Pembukaan Lahan Dengan Dan Tanpa Bakar

Pembukaan Lahan Dengan Dan Tanpa Bakar
Onrizal
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Pertambahan penduduk dunia antara lain berimplikasi pada meningkatnya
kebutuhan akan lahan, baik untuk permukiman beserta sarana dan prasarananya,
maupun untuk lahan produksi pangan dan lainnya. Sementara itu luas lahan
sendiri bukannya bertambah namun cenderung berkurang, sebagaimana diulas
oleh Pandey (1980) bahwa berdasarkan laporan UNEP berjudul “State of World
Environment Report” diketahui bahwa pada tahun 1977 total lahan pertanian di
dunia sekitar 1,24 milyar ha dengan 4 milyar jiwa penduduk dunia, atau rata-rata
0,31 ha per orang. Pada tahun 2000 luasan lahan tersebut diperkirakan turun
menjadi 940 juta ha dengan jumlah penduduk dunia sekitar 6,25 milyar jiwa,
sehingga areal pertanian per orang hanya 0,15 ha pada tahun tersebut.
Salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan akan lahan yang terus
bertambah tersebut adalah dengan membuka lahan-lahan baru. Oleh karena
jumlah penduduk terus bertambah, maka kegiatan pembukaan lahan (land
clearing) telah terjadi dan akan terus terjadi sepanjang kehidupan manusia di bumi
dan baru berhenti setelah tidak ada lahan lagi yang akan dibuka.

Berbagai metode pembukaan lahan telah dipraktekkan. Teknik tebang dan
bakar (slash-and-burn) merupakan metode yang umum dan telah lama
diaplikasikan dalam pembukaan lahan (Van Noordwijk, 2001). Alasan utama
penggunaan teknik slash-and-burn karena dianggap lebih murah, cepat dan
praktis dibandingkan dengan teknik tanpa bakar. Namun, seiring dengan
meningkatnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan sumberdaya alam dan
kegiatan pembangunan tanpa merusak lingkungan pada beberapa dekade terakhir,
serta isu penurunan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan yang semakin cepat
dan pencemaran asap di udara dikaitkan dengan pembakaran dalam kegiatan
pembukaan lahan, maka berbagai upaya dilakukan - baik dalam skala nasional
maupun internasional - untuk mencari metode alternatif pembukaan lahan yang
lebih baik.
Tulisan ini lebih lanjut akan mengulas praktek pembukaan lahan dengan
teknik slash-and-burn dan teknik tanpa bakar (zero burning technique), terutama
dari pandangan ekologi.

1
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

PEMBUKAAN LAHAN

DENGAN TEKNIK SLASH-AND-BURN
Teknik slash-and-burn merupakan metode yang sangat umum digunakan
dan diaplikasikan secara luas dan turun temurun dalam pembukaan lahan hutan
(forest-land clearing) untuk dijadikan sistem penggunaan lahan selain hutan di
daerah tropis, termasuk Indonesia. Van Noordwijk (2001) menjelaskan bahwa
penggunaan metode slash-and-burn sangat umum digunakan dalam sistem
perladangan berpindah (shifting cultivication atau swidden agriculture) dan untuk
mengkonversi hutan alam ke tanaman perkebunan, seperti karet dan kelapa sawit.
Teknik ini juga digunakan untuk mengkonversi hutan bekas tebangan (loggedover forests) ke perkebunan (kelapa sawit), hutan tanaman industri, atau
transmigrasi. Sistem penggunaan lahan yang dimulai dengan teknik salsh-andburn di daerah tropika basah secara skematik disajikan pada Gambar 1.
rejuvenation

