu bahan tanam awal, media dan
lingkungan kultivasi yang sesuai. Eksplan (bahan tanam awal) adalah bagian
tanaman (dapat berupa sel, jaringan atau organ). Bagian tanaman yang digunakan
sebagai eksplan sebaiknya merupakan bagian yang mempunyai sel aktif
membelah, berasal dari tanaman induk yang sehat dan berkualitas tinggi. Media
yang digunakan harus mencukupi kebutuhan tanaman, seperti unsur hara makro
dan mikro, zat besi, vitamin, mineral, karbon, asam organik dan zat pengatur
tumbuh (ZPT).
Regenerasi tanaman secara in vitro dapat dilakukan melalui organogenesis
(secara langsung dan tidak langsung untuk pembentukan tunas atau akar) atau
embriogenesis somatik (melalui pembentukan struktur bipolar) (Falco et al.
1996). Organogenesis secara langsung terjadi apabila eksplan yang dikulturkan
langsung membentuk tunas atau akar kemudian membentuk tanaman utuh
(planlet) tanpa melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Organogenesis secara
tidak langsung terjadi apabila eksplan yang dikulturkan membentuk kalus terlebih
dahulu sebelum membentuk tunas atau akar. Kalus merupakan sekumpulan sel
amorphous (tidak terorganisir atau belum terdiferensiasi) yang terjadi dari sel-sel

9

jaringan yang membelah diri secara terus-menerus (Gunawan 1988). Kemampuan
kalus untuk beregenerasi sangat ditentukan oleh media yang digunakan dan
komposisi zat pengatur tumbuh dalam media.

Zat Pengatur Tumbuh
Kelompok zat-zat yang dalam jumlah kecil mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan organisme (tanaman), disebut sebagai zat pengatur tumbuh
(ZPT). ZPT adalah zat-zat yang keaktifannya jauh berlipat ganda apabila
dibandingkan dengan konsentrasinya. Keaktifan tersebut menyangkut proses
fisiologi tanaman seperti pertumbuhan, diferensiasi, dan perkembangan tanaman
serta proses-proses lain seperti pembukaan stomata, serapan hara, dan translokasi
(Davies 2004).
Zat pengatur tumbuh sangat diperlukan sebagai komponen medium bagi
pertumbuhan dan diferensiasi sel eksplan. Tanpa penambahan zat pengatur
tumbuh dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat, bahkan mungkin tidak
tumbuh sama sekali. Setiap eksplan yang berasal dari organ dan spesies yang
berbeda akan membutuhkan zat pengatur tumbuh yang berbeda pula. Selain itu
dijelaskan pula oleh Gunawan (1988) bahwa zat pengatur tumbuh mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan atau organ secara in
vitro. Arah perkembangan kultur ditentukan oleh interaksi dan perimbangan
antara zat pengatur tumbuh yang diproduksi oleh sel tanaman secara endogen.
Walaupun pada eksplan terdapat zat pengatur tumbuh endogen tetapi sering kali
pada medium ditambahkan zat pengatur tumbuh eksogen untuk pertumbuhan dan
perkembangan eksplan yang ditanam secara in vitro.
Penentuan jenis dan konsentrasi ZPT dapat menentukan arah pertumbuhan
dan perkembangan eksplan (Santoso & Nursandi 2001). Senyawa ini dapat dibagi
menjadi beberapa golongan, yaitu auksin, sitokinin, giberelin, inhibitor dan etilen.
Setiap golongan memiliki fungsi dan karakteristik masing-masing dalam
pengaruhnya terhadap pertumbuhan eksplan (Hendaryono & Wijayani 1994).
Dibandingkan dengan ZPT lainnya, auksin dan sitokinin merupakan ZPT yang
paling banyak digunakan dalam kultur jaringan tanaman (Gunawan 1988). Auksin
berperan dalam pembesaran dan pembelahan sel, diferensiasi jaringan vaskuler,

