Karakterisasi Tanah Berliat Aktivitas Rendah dan Pengaruh Besi Oksida terhadap Beberapa Sifat Tanah

PENDAHULUAN

Latar Belalraav Penelitian
Tanah di Indonesia sebagian besar terdiri dari tanah merah (Soepraptohardjo, 1961). Tanah tersebut didefinisikan sebagai tanah yang mernpunyai hue 5 R
hingga lOYR, dan batas nilai serta kroma antara dua dan delapan. Selanjutnya
Soepraptohardjo (1961) mengelompokkan tanah tersebut menjadi empat jenis tiulah,
yaitu Podsoti Merah Kuning, Latosol. Lateritik, dan Mediteran Merah Kuning.
Dari segi individu tanah, tiga jenis tanah yang pertitma telah dikenal sebagai tanah
bermasalah, yaitu tanah yang mempunyai beberapa sifat sebagai faktor pembatas
berkaitan dengan produktivitasnya untuk usaha pertanian. Pada ha1 luas tanah tersebut menurut Driessen dan Soepraptohardjo (1974) hampir 50 juta hektar yang tersebar di semua pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian

Jaya; di samping pulau-pulau tertentu lainnya.
Pada sisi lain, perkembangan penduduk, ekonomi dan industri daiam tiga
dasawarsa belakangan ini cukup pesat yang konsekuensinya banyak memerlukan
lahan. Ironinya bagi pembangunan pertanian, lahan yang digunakan untuk keperluan
tersebut termasuk lahan subur. W a n produktif sangat deras diionversi ke penggunaan non-pertanian seperti pemukiman, perdagaagan, industri, sarana jalan dan olah
raga dan lain-lain. Akibatnya Luas tanah subur semakin menciut, dan dapat mengganggu produksi pertanian. Padahal, hasil usaha pertanian semakin penting untuk
menunjang kebutuhan pokok dalam negeri, sebagai barang komoditi ataupun soko-

guru industri pertanian. Untuk mempertahankan dan mengembangkan usaha tersebut, para ahli mulai mengdihkan perhatiannya terhadap lahan kering, yang sebagian besar merupakan tanah merab bermasalah. Dengan luas yang sangat besar,
tanah tersebut merupakan harapan utama untuk pengembangan pertanian, walaupun

tantangannya akan semakin berat.

Dalam Sakurai (1989) diiemukakan bahwa kendala utama tanah merah di
daerah tropik lebih bersifat kimiawi daripada fisik. Hal ini berkaitan erat dengan
proses hancuran iklim yang intensif. Selanjutnya Sakurai (1989) menerangkan bahwa

bahan tanah cenderung didominasi oleh liat bermuatan variabel. Jenis liat utamanya

adalah mineral liat tipe 1:1 dan liat oksida dan atau hidroksida. Pada keadaan lapang
mineral-mineral tersebut umumnya mempunyai muatan permukaan negatif yang
rendah (Uehara dan Gilman. 1981). Kapasitas tukar kation yang dimilikinya demikian rendah, sehingga aktivitasnya yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman
juga rendah. Liat demikian disebut sebagai liat aktivitas rendah (LAR) dan tanah
yang didominasi LAR dapat disebut tanah-LAR (lowactiviry clay soik).
Tanah-LAR menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Srafl,

1975; 1992)

mencakup tanah yang bersifat oksik, berhorison kandik atau oksik. Ini menunjukkan
bahwa M e r i s t i k tanah-LAR cukup bervariasi. Ciri utamanya adalah KTK liat
1 1 6 m e per IOOg liat, dan KTK efektif 1 1 2 m e per lOOg liat. Salah satu komponen

LAR pada tanah merah adalah besi oksida. Komponen ini menurut Schwertmann dan
Taylor (1989) merupakan penjerap yang efisien bagi: (1) anion inorganik seperti
silikat, fosfat, dan molihdat; (2) anion organik dan atau molekul antara lain sitrat,

asam humik dan fulvik, dan bioside; (3) kation-kation -rti
CO+

+

~ n + + , CU+ +,

sebagai unsur hara esensial. Besi oksida juga &pat mempengaruhi struktur

tanah melalui pembentukan agregat dan sementasi, serta warna tanah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, besi oksi& sedikit banyak mampu menentukan sifat fisik, kimia, maupun kesuburan tanah. Pemahaman yang seksama
terhadap karakteristik tanah-LAR dan besi oksida memungkinkan untuk memperlakukan tanah yang bersangkutan secara l e b ~ hbaik sebagai medium pertumbuhan
d m sumber hara tanaman. Penelitian kedua ha1 tersebut

mash sangat langka di


Indonesia. Oleh karena itu, penelitian perlu dimulai sebagai langkah awal bagi
pemecahan masatah tanah rnerah (LAR). Disamping itu penelitian merupakan upaya

menemukan landasan pengelolaan yang lebih tepat dan beralasan untuk mengantisipasi pengembangan pertanian pada tanah merah berliat aktivitas rendah.

-&an

Penelitiao

Liat (terrnasuk LAR) pada umumnya merupakan cerminan dari kondisi lingkungan pembentukan tanah. Sebagai komponen tanah, liat adalah fase dari tanah
yang melapuk mendekati keseimbangan dengan lingkungannya. Komponen LAR
maupun tanah yang bersangkutan sebagai benda alarni belum difahami sepenuhnya,
baik prilaku ataupun hubungan pengaruhnya satu sama lain, temtama yang berkaitan
dengan masalah pertanian.
Atas dasar ha1 tersebut serta .latar belakang yang telah dikemukakan, rnaka

tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari: (1) karakteristik mineral dan sifat
tanah-LAR, (2) Status penyediaan hara alami dan genesis tanah-LAR, dan (3)
hubungan besi oksida terhadap beberapa sifat tanah. Hasil penelitian diharapkan
dapat digunakan sebagai salah satu dasar atau informasi bagi pengelolaan clan

penilaian yang lebih rasional pada tanah terlapuk lanjut di Indonesia.

Hiwtesis

,

Pada penelitian ini beberapa hipotesis diajukan sebagai berikut:
(I). M e r i s t i k tanah berIiat aktivitas rendah bervarisi, dan dipengaruhi o1eh jenis
bahan induk.

(2). Tanah berbahan induk masam cendemng memiliki masalah A1 dan tanah
berbahan induk basa memiliki masalah besi.
(3). Besi oksida berpengaruh terhadap penurunart KTK-tanah serta peningkatan

jerapan fosfat maksimum dan pH0-tanah .
(4). Besarnya peranan besi oksida dipengaruhi oleh nisbahnya terhadap liat total;

serta w t a n pengaruh komponen besi oksi& adalah Fe-o> Fe-d > Fe-k.

TINJAUAN PUSTAKA


Liat Aktivitas Rendah
istilah liat aktivitas rendah (LAR) muncul ketika para ahli tanah meneliti tanahtanah tropik berkenaan dengan penyusunan Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah
USDA (Uehara dan Gilman, 1981). Istilah tersebut dikenalkan untuk mencerminkan
sifat (behavior) tanah. Dalarn hat ini tanah LAR mempunyai prilaku dan tanggapan
berheda terhadap pengelolaan dan manipulasi oleh manusia. Moormann (1986)
menyatakan istifah LAR menunjukkan kaitan dengan KTK (pH 7) fraksi liat yang
rendah. Menurut Soil Survey Staff(1975) nilai KTK yang rendah adalah

< l6me per

lOOg liat dan KTK effektif 5 12me per lOOg liat pada tingkat order hingga
greatgroup, dan untuk tingkat suborder nilai KTK (pH 7) 124me.
Liat dalam tanah umumnya terbentuk secara pedogenik, walaupun dapat juga
berasal dari turunan atau translokasi dari tempat lain (Birkeland, 1974; Hal, 1987).
Tanah sendiri menurut Buol. Hole, dan McCracken (1980) adalah sebagai pabrik
liat. Liat aktivitas rendah sering dijumpai pada tanah yang telah terlapuk lanjut
(Uehara dan Gilman, 1981). Ini menunjukkan bahwa LAR merupakan produk hancuran iklim di tingkat akhir menurut deret perkembangan tanah Jackson clan Sherman (1953). Dengan kata lain, LAR merupakan fase di dalam deret hancuran iklim,
yang sifatnya lebih stabil dari fase sebelumnya sesuai dengan prinsip hancuran iklim
yang dikemulcakan B o b , McNeal, dan O'Connor (1978).