.
slash-and-burn
land clearing

ow
f al l
shrubs
(belukar)


annual
weeds
(semak)

low secondary forest

primary
forest

high secondary forest

logging

?
logged
forest

grassland
(Imperata)

bare
soil

annual
crops

short cycle
fallow rotations

long cycle
fallow rotations

shifting
cultivication

Gambar 1. Sistem penggunaan lahan yang dimulai dengan teknik slash-and-burn
di tropika basah (Sumber: Van Noordwijk et al., 1995, 2001)
Berdasarkan Gambar 1 tersebut terlihat bahwa setelah penebangan yang
diikuti dengan pembakaran, tanah akan menjadi terbuka dan gundul tanpa
vegetasi, sehingga sangat rentan terhadap erosi, infiltrasi air ke dalam tanah

rendah dan berkurang namun run-off semakin tinggi.
Cara Kerja Teknik Slash-and-Burn
Pola umum pembukaan lahan dengan teknik slash-and-burn diawali
dengan penebangan dan penebasan seluruh vegetasi, dikeringkan secara alami,
setelah kering baru dilanjutkan dengan pembakaran. Pada masyarakat tradisional
dalam praktek perladangan berpindah, penebangan vegetasi dilakukan secara
manual dengan alat utama berupa kampak dan parang, sehingga prestasi kerjanya

2
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

jauh lebih rendah dibandingkan secara mekanis. Pengeringan vegetasi yang sudah
ditebang dan ditebas tersebut hanya mengandalkan musim kemarau, sehingga
pembukaan lahan harus memperhatikan kondisi cuaca, karena cuaca merupakan
faktor yang sangat menentukan.
Pembakaran dilakukan setelah vegetasi dianggap sudah kering. Setelah
semua biomassa tersebut terbakar barulah lahan tersebut digunakan, baik untuk
permukiman maupun untuk lahan produksi, misalnya pertanian, perkebunan,
hutan tanaman industri dan lain sebagainya. Sebagai contoh, Tabel 1 menyajikan
tahapan pembukaan lahan dengan teknik slash-and-burn yang dilakukan secara

manual dan mekanis.
Tabel 1. Tahapan pembukaan lahan dengan teknik slash-and-burn secara manual
dan mekanis
Kegiatan
1. Penebangan
a. Underbrusing
b. Penebangan
2. Pengeringan alami
3. Pembakaran
4. Pendorongan sisa batang
dan tunggak pembakaran
5. Pembakaran tumpukan sisa
batang dan tunggak
6. Pembajakan (kasar dan
halus)

Sistem Manual

Sistem Mekanis
dengan dozer

dengan chainsaw

parang
kampak

dozer
dozer

chainsaw
chainsaw

manual

dozer

dozer

manual

dozer


dozer

Ket. - Underbrushing yaitu pembersihan anakan dan semak-semak
- Lama pengeringan alami ± 30 – 40 hari
- Pembakaran memerlukan waktu 3-7 hari
Sumber: Sistem mekanis dari Suparto et al. (1981)

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa perbedaan dalam sistem mekanis
antara yang menggunakan dozer dan chainsaw hanya pada tahap penebangan,
sedangkan kegiatan setelahnya adalah sama. Suparto et a.l (1980) melaporkan
berdasarkan prestasi kerja diketahui bahwa sistem mekanis dengan dozer
merupakan cara penyiapan lahan yang lebih cepat (1,9 x) dan lebih murah (0,7 x)
daripada dengan chainsaw. Kondisi lahan yang dihasilkan dengan sistem mekanis
adalah tanah terolah, dan topsoil terbakar pada beberapa lokasi. Berdasarkan
kondisi lahan tersebut masih diperlukan upaya mengurangi atau menghentikan
terjadinya erosi, berupa pembuatan saluran pembuangan air, pembuatan guludan
dari sisa batang kayu dan sistem-sitem pengawetan tanah lain yang sederhana dan
murah.
Kelemahan Teknik Slash-and-Burn

Teknik slash-and-burn sangat tergantung pada cuaca, sehingga kondisi
cuaca akan sangat menentukan keberhasilan penggunaan teknik ini dalam
pembukaan lahan. Kondisi yang lebih berat bisanya terjadi pada program
pembukaan lahan skala besar, seperti perkebunan, HTI dan transmigrasi yang
jadwalnya disusun secara topdown dan adakalanya kurang mempertimbangkan
cuaca tetapi lebih mempertimbangkan waktu keluarnya anggaran.

