Denervasi Otonomik Kardiak Pada Penderita Dm Tipe-2 : Perbandingan Antara Yang Mendapat Terapi Insulin Dengan Obat Hipoglikemik Oral

(1)

DENERVASI OTONOMIK KARDIAK

PADA PENDERITA DM TIPE-2 :

PERBANDINGAN ANTARA

YANG MENDAPAT TERAPI INSULIN DENGAN

OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL

PENELITIAN RETROSPEKTIF

DI DEPARTEMEN / SMF. ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP. H. ADAM MALIK / RSUD Dr. PIRNGADI

MEDAN

JANUARI 2007 – MARET 2007

TESIS

OLEH

OK. YULIZAL

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK / RSUD. Dr. PIRNGADI MEDAN

2007


(2)

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DI DEPAN SIDANG LENGKAP DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU DAN DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARAT

UNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

PEMBIMBING TESIS

(Dr.DHARMA LINDARTO, SpPD-KEMD)

DISYAHKAN OLEH

KEPALA DEPARTEMEN KETUA PROGRAM STUDI

ILMU PENYAKIT DALAM ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU FAKULTAS KEDOKTERAN USU


(3)

DEWAN PENILAI

1. Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH

2. Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH

3. Dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH

4. Dr. Josia Ginting, SpPD-KPTI

5. Dr. Refli Hasan, SpPD,SpJP(K)


(4)

Abstract

Cardiac Autonomic Denervation in Type 2 Diabetic Patients : A comparison of patients treated with insulin and

oral hypoglycemic agents

OK. Yulizal, Dharma Lindarto, Refli Hasan

Department of Internal Medicine, School of Medicine,

University of Sumatera Utara, H.Adam Malik General Hospital Medan

Background : Cardiac autonomic denervation is a common finding in diabetic

patients as a result of long-term diabetes complication. Clinical consequences of cardiac autonomic denervation may play a partial role in the pathogenic mechanism of sudden unexpected death in diabetic patients. This was to assess cardiac autonomic denervation in diabetics comparing patients treated with insulin and oral hypoglycemic agents is scarce.

Objective : To assess cardiac autonomic denervation in type 2 diabetic

patients comparing patients treated with insulin and oral hypoglycemic agents.

Subjects and Methods : We conducted a retrospective case-control analysis

in purposive samples of diabetic patients who were more than 5 years having this illness. Subjects were divided into two groups. Group I included 36 patients who were treated with insulin and group II 38 patients who were treated with oral hypoglycemic agents for their diabetes. All patients data from medical record including history of diseases, medications, physical examinations and blood glucose levels were reviewed and evaluated. Cardiac autonomic denervation tests in both of the groups were done in terms of presence of resting tachycardia, heart rate variation during deep breathing and QT interval lengthening (QT corrected) using ECG. All subjects’ data were described and tabulated. Statistical methods used included Student t test and Mann-Whitney U test. Variables were analysed using Chi-square


(5)

method and Fisher exact test, with calculation of odds ratio (OR) and 95% confidence interval (CI). We used Pearson’s correlation and Spearman’s correlation for correlation test.

Results : We found cardiac autonomic denervation in 50 subjects (67,6%) of

a total of 74 subjects. Mean age was 60,84 ± 8,18 years, mean duration of diabetes was 13,60 ± 4,81 years, mean HbA1C was 8,36 ± 2,42 %. There was a significant differences in duration of diabetes (P = 0,001) and HbA1C (P = 0,019) between denervation and non denervation patients. We found a significant correlation between duration of diabetes (r = 0,390, P = 0,014) and HbA1C (r = - 0,439, P = 0,005) with denervation. In 50 denervation subjects, 20 subjects (55%) belonged to the insulin group and 30 subjects (79%) to oral hypoglycemic agents group (P = 0.032, OR 3, 95% CI (1.08 – 8.3). Cardiac autonomic denervation was fewer significantly in well controlled than badly controlled diabetes patients (P = 0.002, OR 5.25, 95% CI (1.75 – 15.77).

Conclusion : Cardiac autonomic denervation was influenced by duration and

diabetes control. Diabetes control played an important role in cardiac autonomic denervation events. In this study insulin seemed to be more useful in reducing the risk of cardiac autonomic denervation in type 2 diabetes patients compared to oral hypoglycemic agents.

Keywords : Diabetes, cardiac autonomic denervation, insulin, oral hypoglycemic agents, diabetes control.


(6)

Abstrak

Denervasi Otonomik Kardiak pada penderita DM tipe 2 : Perbandingan antara yang mendapat terapi insulin

dan obat hipoglikemik oral

OK. Yulizal, Dharma Lindarto, Refli Hasan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan

Latar belakang : Denervasi otonomik kardiak (DOK) lazim dijumpai pada

diabetisi akibat komplikasi lanjut diabetes. Berbagai konsekuensi klinis DOK sebagian boleh jadi berperanan pada mekanisme patogenesis kematian tiba-tiba diabetisi. Penelitian yang menilai DOK pada diabetisi dengan membandingkan antara mereka yang mendapat terapi insulin dan obat hipoglikemik oral masih jarang.

Tujuan penelitian : Mengetahui ada tidaknya DOK pada penderita DM tipe 2

dengan membandingkan antara mereka yang selama ini diterapi dengan insulin dengan yang mendapat terapi obat hipoglikemik oral (OHO).

Bahan dan Cara : Studi retrospektif kasus-kontrol dengan pendekatan

deskriptif analitik secara purposive sample terhadap diabetisi yang sudah menderita DM lebih dari 5 tahun. Subjek dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok I meliputi 36 orang diabetisi yang selama ini mendapat terapi insulin dan kelompok II terdiri dari 38 orang diabetisi yang selama ini mendapat terapi OHO. Dari rekam medik, dicatat data pribadi subjek, riwayat penyakit, pengobatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan kadar glukosa darah. Tes DOK dilakukan dengan menilai detak jantung saat istirahat, variasi detak jantung saat bernafas dalam dan nilai QTc dengan EKG. Seluruh data subjek dipaparkan dan ditabulasikan. Metode statistik dengan menggunakan Student


(7)

t test dan Mann-Whitney U test. Analisa variabel secara Chi-square dan Fisher exact test, dengan menghitung nilai rasio odds dan interval keyakinan

95%. Uji korelatif dengan Pearson’s correlation dan Spearman’s correlation.

Hasil : Jumlah subjek yang mengalami DOK dijumpai sebanyak 50 orang

(67,6%) dari 74 subjek. Rerata usia 60,84 ± 8,18 tahun, rerata lama menderita DM 13,60 ± 4,81 tahun, rerata HbA1C 8,36 ± 2,42 %. Didapatkan perbedaan yang bermakna dalam hal lama menderita DM (P = 0,001) dan HbA1C (P = 0,019) antar subjek yang mengalami dan tidak mengalami DOK. Dijumpai korelasi yang bermakna dalam hal lama menderita DM (r = 0,390, P = 0,014) dan HbA!C (r = - 0,439, P = 0,005) dengan kejadian DOK. Dari 50 orang yang mengalami DOK tersebut, 20 orang (55%) dari kelompok insulin dan 30 orang (79%) dari kelompok OHO ((P = 0,032, rasio odds (OR) 3, interval keyakinan 95% (CI) (1,08 – 8,3). DOK lebih sedikit dijumpai secara bermakna pada mereka dengan kontrol diabetes baik daripada mereka dengan kontrol diabetes tidak terkendali baik (P = 0,002, OR 5,25, 95% CI (1.75 – 15.77).

Kesimpulan : DOK dipengaruhi oleh lama menderita DM dan kontrol

diabetes. Kontrol diabetes berperanan penting pada kejadian DOK. Dalam penelitian ini insulin terkesan lebih memberi manfaat dalam mengurangi resiko DOK pada penderita DM tipe 2.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Denervasi otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2: Perbandingan antara yang mendapat terapi insulin dengan obat hipoglikemik oral” yang berlangsung dari bulan Januari 2007 – Maret 2007. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter spesialis bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan rasa hormat saya serta penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Lukman Hakim Zain KGEH dan Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH. Selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kemudahan dan perhatian yang besar terhadap pendidikan penulis.

2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr. Zulhelmi Bustami SpPD-KGH dan Dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD yang telah membantu, membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berilmu, handal dan berbudi luhur.

3. Kepala Divisi Endokrinologi dan Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H.Adam Malik Medan Dr. H.OK.Alfien Syukran SpPD-KEMD yang telah memberikan saran, petunjuk, bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian.

4. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H. Adam Malik / RSUD Dr.Pirngadi Medan : Prof. Harun Rasyid Lubis, Prof. H.T.Renardi Haroen MPH, Prof.H.Bachtiar Fanani Lubis, Prof.Hj.Habibah Hanum Nasution, Prof. Sutomo Kasiman, Prof. Azhar Tanjung, Prof. Pengarapen Tarigan, Prof. OK.Moehadsjah, Prof. M.Yusuf Nasution, Prof. Azmi S Kar, Prof. Gontar A Siregar, Prof. Harris Hasan, Dr. Rusli Pelly (alm), Dr. Nur Aisyah, Dr. A Adin St Bagindo, Dr. Lufti Latief, Dr. Sjafii Piliang, Dr. Bachtiar Panjaitan, Dr. OK Alfien Syukran, Dr. Abiran Nababan, Dr. Betthin Marpaung, Dr. Sri Sutadi, Dr. Alwinsyah Abidin, Dr. Mabel Sihombing, Dr. Chairul Bahri (alm), Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, Dr. Salli R Nasution, Dr. Juwita Sembiring, Dr. Dharma Lindarto, Dr. Umar Zein, Dr. Josia Ginting, Dr. Refli Hasan, Dr. EN Keliat, Dr. Leonardo Dairy, Dr. Blondina Marpaung yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.


(9)

5. Dr. Armon Rahimi, Dr. Herianto Yoesoef, Dr. R.Tunggul Ch S, Dr. Daud Ginting, Dr. Tambar Kembaren, Dr. Saut Marpaung, Dr. Mardianto, Dr. Zuhrial Z, Dr. Ilhamd, Dr. Calvin D, Dr. Dasril Efendi, Dr. Mazhir Dj, Dr. Maringan, Dr. Hariyani Adin, Dr. Jerahim Tarigan, Dr. Rahmat Isnanta, Dr. Santi Syafril, Dr. Zainal Safri, Dr. Sugiarto Gani, Dr. Fransiscus Ginting, Dr. Dairion Gatot, sebagai dokter kepala ruangan / senior yang telah banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan.

6. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr Pirngadi Medan / RS.PN II Tembakau Deli Medan yang telah memberikan bantuan dan kemudahan serta keizinan dalam menggunakan fasilitas dan sarana rumah sakit dalam menunjang pendidikan keahlian.

7. GM RS. PN III Sri Pamela Tebing Tinggi, yang telah memberikan kesempatan pada penulis sebagai Konsultan Penyakit Dalam di RS. PN III Sri Pamela Tebing Tinggi dalam rangka pendidikan ini.

8. Kawan-kawan seangkatan saya mengikuti PPDSI Penyakit Dalam Dr. T.Realsyah, Dr. Rismauli, Dr. Christina, Dr. Idwan Harris dan Dr. Novrianti. Dr. Aizil, Dr. Zulkhairi, Dr. Ilum Anam, Dr. Ariantho Purba, Dr. Syafrizal Nst, Dr. Akbar Siregar, Dr. Arief Gunawan, Dr. Munadi, Dr. Rinaldi, Dr. Suhartono, Dr.Lili Syarief, Dr.Faisal, dan kawan-kawan lain yang selama ini telah banyak membantu saya. Perawat serta paramedis lainnya dan seluruh karyawan / karyawati di lingkungan SMF / Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr Pirngadi Medan terimakasih atas kerja sama yang baik selama ini.

9. Para penderita rawat inap dan rawat jalan di SMF / Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr Pirngadi Medan, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin dapat terselesaikan pendidikan ini.

10. Pada kesempatan ini pula izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran dan Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan kesempatan bagi saya untuk mengikuti pendidikan keahlian ini.

11. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Dharma Lindarto SpPD-KEMD dan Dr. Refli Hasan SpPD, SpJP (K) sebagai pembimbing tesis yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini. Kiranya Allah SWT memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada beliau berdua beserta keluarga.