10

inisiasi akar adventif serta tanggap tropistik. Sitokinin berperan dalam
meningkatkan pembelahan sel, proliferasi pucuk dan morfogenesis pucuk (Davies
2004). Gunawan (1988) menyatakan bahwa dua golongan zat pengatur tumbuh
yang sangat penting dalam kultur jaringan tanaman adalah auksin dan sitokinin.
George & Sherrington (1984), menyatakan bahwa inisiasi tunas dan akar diatur
oleh interaksi auksin dan sitokinin yang diberikan dalam media.
Auksin dikenal sebagai hormon yang mampu berperan menginduksi
terjadinya kalus, mendorong proses morfogenesis kalus membentuk tunas atau
akar, mendorong proses embriogenesis, dan dapat mempengaruhi kestabilan
genetik sel tanaman (Arteca 1996: Santoso & Nursandi 2001). Jenis auksin yang
sering digunakan adalah 2,4-diclorophenoxy acetic acid (2,4-D), α-naphthalene
acetic acid (NAA) dan indole butyric acid (IBA). IAA (indole acetic acid)
merupakan satu satu jenis auksin alami yang terdapat dalam tumbuhan
(Zulkarnain 2009). Menurut Hendaryono & Wijayani (1994) IAA dapat
mengalami degradasi yang disebabkan adanya cahaya atau enzim oksidatif. Oleh
karena sifatnya yang labil IAA jarang digunakan dan hanya merupakan hormon
alami yang ada pada jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. NAA
tidak mudah terurai oleh enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses
sterilisasi. Pemakaian zat pengatur tumbuh 2,4–D biasanya digunakan dalam
jumlah kecil dan dalam waktu yang singkat, antara 2-4 minggu karena merupakan
auksin kuat, artinya auksin ini tidak dapat diuraikan di dalam tubuh tanaman
(Hendaryono & Wijayani 1994). 2,4-D pada suatu konsentrasi tertentu sanggup
membuat mutasi-mutasi karena mempunyai sifat fitotoksisitas yang tinggi
sehingga dapat bersifat herbisida (Wattimena 1988; Suryowinoto 1996). Kisaran
konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01-3,0 mg l-1 (Amien et al. 2007:
Conde et al. 2008; Yuan et al. 2008).

Sitokinin adalah kelompok senyawa organik yang mampu menginduksi
pembelahan sel (George & Sherrington 1984). Pengaruh sitokinin di dalam kultur
jaringan tanaman antara lain berhubungan dengan proses pembelahan sel,
proliferasi tunas aksilar, penghambatan pertumbuhan akar dan induksi umbi mikro
terutama pada kentang. Pembelahan mitosis tidak akan terjadi tanpa sitokinin
(Wattimena 1988). Gunawan 1988; Davies 2004; Zulkarnain 2009, menyebutkan

11

bahwa secara alami sitokinin ditemukan dalam bentuk 4-hydroxi-3-methyl-trans2-butenylaminopurine (zeatin) dan 2-isopentyl adenine (2-IP), sitokinin sintesis
yang

sering

ditambahkan

dalam

kultur

jaringan

adalah

kinetin

(6-furfurylaminopurine), thidiazuron dan 6-benzylaminopurine (BAP).
Penggunaan auksin dalam kultur jaringan pada umumnya dilakukan
melalui kombinasi dengan sitokinin. Nisbah sitokinin dan auksin akan
menentukan apakah suatu eksplan akan membentuk tunas adventif, akar, atau
tunas adventif dan akar (Yusnita 2004; George & Sherrington 1984).
Perimbangan konsentrasi yang lebih efisien dari auksin dan sitokinin tidak dapat
ditentukan dengan pasti, karena sumber ZPT yang sama pada tanaman yang
berbeda dapat memberikan efek yang berbeda. Konsentrasi yang tepat dari ZPT
perlu diperhatikan, karena akan mempengaruhi kecepatan inisiasi, sehingga
dibutuhkan studi untuk mengetahui konsentrasi yang paling efisien dari ZPT ini
bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Gunawan (1988) melaporkan bahwa pada perbanyakan tebu secara in
vitro, zat pengatur tumbuh yang ditambahkan pada media diferensiasi untuk
organogenesis kalus adalah auksin 1 mg l-1 dan sitokinin 1 mg l-1. Peningkatan
konsentrasi sitokinin akan mendorong pembentukan tunas yang kemudian akan
tumbuh menjadi planlet dalam kondisi yang sesuai. Pada konsentrasi auksin dan
sitokinin yang sama cenderung terjadi pertumbuhan yang tidak terdiferensiasi.
Namun pada genotipe tanaman yang berbeda akan memperlihatkan arah
morfogenesis yang berbeda sehingga tidak ada suatu perbandingan antara auksin
dan sitokinin yang bersifat universal yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
menginduksi tunas dan akar.
Interaksi kedua zat ini mempengaruhi pertumbuhan, morfogenesis dalam
kultur sel, kultur jaringan dan organ. Konsentrasi dari kedua zat pengatur tumbuh
ini sering mengendalikan bentuk dan jumlah pertumbuhan suatu kultur. Apabila
interaksi auksin dan sitokinin seimbang, maka akan dapat menginduksi kalus.
Untuk induksi tunas diperlukan konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi dibanding
auksin, berbanding terbalik bila untuk induksi perakaran.

