Induksi keragaman Somaklon ke arah ketenggangan terhadap keracunan aluminium pada tanaman jagung

I. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Jagung sebagai sumber kalori merupakan tanaman pangan utama kedua

sesudah beras. Tidak kurang dari 18 juta penduduk Indonesia makanan pokoknya
adalah jagung dengan rata-rata konsumsi per kapita berkisar antara 15 - 20 kg per
tahun (Sudaryanto et al., 1988). Di beberapa wilayah seperti Madura, Sulawesi
Tenggara dan Nusa Tenggara Timur tingkat konsumsi jagung rata-rata mencapai

95 kglkapitaltahun.
Disamping sebagai tanaman pangan, jagung juga merupakan tanaman pakan
te~nakdan bahan baku industri yang jumlah permintaannya setiap tahun selalu meningkat, sehingga jumlah imporpun turut meningkat. Pada tahun 1987 angka Impor
jagung mencapai 69 000 ton, Perkiraan proyeksi kebutuhan jagung untuk pahgan,
pakan dan industri sampai akhir Pelita V (1994) sekitar 6.356 juta ton, sementafa
proyeksi perkiraan produksi pada tahun yang sarna hanya 6.044 juta ton, bsngan
demikian masih perlu impor sebesar 312 000 ton. Namun dalam realisaslnya atrgka
impor jagung tahun 1993 dari BULOG malah mencapai 439 000 ton yang didatan&

kan terutama dari RRC'). Pada akhir PJP I1 atau PELITA X (tahun 2018), perklraan

jumlah kebutuhan jagung akan meningkat lebih 2 kali lipat menjadi 14.69 juts ton
(Ditjentan Pangan dbkm Puslitbangtan dan Yuslitbanghort , 1992).
Dalam rangka mencapai swasembada jagung di masa mendatang, maka
upaya-upaya peningkatan produktivitas dan pengembangan lahan-lahan matginal
perlu terus digaldckan. Di Indonesia sebagian besar lahan marjinal tersebut berupa
tanah masam. Diperkirakan total luas arealnya mencapai sekitar 101.5 19 juts
hektar, 48.3 juta hektar diantaranya atau sekitar 30 persen dari luas lahan Indoneala
termasuk jenis Podzolik Merah Kuning. Dari jumlah tersebut hampir semuanya
*) Kompas, 13 September 1993, hal. 2

berada di luar Jawa. Daerah penyebarannya meliputi Sumatera seluas 20.6 juta
hektar (43.5 % luas pulau), Kali~nantan16.1 juta hektar (29.9 % luas pulau), Irian
Jaya 9.6 juta hektar (23.0% eluas pulau) dan Sulawesi 2.0 juta hektar (10.3% luas
pulau) (Sudjadi, 1984).
Masalah-masalah yang umum ditemui pada tanah Podzolik Merah Kuning
adalah tingkat erosi menonjol dan pencucian hara yang tinggi, sehingga gejala kahat
unsur Ca, Mg, P, K dan N serta keracunan A1 kerapkali ditemukan.
Kelebihan A1 dalam tanah pada umumnya berakibat buruk terhadap pertumbuhan tanaman. Gejala pertama yang mudah dilihat adalah pada sistem perakarannya yang tidak berkembang (pendek dan tebal). Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya hambatan perpanjangan sel dan rusaknya plasmalemma (selaput sitoplasma) sel

akar (Wagatsuma, 1988). Akibatnya transportasi air dan suplai hara menjadi terganggu, sehingga pada akhirnya pertumbuhan dan produksi tanaman akan menurun.

Keracunan A1 pada tanaman dapat diatasi dengan meniadakan kendala-kendala tanah masam itu sendiri melalui manipulasi sifat-sifat fisika kimia tanah dengan
pengapuran dan pemupukan berat serta penggunaan varietas tenggang (toleran) maSam. Kedua pendekatan tersebut telah ditempuh oleh Pemerintah Indonesia sejalan

dengan pengembangan program transmigrasi, terutama dalam satu dekade terakhir.
Namun demikian hasil yang diperoleh nampaknya belum memuaskan.
Usaha-usaha pemuliaan tanaman ke arah ketenggangan terhadap keracunan
A1 secara konvensional melalui seleksi lapang terhadap koleksi plasma nutfah jagung
yang tersedia di Indonesia (lokal dan intrduksi), selanjutnya diusahakan penyilangannya dengan varietas jagung komersial sudah cukup lama dilakukan, baik oleh perguruan tinggi maupun Balai Penelitian dan Pengembangan %aman Pangan (BPTP).
Akan tetapi sampai tahun 1992 baru satu varietas yang diperoleh dan dilepas kepada
petani, yaitu varietas Antasena, hasil pemuliaan BPTP Sukarami. Hal tersebut disebabkiin oleh lamban~iyakemajuan seleksi yang dicapai melalui metode tetsebut.

Beberapa faktor yang dirasakan sebagai kendala adalah pola pewarisan dari
sifat ketenggangan tanaman jagung terhadap keracunan A1 tersebut tidak sederhana,
sehingga pengaruh interaksi dengan faktor lingkungan sangat besar. Disamping itu
seringkali sifat ketenggangan tersebut terkait (linkage) dengan tingkat kemampuan
produksi dan kualitas hasil yang kurang memuaskan (Gorsline et al., 1964 dan

1968; Lutz et al., 1971).
Faktor lainnya adalah jagung merupakan tanaman menyerbuk silang (cross
pollinated crop) dimana konstitui genetik pada setiap lokusnya pada umumnya heterozigot. Dengan demikian relatif sulit untuk dapat melakukan rancangan persilangan yang mampu mengkombinasikan gen tenggang A1 tersebut ke dalam varietas koI


mersial secara cepat dan mantap. Selama ini metode pemuliaan yang umum digunakan pada tanaman jagung adalah metode seleksi daur ulang (recurrent selection).
Melalui metode tersebut untuk mencapai peningkatan frekuensi gen yang cukup
tinggi diperlukan beberapa siklus seleksi, yaitu antara 5 - 8 siklus bergantung pada
nilai heritabilitas dari karakter yang dimuliakan, walaupun pemuliaan untuk ketahan-

an terhadap penyakit tertentu sudah dapat diperoleh pada siklus kedua atau ketiga.
Semakin rendah nilai heretabilitasnya dan semakin komplek pola pewarisannya maka
akan semakin lama diperlukan waktu untuk melakukan seleksi guna mendapatkan
kemajuan genetik yang berarti. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan yang sangat besar. Oleh karena itu perlu dicari suatu terobosan strategi
pemuliaan tanaman baru yang memungkinkan untuk dapat melakukan tindakan seleksi lebih dini secara efektif dan efisien.
Dengan semakin berkembangnya penerapan ilmu bioteknologi tanaman pada
akhir-akhir ini, upaya melakukan tindakan seleksi pada tingkat sel dan jaringan
(kalus) secara in-vitro di laboratorium pada media mengandung racun buatan, selanjutnya meregenerasih~lnyamenjadi tanaman utuh nampaknya dapat memberi harapan lebih besar serta dapat n~enghematwaktu pada beberapa tahapan seleksi (Vasil,