(10)

Dengan mengucapkan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada penulis sekeluarga, tidak mungkin akan terlupakan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang sangat saya cintai yaitu, Ayahanda Dr.H.OK.Alfien Syukran SpPD-KEMD dan Ibunda Hj. T.Nazliah yang telah membesarkan, mengasuh, mendidik dan menyekolahkan penulis serta memberikan dukungan secara moril maupun materiil demi kemajuan penulis. Semoga ini semua dapat menjadi amal saleh bagi mereka. Juga kepada mertua saya, Ir.OK.Chairul Arief (alm), Hj.Farida Hanum BA dan Ir.Mahrouzar Manan,Msi terima kasih atas semua jasa baik selama ini yang tak mungkin terbalaskan.

Kepada istriku Desy Chairida, STP sulit rasanya memilih kata-kata yang tepat untuk menyampaikan rasa terima kasih atas kesabaran, keihlasan, dukungan, dorongan serta pengorbanan yang telah engkau berikan selama ini, semoga apa yang kita capai dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan Allah SWT selalu memberkati dan menyertai kita. Kedua anak- anakku yang tersayang OK.Ikram Alchair dan En.Nazifa Zanzabilla Putri yang selalu menjadi pendorong dan penambah semangat serta pelipur lara di kala senang maupun susah dan terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan kalian selama ini serta jadikanlah ini sebagai pendorong cita-cita kalian berdua.

Kepada adik-adikku OK.Isnainul Khaeri,SH, En.Humaira Nina Ikhtiwanie,SS, En.Shavtira Della Poetri,SP, En.Artisya Fajriani,SKed dan adik-adik iparku Ida Herawati, H. Dedy Rahmat,SE, Fredy Rival Arief,Amd dan Arivan serta seluruh anggota keluarga yang telah memberikan semangat dan dorongan selama ini, saya ucapkan terima kasih.

Sebenarnya masih banyak lagi ucapan terima kasih yang selayaknya saya sampaikan kepada berbagai pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu pada kesempatan ini, dalam hal ini izinkanlah saya menyampaikan rasa terima kasih yang setulusnya secara menyeluruh.

Medan, Juni 2007 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……… ………..i

DAFTAR ISI ………. …….. iv

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ……… vi

BAB I. PENDAHULUAN ……… ……… 1

BAB II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ……….. 5

2.1. Etiopatogenesis ………. 5

2.2. Epidemiologi ……….. 8

2.3. Gambaran Klinis ……… 9

2.4. Diagnosis ……… 10

2.5. Penatalaksanaan dan pengobatan ……… 13

2.5.1. Penatalaksanaan umum ……… 13

2.5.1.1. Peran insulin dan OHO sehubungan DOK …. 14 2.5.2. Penatalaksanaan khusus ……….. 16

2.6. Prognosis ……….. 17

BAB III. PENELITIAN SENDIRI ……….. …. 19

3.1. Latar belakang penelitian ………. 19

3.2. Perumusan masalah ……….. 22

3.3. Hipotesis ……… 22

3.4. Tujuan penelitian ………. 23

3.5. Manfaat penelitian ……….. 23

3.6. Kerangka konsepsional ……….. 23

3.7. Bahan dan cara ……… 23

3.7.1. Desain penelitian ……….…… 23

3.7.2. Definisi operasional ……….……… 24

3.7.3. Waktu dan tempat penelitian ………. 25

3.7.4. Subjek penelitian ………. 25

3.7.5. Besar sampel ………... 25

3.7.6. Kriteria yang diikutkan dalam penelitian ………….. 26

3.7.7. Kriteria yang tidak diikutkan dalam penelitian ….… 26 3.7.8. Prosedur penelitian ………. 26


(12)

3.7.9. Kerangka operasional………. 28

3.7.10. Analisa data ………..………. 29

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………. ……….. 30

4.1. Hasil penelitian ………. 30

4.1.1. Karakteristik dasar subjek penelitian ……….. 30

4.1.2. Hasil penelitian dan analisa antar variabel ………… 30

4.2. Pembahasan ………. 36

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 42

5.1. Kesimpulan ……… 42

5.2. Saran ……….…. 42

DAFTAR PUSTAKA …………..………... 43

LAMPIRAN 1. Master tabel penelitian ……….……… 53

2. Penjelasan aktifitas penelitian dan informed consent ... 55

3. Persetujuan komite etik tentang pelaksanaan penelitian .. 57

4. Format data-data pasien penelitian ... 58

5. Daftar riwayat hidup ... 60


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pemeriksaan denervasi otonomik kardiak non invasif ………. 10

Tabel 2. Karakteristik dasar subjek penelitian ……….. 30

Tabel 3. Hasil penelitian berdasarkan ada tidaknya denervasi ... 31

Tabel 4. Hasil penelitian berdasarkan terapi ... 35

Tabel 5. Tabel 2x2 insulin dan OHO sehubungan resiko terjadinya DOK .... 35

Tabel 6. Tabel 2x2 keterkendalian diabetik sehubungan DOK ...……… 36

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Patogenesis neuropati diabetik ………..……… 4

Gambar 2. Perhitungan nilai QTc dari rekaman EKG ………..……… 28

Gambar 3. Diagram baur hubungan antara usia dan nilai QTC ………..… 32

Gambar 4. Diagram baur hubungan antara lama DM dan nilai QTC …..… 33


(14)

BAB I PENDAHULUAN

Angka insiden dan prevalensi diabetes melitus (DM), khususnya DM tipe-2 di seluruh penjuru dunia dari berbagai penelitian epidemiologi cenderung menunjukkan adanya peningkatan. Untuk Indonesia sendiri, organisasi kesehatan dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta penduduk pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Suatu jumlah yang sangat besar mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia, sosial dan tingginya biaya kesehatan. Semuanya ini tentu terkait dengan komplikasi yang timbul karena DM.Dikutip dari 1

Penyandang diabetes melitus rentan terhadap berbagai komplikasi lanjut yang akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas dini.2 Komplikasi lanjut DM umumnya sudah mulai timbul rata-rata setelah 5-10 tahun menderita diabetes.3 Neuropati diabetik adalah salah satu dari komplikasi lanjut yang tersering dan sangat menyusahkan penyandang DM (diabetisi) karena mengenai semua serabut saraf periferal sensorik dan motorik serta susunan saraf otonom (SSO).4 Tiga tipe utama neuropati diabetik yaitu polineuropati distal simetrik, polineuropati asimetrik dan polineuropati otonomik.5

Neuropati otonomik diabetik (NOD) adalah komplikasi yang paling jarang dikenali dan dimengerti meskipun komplikasi ini amat berpengaruh negatif terhadap kualitas dan kelangsungan hidup penderita. 4,6 Neuropati otonomik kardiovaskular (NOK), yang merupakan bagian dari NOD, terjadi


(15)

akibat kerusakan serabut saraf otonom yang mempersarafi jantung dan pembuluh darah yang berakibat disfungsi kontrol frekuensi denyut jantung dan berbagai faal dinamik vaskular yang mengakibatkan hipotensi postural, intoleransi kerja fisik, kondisi kardiovaskular yang labil pada saat pembedahan dan iskemi/infark miokardiak yang terselubung. 7, 8

Denervasi otonomik kardiak (DOK) merupakan bagian dari neuropati otonomik kardiovaskular diabetik. DOK bermanifestasi sebagai takhikardi sewaktu istirahat, aritmia, hipotensi ortostatik, penurunan variabilitas denyut jantung, intoleransi kerja fisik, infark miokard tersamar dan lain-lainnya sampai kemudian menimbulkan kematian pada penderita DM. 8 Sekitar 65% pasien DM meninggal karena penyakit kardiovaskular dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian pasien DM tipe 2 yang didiagnosa dengan DOK. 9

Angka kejadian DOK diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan angka prevalensi diabetes dan komplikasi terutama terhadap SSO yang ditimbulkannya. Hal ini terbukti dari adanya beberapa penelitian yang ditulis oleh Ewing dan kawan (tahun 1986), Neil dan kawan-kawan di tahun 1989 dengan melibatkan banyak sentra dan Freccero dari Swedia (tahun 2004). 6,10,11 Untuk Indonesia sendiri, penelitian dengan melibatkan populasi yang lebih besar dan multisentra sampai saat ini belum ada. Dikutip dari 12

Patogenesis timbulnya DOK sampai saat ini belum jelas, dan diduga banyak faktor yang terlibat diantaranya faktor metabolik, insufisiensi neurovaskular, kerusakan otoimun dan defisiensi faktor pertumbuhan neurohormonal. 8


(16)

Adanya DOK pada awalnya tanpa gejala yang khas. Gejala klinis umumnya timbul bila sudah lama menderita DM. Pada awal tahun 1970-an Ewing dan kawan-kawan telah menemukan tes refleks kardiovaskular noninvasif yang cukup sederhana, mudah, praktis dan hasilnya dapat dipercaya sebagai gambaran gangguan saraf otonom yang terjadi di seluruh tubuh. 6,13

Denervasi otonomik kardiak, disamping dipengaruhi usia dan lama menderita diabetes, juga dipengaruhi oleh kontrol diabetes.3,7,8 Kontrol diabetes jangka panjang yang jelek berperanan penting dalam mekanisme patogenesis komplikasi mikrovaskular termasuk denervasi otonomik kardiak.14

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kontrol diabetes intensif, baik dengan obat hipoglikemik oral (OHO) maupun insulin dapat mengurangi kejadian neuropati otonomik kardiovaskular pada diabetisi.15,16 Hasil yang diharapkan dari semua itu ialah kontrol diabetes yang terkendali baik, artinya HbA1c < 6,5%.1 Hal ini bisa cepat tercapai dengan pemberian insulin. Efek nyata pemberian insulin pada semua penelitian adalah terjadinya penurunan nilai HbA1C. Efek ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan pemberian OHO, oleh karena disamping menurunkan kadar glukosa darah insulin juga mampu menyelamatkan fungsi sel beta dan memperlambat komplikasi mikro maupun makroangiopati dengan efek antiinflamasi yang dihasilkannya. 17,18

Oleh karena sepengetahuan penulis belum banyak penelitian yang khusus membahas peranan OHO dan insulin sehubungan terjadinya DOK, maka untuk itulah penulis ingin melakukan penelitian mengenai dampak terapi OHO dan insulin terhadap kejadian DOK pada penderita DM tipe 2.


(17)

Pengenalan DOK sedini mungkin sangat perlu mengingat prognosisnya yang sangat jelek dan dapat terjadi hal yang fatal seperti henti jantung paru terutama sewaktu dilakukan pembiusan saat operasi, sehingga pencegahannya sangat diperlukan agar morbiditas dan mortalitas yang disebabkan DOK ini dapat dikurangi. 8,14

Penatalaksanaan dan pengobatan DOK meliputi pengendalian kadar glukosa darah dan penatalaksanaan khusus terhadap gejala kelainan kardiovaskular yang terjadi. 15,16


(18)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. ETIOPATOGENESIS

Neuropati diabetik merupakan kerusakan yang heterogen. Secara morfologi kelainan sel saraf terdapat pada sel schwann, selaput myelin dan akson. Terdapat berbagai hipotesis tentang etiologi neuropati diabetik yang meliputi gangguan metabolisme pada serabut saraf, insufisiensi neurovaskular, kerusakan akibat proses otoimun dan berkurangnya (defisiensi) faktor pertumbuhan neurohumoral.8 Patogenesis neuropati diabetik secara garis besarnya dapat kita lihat pada gambar 1 di bawah ini.