3
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Selain sangat tergantung pada cuaca, kelemahan utama teknik slash-andburn adalah tidak ramah lingkungan, karena (a) menyebabkan hilangnya bahan
organik, (b) meningkatkan laju erosi, (b) mengurangi infiltrasi air, (c)
menyebabkan rusak dan hilangnya mikrofauna dan mikroflora tanah, (d) merusak
kondisi fisik dan kimia tanah, (e) hilangnya fungsi penyerap karbon, dan (f)
menimbulkan polusi udara karena asap yang dihasilkannya.
Pada banyak kasus, areal yang terbakar lebih luas dari yang seharusnya,
baik karena teknik pembakaran yang kurang dikuasai, kecerobohan atau kelalaian,
maupun karena perubahan cuaca di luar yang diperhitungkan. Hal ini bisa
berakibat lebih fatal dengan jangkauan yang lebih luas.
Berdasarkan hasil evaluasi kegiatan pembakaran saat pembukaan lahan di

Costa Rica, Australia, Fiji, dan Brazil dalam kurun waktu 1981 – 1996 diketahui
rata-rata biomassa yang hilang sebesar 86 %, dan kehilangan unsur-unsur esensial
seperti N, P, K, Ca, Mg, dan S secara berturut-turut sebesar 82 %, 42 %, 46 %, 39
%, 40 %, dan 64 % (Mackensen, 1999). Jika hanya menggunakan data kejadian
di daerah tropis, maka kehilangan biomassa dan unsur hara akan lebih besar. Hal
ini terjadi karena sebagian besar bahan organik dan unsur hara di daerah tropis
terdapat di dalam biomassa, terutama tumbuhan. Pada lahan gambut, pembakaran
akan menyebabkan hilangnya bahan organik yang sudah terbentuk sejak ribuan
bahkan jutaan tahun yang lalu. Hasil percobaan Sahardjo (1999) makin
memperkuat data yang disajikan oleh Mackensen di atas, dimana pembakaran
mengkonsumsi paling tidak 85-90 % dari bahan bakar yang tersedia, baik vegetasi
yang ditebang kemudian dikeringkan maupun serasah yang sebelumnya terdapat
di lantai hutan.
Rachman et al. (1997) melaporkan bahwa pembukaan lahan dengan slashand-burn menyebabkan rusaknya sifat fisik dan kimia tanah yang diindikasikan
oleh kerapatan limbak (bulk density) tanah tinggi (1,30 Mg.m-3), apalagi jika
dilakukan dengan mekanis, stabilitas agregat tanah rendah (100), sehingga tanah
semakin rentan terhadap erosi, dan kapasitas tukar kation (KTK) rendah (11,5
cmol.kg-1). Setelah pembakaran, Suparto et al. (1980), Rachman et al. (1997),
Zaini dan Suhartatik (1997) menemukan bahwa kandungan N, P yang tersedia
dalam tanah berkurang.

Pembukaan lahan hutan akan menyebabkan perubahan iklim mikro secara
drastis, apalagi diikuti dengan pembakaran. Iklim mikro di hutan yang terbentuk
dalam waktu lama dan dengan fluktuasi yang sangat kecil menyebabkan
komponen biotik, baik makro maupun mikrobiotik (flora dan fauna) sangat rentan
terhadap perubahan iklim mikro secara mendadak dengan fluktuasi yang besar.
Oleh karena itu, setelah pembukaan lahan yang diikuti dengan pembakaran akan
menyebabkan sebagian besar mikroflora dan mikrofauna tanah mati.
Kebakaran pada tahun 1997 telah menyebabkan turunnya tinggi muka air
di lahan gambut dan menurunkan evapotraspirasi dari hutan sebesar 50 % dari
waktu normal dan menurunkan radiasi matahari sampai 40 % dari kondisi normal.
Kebakaran bawah yang bersifat smoldering dapat menaikkan suhu tanah mineral
di atas 300oC selama beberapa jam dengan suhu tertinggi mendekati 600oC yang
akan menyebabkan dekomposisi bahan organik dan membunuh organisme tanah
yang penting. Pada suhu 120oC, dekomposisi yang intensif terjadi dan
menghasilkan ter dan gas. Lebih dari 850oC, maka gas hidrogen dan metan (gasgas volatil) akan terbentuk (Syaufina, 2002).

4
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Lebih lanjut Syaufina (2002) menjelaskan bahwa dalam proses
pembakaran bahan bakar hutan, karbon dihasilkan dalam bentuk karbondioksida
sekitar 90%, karbonmonoksida sekitar 9,5%, sedangkan sisanya terdiri dari
hidrokarbon, bahan-bahan partikel dan bahan lainnya. Dengan demikian,
peristiwa pembakaran biomassa seperti terjadi pada kebakaran/pembakaran hutan
dan lahan sangat berperan penting dalam menyumbang emisi gas-gas rumah kaca
yang akan menyebabkan pemanasan global.
Selain karbonmonoksida, peristiwa kebakaran juga menghasilkan emisi
partikel yang tinggi dan membahayakan kesehatan manusia. Jumlah partikel yang
tinggi dihasilkan dalam kebakaran gambut akan bersatu dengan uap air dari proses
pembakaran di udara, sehingga terbentuklah kabut asap yang sangat tebal dan
berdampak luas. Kabut asap tersebut didominasi oleh partikel yang berukuran 0,3
– 0,8 mikron yang dapat membaurkan cahaya, sehingga mengganggu penglihatan.
Selanjutnya, partikel yang berdiameter 5 – 10 mikron akan tetap berada di
atmosfer sampai tercuci oleh air hujan atau tertangkap oleh dedaunan pohon atau
benda padat lainnya. Sedangkan partikel yang berdiameter 2 – 3 mikron akan
masuk menembus paru-paru, dan 50% dari partikel yang berdiameter kurang dari
0,1 mikron akan mengendap pada jaringan pernafasan (Syaufina, 2002).
Kelebihan Teknik Slash-and-Burn
Pembukaan lahan dengan teknik slash-and-burn akan menghasilkan
persentase areal yang bisa dimanfaatkan lebih besar, baik untuk lahan produksi,
maupun untuk bangunan sarana dan prasarana, karena vegetasi sebagian besar
atau habis dibakar, sehingga tidak diperlukan lagi areal untuk tempat sisa vegetasi.
Teknik ini praktis dan murah digunakan untuk pembukaan areal yang kecil di
daerah tropis, karena memiliki musim kering yang cukup untuk pengeringan
vegetasi yang ditebang.
Pada kasus perladangan berpindah secara tradisional dengan luasan areal
yang dibuka relatif kecil, masa bera yang lama, dan tidak mengandalkan masukan
dari luar, maka teknik pembukaan lahan dengan pembakaran ini akan
menyebabkan peningkatan ketersediaan unsur hara yang dihasilkan dari sisa
pembakaran. Hasil pengukuran Suparto et al. (1980), Rachman et al. (1997),
Zaini dan Suhartatik (1997) menunjukkan bahwa setelah pembakaran kandungan
C-organik dan, pH tanah meningkat, sehingga akan membantu pertumbuhan
tanaman. Namun karena pembukaan lahan yang diikuti dengan pembakaran
menyebabkan tanah makin rentan terhadap erosi dan KTK yang rendah, jika
upaya konservasi tanah dan air setelahnya tidak tertangani dengan baik, maka
unsur-unsur tersebut akan mudah tercuci oleh air hujan bersamaan dengan erosi
yang terjadi.
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa suatu areal yang dibuka untuk
perladangan berpindah paling lama hanya bertahan sampai tahun ketiga, karena
ketersediaan haranya yang jauh berkurang atau tanahnya menjadi tidak subur.