1982). Beberapa kelebihan dari teknik in-vitro tersebut adalah sifat totipotensi sel
atau jaringan untuk dapat ditumbuhkan menjadi tanaman utuh dalam media kultur
buatan di dalam wadah yang relatif kecil (botol). Dengan demikian tidak diperlukan
areal atau lahan yang luas, namun cukup dalam ruangan yang sempit tapi memadai
untuk berlangsungnya kehidupan suatu kultur. Disamping itu keragaman ger~etik

tanaman dapat juga ditingkatkan melalui kultur in-vitro tersebut serta tekanan seleksi
relatif lebih seragam daripada di lapang. Namun demikian suatu kelemahan dari
teknik ini adalah daya ketenggangan terhadap suatu unsur (zat racun) yang ditunjuk-

kan pada tingkat sel dan jaringan (dalam botol kultur) belum tentu sama dengan daya
ketenggangan yang ditunjukkan pada tingkat tanaman (lapangan). Oleh karena itu,
hasil seleksi yang diperoleh pada tingkat laboratorium perlu dilanjutkan dengan
pengujian di lapangan.
Upaya mengkombinasikan pendekatan konvensional dengan pendekatan invitro secara baik dalam memperbaiki karakter suatu tanaman dapat meningkatkan
efisiensi seleksi dari seluruh tahapan proses pemuliaan tanaman tersebut. Kedua
cara tersebut bersifat saling melengkapi, karena masing-masing cara rnempunyai
kelebihan dan kelemahan sendiri-sendiri. Ddam ha1 ini upaya seleksi melalui pendekatan in-vitro hams didahului dengan studi regenerasi yang mantap.
Hasil studi terhadap kemampuan regenerasi dari embrio muda (imwaturl?

embryo) pada tanaman jagung menjadi tanaman utuh dm perbanyakannya menunjukkan bahwa peranan genotipa, komposisi media dan interaksi antar keduanya serta
umur eksplan sangat nyata. Setiap genotipa tidak selalu mempunyai tanggap yang
sama terhadap komposisi media yang sama, apalagi pada media yang berbeda

(Sutjahjo, 1991). Demikian juga hasil studi terhadap kultur anther jagung menunjukkan persentase keberhasilan yang relatif sangat rendah dan peranan genotipa
sangat menonjol (Sutjahjo, 1992).


Seleksi secara in-vitro sangat mungkin dilakukan disebabkan oleh adanya
fenomena keragaman somaklon (somaclonal variation), yai tu keragaman genetik
tanaman yang dihasilkan melalui kultur sel atau kultur jaringan (Larkin dan

Scowcroft, 1981). Sejauh mana keampuhan dari fenomena ini jika diarahkan pada
perbaikan sifat tanaman pada kondisi lingkungan tertentu, nampaknya masih perlu
djuji lebih teliti.
1.2.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan keragaman somaklon tanaman
jagung yang tenggang terhadap keracunan A1 melalui penerapan tekanan seleksi pada
tingkat in-vitro. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat dikembangkan ke arah

pembentukan varietas jagung yang tenggang terhadap keracunan A1 melalui metode
seleksi massa di lapang atau pembentukan varietas hibrida melalui kultur haploid

(anther culture maupun ovule culture).

Hasil yang diharapkan pada program penelitian ini adalah :
(1) Pembentukan kalus dan pertumbuhan kalus pada berbagai komposisi media yang
dicobakan.

-

(2) Mogbgenesis (proses perubahan menuju terbentuknya organ tunas dan akar atau
pianlet) pada kalus yang t e h t r r k .

(3) Pertumbuhan dan perkembangan kaks parts d i a seleksi yang meagaadung

berbagai konsentrasi A1 serta

~~pada kaius yang tenggang Al.

(4) Aklimatisasi clan evaluasi penampilan tanaman mmaklon di lapang.
A

IEpkisPenelitiart
Beberap hipotesis yang diajttkau chtfam p e n d i t h ini addah sebagai berikut:


(I) Mdaiui kultur in-vitro a h krbentuk k e q p m m (variasi) dari berbagai karakter

agmmmik yang &pat diwariskan (inherit&, disebabkm oleh p e r u b h faktor
genetik.

(2) Melalui penerapan tekanan seleksi pada tingkat in-vitro dengan A1 akan di peroleh tanaman jagung somaklon yang mampu menenggang terhadap keracunan Al.
(3) Diantara tanaman somaklon tenggang A1 yang diperoleh akan dapat diseleksi
tanaman jagung yang mempunyai karakter agronomik tetap baik dengan penampakan morfologi tanaman tetap normal.

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kemasaman 'bnah dan Keracunan Aluminium
'Emah masam berkembang pada horizon-horizon yang kadar ketersediaan

basanya pada larutan tanah akibat pelapukan mineral primer atau sumber lain lebih
sedikit dibandingkan dengan tingkat pencuciannya (Van Wambeke, 1979; Clark,


1982). Ditegaskan oleh Soepardi (1978) bahwa kemasaman tanah merupakan hasil
akhir dari curah hujan yang tinggi yang diikuti dengan intensitas hancuran yang
tinggi juga. Dalam ha1 ini, selama proses hancuran berlangsung basa-basa dari
mineral primer dibebaskan dan tercuci keluar dari profil tanah oleh air hujan yang
mengikutinya.
Kussow (1971) menyatakan bahwa sumber kemasaman tanah bergantung

pada pHnya. Pada tanah yang mempunyai pH kurang dari 5.5, aluminium dalam
berbagai bentuk merupakan sumber utarna dari kemasaman. Pada tanah yang amat
masam (pH kurang dari 4.5) sejumlah ion ~

l menempati
~ +
tempat pertukaran,

sedangkan pada pH antara 4.5 sampai 5.5 aluminium berada dalam bentuk hidroksi
monomerik atau menjadi bentuk kompleks dengan bahan organik.
Kemasaman tanah dapat mengubah populasi dan aktivitas jasad mikro yang
berperan dalarn transformasi N, S clan P dalam tanah, sehingga secara tidak langsung


akan mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur tersebut bagi tanaman. Disamping itu
tanah masam biasanya mempusyai kapasitas tukar basa yang rendah tetapi kapasitas
pencuciannya tinggi. Kemasaman tanah meningkatkan ketersediaan unsur-unsur Mn
dan Al. Unsur-unsur ini dapat merupakan racun bagi tanaman (Soepardi, 1978).
Sementara itu Sanchez (1976) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman yang buruk
pada tanah rnasam berkaitan dengan kejenuhan A1 yang tinggi. Adapun pH saja
tidak berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman, kecuali bila kurang dari 4.2. Dalam
ha1 ini, ketidaksuburan tanah masam mencakup keracunan aluminium, kekahatan P,
Ca, Mg dan keracunan Mn.

Gejda keracunan aluminium tampak pada keadaan perakaran dan bagian atas
tanaman (tajuk) yang merana. Reid (1976) menyatakan bahwa pada tanaman serealia, gejala keracunan aluminium adalah : akar lambat memanjang, menebal dan tidak
bercabang secara normal, ujung akar rusak dan berwarna coklat serta akar adventif
tumbuh selama tajuk masih hidup. Sunarto (1984) yang menguji daya ketenggangan
galur kedelai terhadap keracunan aluminium, mendapatkan bahwa kemasaman tanah
yang tinggi berpengaruh terhadap bobot kering tajuk dan panjang akar, namun tidak
berpengaruh terhadap bobot kering akar. Adapun Samad (1980) yang bekerja pada
tanaman padi gogo, mendapatkan bahwa jumlah anakan dan bobot kering tajuk
terganggu oleh kemasaman tanah yang tinggi, sedangkan bobot akar dan nisbah
tajuk-akar tidak terganggu.

2.2.