(19)

Hiperglikemi yang terjadi akan mengaktifkan jalur metabolik poliol

(polyolpathway) yang akan menyebabkan penumpukan sorbitol serta

perubahan potensial pada rasio NAD/NADH yang secara langsung akan menyebabkan kerusakan neuronal serta berkurangnya aliran darah ke saraf.20 Pengaktifan enzim protein kinase C akan mengimbas terjadinya vasokonstriksi dan akan menyebabkan suplai darah ke saraf akan semakin berkurang. Stres oksidatif yang semakin meninggi dengan makin meningkatnya produksi radikal bebas akan merusak sel-sel endotel vaskular dan menurunkan ketersediaan hayati (bioavailability) nitrit oksida (NO).21,22 Produksi NO yang berlebihan akan menyebabkan terbentuknya peroksinitrit yang akan merusak sel-sel endotel vaskular serta neuron, suatu proses yang dinamakan stres nitrosatif (nitrosative stress). 23,24

Pada sub-populasi individu dengan neuropati, mekanisme imunitas boleh jadi juga ikut terlibat.25 Penurunan faktor-faktor pertumbuhan neurohumoral, defisiensi asam-asam lemak esensil dan pembentukan

advanced glycation end products (AGEPs) yang terlokalisasi pada

pembuluh-pembuluh darah endoneural, juga berakibat aliran darah endoneural menurun, menyebabkan hipoksia pada saraf serta perubahan faal saraf. 26-28 Proses yang multifaktorial ini boleh jadi berakibat pengaktifan ribosilasi poliadenosin difosfat, pengurangan ATP yang menyebabkan nekrosis sel-sel saraf serta diaktifkannya berbagai gen yang terkait dengan kerusakan saraf. 29,30

Susunan saraf otonom dalam badan kita terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. SSO berhubungan dengan pengaturan otot jantung, otot polos viseral dan kelenjar-kelenjar. Beberapa organ dipersarafi ganda, dari


(20)

bagian simpatik (torakolumbal) dan parasimpatik (kraniosakral) SSO. Sehingga gangguan saraf otonom diabetik yang berpengaruh terhadap sistem kardiovaskuler dibagi pula atas neuropati parasimpatik dan neuropati simpatik. 7,14,31

Serabut saraf vagus adalah saraf otonomik yang terpanjang dalam tubuh. Neuropati otonomik diabetik biasanya permulaan sekali mengenai saraf otonomik yang lebih panjang. Sekitar 75% dari seluruh neuropati otonomik diabetik pada tahap awal muncul dengan penurunan aktifitas saraf vagus.32

Pada manusia, perubahan denyut jantung sewaktu istirahat, sewaktu bernafas dalam, respon sewaktu berdiri dan manuver valsava dipengaruhi oleh saraf vagus. Uji klinik untuk mendeteksi neuropati parasimpatik bisa dilakukan dengan EKG. Pada kebanyakan pasien dengan DOK, disfungsi parasimpatik dapat dideteksi sebelum muncul disfungsi simpatik. Ini dibuktikan dengan atropin, meniadakan variasi denyut jantung, sehingga temuan ini menunjukkan berkurangnya tonus vagal sebagai manifestasi awal DOK. Adanya perubahan denyut jantung istirahat pada pasien DM bisa memberikan gambaran kerusakan saraf jantung baik itu saraf parasimpatik sendiri maupun bersama saraf simpatik.

Sedangkan saraf simpatik akan mempengaruhi peningkatan denyut jantung saat melakukan kerja fisik, memberi respon terhadap tekanan darah jika bangkit dari baring ke berdiri dan terhadap tegangan tangan (handgrip) yang dipertahankan. Beberapa penelitian telah dilakukan dengan mengukur jumlah neurotransmiter pada pasien DM dengan neuropati simpatik. Dimana didapatkan konsentrasi post mortem norepinefrin, epinefrin dan dopamin


(21)

pada pasien DM lebih rendah dibandingkan kontrol. Temuan ini membuktikan pada pasien DM yang lama telah terjadi neuropati simpatik yang berat. 33,34

2.2. EPIDEMIOLOGI

Kejadian (prevalensi) DOK pada penderita diabetes bervariasi antara berbagai penelitian. Variabilitas pada angka mortalitas ini mungkin berhubungan dengan populasi penelitian, perbedaan cara penilaian tes fungsi otonom kardiovaskular, kriteria yang digunakan menilai DOK dan lama pantauan.9 Insidensi DOK diperkirakan 5-10% pasien DM lama dan sebanyak 35% pada pasien DM dengan neuropati perifer subklinik, dan didapatkan sebanyak 17% pada DM tipe 1 dan 22% pada DM tipe 2. 35,36 Ewing dan kawan-kawan mendapatkan 60% kejadian DOK pada penderita DM tipe 2.6 Barthelemy dan kawan-kawan mendapatkan penurunan variabilitas denyut jantung 51,8% pada DM tipe 2 yang menderita DM selama 11,8 ± 6,8 tahun.37 Penelitian lain mendapatkan angka 86% DOK pada DM tipe 2 yang sudah lanjut.38 Penelitian di Hongaria dengan 36 penderita DM tipe 1 dan 28 penderita DM tipe 2 lama didapatkan angka kejadian DOK sekitar 44% dan 30%.39 Sementara itu dari Indonesia, Hendra dan kawan-kawan di Semarang mendapatkan 62,2%, Sanusi dan kawan-kawan di Ujung Pandang mendapatkan 66,7%, angka yang tak jauh berbeda didapatkan oleh Lubis AR di Medan sebanyak 65,56% untuk angka kejadian DOK dari 90 orang penderita DM tipe-2.40,41,42 Khurram dkk mendapatkan prevalensi DOK pada 30% penderita diabetes, 28% pada kelompok yang diterapi dengan insulin dan 32% pada yang mendapat terapi anti diabetik oral.43 Angka mortalitas


(22)

pada individu dengan DOK bervariasi dari 53% pada suatu penelitian dan 9% pada penelitian lainnya.

2.3. GAMBARAN KLINIS

Frekuensi denyut jantung yang meninggi pada keadaan istirahat

(resting tachycardia) selalu dijumpai pada pasien diabetes umumnya

disebabkan neuropati pada saraf vagus (vagal neuropathy) yang mengakibatkan tidak terhambatnya aktifitas saraf simpatik, yang secara fisiologis bekerja meningkatkan frekuensi denyut jantung .44

Pada proses yang lebih lanjut takhikardi akan diikuti dengan menurunnya frekuensi denyut jantung yang terjadi akibat neuropati pada sistim saraf simpatik, dan pada akhirnya frekuensi denyut jantung akan bertahan dan menetap (fixed heart rate) dengan semakin berkembangnya neuropati saraf simpatik.

Neuropati simpatik akan menyebabkan terganggunya vasodilatasi pembuluh darah koroner jantung yang dihantarkan oleh rangsangan saraf simpatik, disertai berkurangnya kemampuan untuk mempertahankan tekanan darah. Hal ini akan berakibat menurunnya perfusi miokardial. Fraksi ejeksi jantung akan menurun, terjadi disfungsi sistolik, pengisian diastolik berkurang sehingga curah jantung juga akan menjadi menurun, dan ini akan menyebabkan intoleransi kerja fisik (exercise intolerance), dimana kemampuan untuk meningkatkan curah jantung pada keadaan kerja fisik menurun. 45

Juga akan terjadi pemanjangan interval QT yang dikoreksi (corrected


(23)

terpanjang dengan QT interval yang terpendek) yang mencerminkan adanya ketidakseimbangan (imbalance) persarafan simpatik pada bagian kiri dan kanan jantung. Hal-hal di atas akan meningkatkan resiko untuk terjadinya aritmia jantung serta kematian tiba tiba.46

Prevalensi infark miokard tersamar (silent myocardial infarction) lebih tinggi pada diabetisi dengan neuropati otonomik kardiak dibandingkan yang tanpa neuropati otonomik kardiak (38% vs 5%), hal mana disebabkan menghilangnya kemampuan mengenali (merasakan) nyeri iskemik pada mereka dengan neuropati kardiak. 33,47

2.4. DIAGNOSIS

Awal 1970-an, Ewing dkk telah menemukan lima cara tes refleks kardiovaskular non invasif/tes DOK non invasif yang telah diaplikasikan dengan sukses, seperti valsava maneuver, respon denyut jantung dengan bernafas dalam, respon denyut jantung dengan berdiri, respon tekanan darah dengan berdiri dan respon tekanan darah dengan tegangan handgrip. Interpretasinya bisa dilihat pada tabel.1 berikut ini :

Tabel.1. Pemeriksaan Denervasi Otonomik Kardiak Non Invasif 5,6,13

TES CARA/PARAMETER

Denyut jantung

istirahat

Abnormal bila > 100 denyut/menit

Variasi denyut

jantung detak demi

detak

Pasien istirahat dengan posisi telentang (tanpa minum kopi malamnya

atau hipoglikemi), bernafas 6 kali/menit, denyut jantung dimonitor

dengan EKG. Perbedaan denyut jantung > 15 kali/menit normal dan


(24)

rasio R-R inspirasi/R-R ekspirasi. Normal bila > 1,17.

Respon denyut

jantung dengan

berdiri

Interval R-R diukur selama monitor dengan EKG pada detak ke 15

dan 30 setelah berdiri. Normalnya, takhikardi diikuti dengan refleks

bradikardi. Rasio detak 30 : 15 normal > 1,03, borderline 1.01-1,03

dan abnormal < 1,01

Respon denyut

jantung dengan

Valsava maneuver

Pasien meniup melalui manometer yang dimodifikasi hingga tekanan

40 mmHg selama 15 detik dengan monitor EKG. Hasil ditunjukkan

dengan rasio valsava yaitu perbandingan R-R terpanjang setelah

meniup dengan R-R terpendek selama meniup. Normal jika rasio

valsava > 1,21, borderline 1,11-1,20 dan abnormal < 1,10

Respon tekanan

darah sistol dengan

berdiri

Tekanan darah sistol diukur saat pasien dalam posisi telentang.

Pasien kemudian berdiri dan tekanan darah sistol diukur setelah 2

menit. Respon normal bila turun < 10 mmHg, borderline bila turun

antara 10-29 mmHg dan abnormal bila turun > 30 mmHg dengan

gejala

Respon tekanan

darah diastol dengan

latihan isometrik

Tes ini menggunakan alat Handgrip dinamometer dengan membuat

tegangan sampai 30% dari maksimal selama 5 menit, tekanan darah

diukur 3 kali yaitu sebelum dan interval 1 menit selama beban

handgrip. Hasilnya berupa perbedaan diantara tingginya tekanan

diastolik selama beban handgrip dengan rata-rata tekanan diastolik

sebelum dimulai handgrip. Normal jika peningkatan tekanan diastolik

> 16 mmHg, borderline 11-15 mmHg dan abnormal < 10 mmHg

Interval QT/QTc

pada EKG


(25)

Beberapa pakar di antaranya dalam hal ini telah melakukan penelitian

untuk menetapkan diagnosis suatu DOK dari beberapa pemeriksaan non invasif di atas, seperti :

♦ Ewing dkk menguji variasi denyut jantung selama bernafas dalam,

valsava maneuver, respon denyut jantung dengan berdiri, respon

tekanan darah sistol dengan berdiri dan respon tekanan darah diastol dengan handgrip. DOK bila dijumpai 2 atau lebih tes abnormal .6

♦ Masser RE dkk menguji denyut jantung saat istirahat, variasi denyut jantung selama bernafas dalam dan respons dengan valsava maneuver. DOK bila dijumpai 2 daripadanya abnormal.9

♦ Jermendy dkk menguji variasi denyut jantung selama bernafas dalam, valsava maneuver, respon denyut jantung dengan berdiri dan respon tekanan darah sistol dengan berdiri. DOK bila dijumpai semuanya abnormal. 48

♦ Veglio dkk menguji denyut jantung saat istirahat, variasi denyut jantung selama bernafas dalam dan respon tekanan darah sistol dengan berdiri. DOK bila dijumpai 2 atau lebih tes tersebut abnormal. 9

Selain pemeriksaan yang sederhana di atas, cara lain untuk mendiagnosis suatu DOK ialah dengan menggunakan alat spectral analysis,

Doppler laser 13, tantangan menghirup CO2 35% 44,

iodine-metaiodobenzylguanidine-single photon emission computed tomography


(26)

2.5. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN

Penatalaksanaan dan pengobatan DOK dibagi atas hal yang umum dan spesifik (khusus).