5
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

PEMBUKAAN LAHAN
DENGAN TEKNIK TANPA BAKAR
Upaya mencari alternatif pengganti teknik slash-and-burn dilakukan baik
pada tingkat nasional maupun internasional, karena dampak penerapan teknik
slash-and-burn bersifat global dan tidak mengenal batas teritorial, apalagi terjadi
dalam skala yang luas. Salah satu alternatifnya adalah teknik tanpa bakar, dengan
berbagai variasinya. Van Noordwijk et al. (1995) mengusulkan teknik slash-andmulch, dimana vegetasi yang ditebang tidak dibakar, namun ditumpuk dan
dibiarkan terdekomposisi secara alami dan berfungsi sebagai mulsa. Usul yang
hampir mirip dikemukan oleh Menteri Transmigrasi dan Pemukiman, yaitu teknik
cutting-chipping-decomposition (CCD) process (Taryoto et al. 1997).
Pembukaan lahan dengan menggunakan teknik tanpa bakar ini telah
dilakukan pada beberapa perkebunan kelapa sawit, baik untuk pembukaan areal
baru, maupun untuk peremajaan kelapa sawit, sebagaimana dilaporkan oleh Chee
dan Chiu (1997), Majid (1997) dan Purba et al. (1997). Alasan utama
penggunaan teknik tanpa bakar dalam pembukaan lahan adalah karena sistem ini
dapat (a) mempertahankan kesuburan tanah, (b) mempertahankan struktur tanah,
(c) menjamin pengembalian unsur hara, (d) mencegah erosi permukaan tanah, dan
(e) membantu pelestarian lingkungan.
Cara Kerja Teknik Tanpa Bakar
Penerapan teknik tanpa bakar dalam pembukaan lahan hutan untuk
berbagai tujuan mengandung dua kegiatan utama, yaitu penebangan, dan
penumpukkan. Penebangan bisa dilakukan secara manual atau secara mekanis
tergantung kondisi tegakan pada lahan yang akan dibuka.
Sedangkan
penumpukkan sangat mengandalkan cara mekanis.
Majid (1997) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan efektifitas dan
efisiensi pembukaan lahan, diperlukan persiapan pendahuluan untuk pelaksanaan
penebangan dan penumpukkan, yang meliputi (a) pengukuran luas areal yang
akan dibuka, (b) pengukuran luas setiap blok, (c) pengukuran jarak tanam, (d)
pembuatan jalan masuk, dan (e) pembuatan konservasi air. Hal ini penting
dilakukan agar penumpukkan dapat dilakukan secara tepat.
Produktivitas penebangan secara manual yang menggunakan chainsaw
sangat rendah, yaitu hanya 0,25 ha per HOK, sehingga untuk membuka areal
seluas 1000 ha diperlukan 4000 HOK. Sedangkan produktivitas secara mekanis
yang menggunakan buldozer untuk penebangan dan pencabutan berkisar antara 3
ha – 6 ha per HOK, yang sangat tergantung pada tingkat keterampilan operator
dan kondisi kerja (Majid, 1997). Selain penggunaan buldozer, pembukaan lahan
tanpa bakar juga umum menggunakan excavator dan traktor (Purba et al, 1997).
Penumpukkan secara mekanis bertujuan untuk memastikan agar
pencabutan tunggul dapat dilaksanan lebih cepat dan lebih sempurna
dibandingkan cara manual. Apabila pencabutan tunggul tidak sempurna, maka
tunas akan cepat muncul dari tunggul-tunggul tersebut. Penumpukkan yang
segera dilaksanakan setelah penumbangan lebih disukai terutama bila daun-daun
belum lepas dari tangkainya. Cara mekanis tersebut memberikan keuntungan
tambahan karena volume bahan organik meningkat (Majid, 1997).

6
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Pergerakan alat berat selama penumpukkan menyebabkan gangguan pada
tanah, sehingga memicu erosi permukaan tanah pada daerah bergelombang hingga
curam yang sifatnya sementara sebelum tanaman kacangan penutup tanah
tumbuh. Oleh karena itu, untuk pembukaan lahan, Majid (1997) mengusulkan
beberapa perbaikan, yaitu (a) meletakkan tumpukan tambahan, (b) menggali parit,
dan (c) membuat plot areal dengan tumpukan kayu-kayuan yang arahnya tegak
lurus terhadap kemiringan lereng, dan ditempatkan setiap 30 m.
Pohon-pohon yang sudah ditumbangkan tersebut, selain bisa ditumpuk,
juga bisa dibuat menjadi dicacah sehingga menjadi lebih kecil (chip) kemudian
baru didekomposisi, sebagaimana dalam teknik CCD. Jika teknologinya
memungkinkan, chip yang dihasilkan bisa dijadikan bahan baku kertas.
Kelemahan Teknik Tanpa Bakar
Pembukaan lahan dengan teknik tanpa bakar sangat tergantung pada alat
berat (mekanis), sehingga hanya cocok untuk areal yang luas karena investasinya
yang mahal. Selain itu, suatu jenis alat berat umumnya tidak bisa digunakan
untuk semua kondisi lahan, misalnya keterbatasan lereng, lahan kering dan basah
dan lain sebagainya, sehingga diperlukan pemilihan alat yang tepat.
Produktivitas sangat ditentukan oleh ketepatan alat berat yang digunakan
dan keterampilan dalam mengoperasikan alat berat, sehingga dibutuhkan tenaga
yang terampil yang adakalanya jumlahnya terbatas. Erosi permukaan tanah akan
menjadi besar manakala operatornya kurang terampil, sehingga topsoil bisa
terkelupas.
Kelebihan Teknik Tanpa Bakar
Teknik ini dalam aplikasinya tidak terlalu tergantung pada kondisi cuaca,
kecuali kondisi yang terlalu basah karena dapat menghambat mobilitas alat berat.
Selain itu, kelebihan utama teknik ini adalah jauh lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan teknik tanpa bakar.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Majid (1997) menunjukkan bahwa
keuntungan dari pembukaan lahan tanpa bakar, antara lain adalah (a) melindungi
humus dan mulsa yang telah terbentuk bertahun-tahun, (b) mempertahankan
kelembaban tanah, (c) meningkatkan kandungan bahan organik tanah, sehingga
akan meningkatkan kesuburan tanah, (d) mempertahan kelestarian lingkungan,
teruatama tidak menyebabkan polusi udara, (e) menjaga pH tanah, (f) mengurangi
biaya perawatan setelah penanaman, karena tanggul telah dicabut seluruhnya, dan
(g) memungkinkan mekanisasi untuk seluruh kegiatan pembukaan lahan, kecuali
pada kondisi tertentu.
Aplikasi pembukaan lahan tanpa bakar untuk peremajaan kebun kelapa
sawit akan menjamin pengembalian unsur hara ke tanah dari pohon sawit tua yang
ditebang. Sebagai gambaran, Purba et al. (1997) mengemukakan bahwa
kandungan hara dari residu batang sawit adalah 339,4 kg.ha-1 unsur N yang setara
dengan 737,9 kg.ha-1 pupuk urea, 32,2 kg.ha-1 unsur P yang setara dengan 204,8
kg.ha-1 pupuk CIRP, 424,2 kg.ha-1 unsur K yang setara dengan 848,4 kg.ha-1
pupuk MOP, dan 75,9 kg.ha-1 unsur Mg yang setara dengan 487,5 kg.ha-1 pupuk
Kies. Lebih lanjut Setyono (1994) menjelaskan bahwa pengontrolan mulsa baik
untuk pertumbuhan pohon, menurunkan aliran permukaan (run-off water),

7
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

meningkatkan hara tanah (N, K, Ca, Mg dan bahan organik), kecuali kandungan P
berkurang.
Peremajaan kebun kelapa sawit dengan teknik tanpa bakar memungkinkan
tanaman baru ditanam setelah 1-2 bulan setelah penumbangan dan pencacahan,
sementara dengan cara bakar, penanaman baru dapat dilakukan setelah 6-8 bulan
setelah penebangan (Purba et al., 1997), sehingga waktu teknik tanpa bakar lebih
efisien. Hasim (1997) dalam Purba et al. (1997) melaporkan bahwa pertumbuhan
tanaman pada peremajaan dengan teknik tanpa bakar sama dengan cara bakar.
Namun kandungan hara daun, khususnya P dan K, pada tahun ketiga setelah
tanam lebih tinggi pada teknik tanpa bakar dibandingkan dengan teknik bakar.
Selain manfaat lingkungan dan agronomis, peremajaan tanpa bakar juga
memberikan nilai tambah ekonomis.
Hasil penelitian di Malaysia yang
dikemukakan oleh Nazeeb et al. (1996) dalam Purba et al. (1997) menunjukkan
tanaman pada peremajaan tanpa bakar mulai berproduksi pada bulan ke 30-34
bulan setelah tanam, sedangkan pada peremajaan cara bakar, tanaman baru
berproduksi setelah berumur 36-38 bulan. Berdasarkan hasil perhitungan Hasim
et al. (1993) dalam Purba et al. (1997) diketahui bahwa peremajaan dengan teknik
tanpa bakar lebih hemat sebesar Rp 1.016.500* per ha dibandingkan dengan cara
bakar. Penghematan ini didapatkan karena masa panen yang lebih lama pada cara
tanpa bakar.

KONSERVASI TANAH DAN AIR
Salah satu dampak pembukaan lahan hutan, baik dengan dan tanpa bakar
adalah meningkatnya potensi erosi dan menurunnya infiltasi air ke dalam tanah
dengan besaran yang berbeda di antara kedua teknik tersebut. Oleh karena itu,
penggunaan teknik konservasi tanah dan air yang tepat akan sangat membantu.
Pengendalian bisa dilakukan dengan membuat teras, tergantung kondisi
dan kemiringan lahan, misalnya (a) teras konservasi untuk areal yang
kemiringannya antara 5o – 10o, (b) teras ganda untuk areal yang kemiringan antara
10o - 20o, dan teras individu untuk areal yang kemiringannya di atas 20o (Majib,
1997). Penumpukan batang kayu tegak lurus terhadap kemiringan lereng pada
teknik tanpa bakar akan sangat membantu mengurangi laju erosi dan akan
memperbesar inflitasi air ke dalam tanah.
Penanaman tanaman kacangan penutup tanah (legum cover crop/LCC)
akan memberikan keuntungan untuk mempercepat dekomposisi sisa tumbuhan
dan mengurangi erosi. Berdasarkan percobaan Majid (1997) diketahui bahwa
sistem penanaman tanaman kacangan penutup tanah dengan pemampatan
(merapatkan tanaman penutup tanah ke tumpukan sisa-sisa tumbuhan) lebih
menguntungkan. Jenis yang digunakan dalam percobaan tersebut adalah Mucuna
cohinensis yang dapat mempercepat proses dekomposisi sisa-sisa tumbuhan di
dalam tumpukan.

*

RM 1 = Rp 950 (1993)

8
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

PENUTUP
Teknik tanpa bakar pada pembukaan lahan memberikan keuntungan, baik
dari segi lingkungan, agronomis, maupun ekonomis dibandingkan dengan teknik
bakar. Namun keberhasilan penggunaan teknik tanpa bakar sangat tergantung
pada ketersediaan alat berat yang tepat, dan keterampilan mengoperasikannya.
Penggunaan teknik tanpa bakar menggunakan alat berat hanya cocok untuk
pembukaan lahan dalam skala luas untuk mencapai efisiensi, karena investasi
awalnya yang mahal.

DAFTAR PUSTAKA
Chee, K.H. dan S.B. Chiu. 1997. Pembukaan lahan untuk budidaya kelapa sawit
pada lahan gambut. In: Poeloengan, Z., K. Pamin, P. Purba, Y.T.
Adiwiganda, P.L. Tobing, dan M.L. Fadli (Ed.). Pembukaan areal dengan
cara zero burning. Prosiding pertemuan teknis kelapa sawit, 22 April
1997, Medan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. p. 15 – 22.
Mackensen, J. 1999. Nutrient management for industrial tree plantations (HTI) in
Indonesia: A practical guidance towards integrated nutrient management.
Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH
Postfach 5180, Eschborn.
Majid, R.A. 1997. Pembukaan areal baru perkebunan kelapa sawit dengan teknik
tanpa bakar (zero burning). In: Poeloengan, Z., K. Pamin, P. Purba, Y.T.
Adiwiganda, P.L. Tobing, dan M.L. Fadli (Ed.). Pembukaan areal dengan
cara zero burning. Prosiding pertemuan teknis kelapa sawit, 22 April
1997, Medan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. p. 1 – 13.
Pandey, H.N. 1980. Agricultural ecosystem (Agroecosystem). In: Misra, K.C.
(Ed). Manual of Plant Ecology. 2nd ed. Oxford & IBH Publ. Co. New
Delhi. p. 309 – 335.
Purba, A., Z. Poeloengan, dan P. Guritno. 1997. Aplikasi teknik tanpa bakar
untuk peremajaan kelapa sawit. In: Poeloengan, Z., K. Pamin, P. Purba,
Y.T. Adiwiganda, P.L. Tobing, dan M.L. Fadli (Ed.). Pembukaan areal
dengan cara zero burning. Prosiding pertemuan teknis kelapa sawit, 22
April 1997, Medan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. p. 23 - 31.
Rachman, A., H. Subagjo, S. Sukmana, Hariyogyo, B. kartiwa, A. Muti, dan U.
Sutrisno. 1997. Soil and agroclimatic characterization for determining
alternatives to slash-and-burn. In: Van Norrdwijk, M., T.P. Tomich, D.P.
Garrity, dan A.M. Fagi (Ed.). Alternatives to slash-and-burn research in
Indonesia. Workshop proceedings, 6-9 June 1995, Bogor, Indonesia.
ASB-Indonesia Report No. 6. ASB-Indonesia and ICRAF-S.E. Asia,
Bogor, Indonesia.p. 3 – 19.
Sahardjo, B.H. 1999. Pembakaran terkendali sebagai metoda alternatif dalam
pencegahan kebakaran hutan di hutan tanaman Acacia mangium. J.
Manaj. Hut. Trop. 5 (1): 67-75.

9
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Setyono, A. 1994. Peranan pemulsaan terhadap status hara di tegakan Acacia
mangium Wil. pada hutan tanaman industri PT. Musi Hutan Persada
Propinsi Sumatera Selatan [tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Tidak dipublikasikan.
Suparto, R.S., S. Sutaraharja, D. Darusman, I.M. Padlinurjaji, dan Y. Sudohadi.
1981. Studi perbaikan land clearing di wilayah transmigrasi di Pamenang,
Jambi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syaufina, L. 2002. Kebakaran gambut, penyebab utama masalah kabut asap di
Indonesia. Lahan Basah 10 (4): 19 – 20.
Taryoto, A.H., M.O. Adnyana, N. Syafa’at, M. Syukur, A. Djauhari, H.H. Saleh,
dan E. Diana. 1997. Policy analysis od slash-and-burn practices: the case
of three agro-ecological zones in Sumatra. In: Van Norrdwijk, M., T.P.
Tomich, D.P. Garrity, dan A.M. Fagi (Ed.). Alternatives to slash-and-burn
research in Indonesia. Workshop proceedings, 6-9 June 1995, Bogor,
Indonesia. ASB-Indonesia Report No. 6. ASB-Indonesia and ICRAF-S.E.
Asia, Bogor, Indonesia.p. 231 - 243.
Van Noordwijk, M., P.M. Susswein, T.P. Tomick, C, Diaw, dan S. Vosti. 2001.
Land use practices in the humid tropics and introduction to ASB
benchmark areas. International Centre for Research in AgroforestrySoutheast Asian Regional Research Proggramme, Bogor, Indonesia.
Van Noordwijk, M., T.P. Tomick, R. Winahyu, D. Murniyarso, Suyatno, S.
Partoharjono, dan A.M. Fagi (Eds.). 1995. Alternatives to slash-and-burn
in Indonesia, Summary report of phase 1. ASB-Indonesia Report No. 4.
ASB-Indonesia and ICRAF-S.E. Asia, Bogor, Indonesia.
Zaini, Z., dan E. Suhartatik. 1997. Slash-and-burn effects on C, N, and P balance
in Sitiung bechmark area. In: Van Norrdwijk, M., T.P. Tomich, D.P.
Garrity, dan A.M. Fagi (Ed.). Alternatives to slash-and-burn research in
Indonesia. Workshop proceedings, 6-9 June 1995, Bogor, Indonesia.
ASB-Indonesia Report No. 6. ASB-Indonesia and ICRAF-S.E. Asia,
Bogor, Indonesia. p. 21 - 33.

10
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara