Kekuatan Mengikat Klasula Syarat Batal Dalam Kontrak Bisnis Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata

(1)

TESIS

KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267

KUH PERDATA

OLEH

CHRISTOPHER ISKANDAR 117005014/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267

KUH PERDATA TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

CHRISTOPHER ISKANDAR 117005014/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : Kekuatan Mengikat Klasula Syarat Batal

Dalam Kontrak Bisnis Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata

Nama Mahasiswa : Christopher Iskandar

NIM : 117005014

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing:

(Prof. Dr. Ningrum N. Sirait SH, MLI)

(Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar SH,M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi SH, MH) (Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 20 Januari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ningrum N. Sirait SH, MLI Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum

2. Dr. Mahmul Siregar SH, M.Hum 3. Dr. Dedi Harianto SH, M.Hum 4. Prof. Dr. Suhaidi SH, MH


(5)

KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267

KUH PERDATA

Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H., M.LI.1 Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.2 Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.3 Christopher Iskandar.4

ABSTRAKSI

Klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan bagian dari perkembangan hukum kontrak di mana pihak kreditur atau pelaku usaha ingin mengesampingkan permintaan pembatalan ke pengadilan untuk efisiensi. Klausula ini sering dianggap merugikan pihak yang lebih lemah yaitu debitur atau konsumen. padahal tidak selamanya posisi tawar debitur atau konsumen lebih lemah karena pihak kreditur yang melaksanakan prestasi berada dalam keadaan yang bergantung pada kemampuan debitur atau konsumen untuk melaksanakan prestasi. Klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berfungsi untuk melindungi pihak kreditur di satu sisi tetapi di sisi lain klausula ini merugikan debitur atau konsumen ketika gagal melaksanakan prestasi. Beberapa rumusan masalah dalam tesis ini adalah bagaimana kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis dan bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis yang dengan klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan asas-asas dalam kontrak terutama asas

pacta sund servanda dan teori keadilan komutatif sebagai teori pendukung.

Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan unsur naturalia dari kontrak yang bersifat melengkapi dan fiksi sehingga para pihak boleh mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata terletak pada kesepakatan adanya rasa saling percaya untuk

1

Ketua Komisi Pembimbing.

2

Dosen Pembimbing Kedua.

3

Dosen Pembimbing Ketiga.

4


(6)

mengesampingkannya yang berlaku sebagai undang-undang berdasarkan asas pacta sund servanda yang tidak boleh dicampuri oleh hakim. Exceptio non adimpleti contractus dan itikad buruk adalah beberapa faktor yang menyebabkan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tidak mengikat. Pelaksanaan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata adalah berkaitan dengan parate executie/self help karena klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan pilihan bagi salah satu pihak untuk melaksanakan parate executie/self help. Namun dalam pelaksanaannya menjadi sulit karena adanya pengertian campur aduk antara

parate executie dengan grosse acta oleh hakim-hakim dan Mahkamah Agung di mana pelaksanaannya mensyaratkan meminta fiat pengadilan yang sebenarnya sama seperti pelaksanaan grosse akte.

Para pihak sebaiknya terlebih dahulu memahami kegunaan syarat batal degan berkonsultasi dengan konsultan hukum dan notaris. Para pihak harus konsekuen dengan kesepakatan untuk mengsampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata sehingga klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tetap mengikat. Terakhir, pelaksanaan parate executie hendaknya tidak dicampuradukkan dengan grosse acta dengan meminta fiat ke pengadilan. Pelaksanaan parate executie harus mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-VIII/2010 yang menguatkan kedudukan parate executie sebagai pemenuhan prestasi bagi kreditur untuk menjual objek hak tanggungan tanpa fiat pengadilan.

Kata kunci: Kekuatan Mengikat, Klausula Syarat Batal, Kontrak Bisnis, Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.


(7)

THE BINDING STRENGH OF TERMINATION CLAUSE IN BUSINESS CONTRACTS THAT OVERRULES THE ARTICLE (S) 1266 AND 1267 OF

THE CIVIL CODE

Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H., M.LI.5 Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.6 Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.7

Christopher Iskandar8

ABSTRACT

The termination clause in business contracts that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is a part of the development of contract laws in which the creditors or entrepreneurs would like to overrule the termination request to the court for efficiency. This clause is often considered to be detrimental to the weaker parties—the debtors or consumers—altough it is not always certain that the bargaining power of the debtors or consumer are weaker because the creditors who carry out the performance are in a state that relies on the ability of the debtors or consumers to carry out the performance. The termination clause in business contracts that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code serves to protect the creditors on one side but on the other side is detrimental to the debtors or consumers when they fail to carry out the performance. Some of the problems formulations in this thesis are how the binding strength of the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 in business contracts and how the impelementations of the executions are to the business contracts with the termination clauses that overrule the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code. This study is analyzed using the principles of contracts, especially the principle of pacta sunt servanda and the theory of commutative justice as the supportive theories.

The method used in this thesis study is the jurisdic normative study that uses the primary, secondary, and tertiary legal materials. This study uses library research techniques, which is further analyzed qualitatively.

The termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is the naturalia element of the contract that is complementary and fiction so that all parties may overrule the Article (s) 1266 and 1267. The binding strength of the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code

5

The Chief of Preceptors Commision.

6

The Second Preceptor Lecturer.

7

The Third Preceptor Lecturer.

8


(8)

lies on the agreement of the mutual trust of each other to overrule them which prevails as the law based on the principle of pacta sunt servanda that should not be interfered by judges. Exceptio non adimpleti contractus and bad faith are some factors that cause the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code to not be binding. The implementations of the termination clause that overrule the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code are related to parate executie/self help because the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is an option to one of the parties to perform parate executie/self help.Nonetheless, the implementations are difficult because there is a mixed understanding between parate executie and grosse deeds by the judges and the Supreme Court whereas the executions require the fiat (order) of the court which are actually the same as the implementation of grosse deeds.

The parties should first understand the function of termination clause by consulting it with legal counsel and notary. The parties must be consistent with the agreement to overrule the Article (s)1266 and 1267 of the Civil Code so that the termination clause is binding. Finally, the implementations of parate executie should be mixed with grosse deeds by requiring the fiat (order) to the court. The implementations of parate executie should refer to The Verdict of Constitutional Court No. 70/PUU-VIII/2010 that strengthens the position of parate executie as fulfillment of performance for creditors to sell the mortgage objects without the fiat (order) of the court.

Key words: The binding strength, the termination clause, business contracts, overulling of the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code


(9)

Riwayat Hidup Christopher Iskandar

Nama : Christopher Iskandar Tempat/Tanggal Lahir : Medan/24 November 1988

Alamat : Jalan Kapitan Pattimura Gang Pasir Baru No. 1 Medan

Sumatera Utara Kode Pos 20513 Telepon : +62811608676

Ema

Pendidikan : 1992-1995: Taman Kanak-Kanak Methodist-3 1995-1998: Sekolah Dasar Methodist-3

1998-2001: Sekolah Dasar Methodist-2

2001-2004: Sekolah Lanjutan Tahap Pertama Methodist-2 2004-2007: Sekolah Menengah Umum Methodist-2 2007-2011: Sarjana Hukum

Universitas Sumatera Utara

Skripsi: Tinjauan Hukum: Prinsip Responsibilitas (Good Corporate Governance) Dalam Pasar Modal.

2011-2014: Magister Hukum

Universitas Sumatera Utara

Tesis: Kekuatan Mengikat Klausula Syarat Batal dalam Kontrak Bisnis yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah Tritunggal di dalam Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat yang rela mati di atas kayu salib dan bangkit pada hari ketiga untuk memberi keselamatan dan penebusan di dalam-Nya kepada umat pilihan-Nya.

