63
G. Validasi Data
Dalam penelitian ini, validasi data dilakukan dengan cara Sugiyono, 2014:209-211 :
1. Trianggulasi
Trianggulasi dilakukan dengan cara : a.
Trianggulasi Teknik Trianggulasi ini dilakukan dengan cara menanyakan hal yang sama
dengan teknik yang berbeda, yaitu dengan wawancara, observasi dan dokumentasi.
b. Trianggulasi Sumber
Trianggulasi ini dilakukan dengan cara menanyakan hal yang sama melalui sumber yang berbeda, dalam hal ini sumber datanya adalah pada
subjek penelitian : orang tua suami dan isteri yang memiliki anak usia sekolah, tokoh masyarakat, kepala suku, pemerhati pendidikan,
pemerhati perempuan, tokoh agama, dan tokoh pendidikan. 2.
Meningkatkan Ketekunan Meningkatkan
ketekunan berarti
peneliti harus
melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Hal ini dilakukan
dengan cara peneliti membaca seluruh catatan hasil penelitian secara cermat, sehingga dapat diketahui kesalahan dan kekurangannya. Sebagai bekal maka
peneliti membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti.
64
3. Perpanjangan Pengamatan
Penelitian ini akan diperpanjang tiga kali apabila pada periode I dan II, data yang diperoleh dirasa belum memadai dan belum kredibel. Belum
memadai karena belum semua rumusan masalah dan fokus terjawab melalui data, belum kredibel karena sumber data masih ragu-ragu dalam
memberikan data, sehingga data yang diperoleh pada tahap I dan II ternyata masih belum konsisten, masih berubah-ubah. Dengan pepanjangan
pengamatan sampai tiga kali maka data yang diperoleh dirasa telah jenuh.
65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Tempat Penelitian
1. Sejarah Terbentuknya Desa Waipukang
Awal mulanya penduduk desa Laranwutun-Waipukangberasal dari desa tradisional Lewohala. Desa Lewohala didiami oleh suku-suku, berjumlah 77
suku. Oleh karena perkembangan generasi semakin banyak, maka desa Tradisional Lewohala menjadi padat penduduknya maka atas musyawarah
mufakat tua-tua desaadatkepala suku-suku yang ada, sebagian masyarakat diungsikan menyebar ke arah pantai.
Dalam perjalanan turun masyarakat pecahan dari desa tradisional Lewohala yakni
a. Riangbao menetap di Petung Ebang
b. Ohe-Kolontobo,
kian Buron pae
menetap di onge‟Nebo c.
WaipukangLaranwutun menetap di Wutung „ Riang‟ one sekitar wilayah Berotto
Masyarakat Waipukang menetap di Wutung‟ riang One untuk waktu
yang cukup lama, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka bercocok
tanambertani
hoko batu-gola
geba
menuju ke
arah pantai.Pekerjaan bertani ini diatur dengan teknik dan sistem bertani masyarakat
Waipukangtradisional waktu itu yang dikenal dengan : a.
Belu Bote
: Turun bekerja tetapi saat senja tiba harus kembali ke Wutung Riang One
66
b. Belu E’pa : Turun bekerja tetapi saat malam datang tetap bermalam di
kebun Dalam sistem bertani
Belu E’pa yakni saat tidak pulang atau bermalam mereka melakukan usaha pelebaran wilayah desa dalam hal ini berperang
melawan musuh-musuh. Hukum dalam berperang waktu itu adalah yang kalah mundur dan yang menang maju dalam artian menguasai wilayah yang
ditinggalkan oleh yang kalah. Masa peperangan ini oleh masyarakat Waipukangdikenal dengan masa
Perang Padji
Waipukang –
Demong
. Titik tempat bertempur dan masyarakat tradisional Waipukangberhasil mengusir
Demong
antara lain dari lokasi Waipukang,
Demong
yang kalah mundur menuju Kumanamang Bukit Wai Ara, dan sesudah itu dipukul mundur terus
sebagian dari mereka
Demong
menuju Lewokuma dekat Belang dan sebagian menuju Kolibuto sekarang dikenal dengan Merdeka =
wua koli buto, malu mara deka, hope go mala ga
Sistem bertani
Belu Bote dan Belu Epa
meninggalkan sebuah bukti sejarah, berupa tempat yang bernama
Hada Bler
. Tempat ini sebagai tempat istirahat yang berfungsi juga sebagai tempat menghitung jumlah anggota
masyarakat yang akan turun ke Riang One Watan Waipukangataupun yang akan kembali ke Wutung Riang One. Saat masa peperangan, wilayah ini berada
di bawah pemerintahan Raja Adonara yang bernama Arkian Kamba. Untuk mendamaikan pihak yang bertikai maka Raja Arkian Kamba turun melakukan
Lela Nuho-Padju Sabok
yakni memancangkan bendera kain putih sebagai tanda perdamaian.