Keragaman dan Seleksi Tanaman ke arah Ketenggangan terhadap
Keracunan Aluminium
Devine (1982) menyatakan bahwa salah satu prasyarat untuk melakukan

perbaikan genetik adalah tersedianya keragaman genetik untuk ciri yang dikehendaki. Keragaman itu dapat berasal dari varietas budidaya, spesies liar atau dari
spesies lain yang berdekatan.
Adanya keragaman genetik untuk karakter ketenggangan terhadap keracunan
aluminium dan pH rendah pada berbagai tanaman telah ditemukan sejak lama.

WrigM clan Ferrari (1976) menemukan adanya perkdaan tanggap tanaman terhadap kefarutan ion aluminium tinggi dan kondisi pH tanah rendah pada tanaman serealia seperti : barley, gandum, rye, triticale, padi, jagung, sorghum, millet dan oats

serta tanaman legurn seperti : kedelai dan alfalfa.
Upaya untuk menyaring atau menyeleksi jenis-jenis tanaman tenggang Al dan
pH rendah tersebut dari alam sudah dilakukan oleh banyak peneliti. Demikian pula
upaya untuk mengetahui pola pewarisannya secara genetik sudah dipelajari.

Foy et


al. (1965) menguji daya ketenggangan 227 varietas gandum terhadap keracunan A1

dan mendapatkan tanggap yang beragam antar varietas.

Diduga ketenggangan

tanaman gandum tersebut terhadap keracunan A1 dikendalikan oleh satu atau dua gen
utama (major gene) dan beberapa gen peubah (modifier gene) yang pola pewarisannya tidak sederhana (Kerridge dan Kronstad, 1968) . Van Essen dan Dantuma
(1962) mendapatkan sebanyak 61 varietas tanaman barley yang tenggang terhadap

kondisi pH tanah rendah dari 670 varietas yang diseleksi.
Pada tanaman jagung Lutz et al. (1971) menguji sejumlah galur inbred
(inbred line) dan hibrida silang tunggal pada tanah sangat masam (pH

=.

3.9).

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan produktivitasnya
sangat beragam diantara galur-galur yang diuji.

Berdasarkan hasil studi Gorsline

et al. (1964 dan 1968) ditegaskan bahwa perbedaan tanggap tanaman tersebut
bersifat genetik dan dikendalikan oleh paling sedikit dua gen utama dan satu atau
lebih gen pendamping (minor gene). Dengan demikian, potensi genetik di alam
untuk menyeleksi tanaman-tanaman yang tenggang terhadap keracunan A1 relatif
tersedia cukup besar, walaupun seringkali terkait dengan tingkat kemampuan
produksi dan kualitas hasil yang kurang memuaskan, sehingga diperlukan suatu
strategi pemuliaan yang mampu mematahkan kaitan gen tersebut serta mendorong
rekombinasi baru yang menguntungkan (Hallauer, 1981).

2.3.

Mekanisme Serapan Al oleh Tanaman dan Ketenggangan Tanaman
terhadap Keracunan Aluminium

Menurut Sanchez (1976) tanaman yang tenggang terhadap aluminium biasanya memiliki kriteria sebagai berikut: (1) akar sanggup untuk tumbuh terus dan
ujungnya tidak rusak, (2) A1 sedikit yang ditranslokasikan ke bagian atas tanaman
karena sebagian besar ditahan di akar, (3) ditambahkan oleh peneliti lain bahwa tanaman mempunyai berbagai cara untuk menetralisir pengaruh racun A1 setelah diserap tanaman (Fitter dan Hay, 1981).

Aluminium hanya dapat disetap oleh akar dalam bcntuk ian, Dal81il h@l in1
terbentuknya ion A1 sangat bergantung pada keadaan pH tanah (McLcnn, 1978).
Ion A1 hanya dapat terbentuk pada pH rendah dimana terdapat kelebiha~ion

H+,

sedangkan pada kondisi basa aluminium akan mengendap sebagai Al(OH)

+

+.

Kesetimbangan yang terjadi dapat dilukiskan sebagai berikut :
Al+**

+ H20

Al(OH)++

+ H+

Wagatsuma et al. (1987) menyatakan bahwa urutan dart keterngg&ngan
terhadap A1 diantara spesies-spesies tanaman pada umumnya sejalan dengan perbe-

daan ketenggangan dari plasmalemma sel akar terhadap A1 , semakin kuat plamalemma sel akan semakin tenggang tanaman tersebut terhadap Al, Sebaliknya,
semakin lemah plasmalemmanya lnaka tanaman akan semakin peka terhadap keracunan Al. Dalam ha1 ini, plasmalemma dari set akar berfungsi sebagai penghalang
(barrier) terhadap penembusan pasif dari A1 lce dalam sitoplasma scthingga fungai

serta struktur sitoplasma secara metabolik dapat terpelihara.
Tempat ikatan utama dari A1 di dalam akar adalah senyawa pektat, asarn
malat dan asam transakonitat pada dinding wl (Suhsyda darl Ilnrrg, 1986), terutama
pada sel-sel epidern~je,aklotwlcrn~isdan endodertnis. Pada akar utuh kebanyakan Al
yang diserap dilokalisir di apoplasma dan plasmalemma, Bila plasmal&rnma

ruw,

maka A1 yang diserap akan terus masuk ke zsitoplnsma dari sel-sel akar dafl dilkat
oleh berbagai organel sel di dalaln sitoplasma, sehingga ujung akar akan tt~sbk
karena sejumlah besar dari A1 diakumulasikan di dalam sitoplasma ujun$ skar
(Gambar 1).

Mekanisme fisiologi dan biokimia yarig tepat pada tingkat seluler tantang
keracunan A1 atau ketenggangannya masih sukar dipahami, walaupun data tentang
pengaruh racun dari logam tersebut cukup banyak tersedia (Foy et al., 1978 dan

Haug, 1984). Dalam ha1 ini, mekanisme tersebut dapat berbeda antar species dan
varietas serta dikendalikan oleh gen yang berbeda,
Beberapa teorl mekanisme ketenggangan tanaman terhadap keracunan A1 dan

pH rendah secara fisiologi yang berkembang sa~t~pai
wit ini sedikitnya ada 2 maam
yaitu:
(1) Tanaman mempunyai kemampuan untuk mengubah pH di daerah perakaran
dengan cara melringkatkan pH larutan hara sehingga kelarutan dan uksisitas A1
berkurang (Foy el al., 19671 MugwDra el al., 1976; Matrumoto ot al,, 19761

Foy dan Flemrning, 1978). Diduga kelrlampuan mengubah pH @rrebut b(3rh~.
bungan dengan mekanisme penyerapan anion dan kation oleh akat tanaman,

(2) Pembentukan komplek A1 dengan senyawa organik (asam sitrat) dm agsW fmctl
sehingga pengaruh racun dari A1 dapat dinetralkan (Madner, 1986).
Berdasarkan akurnulasi A1 di dalam tajuk, tanaman yang tenggang terhadap
A1 dapat dibagi sedikitnya ke dalarn 3 kelompok (Blum, 1988) yaitu:
(1) Kadar A1 dalam tajuk tidak nyata berbeda dengan tanaman yang peka, tetapi

akar tanaman yang tenggang A1 sering mengandung kadar A1 lebih rendah dad*

pada mmnan Yang peka.
(2) Ketenggangan terhadap A1 ditunjukkan dengan kadar A1 dalam tajuk yang lebih
rendah.

(3) Ketenggangan terhadap A1 secara langsung ditunjukkan oleh akumula~lA1 dalam
tajuk.

2.4.

Seleksi In-vitro pada 'bnaman
Seleksi in-vitro untuk mendapatkan sel-sel tanaman yang tenggang tethadap

garam clan beberapa logam berat telah banyak dilakukan sejak beberapa tahun terak.
hir pada tanaman pertanian penting, Adapun seleksi untuk mendapatkan gel-sel
tanaman yang tenggang terhadap aluminium baru dilakukan pada tomat dan kentang

(Stavarek dan Rains, 1984), wortel (Ojima dan Ohira, 1982) serta sorghum
(Smith et al., 1983).
Kultur kalus dari dua kultivar tomat pada media yang meng8rlduog alunrinl-

um juga diuji oleh Meredith (1978). Kesimpulan yang diperoleh m~negukanbiahws
kultur sel dapat digunakan untuk menyeleksi varietas yang berbeda ketenggmgannya terhadap aluminium. Namun demikian, dari kultur kalus yang tengang tersebut belum berhasil diregenerasikan menjadi tanaman utuh. DemiMan pula dengan

Ojima dan Ohira (1982), kalus wortel yang tenggang terhadap keracunan aluminium sudah diperoleh namun upaya untuk menumbuhkannya menjadi tanaman
lengkap masih belum berhasil, Baru empat tahun kemudian (1986) etelah kottrposisi media regenerasi untuk menumbuhkan kalus wortel tenggang keracunidh A1
tersebut ditemukan, tanaman wortel tenggang A1 hasil regenerad diperoleh. Nrdmun
demikian evaluasi daya ketenggangannya terhadap kerolcunan A1 di iapang belum
dilakukan.
Melalui teknik kultut in-vltro ini terdapat dua ha1 yang berbetla kepentlngannya bagi pemuliaan tanaman, yaitu mcmpertahankan kestabilan genotipa dan merangsang terbentuknya kemgrrman genetik , Kestabilan genotipa dapat clicapai dengw
mendorong sesingkat mungkin fase pertumbu han talc berdiferensiasi (fase ltalus dm
sel bebas), sedangkan keragaman genetik dapat dicapai pada fase tak berdiferensiasi
yang relatif panjang. Sejumlah mutan diduga dapat terbentuk pada fase kalus dan
sel bebas, dan dari sini dapat diseleksi turunan yang sangat berguna bagi pemuliaan

tanaman (Wattimena dan Mattjik, 1991).

2.5.

Induksi Kalus dan Regenerasi pada 'hnaxnan Jagung
Kultur jaringan jagung yang dilakukan dengan menggunakan kultur endo-

sperma pada awalnya ditujukan untuk penelitian-penelitian biokimia. Media yanlp
digunakan dikembangkan oleh Straus (1960). Dalam hal ini, induksi pembentukarl
kalus sudah berhasil diperoleh dengan menggunakan eksplan potongan tunas, embrio
mu& dan bunga muda (Green et al., 1974). Akan tetapi usaha untuk meregenerasikan kalus tersebut membentuk planlet masih mengalami kegagalan. Baru pada
tahun berikutnya, Green dan Phillips (1975)berhasil meregenerasikan tanaman
dari kultur kalus dengan menggunakan embrio muda yang ditumbuhkan dalam
media yang diberi hormon 2,4-D. Selanjutnya, Vasll et al. (1984) juga berhasil
mendapatkan kalus embriogenik melalui kultur suspensi sel dengan subkultur
(pemindahan kalus ke dalam media baru) yang dilakukan berulang-ulang. Dari
hail peneli tian tersebut disimpulkan bahwa frekuensi pembentukan kalus embriogenik dipengaruhi juga oletr tipe eksplan dan tingkat perkembangan tanaman yang
digunakan sebagai sumber eksplan. Stadia embrio dan macam genatipa jagung yang
digunakan j uga berpengaru h terhadap kemampuan regenerasi tanaman tersebu t.
Beberapa genotipa tidak mempunyai daya regenerasi untuk metnbentuk planlet.
Sebaliknya, beberapa lainnya mempunyai kemampuan beregenerasi. Oleh Duncan

et al. (1985)ditegaskan bahwa pada kultur jaringan jagung terdapat potensi genetik
yang berbeda untuk tumbuh dan beregenerasi menjadi tanaman. Kemampuan regenerasi untuk membentuk tanaman relatif sukar dicapai dan terbatas pada beberapa
genotipa saja (Rapela, 1985).

Green dan Phillips (1975) menunjukkan bahwa embrio jagung yang diambil 18 hari sesudah polinasi mempunyai kemampuan regenerasi yang paling tinggi, sedangkan pengambilan embrio lewat dari 18 hari menyebabkan kemampuan
regenerasinya menurun. Adapun hasil studi yang dilakukan di Indonesia pada

beberapa genotipa jagung menunjukkan bahwa saat pengambilan embrio yang
terbaik pada saat 10 hari sesudah polinasi (Sutjahjo, 1991).

Tomes (1985) menjelaskan bahwa terdapat 2 macam kalus yang dapat terbentuk dalam kultur in-vitro suatu tanaman, yaitu: (a) kalus embriogenik dan (b) kalus
non-embriogenik, Kalus embriogenik (kalus G) adalah kalus yang rnempunyai potensi untuk beregenerasi menjadi tanaman, baik melalui organogenesis (langsung
rnembentuk organ) maupun embriogenesis (melalui pembentukan embrio somatik).
Adapun kalus non-embriogenik adalah kalus yang sedikit atau tidak mempunyai
kemampuan untuk beregenerasi membentu k tanaman, Oleh Green et al, (1983),
kalus E dibedakan lagi menjadi 2 macam yaitu: (a) kalus E tipe I dengan ciri-ciri;
kompak, tidak tembus cahaya, pertumbuhannya relatif lambat dan strukturnya
komplek, (b) kalus E tipe II dengan ciri-ciri;friabel (remah), kurang kompak pertumbuhannya cept dengan bentuk embriosomatik lebih jelas pada permukaan kalus

(berupa nodul), kalus berwarna putih sampai kuning. Oleh Vasil (1982) embriogenesis somatik disebut juga sebagai struktur bipolar, yaitu suatu struktur bulat yang
terbentuk pada permukaan kalus E sebagai hasil dari aktivitas perturnbuhan sel-sel
rneristematik pada skutelurn sampai koleoriza. Pada sejumlah tanaman struktur
demikian diyalcini sebagai lintasan utama (principal pathway) un tu k terjadinya regenerasi tanaman.

2.6.

Keragaman Sornaklon
Istilah keragaman somaklon pertama kali dikemukakan oleh Larkin dan

Scowcroft (1981) yang didefinisikan sebagai keraganlan genetik dari tanaman yang
dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik lnaupun sel gamet. Oleh Sonduhl yt

al. (1984) istilah tersebut diartikan sebagai kultur sel yang bsrasal sel somatik
saja, seperti sel daun, sel akar dan batang, sedangkan kultur yang berasal dari sel

gamet disebut gametoklonal. Adapun tanaman yang diperoleh dari peristiwa
somaklonal disebut somaklon dan dari gametoklonal disebut gametoklon (Evans dnn
Sharp, 1986). Istilah kaliklon (Skirvln dan Janick, 1976) berlaku bagi tmaman
yang berasal dari kalus, sedangkan protoklon bagi tanaman yang berasal dari protoplas (Shepard et al,, 1980). Namun demikian pada saat ini pengertian keragaman
somaklon dari Larkin dan Scowcroft (1981) yang dipakai termasuk di dalamnya :
gametoklon, kaliklon dan protoklon.
Adanya keragaman somaklon pertama kali dilaporkan pada tanaman tebu
oleh Heinz dan Mee (1969; 1971) yang meliputi keragaman dari kandungan sukrosa

dan resistensi terhadap beberapa penyakit seperti: virus Fiji, downy mildew, eyespot
dan Colmicolous smut. Sejak saat itu penelitian terus dilakukan pada tanaman pertanian penting lainnya seperti padi (Oono, 1978; Sun et al., 1983) , Lolium spp.
(Ahloowalia, 1975; 1983), gandum (Larkin et al., 1984) dan jagung (Gangenbach
et al.,