Sifat yang penting dari LAR adalah mempunyai muatan pemukaan variabel
(Uehara dan Gilman, 1981). Selanjutnya, Sakurai (1989) menjelaskan hahwa muatan tersebut &pat berubah-uhah tergantung pada pH, kekuatan ionik, konstanta dielektrik, dan bahkan valensi ion lawan (counter ions) dari elektrolit sekitarnya. la juga telah mengidentifikasi liat bermuatan variabel sebagai berikut: (a) bahan nonkristalin (alofan, imogolit), hidroksi Fe. Al, dan Si; (b) oksida dan hidroksida Fe, Al,

Mn, Si, dan Ti; (c) pinggiran yang patah dari mineral liat tipe I: 1; dan (d) bahan
organik. Pada mineral s i l i i t , kelas mineralogi yang bermuatan variabel menurut
Uehara d m Gilmm (1981) adalah kloritik (Al antar lapis), haloisitik, kaoliiitik, dan
serpentinik.
Mineral bemuatan variabel yang telah dikemukakan tidak seluruhnya termasuk
LAR. Sesuai dengan batasan niIai KTK-LAR dan infonnasi beberapa literatur
(Grim, 1968; Tan, 1982; Barnhisel dan Bertsch, 1989; Milnes dan FitzPatrick,
1989; McKenzie, 1989) mineral-mineral tersebut adalah alofan, imogolit, Mn-oksida, dan haloisit yang mempunyai empat rnolekul air. Mineral klorit akan merniliki
KTK yang semakin tinggi bila hidroksida antar lapis rnenurun karena hancuran
iklim. Menurut Barnhisell clan

Bertsch (1989) nilai KTK klorit dapat bervariasi

antara dua hingga 30 me per lOOg liat karena hancuran lapisan tersebut. Liat organik
juga tidak termasuk LAR karena KTK yang tinggi. Sakurai (1989) mengemukakan
bahwa pada tanah terlapuk lanjut di daerah tropik, LAR yang umum dijumpai
adalah kaolinit dan oksida Fe dan atau Al.


Tauah Berliat Aktivitas Readah

Tanah berliat aktivitas rendah menurut Recel (1985) rnencakup Oxisol, UlrisolLAR, Incepfisol-LAR. Aljisol-LAR, dan Mollisol-LAR. Tanah-tanah tersebut mempunyai horison oksik dan atau h d i k , atau hanya bersifat oksik. Pa& tanah yang
hersifat oksik kriteria KTK-liat adalah kurang dari 24me per lOOg liat (Soil Survey
Sraff, 1992). sehingga sebenarnya belum memenuhi syarat LAR. Tanah-tanah terse-

but herdasarkan Soil Survey Sr@, (1992), dapat diperinci sebagaimana tampak pada
Tabel 1 .
Tanah pada umurnnya merupakan sistem

campuran dari mineral bermuatan

tetap dan variahel (Uehara dan Gilman, 1981; Sakurai, 1989). Hal ini juga dapat
dikatakan sebagai carnpuran liat aktivitas rendah dan yang l a i ~ y a .Andaikata LAR

Tabel 1. Tanah-tanah LAR M e n w t Tingkat Kategori Sistem Taksonomi
Tanah (Soil Surwy Srafl, 1992)
- -


S i f a t LAR/Oksik

Mulai Pada K a t e g o r i

Order
Suborder
Oxisol
Ul t is01

Greatgroup

Subgroup

Kandiaquult
Kanhaplaquult
Kandi humu 1 t
KanhaplohumuIt
Kandiudult
Kanhapludult
Kandiustult

Kanhaplustult
Kandiaqualf
Kandiudalf
Kanhapludalf
Kanhaplustalf

Kandic Plintaquult
Kanhap7ic Haplustu7t

Semua Taksa

Alfisol

Moll is01
Inceptisol

Oxic
Oxic
Oxic
Oxic


Argiudoll
Dystropept
Humitropept
Ustropept

Keterangan: - = t i d a k ada

merupakan komponen yang dominan maka tanah dapat disebut sebagai tanah berliat
aktivitas rendah dominan. Uehara dan Gilman (1981) dan Sakurai (1989) mengistilahkannya sebagai tanah yang didominasi oleh liat bermuatan variabel. Dalam ha1
ini, KTK liat tidak hams memenuhi syarat kurang dari 16me per lOOg liat. Untuk jeIasnya. Uehara dan Gilman (1981) telah membuat batasan sebagai berikut: (a) tanah
bermuatan permanen bila muatan permanen

> 60% dan muatan variabel < 40% ; (b)

tanah bermuatan campuran bila kedua muatan antam 40 dan 60%; dan (c) tanah
bermuatan variabel bila muatan permanen

< 40 dan m u a m variabel >60%.


Menurut batasan dari Uehara dan Gilman (1981) maka tanan berliat aktivitas
rendah dominan tidak terbatas pada yang mempunyai horison oksik, kandik, dan
hersifat oksik saja seperti pada Tabel 1, melainkan c a k u p a ~ y aakan lebih luas lagi.
Sesuai dengan fase tingkat hancuran yang lanjut, maka tanah berliat aktivitas rendah
dominan sangat banyak dijumpai didaerah tropik lembab. Sakurai (1989) menjelaskan hahwa di daerah ini curah hujan dan suhu yang tinggi merupakan kondisi ideal
untuk pelarutan dan pencucian dari mineral-mineral mudah hancur dan basa-basa.
Akibatnya tanah akan menjadi kaya dengan bahan-bahan residual seperti liat kaolinit, besi dan A1 oksida. Van Schuylenborgh (1971) menegaskan bahwa pernbentukan tanah tersebut didukung pula oleh keadaan drainase yang baik serta permukaan
yang tua.
Tanah-LAR serta dengan keadaan lingkungan pembentukannya dapat juga
meluas ke daerah iklim sedang lebih lembab dan panas, yang telah terlindungi dari
proses peremajaan kembali pada rnasa pencairan es pleistosen (Uehara dan Gilman,
1981). Dalam ha1 ini umur permukaan semakin penting, karena faktor kelembaban
tidak se-intensif di daerah tropik. Atas dasar intensitas hancuraan tersebut, jenis
tanah-LAR yang utama adalah Oxisol dan UItisoI (Sakurai, 1989). Dahulu tanah-

tanah tersebut disebut Latosol, Lateritik, dan Podsolik Merah Kuning (Soil Survey
StaE, 1975). Di Indonesia tanah-tanah ini tersebar di Jawa. Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Halmahera, dan Irian Jaya (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Tanahtanah tersebut umumnya dicirikan oleh wama kekuningan hingga kemerahan.