2.5.1. Penatalaksanaan umum

Penatalaksanaan umum adalah kontrol diabetes, hal ini sangat penting dalam mencegah terjadinya komplikasi neuropati otonomik diabetik. Denervasi otonomik kardiak merupakan komplikasi yang tidak hanya dipengaruhi oleh usia dan lamanya menderita DM tapi juga oleh kontrol diabetes. Kontrol diabetes yang jelek, yang ditandai dengan semakin tingginya nilai HbA1C berperanan dalam progresifitas disfungsi otonomik kardiak diabetik.14 Hal ini dijumpai dari penelitian Larsen dkk selama 18 tahun pada penderita DM tipe-1 dimana didapatkan persentase variabilitas denyut jantung yang lebih besar pada kelompok dengan HbA1C rendah dibandingkan yang HbA1C tinggi.49

Demikian pula penelitian di Swedia pada penderita DM tipe-2, dimana kadar HbA1C yang tinggi 5 tahun setelah menderita DM berhubungan dengan timbulnya neuropati parasimpatik.50 Kemudian sehubungan dengan kontrol diabetes laporan dari Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) membuktikan bahwa dengan terapi intensif dapat mengurangi insiden baru denervasi otonomik kardiak sebesar 53% pada DM tipe 1.15 Penelitian Steno-2 tahun Steno-2003 pada DM tipe-Steno-2 juga menganjurkan kontrol diabetes yang intensif dapat mengurangi resiko terjadinya denervasi otonomik kardiak sebesar 68%.16


(27)

2.5.1.1. Peran insulin dan OHO sehubungan dengan DOK

Kontrol diabetes intensif meliputi penggunaan OHO dan insulin. Saat ini tersedia 4 jenis OHO, yakni : insulin sekretagog, biguanid, glukosidase inhibitor dan tiazolidinedion. Masing-masing dengan mekanisme kerja yang berbeda, yang dapat digunakan baik sebagai monoterapi, kombinasi antar OHO maupun kombinasi dengan insulin. Kebanyakan dari OHO tersebut dapat menurunkan nilai HbA1C sebesar 1-2%.1,51

Hanya ada beberapa penelitian yang membahas keunggulan insulin dibanding OHO sehubungan dengan komplikasi jangka panjang diabetes. Insulin merupakan obat hipoglikemik yang paling tua. Insulin umumnya digunakan jika dengan cara pengobatan dengan OHO gagal mencapai kadar glukosa darah normal atau mendekati normal. Insulin sendiri berpotensi menurunkan kadar HbA1C sebesar 2%. Ternyata bila dibandingkan dengan diet dan OHO, insulin mempunyai potensi yang lebih besar dalam menurunkan kadar glukosa darah dan kadar HbA1C. Hal ini dibuktikan oleh Turner dkk pada penelitian prospektif selama 9 tahun pada kelompok yang diterapi dengan insulin, OHO dan diet saja. Didapatkan penurunan kadar glukosa darah puasa <140 mg% pada kelompok yang diterapi dengan insulin sebesar 42%, OHO 24% dan diet 8%. Demikian juga nilai HbA1C <7% sebesar 28% vs 24% vs 9% pada masing-masing kelompok insulin, OHO dan diet. 51 Hasil yang hampir sama dalam hal keunggulan insulin dibanding OHO dan diet juga diperoleh De Grauw dan kawan-kawan pada tahun 2003. 52 Efek nyata pemberian insulin pada semua penelitian adalah terjadinya penurunan nilai HbA1C. Efek ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan pemberian OHO,


(28)

oleh karena disamping menurunkan kadar glukosa darah insulin juga mampu menyelamatkan fungsi sel beta dan memperlambat komplikasi mikro maupun makroangiopati dengan efek antiinflamasi yang dihasilkannya. 17,18 Ilkova H dan kawan-kawan melaporkan bahwa pemberian insulin jangka pendek pada pasien DM tipe-2 yang baru terdiagnosis dan gagal dengan diet ternyata mampu mempertahankan fungsi sel beta lebih baik dibandingkan dengan kontrol. 53 Garvey dan kawan-kawan juga melaporkan adanya perbaikan fungsi sel beta pada pasien-pasien DM tipe-2 yang mendapat insulin infus subkutan secara kontinyu. 54 Lebih lanjut Alvarsson M dan kawan-kawan melakukan penelitian yang membandingkan pemberian insulin dini dengan sulfonilurea (glibenklamid) pada pasien DM tipe-2 yang baru terdiagnosis. Hasilnya adalah pada mereka yang mendapat insulin terjadi perbaikan sel beta yang nyata dibandingkan dengan pasien-pasien DM tipe-2 yang mendapat glibenklamid. 18 Penelitian-penelitian di atas seiring pula dengan hasil yang didapat oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang melibatkan ribuan orang dan diikuti selama 20 tahun. 17

Seperti disebutkan sebelumnya, selain hiperglikemia kronik, patogenesis terjadinya neuropati diabetik adalah juga karena defisiensi faktor pertumbuhan neurohumoral. Faktor pertumbuhan neurohumoral berasal dari insulin. Defisiensi insulin akan menimbulkan disfungsi pada mitokondria sel saraf yang akan berdampak pada gagalnya transduksi sinyal intraseluler.55

Demikian juga peranan insulin dari segi pencegahan lipolisis. Suatu penelitian di Italia mendapatkan bahwa defisiensi insulin relatif merangsang proses lipolisis yang berdampak pada kenaikan kadar asam lemak bebas. Asam lemak bebas sendiri akan memperkuat tonus simpatetik jantung


(29)

sehingga menghasilkan imbalans otonom jantung.56 Oleh karena itu keunggulan insulin dalam beberapa hal ini tentunya tidak dimiliki oleh OHO baik sebagai monoterapi maupun kombinasi.

Dulunya dianggap denervasi otonomik kardiak hanya terjadi pada mereka yang menderita DM tipe-1 sehubungan dengan defisiensi insulin, tetapi dari banyak penelitian ternyata menunjukkan bahwa penderita DM tipe-2 lebih sering mengalaminya dibanding DM tipe 1.11 Pada DM tipe-2 kejadian denervasi otonomik kardiak berkaitan dengan adanya resistensi insulin, hiperinsulinemia dan obesitas. 57-59 Keadaan ini tentunya menjadi bahan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya patogenesis denervasi otonomik kardiak pada DM tipe 2, apakah oleh karena resistensi insulin atau karena disfungsi sel beta semata yang berujung juga pada hiperglikemia kronik.

2.5.2. Penatalaksanaan khusus

Secara umum tidak ada obat yang spesifik untuk DOK. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antioksidan -lipoic acid sebagai terapi awal pada DOK dini kelihatannya dapat memperlambat progresifitas neuropati. Pemakaian beta-bloker yang kardioselektif atau lipofilik dapat mengatur efek disfungsi otonom secara sentral atau perifer dengan cara melawan stimulus simpatik sehingga dengan demikian memperbaiki keseimbangan parasimpatik-simpatik. Penelitian yang menggunakan ACE-Inhibitor (quinapril), dengan maksud memperbaiki variabilitas denyut jantung, secara signifikan meningkatkan aktifitas parasimpatik setelah 3 bulan terapi. Tetapi hasil ini tidak didapatkan pada pemakaian ACE-Inhibitor lain. 33


(30)

Pengobatan untuk hipotensi ortostatik terdiri dari dua, yakni non farmakologis dan farmakologis. Non farmakologis meliputi : meningkatkan asupan garam dalam makanan, hindari diuresis pada malam hari, hindari pooling vena dengan menggunakan kaus kaki elastik pada siang hari. Terapi farmakologis, misalnya dengan 9- -fluorohydrocortisone suatu mineralokortikoid sintetik, dengan dosis awal 0,1 mg tablet dan bisa ditingkatkan 0,5 mg per hari. Obat lainnya seperti NaCl (enteric coated) 2 gr/hari, Fenilpropanolamin 12,5 mg, Yohimbin 2,5 mg atau Indometasin 25 mg. 60

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa kerusakan saraf pada binatang dan manusia yang menderita DM disebabkan karena berkurangnya mioinositol. Pemberian atau penambahan mioinositol dapat menaikkan kadarnya pada jaringan saraf, tetapi ini belum pernah dicobakan pada manusia. 8,20,60

Aldose reductase inhibitors (ARIs), suatu obat yang dapat memblok akumulasi sorbitol dikatakan dapat mencegah dan bahkan memperbaiki saraf yang rusak, tetapi percobaan klinis menunjukkan bahwa obat ini mempunyai efek samping yang besar dan belum tersedia kemasannya. 8,20

2.6. PROGNOSIS

Pasien dengan DOK biasanya mempunyai komplikasi DM yang lain, oleh sebab itu biasanya mempunyai prognosis yang jelek. Pasien-pasien yang mempunyai iskemia miokard tersamar, pemanjangan interval QT, berpredisposisi untuk terjadinya kematian tiba-tiba.


(31)

Neuropati otonomik simtomatik mempunyai prognosis angka harapan hidup 10 tahun adalah 27%. Penderita neuropati otonomik simtomatik mempunyai mortalitas lebih tinggi dibandingkan penderita neuropati otonomik asimtomatik disebabkan oleh komplikasi dan penyakit yang lebih lanjut. 61


(32)

BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Penyandang diabetes (diabetisi) rentan terhadap berbagai komplikasi

lanjut yang akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas dini.2 Komplikasi lanjut umumnya sudah mulai timbul rata-rata setelah 5-10 tahun menderita diabetes.3 Neuropati diabetik adalah salah satu dari komplikasi lanjut yang tersering dan sangat menyusahkan penyandang diabetes. Neuropati diabetik mengenai semua serabut saraf periferal sensorik dan motorik serta saraf-saraf otonom. 4 Tiga tipe utama neuropati diabetik yaitu polineuropati distal simetrik, polineuropati asimetrik, dan polineuropati otonomik.5

Neuropati otonomik diabetik adalah komplikasi yang paling jarang dikenali dan dimengerti meskipun komplikasi ini amat berpengaruh negatif terhadap kualitas dan kelangsungan hidup penderita.4,6 Neuropati otonomik kardiovaskular, yang merupakan bagian dari neuropati otonomik diabetik, terjadi akibat kerusakan serabut saraf otonom yang mempersarafi jantung dan pembuluh darah yang berakibat disfungsi kontrol frekuensi denyut jantung dan berbagai faal dinamik vaskular yang mengakibatkan hipotensi postural, intoleransi kerja fisik, kondisi kardiovaskular yang labil pada saat pembedahan dan iskemi/infark miokardiak yang terselubung. 7,8

Denervasi otonomik kardiak merupakan bagian dari neuropati otonomik kardiovaskular diabetik yang dapat menimbulkan takhikardi saat istirahat


(33)

(resting tachycardia), iskemi miokardiak terselubung (silent myocardial ischemic), dan aritmia jantung.8

Untuk menegakkan diagnosis denervasi otonomik kardiak cukup dengan melakukan 3 jenis tes atau pemeriksaan kardiovaskular yang sederhana yaitu pengukuran frekuensi denyut jantung dalam keadaan istirahat (mengetahui ada tidaknya resting tachycardia), variasi frekuensi denyut jantung dengan bernafas dalam serta Valsalva maneuver. Pengecualian pada penderita dengan retinopati proliferatif, dimana Valsalva

maneuver tidak dilakukan. Sebagai gantinya ialah nilai dari interval corrected QT (QTc). Diagnosis denervasi otonomik kardiak ditegakkan jika dua dari

ketiga tes di atas menunjukkan hasil abnormal atau borderline.47,61,62

Berdasarkan tes kardiovaskular dan populasi yang diteliti, prevalensi denervasi otonomik kardiak pada DM tipe-2 berbeda pada tiap-tiap penelitian. Penelitian prospektif selama 13 tahun oleh Freccero dan kawan-kawan dengan menilai interval R-R pada 51 pasien DM tipe-2 pada suatu sentra di Swedia mendapatkan denervasi otonomik kardiak sebanyak 65%. 11 Dari 621 penderita DM tipe-2 di Taiwan Chen HS dan kawan-kawan mendapatkan sebanyak 46,1% mengalami denervasi otonomik kardiak pada diabetisi yang menderita DM kurang dari 5 tahun dan 69,4% pada yang lebih dari 20 tahun.63 Penelitian multisentra dengan melibatkan populasi yang lebih besar mendapatkan prevalensi denervasi otonomik kardiak sebanyak 22% pada DM tipe-2 lanjut. 10 Sedangkan data dari Indonesia untuk penelitian sejenis sampai saat ini masih sedikit, umumnya dilakukan di satu sentra sekitar tahun 1980-an. dikutip dari 12 Seperti yang telah dipublikasikan oleh Hendra dkk di Semarang, Sanusi dkk di Ujung Pandang dan Lubis AR di Medan.40,41,42


(34)

Denervasi otonomik kardiak, disamping dipengaruhi usia dan lama menderita diabetes, juga dipengaruhi oleh kontrol diabetes. Kontrol diabetes jangka panjang yang jelek berperanan penting dalam mekanisme patogenesis komplikasi mikrovaskular termasuk denervasi otonomik kardiak.14 Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kontrol diabetes intensif, baik dengan obat hipoglikemik oral (OHO) maupun insulin dapat mengurangi kejadian neuropati otonomik kardiovaskular pada diabetisi.15,16 Namun begitu penelitian yang khusus membahas peranan OHO dan insulin sehubungan terjadinya denervasi otonomik kardiak pada diabetes masih sedikit.