Penulisan tesis yang berjudul: KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267 KUH PERDATA adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Magister Ilmu Hukum (MH) di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis sadar akan ketidaksempurnaan hasil penulisan tesis ini sehingga berharap agar semua pihak dapat memberikan kritik dan saran yang membangun agar menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi, baik dari segi substansi ataupun dari segi cara penulisannya.

Secara khusus, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, Freddy Iskandar yang menganjurkan penulis untuk menjalani studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum dan Srilian Putti Leo yang sangat menyayangi penulis. Sehingga penulis bisa memperoleh pendidikan formal sampai pada tingkat Strata Dua ini. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada kakak penulis Christia Iskandar. Penulis berterima kasih kepada Om Surya Mertjoe yang sudah memberikan dukungan moril dan nasehat yang banyak membantu penulis


(11)

selama menjalani studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum. Penulis juga berterima kasih kepada Alexander Leo dan Karen Tjan, yang telah banyak mendukung dan memberi nasehat kepada penulis dalam menjalani studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum.

Tak lupa juga Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)

2. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI selaku Pembantu Rektor IV dan Ketua Komisi Pembimbing. Di tengah kesibukan beliau, beliau selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan yang sangat berarti atas penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian tesis ini. 3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Pembimbing Kedua. Di tengah kesibukan beliau, beliau selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan yang sangat berarti atas penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian tesis ini.


(12)

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Dosen Penguji dalam penelitian ini. Terima kasih atas kritik dan masukan beliau sehingga penelitian tesis ini menjadi lebih baik. 5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Dosen Pembimbing III dalam penelitian ini. Di tengah kesibukan beliau, beliau selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan yang sangat berarti atas penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penguji. Terima kasih atas kritik dan masukan beliau sehingga penelitian tesis ini menjadi lebih baik. 7. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara atas segala ilmu yang telah diberikan. Juga kepada staff Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Kak Fika, Kak Ganti, Kak Fitri, Kak Juli, dan Bang Hendra atas bantuan mereka dalam mengurus administrasi studi penulis dari perkuliahan sampai penyelesaian tesis ini.

8. Sanak keluarga yaitu Priskila Tan, dr. Elmansyah Leo, Johanes Leo, Jameshin Adlin, Dewi Christian Leo, dan Sophie Christian yang memberi dukungan dan perhatian kepada penulis.


(13)

9. Denny Salim, teman dan rekan penulis, yang telah memberikan banyak dukungan dan bantuan selama penulis menulis tesis.

10. Terima kasih kepada Express Fotocopy yang sudah membantu penulis dalam memprint tesis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Herbert W, Willy C, Agustinus, Isvento, Junedy, Yosef Effendi, Rudy Y, Hengky dan Jimmy N Winanto yang sudah menemani penulis dalam suka dan duka selama menulis tesis.

11. Teman-teman kuliah yaitu kepada Bang Resfizar, Bang Albert Pane, Bang Panca Hutagalung, Bang Denny Umri, Bang Arie, Bang Sukses, Miranda, Beby, dan Windy yang menjadi teman akrab yang baik selama di kampus.

Salam Hormat,


(14)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI.... i

ABSTRACT... iii

RIWAYAT HIDUP... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 12

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian... 13

E. Keaslian Penelitian... 13

F. Kerangka Teori... 15

1. Kerangka Teori... 15

2. Kerangka Konsepsi... 25

G. Metode Penelitian... 29

1. Tipe dan Sifat Penelitian... 29

2. Pendekatan Masalah... 30

3. Bahan Hukum... 31

a. Bahan Hukum Primer... 31

b. Bahan Hukum Sekunder... 32

c. Bahan Hukum Tersier... 32

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum... 33

5. Analisa Bahan Hukum... 33

BAB II KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267 KUH PERDATA A. Pengaturan Kontrak Bisnis... 35


(15)

2. Syarat Sahnya Kontrak Bisnis... 36

3. Asas-Asas dalam Kontrak Bisnis... 45

4. Unsur-Unsur dalam Kontrak Bisnis... 53

B. Kontrak Baku dan Perlindungan Konsumen... 55

1. Pengertian, Penggolongan, dan Ciri-Ciri Kontrak Baku... 55

2. Perlindungan Hukum yang Setara Terhadap Bargaining Power Pihak yang Tidak Seimbang Dalam Kontrak Baku... 60

3. Larangan Terhadap Klausula Baku... 69

4. Klausula Syarat Batal Sebagai Salah Satu Klausula Eksonorasi dan Perlindungan Konsumen... 94

C. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Klausula Baku Dalam Sektor Jasa Keuangan... 101

D. Kekuatan Mengikat Klausula Syarat Batal dalam Kontrak Bisnis yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata... 106

1. Pembatalan Kontrak Bisnis Akibat Wanprestasi... 106

2. Syarat Batal Dalam Kontrak Timbal Balik... 114

3. Pengecualian Dalam Pembatalan Kontrak Bisnis Karena Wanprestasi... 121

4. Kekuatan Mengikat Klausula Syarat Batal dalam Kontrak Bisnis yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata... 128

BAB III PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP KONTRAK BISNIS DENGAN KLAUSULA SYARAT BATAL YANG MENGESAMPINGKAN KETENTUAN PASAL 1266 DAN 1267 KUH PERDATA A. Pengaturan Tentang Eksekusi Terhadap Kontrak Bisnis... 140

1. Eksekusi Dalam Sita Jaminan... 140

2. Eksekusi Dalam Parate Executie... 148

B. Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Kontrak Bisnis Dengan Klausula Syarat Batal yang Mengesampingkan Ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata... 152

1. Perbandingan Eksekusi Antara Parate Executie Dengan Sita Jaminan... 152

2. Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Kontrak Bisnis Dengan Klausula Syarat Batal yang Mengesampingkan Ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata... 161


(16)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 186

B. Saran... 189 DAFTAR PUSTAKA... 191


(17)

KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267

KUH PERDATA

Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H., M.LI.1 Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.2 Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.3 Christopher Iskandar.4

ABSTRAKSI

Klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan bagian dari perkembangan hukum kontrak di mana pihak kreditur atau pelaku usaha ingin mengesampingkan permintaan pembatalan ke pengadilan untuk efisiensi. Klausula ini sering dianggap merugikan pihak yang lebih lemah yaitu debitur atau konsumen. padahal tidak selamanya posisi tawar debitur atau konsumen lebih lemah karena pihak kreditur yang melaksanakan prestasi berada dalam keadaan yang bergantung pada kemampuan debitur atau konsumen untuk melaksanakan prestasi. Klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berfungsi untuk melindungi pihak kreditur di satu sisi tetapi di sisi lain klausula ini merugikan debitur atau konsumen ketika gagal melaksanakan prestasi. Beberapa rumusan masalah dalam tesis ini adalah bagaimana kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis dan bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis yang dengan klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan asas-asas dalam kontrak terutama asas

pacta sund servanda dan teori keadilan komutatif sebagai teori pendukung.

Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan unsur naturalia dari kontrak yang bersifat melengkapi dan fiksi sehingga para pihak boleh mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata terletak pada kesepakatan adanya rasa saling percaya untuk

1

Ketua Komisi Pembimbing.

2

Dosen Pembimbing Kedua.

3

Dosen Pembimbing Ketiga.

4


(18)

mengesampingkannya yang berlaku sebagai undang-undang berdasarkan asas pacta sund servanda yang tidak boleh dicampuri oleh hakim. Exceptio non adimpleti contractus dan itikad buruk adalah beberapa faktor yang menyebabkan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tidak mengikat. Pelaksanaan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata adalah berkaitan dengan parate executie/self help karena klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan pilihan bagi salah satu pihak untuk melaksanakan parate executie/self help. Namun dalam pelaksanaannya menjadi sulit karena adanya pengertian campur aduk antara

parate executie dengan grosse acta oleh hakim-hakim dan Mahkamah Agung di mana pelaksanaannya mensyaratkan meminta fiat pengadilan yang sebenarnya sama seperti pelaksanaan grosse akte.

