Hal tersebut juga disampai oleh Bapak Safril: “Dampak yang dirasakan kalau menurut bapak lebih ke negatifnya itu
dikarenakan banyak lahan-lahan yang menjadi danau-danau buatan akibat tambang yang terus-menerus dan saya khawatir bagaimana untuk
kedepannya, memang untuk hasil yang didapat sangat menjanjikan,tapi lama- kelamaan ini timah juga akan habis...”
Dari wawancara lapangan yang dilakukan oleh peneliti, terdapat satu focus dari jawaban para responden dimana sisi positifnya adalah memberikan kehidupan
ekonomi yang lebih layak dan dari sisi negatifnya adalah kerusakan lingkungan yang terjadi, ini dikarenakan pertambangan yang dilakukan masih secara tambang rakyat
dan mereka belum ada mengerti untuk merehabilitasi lahan tersebut.
4.4.3 Analisa Deskriptif 4.4.3.1. Proses Peralihan Matapencaharian dari Petani Lada ke Penambang
Timah
Peralihan matapencaharian sering dilakukan oleh setiap orang, yang mana jika suatu pekerjaan yang sedang dijalani sekarang tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan
hidup, maka seseorang itu akan mencoba untuk mencari pekerjaan lain dan umumnya hal ini terjadi pada masyarakat Indonesia. Adanya kecendrungan para petani untuk
mengambil resiko terhadap usahanya, keputusan untuk mengambil resiko yang dilakukan oleh petani merupakan sikap yang berani dan penuh spekulasi. Maksudnya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
spekulasi yang dilakukan para petani dibayangi oleh kegagalan atas apa yang di perbuatnya. Hal ini dilatarbelakangi pula oleh keinginan petani tersebut untuk
merubah kondisi kehidupannya kearah yang lebih layak dan baik. Hal inilah yang sedang dilakukan oleh sebahagian masyarakat Desa Rambat
agar dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dengan cara melakukan peralihan matapencaharian dari sektor pertanian ke sektor pertambangan. Di tahun 1990-an,
ketika lada naik daun dan harganya gila-gilaan, petani lada di pulau ini menjadi OKB orang kaya baru mendadak. Bagaimana tidak, ketika itu dipasaran dunia harga
lada putih mencapai Rp. 80.000,- - Rp. 120.000,- per kilogram. Bisa dibayangkan seandainya 1 orang petani memiliki 2 ton lada putih kering, berapa penghasilan petani
tersebut.Ian Sancin, dalam artikel kebun lada yang di tinggalkan, akses 22 Januari 2013.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada waktu lada masih mahal-mahalnya dan bagaimana kehidupan para petani tersebut. Hal ini juga disampaikan oleh Bapak
H.Sanif “..Dulu sewaktu harga lada masih mahal-mahalnya banyak sekali petani
yang terkejut, dan itu juga membuat banyak orang yang ingin mencoba untuk bertani lada juga.,,”
Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012 Dengan melonjaknya harga lada pada tahun tersebut otomatis kehidupan
petani menjadi serba kecukupan tetapi seiring berjalannya waktu sekarang ini harga jual yang tidak menentu dengan kisaran harga Rp. 25.000 sampai Rp. 30.000 rupiah
per kilogram nya, petani juga di hadapkan dengan penyakit terhadap pohon lada itu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sendiri, salah satunya yang sering terjadi adalah penyakit kuning yang menyerang daun hingga menjalar ke akar dari pohon lada itu sendiri yang sampai saat ini menjadi
musuh utama dari para petani tersebut. Kendala yang dihadapi petani lada justru pada mahalnya harga pupuk. Pemupukan dilakukan sampai umur tanaman lada mencapai
tiga tahun. Makin besar tanaman lada, semakin besar jumlah pupuk yang diperlukan. Jenis pupuk yang dibutuhkan adalah urea dan NPK. Ian Sancin, dalam artikel kebun
lada yang di tinggalkan, akses 22 Januari 2013 Sejak tahun 2001, ketika Perda Kab. Bangka No.6 terbit, mulailah marak TI
Tambang Inkonvensional. Sebagian masyarakat seperti histeris menyambut Perda tersebut dan berusaha mencari kesempatan bergabung atau mendirikan TI-TI. Begitu
asyiknya melihat hasil yang didapat sehingga tak peduli dengan segala aturan pertambangan, aturan keselamatan kerja, aturan lingkungan hidup, dan aturan