Khurram dan kawan-kawan dalam suatu penelitian di Pakistan mendapatkan prevalensi denervasi otonomik kardiak pada 30% penderita DM tipe-2 yang sudah menderita diabetes lebih dari 10 tahun, dimana 32% pada kelompok yang diterapi dengan OHO dan 28% pada yang mendapat terapi insulin.43

Penelitian di Jerman yang diikuti selama 4 bulan menunjukkan adanya perbaikan denervasi otonomik kardiak terhadap 30 orang penderita DM tipe 2 yang mendapat terapi insulin dibandingkan yang mendapat OHO.64 Schnell dan kawan-kawan juga telah membuktikan dalam suatu penelitian prospektif bahwa terapi insulin intensif dapat mengembalikan denervasi otonomik kardiak secara parsial.65

Berlawanan dengan beberapa hasil penelitian di atas, Tovi dan kawan-kawan justru mendapatkan bahwa perbaikan denervasi otonomik kardiak tidak dijumpai setelah 1 tahun pemberian insulin walaupun kontrol metabolik penderita DM tipe 2 yang diterapi dengan insulin lebih baik dibandingkan mereka yang mendapat sulfonilurea.66 Seperti halnya Tovi, penelitian di


(35)

Finlandia dan Inggris mendapatkan adanya hiperinsulinemia pada penderita DM tipe-2 yang mengalami parasimpatetik neuropati.56,67,68 Hal ini tentunya menjadi kontroversial karena bila dilihat dari segi patogenesis terjadinya neuropati diabetik, insulin dikatakan berperan dalam kontrol diabetes dan faktor pertumbuhan saraf, sementara di sisi yang lain kelebihan insulin justru akan memperberat disparitas kontrol otonom yang terjadi pada penderita DM tipe-2. 23,69 Sepengetahuan penulis, sampai saat ini penelitian di Indonesia yang membahas kejadian denervasi otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2, khususnya membandingkan antara mereka yang mendapat terapi insulin dan OHO belum ada.

Tertarik akan hal ini, maka penulis ingin meneliti kejadian denervasi otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2 yang telah menderita DM selama 5 tahun atau lebih dengan membandingkan antara mereka yang selama ini mendapat terapi insulin dengan yang mendapat OHO.

3.2. PERUMUSAN MASALAH

Adakah perbedaan kejadian denervasi otonomik kardiak antara penderita DM tipe-2 yang mendapat terapi insulin dibanding OHO di Medan ?

3.3. HIPOTESIS

Ada perbedaan kejadian denervasi otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2 yang mendapat terapi insulin dibanding OHO di Medan.


(36)

3.4. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui adanya perbedaan dampak terapi dengan insulin atau OHO terhadap kejadian denervasi otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2 di Medan.

3.5. MANFAAT PENELITIAN

Dengan mengetahui angka kejadian denervasi otonomik kardiak pada penderita DM tipe-2 yang mendapat terapi insulin atau OHO, dapat diambil kebijaksanaan dalam menentukan pilihan terapi untuk mencegah terjadinya denervasi otonomik kardiak.

3.6. KERANGKA KONSEPSIONAL

Usia Kontrol diabetes Lama menderita DM

3.7. BAHAN DAN CARA 3.7.1. Desain penelitian.

Pemilihan sampel penelitian ini dilakukan secara purposive sampling 70

Penderita DM Tipe-2

Insulin OHO


(37)

3.7.2. Definisi operasional

a. Denervasi otonomik kardiak : bila pada subjek yang diteliti dijumpai 2 dari 3 tes denervasi otonomik kardiak menunjukkan hasil yang abnormal atau borderline.

b. Penderita DM tipe-2 : subjek penderita DM yang berdasarkan catatan rekam medik (status) pernah memberikan respon berupa penurunan kadar glukosa darah (KGD) dengan pemberian OHO. c. Penderita DM tipe-2 yang diterapi OHO : subjek DM tipe-2 yang

selama ini diterapi dengan OHO baik sebagai monoterapi maupun kombinasi dan belum pernah mendapat terapi insulin.

d. Penderita DM tipe-2 yang diterapi insulin : subjek DM tipe-2 yang hanya mendapat terapi insulin minimal sejak 3 bulan terakhir dengan rejim bervariasi (indikasi tergantung KGD) dan terapi insulin diberikan karena tidak menunjukkan respon penurunan KGD dengan OHO.51,56

e. Keterkendalian diabetik : dikategorikan sebagai terkendali baik bila HbA1C < 6,5% dan tidak terkendali baik bila HbA1C > 6,5%. dikutip dari 1 f. Gagal jantung : subjek DM tipe-2 yang secara klinis terbukti

mengalami gagal jantung saat tes dilakukan.

g. Aritmia jantung : subjek DM tipe-2 yang pemeriksaan dengan EKG menunjukkan adanya gangguan irama jantung.

h. Iskemik miokard : subjek DM tipe-2 yang secara klinis dan EKG dijumpai adanya tanda-tanda iskemik miokard.


(38)

3.7.3. Waktu dan tempat penelitian

Waktu penelitian antara bulan Januari-Maret 2007 di Poliklinik Divisi Endokrinologi dan Metabolisme Departemen Penyakit Dalam FK-USU / RSUP H.Adam Malik dan RS Dr. Pirngadi Medan.

3.7.4. Subjek penelitian

Penderita DM tipe-2 yang berobat jalan pada poliklinik Divisi Endokrinologi dan Metabolik RSUP. H.Adam Malik / RSUD Dr.Pirngadi Medan yang memenuhi kriteria penelitian.

3.7.5. Besar sampel 70

n1 = n2 = (z 2PQ + zβ√P1Q1+ P2Q2)2

(P1-P2)2

P1 : Proporsi DOK pada DM tipe-2 yang mendapat OHO ( menurut kepustakaan 43 ), didapat angka 30% = 0,3

P2 : Proporsi DOK pada DM tipe-2 yang diterapi insulin (menurut pertimbangan klinis penulis), didapat angka 10% = 0,1

Q = 1 – P

P = ½ (P1 + P2)

Z :  tingkat kemaknaan = 0,05 ; Z = 1,960 Z : power = 0,8 ; Z = 0,842


(39)

3.7.6. Kriteria yang diikutkan dalam penelitian (kriteria inklusi)

a. Penderita DM tipe-2 yang telah menderita DM selama 5 tahun atau lebih dan selama ini mendapat terapi insulin atau OHO.

b. Jenis kelamin pria atau wanita, usia antara 30 – 80 tahun.

c. Tidak merokok, minum kopi atau alkohol setidaknya 1 hari sebelum tes denervasi otonomik kardiak dilakukan. 69 Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed concern (surat persetujuan mengikuti penelitian).

3.7.7. Kriteria yang tidak diikutkan dalam penelitian (kriteria eksklusi)

a. Penderita dengan gagal jantung, aritmia jantung, iskemik miokard, gangguan elektrolit, riwayat penyakit serebrovaskular, pada saat tes denervasi otonomik kardiak dilakukan.

b. Mengkonsumsi obat-obatan yang secara langsung mempengaruhi irama jantung seperti digitalis, quinidin, beta bloker, antiaritmia, antiangina, simpatolitik dan vasodilator perifer.62

c. Penderita dengan hipoglikemi yang dibuktikan dengan nilai KGD <60 mg/dl.1

3.7.8. Prosedur penelitian

A. Pengumpulan data

Subjek penelitian adalah semua penderita DM tipe-2 yang telah memenuhi kriteria penelitian. Dilakukan anamnesis pribadi, keluhan-keluhan sehubungan penyakit/gangguan jantung bila ada, riwayat


(40)

(lama) menderita DM dan penyakit lainnya, penggunaan OHO atau insulin berikut konsumsi obat-obatan lainnya. Subjek dibagi atas 2 kelompok yakni yang mendapat terapi OHO dan yang belakangan ini hanya mendapat terapi insulin selama 3 bulan atau lebih. Subjek mengisi surat persetujuan penelitian kemudian dilakukan pemeriksaan fisik.

B. Cara kerja

Pada seluruh subjek dilakukan tes untuk mengetahui adanya denervasi otonomik kardiak, yakni :

1. Mengukur detak jantung setelah istirahat selama 5-10 menit dengan EKG. Abnormal bila > 100 detak/menit. 2. Variasi frekuensi denyut jantung (R-R interval) selama

bernafas dalam. Caranya pasien istirahat dengan posisi telentang, bernafas 6 kali/menit (5 detik inspirasi dan 5 detik ekspirasi), denyut jantung dimonitor dengan EKG. Dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan denyut jantung minimal. Perbedaan denyut jantung > 15 kali/menit normal, borderline bila 11-14 kali/menit dan abnormal bila < 10 kali/menit.

3. Menghitung nilai dari interval corrected QT (QTc) dengan menggunakan formula Bazets (QTc) = QT/√RR. Normal jika nilai QTc < 400 ms, borderline bila QTc 400-440 ms, sedangkan abnormal bila QTc > 440 ms. 9,13,14


(41)

Gambar 2. Perhitungan nilai QTc dari rekaman EKG

Diagnosis denervasi otonomik kardiak ditegakkan jika dua dari ketiga tes di atas menunjukkan hasil abnormal atau borderline.9,13,14

C. Pemeriksaan laboratorium

Pada seluruh subjek penelitian dilakukan pemeriksaan KGD sewaktu dan nilai HbA1c.

3.7.9. Kerangka Operasional

Subjek

Diabetisi sesuai kriteria penelitian

Diabetisi (>34 orang) dengan terapi insulin

≥ 3 bulan

Diabetisi (>34 orang) dengan terapi OHO

Dilakukan Test Denervasi Otonomik kardiak

Dilakukan Test Denervasi Otonomik kardiak


(42)

3.7.10. Analisa data

Seluruh data subjek dipaparkan dan ditabulasikan dalam jumlah (%) atau rerata ± SD (standar deviasi). Perbedaan rerata usia, lama menderita DM, kadar glukosa darah dan HbA1C dilakukan uji t tidak berpasangan jika data terdistribusi normal, jika tidak terdistribusi normal dilakukan uji Mann

Whitney. Korelasi antar variabel dengan menggunakan Pearson Correlation

untuk data yang terdistribusi normal dan Spearman Correlation untuk data yang tidak terdistribusi normal. Analisa variabel terapi, keterkendalian diabetik dan DOK menggunakan tabel 2x2 dengan menghitung nilai Rasio Odds

(Odds Ratio (OR) dan interval kepercayaan 95% (Confidence Interval 95%

(CI 95%). Analisa kebermaknaan statistik dengan menggunakan Pearson

Chi-square, Fisher’s exact test pada software SPSS 11. Kebermaknaan


(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

4.1.1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Januari 2007 sampai dengan Maret 2007 terhadap 74 orang diabetisi yang telah memenuhi kriteria penelitian. Subjek penelitian terdiri dari 36 orang yang selama ini mendapat terapi insulin dan 38 orang dengan OHO. Seluruhnya meliputi 47 orang pria dan 27 orang wanita dengan usia antara 30 - 80 tahun. Karakteristik dasar subjek penelitian dapat kita lihat pada tabel 2.