Tabel 1 Kombinasi zat pengatur tumbuh pada kultur jaringan tebu
Sumber Penelitian

Induksi kalus
-1

Induksi tunas
-1

Induksi akar
-1

½ MS + 3 mg l-1

Karim et al. 2002

MS+ 2,4-D 3 mg l + CW 10%

MS + BAP 1 mg l + IBA 0,5 mg l

Karim et al. 2002

MS+ 2,4-D 3 mg l-1 + CW 10%

MS + BAP 1 mg l-1 +

IBA 0,5 mg l-1

MS + NAA 5 mg l-1

Khalil 2002

MS+ 2,4-D 3 mg l-1 + CH 5 mg l-1 +
CW 10%

Baksha et al. 2002

MS + BAP 2 mg l-1 +

Kn 0,5 mg l-1

½ MS + NAA 5 mg l-1

Farid 2003

MS + BAP 0,5 mg l-1 + IBA 1,5 mg l-1

MS + BAP 1 mg l-1 + IBA 1 mg l-1

Cheema et al. 2004

MS + BAP 0,4 mg l-1 + Kn 0,4 mg l-1

½ MS

Ananda 2004

MS + 2,4-D 3 mg l-1 + Kn 0,1 mg l-1

Ms + NAA 2 mg l-1 +

Kn 1,3 mg l-1

Ali et al. 2008

MS + 2,4-D 3mg l-1

MS + BAP 1 mg l-1

Nurhasanah 2007

MS + 2,4-D 3 mg l-1 + Kn 0,1 mg l-1

MS + BAP 1 mg l-1 + NAA 1 mg l-1

MS+ NAA 2 mg l-1

Roy et al. 2007

MS + BAP 1,5 mg l-1 + NAA 0,5 mg l-1

MS+ NAA 2,5 mg l-1

Khan & Abdullah 2008

MS + BAP 0,5 mg l-1 + GA3 0,1 mg l-1

MS+ IBA 1 mg l-1
MS+ IBA 2 mg l-1

Susiyanti 2008

MS + 2,4-D 3 mg l-1 + Kn 0,1 mg l-1

MS + BAP 0,5 mg l-1 + Kn 0,1 mg l-1

Behera & Santilata 2009

MS+ 2,4-D 2,5 mg l-1

MS + BAP 2 mg l-1 + NAA 0,5 mg l-1

½ MS+NAA 3 mg l-1

Keterangan: CW= coconut water (air kelapa); Kn= Kinetin

12

13

Prahardini & Sudaryono (1992) menyebutkan bahwa penambahan
3,0 mg l-1 NAA dan 2,0 mg l-1 BA efektif untuk induksi kalus pepaya dan jumlah
tunas per kalus meningkat dengan peningkatan NAA dari 1,0-3,0 mg l-1. Hasil
penelitian Wulandari et al (2006) pada tanaman jeruk manis menunjukkan bahwa
kombinasi NAA 0,1-1,0 mg l-1 dan BA 0,1-1,0 mg l-1 dapat menginduksi kalus
dan akar, tetapi tidak untuk tunas. Penelitian Maryani & Zamroni (2005) pada
krisan menunjukkan bahwa perimbangan BAP dan IAA sebanyak 1,0 mg l-1 dapat
meningkatkan multiplikasi tunas secara in vitro.
Walaupun perbanyakan secara kultur jaringan telah banyak dilakukan
tetapi penelitian tentang komposisi media untuk berbagai spesies tanaman masih
diperlukan. Hal ini disebabkan tanaman yang berbeda membutuhkan komposisi
media, ZPT dan vitamin yang berbeda pula, demikian juga bagian tanaman yang
dijadikan eksplan akan memerlukan komposisi media tertentu yang berbeda.
Tabel 1 yang menyajikan komposisi zat pengatur tumbuh pada induksi kalus,
tunas dan akar pada tanaman tebu.

14

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni
2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan
Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor (BB-Biogen Bogor) dan Laboratorium
Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan tanam (eksplan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
“janggle” bunga terubuk, buku batang setek tanaman terubuk, daun muda yang
masih menggulung, dan akar. Tanaman terubuk diambil dari Kampung
Banyuwangi, Cigudeg, Bogor, yang telah diperbanyak dengan menggunakan setek
di dalam polybag selama 4 bulan, sedangkan bunga terubuk didapat dari beberapa
pasar tradisional di sekitar Bogor.
Media yang digunakan untuk perlakuan dalam penelitian ini adalah media
dasar Murashige dan Skoog (MS). Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah
aquades, komponen dari media dasar MS, 30 g l-1 sukrosa, dan bahan pemadat
berupa 2 g l-1 phytagel. Zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan ke dalam
media sebagai perlakuan berupa 2,4-D, Kinetin, Thidiazuron, NAA, BAP dan
GA3. Bahan untuk sterilisasi eksplan adalah Agrept, Dithane-45, Alkohol, Bayclin
dan Betadin.
Peralatan yang digunakan adalah Laminar Air Flow Cabinet (LAFC),
autoklaf, mikropipet, alat-alat diseksi (pinset, gunting, dan skalpel), pH meter,
botol kultur, peralatan gelas, bunsen dan sprayer.

Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas lima tahapan, yaitu:
1. Eksplorasi eksplan terubuk dan sterilisasi ekplan
2. Induksi kalus
3. Induksi tunas

15

4. Elongasi dan induksi akar
5. Aklimatisasi

Persiapan Bahan Tanam
Dilakukan persiapan bahan tanam sebagai sumber eksplan yaitu
penanaman setek tanaman terubuk di dalam polibag (Gambar 4) yang
dilaksanakan pada bulan Oktober 2009. Sekitar 3 ruas batang digunakan sebagai
sumber eksplan in vivo. Tunas yang tumbuh dari ruas batang kemudian
disterilisasi dan ditumbuhkan secara in vitro pada media prekondisi untuk
mendapatkan sumber eksplan in vitro.

Gambar 4 Setek tanaman terubuk dalam polibag

Sterilisasi Eksplan
Proses sterilisasi awal dilakukan di luar laminar air flow cabinet, dengan
mencuci dan menyikat lembut bunga, tunas, daun tua, daun muda yang masih
menggulung dan akar terubuk menggunakan air yang mengalir dan direndam
dalam larutan sabun selama 10 menit, kemudian direndam dengan larutan Agrept
dan Dithane-45 masing-masing 0,2% selama ± 1 jam. Kegiatan sterilisasi di dalam
laminar berbeda untuk setiap bahan tanam.

16

Tahapan sterilisasi pada bunga terubuk di dalam laminar adalah dengan
menyemprotkan alkohol 96% ke seluruh bagian bunga. Bunga kemudian dibakar
di atas bunsen beberapa kali. Penanaman dilakukan dengan membuka atau
mengupas kelobot bunga sampai habis (Gambar 5A). Bagian “janggle” bunga
terubuk (Gambar 5B) dipotong menjadi beberapa bagian berukuran ± 1 cm.

A

B

Gambar 5 Potongan bunga terubuk: A. potongan melintang bunga terubuk;
B. bagian “janggle” bunga
Tahapan sterilisasi pada tunas di dalam laminar adalah dengan merendam
eksplan dalam Bayclin 30% selama 15 menit, membilas ke dalam aquades steril
sebanyak 3 kali, dilanjutkan dengan merendam eksplan ke dalam Bayclin 10%
selama 30 menit, kemudian membilas ke dalam aquades steril sebanyak 3 kali,
dan terakhir dengan merendam ke dalam larutan Betadine selama 30 menit
(Gambar 6A). Penanaman dilakukan dengan membuka atau mengupas beberapa
lapis tunas (Gambar 6B). Tunas terubuk dipotong menjadi beberapa bagian
berukuran ± 1 cm.

17

A

B

Gambar 6 Tunas terubuk: A. tahap sterilisasi; B. dalam botol kultur

Tahapan sterilisasi pada daun yang masih menggulung dalam tunas
di dalam laminar adalah dengan merendam eksplan dalam Bayclin 30% selama 10
menit, membilas ke dalam aquades steril sebanyak 3 kali, dilanjutkan dengan
merendam eksplan ke dalam Bayclin 20% selama 5 menit, kemudian membilas ke
dalam aquades steril sebanyak 3 kali. Daun terubuk dipotong menjadi beberapa
bagian berukuran ± 1 cm.
Tahapan sterilisasi pada akar terubuk di dalam laminar adalah dengan
merendam eksplan dalam alkohol 96% selama 3 menit, membilas ke dalam
aquades steril sebanyak 3 kali, dilanjutkan dengan merendam eksplan ke dalam
alkohol 70% selama 3 menit, kemudian membilas ke dalam aquades steril
sebanyak 3 kali, dan terakhir dengan merendam ke dalam larutan Betadin selama
5 menit.
Masing-masing media terdiri atas 4 botol, 1 botol berisi 2 eksplan. Kultur
diinkubasi pada suhu 22±3 0C dalam ruang gelap untuk induksi kalus dan dalam
kondisi terang untuk induksi tunas dan akar.

18

Pembuatan Media Tanam In Vitro
Media tanam in vitro yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua
jenis berdasarkan tujuan pengunaannya, yaitu media prekondisi dan media
perlakuan. Media prekondisi digunakan untuk mengetahui tingkat kesterilan
bahan tanam sebelum dijadikan eksplan in vitro. Hyponex digunakan sebagai
media prekondisi karena mengandung beberapa unsur hara yang dapat
mendukung pertumbuhan eksplan pada awal pertumbuhan. Media perlakuan yang
digunakan adalah media dasar MS yang ditambah dengan beberapa macam ZPT
sesuai dengan tahapan penelitian.
Media Hyponex 0.2% dibuat dengan menimbang Hyponex sebanyak 2 g
yang ditambah dengan vitamin dan myo-inositol dengan konsentrasi yang sama
seperti dalam media MS, kemudian dilarutkan dalam 1 l aquades. Media MS
dibuat dengan mengambil setiap komponen media MS (Lampiran 1) dari larutan
stok yang telah dibuat sebelumnya. Semua media yang digunakan ditambahkan
dengan 30 g l-1 sukrosa, dan 2 g l-1 phytagel, dengan pH 5.8. Media yang telah
dibuat kemudian dimasukkan ke dalam botol kultur steril yang kemudian
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC dan tekanan 17,5-20 psi
selama 10 menit.

Induksi Kalus
Prosedur Pelaksanaan
Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, berupa
konsentrasi ZPT 2,4-D dengan dan tanpa tambahan 0,1 mg l-1 kinetin. Setiap
perlakuan ditambahkan dengan 100 mg l-1 kasein hidrolisat. Komposisi media
untuk induksi kalus yaitu:
1. MS0 (kontrol)
2. MS + 1 mg l-1 2,4-D
3. MS + 3 mg l-1 2,4-D
4. MS + 5 mg l-1 2,4-D
5. MS + 1 mg l-1 2,4-D + 0,1 mg l-1 kinetin
6. MS + 3 mg l-1 2,4-D + 0,1 mg l-1 kinetin