Beberana Mas&&

Tanah Berliat

Tanah-LAR merupakan tanah yang telah mengalami hancuran iklim lanjut.
Mineral-mineral mudah hancur d i dalamnya pada umumnya sudah terlapuk. Unsur
hara khususnya basa-hasa sebagian besar telah hilang karena pencucian. Akibatnya

tingkat kesuburan fanah sangat rendah; karena basa-basa, pH--,

dan KTK-Wah

sangat rendah, sedangkan kejenuhan-Al biasanya tinggi. Sifat-sifat tersebut merupa-

kan pembatas utama pada tanah yang bersangkutan dalam penggunaannya untuk
usaha pertanian (Sakurai, 1989).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ha1 penting yang perlu diperhatikan adalah muatan liat utamanya yang bersifat variabel. Uehara dan Gilman (1981)
menjelaskan bahwa prinsigprinsip dasar pengelolaan tanah di daerah tropik banyak
berasal dari daerah beriklim sedang, yang mana liat dominan penyusun utama
tanahnya bersifat muatan tetap. Prinsip tersebut tidak dapat diterapkan sepenuhnya
terhadap liat muatan variabel. Hal ini karena mineral bermuatan negatif tetap (KTK)
tidak begitu dipengamhi oleh variasi pH, kekuatan ionik, atau konstanta dielektrik
ling-kungan medium (Sakurai, 1989). Akibatnya, pengukuran KTK-tanah bukan ha1
yang kritikal, berbeda dengan mineral bermuatan variabel. Oleh karena itu, ciri
muatan variabel mempakan masalah yang perlu segera dipahami secara seksama agar
penge-lolaan tanah dapat dilakukan secara lebih layak.
Masalah lain pada tanah-LAR adalah kemampuannya terhadap fiksasi anion
termasuk fosfat, sulfat, clan silikat. Fiksasi fosfat merupakan masalah yang sering
dikemukakan dalam pengelolaan tanah seperti Ulrisol Qn Oxisol (Sanchez, 1976;
Barber, 1984; Sakurai. 1989). Fenomena tersebut menyebabkan pemupukan khususnya fosfat menjadi tidak efisien. Besi oksida adalah merupakan salah satu jenis mineral yang umum

dijumpai pa& tanah tropik terlapuk lanjut, dan dapat memfiksasi

fosfat secara efisien (Mekaru dan Uehara. 1972; Parf~tt,Atkinson. dan Smart, 1975;
Bigham, Golden, Buol, Weed, dan Brown, 1978; Schwertmann dan Taytor. 1989).
Di samping itu besi oksida dapat berinteraksi dengan kaolinit sehingga lebih memperkecil nilai KTK-tanah (Golden dan Dixon, 1985).
Pada tanah yang mengandung hesi tinggi. sering t eqadi kahat unsur-unsur hara
lain (Tiffin, 1967). di samping Fe bisa herperan sebagai racun. Dalarn ha1 yang

pertama, Tiffin menjelaskan bahwa akar tidak cukup mengeluarkan eksudat yang
mengandung ion H + untuk mereduksi ion Fe3+ menjadi Fe2+. l i b ~

e

tidak
~ +

tereduksi, ia akan mengendap sebagai Fe(OH)3 di sekeliling akar. Selanjutnya
senyawa besi tersebut berperan sebagai penghalang bagi unsur-unsur lain yang akan
diserap akar. S e m e n t m itu, menurut Bohn, er al. (1979) besi yang terlalu banyak
&lam larutan tanah dapat berperan sebagai racun bagi tanaman. Besi oksida juga
dapat menjerap secara efektif beberapa unsur mikro (Schwertmann dan Taylor,
1989), sehingga &pat menyebabkan kekahatan unsur yang bersangkutan.
Kemasaman yang

tinggi pada tanah merah terlapuk lanjut sering berkorelasi

dengan tingginya AI-dd. Kadar Al yang tinggi dalam lamtan tanah, atau bila tanah
mempunyai kejenuhan-Al yang tinggi, pada umumnya sering menyebabkan perturnbuhan tanaman terganggu. Masalah lain yang sering dijumpai, khusus pada Ultisol
(Podsolik Merah Kuning) adalah adanya horison argilik yang relatif kedap air (Foth,
1980). Hal ini dapat menghambat gerakan air perkolasi serta perkembangan akar ke
hagian profil yang lebih bawah. Akibatnya, tanah bagian permukaan dapat menjadi
lebih peka terhadap erosi, pertumbuhan tanaman terganggu, dan produktifitas tanah
menurun.

Besi OksiQadatarn Tanah

Besi merupakan unsur keempat terhanyak dalam kerak bumi (Hurlbut dan
Klein, 1977). Ia merupakan unsur yang unik secara geokimia, karena mampu membentuk sejumtah senyawa yang stabil dengan S . 0, dan Si (Krauskopf, 1979). Oleh
karena keanekaragarnannya, besi sering digambarkan sebagai unsur yang ada di
mana-mana dalam lingkungan geokimia da.sar.
Besi umumnya ada dalam dua bentuk, yaitu fero dan feri. Bentuk fero bersifat
lebih stabil dalam larutan yang reduktif dan setidak-tidaknya sedikit masam. Bentuk
ini dapat terangkut cukup jauh, namun ha1 ini tidak umum karena larutan hancuran

iklim mengandung

02,

dan akan bereaksi dengan fero tersebut membentuk

Fe(OH)3. Bentuk feri sendiri relatif irnobil. Oleh karenanya tidak heran bila besi
banyak dijumpai pada kebanyakan tanah, apakah dalam bentuk mineral atau unsur.

Jenis dan Pembentukannya
Besi oksida mencakup semua oksida, hidroksida, dan oksida hidrat. Mereka
hadir pada kebanyakan tanah di daerah iklim yang berbeda-be& sebagai partikel
yang sangat halus, dalam satu atau lebih bentuk-bentuk mineralnya dan jumlah yang
berbeda-beda (Schwertmann dan Taylor, 1989). Di dalarn tanah mereka dapat
tersebar merata, atau terkonsentrasi secara terpisah, atau membentuk sifat morfologi
tertentu sebagai karat, nodul, atau konkresi. Walaupun kadar besi oksida relatif
sedikit &lam tanah, tetapi mereka cukup kuat mempengaruhi warna tanah (Bigham,
er al, 1978; Schwertmann dan Taylor, 1989).

Jenis mineral besi oksida &lam tanah menurut Segalen (1971) dapat dibagi ke
dalam dua kategori utama, yaitu yang hersifat amorf dan yang kristalin. Selanjuulya
dijelaskan bahwa besi oksida amorf telah diusulkan dengan nama stilpnosiderit.
Mineral ini sangat jarang dalam tanah datam keadaan tersendiri. Akan tetapi, pada
tanah yang diturunkan dari bahan inctuk batuan basik, oksida amorf dapat berkadar
lebih banyak. Menurut Schwertmann dan Taylor (1989) kebanyakan besi oksida
yang dipandang amorf dalam tanah, terutama disebabkan oleh kesulitan cara mendeteksi mereka karena konsentrasi serta fase kristalinitasnya yang rendah. Hal ini
dibuktikan oleh masuknya beberapa mineral -yang dahulu dianggap amorf ke dalam
kelompok kristalin setelah digunakan metode analisis fisik yang lebih teliti dan
memadai. Sehagai contoh adalah ferihidrit, yang dahulu dianggap amorf, dan
sekarang diketahui bersifat kristalin.
Besi oksida kristalin terbagi ke dalarn besi hidroksida dan besi oksida (Segalen,
197 1; Schulze, 1989). Kelompok hidroksida adalah goetit dan lepidokrosit

dengan rumus kimia yang sama. yaitu FeOOH. Menurut Schwertmann dan Taylor
(1989) dan Tan (1993), rumus kimia tersebut dibedakan sebagai a-FeOOH untuk
goetit dan r-FeOOH uniuk lepidokrosit. Schwertmann dan Taylor (1989) menambahkan bahwa mineral dengan rumus 6-FeOOH juga termasuk anggota kelompok
besi hidroksida. Sementara itu, a& dua oksida ferrik yang telah dijumpai dalam
tanah dan mempunyai rumus kimia

sama (Fe20j),yaitu

hematit dan maghemit

(Segalen, 1971; Schulze, 1989). Selanjutnya Schwertmann dan Taylor (1989) dan
Tan (1993) membedakannya sebagai a-Fe203 (hematit) dan r-Fe203 (maghemit).
Besi oksida lain yang bersifat kristalin dan dapat hadir di dalam tanah adalah
ferrihidrit. Tan (1993) mengemukakan susunan rumus molekul mineral ini adalah
Pe5HOg.4.H20

atau Fe5(04H3)3.

