Ustadz Jeffry Al Buchori dalam menanggapi insiden Monas, meminta umat Islam memperkuat persatuan dan jangan mau diadu domba. Kepada umat
non-Islam, Uje meminta kepada mereka untuk bersikap bijaksana dan memberikan kesempatan kepada umat Islam sendiri yang menyelesaikan
permasalahan tersebut. Untuk pemerintah sendiri, Uje meminta pemerintah bersikap adil.
“Dengan kejadian itu, umat Islam harus memperkuat persatuan dan jangan mau diadu domba. Kepada masyarakat non-Islam, ustadz Jeffry
juga mengimbau agar bersikap bijaksana. “Biarkan kami menyelesaikan urusan agama kami,” tegasnya.”
115
Selain meminta agar umat Islam tetap bersatu, Republika juga meminta penerbitan segera SKB dan membubarkan Ahmadiyah secepatnya. Karena,
keberadaan Ahmadiyah dan terlambatnya penerbitan SKB merupakan akar masalah terjadinya insiden Monas.
B. Temuan dan Analisis Perangkat Framing Robert N. Entman
Peneliti akan menjabarkan beberapa hasil temuan dari headline berita Koran Tempo
dan Republika terkait dengan penyebab terjadinya insiden Monas. Peneliti akan menjabarkan sesuai dengan perangkat model framing yang peneliti
gunakan, yaitu framing model Robert N. Entman yang terdiri dari empat struktur, antara lain : Pertama, problem identification define problem
pendefinisian masalah. Kedua, causal interpretation diagnose causes sumber masalah. Ketiga, moral evaluation make moral judgement membuat
115
Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil, Republika, 7 Juni 2008, h. 1, alinea 3. Lebih jelas lihat di lampiran.
keputusan moral. Keempat, treatment recommendation suggest remedis
solusi.
Tabel 19 Problem Identification Define Problem Koran Tempo dan Republika
No Koran Tempo
No Republika
1. Masalah hukum pembubaran FPI
1. Persoalan Ahmadiyah 2.
Masalah hukum pembekuan FPI 2.
Tuntutan Penyelesaian Ahmadiyah
3. Korban luka dari pihak AKKBB
3. Persoalan Ahmadiyah 4.
Masalah hukum pembubaran FPI 4.
Ajang adu
domba sesama
penganut Islam 5.
Tuntutan pembubaran FPI 5. Persoalan Ahmadiyah
6. Ancaman
penggugatan dan
penyerbuan kantor Koran Tempo 6.
Penegakan hukum pembubaran Ahmadiyah
7. Lemahnya pengamanan polisi
Pada struktur pertama framing Robert N. Entman ini, antara Koran Tempo dan Republika memiliki pendefinisian masalah yang sama terkait dengan
insiden Monas, yaitu permasalahan hukum. Hanya saja terdapat perbedaan yang terletak pada objek permasalahan. Dari tujuh berita mengenai insiden Monas
dan ditempatkan pada bahasan utama, Koran Tempo empat kali melihat ini sebagai masalah hukum pembubaran FPI terkait kekerasan yang dilakukan oleh
FPI kepada AKKBB. Permasalahan kekerasan tersebut dijadikan isu utama oleh Koran Tempo
untuk menuntut pembubaran FPI. Bagi Koran Tempo, keberadaan FPI terutama tuntutan untuk membubarkan Ahmadiyah disertai dengan aksi
anarkis yang terjadi di Monas, telah mengancam kebebasan umat beragama di Indonesia. Tidak hanya menjadikan persoalan insiden Monas sebagai masalah
hukum pembubaran FPI, tetapi Koran Tempo juga mendefinisikan adanya
kelengahan dari pihak kepolisian dalam menjaga massa yang pada 1 Juni 2008, banyak melakukan aksi di sekitar Monumen Nasional. Koran Tempo bahkan
memuat berita berkaitan dengan akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh FPI, yaitu berita berisi jumlah korban luka ringan dan parah yang semua korbannya
berasal dari AKKBB. Koran Tempo juga menyampaikan berita terkait dengan pernyataan sikap dari harian tersebut terhadap ancaman Panglima Komando
Laskar Pembela Islam LPI Munarman, yang mengancam akan menyerbu kantor Koran Tempo terkait pemuatan foto dirinya dengan gambar sedang
mencekik salah satu anggota yang dituliskan berasal dari Aliansi Kebangsaan. Berdasarkan dari analisa yang telah peneliti lakukan pada berita utama
terkait dengan insiden Monas di Koran Tempo. Dengan merujuk pada elemen pertama model framing Robert N. Entman, dapat peneliti tegaskan bahwa tim
redaksi Koran Tempo lebih banyak menekankan isu tuntutan pembubaran FPI ketimbang isu lain seperti isu persoalan Ahmadiyah. Dalam setiap bahasan
utamanya, Koran Tempo selalu menyatakan sikap menuntut kepada pemerintah secepatnya membubarkan FPI karena dinilai telah melakukan tindakan anarkis
dan mengancam kebebasan umat beragama di Indonesia. Peneliti juga melihat dari beberapa kutipan narasumber yang diambil oleh Koran Tempo, hampir
keseluruhan narasumbernya berasal dari orang-orang yang pro terhadap Ahmadiyah, orang-orang yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia HAM
untuk melindungi Ahmadiyah dan orang-orang yang pro terhadap pembubaran FPI. Sebagai contoh kutipan pernyataan dari Gusdur, Goenawan Mohammad,
dan beberapa tokoh AKKBB lainnya. Sedangkan kutipan dari pihak FPI atau LPI hanya sedikit saja dituliskan oleh Koran Tempo. Namun, pada wawancara
yang peneliti lakukan dengan Redaktur Eksekutif Koran Tempo, Gendur Sudarsono, ia menyatakan bahwa Koran Tempo tidak menuntut pembubaran
FPI, berikut kutipan wawancaranya : “Sebenarnya Koran Tempo tidak menuntut pembubaran.