19

7. MS + 5 mg l-1 2,4-D + 0,1 mg l-1 kinetin
Eksplan yang digunakan adalah “janggle” terubuk yang telah dipotong
menjadi beberapa bagian (ukuran eksplan ± 1 cm). Setiap perlakuan diulang
sebanyak 4 kali, dalam setiap satuan percobaan terdiri atas 1 botol kultur yang
berisi 2 eksplan, sehingga terdapat 28 satuan percobaan. Eksplan dengan
konsentrasi ZPT yang terbaik untuk induksi kalus, disubkultur terus setiap 4
minggu pada medium yang sama selama 12 minggu. Kultur dipelihara dalam
ruang kultur gelap dengan suhu 25⁰C.
Rancangan
Model linear aditif yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai
berikut (Mattjik & Sumertajaya 2006) :
Yij = µ + αi + εi
Dimana: i = 1, 2, ...,7 dan j = 1, 2, 3
Yijk

: Pengamatan pada konsentrasi ZPT ke-i

µ

: Rataan umum

αi

: Pengaruh konsentrasi ZPT ke-i

εij

: Pengaruh galat percobaan perlakuan ZPT ke-i.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap peubah waktu muncul kalus (minggu
setelah tanam atau MST) yang dilakukan setiap minggu, persentase jumlah
eksplan yang membentuk kalus (%) dan bobot basah kalus (g) yang diamati pada
akhir pengamatan.

Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf
nyata (α) 5% dengan menggunakan program SAS 9.1. Jika uji F menunjukkan
beda nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT).

20

Induksi Tunas
Prosedur Pelaksanaan
Percobaan ini menggunakan media induksi kalus terbaik pada percobaan
pertama (3 mg l-1 2,4-D + 0,1 mg l-1 kinetin). Dilanjutkan subkultur ke media
induksi tunas (yang telah ditambahkan 0,1 mg l-1 NAA dan 0,25 mg l-1 GA3),
sebagai berikut:
1. MS + 1 mg l-1 BAP
2. MS + 3 mg l-1 BAP
3. MS + 5 mg l-1 BAP
4. MS + 0,5 mg l-1 kinetin
5. MS + 1 mg l-1 kinetin
6. MS + 1,5 mg l-1 kinetin
7. MS + 0,25 mg l-1 Thidiazuron
8. MS + 0,5 mg l-1 Thidiazuron
9. MS + 1 mg l-1 Thidiazuron
Eksplan yang digunakan adalah “janggle” terubuk yang telah dipotong
menjadi beberapa bagian (ukuran eksplan ± 1 cm). Setiap perlakuan diulang
sebanyak 4 kali sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Kultur dipelihara dalam
ruang kultur dengan fotoperiodisitas 24 jam terang, suhu 25⁰C dan intensitas
cahaya 1500 lux. Tunas yang berasal dari media induksi tunas aksilar terbaik
ditumbuhkan pada media yang sama untuk multiplikasinya selama 8 minggu.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap waktu muncul tunas (MST), jumlah tunas
yang terbentuk dan ukuran tunas.

21

Elongasi Tunas dan Induksi Akar
Tunas yang berukuran besar (1-3 cm) disubkultur ke media MS (kontrol)
untuk pemanjangan tunas dan pembentukan akar. Kultur dipelihara dalam ruang
kultur dengan fotoperiodisitas 24 jam terang, suhu 25⁰C dan intensitas cahaya
1500 lux. Tunas ditumbuhkan pada media yang sama selama 12 minggu.

Aklimatisasi
Setelah tunas membentuk akar, planlet dipindahkan ke media aklimatisasi.
Akar dicuci lembut dengan air untuk memisahkan akar dari media agar. Media
tanam yang digunakan dalam aklimatisasi berupa campuran arang sekam, tanah
dan kompos dengan perbandingan 1:1:1. Selama aklimatisasi, media tanam
disiram dengan media MS ½.

22

HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Eksplan Terubuk
Bahan tanam awal (eksplan) merupakan salah satu faktor penting dalam
keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Eksplan yang baik untuk
digunakan adalah bagian tanaman yang memiliki sel yang aktif membelah,
sebagai contoh bagian tanaman yang masih muda. Daun muda, ujung akar, ujung
batang, keping biji atau tunas dapat digunakan sebagai bahan tanam in vitro.
Upaya perbanyakan tebu secara in vitro telah banyak dilakukan melalui
eksplorasi bahan tanam (eksplan) dan media tanam yang sesuai. Hal yang sama
juga dilakukan pada in vitro terubuk. Eksplorasi sumber eskplan in vitro terubuk
mengacu pada kultur in vitro tebu. Eksplan yang digunakan antara lain “janggle”
bunga terubuk, tunas dari setek tanaman terubuk, daun muda yang masih
menggulung dalam tunas, daun tua dan akar.
Penggunaan eksplan tunas dari setek tanaman terubuk dan daun muda
yang masih menggulung dalam tunas mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi.
Kontaminasi bakteri terjadi setelah beberapa minggu eksplan ditanam dalam
media prekondisi. Telah dilakukan tindakan pencegahan kontaminasi, dengan
modifikasi proses sterilisasi yang lebih kompleks. Akan tetapi, kontaminasi tetap
terjadi. Eksplorasi sumber eksplan in vitro tanaman terubuk diperluas.
Penggunaan daun tua, akar, dan bunga terubuk digunakan sebagai sumber
eksplan. Kontaminasi terjadi pada eksplan daun tua dan akar.
Tingkat kontaminasi berkurang pada penggunaan bunga terubuk sebagai
sumber eksplan. Hal ini disebabkan karena bunga terubuk dilindungi oleh
pelepah/kelobot yang berlapis-lapis. Bagian bunga terubuk yang digunakan
sebagai sumber eksplan adalah “janggle” bunga. Tabel 2 menunjukkan
kemampuan bagian-bagian tanaman terubuk yang digunakan sebagai eksplan in
vitro.

23

Tabel 2 Eksplorasi bahan tanam kultur in vitro terubuk
Bagian tanaman

Bunga
Daun muda
Daun tua
Tunas
Akar

% keberhasilan
sterilisasi

% kemampuan
membentuk kalus

% kemampuan
membentuk tunas

90
10
10
60
0

90
0
0
0
0

90
0
0
0
0

Keterangan: % dihitung dari jumlah total bahan tanam yang digunakan dibandingkan dengan
jumlah total bahan tanam yang berhasil disterilkan, mampu untuk membentuk kalus
dan tunas

Tabel 2 menunjukkan bahwa bagian bunga tanaman terubuk ternyata
mampu menghasilkan kalus dan tunas dengan tingkat kontaminasi terkecil (10 %).
Bagian bunga terubuk yang dijadikan eskplan adalah “janggle” bunga yang
berukuran 3-5 cm dari pangkal bunga. Eksplan bunga terubuk memiliki tingkat
keberhasilan sterilisasi (90 %) dan tingkat kontaminasi terendah disebabkan
karena bunga terubuk memiliki lapisan-lapisan atau kelobot yang melindungi
“janggle” dari kontaminan luar.
Proses sterilisasi yang beragam telah dilakukan guna mendapatkan bahan
tanam yang steril. Penggunaan sterilan alkohol 96 % dengan menyemprotkan ke
bunga terubuk dan membakarnya merupakan cara yang tepat untuk mendapatkan
bahan tanam yang steril.

Induksi Kalus
“Janggle” bunga terubuk digunakan sebagai eksplan dalam induksi kalus.
Perlakuan zat pengatur tumbuh (ZPT) 2,4-diclorophenoxy acetic acid (2,4-D)
berpengaruh sangat nyata terhadap peubah waktu muncul kalus (MST), persentase
terbentuknya kalus (%), dan bobot basah kalus (g), yaitu antara eksplan yang
ditanam pada media yang mengandung 2,4-D dengan media tanpa 2,4-D (kontrol).
Perbedaan konsentrasi 2,4-D tidak berpengaruh nyata terhadap peubah waktu
muncul kalus. Penambahan 0,1 mg l-1 kinetin tidak memberikan perbedaan nyata
terhadap peubah waktu muncul