Para pihak sebaiknya terlebih dahulu memahami kegunaan syarat batal degan berkonsultasi dengan konsultan hukum dan notaris. Para pihak harus konsekuen dengan kesepakatan untuk mengsampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata sehingga klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tetap mengikat. Terakhir, pelaksanaan parate executie hendaknya tidak dicampuradukkan dengan grosse acta dengan meminta fiat ke pengadilan. Pelaksanaan parate executie harus mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-VIII/2010 yang menguatkan kedudukan parate executie sebagai pemenuhan prestasi bagi kreditur untuk menjual objek hak tanggungan tanpa fiat pengadilan.

Kata kunci: Kekuatan Mengikat, Klausula Syarat Batal, Kontrak Bisnis, Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.


(19)

THE BINDING STRENGH OF TERMINATION CLAUSE IN BUSINESS CONTRACTS THAT OVERRULES THE ARTICLE (S) 1266 AND 1267 OF

THE CIVIL CODE

Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H., M.LI.5 Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.6 Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.7

Christopher Iskandar8

ABSTRACT

The termination clause in business contracts that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is a part of the development of contract laws in which the creditors or entrepreneurs would like to overrule the termination request to the court for efficiency. This clause is often considered to be detrimental to the weaker parties—the debtors or consumers—altough it is not always certain that the bargaining power of the debtors or consumer are weaker because the creditors who carry out the performance are in a state that relies on the ability of the debtors or consumers to carry out the performance. The termination clause in business contracts that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code serves to protect the creditors on one side but on the other side is detrimental to the debtors or consumers when they fail to carry out the performance. Some of the problems formulations in this thesis are how the binding strength of the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 in business contracts and how the impelementations of the executions are to the business contracts with the termination clauses that overrule the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code. This study is analyzed using the principles of contracts, especially the principle of pacta sunt servanda and the theory of commutative justice as the supportive theories.

The method used in this thesis study is the jurisdic normative study that uses the primary, secondary, and tertiary legal materials. This study uses library research techniques, which is further analyzed qualitatively.

The termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is the naturalia element of the contract that is complementary and fiction so that all parties may overrule the Article (s) 1266 and 1267. The binding strength of the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code

5

The Chief of Preceptors Commision.

6

The Second Preceptor Lecturer.

7

The Third Preceptor Lecturer.

8


(20)

lies on the agreement of the mutual trust of each other to overrule them which prevails as the law based on the principle of pacta sunt servanda that should not be interfered by judges. Exceptio non adimpleti contractus and bad faith are some factors that cause the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code to not be binding. The implementations of the termination clause that overrule the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code are related to parate executie/self help because the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is an option to one of the parties to perform parate executie/self help.Nonetheless, the implementations are difficult because there is a mixed understanding between parate executie and grosse deeds by the judges and the Supreme Court whereas the executions require the fiat (order) of the court which are actually the same as the implementation of grosse deeds.

The parties should first understand the function of termination clause by consulting it with legal counsel and notary. The parties must be consistent with the agreement to overrule the Article (s)1266 and 1267 of the Civil Code so that the termination clause is binding. Finally, the implementations of parate executie should be mixed with grosse deeds by requiring the fiat (order) to the court. The implementations of parate executie should refer to The Verdict of Constitutional Court No. 70/PUU-VIII/2010 that strengthens the position of parate executie as fulfillment of performance for creditors to sell the mortgage objects without the fiat (order) of the court.

Key words: The binding strength, the termination clause, business contracts, overulling of the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian sering disebut kontrak. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris

contract yang sebenarnya sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia yaitu kontrak. Misalnya dalam hukum nasional dikenal kebebasan berkontrak bukan kebebasan perjanjian.9 Dalam sistem hukum nasional, istilah kontrak atau perjanjian memiliki pengertian yang sama seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara contract dan

overeenkomst.10

Perjanjian dan persetujuan para pihak didasarkan kepada salah satu asas dalam perjanjian sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tentang asas kebebasan berkontrak dan juga kata kerja overeenkomst itu sendiri yaitu

overeenkomen yang artinya sepakat atau setuju.

Para pihak dalam membuat kontrak berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Pasal ini menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

11

9

Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT) Membangun Tanpa

Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian dan Hukum Publik), (Bandung:

CV Keni Media, 2013), hal 64-65.

Dengan asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan bentuk kontrak, memilih hukum yang

10

Johannes Ibrahim, Kartu Kredit: Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal 31.

11


(22)

berlaku bagi kontrak yang bersangkutan.12 Dengan demikian, suatu kesepakatan berupa perjanjian atau kontrak pada hakekatnya adalah mengikat, bahkan sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, kesepakatan ini memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.13

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak secara spesifik mengatur tentang perjanjian baku sehingga boleh dikatakan perjanjian baku termasuk dalam perjanjian tidak bernama.

14

Di mana menurut Mariam Darus Badrulzaman, istilah “semua” dalam Pasal 1338 ayat (1) menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud tidak hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama.15

Menurut Agus Yudha Hernoko, “hukum kontrak tumbuh dan berkembang sejalan dengan dinamika, kompleksitas, serta problematika yang ada di masyarakat”.

16

Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Henry Maine, sejarah manusia modern berangkat dari “status” kepada “kontrak”.17

Dengan perkembangan kompleksitas aktivitas bisnis yang didukung dengan jangkauan wilayah pasar, pelayanan yang sudah semakin borderless serta dukungan

12

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 29.

13

Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hal 16.

14

R.M. Panggabean, “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku”, Jurnal Hukum, Vol 17 No. 4 (2010), hal 652.

15

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : PT Alumni, 2006), hal 107.

16

Agus Yudha Hernoko, “Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Bisnis: Upaya Mewujudkan Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 29 No. 2 (2010), hal 5.

17

Rosa Agustina, “Kontrak Elektronik (E-Contract) dalam Sistem Hukum Indonesia”, Gloria Juris Vol 8 No 1 (2008), hal 5.


(23)

teknologi yang begitu canggih membuat dunia bisnis tidak saja pelaku usaha akan tetapi pembeli maupun pengguna jasa cenderung semakin menghindari bentuk-bentuk atau proses-proses berbisnis yang tidak efisien dan bertele-tele. Selain itu juga tidak mungkin bila ada ratusan ribu atau jutaan pembeli maupun pengguna jasa yang telah menandatangani perjanjian baku harus terlebih dahulu memulai proses pre-contractual melalui negosiasi yang rumit dan berulang-ulang ataupun penentuan klausul perjanjian oleh perusahaan dengan pembeli maupun pengguna jasa dalam setiap perjanjian sebelum perjanjian ditandatangani. Tentu ini tidak efisien tidak saja bagi produsen namun juga bagi konsumen.18 Dengan alasan keseragaman dan efisiensi perusahaan telah merumuskan seluruh atau sebagian besar klausul perjanjian secara sepihak. Pihak konsumen tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasikan isi perjanjian. Konsumen hanya memiliki pilihan take it or leave it.19

Menurut Munir Fuady, “mengingat begitu banyaknya praktek kontrak baku saat ini, maka yang terjadi dewasa ini sebenarnya adalah gerakan sebaliknya yakni gerakan dari kontrak ke status”.

20

Di mana berubah dari kontrak ke status dengan ditetapkannya kontrak yang disiapkan secara sepihak oleh pihak swasta. Karena Sluijter berpendapat bahwa pihak yang membuat perjanjian baku sudah bertindak sebagai pembentuk undang-undang swasta.21

18

Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Kontan Publishing, 2011), hal 207-209.

Dalam masyarakat yang kapitalis sudah

19

R.M. Panggabean, Op.cit, hal 652.

20

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis): Buku Kedua, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hal 77.