Pembubaran itu hanya statement dari sebuah sumber, seorang yang mengatakan begitu. Tetapi, sikap Koran Tempo sendiri konsisten bahwa
kita tidak bisa sembarangan membubarkan organisasi, karena kita juga menghargai kebebasan orang untuk berserikat dan berkumpul.”
116
Pernyataan di atas bertentangan dengan apa yang peneliti pahami dan analisa terhadap berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas. Dari
uraian mengenai frame Koran Tempo, justru peneliti melihat Koran Tempo lebih banyak memaparkan tulisan terhadap tuntutan pembubaran FPI. Berdasarkan
pemahaman peneliti, bagaimana penulisan judul berita, lead, penentuan siapa yang menjadi narasumber, secara tidak langsung menggambarkan apa
sebenarnya yang menjadi sikap institusi media terhadap suatu peristiwa. Peneliti sendiri menemukan pernyataan Koran Tempo terkait tidak menuntut
pembubaran FPI dan menyatakan bahwa hal tersebut dapat melanggar kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, yaitu pada Koran Tempo edisi
Sabtu, 7 Juni 2009. Di mana berita tersebut dimuat satu minggu setelah insiden Monas terjadi. Pada edisi tersebut, Koran Tempo mengetengahkan judul
“Goenawan Mohamad : Berbahaya Jika Pemerintah Gampang Melarang Organisasi”
. Dalam edisi tersebut, Koran Tempo mengutip pernyataan Goenawan Mohamad, yaitu :
“Adapun tuntutan pembubaran FPI harus disikapi dengan kritis. “Saya pribadi mengimbau agar kita tetap memperhatikan hak untuk
menyatakan pendapat dan berorganisasi,” katanya. “Sangat berbahaya bila pemerintah mengambil posisi gampang melarang organisasi. Ini seperti
116
Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
pengalaman kesewenang-wenangan di masa demokrasi terpimpin dan Orde Baru.”
117
Sedangkan Republika dalam hal ini, sama seperti Koran Tempo, mendefinisikan kasus insiden Monas sebagai permasalahan hukum. Bukan
terkait dengan kekerasan yamg dilakukan oleh FPI, melainkan masalah penegakan hukum terhadap pembubaran Ahmadiyah. Persoalan Ahmadiyah
bagi Republika menjadi pemicu utama terjadinya insiden Monas. Republika memberikan tambahan pada pendefinisian masalahnya bahwa keberadaan
Ahmadiyah bukanlah tentang kebebasan beragama, melainkan mengenai penistaan atau penodaan agama yang dilakukan oleh Ahmadiyah, yaitu terhadap
agama Islam. Penistaan agama tersebut dikarenakan Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Ditambah lagi pernyataan
Republika yang mengidentikkan adanya pergeseran isu pembubaran Ahmadiyah
menjadi pembubaran FPI dan adanya dugaan adu domba pada insiden Monas, 1 Juni 2008. Republika menilai, seharusnya yang menjadi perhatian utama dari
pemerintah ialah permasalahaan Ahmadiyah, bukan soal pembubaran FPI. Dalam hal ini, Republika menyatakan bahwa pernyataan dan tuntutan
pembubaran FPI itu sendiri datang dari segelintir orang saja. Yang memang mereka pada dasarnya menginginkan FPI untuk dibubarkan. Republika sendiri
melihat adanya indikasi upaya adu domba yang sengaja dilakukan dan dapat memicu konflik horisontal.
117
“Goenawan Mohamad : Berbahaya Jika Pemerintah Gampang Melarang Organisasi”, Koran Tempo
, 7 Juni 2008, alinea 5.
Republika memandang persoalan Ahmadiyah adalah persoalan yang
krusial. Ahmadiyah jelas menyimpang secara akidah dan syariat Islam. Seperti diketahui bahwa Ahmadiyah terdiri dari dua aliran, yaitu Ahmadiyah Qadian
dan di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI yang berpusat di Parung, Bogor serta Ahmadiyah Lahore dan di Indonesia dikenal
dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia GAI yang berpusat di Yogyakarta. Ahmadiyah Qadian mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
seorang mujaddid pembaharu dan seorang nabi. Ahmadiyah Lahore yang secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai
nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam. Dari kedua aliran tersebut, yang jelas-jelas menyimpang adalah JAI, selain mengakui Mirza
Ghulam Ahmad sebagai nabi, aliran ini juga meyakini bahwa semua muslim menurut mereka adalah kafir hingga mereka mau masuk ke kelompok
Ahmadiah Qadian, haram menikahi pasangan yang tidak segolongan dengan mereka, meyakini Nabi Muhammad bukan Nabi akhir zaman bahkan nabi tetap
diutus bila diperlukan, dan Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi yang utama dari sekalian nabi-nabi, meyakini bahwa kitab mereka diturunkan oleh Allah
namanya Alkitabul Mubin, meyakini bahwa desa Qadian, adalah seperti madinah Al Munawwarah, dan tanahnya sama seperti tanah Haram
Berdasarkan dari analisa yang telah peneliti lakukan pada berita utama terkait dengan insiden Monas di harian Republika. Dengan merujuk pada
struktur pertama model framing Robert N. Entman, dapat peneliti tegaskan bahwa tim redaksi Republika lebih banyak menekankan isu tuntutan penegakan
hukum pembubaran Ahmadiyah ketimbang isu lain terkait masalah kekerasan
yang dilakukan oleh FPI sebagaimana yang dituliskan oleh Koran Tempo pada setiap bahasan utamanya. Republika dalam setiap bahasan utamanya lebih sering
menuliskan dan menegaskan bahwa persoalan Ahmadiyah lah yang menjadi akar masalah terjadinya insiden Monas, hingga Republika menuntut pemerintah
untuk membubarkan Ahmadiyah. Sama halnya seperti yang dilakukan oleh Koran Tempo
dalam pemilihan narasumber, Republika juga menuliskan pernyataan beberapa narasumber yang kontra terhadap Ahmadiyah dan pro
terhadap pembubaran Ahmadiyah.
Tabel 20 Causal Interpretation Diagnoses Cause Koran Tempo dan Republika
No Koran Tempo
No Republika
1. Aksi anarkis FPI
1. Ketidaktegasan pemerintah
menyelesaikan persoalan Ahmadiyah
2. Tindakan kekerasan FPI
2. Penodaan terhadap agama Islam
oleh Ahmadiyah 3.
Tindakan kekerasan laskar FPI 3.
Ketidaktegasan pemerintah terhadap Ahmadiyah
4. Kekerasan yang dilakukan FPI
4. Persoalan Ahmadiyah
5. Tindakan kekerasan FPI
5. Pemerintah lamban mengambil
keputusan tentang Ahmadiyah 6.
Pemuatan foto Munarman sedang mencekik seorang
pemuda 6.
Lambannya penerbitan SKB Ahmadiyah
7. Penjagaan polisi sangat sedikit
Terjadinya insiden Monas bagi Koran Tempo disebabkan karena aksi kekerasan FPI. Dari tujuh berita yang ada, Koran Tempo lima kali menjadikan
aksi kekerasan FPI sebagai penyebab utama terjadinya insiden Monas. Di
samping itu Koran Tempo juga menilai lemahnya penjagaan polisi pada saat terjadinya aksi anarkis, disebut-sebut ikut menjadi sumber masalah. Bukan
pertama kali FPI melakukan aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, ini sudah ke sekian kalinya FPI melakukan kekerasan. Sebelumnya FPI pernah menyerbu
markas Jemaah Ahmadiyah Indonesia JAI di Parung, Bogor, Jawa Barat. Sempat juga melakukan perusakan tempat peribadatan orang Ahmadiyah di
beberapa daerah. Dan puncaknya adalah ketika massa AKKBB yang dituliskan oleh Koran Tempo sedang melakukan aksi damai, tiba-tiba diserang oleh massa
FPI. Berikut alasan Koran Tempo menyajikan berita terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh FPI.
“Apakah kekerasan itu diperbolehkan di negara demokrasi. Dengan alasan apapun apakah boleh kekerasan itu dilakukan. Apakah boleh
berdakwah dengan cara kekerasan. Bolehkah orang hidup di Indonesia memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Bolehkan di negara ini ada
organisasi yang lebih berkuasa dibandingkan pemerintah. Apa yang akan terjadi jika ada organisasi yang melakukan tindakan apapun semaunya.
Yang terjadi adalah pemerintah tidak memiliki kuasa. Jika pemerintah tidak memiliki kuasa, maka yang terjadi adalah anarki. Semua hal
memiliki aturan dan prinsip tersebut yang pertama harus kita tegakkan. Hal tersebut menjadi landasan Koran Tempo menyajikan berita
tersebut.”
118
Berbeda halnya dengan Republika yang menilai bahwa sumber masalah penyebab terjadinya konflik antara lain, ketidaktegasan dan ketidaktepatan
pemerintah menyelesaikan permasalahan Ahmadiyah, mengekspresikan kebebasan yang menggebu-gebu dan lambannya penerbitan SKB. Menurut
Republika , pemerintah seakan ragu-ragu dalam menangani persoalan
Ahmadiyah yang secara jelas telah melakukan tindakaan penodaan dan penistaan terhadap agama Islam. Republika sendiri, melalui wawancara dengan
118
Ibid.Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
Redaktur Investigasi, Irwan Ariefyanto menyatakan bahwa peristiwa insiden Monas
terjadi karena
adanya pancingan
dari pihak-pihak
yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia HAM. Republika secara tegas
menuntut pembubaran Ahmadiyah : “kami termasuk koran yang mendesak pemerintah untuk
membubarkan Ahmadiyah.”
119
Berdasarkan dari analisa yang peneliti lakukan terhadap berita insiden Monas di Koran Tempo dan Republika. Dengan merujuk pada struktur kedua
framing model Robert N. Entman, peneliti menegaskan bahwa Koran Tempo berulang kali memberikan tekanan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan FPI
sebagai sumber masalah utama. Koran Tempo lebih melihat akibat yang ditimbulkan dari insiden Monas tersebut. Sedangkan Republika berulang kali
memberikan tekanan bahwa ketidaktegasan pemerintah, kebebasan yang menggebu-gebu dan lambannya penerbitan SKB dianggap sebagai sumber
masalah. Dalam hal ini Republika lebih melihat kepada pangkal permasalahan sampai terjadinya insiden Monas. Hal tersebut dapat terlihat dari pemilihan
narasumber. Koran Tempo dan Republika, dalam satu edisi tertentu mengambil narasumber yang sama terhadap persoalan insiden Monas, tetapi dengan kutipan
pernyataan yang berbeda. Seperti contohnya kutipan pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Agung Laksono :
Koran Tempo : Selasa, 3 Juni 2008. “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI” “Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono juga mengutuk
keras FPI dan menuding aksi itu sebagai tindakan tidak bermoral. “Itu tidak bisa ditoleransi,” katanya.”
120
119
Wawancara Pribadi dengan Irwan Ariefyanto, Jakarta, 23 April 2009.
120
“Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”, Koran Tempo, 3 Juni 2008, alinea 12
Republika : Rabu, 4 Juni 2008. “Akar Masalahnya Ahmadiyah” “Para pelaku kerusuhan Monas harus dihukum, tapi masyarakat
jangan melupakan akar masalah, yakni Ahmadiyah yang hingga kini belum dibubarkan. “Ini penyebab utamanya menyangkut Ahmadiyah.
Harus segera diselesaikan Ahmadiyahnya, sementara pelaku kriminal diproses secara hukum,” kata Agung, Selasa 36.”
121
Dari pemuatan tulisan tersebut, jelas terlihat sudut pandang yang digunakan oleh Koran Tempo dan Republika. Koran Tempo mengutip
pernyataan Agung Laksono yang menyatakan mengutuk keras aksi FPI dan menilai aksi tersebut sebagai tindakan tidak bermoral. Sedangkan Republika
mengambil pernyataan Agung Laksono bahwa penyebab utama dari insiden Monas adalah persoalan Ahmadiyah dan meminta pelaku kriminal diproses
secara hukum. Dari apa yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, terlihat jelas bahwa Koran Tempo lebih menekankan isu pada aksi kekerasan
yang dilakukan oleh FPI, sedangkan Republika lebih menekankan pada persoalan Ahmadiyah tetapi, tidak juga memberikan dukungan kepada pelaku
aksi kekerasan.
Tabel 21 Moral Evaluation Make Moral Judgement Koran Tempo dan Republika
No Koran Tempo
No Republika
1. a.
Kekerasan FPI menodai Pancasila
sebagai dasar
negara b.
FPI menentang kebebasan beragama
yang sudah
dijamin konstitusi 1. Pemerintah terlalu berhati-hati
2. a.
UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
2. Keyakinan Ahmadiyah yang
tidak mengakui Nabi
121
“Akar Masalahnya Ahmadiyah”, Republika, 4 Juni 2008, alinea 2
Kemasyarakatan b.
Indonesia bukan negara kekerasan
Muhammad sebagai nabi terakhir, merupakan penodaan
terhadap agama Islam
3. Korban tidak berdaya, laskar FPI
menyerang tidak pandang bulu 3.
Masalah Ahmadiyah bukan soal kebebasan beragama dan
berkeyakinan, tapi penodaan agama Islam
4. UU Nomor 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan
4. GP Ansor FPI sama-sama
penganut Islam
5. Pembubaran FPI dilakukan jika
terbukti membahayakan kepentingan umum
5. Pro-kontra Ahmadiyah rekayasa
politik pemerintah
6. Pengembalian nama baik dengan
menggunakan delik pers 6.
Pasal 2 UU PNPS No. 11965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama
7. Banyaknya massa hanya dijaga
oleh satu kompi personel
Koran Tempo pada struktur ketiga framing Robert N. Entman memberikan
argumentasi yang dapat terlihat dari kutipan beberapa narasumber seperti yang sudah peneliti jabarkan pada sub bab bagian pertama. Menjelaskan bahwa aksi
kekerasan yang dilakukan oleh FPI telah mengancam kebebasan beragama di Indonesia, apalagi kebebasan beragama itu sudah diatur dalam konstitusi.
Tindakan kekerasan yang dilakukan FPI pada saat peringatan Hari Lahir Pancasila, bagi Koran Tempo merupakan tindakan penodaan terhadap Pancasila
sebagai dasar negara yang menjunjung kebebasan beragama. Indonesia bukanlah negara kekerasan, hingga Koran Tempo benar-benar mengecam dan
mengutuk tindakan kekerasan FPI terhadap AKKBB. Beberapa pasal yang menyatakan mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan antara lain:
“Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara kita. Pasal 28 e ayat 1 dan
2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1 Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali; 2 Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29 1 Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa ; 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu
.”
122
“Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan
hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1 Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2 Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat pada UUD 1945 dan UU tersebut, menjadikan acuan bagi Koran Tempo bahwa sesungguhnya kebebasan beragama
itu sudah dijamin dalam konstitusi dan menyatakan bahwa Ahmadiyah sebagai warga negara juga memiliki hak yang sama terhadap kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Koran Tempo
melalui bahasan utama mengenai penyebab terjadinya insiden Monas, memberikan keputusan moral bahwa aksi kekerasan yang
dilakukan oleh FPI merupakan bukti nyata ancaman terhadap kebebasan
122
“Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP”. Artikel diakses
pada 21
Juni 2009,
00:562 dari
www.ditpertais.netannualconference...Makalah20Rumadi.doc
beragama dan berkeyakinan bagi warga negara Indonesia. Koran Tempo sendiri menilai tindak kekerasan yang dilakukan oleh FPI merupakan pelanggaran
terhadap kebebasan umat beragama di Indonesia sebagaimana telah di atur dalam konstitusi. Ahmadiyah bagi Koran Tempo merupakan umat beragama
yang harus dilindungi haknya. “Kita hidup di negara Indonesia dengan dasar Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen. Tetapi, tetap saja mengenai kebebasan beragama ada di dalam UUD 1945, bahkan diperkuat
dengan adanya beberapa pasal di dalamnya, untuk menjamin kebebasan orang menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Hal
tersebut harus kita hargai dan itu yang menjadi titik poin Koran Tempo. Jadi, dalam hal ini Tempo hanya menjalankan apa yang sebenarnya menjadi
dasar negara juga menjamin hal yang sama. Kita sebagai warga negara menjalankan hal itu, menjalankan komitmen bersama untuk kita menghargai
kebebasan beragama, kemudian juga menjalankan keyakinan masing-masing dan itu hak paling mendasar sekali.”
123
Sebenarnya pada edisi Senin, 2 Juni 2008, Koran Tempo menuliskan bahwa yang bertanggung jawab terhadap aksi kekerasan di Monas adalah Laskar
Pembela Islam LPI, namun pada pemberitaan selanjutnya justru Koran Tempo lebih menyudutkan FPI sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas
terjadinya insiden Monas, FPI sebagai pihak yang melakukan tindakan kekerasan secara brutal, keji dan tidak pandang bulu. Dalam hal ini, AKKBB
dinilai sebagai korban dari tindak kekerasan FPI, dengan banyaknya jumlah anggota AKKBB yang terluka. Kekerasan yang dilakukan oleh FPI sendiri
berdampak pada tuntutan pembubaran oganisasi masyarakat tersebut di berbagai daerah. Koran Tempo menilai UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan bisa dijadikan dasar untuk membubarkan FPI.
123
Ibid. Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
Dalam perkembangannya, UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menurut pakar hukum harus direvisi terlebih dahulu jika ingin
membubarkan ormas FPI. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata, mengatakan FPI tidak bisa dibubarkan karena bukan organisasi yang
berbadan hukum. Seperti dituliskan pada Koran Tempo edisi Selasa, 3 Juni 2008, “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI”, disebutkan bahwa FPI bukan
organisasi kemasyarakatan yang berbentuk badan hukum, sehingga upaya untuk membubarkan atau membekukan FPI tidak dapat dilakukan. Yang bisa
dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah menangkap para pelaku tindakan anarkis pada insiden Monas. UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan sendiri pada Bab VII, Pembekuan dan Pembubaran, Pasal 13, menjelaskan bahwa :
Pemerintah dapat membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat Organisasi Kemasyarakatan apabila Organisasi Kemasyarakatan :
a. Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban
umum; b.
Menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah; c.
Memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.
Republika dalam hal ini memandang bahwa pemerintah terlihat bersikap
hati-hati dalam menghadapi persoalan Ahmadiyah hingga berakibat pada terjadinya insiden Monas. Ahmadiyah merupakan aliran sesat yang telah
melakukan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam karena tidak menganggap Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Kebebasan
beragama dan berkeyakinan bagi Republika bukan berarti bebas melakukan penodaan dan penistaan terhadap agama lain, dalam hal ini agama Islam.
Republika menggunakan Pasal 2 Undang-Undang PNPS No. 11965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama sebagai dasar untuk membubarkan Ahmadiyah. Berdasarkan rekomendasi dari Bakorpakem,
pemerintah diminta untuk menjalankan perintah Pasal 2 ayat 1 dan 2 undang- undang tersebut sebagai follow up dari Pasal 1 UU PNPS No.11965, yaitu
berisi : “Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 yang oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam undang- undang ini disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka
umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan
mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu Pasal 1. Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan
kegiatan seperti itu, diberi “perintah dan peringatan keras” untuk menghentikan kegiatannya. Perintah itu dikeluarkan oleh Menteri Agama,
Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dalam bentuk “Keputusan Bersama”. Apabila kegiatan itu dilakukan oleh sebuah organisasi maka
“Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasialiran
terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, MenteriJaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”.
Apabila orangorganisasi tersebut telah diberi peringatan atau dibubarkan dan dilarang oleh Presiden, namun tetap membandel, maka kepada mereka
dapat dituntut pidana dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.”
124
Berdasarkan dari analisa yang peneliti lakukan terhadap berita insiden Monas di Koran Tempo dan Republika. Dengan merujuk pada struktur ketiga
framing model Robert N. Entman, peneliti menegaskan bahwa Koran Tempo dalam hal ini melegitimasikan aksi kekerasan FPI sebagai aksi mengancam
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sudah diatur dalam konstitusi. Sedangkan Republika dalam hal ini melegitimasikan bahwa keberadaan
Ahmadiyah adalah penodaan dan penistaan terhadap agama Islam.
124
“SKB Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 21:24 dari http:yusril.ihzamahendra.com20080509skb-tentang-ahmadiyah.
Tabel 22 Treatment Recommendation Suggest Remedis Koran Tempo dan
Republika No
Koran Tempo No
Republika
1. Aparat bertindak tegas
1. Segera menerbitkan SKB 2.
a. Menangkap para pelaku
kekerasan b.
Membubarkan FPI 2. SKB mendesak diterbitkan
3. -
3. Bersikap tenang dan meredam
emosi
4. a.
Pembubaran FPI b.
Menangkap para pelaku aksi kekerasan
c. Pemerintah bersikap tegas
4. Umat diminta bersatu dan
segera menerbitan SKB
5. Pemerintah bertindak tegas dan
memproses ke jalur hukum 5.
Pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif
6. Koran
Tempo kembali
menegaskan kepada
pihak kepolisian untuk tidak ragu-ragu
menindak pelaku kekerasan 6.
a. Segera menerbitkan SKB dan
bubarkan Ahmadiyah b.
Umat Islam bersatu, pemerintah bersikap adil
7. -
Pada bagian akhir struktur framing model Robert N. Entman, antara Koran Tempo
dan Republika memberikan kesimpulan yang berbeda. Hal itu dapat kita lihat dari konstruksi realitas yang disajikan oleh kedua surat kabar tersebut dari
awal pemberitaan mengenai kasus ini. Koran Tempo lebih menekankan pada isu kekerasan yang dilakukan oleh FPI, bukan kepada apa yang menyebabkan FPI
melakukan aksi kekerasan tersebut seperti yang dilakukan oleh Republika. Tidak mengherankan manakala Koran Tempo memberikan solusi kepada pihak
kepolisian untuk segera menangkap pelaku kekerasan pada insiden Monas serta
memprosesnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Koran Tempo juga menuntut kepada pemerintah untuk bersikap tegas terhadap penanganan kasus
ini dan bersikap tegas terhadap komitmen untuk membubarkan FPI. Berbeda halnya dengan Republika yang memberikan solusi kepada
pemerintah agar segera menerbitkan SKB, penerbitan SKB merupakan sesuatu yang amat mendesak untuk dilakukan, karena terkait dengan penegakan hukum
mengenai Ahmadiyah. Pemerintah juga diminta untuk bersikap represif, preventif, adil dan tidak diskriminatif. Untuk masyarakat, Republika meminta
masyarakat bersatu dan tidak mudah diadu domba oleh isu apapun terkait dengan insiden Monas. Republika menghargai kebebasan beragama setiap
individu tetapi, kebebasan beragama tersebut bukan berarti dilakukan dengan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam.
Penangkapan terhadap pelaku aksi kekerasan sendiri sudah dilakukan oleh polisi, yaitu pada Rabu, 4 Juni 2008. Polisi melakukan penangkapan besar-
besaran di markas FPI, di kawasan Petamburan, Jakarta Barat. Polisi berhasil menangkap 59 orang termasuk Habib Rizieq Shihab. Munarman sendiri, yang
sempat dinyatakan buron, akhirnya menyerahkan diri pada Senin, 9 Juni 2008, sekitar pukul delapan malam. Munarman menyerahkan diri setelah pemerintah
menerbitkan Surat Keputusan Bersama SKB pada Senin sore. Isi dari SKB tiga menteri yang ditanda tangani oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri
dan Jaksa Agung tersebut antara lain
125
:
125
“Isi SKB Menteri Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 18:09 dari http:id.wordpress.comtagmenteri-agama.
1. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara untuk
tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No. 1 PNPS 2005 tentang pencegahan
penodaan agama 2.
Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluru penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI sepanjang menganut
agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuan
adanya Nabi setelah Nabi Muhammad saw.
3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau
pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai peraturan perundangan
4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga
dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI
5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak
mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku
6. Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah
untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini
7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008 Menteri Agama Muhammad M Baysuni
Jaksa Agung Hendarman Supandji Menteri Dalam Negeri H Mardiyanto
Isi dari SKB tiga menteri tersebut tidak serta-merta membubarkan Ahmadiyah, dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI. Justru yang
ditekankan pada SKB ini ialah penghentian kegiatan JAI yang menyimpang dari ajaran agama Islam pada umumnya. Dari ketujuh poin isi SKB, hanya dua poin
yang ditunjukkan langsung kepada JAI, tiga poin lainnya ditunjukkan kepada warga negara Indonesia, satu poin ditunjukkan kepada aparat pemerintah untuk
melakukan pengamanan dan pengawasan serta pelaksanaan isi SKB tersebut. Ini adalah upaya terbaik yang dilakukan oleh pemerintah untuk meredam emosi
masyarakat terhadap keberadaan JAI. Juga sebagai upaya untuk meredam aksi
kekerasan yang ditunjukkan kepada JAI, seperti banyak terjadi di berbagai daerah. Pada poin keempat, SKB tersebut mengingatkan kepada warga untuk
tidak melakukan perbuatan anarki kepada JAI, jika melanggar mereka akan diberikan sanksi sesuai dengan perundangan. Dalam hal ini, isi atau substansi
dari SKB tersebut ditangani langsung oleh Menteri Agama, sedangkan untuk pengamanan dan pengawasan terhadap isi dari SKB tersebut dilakukan oleh
Jaksa Agung, dan pengawasan internal pemerintahan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
Penerbitan SKB sendiri, dipandang berbeda oleh Koran Tempo dan Republika
. Dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan pihak Koran Tempo
, Gendur Sudarsono, menanggapi dikeluarkannya SKB, ia berkomentar bahwa :
“Kita sendiri tidak setuju dengan SKB. SKB adalah Surat Keputusan Bersama, karena berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar. Dalam
tata negara, susunan produk perundang-undangan kita ada : Undang- Undang Dasar 1945, Undang-Undang, kemudian peraturan pemerintah.
Makin ke bawah sebaiknya bukan mengatur hal-hal yang mendasar. Jadi, kalau UUD dan UU sudah mengatur kebebasan kehidupan beragama,
kemudian ada SKB tiga menteri yang aturannya bersifat mengatur, justru kontraproduktif menurut kami.”
126
Sedangkan Republika sendiri memandang bahwa : “SKB sendiri belum tegas. Permintaan kami sangat jelas,
Ahmadiyah harus dibubarkan. Setiap agama memiliki persoalan yang sama mengenai masalah aqidah dan dialog merupakan jalan terbaik untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Namun, dalam hal ini pemerintah dari awal tidak memiliki ketegasan hingga terjadilah peristiwa di Monas.”
127
126
Ibid. Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono, Jakarta, 2 Juni 2009.
127
Ibid. Wawancara Pribadi dengan Irwan Ariefyanto, Jakarta, 23 April 2009.
Koran Tempo dan Republika dalam keseluruhan beritanya mengambil
garis yang berbeda. Koran Tempo mengambil sudut pandang pemberitaannya pada aksi anarkis yang dilakukan oleh FPI, yaitu lebih menekankan pada akibat
atau dampak dari aksi kekerasan FPI yang terjadi di Monas. Sedangkan Republika
mengambil sudut pandang terhadap persoalan mendasar yang menyebabkan terjadinya insiden Monas atau dalam hal ini Republika lebih
menekankan pada akar masalah sampai terjadinya insiden Monas, yaitu persoalan Ahmadiyah.
Perbedaan sudut pandang yang diambil oleh Koran Tempo dan Republika, atau dalam hal ini perbedaan ideologi yang digunakan, dapat terlihat dari visi
misi kedua surat kabar nasional tersebut. Berdirinya suatu media selain sejarah dan latar belakang pendiriannya, juga memiliki dasar-dasar yang dijadikan
acuan dalam pendiriannya. Yang pada akhirnya juga menjadi acuan bagi para wartawan yang bekerja di media tersebut dalam melakukan proses konstruksi
realitas. Dalam hal ini, segmentasi pembaca pun menjadi sangat penting. Koran Tempo
sebagai bagian dari Tempo Inti Media, sebagai media yang memiliki visi, yaitu kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan
pendapat serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat. Dalam memandang penyebab terjadinya insiden Monas,
menjadi hal yang wajar ketika Koran Tempo menanggapi kekerasan yang dilakukan oleh FPI terhadap Ahmadiyah sebagai ancaman kebebasan beragama
sebagaimana telah diatur dalam konstitusi. Bukan soal Ahmadiyah yang menjadi isu utama Koran Tempo menyajikan berita terkait insiden Monas.
Tetapi, akibat dari insiden Monas itulah yang oleh Koran tempo dijadikan isu
utama. Sehingga terlihat ada kesan, Koran Tempo memiliki keberpihakan kepada AKKBB sebagai korban dari peristiwa tersebut. Di sisi lain, Koran
Tempo terlihat sangat menyudutkan FPI dalam peristiwa tersebut. Selintas
membaca berita-berita terkait insiden Monas, peneliti melihat Koran Tempo lebih banyak mengutip pernyataan anggota AKKBB dalam pemberitaannya,
dari tujuh berita yang dianalisis oleh peneliti hampir keseluruhan terdapat kutipan pernyataan dari AKKBB. Koran Tempo mengkaitkan antara kekerasan
yang dilakukan oleh FPI dan keberadaan Ahmadiyah kepada konstitusi. Republika
memandang persoalan Ahmadiyah sebagai pemicu terjadinya insiden Monas, menurut peneliti adalah suatu pandangan yang wajar. Mengingat
Republika sebagai surat kabar berhaluan Islam dengan segmentasi pembaca
utamanya ialah komunitas muslim. Tetapi, dalam hal ini Republika tidak juga memberikan dukungan atau keberpihakan kepada Front Pembela Islam FPI
sebagai ormas Islam, sebaliknya Republika justru meminta kepada pemerintah untuk menindak para pelaku kekerasan di Monas secara hukum. Bagi Republika,
persoalan Ahmadiyah sesuatu yang sangat penting dan seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Dan kekerasan yang terjadi di Monas, merupakan
akibat dari ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.
Berita yang disajikan oleh media dan hadir di masyarakat bukanlah berita yang apa adanya. Artinya, bukanlah berita yang hanya menampilkan fakta-fakta
yang terjadi di lapangan. Fakta itu tetap ada, tetapi dibalik itu semua ada suatu proses pada media yang lebih dikenal dengan proses konstruksi pertukaran
makna yang melibatkan antara wartawan, idelogi media dan fakta dari suatu
peristiwa. Melalui proses konstruksi itu lah yang menjadikan sebuah berita bersifat subjektif bukan objektif, seperti yang seharusnya dilakukan oleh sebuah
media dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Sebelum dikeluarkannya SKB, catatan perjalanan tentang upaya
menentang ajaran Ahmadiyah, yaitu dengan ditetapkannya konsep 12 Butir Penjelasan Ahmadiyah yang digodok oleh Departemen Agama dan
Bakorpapem. Butir-butir penjelasan itu, substansinya antara lain adanya instrumen pengawasan selama tiga bulan. Selanjutnya, apabila tidak sesuai
dengan kesepakatan itu, akan dilakukan langkah-langkah tegas. FUI menyatakan bahwa pernyataan 12 butir yang dibacakan Abdul Basith tertanggal 14 Januari
2008 adalah rumusan kompromi untuk meredam kemarahan umat Islam. Juga menyelamatkan muka pemerintah dari rakyat yang menuntut dibubarkan
Ahmadiyah oleh pemerintah sesuai dengan bunyi fatwa tahun 1980 dan fatwa MUI tahun 2005. Fatwa tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah berada di luar
Islam, sesat dan menyesatkan serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad.
Pelaksanaan 12 penjelasan ternyata tidak dijalankan dengan konsisten oleh Ahmadiyah. Mereka tetap menjalankan ajaran yang selama ini dianggap sesat
oleh kalangan umat Islam. Menyangkut ketidakkonsistenan ini, dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia Munas MUI, dipertegas
kembali bahwa ajaran Ahmadiyah menyesatkan serta berada di luar Islam. Fatwa tersebut didasarkan dalam surah Al-Ahzab 40 yang dengan tegas
mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw merupakan rasulullah dan nabi terakhir. MUI berpedoman pada keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi
Konferensi Islam OKI Nomor 4 dalam Muktamar II di Jeddah Arab Saudi pada 22-28 Desember 1985 tentang aliran Qadiyaniyah yang menyatakan Aliran
Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad saw dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari
Islam karena mengingkari ajaran Islam yang disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir.
128
Dalam pandangan peneliti, keberadaan Ahmadiyah jelas menyimpang secara akidah dan syariat. Apa yang sudah ditetapkan dalam al-Quran tidak
perlu diragukan lagi kebenarannya. Seorang muslim ialah yang mempercayai dan meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah La
Ilaha illallah
Muhammadur Rasulullah
. Pada
perkembangannya, upaya dan tindakan tegas terhadap keberadaan Ahmadiyah sangat perlu dilakukan oleh pemerintah. Jangan sampai aksi kekerasan yang
pernah terjadi, seperti pembakaran masjid Ahmadiyah, kekerasan fisik kepada anggota Ahmadiyah terjadi kembali. Kekerasan secara brutal kepada anggota
Ahmadiyah jelas bertentangan dengan konstitusi yang mana dalam konstitusi tersebut, sebagai warga negara setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan
yang diskriminatif, hak untuk tidak disiksa, hak untuk hidup, dll. Surat Keputusan Bersama SKB tentang Ahmadiyah yang diterbitkan oleh
pemerintah memang telat diterbitkan. Tetapi, setidaknya ada upaya nyata yang telah dilakukan oleh pemerintah. Dan penerbitan tersebut setidaknya bisa
meredam emosi massa terhadap keberadaan JAI, walaupun tidak semua pihak setuju dengan diterbitkannya SKB.
128
Ibid. Achmad Setiyaji, Tragedi Monas Berdarah. h. 102-104
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Sasaran akhir sebuah penelitian adalah menjawab pertanyaan dari perumusan masalah. Berdasarkan hasil dari penelitian terhadap bahasan utama
headline Koran Tempo dan Republika terkait penyebab terjadinya insiden
Monas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1.
Perbedaan penekanan isu yang dilakukan oleh Koran Tempo dan Republika di dalam berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas ini,
disebabkan karena ideologi yang terlihat pada visi misi serta segmentasi pembaca kedua institusi media tersebut yang berbeda. Peristiwa bisa saja
sama, waktu peliputannya sama, narasumbernya sama, tetapi karena perbedaan ideologi yang mereka miliki pada akhirnya menjadikan sebuah
berita itu berbeda dari segi sudut pandang yang disajikan. Kedua media tersebut mengkonstruksikan realitas yang terjadi sesuai dengan nilai-nilai
ideologinya. Koran Tempo dalam hal ini lebih melihat pada akibat dari terjadinya insiden Monas. Dalam setiap pemberitaannya, Koran Tempo
memberikan penekanan isu terhadap aksi kekerasan FPI terhadap AKKBB. Hal tersebut dapat terlihat dari pemilihan narasumber berita yang
keseluruhan mengatakan mengecam aksi kekerasan FPI. Sedangkan Republika
dalam hal ini lebih melihat pada akar permasalahan terjadinya insiden Monas, yaitu persoalan Ahmadiyah. Dalam setiap pemberitaannya,
Republika lebih memberikan penekanan isu terhadap persoalan Ahmadiyah