1977; Gangenbach et al., 1981).
Dokumentasi oleh Evans et al. (1986) mencatat sebanyak 22 jenis tanaman

pertanian penting telah diteliti tanggapnya secara in-vitro dan terbukti dapat menghab
silkan keragaman somaklon yang mewaris (inherited) pada berbagai karakter seperti
tinggi tanaman, jumlah daun, letak daun, ketahanan terhadap FZtsarr'um sp., besar

dan warna bunga, kegenjahan serta komponen produksi dan lain-lain.
Tujuan seleksi pada tanaman somaklon yrng beragam terutama untuk
memperbaiki sifat lemah dari suatu kultivat yang telah beradaptasi, sepertl untuk
meningkatkan ketahanan terhadap penyakit, kekeringan, termasuk ketenggangan terhadap keracunan aluminium.
2.6.1.
Keragaman somaklon pada dasarnya terjadi akibat peristiwa mutasi, yaitu
suatu perubahan karakter yang diwariskan disebabkan oleh berubahnya struktur

pembawa sifat menurun (inherited trait) baik pada tingkat DNA atau gen yang
disebut juga mutasi kecil atau mutasi titik, maupun pada tingkat khromosom yang
disebut juga mutasi besar. Oleh karena itu, mekanisme kejadiannya hampir sama
dengan efek mutagenesis konvensional (radiasi), yakni bersifat acak dan keragaman
yang dihasilkannya dapat bermanfaat atau kurang bermanfaat, bahkan mungkin
fnerugikan. Namun demikian keragaman somaklon relatif lebih mudah dideteksi
dan lebih cepat diperoleh daripada mutagenesis konvensional (Ahloowalia, 1986;
Novak et al., 1986 dan 1988). Evans dan Sharp (1983) mendapatkan 1 mutan dari
setiap 20-25 tanaman tomat hasil regenerasi in-vitro. Dalam ha1 ini, keragaman
genetik yang terjadi dapat berasal dari eksplan atau dari perubahan getletik yang
terjadi selama dalam kultur media (Wattimena, 1988a). Dengan demikian perubah-

an genetik tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa segregasi maupun rekombinasi
gen seperti biasa tejadi akibat proses persilangan (crossing).
Keragaman genetik pada eksplan disebabkan oleh adanya sel-sel bermutan da-

ri jaringan tertentu. Adapun keragaman genetik yang terjadi di dalan~ kultur
media dapat disebabkan olch adanya peristiwa eruiornitosis, eruioreduplikmi, permbahan struktur khromosom (duplikasi, inversi dan translokasi), pindah silang

sornatik maupun poliploidi (Scowcroft dan Larkin, 1981; Evans dan Sharp, 1986;
Ahloowalia, 1986; Suzukl, 1981).

2.6.2.

M e m m h i KeBeberapa faktor penting yang berpengaruh terhadap terjadinya keragaman

somaklon adalah: (a) genotipa (homozigot atau heterozigot), @) jenis eksplan (daun,
batang, akar dan umbi), (c) komposisi media (zat pengatur tumbuh) dan (d) lamarlya
fase kalus di dalam kultur in-vitro.

(1)

GenotiDa
Genotipa merupakan faktor penting di dalam menimbulkan keragaman soma-

klon, karena genotipa dapat mempengaruhi besarnya frekuensi regenerasi dan frekuensi somaklon yang terjadi. Gunn dan Shepard (1981) mendapatkan jumlah tanaman regenerasi yang berbeda dari 2 kultivar kentang yang dikulturkan pada kondisi yang sama.
Dari banyak literatur diketahui bahwa tanaman dari genotipa yang berbeda
mempunyai frekuensi somaklon yang berbeda pula. Shepard et al. (1980) mencatat
terjadinya frekuensi keragaman genotipa yang tinggi dari kultivar kentang Russet

Burbank. Akan tetapi Wenzel et al. (1979) hanya mendapatkan keragaman yang sangat kecil di antara 200 tanaman regenerasi hasil kultur protoplas yang berasal dati 5
Mon kentang diploid.

Sun et al. (1983) membandingkan besarnya frekuensi poliploid tanaman regenerasi in-vitro dari 18 varietas padi. Adanya multiploid ditemukan pada varietas
indica, sedangkan pada varietas japonica tidak ditemukan. Demikian pula frekuensi
mutan yang mengalami defisiensi khlorofil beragam sangat nyata di antara 2 varietas
padi tersebut.
(2) S

S

W

Sumber eksplan merupakan faktor yang sangat penting dalam medtnbulkan
keragaman sornaklon. Pada tanaman geranium, keragaman hanya berhasil diperoleh

dari eksplan potongan petiol, sedangkan dari eksplan potongan batang tidak berhasil,
Demikian pula pada tanaman tebu, frekuensi dan spektrum somaklon yang terjadi
berasal dari sumber eksplan yang berbeda.
Pada tanaman kentang, adanya keragaman somaklon pertama kali ditemukan
pada kultur protoplas. Akan tetapi pada saat ini, keragaman somaklon dapat juga

diperoleh melalui kultur langsung dari eksplan daun maupun petiol. Dalam hd ini
menurut Roest dan Bokelman (1980), eksplan yang berasal dari daun atau bagian
daun memberikan keragaman genetik lebih besar daripada eksplan dad bagian
tanaman lainnya.

(3) Lamanva dalam Kultur Sel
Adanya keragaman dalam jumlah khromosom akibat kultur sel sudah dilaporkan oleh para peneliti. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya keragaman
tersebut adalah:
(a) Adanya khromosom cacat (mosaik) pada tanaman yang digunakan untuk
inisiasi kultur.
(b) Terjadinya fragmen tasi in ti yang berasosiasi dengan pembelahan pertama
dari sel pada saat inisiasi kdus (Cionini et al., 1978).
(c) Endoreduplikasi atau endomitosis yang terjadi selama inisiasi kultur
(DlAmato, 1978).
(d) Terjadinya ketidaknormalan proses mitosis yang dihasilkan oleh sel-sel
aneuploid.
Telah diyakini secara luas bahwa masa kultur in-vitro yang lama dapat menyebabkan jumlah khromosom beragam. Korelasi antara lamanya kultur in-uitr~dan
akumulasi perubahan khromosom pertama kali ditemukan pada Baucus carota

(Smith dan Street, 1974), dimana kultur sel berisi banyak sel-sel abnormal dan
dapat beregenerasi menjadi tanaman. Selanjutnya Evans st al. (1984) mencatat
adanya tanaman poliploid dan aneuploid yang diregenerasikan secara in-vitro pada
ban yak tanaman seperti: geranium, ornamental Nicotiane, tembakau, tomat, alfalfa
dan lain-lain. Dalam hal ini ditambahkan bahwa aneuploid lebih sexing berasal dari
tanaman poliploid atau hibrida seperti N. tubacum (Sacristan dan Melchers, 1969)
dan hibrida Saccharuni (IIeinz dan Mee, 1971).

