Keracunan Pangan oleh Mikroba

KERACUNAN PANGAN OLEH MIKROBA
ALBINER SIAGIAN Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Selama proses produksi, yang meliputi pengolahan, pengemasan, transportasi, penyiapan, penyimpanan dan penyajian, makanan mungkin terpapar pada kontaminasi mikroba penyebab infeksi atau intoksikasi. Jika mikroba atau toksin yang dihasilkanya mencapai jumlah yang cukup dan dikonsumsi oleh manusia, maka terjadilah keracunan pangan.
Untuk menentukan apakah suatu kejadian (Outbreak) keracunan pangan oleh mikroba telah terjadi, maka perlu dilakukan penyelidikan pada makanan, korban keracunan dan tempat kejadiannya. Ilmu yang secara khusus mempelajari hal ini disebut epidemiologi. Proses penyelidikan epidemiologi ini bertujuan untuk mengidentifikasi makanan penyebab, sebab terjadinya keracunanan serta ada tidaknya mikroba patogen yang sama pada makanan dan pada spesimen penderita. Apabila mikroba patogen penyebab keracunan dapat diidentifikasi, maka dapat diberikan pengobatan yang tepat bagi korban keracunan. Penyelidikan ini dapat juga menunjukkan titik kritis dimana kontaminasi mungkin telah terjadi. Hasil penyelidikan yang didiseminasikan kemasyarakat akan meningkatkan kewaspadan masyarakat awam atau industri pangan tentang keamanan pangan sehingga kejadian serupa tidak terulang. Untuk menunjang suksesnya penyelidikan epidemiologi maka diperlukan rencana penyelidikan yang tepat, sumber daya manusia yang terampil dan prosedur deteksi patogen yang tepat dan cepat.. Dalam makalah ini akan dibahas cara melakukan penyelidikan pada kejadian keracunan pangan oleh mikroba dengan mengacu pada prosedur yang dipublikasikan oleh The International Association of Milk, Food and Environmental Sanitarians. Beberapa cara deteksi patogen pangan, baik konvensional maupun baru akan dibahas dibawah ini
PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH PATOGEN ASAL MAKANAN
Secara teoritis pembuktian bahwa suatu penyakit disebabkan oleh mikroba patogen dapat dilakukan sesuai dengan postulat koch. Berdasarkan postulat tersebut suatu mikroba yang bersifat patogen harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Secara konsisten bisa diisolasi dari orang yang sakit 2. Bisa ditumbuhkan pada media sintetis dilaboratorium 3. Kultur yang ditimbulkan bisa suntikkan kepada hewan percobaan dan
menghasilkan penyakit yang sama 4. Dari hewan tersebut harus bisa diisolasi mikroba yang sama.
Cara pembuktian tersebut ternyata tidak bisa diterapkan dengan mudah pada beberapa penyakit yang disebabkan karena patogen asal makanan (Foorborne pathogen). Hal ini disebabkan karena :
1. Patogen asal makanan bisa menyebabkan intoksikasi yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan sehingga sel mikroba mungkin tidak penting lagi keberadaannya (Misalnya pada entorotoksin Stapylococcus aureus)
2. Jika penyebabnya adalah virus maka tidak bisa digunakan medium sintetis

2002 digitized by USU digital library

1

3. Sering kali penyakitnya bersifat spesifik-inang sehingga tidak bisa dilakukan pembuktian dengan hewan percobaan
4. Beberapa penyakit yang disebabkannya memerlukan waktu inkubasi yang cukup lama.
Oleh karna pembuktian sera epidemiologi paling banyak diterapkan untuk menangani kasus-kasus atau kejadian keracunan pangan. Dengan metode ini isolat yang secara konsisten ditemukan pada spesimen dam bahan pangan yang paling dominan dalam suatu kejadian disimpulkan sebagai patogen penyebab kejadian tersebut.. Penyelidikan semacam inilah yang diterapkan sehingga “ditemukan“ Escherichia coli enterohemoragik (0157: H7) sebagai penyebab kejadian diare berdarah yang disebabkan oleh konsumsi hamburger yang pertama kali diketahui pada tahun 1982. Cara yang sama digunakan dalam penetapan Listeria monocytogenes sebagai penyebab kejadian keracunan keju lunak di negara bagian California pada tahun 1985 yang mengakibatkan 30 kematian pada ibi-ibu hamil.

Keracunan Pangan
Kejadian (outbreak) adalah terjadinya dua atau lebih kasus penyakit yang disebabkan oleh suatu jenis makanan. Untuk kasus keracunan tertentu (botulism oleh Clostridium botulinim, oleh toksin paralis yang disebabkan karena konsumsi kerang) yang sering hanya terdiri dari satu kasus tetapi berakibat fatal, disebut insiden.
Penyelidikan kejadian
Pencatatan Keluhan Penyelidikan terhadap suatu kejadian diawali dengan mendata semua keluhan
(complaint), baik yang dilaporkan oleh perseorangan, dokter, atau laboratorium rumah sakit. Keluhan dari perseorangan biasanya berupa gejala sakit, dokter bisa melaporkan beberapa orang sakit dengan gejala yang sama pada waktu selang yang bersamaan sedangkan laboratorium mungkin melapor karena pada selang waktu tertentu mengisolasi mikroba patogen dengan frekuensi tinggi. Penyelidikan ini umumnya dilakukan oleh departemen kesehatan. Pencatatan keluhan mencakup data pribadi orang, makanan atau minuman yang dikonsumsi selama 72 jam sebelum gejala yang dikeluhkan muncul, serta kalau mungkin makanan atau minuman yang dicurigai.
Sejarah kasus Penyelidikan kemudian dimulai dengan mewawancarai korban keracunan.
Wawancara ini juga dilakukan pada orang yang sama umur, jenis kelaminya yang tidak terkena penyakit sebagai kontrol kasus (case-control). Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan sejarah kasus (case history), yang berupa catatan lengkap dengan umur, alamat, pekerjaan, tempat kerja, ras/suku, alergi, gejalagejala yang diderita, waktu dimulainya suatu kasus (onset), lama sakit, waktu inkubasi, tingkat fatalitas, obat yang dimakan, orang dalam satu keluarga yang mengalami penyakit serupa (Lampiran I). Selain itu dicatat secara rinci jenis makanan, minuman, tempat makan (restoran, pesta,piknik) selama 72 jam sebelum gejala penyakit tidak muncul (Lampiran II). Dari sejarah kasus-kasus tiap individu,
kemudian tidak dibuat rekapitulasi sejarah kasus yang terdiri dari tempat dan tanggal
kejadian data pribadi masing-masing kasus atau kontrol, onset gejala, waktu inkubasi gejala penyakit, makanan atau minuman yang dicurigai, serta hasil analisa laboratorium dari spesimen (Lampiran III).

2002 digitized by USU digital library

2

Jika makanan yang dicurigai masih tersedia, maka makanan segera dikoleksi dan dilakukan pengujian mikrobiologis. Jika makanan tersebut tidak tersedia dan merupakan produk olahan pabrik atau restoran maka biasanya diambil makanan (stok) yang sama dari lot yang sama. Berdasarkan informasi tentang gejala penyakit dan sebagainya maka bisa direkomendasikan pengujian yang akan menunjang studi epidemiologi itu. Patogen dan atau metabolitnya yang umum diuji adalah : Staphylococci enterotoksin dari Staphylococci Clostridium perferingens, Bacillus cereus, Salmonella,Shigella, Escheriachia coli, Vibrio parahaemolyticus, koliform, Koliform fekal, Enterobacteriaceae atau yang dianggap perlu. Pengujian serupa dilakukan terhadap spesimen penderita yang dikoleksi. Spesimen tersebut bisa berupa feses, vomitus, darah dan sebagainya. Terhadap tempat kejadian juga dilakukan evaluasi bahaya (hazard assesment), yaitu dengan cara membuat diagram alir itu dicantumkan tahap pengolahan, pekerja yang bertanggung jawab terhadap tahap pengolahan tersebut, dan apakah tahap perlakuan memungkinkan kontaminasi, survival atau terbunuhnya mikroba patogen (Lampiran 4). Dari diagram alir ini dapat diidentifikasi titik kendali kritis, kriteria pengedalian dan pemantauannya. Hasil ini didukung oleh analisa laboratorium terhadap alat dan pekerja yang mungkin merupakan sumber kontaminasi
Interprestasi data Data-data diatas kemudian direkapitulasi sehingga memungkinkan
interprestasinya. Interprestasi ini akan dikumpulkan sehingga dapat dibuat laporan lengkap tentang suatu kejadian yang dapat dipublikasikan untuk menghentikan peredaran makanan, me’recall” atau mengkarantina produk. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari data tersebut dijabarkan dalam :
1. Kurva epidemik Kurva ini menunjukkan waktu dimulainya (onset) tiap-tiap kasus. Selang waktu
onset umumnya diukur dari sejak gejala kasus pertama sampai kasus terkhir dimulai.
2. Gejala yang dominan Gejala yang dominan didasarkan pada persentasi dari korban keracunan yang mengeluhkan suatu gejala tertentu (Tabel 1). Dengan mengacu pada pustaka tentang gejala penyakit yang disebabkan oleh patogen tertentu, hasil ini dapat digunakan untuk menunjukkan jenis patogen yang harus diuji.


2002 digitized by USU digital library

3

15
c 12 a s e9 s
6
3
4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 PM AM Waktu dimulainya gejala
Gambar 1. Kurva epidemik (selang onset = 12 jam)

Tabel 1. Gejala dominan pada kejadian keracunan

Gejala

Jumlah korban

Mual


44

Muntah

36

Diare

15

Kejang perut

2

Demam

4

Lain-lain


5

* Dari 50 korban yang terlibat dalam satu kejadian

Persentase 88 71 30 4 8 10

3. Waktu inkubasi Waktu inkubasi adalah waktu antara saat mengkonsumsi makanan penyebab keracunan sampai di mulainya suatu gejala penyakit. Karena hal ini tidak mudah diperoleh, maka perlu waktu inkubasi biasanya diperkirakan dari kurva epidemik. Misalnya jika kasus ke 25 (dari 50 kasus dalam satu kejadian) terjadi jam 12 siang hari jumat dan selang onset adalah 24 jam, maka diperkirakan bahwa makanan penyebab keracunan dikonsumsi 24 jam dini dari kasus ke-25 tersebut yaitu pada hari kamis jam 12 siang (Gambar 2).

2002 digitized by USU digital library

4

12

one

‘span’

span=24 hour s


before 9

median

onset

6

................................................... ........... ....

3

____ ___ 12 n 10 12 4 8 12 4 8 12

AM PM

Waktu dimulainya gejala Gambar 2. Perkiraan waktu inkubasi dari kurva epidemik

4. Food-spesific attack rate Hal lain yang sangat penting adalah perhitungan food-spesific attack rate (angka keracunan makanan tertentu). Untuk setiap makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan, persentase penyakit di antara orang yang mengkonsumsikannya (attack rate) dibandingkan dengan attack rate diantara orang yang tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Dari beberapa makanan yang dicurigai tersebut makanan yang perbedaan persentase attack rate-nya terbesar adalah yang paling mungkin merupakan penyebab keracunan tersebut. Tabel 2. memberikan contoh penentuan food-spesific attack rate.


Tabel 2. Angka keracunan pada makanan tertentu

Makanan
Rendang Soto ayam Gado-gado Puding moka

Kelompok yang

mengkonsumsi (kasus)

Sakit Tidak

%

sakit Sakit

83 4 95

58 14 81

43 20 68


84 29 81

Kelompok yang tidak

mengkonsumsi (kontrol)

Sakit Tidak

%

sakit Sakit

2 19 10

29 7 81

42 3 93

1 3 25


Perbedaan (%)
85 0 -25 56

METODE DETEKSI MIKROBA PATOGEN
2002 digitized by USU digital library

5

Seperti dikemukakan di muka, adanya produser yang tepat bagi patogen makanan akan sangat membantu penyelidikan kejadian dari kasus keracunan pangan. Metode yang tepat diharapkan cepat, murah, sensitif dan spesifik.
Metode yang sensitif memungkinkan patogen dalam jumlah rendah dapat dideteksi, sedangkan uji yang spesifik akan mengurangi mendapatkan hasil positif salah (false positive). Pada umunya metode pengujian patogen terdiri dari beberapa tahap sehingga memerlukan waktu yang sama.
Metode Konvensional
Metode konvensional untuk identifikasi dan penghitungan jumlah patogen biasanya merupakan kombinasi dari pemupukan, penggunaan mikrosop dan Most probable Number (MPN). Dengan metode ini pengujian bisa terdiri dari tahap-tahap pengkayaan, dan pengkayaan selektif dan uji lengkap (biokimiawi).
Pengkayaan biasanya dilakukan pada media kaya untuk mendukung pertumbuhan patogen yang umumnya terdapat dalam jumlah sedikit di dalam makanan. Pengkayaan selektif dilakukan dengan media selektif yang dapat menghambat mikroba yang tidak diinginkan. Hal ini biasanya dilakukan dengan pengguna zat penghambat atau penggunaan suhu inkubasi tertentu. Contoh aplikasi semacam ini adalah penambahan bila pada agar violet red bile (VRBA) untuk menghambat bakteri Gran positif, pengunaan tetrahionat dalam tetrahoinate broth yang dapat ditoleransi oleh Salmonella (karena memiliki tetrahionat oksidase) tetapi tidak oleh mikroba lainnya. Kelemahan dari penggunaan zat penghambat adalah terjadi luka (injury) pada mikroba yang diinginkan. Oleh karena itu usaha perbaikan metode pemupukan pada media selektif terus dikembangkan agar menekan jumlah injury. Pada metode overlay dengan VRBA untuk mendektesi koliform, misalnya, telah dilakukan berdasarkan sifat unik yang dimiliki oleh bakteri patogen tersebut. Salmonella misalnya, memiliki kemampuan untuk menghasilkan H2S, tumbuh pada sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon, tidak membentuk indol motil, tidak memfermentasi laktosa dan sebagainya.
Masalah utama dengan metode ini adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil pengujian. Pengujian terhadap salmonella, misalnya dapat menghabiskan waktu selama 6-8 hari. Oleh karena itu beberapa modifikasi telah banyak dilakukan. Uji lengkap biokimia untuk Salmonella misalnya dapat dilakukan dengan perangkat (kit) komersial yang berisi substrat yang telah dikering bekukan sehingga analisa dapat diamati hasilnya dalam waktu 4 jam.
Metode Imunokimia Metode pengujian patogen secara imunokimia didasari oleh reaksi spesifik
dan antibodi. Mikroba patogen adalah protein antigen yang disuntikkan ke hewan akan menginduksi terbentuknya antibodi. Antibodi yang terbentuk akan berikatan secara spesifik pada daerah-daerah antigenik (antigenic determiants) atau epitop yang dimiliki oleh patogen. Reaksi antigen-antibodi ini terjadi karena adanya sisi pada kedua molekul dengan struktur yang saling melengkapi.
Sebenarnya reaksi antigen-antibodi telah digunakan untuk identifikasi bakteri sejak lama, misalnya untuk aglutinasi. Beberapa format lainnya yang dikenal dengan gel difusi, ouchterlony, dan sebagainya.
Pada tahun 1970-an, berkembanglah teknik ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) yang menjadikan metode imunokimia salah satu metode penting dalam analisis mikroba patogen asal makanan. Hal ini disebabkan karena penggunaan enzim, dan bukan senyawa radioaktif, yang lebih aman bagi manusia. Dengan ELISA, mikroba yang akan diuji bisa diimobilasi pada fase padat (dasar tabung, dasar multi plates, membran), kemudian diinkubasi dengan antibodi yang


2002 digitized by USU digital library

6

spesifik bereaksi dengan antigen. Pemberian antibodi kedua yang berligan enzim akan menyebabkan ikatan dengan kompleks antigen-antibodi pertama. Subsrat spesifik untuk enzim lalu ditambahkan. Aktifitas enzim dalam mengubah subsrat (yang ditambahkan kemudian) menjadi produk sebanding dengan jumlah antigen yang diuji. Produk yang dihasilkan biasanya memiliki warna tertentu yang bisa diukur absorbansinya dengan spektrofotometer.
Alternatif lain dari ELISA langsung di atas adalah format ELISA sandwich. Dengan cara ini, diperlukan dua antibodi bagi antigen diuji. Antibodi pertama diimobilisasikan ke fase padat, antigen yang ditambahkan ditangkap olehnya, lali antibodi kedua ditambahkan, “sandwich” antibodi 1-antigen-antibodi 2 ini lalu direaksikan dengan antibodi berligan enzimdan selanjutnya seperti pada ELISA langsung. Produser lain yang mungkin digunakan adalah ELISA kompetitif dimana mikroba patogen yang diuji harus bersaing dengan antigen serupa yang diketahui jumlahnya untuk berikatan dengan antibodi.
Penggunaan ELISA untuk analisa patogen asal makanan makin meningkat dengan dikembangkannya Antibodi monoknal. Antibodi monoknal dihasilkan oleh sel hibridoma hasil fusi limfa tikus (yang telah disuntik dengan antigen) dengan sel mieloma. Setelah skrining maka klon sel hibridoma yang menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen bisa diisolasi. Karena berasal dari sel tunggal dari sel limfa, maka bisa dihasilkan antibodi yang hanya bereaksi dengan satu epitop saja. Dengan demikian maka reaksi silang dengan patogen serupa dapat ditekan serendah mungkin. Hal ini berbeda debgan sifat-sifat antibodi poliklonal. Antibodi poliklinal dihasilkan dengan cara menyuntikkan antigen ke dalam kelinci lalu memurnikan antibodi dari serum dalah kelinci. Antibodi ini umunya bereaksi dengan banyak epitop sehingga kurang spesifik dibandingkan dengan antibodi monoklonal. Penelitian dan perangkat komersial antibodi sudah banyak tersedia, diantaranya antibodi untuk enterotoksin perfringens dan sebagainya. Antibodi monoklobal telah dan terus diteliti untuk menghasilkan pereaksi pendeteksi bagi beberapa patogen,misalnya E. coli enterohemoragik.
Metode DNA Hibridisasi Metode ini didasarkan pada ikatan komplementer dari dua utas DNA yang
homolog. Secara alami, rantai DNA yang berutas ganda terdiri utas DNA yang berikatan satu sama lain melalui ikatan hidrogen antara asam nukleat yang spesifik. Ikatan tersebut dapat didenaturasi oleh pH>12 dan >95oC menghasilkan dua utas DNA tunggal. Jika pH atau suhu ditrunkan maka dua utas DNA itu dapat berikatan kembali (renaturasi).
Pelacak (probe) DNA bisa terdiri atas DNA utas ganda atau utas tunggal (oligonukleotida) yang terdiri dari keseluruhan gen atau segmen gen dengan fungsi yang diketahui dari suatu mikroba patogen. Pelacak ni biasanya memiliki label radioisotop seperti 32P,3H,125I,14C. Label lainnya sperti enzim, biotin dan lainnya juga telah diteliti kemungkinan penggunaannya.
Dalam aplikasinya segmen DNA daari mikroba patogen yang akan diuji didenaturasikan terlebih dulu. Pelacak (jika terdiri dari DNA utas ganda) juga didenaturasikan terlebih dahulu. Kedua unsur ini diinkubasi bersama dan diberikan keadaan yang mendukung denaturasi sehingga terjadi hibridasi antara DNA dengan contoh degan DNA pelacak. Setelah tahapan pencucian untuk menghilangkan kelebihan pelacak maka adamya hibridasi koloni, dot blot, dan sebagainya. Pelacak yang baik adalah yang memiliki target sekuens yang unik pada suatu patogen. Pelacak DNA telah diteliti untuk Salmonella, Listeria, enterotoksin Staphylococcus, enterotoksin C. perfringens, enterotoksin E. coli tak tahn panas (LT) dan toksin kholera.

2002 digitized by USU digital library

7

Pada umumnya jumlah patogen yang rendah pada makanan dapat diatasi dengan teknik polymerase chain reaction (PCR). Dengan PCR maka adanya DNA dapat diamplifikasi besarnya sehingga memungkinkan analisa hidradisasi dilakukan. PCR berlangsung karena adanya enzim Taq polimerase tahap panas yang ditambahkan yang terus-menerus membuat tiruan dari utas DNA yang ada pada contoh makanan ataupun spesimen. Penggunaan PCR pada patogen asal makanan telah digunakan untuk mendeteksi E.coli enterotoksigenik, Listeria monocytogenes, Vibrio vulnificus, Shigella dan lain-lain.
Metode Fisik Cepat Beberapa metode cepat untuk mendeteksi patogen asal makanan telah
dikembangkan. Pada umumnya ini tidak ditujukan untuk mingidentifikasi patogen tertentu tetapi menghitung jumlah patogen yang ada. Hasil analisisnya dapat digunakan untuk menentukan dosis infeksi (ID50= infectious dose 50) dan sebagainya.
2. Biotyping Biotyping adalah penggolongan mikroba patogen berdasarkan kemampuannya menggunakan substrat tertentu. Vibrio cholerae misalnya, terdiri dari dua biotipe yaitu V. cholerae biotipe cholerae (klasik) dan V cholerae biotipe El-Tor. Penggolongan ini didasarkan pada kemampuan masing-masing kelompok dalam mengaglutinasi dan meghidrolisis sel darah merah. Kedua kelompok ini memiliki tingkat virulen yang berbeda.

3.Phage Typing Penggolongan ini didasarkan pada ketahanan bakteri tertentu terhadap bakteriofag (bacteriphage atau phage). S. enteritidis yang sering terlibat dalam kasus keracunan telur yang diduga terkontaminasi sejak di dalam ovary ayam.
4. Plasmid Profile Plasmid sering kali menjadi faktor virulen penting dari mikroba patogen seperti protein membran terluar atau toksin. Oleh karena itu kadang-kadang dilakukan analisa terhadap plasmid patogen. Analisi plasmid bisa berupa peney=tuan ukurannya (dengan gel elektroforesis) ataupunpola potongan DNA-nya setelah dipotong oleh enzim endonuklease restriksi.

2002 digitized by USU digital library

8