21

M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, & Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Akademia, 2012), hal 34.


(24)

lumrah jika pengusaha besar mengendalikan perekonomian masyarakat dengan menjual produk atau jasa yang dihasilkan berdasarkan model-model perjanjian yang mengandung syarat-syarat yang menguntungkan pihaknya.22 Karena itu, menurut Max Weber:23

“Kapitalisme sebagai sebab terjadinya perubahan tipe hukum dari tradisional menjadi modern menuntut suatu tatanan normatif dengan tingkat yang dapat diperhitungkan (calculability) secara akurat sehingga hanya sistem-sistem hukum modern yang rasional dan bersifat logis yang mampu memberikan tingkat perhitungan yang dibutuhkan. Legalisme memberikan suasana yang stabil dan dapat diperhitungkan”.

Di mana banyak transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan.24

Sistem hukum perjanjian Indonesia yang bersumber pada KUH Perdata memang pada prinsipnya setiap orang bebas mengadakan dan menentukan isi perjanjian, sepanjang diantara para pihak telah terjadi kesepakatan sesuai dengan Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUH Perdata. Namun, kebebasan ini dibatasi oleh

22

Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, (Bandung: C.V. Mandar Maju, 2011), hal 135.

23

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Edisi 2, (Jakarta:PT Sofmedia, 2010), hal 249.

24

Elis Herlina, “Kajian Hukum Terhadap Perjanjian Baku pada Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Internet dan Kaitannya dengan Pengalihan Tanggung Jawab

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen”

,http://e-journal.kopertis4.or.id/upload.php?id=266&name=KAJIAN%20HUKUM%20TERHADAP%20PERJ ANJIAN%85%85.pdf, hal 3, diakses 13 Februari 2013.


(25)

undang-undang, ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan sesuai dengan Pasal 1338 ayat (3) dan 1339 KUH Perdata.25 Maka dalam hal terjadi ketidakseimbangan akibat ketidaksetaraan posisi para pihak yang membuat kontrak yang menimbulkan gangguan terhadap muatan isi kontrak diperlukan intervensi negara (pemerintah) untuk menegakkan asas keseimbangan dalam hubungan hukum kontraktual.26

Terhadap kontrak baku, ada banyak klausula yang memberatkan pihak nasabah salah satunya adalah klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata jika terjadi events of default.

27

Contohnya pada salah satu klausula perjanjian pembiayaan PT Adira Finance diatur bahwa PT Adira Finance dapat memutuskan perjanjian setiap saat bila debitur wanprestasi. Untuk keperluan ini, para pihak setuju untuk mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata.28

25

Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, Op.cit, hal 139.

Di mana pihak konsumen tanpa hak untuk menuntut ganti rugi pada kreditur terkait pemutusan perjanjian oleh kreditur tanpa melalui pengadilan karena debitur tidak melaksanakan pembayaran pokok, bunga, dan denda keterlambatan sesuai dengan yang disepakati. Kontrak yang demikian sering kali diibaratkan berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang, antara pihak yang mempunyai bargaining position kuat (baik karena penguasaan

26

Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat,

Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan). (Bandung: CV Mandar

Maju, 2012), hal 99.

27

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis): Buku Kedua, Op.cit, hal 100-102.

28

Salim H.S., Perkembangan hukum Kontrak di Luar KUH Perdata: Buku Dua, (PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 151.


(26)

modal/dana, teknologi maupun skill) dengan pihak yang lemah bargaining position -nya.29

Dalam kaitannya dengan pencantuman klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian bisnis dengan jaminan, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika isinya menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli secara angsuran.30

Pencantuman pemberian Kuasa Membebankan Surat Kuasa terhadap barang yang dibeli debitur secara angsuran yang melanggar Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menurut Pasal 62 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) kecuali untuk kontrak leasing/beli sewa/sewa guna usaha karena dalam leasing belum ada penyerahan (levering) sedangkan beli dengan cicilan, pemilik benda telah melakukan penyerahan (levering) sehingga pihak yang memperoleh penyerahan benda telah menjadi pemilik yang sah atas benda tersebut.

31

29

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 2.

30

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

31

Leasing/sewa guna usaha adalah “kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang

baik sceara sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) maupun sewa guna usaha dengan hak opsi (financing lease) untuk digunakan Lesse dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran


(27)

Dalam hal ini juga termasuk kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak baku dengan jaminan. Namun ada perbedaan pendapat antara para ahli mengenai pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan ketentuan yang sifatnya memaksa karena adanya kata “harus” untuk permohonan pembatalan kepada hakim. Kedua, ada pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan ketentuan yang sifatnya melengkapi atau terbuka sesuai dengan asas terbuka dari Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perikatan ini. Menurut Munir Fuady walaupun Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat disimpangi, namun menurut teori ilmu hukum umumnya ketentuan hukum acara termasuk proses pengadilan merupakan hukum memaksa.32 Sedangkan, menurut Herlien Budiono, Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata bukan ketentuan yang bersifat memaksa sehingga dapat disimpangi para pihak.33

Padahal, Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata mengatur tentang perikatan bersyarat. Perikatan bersyarat yang diatur oleh Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata adalah syarat batal. Menurut Pasal 1266 KUH Perdata:34

berkala”. Lihat Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan

Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hal 25.

32

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis): Buku Kedua, Op.cit, hal 115-116.

33

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hal 199-200.

34

Opini Kompasiana, “Mengenal Syarat Batal dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen”,


(28)

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini, persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan pada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan”.

Inilah yang mau dikesampingkan oleh pihak kreditur karena prosedur pengadilan mulai dari pengadilan negeri kemudian banding ke pengadilan tinggi, kasasi dan peninjauan kembali yang memakan waktu yang lama dan belum sesuai dengan asas peradilan cepat dan murah. Oleh karena itu para pelaku bisnis mencari pilihan lain dengan cara negosiasi, mediasi, konsultasi maupun arbitrase.35

Selanjutnya Pasal 1267 KUH Perdata mengatur bahwa pihak yang perikatannya tidak dipenuhi dapat memilih apakah ia akan memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.

Penempatan kedua pasal tersebut dalam bagian tentang perikatan bersyarat menimbulkan kritik dari Herlien Budiono yang menganggap pembuat undang-undang telah keliru memandang dan mengartikan wanprestasi sebagai telah dipenuhinya salah satu syarat pada perjanjian bersyarat (untuk membatalkan).36

35

Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal 2-3.

Tetapi juga ditemukan alasan pembenarnya oleh Subekti yang menganggap penempatan kedua

36

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 196.


(29)

pasal ini tidak salah karena pernyataan pembatalan perjanjian bukan batal demi hukum dan permohonan pembatalan perjanjian melalui hakim.37

Sistem peradilan yang dimiliki oleh setiap negara dipandang sebagai jalan terbaik dalam menyelesaikan sengketa. Sehingga setiap kali muncul konflik maka yang timbul dalam pikiran adalah penyelesaiannya harus melalui pengadilan (litigasi) padahal dalam proses pengadilan terdapat banyak tahap dan segudang aturan main yang harus dipenuhi. Belum lagi apabila kasus tersebut berlarut-larut dan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Tentu saja penyelesaiannya memakan waktu yang lama dan biaya yang besar bagi setiap pencari keadilan.38 Jika dikaitkan dengan pengsesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, maka yang dikesampingkan adalah kewenangan pengadilan dalam menangani perkara perdata di bidang bisnis. Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata ini menurut Gunawan Widjaja adalah salah, hanya berlaku untuk jual beli dan ganti rugi serta biaya harus dituntut.39

Tidak selamanya pihak yang lemah bargaining position-nya adalah debitur atau konsumen. Adakalanya pihak kreditur juga menjadi pihak yang lemah ketika misalnya pihak kreditur telah mengucurkan pinjaman kepada debitur di mana pihak kreditur menjadi pihak yang lemah karena bisa saja pihak debitur yang telah menerima kucuran pinjaman tidak mampu atau tidak mau maupun sengaja menunda membayar pinjaman sehingga hal ini menjadi resiko pihak kreditur. Maka dari sisi

37

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2005), hal 50.

38

Anggreany Arief, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata”, Al-Risalah,Vol 12 No 2 (2012), hal 306.

39

Gunawan Widjaja, “Hal-Hal Prinsip Dalam Pembuatan Kontrak yang Sering Terlupakan Dan Akibat-Akibatnya”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 29 No. 2 (2010) , hal 54-57.


(30)

kreditur, pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berfungsi untuk melindungi kreditur dari resiko-resiko debitur tidak melaksanakan pembayaran pokok, bunga, dan denda keterlambatan sesuai dengan yang disepakati. Apalagi jika perjanjian kredit itu bersifat jangka panjang seperti perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang jangka waktunya perjanjian kredit lebih dari 3 tahun.40 Mengingat rentang waktu hubungan hukum yang terjadi mungkin relatif lama maka kepercayaan tersebut tidak cukup sebatas “janji bahwa dapat dipercaya” secara etika dan moral saja. Kepercayaan perlu diperkuat dengan wujud yang lain yaitu disebut sebagai jaminan. Jaminan menjadi penting dan berharga apabila mencakup mengenai nilai ekonomi yang besar seperti perjanjian kredit dalam memperkuat hubungan bisnis dan hubungan hukum yang terjalin dalam rentang waktu panjang.41

Perwujudan kepercayaan diperlukan antara para pihak dalam berbagai bentuk. Bentuk kepercayaan dapat berupa barang, benda tertentu, atau orang tertentu. Bentuk-bentuk tersebut akhirnya menjadi lembaga hukum sekaligus sebagai lembaga jaminan dan pengganti kepercayaan yang menjadi dasar hubungan hukum seperti jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.42

Kepercayaan yang hanya bersifat etis dan moral saja, keberadaannya sangat cair, mudah diingkari dan selalu dapat menciptakan adanya cidera janji. Jaminan

40

Brierly Napitupulu, “Studi SKMHT dalam Perjanjian KPR BTN”, 2013.

41

Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 162.

42

Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2011), hal 112.


(31)

menjadi sangat berarti apabila di kemudian hari debitur benar-benar ingkar janji/cidera janji sehingga kreditur menjadi pasti kedudukannya terhadap debitur karena sudah ada jaminan.43 Perjanjian bisnis dengan jaminan terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit dengan perjanjian ikutan yaitu perjanjian jaminan di mana perjanjian jaminan merupakan perjanjian accessoir yang selalu mengikuti perjanjian pokok, karena merupakan perjanjian yang accessoir tentu juga mempunyai akibat sebagai suatu perjanjian yang bersifat accessoir.44

Dalam kaitannya dengan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, apabila pihak debitur gagal memenuhi prestasinya maka pihak kreditur dengan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat langsung memutuskan perjanjian dengan langsung mengeksekusi jaminan secara parateexecutie tanpa harus melalui pengadilan di mana klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata diikuti dengan pemberian kuasa pada pihak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan.

Dari perspektif kreditur, hal ini jauh lebih efisien karena tidak perlu menempuh prosedur pengadilan yaitu sita jaminan yang prosesnya bisa berlarut-larut baik dari proses permohonan hingga eksekusinya jaminannya. Sehingga cidera janji oleh debitur yang mungkin terjadi dalam konsep hukum mendapat jaminan agar tidak

43

Sri Redjeki Hartono, Op.cit, hal 163.

44

Kiki Riarahma, Fungsi dan Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

dalam Perjanjian Kredit, (Medan: Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas


(32)

merugikan kreditur.45

Demikian, penulisan tesis ini ingin melihat bagaimana kekuatan mengikat dari klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis.

Hal ini tentu merugikan debitur dari sisi debitur karena debitur yang gagal melaksanakan prestasinya tidak mempunyai pilihan lain misalnya menegosiasikan utang selain menerima perlakuan pihak kreditur karena sudah disepakati pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian baku.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis?

2. Bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis yang dengan klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis.

45


(33)

2. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis dengan klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi atau rujukan untuk menambah khazanah pustaka khususnya mengenai keuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis.

Secara praktis, penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk kreditur dan debitur khususnya pihak perbankan dan nasabah untuk dapat menyelesaikan masalah utang juga memahami penggunaan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis bisnis dari sisi perundang-undangan di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Sejauh ini, peneliti telah melakukan penelusuaran karya ilmiah baik di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Pascasrajana Program Studi Ilmu, perpustakaan utama Universitas Sumatera Utara, dan penelusuran melalui internet, ada beberapa tesis yang membahas tentang pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis khususnya antara lain:


(34)

1. Budi Utami Raharja, Hak Jaminan Atas Kredit Pemilikan Rumah Studi Kasus PT. Bank Danamon Indonesia Tbk dan PT Bank Sumut Medan, Medan: Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2005.

2. Madda Elyana, Peranan Notaris Dalam Penyelesaian Sengketa Akibat Tuntutan Pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi (Suatu Penelitian Pada Praktek Notaris Di Kota Banda Aceh), Medan: Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2010.

3. Oki Ardiansyah Kurnadi, Tinjauan Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang Atas Dasar Wanprestasi (Studi PT. Telemedia Network Cakrawala), Medan: Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2011.

Namun, penulisan tesis ini berbeda dengan tesis-tesis yang telah disebutkan karena pembahasan tesis-tesis tersebut hanya membahas syarat batal yang diatur dalam Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada bagian subbab tesis bukan menjadi pembahasan utama. Sedangkan penulisan tesis ini membahas kekautan mengikat dari klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis sebagai pembahasan utama. Dengan demikian, penelitian ini belum pernah ditulis oleh peneliti sebelumnya sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertangungjawabkan.


(35)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Untuk menganalisis permasalahan-permasalahan dalam penulisan tesis ini digunakan teori asas kebebasan berkontrak. Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas. Keduanya saling mendukung dan berakar dari paham hukum alam. Kedua paham ini berpendapat bahwa individu pada umumnya mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya. Kemampuan tersebut diperoleh karena manusia menggunakan akalnya. Oleh karenanya menurut hukum alam individu-individu harus diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya untuk mencapai kesejahteraan yang seoptimal mungkin. Dalam mencapai kesejahteraan, individu harus mempunyai kebebasan untuk bersaing dan negara tidak boleh campur tangan. Seiring dengan berkembangnya laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula suatu prinsip yang umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas.46

46

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009),


(36)

Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak.47 Maka menurut Hans Kelsen:48

“Perjanjian adalah tindakan hukum dua pihak di mana norma hukum mewajibkan dan memberikan wewenang kepada para pihak melakukan perjanjian yang dilahirkan oleh kerjasama dari minimal dua orang yang didasarkan prinsip otonomi yang diberikan pada para pihak dimana tidak seorang pun diwajibkan terhadap, atau bahkan tanpa persetujuannya sendiri di mana dari hubungan hukum tersebut dilahirkan norma yang merupakan perjanjian yang diadakan oleh para pihak yang harus menghendaki hal yang sama dan kehendak-kehendak yang sejajar”.

Kehendak para pihak inilah menjadi dasar doktrin otonomi kehendak yang menekankan kebebasan individu untuk membuat kontrak tidak bernama (onbenoemde, innominaat contracten). Sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, para pihak bebas membuat kontrak yang mereka inginkan.49 Jadi saat momentum awal kontrak terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya, asas konsensualisme lahir.50

Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi kontrak ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau yang dapat dipersamakan dengan itu yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang sah terhadap isi kontrak. Akibatnya kontrak tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus

47

Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, hal 11.

48

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011), hal 203-205.

49

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 30.

50

Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, Op.cit, hal 11.


(37)

dilaksanakan dengan itikad baik.51 Dalam kondisi yang demikian, menurut Max Weber, perkembangan pengaturan hubungan kontraktual dan hukum itu sendiri makin mengarah kepada kebebasan berkontrak, khususnya mengarah kepada suatu sistem yang bebas dari kerangka pengaturan bentuk-bentuk transaksi yang ditentukan hukum yang menjadi perintang dan meningkatnya kebebasan berkontrak.52

Henry Maine dalam bagian terkenalnya dari Ancient Law menurut Lawrence M. Friedman, mencoba menjelaskan bagaimana hukum berevolusi selama bertahun-tahun pada masyarakat progresif dan menunjukkan pada masyarakat seperti itu hukum bergerak dari status ke kontrak. Maksudnya hubungan hukum dalam masyarakat modern tidak tergantung secara khusus lagi pada kelahiran atau kasta, hubungan itu tergantung pada perjanjian sukarela.53 Namun berkembangnya doktrin itikad baik, doktrin penyalahgunaan keadaan, makin banyaknya kontrak baku, dan berkembangnya hukum ekonomi mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak.54

Menurut Sunaryati Hartono, pada abad ke-20 terjadi perubahan besar yang disebabkan beberapa faktor yaitu malaise, muculnya ajaran hukum fungsional, sehingga lahir paham negara kesejahteraan, dan oleh perkembangan ekonomi

51

Ibid.

52

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 77.

53

Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar. Terjemahan oleh Wishnu Basuki. (Jakarta: PT Tatanusa, 2001), hal 195.

54

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,Op.cit, hal 114.


(38)

yang karena ditunjang oleh kemajuan di bidang teknologi menuju produksi masal. Produksi masal menimbulkan perkembangan baru di bidang hukum kontrak dengan digunakannya kontrak-kontrak standar (standard contracts).55 Menurut R W M Dias, kembalinya kontrak ke status pada abad modern ditandai dengan individu yang tidak dapat lagi menegosiasikan klausula-klausulanya sendiri dalam hubungan publik dan khususnya di dalam industri sehingga menurut R W M Dias inilah abad standarisasi kontrak dan penawaran secara kolektif.56 Friedrich A. Hayek berpendapat sebetulnya ini berarti kembali ke kedaulatan status, kemunduran dari “gerakan masyarakat progresif” yang dalam ungkapan terkenal Henry Maine, “hingga kini telah menjadi gerakan dari status ke kontrak”.57

Man Suparman Sastrawidjaja berpendapat tujuan semula diadakannya kontrak baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis.

58

Penjelasannya menurut Richard A. Posner adalah penyedia jasa hanya berusaha mengurangi biaya-biaya dari negosiasi dan perancangan kontrak dengan setiap konsumen.59

55

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hal 120.

Max Weber memperlihatkan kapitalisme modern tidak hanya membutuhkan teknik-teknik produksi, tapi juga membutuhkan sistem hukum yang dapat diprediksi.

56

R W M Dias, Jurisprudence. 5th Edition. (London: Butterworths, 1985), hal 389.

57

Friedrich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme. Terjemahan oleh Iones Rakhmat. (Jakarta: Freedom Institute & Friedrich Naumann Stiftung, 2011), hal 97.

58

Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2010), hal 322.

59

Richard A. Posner, Economic Analysis of Law. 4th Edition. (Boston: Little Brown & Company, 1992), hal 114.


(39)

Perusahaan-perusahaan modern kapitalisme modern sangat tergantung kepada prediksi.60 Di mana pihak yang telah mempersiapkan kontrak tersebut telah menghitung resiko kontrak bisnisnya dengan pencantuman klausula yang menguntungkan dirinya terutama bila debitur lalai, terlambat membayar, dan wanprestasi. Kontrak baku yang dibuat dengan sendirinya pihak yang mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang menguntungkan dirinya.61 Maka pihak kreditur tinggal menyodorkan isi kontrak tersebut dan debitur tinggal menyetujui “Ya” atau “Tidak”.62

Di dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat-syarat dalam kontrak semacam itu akhirnya akan melanggar keadilan dan kelayakan. Dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki

bargaining position yang seimbang.

63

60

Bismar Nasution, “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 17 April 2004, hal 11.

Mark R Patterson mengemukakan ada hal-hal yang menjadi perhatian dalam konteks konsumen di mana kontrak-kontrak demikian sering merupakan kontrak sepihak di mana konsumen tidak membaca atau tidak berdaya untuk melakukan negosiasi. Siapapun para pihak baik

61

Djoni S. Gazali et al, Op.cit, hal 325.

62

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata: Buku Satu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal 174.

63

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9.


(40)

konsumen maupun pelaku usaha, kontrak baku tidak selamanya baik untuk setiap transaksi, maka untuk beberapa pihak tidak dilayani dengan baik oleh kontrak baku.64

Keadaan tersebut dapat berlaku dalam hubungan bank (kreditur) dan nasabah (debitur). Pada umumnya karena kreditur menjadi pihak yang mempunyai uang dan menjelma dalam bentuk perusahaan besar, maka kreditur diasumsikan memiliki bargaining position yang lebih kuat terhadap debiturnya. Namun dalam keadaan tertentu kreditur dapat merupakan pihak yang lemah. Ketidakseimbangan bargaining position ini sering melahirkan perjanjian kredit yang berat sebelah atau timpang, tidak adil, dan melanggar aturan-aturan kepatutan.

65

Karena itu, asas-asas dalam kontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas itikad baik relevan dalam penelitian tesis ini. Karena penentuan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata didasarkan pada kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan isi kontrak di mana para pihak bebas menentukan apakah mereka menuruti Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata atau mengesampingkannya. Selain itu asas itikad baik dalam kebebasan dan kesepakatan para pihak lebih ditekankan pada kesepakatan yang tidak berat sebelah (fair) antara para pihak. Namun asas itikad baik yang

64

Mark R Patterson, “Standardization of Standard-Form Contracts: Competition and Contract Implication”, William & Mary Law Review, Vol 52 No. 2 (2010), hal 332.

65

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9.


(41)

ditujukan pada pengadilan membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.66 Di mana aturan itikad baik yang ditujukan pada pengadilan merupakan pembatasan oleh negara melalui kekuasaan kehakiman sesuai pembagian trias politikanya Montesquieu.67 Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan umum dan pihak yang lemah.68 Namun kekuasaan kehakiman ini yang mau dikesampingkan karena alasan dikesampingkannya pasal-pasal tersebut adalah agar dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak maka pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri (Pasal 1266). Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1267).69

66

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 7.

Kaitannya dengan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian bisnis khususnya dengan jaminan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, tujuan dari jaminan memberikan hak

verhaal (hak meminta pemenuhan piutangnya) kepada kreditur terhadap benda keseluruhan maupun penjualan benda dari debitur untuk pemenuhan piutangnya

67

Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, (Jakarta: Kencana, 2012), hal 177.

68

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 3.

69

Hukumonline, “Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata”,


(42)

dengan hak yang selalu mengikuti bendanya (droit de suite) tidak hanya hak tapi kewenangan menjual dan hak eksekusi dengan pelaksanan janji dengan mudah (parate executie) serta grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga menjamian kuatnya lembaga jaminan.70 Maka apabila debitur cedera janji, eksekusi terhadap jaminan misalnya hak tanggungan dapat dilakukan tanpa melalui proses litigasi apabila melakukan eksekusi atas jaminan utang debitur karena kekuatan eksekutorial yang ada pada sertifikat jaminan sudah sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.71 Maka keadilan yang dicari disini adalah keadilan komutatif di mana menurut Robert Nozick, keadilan hanya dibatasi dalam ruang komutatif pertukaran individu di mana keadilan bagi Nozick terdapat dalam pertukaran yang adil.72

Sehubungan dengan hal tersebut, Aristoteles mengatakan apa yang adil (just) adalah yang proporsional.73

70

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum

Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Jakarta: BPHN, 1980), hal 38-39.

Keadilan harus dipahami sebagai fairness di mana prinsip perbedaan objektif yang menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak sehingga secara wajar (objektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness. Prinsip perbedaan ini tidak menuntut manfaat yang sama (equal

71

Utari Maharani Barus, “BASYARNAS sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia”, Spirit Hukum: Didedikasikan untuk Purna Bakti 70 Tahun Prof.Hj.

Rehngena Purba, SH, MS Guru Besar Fakultas Hukum USU Hakim Agung Republik Indonesia,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 157-158.

72

Karen Lebacqz, Six Theories Of Justice. Terjemahan oleh Yudi Santoso. (Indianapolis: Augsbung Publishing House, 1986), hal 101.

73

Aristotle, Nicomachean Ethics, Tranlsated by W.D. Ross. (Kitchener: Batoche Books, 1999), hal 76.


(43)

benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik

(reciprocical benefits).74

Oleh karena itu kreditur juga sering mencantumkan klausula pernyataan bahwa debitur memberi kuasa pada kreditur untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan.75 Menurut Hegel sebagaimana adanya manusia itu, hanya bisa terjadi karena negara.76 Maka dalam hal ini negara perlu campur tangan untuk melindungi yang lemah.77 Pengaturan oleh Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha atau kreditur dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, mencantumkan klausula baku tentang memberi kuasa pada kreditur untuk pembebanan hak jaminan terhadap debitur.78

Teori asas dalam berkontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas itikad baik ini tepat dalam penulisan tesis ini karena dasar penentuan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata didasarkan Pencantuman pemberian Kuasa Membebankan Surat Kuasa terhadap barang yang dibeli debitur secara angsuran dapat dipidana menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kecuali untuk kontrak

leasing/sewa guna usaha.

74

Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hal 43.

75

H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit

Perbankan, (Bandung: PT Alumni, 2012), hal 4.

76

Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, (Bandung: CV Mandar Maju, 2011), hal 73.

77

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9.

78


(44)

oleh kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan klausul pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata adalah perikatan bersyarat di mana syarat batal tersebut, pembatalannya harus dimintakan ke pengadilan. Namun, karena sifat terbuka dari Buku III KUH Perdata, para pihak memiliki kebebasan untuk mengesampingkan aturan ini termasuk Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Para pihak dalam menentukan klasula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata harus telah memahami bahwa dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, mereka telah melepaskan hak mereka untuk mengajukan pembatalan perjanjian ke pengadilan. Sehingga penentuan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tidak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan dari pihak yang lemah oleh pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat, di mana tidak selamanya debitur sebagai pihak yang lemah tapi dalam keadaan tertentu kreditur bisa menjadi pihak yang lemah. Maka para pihak dalam penentuan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata harus dilakukan dengan itikad baik dan fair. Terutama dalam eksekusi benda jaminan di mana dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, eksekusi tidak lagi dimintakan ke pengadilan yang menjadi salah satu bentuk intervensi negara dalam kaitannya dengan prinsip itikad baik, melainkan secara parate executie

yaitu dengan kekuatan eksekutorial yang ada pada irah-irah grosse akta di mana eksekusinya dilakukan apabila debitur wanprestasi. Dengan demikian, penentuan


(45)

klausula syarat batal yang mengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada kontrak bisnis perlu disepakati secara itikad baik dan fair sehingga dalam penentuan dan pelaksanaan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada kontrak bisnis ini para pihak terlindungi.

2. Kerangka Konsepsi

Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman dalam penelitian ini, konsepsi diperlukan sehingga secara operasional diperoleh hasil penulisan yang sesuai dengan tujuan yang dicapai dalam penulisan ini :

a. Kekuatan mengikat adalah kekuatan mengikat dari kontrak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak.

b. Klausula syarat batal adalah klausula yang mencantumkan hal-hal yang menyebabkan batalnya sebuah perjanjian dalam kontrak bisnis.

c. Kontrak Bisnis adalah suatu perjanjian dalam bentuk tertulis dimana substansi yang disetujui oleh para pihak yang terkait didalamnya bermuatan bisnis. Adapun bisnis adalah tindakan-tindakan yang mempunyai nilai komersial.79 d. Pengesampingan atau waiver adalah:

“The voluntary relinquishment or abandonment, express or implied of a legal right or advantage. The instrument by which a person relinquishes or abandons a legal right or advantages”.80

79

Hikmahanto Juwana, “Modul Kontrak Bisnis: Modul I”,

Februari 2013.

80

Bryan A. Garner ed, Black’s Law Dictionary, 8th Edition, (St Paul. Minn.: West Publishing Co, 2004), hal 1611-1622.


(46)

Jika diterjemahkan secara bebas, pengesampingan adalah pelepasan atau penanggalan hak atau keuntungan secara langsung atau tidak langsung. Atau suatu instrumen yang mana oleh pribadi melepaskan hak atau keuntungannya. Maka pengesampingan pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berarti para pihak telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan kontrak bisnis ke pengadilan dengan menyepakati pembatalan kontrak bisnis dapat dilakukan para pihak bila salah satu pihak melakukan wanprestasi berdasarkan kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.

e. Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian tanpa campur tangan pihak lain ataupun negara. Batas kebebasan berkontrak adalah tidak melanggar hukum dan itikad baik.81

f. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.82

g. Kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.83

h. Debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang.84

81

Sri Gambir Melati Hatta, Op.cit, hal 25.

82

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : PT Alumni, 2006), hal 31.

83

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(47)

i. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.85

j. Kontrak baku adalah syarat-syarat konsep tertulis yang telah disusun terlebih dahulu tanpa perundingan mengenai isi untuk dituangkan ke dalam kontrak yang biasanya jumlahnya tidak tertentu mengenai suatu hal tertentu.86

k. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk bauk mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur.87

l. Perikatan bersyarat ialah perikatan yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada syarat tertentu yaitu pada peristiwa yang akan datang dan belum pasti terjadi baik syarat yang menangguhkan bermaksud bila syarat itu dipenuhi

84

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

85

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

86

H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Op.cit, hal 51.

87

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Op.cit, hal 33.


(48)

maka perikatan menjadi berlaku maupun syarat yang memutus (membatalkan) apabila syarat itu dipenuhi perikatan menjadi putus (batal).88

m. Syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanyalah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.89

n. Parate executie adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut.90 o. Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah

memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya.91

88

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1994), hal 26.

89

Pasal 1265 KUH Perdata, Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), hal 328.

90

R. Subekti, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa Dalam Penemuan

Hukum dan pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial, (Jakarta: MARI,

1990), hal 69.

91

J. Satrio, Wanprestasi menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012), hal 3.


(49)

G. Metode Penelitian

Untuk mendalami suatu pengetahuan, maka diperlukan suatu metode termasuk pendalaman terhadap suatu isu hukum maka diperlukan pemakaian metode penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu proses ilmiah untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang muncul dengan tujuan untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu hukum yang muncul tersebut.92 Penelitian hukum merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.93

1. Tipe dan Sifat Penelitian

Dalam penulisan tesis ini, metode penelitian yang dipakai adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah tentang asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.94

92

Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Yuridika, Vol 16 No. 2 (2001), hal 103.

Di mana tipe penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan pertimbangan titik tolak analisis terhadap KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis. Karena tipe

93

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal 35.

94

Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 34-35.