Reberapa peneliti menyatakan bahwa keragaman somaklon semakin meningkat dengan makin lamanya masa inkubasi eksplan dalam kultur. Barbier dan
Dulieu (1983) yang menggunakan penanda genetik dari sumber eksplan yang digu-

nakan telah menunjukkan bahwa kebanyakan perubahan-perubahan genetik terjadi
pada periode mitosis prtama dalam kultur dan beberapa perubahan genetik meningkat sejalan dengar1 larnanya dalam kultur, Demikian pula dengan menggunakan
protoplas dari tanaman donor heterozigot I d n dan Scowcroft (1983) menu~~jukkan
bahwa dengan memperpanjang periode kultur dua kali lipat frekuensi perubahan
genetik meningkat dari 1.4 % menjadi 6 %. Fukui (1983) memonitor terjadinya
mutasi ganda (multiple mutation) pada tanaman regenerasi asal kultur kalus dari
padi. Ia dapat menguraikan tentang urutan tejadinya mutasi, yang terjadi tidak
bersamaan selama dalam kultur dari galur kalus tunggal. Evans et 01. (1982)
menambahkan bahwa hibrida somatik merupakan sumber keragaman yang besar
daripada hibrida seksual. Beberapa keragaman unik telah dideteksi antara Won-klon
hibrida somatik (Evans et al., 1983).
(4) Kondisi Kultu~
Telah diketahui sejak lama bahwa komposisi zat pengatur tumbuh dari media
kultur dapat mempengaruhi frekuensi perubahan kariotipa dalam kultur sel (Baylks,

1975). Zat pengatur tumbuh 2,443 paling sering diyakini sebagai yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya keragarnan khromosom (Singh et al., 1975). Konsentrasi
yang tinggi dari 2,4-D erat kaitannya dengan keragaman dari tanaman-tanaman
regenerasi Hordewn (Deambrogio dan Dale, 1980). Demikian pula, penggunaan
2,4-D dan NAA dalam media kultur kentang juga meningkatkan frekuensi tanaman
abnormal (Shepard, 1981). Dalam ha1 ini, terdapat hubungan yang erat antara
keberadaan zat pengatur tumbuh dengan lamanya periode kultur.
Peningkatan keragaman tanaman somaklon dapat juga dilakukan dengan pemberian mutagen pada eksplan, baik secara fisik (sinar X , sinar gamma) maupun

secara kimia (EMS, DEMS, dan NMU) (Ancora dan Sonuino, 1987). Ceulemans
et al. (1986) menyatakan bahwa penggabungan teknik mutagen dengan teknik soma-

klon mungkin memberikan harapan lebih besar untuk memperoleh keragaman tanaman yang besar. Pada tanaman kentang pemberian mutagen pada eksplan relatif
lebih baik daripada kalus, karena pemberian mutagen pada eksplan akan memberikan
mutan utuh (solid mutan), sedangkan pemberian mutagen pada kalus menghasilkan
mutan parsial (chimeric mutant) (Roest, 1977). Dalam ha1 ini, mutan yang mempunyai nilai dalam perbaikan tanaman adalah mutan utuh.
2.7.

Bentuk-bentuk Keragaman Somaklon pada Beberapa Bnaman
Bentuk-bentuk perubahan sifat secara genetik yang diperoleh meialui feno-

mena somaklon yang telah diteliti sampai sejauh ini dapat dibagi ke dalam beberapa
kelompok sebagai berikut (Ahloowalia, 1986) :
(a) Albino, defisiensi klorofil dan bentuk-bentuk cacat: Bentuk-bentuk keragaman
somaklon seperti ini ban yak ditemukan pada Avena sativa L., padi, Loliwn spp.,
Festuca ruba , gandum , barley dan jagung.
(b) Perubahan karakter kuantitatif seperti produksi biji, tinggi tanaman, ketahanan
terhadap penyakit, fertilitas polen dan kandungan protein telah dilaporkan pada
beberapa tanaman yang meliputi :

- perubahan vigor pada Lolium spp.
- tanaman kerdil pada tebu
- pembentukan malai (tasseling) yang lebih awal pada jagung
- peningkatan kandungan protein pada padi
- perubahan jumlah tongkol, warna biji pada jagung
- perubahan kandungan gula pada tebu

- ukuran dan bentuk umbi pada kentang

(c) Ketahanan terhadap penyakit dan herbisida pada alfalfa , tembakau, tomat, jagung, padi, kentang dan tebu.
(d) Keragaman lainnya meliputi ketahanan terhadap cekaman lingkungan dan zat
antibiotik.
2.8.

Teknik Mendapatkan Keragaman Somaklon
Terdapat tiga cara memperoleh keragaman somaklon yaitu meliputi : (1) kul-

tur kalus, (2) kultur suspensi (sel tunggal), (3) kultur protoplasma.
2.8.1. Kultur Kalus
Dalam kultur kalus, eksplan tidak langsung diregenerasikan menjadi tunas
adventif atau embrio somatik, akan tetapi diinduksi dulu membentuk kalus untuk beberapa lama. Selanjutnya kalus diinduksi untuk membentuk embrio somatik, scsudah itu dirangsang untuk membentuk tunas dan akar menjadi planlet. Dalam hal ini
bahan tanaman yang membentuk kalus akan menghasilkan sejumlah keragaman genetik. Secara skematis tahapan kultur kalus (regenerasi tidak langsung) tersebut
adalah :
Eksplan ---- b kalus---- b e. somatik ---- b tunas adventif --- b tanamau.
Pada cara ini pemilihan eksplan dan media memegang peranan penting,
Pemilihan eksplan selain untuk mendapatkan keragaman genetik juga penting di
dalam proses morfogenesis. Komposisi media penting untuk menginduksi kalus,
tunas atau embrio somatik. Teknik mendapatkan tanaman melalui kultur kalus relatif
lebih mudah dibandingkan dengan cara in-vitro lainnya. Oleh karena itu, cara inilah
yang ditempuh di dalam penelitian ini.

2.8.2. Kultur Suspensi (Sel Tun@
Kultur sel tunggal pada dasarnya merupakan modifikasi dari kultur kalus.
Dalam ha1 ini kalus embriogenik yang dihasilkan diagregasi menjadi sel tunggal
untuk selanjutnya dikulturkan kembali di dalam kultur cair untuk diinduksi kembali
menjadi kalus dan planlet.
Prosedur seleksi melalui kultur suspensi dimulai dari penanaman dan pemilih-

an eksplan, induksi kalus, isolasi sel, penebaran sel, induksi kalus kembali, induksi
tunas adventif, induksi akar dan pemindahan lapang.
Genotipa dan umur tanaman sebagai sumber eksplan sangat menentukan
proses-proses selanjutnya. Demikian juga faktor media sangat menentukan keberhasilan kultur. Kultur sel ini telah dicobakan pada tanaman tebu, kentang, tembakau,
padi, jagung , barley, kol, pelargonium dan chrysanthemum (Scowcroft dan Larkin,

2.8.3. Kultur Proto~las
Protoplas adalah sel yang telah dihilangkan dindingnya secara enzimatik atau
disebut juga sebagai sel telanjang.

Di dalam kultur protoplas yang penting bahwa harus dapat diisolasi protoplas
yang utuh dan protoplas tersebut harus dapat membentuk dinding sel, selanjutnya
membelah membentuk kalus kemudian meregenerasi menjadi plantlet. Kalus yang
berasal dari protoplas disebut protoplas kalus (Wattimena et al., 1988).
Kultur protoplas merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sifat-sifat
lemah dari kultivar yang ada, seperti: ketahanan terhadap penyakit, ketenggangan
terhadap stres dan sifat-sifat morfologis tertentu. Cara ini telah dilakukan pada
beberapa jenis tanaman seperti: kentang, petunia, dan tomat.

Tanaman hasil regenerasi dari protaplas seringkali mengalami perubahan
morfologi, jumlah khromosom maupun fertilitasnya. Pada tembakau perubahan
terjadi pada warna dan bentuk daun, sedangkan pada kentang perubahan tejadi pada
bentuk umbi, kematangan umbi, warna daun, bulu-bulu pada daun, respon terhadap
lamanya penyinaran, ketahanan terhadap Phyptophtora infestan dm Alternuria sofani
(Reish, 1983).

2.9.

Keragaman Somaklon pada Jagung

Penelitian tentang adanya keragaman somaklon pada tanaman jagung sudah
banyak dilakukan oleh peneliti di luar negeri. Sejak Green dan Phillips (1975)
berhasil meregenerasikan tanaman jagung asal kultur in-vitro dengan menggunakan
eksplan embrio muda (immature embryo), maka penelitian tentang kultur in-vitro jagung pada berbagai genotipa dilakukan semakin intensif di berbagai negara. Namun
demikian selama lebih dari satu dekade kebanyakan arah penelitian baru dititik
beratkan pada studi regenerasi tanaman melalui induksi embriogenesis somatik
(Green, 1982; Armstrong dan Green, 1985; Lu et af., 1982: Vasil et al., 1984;

Novak et al., 1983). Hasil yang diperoleh pada umumnya menyimpulkan bahwa
regenerasi pada jagung dapat diinduksi hanya terbatas pada genotipa-genotipa tertentu saja (Fahey et al., 1986), dan tanaman yang diperoleh pada umumnya mengalami
penyimpangan fenotipa yang frekuensinya cukup besar (Novak et al., 1983).
Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan fenotipa tersebut,
Edallo et al. (1981) mencoba meneliti kemungkinan terjadinya perubahan khromo-

som pada sel-sel tersebut. Dari dua galur (inbred) jagung yang digunakan, yaitu
W64A dan S65 ditemukan adanya keragaman jumlah khromosom yang relatif cukup

besar (non diploid) di antara sel-sel tanaman hasil regenerasi yang diamati, masing-

masing frekuensinya 8% pada galur W64A dan 15.5 % pada galur S65. Dari populasi tanaman mutan tersebut 45 96 diantaranya adalah tetraploid. Disamping itu ditemukan juga sel-sel tanaman dengan jumlah khromosom antara 31-39 (aneuploid).
Hal tersebut diduga akibat terjadinya proses eliminasi khromosom oleh kultur invitro. Diungkapkan juga diantara tanaman somaklon hasil regenerasi tersebut ada
yang mewaris secara sederhana pada generasi kedua (%).
Adapun jenis ragam somakion yang diperoleh dari satu macam eksplan (embrio) dapat beragam antara 2-9 macam. Namun demikian, kebanyakan tanaman
somaklon yang diperoleh mempunyai penampalcan morfologi yang kurang menguntungkan seperti: pertumbuhan yang abnormal, endosperma tidak sempurna, albino
serta tanamannya kerdil. Hasil yang hampir sama ditemukan juga oleh Novak et al.
(1986) yang mengkombinasikan kultur in-vitro jagung dengan perlakuan radiasi sinar
gamma pada eksplannya.
Adapun bentuk tanaman somaklon jagung yang mengalaini perubahan
menguntungkan dan diwariskan ditemukan pada karakter saat pembentukan malai
(tasseling) menjadi lebih awal (Brook Housen et al., 1984).
Beberapa faktor kendala yang patut dipertimbangkan dalam memanfaatkan
fenomena keragaman somaklonal adalah :
(1) Munculnya bentuk-bentuk perubahan sifat yang tidak diinginkan
(2) Adanya efek sinergistik dari suatu karakter yang terkait (linkage) dengan karakter lain

.

(3) Seringkali ekspresi gen suatu karakter tidak stabil akibat adanya aktivasi dari
transposable-gene, yaitu perpindahan elemen genetik dalam utusan DNA dari
satu lokus ke lokus lain dalam satu genom.
(4) Bentuk keragaman somaklon yang terjadi tidak dapat diprediksi dan diduga

sepenuhnya bersifat acak. Oleh karena itu pada kondisi lingkungan yang sama
belum tentu dihasilkan bentuk keragaman yang sama pula (De Klerk, 1990).

111. METODOLOGI PENELITIAN

3.1.

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler 'Emaman serta di Rumah Plastik milik PAU (Pusat Antar Universitas) IPB di Dramaga, Bogor.
Penelitian dimulai sejak awal bulan Desember 1991 sampai dengan bulan Agustus
1993 (+ 21 bulan).
3.2.

Bahan Percobaan

Bahan yang digunakan berupa 4 macam genotipa jagung yang diperoleh dari
Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) Bogor, terdiri atas 2 macam galur murni
generasi kedelapan (S,) yaitu : GI = (Ar C,-94-3-3-3-1-2- 1-3-@b) dan G, = (Ar
C,- 178-1-3-1-1-4-2-2-@I), 1 macam hibrida silang tunggal (GI X G,) dan 1 macam
varietas bersari bebas (open pollinated) Arjuna. Kedua galur murni GI dan G,tersebut merupakan hasil ~eleksimassa satu siklus yang dilanjutkan dengan seleksi
melalui serbuk sendiri (selfing) secara berulang dari varietas Arjuna. Keduanya
berbeda dalam ha1 nomor seleksi tanaman (diberi kode 1, 2, 3 dan seterusnya di
belakang huruf Arc,) sejak S,. Berdasarkan studi sebelumnya varietas Arjuna dinilai mempunyai tanggap yang relatif baik terhadap kultur in-vitro datipada genotipa
lainnya. Oleh karena itu dengan menggunakan genotipa turunan Arjuna tersebut
diharapkan dapat diperoleh tanggap yang baik juga dari masing-masing genotipa
tersebut sehingga penelitian dapat berjalan lancar.

3.3.

Sumber Eksplan dan Penanaman

Eksplan berupa embrio muda (immature embryo) dengan ukuran antara 1.01.5 mm diambil dari biji jagung yang ditanam di rumah plastik kira-kira 10 hari setelah dilakukan penyerbukan sendiri.
Sebelum erilbrio dikeluarkan dari biji, semua biji jagung yang rnasih melekat
pada tongkolnya (tanpa klobot) disterilisasi permukaan dulu dengan larutan ethanol

70 % (vlv) sdama 5 menit, cholorox 20 % dan 10 % (vlv), masing-masing selama

15 menit dan 10 menit. Selanjutnya biji dibilas dengan air suling sebanyak tiga
kali .
Embrio yang sudah diambil, langsung diinkubasikan di dalam botol kultur
yang berisi kira-kira 20 ml media setengah padat dan mengandung zat pengatur
tumbuh 2,4-D (2mgll). Dalam setiap botol kultur ditanam sebanyak 4 buah eksplan. Selanjutnya semua botol kultur ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasikan dalam ruang pertumbuhan (growth room). Satu minggu kemudian, semua
kalus yang terbentuk diperiksa dan skutelum yang tumbuh di ujung kalus dipotong
dan dibuang. Selanjutnya, kalus dikulturkan kembali di dalam media yang sama
selama 2-8 minggu, bergantung pada perlakuan 2,4-D yang diberikan.
Kalus yang menunjukkan pertumbuhan baik (embriogenik) dipindahkan ke
dalam media regenerasi untuk diinduksi membentuk planlet selama 4-6 minggu.
Planlet yang terbentuk segera dikeluarkan dari botol dan diaklimatisasi selama 10
hari pada media kompus dalam wadah gelas plastik bekas minuman aqua dan disiram
dengan larutan urea dengan konsentrasi 2 g per liter. Selanjutnya, tanaman ditumbuhkan di lapang di bawah rumah plastik dengan menggunakan plastik polibag hitam
berisi 15 kg tanah podzolik merah kuning. Pupuk yang diberikan berupa urea
(4 ku/ha); KC1 (2 kulha) dan TSP (1 ku/ha). Semua tanaman yang berhasil membentuk bunga normal diserbuk sendiri dan pada saat panen setiap tongkol buah dipisahkan dalam kantong tersendiri. Secara ringkas, langkah-langkah tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.

3.4.

Media Kultur
Dalam penelitian ini digunakan media setengah padat dari Murashige dan

Skoog (1962) yang komposisi lengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 1.
Kemasaman media (pH) diatur sebesar 5.8 sebelum diautoklav, dengan menambahkan beberapa tetes NaOH 0.1 N atau HCl 0.1 N ke dalam media.

Media setengah padat dibuat dengan melarutkan agar Bacto dengan
konsentrasi 0.8 % (8 gll). Media dipanaskan di atas tungku listrik untuk melarutkan agar dan sukrosa. Selanjutnya, larutan media ditakar dan dimasukkan ke da-

lam botol yang sudah disterilkan sebelumnya sebanyak 20 ml setiap botol. Sete-

lah itu botol ditutup dengan aluminium foil dan disterilkan dalam autoklaf selama
45 menit dengan suhu 121"C pada tekanan 17-18 psi.
3.5.

Seterilisasi Alat dan Botol
Sebelum alat untuk penanaman digunakan, terlebih dahulu semuanya di-

sterilkan dalam autoklav selama 1-1.5 jam pada tekanan 20 psi. Alat-alat yang
digunakan untuk penanaman terdiri atas botol kultur, cawan petri , akuades, pisau
pinset, dan lain-lain.
I

3.6.

Lingkungan Tumbuh Kultur
Pelaksanaan penanaman eksplan dilakukan di dalam kotak penanaman steril

(laminar airflow cabinet) dan semua eksplan yang sudah selesai diinkubasikan di

dalam botol kultur selanjutnya ditempatkan dalam ruang kultur yang suhunya diatur

&tar (28 sf 2) "C dan diberikan cahaya lampu TL 20 watt selama 16jam per hari.
3.7.

Pelaksanaan Percobaan
Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap terdiri atas 4 kelompok

percobaan seperti dilukiskan pada Gambar 3.
Kelompok pertama dari penelitian ini (Percobaan 1) merupakan studi
pendahuluan, diarahkan untuk mempelajari komposisi media yang paling cocok
(sesuai) dalam mendukung kemampuan regenerasi embrio dari 4 genotipa yang diteliti, melalui induksi kalus dan pembentukan embriosomatik dalarn media bebas A1
(langkah 1, 2, 3 dan 4 ) . Dalam hal ini, percobaan dibagi ke dalam 3 tahap yaitu :

~

~FIX~.

( 4 genotipa)

z

I

v

Kalus tenggang A1

I

(6)

T

I

P l a n l e t tenggang A1

Benih Tan. Donor .
( 4 Genotipa)

I
U j i Cepat
(Bibit)

I

I

Tan. Tenggang ( 1 1 )

,

Al(Ro)

(9

b

+ A1 tanpa hormon
( 6 minggu)

tanpa hormon ( 1 0 h a r i )

Gambar 3.

Diagram Alir Xihapan Induksi Keragaman Somaklon ke arah
Ketenggangan terhadap Keracunan A1 melalui Seleksi In-vitro
pada m a m a n Jagung

31
(a) studi media untuk induksi kaIus embriogenik (b) studi media untuk induksi tunas

dan akar serta (c) studi penetapan masa inkubasi kalus embriogenik dalam media
yang mengandung 2,4-D. Berdasarkan percobaan ini akan diperoleh informasi yang
lengkap tentang komposisi media untuk induksi kalus embriogenik dan tunas serta

akar, sehingga embrio dapat berhasil membentuk planlet.
Komposisi media yang paling cocok yang diperoleh dari Percobaan 1 tersebut
selanjutnya digunakan dalam percobaan berikutnya (Percobaan 2) untuk seleksi
kalus tenggang Al, yaitu dengan memberikan perlakuan aluminium pada media terpilih tersebut (langkah 1, 2, 5, 6, 7 dan 8).
Kelompok selanjutnya disebut Percobaan 3, yaitu planlet dari genotipa yang
mampu tumbuh dengan baik pada media beracun A1 maupun pada media yang bebas
A1 tersebut dievaluasi daya ketenggangannya di pot di bawah rumah plastik dengan
menggunakan wadah plastik polibag hitam dan berisi tanah masam Podzolik Merah
Kuning Jasinga sebanyak 15 kg per pot (langkah 8 ke 10, 11, 12, 13 dan 4 ke 10,
11, 2

13). Di samping itu, sebagai kontrol dilakukan j uga evaluasi daya keteng-

gangan tanaman donor (asal biji langsung) terhadap keracunan A1 di pot (langkah 9
ke 10, 11, 12, 13). Tingkat kejenuhan A1 dalam tanah diatur dengan memberikan
perlakuan kapur (CaCO,) menjadi 4 taraf setara dengan : 0 Al,, (KJ; 0.25 AI,,
(K,); 0.5 Al, (K,) dan 0.75 At,

(K,).

Dwgan demikian tingkat kejenuh-an A1

teoritis setelah diberi perlakuan kapur berkisar : 80 96; 60 %; 40 % dan 20 % .
Adapun besarnya nilai Al,, ditetapkan berdasarkan hasil analisis tanah di laboratoriurn adalah 30.37 me1100 g (Tibe1 Lampiran 2). Adapun cara penetapan dosis kapur
untuk setiap perlakuan ditunjukkan dalam Tabel Lampiran 4.
Berdasarkan Percobaan 3 tersebut akan diperoleh informasi yang lengkap tentang daya ketenggangan tanaman somaklon yang dihasilkan dari seleksi kalus pada
Percobaan 2. Berdasarkan percobaan ini akan diketahui apakah kalus-kalus tenggang

A1 yang mampu beregenerasi membentuk planlet dari genotipa tersebut akan mampu
tumbuh (tenggang) juga pada media tanah Podzolik Merah Kuning yang mengandung

kadar Al, sangat tinggi, yaitu 30.37 me/ 100 g atau setara dengan 81.2 % kejenuhan
A1 (A1 saturufed). Di samping itu evaluasi terhadap penampilan karakter agronomik
lainnya seperti; tinggi tanaman, saat berbunga, komponen produksi dan lain-lain

akan dapat dilakukan. Dengan ditanamnya 4 genotipa tanaman donor (asal biji) pada

tanah Podzolik Merah Kuning, yang sebelumnya dijadikan sebagai sumber eksplan
dalam kultur in-vitro (Percobaan 2), maka evaluasi kemajuan seleksi terhadap daya
ketenggangan tanaman jagung hasil seleksi in-vitro akan dapat dilakukan dengan cara
membandingkan daya pertumbuhan dm produksi tanaman jagung asal biji pada tanah
masam Podzolik Merah Kuning tersebut.
Sebagai pembanding kemajuan seleksi yang mungkin dicapai melalui kultur
in-vitro (asal embrio muda), maka dilakukan juga pengujian daya ketenggangan
tanaman terhadap keracunan aluminium dari 4 genotipa donor ymg dicobakan
(asal biji) pada tingkat bibit (seedling) yang ditumbuhkan langsung dalam media
dasar kultur jaringan yang sama tanp