Sedangkan Schwertmann dan Taylor (1989)

mengemukakan bentuk lain yaitu 5Fe203.9H20

dan Fe203.2Fe00H.2.6H20

disarnping dua kemungkinan sebelumnya. Selanjutnya dikemukakan bahwa ferrihidrit menyebar luas dan merupakan ciri penyusun dari akumu1a.i besi oksida mu&
sebagai endapan warna kuning dari air berbesi fen Cfemiferous).

Ia juga dijumpai

pada tanah lumpur tambang besi, horison-B Podsol, horison kalsik, dan kerak bumi
yang dihan-curkan lichen. Tan (1982) menyebutkan bahwa femhidrit adalah
kornponen utama dari sedimen besi warna kuning &lam saluran-salurandrainase.
Besi oksida kristalin yang sering dijumpai dalam tanah sebagai fraksi pasir
berat adalah magnetit dengan rumus molekul Fc304. la biasanya merupalcan
butiran hitam, dan bersifat opak. Magnetit dalam tanah menurut Schwertmann dan
Taylor (1989) bukan terbentuk secara pedogenik, melainkan secara litogenik. Identifkasi magnetit pedogenik sulit dilakukan, mungkin karena ia mudah dioksidasi ke

arah maghemit &iam keadaan fraksi halus. Gitkes dan Sudhiprakarn (1979) mendapatkan magnetit pada saprolit granit yang sedikit banyak dikonversi ke hematit.
Mineral-mineral besi oksida lain yang belum berhasil dideteksi dalam tanah
adalah akaganeit (6-FeOOH) dan karat hijau. Mineral ini pernah ditemulran dalam

deposit mineral (Mackay, i%2, dalam Schwertmann dan Taylor. 1989). Karat hijau
dianggap sebagai fase dari pembentukan mineral hiasa yang lain. l a telah diidentifikasi sebagai produk alami dari jxrkaratan pipa hesi air, namun belum teridentifikasi
Hal ini menurut Bernal, Dosgupta, dan Mackay (1959, dab

daiam tanah.

Schwertmann dan Taylor, 1989) mungkin karena kecepatan oksidasi mineral tersebut
yang menyebabkan pecahnya struktur kristal dan warna berubah menjadi kuningcoklat.
Pembentukan besi oksida dalam tanah telah dijelaskan secara Iebih detail oleh
Schwertmann dan Taylor (1989). Besi yang terikat dalam struktur mineral biasanya
bewalensi dua (keadaan tereduksi). Pelepasan Fe dari silikat selama hancuran iklim
dapat melalui dua cara, yaitu protolisis dan oksidasi. Kedua proses ini dapat bergabung dalam berbagai cara. Dalam kehadiran proton, silikat &pat hancur melalui
reaksi berikut:

Besi yang dibebaskan kemudian dapat segera teroksidasi hila ada 02,atau jika tidak,
ia dapat t e m g k u t hingga mencapai daerah yang mengandung oksigen.
Kemungkinan lain adalah hahwa oksidasi dapat terjadi dalam struktur silikat
sendiri (Birkeland, 1974; Berner dan Scott, 1982). Akibatnya muatan tidak seimbang sehingga memperlemah struktur kristal dan memperlancar hancurnya mineral.
Jika ~

e terlepas
~ + segera &pat dihidrolisis hila kontak dengan air. Reaksi tersehut

digambarkan sebagai berikut :
-Fe2+-0-Si-

+

H 2 0 ------->-Fe3+-OH

dirnana 0 menangkap elektron

(02 + 4e ----- >

+

HO-Si-

+e

2 0 2 3 . Kecenderungan kuat dari Fe

terhidrolisis dan membentuk oksida berkelarutan rendah pada pH > 3 disehabkan

+ , (a) daya gabung yang tinggi dengan ligand OH
oleh dua ciri kation ~ e ~ yaitu:

menyebabkan kation Fe3+

terhidrat sebagai asam kuat, seperti terlihat dari

konstanta keseimbangannya yang tinggi dari reaksi: Fe3 +

+

+ H20 ----- >

F~OH' +

dan (b) ia segera berpolimerisasi sebagai h a d hidrolisis.

H + (K =

Oksida Fe3+ yang dihasilkan mempunyai hasilkali kel-tan

IKsp

=

(Fe).(OH) 3 ]

berselang antara 10-39 hingga 10-44. Pelarutan kembali oksida Fe3+ melalui reaksi
frotolitik semata-mata, pa& dasarnya tidak mungkin terjadi dalam tanah, karena p H
jarang cukup rendah untuk memungkinkan terjadinya kebaIikan reaksi hidrolisis
(FeOOH

+ 3H+

----- >

+ 2H20).

Pengangkutan besi mungkin lebih mudah melalui reaksi reduktif (FeOOH

+

3 ~ ----->
+
Fe2+

+

+ e-

2H20). fni dapat terjadi kapan saja dan dimanapun jika

keadaan lingkungan kahat O2 karena aktivitas mikrobia. Selanjutnya Fe divalent
yang terhentuk dapat teroksidasi kembali in situ, atau dapat diangkut dan dioksidasi
di lingkungan yang baru, yang mungkin membentuk fase mineral baru. Jadi Fe
dalam bentuk oksida dapat mengalami periode rnobitisasi dan immobilisasi yang
berbeda-beda, yang mana dapat merupakan siklus dalam waktu pendek. Proses ini
dapat membawa kepada pencirian pola ruang dari konsentrasi besi oksida tinggi dan
rendah pada berbagai skala (agregat, horison, profil, atau lanskap), dan kepada
peruhahan fase atau kadar ion luar pada masing-masing kejadian.
Hubungan pembentukan dan transformasi mineral-mineral besi oksida yang biasa
ada &lam tanah diringkaskan oleh Schwertmann dan Taylor (1989) dalam Gambar
1. Hubungan tersebut didasarkan atas pengamatan keadaan lingkungan tanah dimana

fase mineral tertentu t e j a d i dalam tanah atau urutan tanah tertentu. Selanjutnya
dijelaskan pula bahwa untuk melengkapi dan meneguhkan hasil observasi lapang,
dilakukan simulasi di laboratorium, sehingga pada Gambar 1 tercakup pula hasil
percobaan laboratorium. Skema tersebut tidak menyertakan sumber Fe primer,
melainkan telah dieliminasi ke dalam hentuk larutan ion ~

e

dan
~ +Fe3+

serta

-

S

i
f
4
.-:

Hidrolisis
pa >3
Reduksi
pa (8

tak : larut
larut :
,

pelamtan*
1

I

i
Oksidasi

Transformasi

+ bahan organik

Katiyn

I

Ei@olisis
Oksldasi
pH 5-8

-Lepidokrosit
~-P~OOE

Dehidrasi

r

Haghit

200-300'~

oksidasi (teltp. rendah)I
dehidrasi+oksidasi lambat (temp.tinggi)

Gambar 1. Jalan Pembentukan Besi Oksida Yang Biasa dalam Tanah
{Schwertmann dan Taylor, 1989)

kompleks organik dapat larut. Kedua bentuk Fe tersebut berasal dari mineral-mineral
primer, dan juga dari o k s i d a - ~ e ~y+m g sudah a&.
Berkenaan dengan tanah-LAR dominan di daerah tropik, maka besi oksida yang
sangat umum menyebar luas adalah goetit dan hematit (Segalen, 1971; Allen clan
Hajek, 1989). Mineral-mineral tersebut terbentuk rnelalui berbagai proses pembentukan tanah. Pembentukan mereka memerlukan lingkungan draiiase baik atau agak
baik. Dalam pembentukan Oxisol van Schuylenhrgh (1971) menerangkan bahwa
terbentuknya besi oksida &pat melalui proses laterisasi, feralitisasi, dan desilikasi.
Dalam ketiga proses tersebut tej a d i pelepasan silika dari mineral silikat primer dan
kuarsa. Di samping itu dilepaskan pula logam-logam alkali dan alkali tanah. Pada
akhirnya unsur-unsur tersebut tercuci, kecuali silika bila bergabung dengan A1 dapat
mernbentuk rnlneral hat.
Proses di atas merupakan pemiskinan silika dan logam-logam lainnya. Sebaliknya, untuk Fe akan tejadi pengkayaan karena terbentuk senyawa besi oksida yang
stabil. Pelepasan unsur-unsur penyusun batuan atau mineral primer lainnya pada
umumnya melatui proses hancuran iklim sepem pemanasan, pendinginan, pembasahan, pengeringan, hidrasi, hidrolisis, karbonasi. oksidasi, dan peiarutan yang juga
dipengaruhi vegetasi dan fauna tanah (van Schuylenborg, 1971; Birkeland, 1974).
Dari proses-proses tersebut akan terbentuk diantaranya besi oksida, seperti misalnya
goetit dan hematit. Menurut Schwertmann dan Taylor (1989) pembentukan goetit disokong oleh keadaan tanah yang lebih lernbab daripada pembentukan hematit.
Segalen ( 1971) mengemukakan bahwa goetit sering berasosiasi dengan hematit pa&
kebanyakan tanah di d a m h tropik dan subtropik.
Schwertmann dan Taylor (1989) rnenyatakan bahwa pembentukan goetit memerlukan temperatur yang relatif rendah, aktivitas H20 tinggi, dan kandungan
bahan organik yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan hematit relatif tidak a& dalam

tanah-tanah di daerah iklim sedang dan dingin. Oleh karenitnya, nisbatt hematitgoetit akan meningkat dengan menigkatnya temperatur. Hal yang sama juga
pengaruh dari kelembaban. Semakin lembab keadaan tanah, nisbah goetit:hematit
cenderung meningkat. Curi dan Franzmier (1984) telah menunjukkan fenomena ini
pa& suatu toposekuens Chris01 di Brazil Tengah xpanjang transek 176m. Pada
lokasi tersebut tanah yang lebih kering di bagian atas berwama merah dan sangat
banyak hematit. Sebatiknya, tanah di bagian lembah berwarna kuning clan tidak
mengandung hematit. Hal ini disokong pula oleh hasil penelitian Karim dan Adam
(1984) pada Oxisol di Melawai. Bagan yang menggambarkan pembentukan goetit
dan hematit secara kompetitif disajikan pada Gambar 2.
Pembentukan lepidokrosit lebih sering terjadi pa& tanah-tanah hidromorfik
(Schwertmann dan Taylor. 1989). Mineral ini biasanya berasosiasi dengan goetit.
Selanjutnya diterangkan bahwa lepidokrosit mudah dikenal dari warnanya, yaitu oranye, yang menunjukkan keadaan reduktomorfik. Keadaan ini menyebabkan pembentukan beherapa ion ~ e ~ Besi
+ . fero yang mobil bergerak ke lokasi teraerasi lebih
baik, sehingga ia teroksidasi membentuk lepidokrosit. Oleh karenanya menurut
Ailen dan Hajek (1989) lepidokrosit sering dijumpai pada tanah-tanah berkembang
yang bersifat akuik. Nisbah lepidokrosit terhadap goetit &lam tanah masih belum
difahami sepenuhnya. Menurut Schwertmann dan FitzPab-ick (1977) nishah tersebut dipengaruhi oleh tekanan parsial C%. Goethit lebih sesuai dengan
telcanan parsial lebih tinggi daripada lepidokrosit. Disamping itu, goetit juga disokong oleh bertarnbahnya kecepatan oksidasi dan Al dalam larutan.
Pembentukan rnaghemit dalam tanah dapat melalui beberapa cara: (a) oksidasi
magnetit, (b) dehidrasi lepidokrosit, dan (c) transforrnasi besi oksida pedogenik lain
dengan pemanasan antara 300 dan 425-c disertai senyawa organik (Schwertmann
dan Taylor, 1989). Oksidasi magnetit terjadi bila ada transisi antam kedua fase
mineral tersebut, atau apabila rnaghemit menurunkan ketidak-murnian unsur tertentu

Proses

Faktor

Ion pe3+

Kecepatan Pelepasan Fe
Bahan Organik
PH (3-8)

Suhu Tanah

Kelembaban

t

1

t

I

protonasi

I

Dehidrasi
Pengaturan
struktur

I

rn
Hematit

I

kristalisasi
dar i

'"Tan

E l
Goetit

Gambar 2. Bagan Proses Pernbentukan Kompetitif Goetit dan Hematit
(Schwertrnann dan Taylor, 1989)

dari magnetit. Proses tersebut tidak akan tejadi biIa magnetit berbutir kasar, karena
oksidasi selama hancuran akan menghasilkan hematit (Gilkes dan Sudhiprakam,
1979). Sementara itu, proses dehidrasi lepidokrosit terjadi sebagai karat-karat di

bawah permukaan dan tidak dipengaruhi oleh kebakaran. Proses yang paling umurn
adalah transformasi besi oksida lain melalui pemanasan karena adanya bahan organik.

Pembentukan magnetit telah dikemukakan sebelumnya, yang sifatnya lebih litogenik
daripada pedogenik.

S i f a t d a n Cara Identifikasi
Penelaahan literatur pada bagian ini akan dibatasi hanya pada mineral besi
oksida yang biasa dijumpai pada tanah-tanah tropik terlapuk lanjut sebagai salah satu
fokus penelitian. Dari pernbicaraan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa besi oksida
yang kemungkinan besar dijurnpai pada tanah-LAR dart berdrainase baik adalah
goetit, hematit, rnaghemit, dan magnetit. Lepidokmsit jarang dijurnpai, kecuali
pada tanah bersifat akuik.
Satuan struktural semua besi oksida kristaiin adalah oktahedral, dimana rnasingmasing atom Fe dikelilingi oleh enarn ion 0 atau 0 dan O H (Schwertmann dan
Taylor, 1989). Ion-ion 0 dan OH rnernbentuk lapisan apakah secara heksagonal
(fase a)atau kubik (fase

T).

Dalam kedua struktur tersebut terbentuk pula struktur

tetrahedral pada sela-sela antara tiga buah 0 atau OH dalam satu bidang dan satu
dalam bidang diatasnya. Fe pada rnaghemit dan rnagnetit hadir dalarn beberapa
lokasi tetrahedral ini.
Struktur goetit terdiri dari rantai ganda oktahedral Fe-0-OH yang meluas
sepanjang surnbu-sumbu kristal. Oktahrdral-oktahedral ini terikat ke rantai ganda
sekitarnya oleh ikatan Fe-0-Fe dan H. Morfologi goetit dari pengamatan mikroskop
elektron, dapat berbenmk jarurn (acicular), walaupun penarnpilannya kurang balk
(Schwertmann dan Taylor,

1389). Sementara itu Nakai dan Yoshinaga (1980)

menernukan bentuk serabut pada tanah-tanah dari Jepang dan Scotland, atau juga
dapat berbentuk seperti rumput (grassy). Jika kristal berkembang hanya satu arah
dan besarnya tak teratur, maka penetapannya dengan mikroskop elektronpun sulit
diperoleh hasil yang p s i t i f dalam tanah. Di &lam tanah, substitusi isornorfik A l
terhadap Fe goetit sering tejadi (Norrish dan Taylor, 1961). Hal ini &an rnerubah

berbagai sifat goetit seperti ulcuran satuan sel, absorpsi sinar infra merah, sifat
panas, dan sifat rnagnetik.
Struktur hematit terdiri dari lapisan 0 fase-a yang tersusun tegak lurus dengan
sumbu-surnbu kristal. Ion ~

e menduduki
~ +
213 olctithedral yang terbentuk pada

sela-sela. Secara morfologi kristal hematit dalam tanah adalah heksagonal yang
penatnpilannya kurang baik. Jika goetit dan hematit hadir bersama-sama, kristal
hematit sering kbih besar daripada goetit (Anand dan Gilkes, 1987). Hal ini menyebabkan permukaan spesifik hematit lebih kecil. Hematit sering merupakan komponen
utama fraksi liat pada Ulrisol d m Oxisoi berdrainase sangat baik (Allen dan Hajek,
1989). la juga sering rnerupakan komponen utama konkresi dan nodul. Substitusi
isomorfik A1 terhadap Fe pada hematit dapat terjaai namun lebih jarang daripada
goetit. Dari pengamatan laboratonum submtusi dapat menyebabkan turunnya knstalinitas, serta warna hematit menjadi lehih terang (Barron dan Torrent, 1984).
Schwertmann dan Taylor (1989) mengemukakan bahwa magnetit dan maghemit secara kristalografik mempunyai struktur yang sama. Pada magnetit setiap satuan sel mengandung 32 0 dan 24 Fe. Delapan F e terkoordinasi secara tetrahedral,

dan 16 secara oktahedral (Schwertmam dan Taylor, 1989). Besi pada magnetit terdiri
dari campuran 8 buah ferro dan 16 buah f e m . Sedangkan pa& maghemit Fe telah
teroksidasi penuh, sehingga 0 bertambah menjadi 36 buah. Di dalam tanah magnetit
terjadi sebagai butiran hitarn pada fraksi pasir berat. Sementara itu maghemit banyak
dijumpal pada tanah-tanah tropik dan subtropik berwarna coklat kemerahan. Pada
maghemit juga dapat tej a d i substihzsi isomorftk Al terhadap Fe.

Cara identifikasi besi oksida yang paling sederhana &lam tanah adalah dengan
menggunakan warna khusus mineral pada selang hue lOYR dan 5R dan pertakuan
pelarutan terpisah. Cara terakhir dapat sangat berguna baik unhlk identifikasi
maupun kuantifikasi (Schwertmann clan raylor, 1989). Untuk identifikasi berbagai

fase kristalin diperlukan metode tisik, diantaranya metode difr;tksi sinar-X (XRD),

analisis termal (DTA), analisis sinar infra merah (IR Specrroscopy), dm analisis
Mossbauer (Bigham et al., 1978; Scwertmann dan Taylor, 1989). Tiga metode yang
pertama merupakan yang paling umum digunakan (Tan, 1993).

Metode pelarutan (analisis kimia) yang telah digunakan secara luas adalah
ekstraksi ditionit sitrat bikarbonat (DSB) pada suhu 8 0 ' ~menurut Mehra dan
Jackson (1960). Besi oksida yang terlarut sering disingkat sebagai Fe-d, dan
merupakan Fe sekunder total (Schwertmann dan Taylor, 1989). Untuk mengekstrak
besi oksida kristalin lemah clan atau amorf sering digunakan asam amonium oksalat
(Tan, 1982). Besi oksida yang terekstrak sering disebut Fe-o. Nisbah Fe-o terhadap
Fe-d menyatakm secara kuantitatif proporsi fraksi lebih aktif dari fraksi kurang aktif
(Schwertmann dan Taylor, 1989). Hal ini juga telah diperagakan sebagai parameter
yang berguna untuk karakterisasi sifat-sifat tanah dan genesis tanah (McKeague,
Bridon, dan Miles, 1971).
Analisis-analisis sinar-X, termal, sinar infra merah, dan kimia menurut Hall
(1987) merupakan metode tradisional yang telah mapan untuk identifikasi mineral
liat. Dalam penggunaan tiga metode yang pertama, ahli mineralogi mendasarkan
pada ciri mineral standar sebagai sidik jari mineral tersebut untuk identifikasi. Sidik
jari mineral pada analisis sinar-X adalah p l a difraksi berupa puncak-puncak pada
difraktogram sebagai pencerminan jarak antar bidang kristal pada sudut 2 8 tertentu.
Sedangkan dalam analisis termal, sidik jari mineral berupa

puncak

dalam kurva

termogram yang mencerminkan reaksa endotermik atau eksotermik suatu minerat
pada suhu tertentu pada pema-

terkontrol. Sementara itu, pada analisis 1R sidak

jari mineral merupakan puncak pada kurva spektrogram-IR yang mencerminkan
spektrum absorpsi sinar infra merah dari mineral yang dianalisis. Sebagai kriteria
penciri dari mineral-mineral besi oksida disarikan oleh Schwertmann dan Taylor
(1989) pada Tabel 2.

Tabel 2. Sifat Penciri ldentifikasi Beberapa Mineral Besi Oksida*)
Nana
Mineral

Warna
(Itunsell)

Bentuk Kris-

tal Biasa

Jarak X8D
Utam
....(*

Hematit

Herah teranq
5R-2.5YR

Haqhemit

Herah hinqqa
coklat

A).

hincak Reaksi DTA

Band-IRS

..

Wqonal
daiar

2.70; 3.68;
2.52

Kubus

2.53; 2.97

Goetit

Coklat kekuninqan
7.5YR-2.5Y

Rombis, janu, bilah

2.45; 2.69;
4-18

End: 280-400

890, 797

Lepidokrosit

Oranye
5YR-7.5YR

Bilab

1.94; 2.47;
3.29; 6.26

End: 300-500
Eks: 370-500

797, 1026, 1168

-- -

Keterangan:

*)

=

@) =

slmber Schwertnann dan Taylor (1989); End = endotemik;
lagnenetit bebutir

Eks

=

eksotemik;

via maghemit, atau langsung ke h a t i t terqantung ukuran

Teknik analisis lain yang baru menurut Hall (1987) adalah mikroskop elektron transmisi. Alat tersebut dapat mendeteksi ukuran sampai beberapa puluh nanometer, sehingga dapat secara langsung menggambarkan jarak dan variasi ruang anta-

ra atom-atom. Penggunaannya akan sangat bermanfaat jika digabung dengan metode
tradisional, karena daya analisisnya menjadi lebih h a t . Bila tidak ada kesesuaian
data antara keduanya, hal ini dapat membantu untuk mengkaji ulang sifat penyusun
tanah, baik perubahan bentuknya ataupun peranannya &lam proses-proses alami.
I

Penearufisesi oksida TerhrQaeSifit Tanah
S i f a t Fisik dan Kimia Tanah
Pengaruh besi oksida terhadap sifat-sifat tanah baik fisik maupun kimia telah
lama diketahui. Hal yang sudah terkenal adalah fungsinya sebagai bahan pengikat
atau penyemen. Dalam penetapan tekstur tanah merah rnisalnya, terkadang periu
adanya perlakuan pendahuluan untuk menghilangkan besi oksida bebas (Jackson,
1969). Berhubung dengan sifat tersebut, maka besi oksida mempakan penyumbang
penting dalam agregasi butiran tanah. Shadfan, Dixon, dan Calhoun (1965) menerangkan bahwa pembentukan agregat lehih banyak melalui daya tarik antara rnuatan
positif besi oksida dan rnuatan negatif partikel matriks tanah, teristimewa mineral
liat silikat.
Dalam genesis tanah telah dikenal pula bahwa agregasi oleh besi oksida dapat
menciptakan struktur tanah yang baik. Pada tanah Latosol umpamanya, struktur
tanah umumnya granular. Hal ini dapat menciptakan keadaan aerasi atau pasokan
udara yang baik, drainase dan perkolasi lancar, sehingga perkembangan akar secara
fisik tidak terhambat. Arca dan Weed (1966) telah menunjukkan hubungan positif
antara agregasi dan porositas tanah dengan kandungan besi oksida. Agregasi yang
terbentuk cenderung tahan terhadap dispersi air. Hal ini sedikit banyak akan mengurangi daya erosifitas tanah. Namun demikian menurut Schwertrnann dan Taylor
(1989) pengaruh besi oksida terhadap agregasi cukup bervariasi dengan tanah yang

berbeda-beda.
Dalam sementasi. Fordham dan Nomsh (1979) mengemukakan bahwa besi
oksida mengisi pori-pori dengan proporsi yang nyata diantara partikel matriks tanah.
Ia dapat berbentuk nodul, konkresi, dan lain-lain. Horison tanah dimana besi oksida
ikut berperan sebagai penyemen adalah horison plasik dan orstein (Soil Survey

Srafl,

1975). Datam ha1 seperti itu,

sementasi berpengaruh negatif terhadap

perkembangan akar dqn gerakan air dalam pmfil tanah. Schwertmann dan Taylor
(1989) menambahkan bahwa sementasi dapat berpengaruh tehadap immobilisasi
unsur hara seperti P dan Mo, akibat adanya kemacetan saluran pori. Pengaruh besioksida terhadap warna tanah telah dikemukakan sebelumnya. Besi oksida merupakan
pigmen yang kuat walaupun dalam jumlah sedikit (Schulze, 1989).
Pengaruh besi oksida terhadap sifat kimia tanah menurut Schwertmann dan
Taylor (1989) berkaitan erat dengan struktur permukaamya serta ketergantungan
muatan permukaan pada pH. Partikel besi oksida yang sangat kecil ( s ~ b m i k r o s k o ~ i k )
mempunyai luas pemukaaan yang besar, dan dapat berperan sebagai penjerap yang
efektif terhadap anion dan kation tertentu. Hal ini karena sifatnya yang amfoter.
Muatan permukaan besi oksida selain dipengaruhi oleh pH, juga oleh konsentrasi
elekaolit dan valensi ion daiam larutan setimbang. Dalam ha1 ini muatan permukaan
bisa positif, nol, atau negatif tergantung kondisi lingkungan tersebut.
Beberapa kation dan anion dapat dipegang lebih kuat pada permukaan oksida
karena melalui ikatan adsorpsi spesifik. Dalam ha1 ini kation atau anion menernbus
kulit koordinasi Fe membentuk ikatan kovaien secara langsung dengan kation struktural via grup 0 dan O H (McBridge, 1989). Schwertmann dan Taylor (1989) telah
menyimpulkan urutan kekuatan adsorpsi spesifik logam berat oleh goetit dan hematit
sebagai berikut: Cu

> Pb > Zn > Cd > C o > Ni, dengan kekecualian Pb > Cu

pada hematit. Faktor yang sangat penting menentukan kemampuan adsorpsi adalah
pH. Semakin tinggi pH larutan medium, jumlah logam berat yang dapat diadsorpsi
oleh besi oksida semakin meningkat.
Beberapa anion yang dapat diadsorpsi secara spesifik oleh besi oksida antara
lain fosfat, silikat, molibdat, arsenat, selenat, sulfat, dan anion organik (Schwertmann dan Taylor. 1989). Menurut

Hingston. Atkinson, Posner dan Quirk (1968)

anion-anion tersebut berkompetisi dengan fosfat, s e h i g g a dapat rneningkatkan
ketersediaan fosfat bagi tanaman. Seperti juga adsorpsi spesifik logarn berat,

adsorpsi anion sangat dipenganthi oleh pH. Pada umumnya semakin naik pH,
adsorpsi anion semakin menurun jumlahnya, kecuali untuk s i l i i t &hfluorida pada
sefang pH tertentu.

Muatan No1 (DHO =.ZPCl
Muatan di permukaan partikel tanah muncul akibat rusaknya bagian dalam
(struktur krista1ografi) partikel dan atau dari adsorpsi ion-ion penentu potensial
(Uehara dan Gilman, 1981; Sakurai, 1989). Muatan yang muncul &bat ha1 pertama
bersifat permanen dan konstan. Tanda muatan pada umumnya negatif. Muatan yang
diakibatkan ha1 kedua bersifat variabel. Tandanya &pat negatif. nol, atau positif.
Pada bahan tanah, ion penentu potensial yang sangat umum adalah ion H + dan OH'
(Uehara rlan Gilman, 1981).
Salah satu sebab munculnya muatan variabel adalah karena terbentuknya
mineral yang berkaitan dengan hancuran iklim atau perkembangan tanah. Hendershot dan LavkuIich (1978) telah menyimpulkan hasil peneiitian para peneliti terdahulu bahwa semakin meningkat perkembangan tanah atau umur pedogenik, muatan
tergantung pH (variabel) yang dihasilkan oleh permukaan oksida cenderung semakin rnenjadi dominan. Hal ini dianggap sebagai hasil kombinasi antara faktor-faktor:
(I) penghalangan muatan tetap oleh oksida emorf,(2) pelarutan mineral liat, dan (3)
bertambahnya dominasi muatan variabel dari oksida amorf, kristalin, dan oksida
hidrat terutama Fe dan Al.
Dengan munculnya muatan variabel. maka muatan bersih (neno) di permukaan
partikel tanah dapat berubah-ubah. Ini menyebabkan perilaku fisiko-kimia tanah ber-

beda dengan tanah krmuatan tetap dominan seperti umumnya di daerah sedang
(Uehara dan Gilman, 1981; Sakurai, 1989). Dengan adanya fenomena tersebut,
maka rnuncul istilah muatan no1 atau zero poinr of charge (ZPC)yang sering disehut
juga pHO. Secara konvensional ZPC diartikan sebagai nilai pH dari larutan tanah

yang tidak mempunyai muatan bersih (Park, 1967, d a l m Sposito, 1981). Pengertian
ini menunjukkan muatan bersih tersebut secara total, mencakup muatan permanen
dan variabel.
Hendershot, Singlestone, dan Lavkulich (1979) menyatakan bahwa pada muatan no1 jumlah muatan negatif sama dengan jumlah muatan positif. Dengan kata lain
jumlah muatan bersih adalah nol. Dalam perkembangan selanjutnya sebutan ZPC
untuk muatan variabel adalah pHO, dan untuk muatan tetap adalah zero point of net

charge atau ZPNC (Sakurai, et al. 1991). Model tersebut dikembangkan oleh
Uehara dan Gilman, 1981). Pada tanah yang telah terlapuk lanjut dengan muatan
variabel sangat dominan, nilai pH0 biasanya sama atau hampir sama dengan ZPNC
(Sposito, 1981).
Beberapa penei~titelah menggunakan ZFC sebagai kriteria penting dalam pencirian tanah, khususnya yang telah terlapuk lanjut. Gallez, Juo, d m HerbiHon
(1976) telah menetapkan nilai ZPC AlfZsol, Ulrisol, dun Oxisol. Hasitnya menunjukkan urutan Alfsol< UIrisol< Oxisol dengan nilai 3.5, 4.0, dan 5.5. Pota yang
sama didapatkan pula oIeh Hendershot dan Lavkulich (1978) atas tanah n p i c Eutropepr, v p i c Fenrdalf, dan Spodic Fe&ff

Dalam ha1 ini nilai ZPC meningkat

dari tanah yang kurang berkembang ke yang lebih berkembang. Gejala demikian
menunjukkan bahwa nilai ZPC dapat dipakai sebagai i n ~ k a t o tingkat
r
perkembangan tanah.
Muatan no1 dari hesi oksida menurut Schwertmann dan Fechter (1982) telah
banyak diteliti. Nilainya berkisar antara 7 dan 9. Namun secara alami biasztnya nilai
tersebut lebih rendah daripada oksida sintetik. Hal ini menunjukkan adanya ketidakmurnian misalnya oleh mineral silikat. Sebaliknya, dengan nilai ZPC tinggi, besi
oksida cendemng meningkatkan ZPC tanah (Sakurai, Teshima, dan Kyuma, 1990).
Menumt Hendershot, er al.(1979)

ZPC akan mempakan fungsi dari p r o p r s i

permukaan yang tersusun oleh komponen-komponen berbeda. Hasil penelitian

Hendershot dan Lavkulich (1982) menunjukkan bahwa seskuioksida (termasuk besi
oksida) menambah besamya muatan tergantung-pH c o n t . tanah, dan mengakibatkan peningkatan ZPC tanah secara keseluruhan ke arah ZPC seskuioksida tersebut.
Sakurai. Ohdate. dan Kyuma (1989) mengemukakan bahwa

makin tinggi

kandungan besi oksida, nilai ZPC tanah semakin meningkat. Mereka mendapatkan
nilai-r untuk hubungan ZPC tanah dengan kandungan Fe-o dan Fe-o/Fe-d berturutturut >0.90 dan

> 0.80. Contoh tanah penelitian bejumlah 26 buah, dan terdiri

dari 13 buah tanah abu volkan serta 13 buah tanah yang terlapuk lanjut. Jika

hubungan tersebut hanya didasarkan pada tanah terlapuk lanjut saja (Oxisol dan

Ulrisol), maka nilai-r untuk Fe-o dan Fe-d > 0.70.

b r a v a n Fosfaf
Fosfor &lam

tanah rnerupakan unsur makro yang sangat penting bagi

pertumbuhan tanaman. la sering dikemukakan banyak terfiksasi pada tanah-tanah
berkemhang lanjut. Komponen tanah yang memfiksasi fosfat antara lain adalah besi
oksida. Struktur ikatan permukaan ion pada adsorpsi spesifik tersebut belum diketahui sepenuhnya (Schwertmann &an Taylor. 1989). Namun dernikian, kompleks inti
tunggal dan inti ganda teiah diusulkan seperti pada Gambar 3.
Menurut Partitt, er al. (1975) berdasarkan teknik d i s i s spektroskopik sinar
infra merah, pada reaksi permukaan antara besi oksida clan ion fosfat, dua ion hidroksil permukaan (atau molekul air) digantikan oleh satu ion fosfat. Dua daripada
atom oksigen dari ion fosfat dikoordinasi masing-masing ke ion ~e~

yang berbeda,

dan menghasilkan kompleks permukaan inti ganda dari tipe Fe-O-P(0)2-O-Fe. Hal
ini teqadi pada permukan goetit, hematit, lepidokrosit, E f e m k hidroksida dan gel
fenik hidroksida amorf.
Aktifitas hesi oksida tanah terhadap retensi fosfat sangat bervariasi. Lopes
( 1 977. dulam Bigham. er al.. 1978) mendapatkan bahwa jumlah fosfat teradsorpsi

Gambar 3. Bagan Adsorpsi Spesifik Fosfat oleh Besi Oksida

per satuan beritt Fe dalam sejurnlah Latosol Merah Kuning dari Brasil lebih besar
dari Latosol Merah gelap. Sementara itu, Bigham, er a l . , (1978) mendapatkan bah-

wa besi oksida pa& tanah berwama kuning s e h g a i Ultisol dan Oxisol menjerap
fosfat lebih banyak per satuan berat daripada tanah berwarna merah dengan Order
yang sama. Hal tersebut tampaknya berkaitan dengan proporsi mineral goetit terhadap hematit yang berbeda. Tanah kuning lebih banyak rnengandung goetit daripa& tanah merah. Fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian Davey, Russel, dan
Wilson (1975) pada tanah Podsolik Merah dan Kuning di sekitar Sidney, Australia.
Dalam ha1 ini, luas permukaan besi oksida dari tanah kuning lebih tinggi daripada
tanah merah. Diketahui bahwa liat kuning lebih efisien mengabsorpsi fosfat daripada
liat merah.
Dari penelitian Manikandan clan Sastry (1988) pada tanah-tanah

Inceptisol,

Enrisol, dan A l f s o l diperoleh hahwa adsorpsi fosfat menurun 23.2 hingga 64.0%
karena besi oksida diekstrak oleh DSB dari tanah tersebut. Selanjublya dikernukakan
bahwa besi terekstrak DSB dan bahan amorf terekstrak NaOH 0.5N dari liat adalah

faktor ynng sangat penting sebagai yang bertanggung jawab terhadap adsorpsi fosfat
pada tannh tersebut. Tampaknya berbagai faktor menyebabkan variasi adsorpsi fosfat
oleh bcsi oksida, seperti fase mineral oksida, kristalinitas, serta substitusi isomorfii
Ai terhadap Fe.

Ahsorpsi fosfat, menurut hasil penelitian Juo dan Fox (1977) berkorelasi sangat nyata dengan Fe-d (nilai-r = 0.77). Sementara itu, penelitian Sah, Mikkelsen,

dan Hafcr (1989) menunjukkan bahwa besi oksida amorf berkorelasi lebih baik daripada bcsi oksida total (Fe-d) terhadap adsorpsi fosfat. Sedan-

Bigham, et al.,

(1978) mendapatkan bahwa secara struktural perbedaan adsorpsi fosfat antara goetit
dan hematit adalah kecil. Namun dari luas p m T n I k a a ~ y ayang lebih besar, goetit
lebih tinggi menjerap P daripada hematit.
Jerapan P menumn dengan bertambahnya derajat kristalinitas mineral. Ini telah ditunjukkan oleh Bezama dan Aomine (1977) pada tanah Andisol dari Chili.
Tanah tcrsebut mengandung mineral liat alofan dan imogolit. lmogolit yang lebih
kristalin mempunyai kapasitas adsorpsi P lebih rendah daripada alofan. Sim dan Ellis
(1983) juga memperoleh kapasitas erapan P dari endapan oksida-A1 yang menurun
dengan waktu karena terbentuk oksida-A1 yang lebih kristalin.
Fenomena yang agak mirip seperti sifat diatas adalah jika terjadi substitusi
isomorfii A1 atau Ti terhadap Fe. Hal tersebut akan menyebabkan pengerutan
ukuran kristal, karena radius atom AI. lebih kecil daripada ~

e (Schwertmann
~ +
dan

Taylor. 1989). Keadaan tersebut akan mengubah luas permukaan dan cenderung
meningkatkan kemampuan adsorpsi P.

DESKRIPSI DAERAH PENEJJTLAN

Tanah yang diteliti berasal dari lima lokasi, yaitu: Serpong, Serang, Bunga
Mayang, Sitiung, dan Pelaihari. Dua lokasi pertama berada di W p i n s i Jawa Barat.
Lokasi ke tiga berada di Propinsi Lampung, dan lokasi keempat di Sumatera Barat.
Sedangkan lokasi yang terakhir terletak di Kalimantan Selatan.

Lokasn S e r w n g
Pedon yang diteliti di daerah ini (SP 1, SP 2, S P 3) tepatnya terletak di
wilayah administratif Desa Lengkong Gudang, Kecamatan Serpong. Kabupaten
Tangerang. Lokasi Pedon kira-kira 4 k m dari pasar Serpong ke arah Tangerang.
Secara gwgrafik lokasi tersebut berada pada koordinat 10tio41'BT dan 6°18'LS
(Gambar 4). Ketinggian ternpat dari permukaan taut kira-kira 39m (Dit. Geologi
Indonesia, 1970).
Daerah penelitian m e ~ p d c a ndataran volkan (volcanicplain) sebagai bagian
dari kipas atuvium (Turkandi, Sidarto, Agus-tiyanto, dan Pub Hadiwidjojo,
1992). Ini dicirikan oleh bagian punggung yang homoge