Tabel-2. Karakteristik dasar subjek penelitian

Insulin

Jumlah (n = 36)

OHO

Jumlah (n = 38) P Jenis Kelamin

Pria (orang) Wanita (orang)

24 23

12 15

Rerata usia (tahun) 57,31 ± 9,65 61,50 ± 8,73 0,054

Rerata lama menderita DM (tahun) 12,61 ± 5,07 12,34 ± 4,12 0,543

Rerata KGD sewaktu 3 bulan terakhir

(mg/dl) 175,86 ± 50,37 179,53 ± 87,11

0,102

4.1.2. Hasil penelitian dan analisa antar variabel

Pada penelitian ini kami mendapatkan sebanyak 50 orang (67,6%) yang mengalami DOK dari 74 orang subjek penelitian. Dari segi lama menderita DM dan nilai HbA1C dijumpai adanya perbedaan bermakna antara


(44)

mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak mengalami DOK. Hal ini selengkapnya dapat kita lihat pada tabel 3.

Tabel-3. Hasil penelitian berdasarkan ada tidaknya denervasi

Denervasi

Jumlah (n = 50)

Tidak Denervasi

Jumlah (n = 20) P

Rerata usia (tahun) 60,84 ± 8,18 56,58 ± 11,11 0,103

Rerata lama menderita DM (tahun) 13,60 ± 4,81 10,13 ± 2,93 0,001*

Rerata HbA1c (%) 8,36 ± 2,42 7,01 ± 1,66 0,019*

* signifikan : P < 0,05

Bila kita lihat dari segi usia, mereka yang mengalami DOK berusia rata-rata lebih tua dibanding mereka yang tidak mengalami DOK, tetapi perbedaan ini tidak bermakna (P = 0,103). Untuk mengetahui lebih jauh hubungan antara usia dengan kejadian DOK (dalam hal ini digunakan nilai QTc yang lebih dari 440 ms) digunakan uji statistik korelatif (uji korelasi Spearman). Dari hasil perhitungan statistik ternyata tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara usia dan kejadian DOK. Hal ini dapat kita lihat pada gambar 3.


(45)

50 60 70

USIA

440 460 480 500 Q Tc ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀

Gambar 3. Diagram baur hubungan antara usia dan nilai QTc

Pada gambar 3. di atas tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara usia dengan kejadian DOK (nilai QTc) (r = 0,025, P = 0,881).

Dari segi lama menderita DM dan nilai HbA1C dijumpai korelasi yang bermakna dengan kejadian DOK. Seperti terlihat pada gambar 4 dan 5 berikut ini.

QTc = 453,73 + 0,15 * usia


(46)

6 7 8 10 11 12 13 15 16 18 19 20

Lama DM

440 460 480 500 Q Tc ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀

Gambar 4. Diagram baur hubungan antara lama DM dan nilai QTc

Pada gambar 4. di atas dijumpai korelasi yang bermakna antara lama menderita DM dengan kejadian DOK (nilai QTc) (r = 0,390, P = 0,014).

r = 0,390


(47)

8.0 10.0 12.0 14.0

HbA1c

440 460 480 500 Q Tc ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀

Gambar 5. Diagram baur hubungan antara nilai HbA1C dan nilai QTc

Dari gambar 5. di atas dijumpai korelasi negatif yang bermakna antara nilai HbA1C dan kejadian DOK (nilai QTc) (r = - 0,439, P = 0,005).

r = -0,439


(48)

Dari 50 orang yang mengalami DOK, 20 orang (55%) berasal dari kelompok insulin dan 30 orang (79%) berasal dari kelompok OHO, seperti yang dapat kita lihat pada tabel.4

Tabel-4. Hasil penelitian berdasarkan terapi

Insulin

Jumlah (n = 36)

OHO

Jumlah (n = 38) P

Denervasi otonomik kardiak (orang) 20 30 0,032*

Rerata HbA1C (%) 7,839 ± 1,54 7,997 ± 2,82 0,089

* signifikan : P < 0,05

Disini dijumpai adanya perbedaan yang bermakna dalam hal terjadinya DOK pada mereka yang selama ini diterapi dengan insulin dibanding OHO (X2 = 4,616, P = 0,032). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel-5. Tabel 2x2 Insulin dan OHO sehubungan resiko terjadinya DOK

Denervasi Tidak

Denervasi Rasio Odds (interval keyakinan 95%) P

OHO 30 8

3 (1,08 - 8,3)

Insulin 20 16 0,032*

Jumlah 50 24

* signifikan : P < 0,05

Mereka yang mendapat terapi OHO 3 kali lebih beresiko untuk mengalami DOK dibanding insulin (Rasio Odds = 3 (interval keyakinan 95% 1,08 – 8,3).


(49)

Dari sisi keterkendalian glukosa darah (keterkendalian diabetik), ternyata juga dijumpai adanya perbedaan yang bermakna dalam hal terjadinya DOK. Subjek yang diabetes-nya terkendali baik, lebih sedikit secara bermakna mengalami DOK dibanding yang tidak terkendali baik (X2 = 9,505, P = 0,002). Hal ini dapat kita lihat pada tabel 6.

Tabel-6. Tabel 2x2 Keterkendalian diabetik sehubungan resiko terjadinya DOK

Denervasi Tidak

Denervasi

Rasio Odds (interval

keyakinan 95%) P

Tidak Terkendali baik (HbA1C > 6,5%) 42 12

5,25 (1,75 - 15,77)

Terkendali baik (HbA1C < 6,5%) 8 12 0,002*

Jumlah 50 24

* signifikan : P < 0,05

Mereka yang diabetes-nya tidak terkendali baik 5 kali lebih beresiko untuk mengalami DOK dibanding yang terkendali baik (Rasio Odds = 5,25) (interval keyakinan 95% 1,75 – 15,77).

4.2. PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dari 74 orang yang ikut penelitian didapatkan sebanyak 67,6% mengalami DOK. Angka ini ternyata tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan oleh peneliti lainnya, seperti Ewing dan kawan-kawan 60% 6, Hendra dan kawan-kawan di Semarang 62,2%, Sanusi dan kawan-kawan di Ujung Pandang 66,7%, Lubis AR di Medan 65,56% 40,41,42, begitu juga di suatu penelitian prospektif selama 13 tahun di Swedia yang


(50)

mendapatkan denervasi otonomik kardiak sebanyak 65% pada penderita DM tipe 2.11 Di sentra-sentra lain angka-angka ini lebih bervariasi. Khurram dan kawan-kawan di Pakistan mendapatkan prevalensi DOK pada 30% penderita diabetes, 28% pada kelompok yang diterapi dengan insulin dan 32% pada yang mendapat terapi anti diabetik oral.43 Barthelemy dan kawan-kawan mendapatkan penurunan variabilitas denyut jantung sebesar 51,8% pada DM tipe 2 yang menderita DM selama 11,8 ± 6,8 tahun.37 Weitzman dan kawan-kawan mendapatkan angka 86% DOK pada DM tipe 2 yang sudah lanjut.38 Penelitian Jermendy dan kawan-kawan di Hongaria dengan 28 penderita DM tipe 2 lama mendapatkan angka kejadian DOK sekitar 30%.39 Tampaknya perbedaan ini lebih berkaitan dengan jumlah populasi penelitian, perbedaan cara penilaian tes fungsi otonom kardiovaskular, kriteria yang digunakan menilai DOK dan lama pantauan.9

Denervasi otonomik kardiak merupakan komplikasi DM yang dipengaruhi oleh usia, lama menderita DM dan kontrol diabetes. 3,7,8

Pada penelitian ini, dari segi usia tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak mengalami DOK (P = 0,103), walaupun kelihatan yang mengalami DOK lebih tua (60,84 ± 8,18 tahun) dibanding yang tidak mengalami DOK (56,58 ± 11,11 tahun) (tabel.3). Kemudian kami mencoba mencari korelasi antara umur dan kejadian DOK dengan menilai QTc. Kami menggunakan nilai QTc oleh karena nilai QTc selain sebagai penanda keparahan suatu DOK juga merupakan prediktor yang potensial untuk suatu kejadian aritmia jantung dan kematian mendadak pada pasien DM yang mengalami DOK.71,72 Secara statistik, dengan uji korelasi Spearman, tampak bahwa kejadian DOK meningkat


(51)

dengan semakin meningkatnya umur, tetapi peningkatan ini tidak berkorelasi bermakna (r = 0,025, P = 0,881) (gambar 3). Hasil ini sama seperti yang didapat oleh Sanusi dan kawan-kawan di Ujung Pandang.41 Ini bisa terjadi oleh karena beberapa hal berikut, antara lain seperti penderita DM umumnya tidak pernah tahu kapan pastinya mereka menderita DM dan banyak di antaranya waktu terdiagnosis telah disertai berbagai komplikasi kronis sehingga disini bisa kita jumpai mereka yang berusia relatif muda justru mengalami DOK. Kemudian pada penelitian ini umur subjek yang ikut penelitian, secara kebetulan terdistribusi normal, artinya tidak dijumpai perbedaan dari segi umur pada mereka yang mendapat terapi insulin atau OHO demikian juga hasil pemeriksaan DOK.

Dari segi lama menderita DM, dijumpai adanya perbedaan yang bermakna antara mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak mengalami DOK. Mereka yang mengalami DOK lebih lama menderita DM (13,60 ± 4,81 tahun), sedang yang tidak mengalami DOK (10,13 ± 2,93) dengan nilai P = 0,001 (tabel 3) Lamanya menderita DM juga berkorelasi bermakna dengan nilai QTc, yang kami uji dengan korelasi Pearson, didapatkan hasil (r = 0,390, P = 0,014) (gambar.4). Kesimpulan ini kelihatan seiring dengan penelitian di Taiwan, dimana dari 621 orang penderita DM tipe-2, sebanyak 46,1% mengalami denervasi otonomik kardiak pada diabetisi yang menderita DM kurang dari 5 tahun dan 69,4% pada yang lebih dari 20 tahun.63 Hal ini dapat kita pahami oleh karena semakin lama seseorang menderita DM, tentu akan semakin banyak komplikasi jangka panjang yang timbul. Adanya DOK sebenarnya merupakan penanda adanya komplikasi kronik lainnya.61


(52)

Pada penelitian ini, juga dijumpai adanya perbedaan yang bermakna untuk keterkendalian (kontrol) diabetik antara mereka yang mengalami DOK dibanding yang tidak mengalami DOK. Kontrol diabetes dinilai dari HbA1C. Mereka yang mengalami DOK memiliki nilai HbA1C yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak mengalami DOK (8,36 ± 2,42% vs 7,01 ± 1,66%, P = 0,019) (tabel 3). Bila dilakukan uji statistik secara korelatif dengan uji korelasi Spearman hubungan antara nilai HbA1C dengan nilai QTc, ternyata dijumpai korelasi negatif yang bermakna antara nilai HbA1C dengan nilai QTc (r = - 0,439, P = 0,005) (gambar 5). Artinya semakin rendah nilai HbA1C atau dengan perkataan lain semakin terkontrol diabetes seseorang maka semakin kecil kemungkinan untuk mengalami DOK. Hal ini karena komplikasi jangka panjang diabetes sangat terkait dengan kontrol diabetes.15

Pada penelitian ini didapatkan 67,6% subjek mengalami DOK, dimana 55% diantaranya adalah mereka yang selama ini mendapat terapi insulin dan 79% adalah mereka yang selama ini mendapat OHO. Nilai rerata HbA1C kelompok insulin lebih rendah (7,839 ± 1,54%) dibanding kelompok OHO (7,997 ± 2,82%), tetapi perbedaan ini tidak bermakna (P = 0,089) (tabel 4). Ini sebenarnya secara kebetulan menggambarkan mereka yang ikut penelitian, baik dari kelompok insulin maupun OHO memiliki kontrol diabetes yang relatif sama.

Dapat kita lihat bahwa ada perbedaan bermakna dalam hal terjadinya DOK pada mereka yang mendapat terapi insulin dibanding yang mendapat OHO. Kejadian DOK lebih sedikit pada mereka yang mendapat terapi insulin dibanding OHO (P = 0,032). Mereka yang mendapat terapi OHO 3 kali lebih beresiko untuk mengalami DOK dibanding insulin (Rasio Odds = 3 (interval


(53)

keyakinan 95% 1,08 – 8,3) (tabel 5). Ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab keadaan ini di antaranya karena insulin mempunyai efek yang cepat dalam menurunkan kadar glukosa darah, begitu juga HbA1C, dibanding OHO. Selain itu keunggulan lain dari insulin dibanding OHO ialah insulin mempunyai efek anti inflamasi, faktor pertumbuhan saraf dan disebut-sebut juga insulin dapat menurunkan produksi radikal bebas dan stres oksidatif, dimana semua faktor tersebut dalam suatu mekanisme yang kompleks berperanan dalam terjadinya neuropati.17,18, 22,26

Subjek yang mengalami DOK adalah mereka yang diabetes-nya tidak terkendali dengan baik. Subjek yang diabetes-nya terkendali baik, lebih sedikit secara bermakna mengalami DOK dibanding yang tidak terkendali baik (P = 0,002). Secara keseluruhan terlihat bahwa mereka yang diabetes-nya tidak terkendali baik 5 kali lebih beresiko untuk mengalami DOK dibanding yang terkendali baik (Rasio Odds 5,25 (interval keyakinan 95% 1,75 – 15,77) (tabel 6). Seperti kita ketahui, komplikasi diabetes berkaitan erat dengan kontrol diabetes. Kontrol diabetes yang jelek akan berujung pada percepatan progresifitas komplikasi jangka panjang, baik itu mikroangiopati, makroangiopati, nefropati maupun neuropati. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kontrol diabetes yang ketat, dapat mengurangi kejadian neuropati otonomik kardiovaskular pada diabetisi.15,16

Dengan demikian yang terpenting sebenarnya dalam hal ini ialah bagaimana menentukan pilihan terapi terbaik untuk mencapai penurunan HbA1C sampai target kontrol diabetes terkendali baik (treat to target) karena makin rendah HbA1C yang dicapai akan makin menurunkan angka komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular pada pasien DM tipe-2 sesuai dengan


(54)

apa yang diharapkan dari penelitian UKPDS, DCCT dan Steno-2.15,17,18,51-54 Dalam penelitian ini terkesan insulin lebih unggul dibanding OHO terutama dalam hal penurunan resiko terjadinya DOK.

Meskipun begitu, kita dapat menemukan beberapa hal yang menjadi kelemahan dalam penelitian ini, antara lain :

1. Tidak diketahui kapan pastinya seseorang itu menderita DM, oleh karena yang datang berobat adalah mereka yang sudah mengalami komplikasi DM.

2. Mereka yang mendapat terapi insulin adalah mereka yang sebelumnya mendapat OHO dengan berbagai kombinasi politerapi, namun karena tidak berespon dalam hal penurunan kadar glukosa darah, diganti dengan insulin. Maknanya sekilas, mereka ini tentu kontrol diabetesnya sangat jelek dibanding yang mendapat OHO. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian cohort yang memasukkan unsur-unsur mereka yang sejak dini mendapat terapi insulin maupun OHO dengan kontrol diabetes yang sama.


(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

5.1.1. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 67,6% penderita DM tipe-2 yang sudah menderita DM selama 5 tahun atau lebih mengalami denervasi otonomik kardiak, dimana 55% di antaranya selama ini mendapat terapi insulin dan 79% OHO.

5.1.2. Denervasi otonomik kardiak selain dipengaruhi oleh lama menderita DM juga sangat dipengaruhi oleh keterkendalian diabetes.

5.1.3. Insulin terkesan lebih unggul dibanding OHO dalam penurunan resiko kejadian DOK pada penderita DM tipe-2.

5.2. SARAN

5.2.1. Pada mereka dengan diabetes yang tidak terkendali baik sudah seharusnya mendapat terapi insulin lebih dini dalam rangka mengantisipasi terjadinya DOK serta berbagai penyulit lanjut lainnya. 5.2.2. Perlu dilakukan deteksi sedini mungkin akan adanya DOK dengan

pemeriksaan tes kardiovaskular rutin pada setiap penderita DM.

5.2.3. Untuk mendukung penelitian ini sebaiknya dilakukan penelitian cohort yang memasukkan unsur-unsur penderita DM tipe 2 yang sejak dini


(56)

mendapat terapi insulin maupun OHO dengan keterkendalian diabetes yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. 2006.

2. Foster DW. Diabetes mellitus. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, eds. Harrison’s principles of internal medicine. Vol.2, 13th ed. New York: Mc Graw-Hill; 1994.1979-2000.

3. Nathan DM. Long-term complications of diabetes mellitus. N Eng J Med 1993; 328: 1676-85.

4. Vinik AI, Maser RE, Mitchell BD, Freeman R. Diabetic autonomic neuropathy. Diabetes Care 2003; 26: 1553-79.

5. Vinik AI, Holland MT, Le Beau JM, Liuzzi FJ, Stansberry KB, Colen LB. Diabetic Neuropathies. Diabetes Care 1992; 15: 1926-75.

6. Ewing DJ, Clarke BF. Diabetic autonomic neuropathy: present insight and future Prospects. Diabetes Care 1986; 9: 648-65.

7. Freeman R. Cardiovascular autonomic neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PK, eds. Diabetic neuropathy. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders; 1999. 541-4.

8. Vinik AI, Pittenger GL, McNitt P, Stansberry KB. Diabetic neuropathies, an overview of clinical aspects, pathogenesis and treatment. In : Leroith D, Taylor SI, Olefsky JM, eds. Diabetes mellitus, a fundamental


(57)

and clinical text. 2nd ed. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins ; 2000. 910-28.

9. Maser RE, Mitchell BD, Vinik AI, Freeman R. The association between cardiovascular autonomic neuropathy and mortality in individual with diabetes, a meta-analysis. Diabetes Care 2003; 26: 1895-1901.

10. Neil HAW, Thompson AV, John S, McCarthy ST, Mann JI. Diabetic autonomic neuropathy: the prevalence of impaired heart rate variability in a geographically defined population. Diabet Med 1989; 6: 20-4.

11. Freccero C, Svensson H, Bornmyr S, Wollmer P, Sundkvist G. Sympathetic and parasympathetic neuropathy are frequent in both type 1 and type 2 diabetic patients. Diabetes Care 2004; 27: 2936-41.

12. Rovina, Haribowo B. Hubungan neuropati otonom jantung dengan lama DM dan retinopati diabetik pada penderita DM tipe 2. Dalam: Naskah lengkap pertemuan ilmiah tahunan nasional endokrin. 1999. 377-83.

13. Vinik AI. Diagnosing Diabetic Autonomic Neuropathy. [Cited 2004 Oct 12]. Available from 14. Jermendy G. Clinical consequences of cardiovascular autonomic

neuropathy in diabetic patients. Acta Diabetol 2003; 40: S370-S4. 15. The Diabetes Control and Complications Trial Research Group (1998).

The effect of intensive diabetes therapy on measures of autonomic nervous system function in the Diabetes Control and Complications Trial (DCCT). Diabetologia; 41: 416-23.


(58)

16. Gaede P, Vedel P, Larsen N, Jensen GV, Parving HH, Pedersen O. Multifactorial intervention and cardiovascular disease in patients with type 2 diabetes. N Engl J Med; 348: 383-93.

17. UKPDS-33. Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type-2 diabetes. Lancet 1998; 352:837-53.

18. Alvarsson M, Sundkvist G, Lager I, et al. Beneficial effects of insulin versus sulphonylurea on insulin secretion and metabolic control in recently diagnosed type-2 diabetic patients. Diabetes Care 2003; 26:2231-6.

19. ISNO Dutch Neuromuscular Research Support Centre. [Cited 2007 May 20]. Available from : http://www.isno.nl/sorteer/ziekten/?id=41

20. Greene DA, Lattimer SA, Sima AA. Are disturbances of sorbitol, phosphoinositide and Na+-K+-ATPase regulation involved in pathogenesis of diabetic neuropathy? Diabetes 1988; 37: 688-93.

21. Cameron NE, Cotter MA. Metabolic and vascular factors in the pathogenesis of diabetic neuropathy. Diabetes 1997; 46(suppl 2): S31-S7.

22. Low PA, Nickander KK, Tritschler HJ. The roles of oxidative stress and antioxidant treatment in experimental diabetic neuropathy. Diabetes 1997; 48(suppl 2): S38-S42.

23. Hoeldtke RD, Bryner KD, McNeil DR. Nitrosative stress, uric acid and peripheral nerve function in early type-1 diabetes. Diabetes 2002; 51: 2817-25.


(59)

24. Vinik AI, Erbas T, Tae S, Stansberry K, Scanelli JA, Pittenger GL. Dermal neuro vascular dysfunction in type-2 diabetes. Diabetes Care 2001; 24: 1468-75.

25. Pittenger GL, Malik RA, Burcus N, Boulton AJ, Vinik AI. Spesific fiber deficits in sensorimotor diabetic polyneuropathy correspond to cytotoxicity against neuroblastoma cells of sera from patients with diabetes. Diabetes Care 1999; 22: 1839-44.

26. Apfel SC, Arezzo JC, Brownlee M, Federoff H, Kessler JA. Nerve growth factor administration protects against experimental diabetic sensory neuropathy. Brain Res 1994; 634: 7-12.

27. Horrobin DF. Essential fatty acids in the management of impaired nerve function in diabetes. Diabetes 1997; 46(suppl.2): S90-S3.

28. Vincenti AM, Brownlee M, Russel JW. Oxidative stress and programmed cell death in diabetic neuropathy. Ann N Y Acad Sci 2002; 959: 368-83.

29. Pacher P, Liaudet L, Soriano FG, Mabley JG, Szebo E. The role of poly (ADP-ribose) polymerase activation in the development of myocardial and endothelial dysfunction in diabetes. Diabetes 2002; 51: 514-21. 30. Du X, Matsumura T, Edelstein D. Inhibition of GADPH activity by poly

(ADP Ribose) polymerase activates three major pathway of hyperglycemic damage in endothelial cells. J Clin Invest 2003; 112: 1049-57.

31. Hilsted J, Low PA. In: Low PA, ed. Clinical autonomic disorders. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott-Reaven; 1997. 487-508.


(60)

32. Vinik AI, Erbas T, Pfeifer MA, Feldman EL, Stevens MI, Russell JW. Diabetic autonomic neuropathy. In: Porte D, Sherwin RS, Baron A, eds. Ellenberg and Rifkin’s Diabetes Mellitus. 6th ed. New York: McGrawHill; 2003. 789-804.

33. Ewing DJ, Clark BF. Diagnosis and management of diabetic autonomic neuropathy. BMJ 1982; 285:916

34. Simmons DA. Pathogenesis of diabetic neuropathy. In : Kahn CR, Weir GC, eds. Joslins Diabetes Mellitus. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1994. 665-75.

35. Moran A, Palmas W, Field L, Bhattarai J, Schwartz JE, Weinstock RS, et al. Cardiovascular autonomic neuropathy is associated with microalbuminuria in older patients with type 2 diabetes. Diabetes Care 2004; 27: 972-7.

36. Jacob G, Costa F, Biaggioni I. Spectrum of autonomic cardiovascular neuropathy in diabetes. Diabetes Care 2003; 26: 2174-80.

37. Barthelemy B, Delarue J, Babuty D, Casset-Senson D, Marchal C, Fauchler L et al. Cardiac abnormalities in a prospective series of 40 patients with type-2 diabetes. Arch Mar Coeur Vaiss 2000; 93: 253-61. 38. Weitzman S, Buskila D, Boehm R, Eyal A, Gross J, Sukenik S.

Assessment of diabetic autonomic neuropathy by heart rate monitoring. Harefuah 1990; 118: 197-8.

39. Jermendy G, Toth L, Voros P, Kiraly M, Perenyr J, Kammerer L. Impairment of cardiorespiratory reflexes and it’s association with distal somatic neuropathy in diabetic patients free from clinical symptoms of autonomic neuropathy. Exp Clin Endocrinol 1990; 96: 199-206.


(61)

40. Hendra P, Soetardjo, Djokomoeljanto R, Boedhidarmojo R. Upaya peningkatan kecermatan diagnostik neuropati otonom diabetik dengan standarisasi rasio E:I pada berbagai kelompok umur orang Indonesia. Naskah Lengkap Kopapdi VII. Ujung Pandang 1987: 319-23.

41. Sanusi H, Roesli R, Sudaryo R, Adam JMF. Neuropati autonom pada diabetes melitus. Naskah Lengkap Perkeni I. Jakarta 1986: 305-9.

42. Lubis AR. Kejadian neuropati otonomik diabetika pada penderita diabetes melitus tipe II. Tesis. Medan: Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Dalam Fak.Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 1989.

43. Khurram M, Khar HB, Malik MF, Rehman F, Javed S, Hassan Z, et al. Evaluation of cardiac denervation in patients with long-standing diabetes. JCPSP 2001;12: 12-5.

44. Kaye JM, Corral RJ, Lightman SL. A new test for autonomic cardiovascular and neuroendocrine responses in diabetes mellitus: evidence for early vagal dysfunction. Diabetologia 2005; 48: 180-6. 45. Taskiran M, Hansen TF, Rasmussen V, Larsson HBW. Decreased

myocardial perfusion in diabetic autonomic neuropathy. Diabetes 2002; 51: 3306-10.

46. Gonin JM, Kadrofske MM, Schmaltz S, EJ Bastyr, Vinik AI. Corrected Q-T interval prolongation as diagnostic for assessment of cardiac autonomic neuropathy in diabetes mellitus. Diabetes Care 1990; 13: 68-71.

47. Whitsel EA, Boyko EJ, Siscovick DS. Reassessing the role of QTc in the diagnosis of autonomic failure among patients with diabetes. Diabetes Care 2000; 23: 241-7.


(62)

48. Jermendy G, Toth L, Voros P, Kiraly M, Perenyr J, Kammerer L. Impairment of cardiorespiratory reflexes and it’s association with distal somatic neuropathy in diabetic patients free from clinical symptoms of autonomic neuropathy. Exp Clin Endocrinol 1990; 96: 199-206.

49. Larsen JR, Sjoholm H, Berg TJ, et al. Eighteen years of fair glycemic control preserves cardiac autonomic function in type 1 diabetes. Diabetes Care 2004; 27: 963-6.

50. Gottsater, Kangro M, Sundkvistt. Early parasympathetic neuropathy associated with elevated fasting plasma c-peptide concentrations and late parasympathetic neuropathy with hyperglycaemia and other microvascular complications. Diabetic Medicine 2004; 21: 1304-9.

51. Turner RC, Cull CA, Frighi V, Holman RR. Glycemic control with diet, sulfonylurea, metformin or insulin in patients with type 2 diabetes mellitus: progressive requirement for multiple therapies (UKPDS 49): UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Jama 1999; 281: 2005-12.

52. De Grauw WJC, Van de Lisdonk EH, Van Gerwen WHEM, Van den Hoogen HJM, Van Weel C. Insulin therapy in poorly controlled type 2 diabetic patients: does it affect quality of life? Br J Gen Pract 2001; 51: 527-32.

53. Ilkova H, Glaser B, Tunckale A, et al. Induction of long-term glycemic control in newly diagnosed type-2 diabetes patients by transient intensive insulin treatment. Diabetes Care 1997; 20:1353-6.


(1)

Selisih =

3. QTc = QT/√R-R =

Kesimpulan :

Lampiran 5. Daftar Riwayat Hidup

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : dr. O K. Yulizal Tempat / Tanggal lahir : Medan / 14 Juli 1975

Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan 140 Tj.Morawa

Deli Serdang – 20362.

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri 7 Rantau Prapat : Ijazah tahun 1988 2. SMP Negeri 2 Rantau Prapat : Ijazah tahun 1991 3. SMA Negeri 1 Medan : Ijazah tahun 1994 4. Fakultas Kedokteran USU Medan : Ijazah tahun 2000

III. PENGALAMAN KERJA


(2)

2. Dokter Konsultan Penyakit Dalam pada RS PN III Sri Pamela Tebing Tinggi, Agustus 2005 s/d Nopember 2005

3. Dokter di Klinik VCT / Pusyansus HIV/AIDS RSUP H. Adam Malik Medan, 2006 - sekarang

IV. KEANGGOTAAN PROFESI 1. Ikatan Dokter Indonesia

2. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia ( PAPDI)

V. KARYA ILMIAH DI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

1. Yulizal, OK, Sukendar TC, Lubis AR, Bustami Z, Nasution SR, Nasution MY, Lubis HR. Profil penderita gagal ginjal kronik yang menjalani rawatan di bangsal penyakit dalam RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2000-2002. Pertemuan Tahunan Perkumpulan Nefrologi Indonesia (Pernefri) Palembang, 03 - 05 Oktober 2003.

2. Yulizal, OK, Nasution HH. Gangguan psikosomatik reaksi kardiovaskular dengan gejala anksietas dan depresi. Kongres Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (Kopapdi) XIII Palembang, 05 - 09 Juli 2006.

VI. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Peserta Simposium Penatalaksanaan Diabetes dan Hipertensi Masa Kini dan Masa Datang. Medan, 28 Mei 2000.


(3)

2. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan II (PIT-II) Bagian / SMF Penyakit Dalam FK-USU. Medan, 25-27 Januari 2001.

3. Peserta Simposium AIIRA: Perspektif Baru Dalam Penatalaksanaan Hipertensi. Medan, 03 Maret 2001.

4. Peserta Simposium Antihypertension: Effect Beyond Blood Pressure Control. Medan, 24 Maret 2001.

5. Peserta KONAS IV PERALMUNI. Medan, 29 Maret – 01 April 2001. 6. Peserta Simposium New Opinion in Treating the Dangers of Glucose

Spikes. Medan, 02 September 2001.

7. Peserta KONAS-X PGI, PEGI dan Pertemuan Ilmiah Nasional-XI PPHI. Medan, 09-13 September 2001.

8. Peserta Simposium New Direction in Neuropathic Pain and Depression. Medan, 22 September 2001.

9. Peserta Annual Metting Nephrology 2001. Medan, 01-03 November 2001.

10. Peserta Simposium Menopause. Medan, 31 Januari 2002

11. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan III (PIT-III) Bagian / SMF Penyakit Dalam FK USU. Medan, 07 - 09 Maret 2002.

12. Peserta Update Lipid Symposium. Medan, 06 April 2002.

13. Peserta Simposium Pengenalan dan Penatalaksanaan Osteoporosis Ditinjau dari Berbagai Aspek. Medan, 01 Juni 2002.

14. Peserta Kongres Nasional IX Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Medan, 07-10 Juli 2002.

15. Peserta Simposium New Insight into Coxib Therapy. Medan, 10 Agustus 2002.


(4)

16. Peserta Simposium A New Approach to asses the Antihypertensive Therapy : How do AIIRAs Meet the Challenge ? Medan, 10 Agustus 2002.

17. Peserta Simposium Kursus Kedaruratan Medik I bidang Penyakit Dalam. Medan, 21 September 2002.

18. Peserta Launching Simposium The Most Potent Antihistamin. Medan 08 Februari 2003

19. Peserta Simposium Penatalaksanaan Osteoporosis Terkini. Medan, 22 Februari 2003.

20. Peserta DHF Course. Medan, 03 Maret 2003.

21. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan IV (PIT-IV) Bagian / SMF Penyakit Dalam FK USU. Medan, 06-08 Maret 2003.

22. Peserta Seminar Ilmiah TB-2004 Dalam Rangka Memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia 2003. Medan, 29-30 Maret 2003.

23. Peserta KONAS-VI PERKENI dan KONKER-VI PERSADIA. Medan, 20-23 April 2003.

24. Peserta Simposium Current and Advanced Management of Gastritis and Gastric Ulcer. Medan, 05 Juni 2003.

25. Peserta PIT PAMKI - PIN PETRI, PERPARI dan PERALMUNI. Medan 19-20 Juli 2003.

26. Pembicara dan Peserta Annual Meeting Nephrology 2003. Palembang, 03-05 October 2003.

27. Peserta Simposium Heart, Brain and Kidney Protection, Bagian Kardiologi FK-USU. Medan, 25 Oktober 2003.


(5)

28. Peserta Simposium The 2nd New Trend in Cardiovascular Management. Medan, 05-06 Desember 2003.

29. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan V (PIT-V) Bagian / SMF Penyakit Dalam FK-USU, 04-06 Maret 2004.

30. Peserta Simposium Putting The Patients First: A New Paradigm in Treatment of Erectile Dysfunction. Medan, 14 Maret 2004.

31. Peserta Simposium Pathophysiology and Clinical Management of Pain. Medan, 18 Maret 2004.

32. Peserta Simposium Overactive Bladder : Exposing The Hidden Problem. Medan, 20 Maret 2004.

33. Peserta Safari Nasional PERALMUNI 2004. Medan, 24 April 2004. 34. Peserta Seminar TB 2004 dalam rangka memperingati hari TB sedunia

2004. Medan, 24-25 April 2004.

35. Peserta Simposium Rational Approach in Management of Hypertension. Medan, 19 Juni 2004.

36. Peserta Simposium Mild Cognitive Impairment Practical Guideline and Treatment Strategies. Medan, 26 Juni 2004.

37. Peserta Simposium NSAID Gastropathy. Medan, 03 Juli 2004.

38. Peserta Simposium Management of Diabetic Dyslipidemia. Medan, 28 Agustus 2004.

39. Peserta Konsensus Nutrisi Enteral. Medan, 11 September 2004.

40. Peserta Gastroentero-hepatologi Update II 2004. Medan, 17 – 18 September 2004.

41. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VI (PIT-VI) Bagian / SMF Penyakit Dalam FK-USU. Medan, 03-05 Maret 2005.


(6)

42. Peserta Simposium The 3rd New Trend Cardiovascular Management. Medan, 06-08 Juni 2005.

43. Peserta Simposium Diabetes Management Update 2005. Medan, 23 Juli 2005.

44. Peserta Safari Nasional PERALMUNI - II 2005. Medan, 30 Juli 2005. 45. Peserta Launching Symposium Olmetec Experience the Zone. Medan

14 Januari 2006.

46. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VII (PIT-VII) Departemen / SMF Penyakit Dalam FK-USU. Medan, 02-04 Maret 2006.

47. Peserta Simposium Antitrombotik. Medan,18 Maret 2006.

48. Peserta The 11th National Congress of Indonesian Heart Association (NCIHA). Medan, 19-22 April 2006.

49. Pembicara dan Peserta pada Konas Papdi XIII. Palembang, 06 – 09 Juli 2006.

50. Peserta Symposium Integrated Clinical Management of Patients at High Risk of Vascular Events. Medan, 25 November 2006.

51. Peserta Pertemuan Ilmiah IDI Cabang Medan. Medan, 13 Januari 2007.

52. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VIII (PIT-VIII) Departemen / SMF Penyakit Dalam FK-USU. Medan, Maret 2007.


Dokumen yang terkait

Hubungan Penyakit Ginjal Kronis dengan Kondisi Higiene Oral pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Stabil di RSUP H.Adam Malik Medan

1 76 115

Mukotis Oral Pada Penderita Kanker Nasofaring Yang Mendapat Kemoterapi 5-Fluorouracil (Laporan Kasus)

0 29 40

Perbandingan Kualitas Hidup dengan SF-36 pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang Menggunakan Terapi Insulin dengan yang Menggunakan Obat Hipoglikemik Oral di RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2015

4 45 174

KADAR GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DAN INSULIN POSTPRANDIAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II TERKENDALI DAN TIDAK TERKENDALI DENGAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL.

2 11 59

Pola Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral dan Insulin pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Inap di Rumah Sakit Adi Husada Kapasari Surabaya Se Tahun 2007 - Ubaya Repository

0 0 1

Pola Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral, Insulin dan Obat Antihipertensi pada Penderita Nefropati Diabetik yang Menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit Adi Husada Undaan Wetan Surabaya pada Tahun 2003-2004 - Ubaya Repository

0 0 1

Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Terhadap Ketercapaian Terapi Pasien DM Tipe 2 di Rumah Diabetes Ubaya yang Mendapat Terapi Insulin - Ubaya Repository

0 0 2

Hubungan Health Literacy dengan Masalah Terkait Obat Pasien DM Tipe 2 yang Mendapat Terapi Insulin di Rumah Diabetes Ubaya Ubaya Repository

0 0 2

Terapi Denervasi Ginjal pada Pasien Hipertensi Resisten

0 0 7

EEG AWAL TERAPI SEBAGAI PREDIKTOR KEKAMBUHAN PADA PENDERITA EPILEPSI YANG MENDAPAT TERAPI OBAT ANTIEPILEPSI

0 0 5