(50)

penelitian ini adalah yuridis normatif maka metode yang digunakan dalam penelitian kepustakaan (library research) yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto adalah metode penelusuran sumber di perpustakaan untuk menemukan data, informasi dan pengetahuan terolah.95

Karena tipe penelitian ini adalah yuridis normatif maka sifat penelitian ini sifatnya deskriptif analitis yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara utuh, sistematis, dan akurat kekuatan mengikat klasula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis berdasarkan kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis. Analitis berarti menginventarisir asas-asas dan peraturan-peraturan terkait dengan asas-asas berkontrak dalam menentukan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dan selanjutnya menganalisis asas-asas dan peraturan-peraturan tersebut.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.96

95

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: Elsam & Huma, 2002), hal 141.

Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti

96

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), hal 302.


(51)

aturan-aturan baik dalam KUH Perdata maupun perundang-undangan lain yang berkaitan terutama tentang klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis.

Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan akan lebih akurat bila dibantu oleh satu atau lebih pendekatan lain yang cocok, guna memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problema hukum hukum yang dihadapi.97 Karena itu, pendekatan lain yang digunakan untuk mendukung pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan analitis. Menurut Johnny Ibrahim, pendekatan analitis pada dasarnya adalah menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai konsep yuridis.98 Dengan demikian dalam penulisan tesis ini, konsep yuridis yang dianalisis adalah konsep yuridis tentang keuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri perundang-undangan.99

97

Ibid, hal 305.

Seperti KUH Perdata telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Tahun 1963 No. 3 yang menyatakan bahwa KUH Perdata tidak berlaku

98

Ibid, hal 311.

99


(52)

sebagai kodifikasi tetapi hanya merupakan “buku hukum” (rechtsboek) dan digunakan sebagai “pedoman”. Namun pada Pembukaan Seminar Hukum Nasional ke II di Semarang Tahun 1968, Mahkamah Agung memberikan tanggapan yang memperbaiki Surat Edaran Tahun 1963 No. 3 yang isinya mengakui KUH Perdata tetap sebagai undang-undang.100

b. Bahan hukum sekunder

Selain itu juga ada

Herziene Inlandsch Reglement (HIR), Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv), Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg), Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum juga jurnal-jurnal hukum termasuk yang on-line. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada penulis semacam petunjuk ke arah mana penulis melangkah. Buku-buku dan artikel-artikel hukum yang dirujuk adalah yang mempunyai relevansi dengan apa hendak ditulis.101

100

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal 40.

Bahan hukum sekunder juga merupakan bahan yang

101


(53)

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya.102

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sepert kamus hukum,

encyclopedia dan lain-lain.103

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan data dalam penelitian normatif dilakukan dengan menggunakan studi pustaka (library research) terhadap bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier berupa perundang-undangan, literatur, jurnal hukum, kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain. Penelesuran bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun dilakukan dengan penelusuran bahan hukum dengan media internet.104

5. Analisa Bahan Hukum

Bahan hukum yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan dianalisis dengan metode yuridis normatif secara kualitatif yang dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, menginventarisir dan mengidentifikasi bahan hukum baik bahan hukum primer,

102

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal 13.

103

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Op.cit, hal 296.

104


(1)

Vogerl, Christina Maria. Unfair Terms in Standard Form Contract: A Law & Economics Analysis of Key Issues in the Implementation of Cosumer Directive on Unfair Terms, Hamburg: Thesis, European Master Program in Law & Economics University of Hamburg, 2007.

Widjaja, Gunawan. “Hal-Hal Prinsip Dalam Pembuatan Kontrak yang Sering Terlupakan Dan Akibat-Akibatnya”. Jurnal Hukum Bisnis Vol. 29 No. 2 (2010).

III. Makalah dan Pidato

Barus, Utari Maharani. "BASYARNAS sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia." Dalam Spirit Hukum: Didedikasikan untuk Purna Bakti 70 Tahun Prof.Hj. Rehngena Purba, SH, MS Guru Besar Fakultas Hukum USU Hakim Agung Republik Indonesia, Pendastaren Tarigan & M. Arif (ed.). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.

Juwana, Hikmahanto. “Penghormatan terhadap Kontrak Bisnis”. Makalah yang disampaikan pada Seminar “The Enforceability of Business Contracts”, diselenggarakan oleh Partnership for Business Competition, 13 Juni 2002.

Kamello, Tan. “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006.

Nasution, Bismar. “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum


(2)

Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 17 April 2004.

—. “Aspek Hukum Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) tentang Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Padang, tanggal 28 Mei 2009. Setijoprodjo, Bambang. “Pengaman Kredit perbankan yang Dijamin oleh Hak

Tanggungan”,di dalam Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU – Medan. Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan (Hasil Seminar), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996.

IV. Kamus

Garner, Bryan A., ed. Black’s Law Dictionary. 8th Edition. St Paul. Minn: West Publishing Co, 2004.

V. Internet

Berdou, Jean. “The Doctrine of Parate Executie or Self Help by Creditors in Present South Africa Law” 16 September 2013.

Dutch Civil Code, “Dutch Civil Code”,

tanggal 19 Desember 2013.

Harian Analisa, “BPSK Belum Optimal Lindungi Konsumen.”,

2013.


(3)

Herlina, Elis, “Kajian Hukum Terhadap Perjanjian Baku pada Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Internet dan Kaitannya dengan Pengalihan Tanggung Jawab Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen” ,http://e-journal.kopertis4.or.id/upload.php?id=266&name=KAJIAN%20HU KUM%20TERHADAP%20PERJANJIAN%85%85.pdf, diakses 13 Februari 2013.

Hukumonline, “Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata”, diakses tanggal 11 Desember 2012.

Index Mundi, “Netherland Demographic Profile.”,

Juwana, Hikmahanto, “Modul Kontrak Bisnis: Modul I”

Khairandy, Ridwan,“Hukum Perikatan Indonesia dalam Perspektif Perbandingan”, http://ridwankhairandy.staff.uii.ac.id/category/materi-kuliah/, hal 71, diakses 22 Desember 2012

Kusuma, Dewi Rachmat, “OJK Terbitkan Aturan Untuk Pertama Kalinya, Apa Isinya?” tanggal 6 Januari 2013.

Melani, “Menyambut Pengawasan Perbankan ke Tangan OJK Mulai 2014”, 2014.


(4)

Napitupulu, Brierly, “Studi SKMHT dalam Perjanjian KPR BTN”

Opini Kompasiana, Desember 2012.

Saam Fredy Marpaung, “Contra Preferentum”,

saamfredymarpaung.wordpress.com/2012/01/31/ch-255-contra-proferentem/, diakses tanggal 30 Desember 2012.

Situs Resmi Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan, “Mulai 2 Januari 2013 Penyiapan dan Pembuatan Blanko Akta PPAT Dilakukan oleh Masing-Masing PPAT”,

Syahrifah, Fitri, “BKKBN: Tahun Ini Penduduk Indonesia Capai 250 Juta Jiwa”, Witanto, D.Y. “Parate Eksekusi Vs Eksekusi Grosse Akta dalam Lembaga Jaminan

Hak Tanggungan” diakses 20 September 2013.


(5)

VI. Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Keputusan Presiden No. 90 tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK di Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar

Keputusan Presiden No. 22 tahun 2013 tentang pembentukan BPSK di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Donggala, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ogan Ilir, Kota Pali, dan Kota Kotambagu.

Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara.

Peraturan Kepala BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.


(6)

VII. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Agung No. 14 K/Sip/1953 tanggal 30 November 1955. Putusan Mahkamah Agung No. 244 K/Sip/1973 tanggal 24 September 1973 Putusan Mahkamah Agung No. 3210.K/PDT/1984 tanggal 30 Januari 1986. Putusan Mahkamah Agung No. 113 PK/Pdt/2003 tanggal 6 Mei 2004. Putusan Mahkamah Agung No. 1286 K/Pdt/2007 tanggal 6 Februari 2008.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-VIII/2010 tanggal 5 Desember 2011. Putusan Pengadilan Negeri Makale No. 56/PDT.G/2010/PN.MKL. tanggal 9 Juni 2011.