administrasi dari Pemerintah Daerah. Maka seperti jamur di musim hujan berdiri tak terkendali TI tanpa izin, TI tanpa amdal dan TI tanpa reklamasi. Pemodal-pemodal
besar dari luar Babel berdatangan, termasuk dari luar negeri, pekrja-pekrja TI berduyun-duyun datang dari luar Babel, dari kota Palembang, dari daerah-daerah
transmigrasi Sumsel, dari Jambi, Lampung, Jakarta, dan JawaMadura. Konon kini ada 16.000 TI sebagian besar ilegal, ada 2000 alat berat exscavator yang mengobrak
abrik muka bumi Bangka Belitung. Konon ini adalah jumlah exscavator terbesar di dunia dalam kawasan sebanding Bangka Belitung. Apa yang kemudaian kita saksikan
adalah kehancuran lingkungan hidup, hutan lindung di babat habis, daerah aliran sungai DAS besar kecil dirusak, pantai wisata dan nelayan diobrak-abrik, kebun-
kebun rakyat di intervensi serta jalan-jalan raya terancam erosi. Melalui media massa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
nyaris setiap hari ada korban tewas, baik TI darat maupun TI apung, tak ada yang diasuransikan nyawanya, kapal-kapal ferry datang hilir-mudik membawa exscavator
bekas dari Palembang, Batam, dan Jakarta, lokalisasi pelacuran berkembang di sekitaran TI, anak-anak sekolah berhenti sekolah dan terjun ke TI, minuman energi
dan alkohol mengalir dengan deras ke kawasan TI Rusli Rachman, dalam buku Redupnya Hati Nurani: Catatan Hitam Putih Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Menurut hasil wawancara yang didapat dari lapangan, masyarakat Desa Rambat mengenai tata cara menambang timah inkonvensional dari para warga
keturunan cina yang sebelumnya sudah memiliki tambang didaerah lain. Adapun informasi ini seperti yang dituturkan oleh Bapak H.Sanif
“…. Dulu awalnya kami hanya dengar-dengar saja didaerah lain sudah melakukan kegiatan tersebut, tetapi saya masih tetap bertani saja. Lalu
seiring berjalannya waktu datanglah para pemilik modal yang merupakan warga keturunan mencoba untuk melakukan kegiatan penambangan di Desa
ini, dan ternyata hasilnya memuaskan, lalu kamipun mulai terbuka fikiran dan belajar memulai untuk melakukan hal yang sama juga dilahan yang
sebelumnya kami tanami lada tersebut, kami bertanya dan bertanya kepada mereka itu…”
Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012 Peralihan matapencaharian dari petani lada yang dilakukan sebahagian
masyarakat Desa Rambat latar belakangi karena mahalnya biaya perawatan yang diperlukan untuk menanam lada tersebut yang juga membawa dampak kepada
keadaan kondisi ekonomi keluarga serta turut juga diiringi dengan terbitnya Perda
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kab. Bangka No 6 terbit semakin memuluskan warga untuk melakukan kegiatan peralihan matapencahariannya.
4.4.3.2 Kehidupan Sosial Ekonomi Warga Desa saat bekerja menjadi Petani
Penduduk asli masyarakat Desa Rambat menurut data yang diperoleh adalah suku Melayu kemudian secara bertahap masyarakat mempunyai suku yang beragam.
Hal ini terjadi terus menerus, karena keragaman suku yang terdapat di Desa Rambat ini maka penduduknya pun tentunya mempunyai kehidupan sosial.
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain yang harus hidup bermasyarakat dalam keehidupan sehari-hari nya. Dalam
menghadapi lingkungan sekitarnya manusia haruslah hidup berdampingan dengan manusia satu dan lainnya, yang paling penting dari hubungan-hubungan manusia tadi
adalah gejala apa yang timbul yang menyebabkan tindakan seseorang menjadi luas. Lalu pada saat itu juga manusia dituntut untuk bisa menghadapi dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar melalui pikiran, perasaan dan kehendaknya. Kehidupan sosial yang ada pada masyrakat Desa sewaktu masih
menjadi petani sangat harmonis dan rukun ini terlihat dari penuturan bapak Safril “... kalau disini dek waktu kami jadi petani itu hubungan kami dengan warga
lainnya tidak ada masalah apa-apa,semuanya baik-baik saja, kami biasa ngumpul di gubuk yang ada dikebun ketika waktu istrahat tiba sekedar untuk
ngopi saja dan saling tukar pikiran tentang masalah kebun yang dihadapi ini...”
Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sama hal nya juga seperti yang dikatakan Bapak Sulaiman “.... sangat dekat sekali dek hubungan ini, karena dalam satu kampong ini
ada yang pula yang menjadi keluarga karena hubungan perkawinan itu, jadi dengan adanya yang seperti itu yam akin dekatlah hubungan antar sesame
kami ini dek...” Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012
Dengan melihat hasil wawancara di atas bisa dikatakan bahwa hubungan sosial warga desa baik dan harmonis, kehidupan inilah yang menurut Boeke
Karakteristik yang masih tradisional baik pada kultur, kehidupan sosial ekonomi, dan penggunaan teknologi sederhana dalam kehidupan sehari-hari bertani berimplikasi
pada corak kematangan masyarakat yang ada. Pada level ini, sebelum kapitalisme merembes masuk ke desa, Boeke sering menyebut desa berswasembada dengan
aktivitas internal yang dilaluinya. Hidup dengan harmonis, kebutuhan hidup dipenuhi sendiri, aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup bukan
akumulasi kapital seperti dunia industri, dan desa berdiri mandiri tanpa banyak intervensi kapital dari luar. Namun, kemudian keadaan ini rusak akibat adanya
interaksi dengan perkotaan yang sistemnya sama sekali berkebalikan dengan sistem yang selama ini hidup di desa. Pada saat berhadapan dengan sesuatu yang asing
inilah, desa sangat gagap untuk beradaptasi dengan sistem yang baru dan bahkan lebih buruk lagi, desa terlindas oleh perkembangan keadaan ini. Jika demikian,
Indonesia yang lebih dua pertiga wilayahnya merupakan daerah pedesaan dan sebagian besar pendudukya bertempat tinggal di pedesaan merupakan korban yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sangat menderita. http:blog.ub.ac.idlink76820100529masa-depan-sektor-
pertanian-indonesia-di-tengah-liberalisasi. Lalu tempat yang sering digunakan warga untuk berinteraksi dan
bersosialisasi pada saat menjadi petani ini banyak tempat nya seperti acara adat, pesta keluarga terkadang di warung kopi, bisa juga pertemuan yang diadakan di kantor
Desa, dan juga di pasar. Pada saat warga masih berada di sektor pertanian ini warga masih banyak memiliki waktu untuk saling berinteraksi. Seperti halnya yang di
ungkapkan Bapak Abu Bakar. “... Kalau kami sering kumpul itu dek setelah habis pulang berkebun dek,
bersantai sejenak karena kalau dikebun sendiri ini sebentar ajanya kita dikebun setelah itu pulang, biasanya kami kumpul di gubuk-gubuk yang ada
di kebun kami dek atau juga di warung-warung yang ada di Desa itu loh...” Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012.
Selain juga tentang kehidupan sosial yang merupakan bentuk dari kondisi sosial, masyrakat juga tidak pernah lepas dari kondisi ekonomi. Begitu juga
masyarakat Desa Rambat yang mempunyai pola kehidupan ekonomi pada saat mereka bekerja menjadi petani. Pada saat bekerja di sector ini sebahagian warga
masih hidup untuk kelangsungan hidup dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti yang dikemukakan Ibu Susilawati
“.... Pendapatan yang diperoleh dahulu ketika jadi penambang dulu tidak seberapa dek, karena sangsebutan untuk lada ini kan tidak bisa di panen
tiap bulan, jadi dia mesti tanam dulu, perawatan, dan panen.ketika sudah selesai itu barulah dijual, jadi untuk menutupi itu tadi ada jugalah tanaman
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lain yang kami tanam seperti karet, dan cabai yang bisa untuk menutupinya...”
Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012 Dari hasil beberapa wawancara yang didapatkan ternyata untuk menutupi
kebutuhan dari proses menunggu, para petani punya tanaman lain yang bisa menghasilkan cepat walaupun tidak besar seperti halnya lada. Dalam hal kepemilikan
rumah atau pun harta benda lainnya bisa dikatakan belumlah layak karena rumah hanya mamakai lantai semen biasa saja serta dinding papan. Seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Marwandi “... ya rumah seadanya ajalah dek yang penting tidak kena hujan dan panas
aja,, hahahaa...” Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012
Senada juga yang diungkapkan Bapak Abu Bakar “... walaupun berlantai semen biasa dan berdindingkan papan kami tetap
mensyukurinya...” Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012
Tingkat kesejahtraan ekonomi dapat dilihat dari harta benda yang dimilikinya, dan keadaan rumah tinggal nya, serta kesehatan dan pendidikan anak-anaknya. Dari
Hasil wawancara diatas dengan beberapa informan maka dapat dikatakan kalau warga tersebut belum sejahtera dalam hal ekonomi pada saat menjadi petani.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.4.3.3 Pembagian Kerja Sewaktu Jadi Petani
Setiap keluarga harus memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Jika umumnya suami yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya dan istri bekerja dirumah melayani suami, mengurusi anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tetapi untuk sebahagian warga Desa Rambat
pembagian kerja tidak begitu di fokuskan suami mencari nafkah dan isri dirumah. Pada saat sebahagian warga Desa bekerja di bidang pertanian suami dan istri
sama-sama bekerja untuk mencari nafkah, jadi sang istri tidak hanya melakukan pekerjaan domestic yang hanya melakukan pekerjaan rumah, mengurusi anak, dan
melayani suami. Istri juga berperan membantu juga dalam mengurusi kebunnya. Yang diungkapkan oleh H. Sanif
“.... bapak dan istri sama-sama pergi kekebun nak, istri bapak membantu pekerjaan yang bapak kerjakan, dari pada bapak bayar orang...”
Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012 Dari data yang diperoleh peneliti kesemuaanya antara suami dan istri sama-
sama pergi ke kebun untuk mengolah lahannya dengan lada komoditas utamanya, yang mana jika dikerjakan secara bersama-sama untuk menghemat pengeluaraan
yang ada pada saat melakukan kegiatan bertani tersebut.
4.4.3.4 Kehidupan Sosial Ekonomi Ketika Jadi Penambang
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki kekayaan sumberdaya alam yang khas, terutama sumberdaya tambang dan perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari
nilai perkembangan ekspor, dimana persentase nilai ekspor timah sangat besar dibandingkan yang lain. Menurut Mary F. Somers Heidhues dalam bukunya yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berjudul Timah Bangka dan Lada Muntok:Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII sd Abad XX
, menyebutkan bahwa ekspor timah di tahun 1985 di Bangka bernilai 288.894.285 dolar Amerika, sebuah tahun
produksi yang baik, dengan tambahan 500.000 kira-kira untuk kaolin dan hasil sampingan produksi timah lainnya Di tahun 2004 sendiri proporsi ekspor logam
timah mencapai 88,44. Ini menunjukkan bahwa kegiatan ekspor di Kepulauan Bangka Belitung sangat tergantung pada komoditi timah untuk perkembangan
perekonomian provinsi dan nasional.disadur dari artikel kodri: Timah, Anugrah
Ataukah Bencana Dalam melakukan peralihan matapencahrian tentunya ada terdapat perubahan-
perubahan yang terjadi pada masyarakat yang mengalami peralihan matapencaharian baik itu perubahan dari segi kebudayaan maupun segi ekonomi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi jalannya suatu proses perubahan antara lain: kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan formal yang maju, sikap menghargai hasil karya
orang lain dan keinginan-keinginan untuk maju, toleransi terhadap perbuatan- perbuatan menyimpang, sistem terbuka lapisan masyarakat, penduduk yang
heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, serta orientasi kemasa depan dan nilai-nilai bahwa manusia harus senantiasa
berikhtiyar untuk memperbaiki dirinya Soekanto,2006:326-330. Seperti yang dikatakan Agus salim, bahwa perubahan sosial yang berasal dari
aspek ekonomi akan selalu terkait dengan perubahan perilaku yang berasal dari aspek non ekonomis seperti politik, pendidikan dan lain-lain Salim,2002:19.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sebagai bagian dari perubahan maka peralihan mata pencaharian terjadi akibat adanya faktor-faktor pendorong dan penarik yang antar lain adalah:
4. Peralihan Mata pencaharian menjanjikan pendapatan yang lebih baik
5. Upaya peralihan mata pencaharian merupakan penerapan teknologi baru
6. Peralihan mata pencaharian dapat memberi variasi pada sistem mata
pencaharian yang sudah ada Kehidupan sosial warga Desa Rambat yang dapat dilihat dari hubungan sosial
antar warga setelah beralih tidak jauh berbeda pada saat sebelum melakukan peralihan hanya waktu dan tempat yang sekarang berbeda. Seperti diungkapkan
Bapak Arifin “….kalau masalah hubungan kami antar sesame warga di sini ya biasa aja
sama kayak sewaktu dulu jadi petani, kalau dulu digubuk-gubuk dekat kebun sekarang dilokasi TI, sewaktu istrahat…”
Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012 Tujuan warga Desa yang beralih matapencaharian dari petani ke penambang
adalah untuk memperbaiki kehidupan mereka dan meningkatkan status sosial ekonomi mereka. Status sosial ekonomi dapat dilihat dari status kepemilikan rumah
mereka, bentuk rumah yang mereka tempati, pendidikan anak-anak mereka, kesehatan anggota keluarga, serta barang-barang mewah yang mereka miliki, dan
harta benda yang dimilikinya atau tabungan yang mereka miliki. Menurut data dan Informasi yang didapat dari masyarakat melalui wawancara
dengan beberapa informan mengatakan bahwa rumah-rumah masyarakat Desa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Rambat. Dimana mereka mengatakan bahwa rumah mereka itu dibangun renovasi dari hasil tambang timah itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Bapak Abu Bakar
“….dulunya ya ruma kami ini dek hanya lantai semen biasa dan semi permanen bendinding papan, sekarang ya Alhamdulillah kami bisa
merenovasi rumah kami ini dengan lantai keramik dan beton semuanya….” Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012
Hal yang sama juga dikatakan oleh Bapak Marwandi “….sekarang yang berbeda bentuk bangunannya dek beserta isinya, hehehe,
lantai sudah keramik, dan bangunan sudah beton semua….” Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012
Tingkat pendidikan juga menunjukkan status sosial ekonomi seseorang. Ini dikarenakan mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka dulu sebagai orang tua yang hanya tamatan SD ataupun hanya mengecap SD saja tanpa tamat. Seperti yang diungkapkan dari Ibu
Susilawati
“…. Alhamdulillah sekarang ini dek Ibu memiliki duit untuk keperluan pendidikan anak Ibu, sekarang anak Ibu sudah ada yang duduk dibangku SMP, ya kalau
dibandingkan dengan Ibu dahulu yang hanya tamatan SD saja, jelas sudah peningkatan kan…”
sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012 Dengan adanya perubahan ini tentu saja membuat kehidupan warga yang
beralih menjadi lebih terjamin kebutuhan sandang dan pangannya, tetapi ada juga hal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang cukup mengkhawatirkan yang bila di telaah lebih dalam yaitu mengenai kerusakan lingkungan dan menipisnya kandungan timah yang ada pada desa ini.
Banyak sekali lubang-lubang menganga, dan danau-danau buatan karena bekas tambang tersebut.
Hal ini merupakan dari dampak negatif sebuah kebijakan pemerintah yang ada melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146MPPKep41999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko
Maulana Ali yang sekarang adalah Gubernur Provinsi Bangka Belitung, memberikan izin bagi aktivitas-kativitas penambangan berskala kecil.
Dampak ini juga tidak dinafikan oleh para warga seperti yang diungkap oleh Bapak Safril
“....negatifnya itu dikarenakan banyak lahan-lahan yang menjadi danau- danau buatan akibat tambang yang terus-menerus dan saya khawatir
bagaimana untuk kedepannya, memang untuk hasil yang didapat sangat menjanjikan,tapi lama-kelamaan ini timah juga akan habis...”
Sumber: Hasil Wawancara, Maret 2012.
4.4.3.5 Pembagian Kerja Ketika Menjadi Penambang
Yang berbeda dari hal ini adalah dimana yang bekerja adalah sedikit berubahnya peran para istri yang tidak lagi turut serta bersama melakukan kegiatan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang sama seperti halnya waktu bertani dahulu, seperti yang terungkap dari Bapak Andi
“....kalau sekarang itu ya saya sendiri yang bekerja, istri saya suruh saja dirumah dek, ini karena kerjaannya terlalu berat...”
sumber: Hasil Wawancara: Maret 2012 Terlihat bahwa peran istri sudah tidak sama lagi seperti halnya dulu, ini bisa
menunjukkan kalau hasil yang didapat oleh Bapak Andi sudahlah cukup memadai untuk kehidupan keluarganya.
Padahal bisa saja sang istri ikut pergi ke tambang, dengan hanya mencari timah disaluran pembuangan air pertambangan tersebut, yang dalam bahasa setempat
di sebut nailing.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V PENUTUP
a. Kesimpulan