KEADILAN HUKUM BAGI PAHLAWAN DEVISA
NAMA
NIM
JURUSAN
: MELYNDA EKA RISDIANA
: 120910202049
: ADMINISTRASI BISNIS
TUGAS PAPER
PENGANTAR ILMU HUKUM
KEADILAN BAGI PAHLAWAN
DEVISA NEGARA
Hukum dalam arti sempit disebut juga sebagai aturan. Hukum merupakan
pengatur sekaligus pedoman dalam kehidupan masyarakat sehingga hukum selalu
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Menurut Prof.Dr.Van
Kan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk
melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat. Seperti halnya tujuan dari
hukum yaitu untuk
mengatur agar kehidupa manusia denga makhluk lain
khususnya kehidupan manusia dalam masyarkat tercipta keharmonisan dan
keselarasan. Dalam hukum terdapat aturan dan norma yang bersifat memaksa dan
biasanya peraturan itu sudah merupakan kesepakatan bersama sejak lama yang
apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi.
Hukum dalam keberadaannya sebagai aturan dan pedoman hidup sudah
dirancang sedemikian baik agar tercipta kehidupan yang harmonis. Namun, pada
kenyataannya hukum saat ini seakan hanya sebagai sebuah simbol keadilan.
Fenomena kasus-kasus hukum yang sering kita tahu seaakan hanya menunjukkan
bahwa hukum hanyalah milik mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.
Seperti contohnya para pejabat-pejabat yang terlibat kasus korupsi lebih ringan
hukumannya bahkan ketika mereka dihukum mereka mendapat fasilitas hotel
meski mereka berada di penjara. Sedangkan mereka kalangan bawah yang hanya
mencuri ayam atau sandal jepit misalnya, harus menerima hukuman yang berat.
Hal itu menunjukkan bahwa “ hukum semakin keatas semakin tumpul dan hukum
kebawah semakin runcing”.
Apalagi kita sering dibuat marah dengan hukum Indonesia yang terlihat
tidak mampu melindungi para TKI yang bekerja di luar negeri. Banyak sekali
kasus kekerasan bahkan sampai berujung sebuah pembunuhan yang terlewatkan
oleh pemerintahan Indonesia. padahal TKI merupakan penyumbang terbesar
devisa negara Indonesia selain sektor pariwisata. Namun, perlindungan hukum
atas diri mereka seaakan diabaikan. Banyak para TKI yang disiksa, bahkan sampai
dihukum mati baru mendapat perhatian pihak pemerintah dan aparat hukum
Indonesia. selama ini pihak KBRI banyak melakukan pertemuan dengan Malaysia
untuk membahas masalah ini namun tetap saja permasalahan pelanggaran HAM
dan penegakan hukum bagi para TKI belum teratasi. Hak-hak asasi para TKI
terabaikan dengan banyaknya kasus pengaiayaan. Seperti yang sudah diatur dalam
Undang-Undang no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja di Luar Negri pada pasal 1 salah satunya menyebutkan “bahwa
negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja
baik didalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak,
demokrasi, keadilan sosial,kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan
anti perdagangan manusia”. Namun kenyataan yang terlihat selama ini perintah
terkesan lupa akan tanggung jawabnya tersebut, hukum di Indonesia seaakan
sibuk denga urusan hukum tentang korupsi pejabat dan pelanggaran hukum kecil
dalam negri yang terkadang terlihat tidak masuk akal.
Akan tetapi, pemerintah lupa bahwa ada warga negara mereka yang
membutuhkan perlindungan hukum di luar negeri sana. Seharusnya pemerintah
bekerja sama denga aparat penegak hukum untuk segera meyelesaikan masalahmasalah TKI sebelum mereka di hukum mati di negara tempat mereka bekerja.
Banyak penyelesaian masalah TKI yang terasa tidak adil. Seperti pada kasus
Frans Hiu(22) dan Dharry Frully Hiu (20), TKI asal Kalimantan Barat yang
divonis hukuman mati oleh pengadilan Malaysia.
Ketidakadilan itu terlihat saat pengadilan tingkat pertama ada tiga
terdakwa, yaitu kedua TKI bersama rekan mereka yang dituntut namun pada
tingkat banding yang diadili hanya kedua TKI. Dan yang lebih mengherankan
ketika ada satu rekan mereka warga Malaysia yang dituduh sama akan tetapi dua
warga negara Indonesia yang kena hukum, dan warga negara Malaysia tersebut
tidak kena hukum. Dari fenomena tersebut jelas adanya unsur diskriminatif atas
penegakan hukum tersebut.
Ada juga kasus penembakan WNI yang diduga perampok namun hal itu
tidak jelas kebenarannya. Walaupun sudah ada hasil visum dan penjelasan dari
pihak pemerintah Malaysia maupun pemerintah Indonesia yang menyatakan
bahwa, tidak ada organ yang hilang. Namun, yang menjadi perhatian adalah status
bersalahya masih sekedar merupakan tuduhan belum terbukti kebenaranya, karena
setelah diteliti lebih lanjut bukti yag ditemukan itu meragukan kalau WNI tersebut
merupakan perampok.belum lagi yang membingungkan adalah tentang prosedur
penangkapan WNI tersebut yang terlihat seperti sangat tidak manusiawi.
Bagaimana tidak pada foto WNI tersebut terlihat badannya penuh lebam selain
luka tembak yang ada. Apa mungkin WNI tersebut dipukuli dulu oleh polisi
Diraja Malaysia baru ditembak. Kalau memang benar ini jelas meunjukkan bahwa
telah terjadi pelanggran HAM yang dilakukan oleh polisi Diraja Malaysia. Namun
kasus pelanggran HAM tersebut belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang. Dan
hal ini semakin menunjukkan bahwa penegakan hukum dan keadilan pada WNI
masih kurang.
Masih pada Undang-Undang yang sama dan pada pasal yang sama juga
dijelaskan bahwa penempatan TKI harus dilakukan secara terpadu antara instansi
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu
sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan di luar
negeri. Dan juga pada Pasal 4 menjelaskan bahwa “ orang perseoragan dilarang
menempatkan warga negara Indonesia diluar negeri”. Dan Pasal 6 “ Pelaksanan
penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis
dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar
negeri”. Namun pada kenyataannya masih banyak kasus yang ditemukan
mengenai TKI ilegal. Hal itu bahwa aturan hukum masih belum mampu
menangani perusahaan swasta yang belum mendapat izin penyelengaraannya oleh
pemeritah. Dari sisi kedutaan juga, bagaimana mereka bisa megeluarkan visa dan
paspor TKI yang perusahaanya ilegal. Kalau hal itu terjadi berarti pihak KBRI
mudah ditipu oleh instansi swasta. Seharusnya mereka tahu bahwa perusahaan itu
tidaklah sah secara hukum. Hal itu juga menunjukkan lemahnya penertiban
hukum di Indonesia.
Sayangnya, saat para TKI ilegal tersebut sudah ada dinegara tempat
mereka ditempatkan, ketika terjadi masalah banyak dari kasus tersebut pemerintah
dan pihak aparat hukum tidak ikut campur tangan, hal itu tidak dilakukan hanya
karena sebuah alasan mereka adalah seorang TKI ilegal. Padahal ketika mereka
diberangkatkan mereka juga tidak tahu bahwa perusahaan yang memberangkatkna
mereka adalah ilegal karena kebanyakan dari mereka buta akan hukum. Tetapi
meskipun mereka adalah TKI yang ilegal apabila mereka menemui masalah
apalagi masalah hukum yang menyangkut keselamatan mereka hendaknya pihak
pemerintah dan hukum Indonesia dapat membantu mereka secara maksimal
seperti layaknya TKI yang legal.
Selanjutnya masih pada Undang-Undang yang sama Pasal 73 (ayat 2)
yang menyebutkan bahwa “ketika TKI meninggal dunia di negara tujuan,
pelaksana penempatan TKI berkewajiban . memulangkan jenazah TKI ke tempat
asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan,
termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang
bersangkutan”. Namun lagi-lagi kenyataan yang terjadi justru banyak TKI yang
meninggal disana mungkin karena medapat hukuman mati, atau disiksa oleh
majikannya banyak yang tidak dipulangkan ke Indonesia bahkan sampai tidak
diketahui nasibnya(hilang). Hal itu berarti sudah melenceng dari aturan hukum
yang sudah ada. Bukankah seharusya para TKI tersebut terus berhubungan dengan
pihak di Indonesia agar kekerasan terhaap mereka tidak terjadi. Kalau dilakukan
hal yang demikian, ketika TKI tersebut sudah tidak ada kontak lagi, berarti pihak
di Indonesia yang bersangkutan bisa melakukan penyelidikan secara lebih lanjut,
sehingga kekerasan tersebut bisa segera diatasi. Namun, yang ada proses tersebut
baru menjadi perhatian ketika TKI tersebut sudah mati atau menghilang lama.
Dari berbagai masalah diatas kita juga tidak bisa meyalahkan hukum
negara kita juga. Kita juga harus menyoroti hukum negara tempat TKI itu bekerja.
Karena bagaimanapun juga hukum yang berlaku disetiap negara itu berbeda meski
tujuan dari hukum itu sendiri sama. Namun tetap saja hal ini menyangkut tentang
perrmasalahan dua negara, jadi dalam memutuskan perkara seharusnya badan
hukum negara tempat TKI bekerja ketika hendak menghukum para TKI
haruslahberkonfirmasi juga dengan pihak hukum di Indonesia agar tidak terjadi
diskriminasi hukum dalam penegakan hukum itu. Jangan menjadikan hukum itu
hanyalah sebuah simbol keadila tapi dalam penerapanya sama sekali tidak
mencerminka keadilan. Setiap hukum diciptakan untuk menjaga kehidupa mausia
agar tercipta keteraturan. Seperti halnya TKI, meskipun mereka hanyalah seorang
pekerja biasa di luar negri, namun tidak bisa dipungkiri di Indoesia mereka
merupaka “Pahlawan Devisa: terbesar bagi Indonesia. Hak mereka haruslah tetap
dijaga, dan penegakann keadila untuk mereka juga harus tet diperjuangkan.
Sumber Referensi
Undang-Undang no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja di Luar Negri
Soeroso.1992.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta
NIM
JURUSAN
: MELYNDA EKA RISDIANA
: 120910202049
: ADMINISTRASI BISNIS
TUGAS PAPER
PENGANTAR ILMU HUKUM
KEADILAN BAGI PAHLAWAN
DEVISA NEGARA
Hukum dalam arti sempit disebut juga sebagai aturan. Hukum merupakan
pengatur sekaligus pedoman dalam kehidupan masyarakat sehingga hukum selalu
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Menurut Prof.Dr.Van
Kan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk
melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat. Seperti halnya tujuan dari
hukum yaitu untuk
mengatur agar kehidupa manusia denga makhluk lain
khususnya kehidupan manusia dalam masyarkat tercipta keharmonisan dan
keselarasan. Dalam hukum terdapat aturan dan norma yang bersifat memaksa dan
biasanya peraturan itu sudah merupakan kesepakatan bersama sejak lama yang
apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi.
Hukum dalam keberadaannya sebagai aturan dan pedoman hidup sudah
dirancang sedemikian baik agar tercipta kehidupan yang harmonis. Namun, pada
kenyataannya hukum saat ini seakan hanya sebagai sebuah simbol keadilan.
Fenomena kasus-kasus hukum yang sering kita tahu seaakan hanya menunjukkan
bahwa hukum hanyalah milik mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.
Seperti contohnya para pejabat-pejabat yang terlibat kasus korupsi lebih ringan
hukumannya bahkan ketika mereka dihukum mereka mendapat fasilitas hotel
meski mereka berada di penjara. Sedangkan mereka kalangan bawah yang hanya
mencuri ayam atau sandal jepit misalnya, harus menerima hukuman yang berat.
Hal itu menunjukkan bahwa “ hukum semakin keatas semakin tumpul dan hukum
kebawah semakin runcing”.
Apalagi kita sering dibuat marah dengan hukum Indonesia yang terlihat
tidak mampu melindungi para TKI yang bekerja di luar negeri. Banyak sekali
kasus kekerasan bahkan sampai berujung sebuah pembunuhan yang terlewatkan
oleh pemerintahan Indonesia. padahal TKI merupakan penyumbang terbesar
devisa negara Indonesia selain sektor pariwisata. Namun, perlindungan hukum
atas diri mereka seaakan diabaikan. Banyak para TKI yang disiksa, bahkan sampai
dihukum mati baru mendapat perhatian pihak pemerintah dan aparat hukum
Indonesia. selama ini pihak KBRI banyak melakukan pertemuan dengan Malaysia
untuk membahas masalah ini namun tetap saja permasalahan pelanggaran HAM
dan penegakan hukum bagi para TKI belum teratasi. Hak-hak asasi para TKI
terabaikan dengan banyaknya kasus pengaiayaan. Seperti yang sudah diatur dalam
Undang-Undang no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja di Luar Negri pada pasal 1 salah satunya menyebutkan “bahwa
negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja
baik didalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak,
demokrasi, keadilan sosial,kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan
anti perdagangan manusia”. Namun kenyataan yang terlihat selama ini perintah
terkesan lupa akan tanggung jawabnya tersebut, hukum di Indonesia seaakan
sibuk denga urusan hukum tentang korupsi pejabat dan pelanggaran hukum kecil
dalam negri yang terkadang terlihat tidak masuk akal.
Akan tetapi, pemerintah lupa bahwa ada warga negara mereka yang
membutuhkan perlindungan hukum di luar negeri sana. Seharusnya pemerintah
bekerja sama denga aparat penegak hukum untuk segera meyelesaikan masalahmasalah TKI sebelum mereka di hukum mati di negara tempat mereka bekerja.
Banyak penyelesaian masalah TKI yang terasa tidak adil. Seperti pada kasus
Frans Hiu(22) dan Dharry Frully Hiu (20), TKI asal Kalimantan Barat yang
divonis hukuman mati oleh pengadilan Malaysia.
Ketidakadilan itu terlihat saat pengadilan tingkat pertama ada tiga
terdakwa, yaitu kedua TKI bersama rekan mereka yang dituntut namun pada
tingkat banding yang diadili hanya kedua TKI. Dan yang lebih mengherankan
ketika ada satu rekan mereka warga Malaysia yang dituduh sama akan tetapi dua
warga negara Indonesia yang kena hukum, dan warga negara Malaysia tersebut
tidak kena hukum. Dari fenomena tersebut jelas adanya unsur diskriminatif atas
penegakan hukum tersebut.
Ada juga kasus penembakan WNI yang diduga perampok namun hal itu
tidak jelas kebenarannya. Walaupun sudah ada hasil visum dan penjelasan dari
pihak pemerintah Malaysia maupun pemerintah Indonesia yang menyatakan
bahwa, tidak ada organ yang hilang. Namun, yang menjadi perhatian adalah status
bersalahya masih sekedar merupakan tuduhan belum terbukti kebenaranya, karena
setelah diteliti lebih lanjut bukti yag ditemukan itu meragukan kalau WNI tersebut
merupakan perampok.belum lagi yang membingungkan adalah tentang prosedur
penangkapan WNI tersebut yang terlihat seperti sangat tidak manusiawi.
Bagaimana tidak pada foto WNI tersebut terlihat badannya penuh lebam selain
luka tembak yang ada. Apa mungkin WNI tersebut dipukuli dulu oleh polisi
Diraja Malaysia baru ditembak. Kalau memang benar ini jelas meunjukkan bahwa
telah terjadi pelanggran HAM yang dilakukan oleh polisi Diraja Malaysia. Namun
kasus pelanggran HAM tersebut belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang. Dan
hal ini semakin menunjukkan bahwa penegakan hukum dan keadilan pada WNI
masih kurang.
Masih pada Undang-Undang yang sama dan pada pasal yang sama juga
dijelaskan bahwa penempatan TKI harus dilakukan secara terpadu antara instansi
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu
sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan di luar
negeri. Dan juga pada Pasal 4 menjelaskan bahwa “ orang perseoragan dilarang
menempatkan warga negara Indonesia diluar negeri”. Dan Pasal 6 “ Pelaksanan
penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis
dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar
negeri”. Namun pada kenyataannya masih banyak kasus yang ditemukan
mengenai TKI ilegal. Hal itu bahwa aturan hukum masih belum mampu
menangani perusahaan swasta yang belum mendapat izin penyelengaraannya oleh
pemeritah. Dari sisi kedutaan juga, bagaimana mereka bisa megeluarkan visa dan
paspor TKI yang perusahaanya ilegal. Kalau hal itu terjadi berarti pihak KBRI
mudah ditipu oleh instansi swasta. Seharusnya mereka tahu bahwa perusahaan itu
tidaklah sah secara hukum. Hal itu juga menunjukkan lemahnya penertiban
hukum di Indonesia.
Sayangnya, saat para TKI ilegal tersebut sudah ada dinegara tempat
mereka ditempatkan, ketika terjadi masalah banyak dari kasus tersebut pemerintah
dan pihak aparat hukum tidak ikut campur tangan, hal itu tidak dilakukan hanya
karena sebuah alasan mereka adalah seorang TKI ilegal. Padahal ketika mereka
diberangkatkan mereka juga tidak tahu bahwa perusahaan yang memberangkatkna
mereka adalah ilegal karena kebanyakan dari mereka buta akan hukum. Tetapi
meskipun mereka adalah TKI yang ilegal apabila mereka menemui masalah
apalagi masalah hukum yang menyangkut keselamatan mereka hendaknya pihak
pemerintah dan hukum Indonesia dapat membantu mereka secara maksimal
seperti layaknya TKI yang legal.
Selanjutnya masih pada Undang-Undang yang sama Pasal 73 (ayat 2)
yang menyebutkan bahwa “ketika TKI meninggal dunia di negara tujuan,
pelaksana penempatan TKI berkewajiban . memulangkan jenazah TKI ke tempat
asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan,
termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang
bersangkutan”. Namun lagi-lagi kenyataan yang terjadi justru banyak TKI yang
meninggal disana mungkin karena medapat hukuman mati, atau disiksa oleh
majikannya banyak yang tidak dipulangkan ke Indonesia bahkan sampai tidak
diketahui nasibnya(hilang). Hal itu berarti sudah melenceng dari aturan hukum
yang sudah ada. Bukankah seharusya para TKI tersebut terus berhubungan dengan
pihak di Indonesia agar kekerasan terhaap mereka tidak terjadi. Kalau dilakukan
hal yang demikian, ketika TKI tersebut sudah tidak ada kontak lagi, berarti pihak
di Indonesia yang bersangkutan bisa melakukan penyelidikan secara lebih lanjut,
sehingga kekerasan tersebut bisa segera diatasi. Namun, yang ada proses tersebut
baru menjadi perhatian ketika TKI tersebut sudah mati atau menghilang lama.
Dari berbagai masalah diatas kita juga tidak bisa meyalahkan hukum
negara kita juga. Kita juga harus menyoroti hukum negara tempat TKI itu bekerja.
Karena bagaimanapun juga hukum yang berlaku disetiap negara itu berbeda meski
tujuan dari hukum itu sendiri sama. Namun tetap saja hal ini menyangkut tentang
perrmasalahan dua negara, jadi dalam memutuskan perkara seharusnya badan
hukum negara tempat TKI bekerja ketika hendak menghukum para TKI
haruslahberkonfirmasi juga dengan pihak hukum di Indonesia agar tidak terjadi
diskriminasi hukum dalam penegakan hukum itu. Jangan menjadikan hukum itu
hanyalah sebuah simbol keadila tapi dalam penerapanya sama sekali tidak
mencerminka keadilan. Setiap hukum diciptakan untuk menjaga kehidupa mausia
agar tercipta keteraturan. Seperti halnya TKI, meskipun mereka hanyalah seorang
pekerja biasa di luar negri, namun tidak bisa dipungkiri di Indoesia mereka
merupaka “Pahlawan Devisa: terbesar bagi Indonesia. Hak mereka haruslah tetap
dijaga, dan penegakann keadila untuk mereka juga harus tet diperjuangkan.
Sumber Referensi
Undang-Undang no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja di Luar Negri
Soeroso.1992.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta