dimasukkan ke dalam tabel rancangan acak lengkap. Pengujian dilakukan dengan menggunakan tabel ‟Anova: single factor‟ pada perangkat lunak Ms. Excell.
Berdasarkan tabel hasil pengujian rancangan acak lengkap untuk keempat parameter, yakni panjang total, lebar badan, serta panjang dan lebar kapsul kepala
diperoleh nilai F
tabel
F
hitung
. Keputusan yang dihasilkan adalah tolak H , artinya
minimal ada satu perlakuan yang mempengaruhi pertumbuhan larva Chironomus sp. Hal ini menggambarkan bahwa bahan organik yang ditambahkankan pada
wadah pemeliharan larva Chironomus sp. memberikan pengaruh bagi pertumbuhan larva tersebut.
4.1. Pembahasan
Larva, pupa, maupun chironomida dewasa membentuk bagian yang terintegrasi pada jaring-jaring makanan. Organisme ini berperan sebagai makanan
bagi invertebrata yang lebih besar, ikan, amfibi maupun burung Eppler 2001. Peran chironomida lainnya adalah sebagai bioindikator untuk memantau kondisi
dan kesehatan suatu perairan. Beberapa genus dari subfamili chironomidae bersifat toleran terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Selain itu, penggunaan
chironomida dalam fungsi paleolimnologi juga mulai dikembangkan. Penggunaan analisis isotop terhadap sedimen memungkinkan rekonstruksi ulang
beberapa hal di masa lampau seperti variasi fisik, iklim dan lingkungan. Hal ini dilakukan dengan menguji rekaman sedimen lewat penggunaan sisa-sisa biologis
termasuk chironomida Velle Laroque 2007. Pengujian seringkali dilakukan dengan menggunakan kapsul kepala karena bagian kepala larva chironomida ini
terbuat dari zat kitin yang bisa bertahan sangat lama di alam tanpa terdekomposisi. Oleh karena, itu dibutuhkan penelitian yang lebih spesifik mengenai chironomida
untuk mengetahui seberapa besar potensinya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan lingkungan dan manusia.
Penelitian ini dilakukan dengan memelihara chironomida mulai dari fase telur hingga menjadi pupa dan tumbuh menjadi chironomida dewasa di
laboratorium dengan perlakuan penambahan kadar bahan organik yang berbeda. Pemeliharaan dilakukan di laboratorium dengan tujuan untuk mempermudah
pengkajian baik dari segi pengamatan siklus hidup maupun pertumbuhan.
Chironomida memiliki empat fase metamorfosis. Fase pertama yakni fase telur, dimulai dari pemijahan dewasa yang pada sebagian besar spesies chironomida
terjadi di udara dan di tanah untuk beberapa spesies. Selanjutnya chironomida meletakkan telurnya di permukaan air. Beberapa saat setelah peletakkan, telur
akan dibungkus oleh struktur kompleks berupa gelatin. Massa telur kemudian tenggelam ke dasar perairan atau tersangkut di beberapa tumbuhan air yang
tenggelam. Beberapa spesies chironomida, massa telurnya tetap mengapung di permukaan air dalam bentuk massa gelatin. Masing-masing massa telur
berjumlah kurang dari 100 hingga 2000 telur bergantung pada spesies Bay 2003. Telur-telur ini biasanya memerlukan waktu tetas sekitar 24 sampai 36 jam Bay
2003 bahkan bisa mencapai 3 hari Zilli et al. 2008. Sedangkan pada penelitian ini, telur membutuhkan waktu ±17 jam sejak pengambilan massa telur dari alam
hingga menetas. Kemungkinan yang terjadi adalah massa telur telah diletakkan cukup lama oleh chironomida dewasa sehingga hanya memerlukan waktu kurang
dari 24 jam untuk menetas. Pemeliharaan chironomida setelah menetas dilakukan di wadah dengan
perlakuan yang berbeda. Wadah tanpa penambahan bahan organik, wadah dengan penambahan bahan organik sebesar 0,5 mgl, dan wadah dengan penambahan
bahan organik 1,0 mgl. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali dan bahan organik diduga berperan sebagai sumber makanan maupun bahan pembuat
tubes bagi chironomida. Kotoran kuda kering adalah bahan organik yang digunakan dalam penelitian kali ini.
Selama penelitian berlangsung, parameter fisika kimia yang diamati antara lain suhu, pH, DO dan COD. Suhu yang teramati hanya berkisar antara 26,1-27,4
ºC. Suhu yang cenderung stabil disebabkan pemeliharaan yang dilakukan di laboratorium sehingga suhu air dalam wadah tidak terlalu dipengaruhi oleh suhu
lingkungan. Begitu pula dengan nilai pH, berkisar antara 6,9-7,7. Nilai tersebut masih mendukung kehidupan biota air sehingga tidak terlalu berpengaruh
terhadap kehidupan larva chironomida. Parameter selanjutnya, yakni nilai DO atau oksigen terlarut. Nilai DO
yang teramati bervariasi berdasarkan kadar bahan organik pada wadah pemeliharaan. Kisaran nilai DO tertinggi ada pada wadah perlakuan tanpa
penambahan bahan organik karena tidak dilakukannya penambahan bahan organik sehingga oksigen yang terlarut di air tidak terlalu banyak dimanfaatkan untuk
dekomposisi bahan organik. Kisaran ini menurun seiring penambahan kandungan bahan organik. Wadah perlakuan dengan penambahan bahan organik paling
tinggi yakni 1,0 mgl memiliki kisaran nilai DO yang paling kecil karena oksigen digunakan untuk proses dekomposisi perombakan bahan organik. Sedangkan
untuk nilai COD, kecenderungan nilainya hampir sama untuk setiap wadah perlakuan yakni rendah pada pengamatan awal, kemudian mengalami kenaikan
hingga titik tertentu dan kembali turun hingga hari terakhir pengamatan. Hal ini disebabkan karena pada awal pengamatan, bahan organik belum begitu
berpengaruh pada kondisi kualitas air pada wadah. Selanjutnya COD mengalami kenaikan karena bahan organik mulai mempengaruhi air dan kembali mengalami
penurunan seiring pertumbuhan chironomida. Hal ini menjelaskan bahwa bahan organik digunakan oleh larva chironomida sebagai sumber makanan dan bahan
pembuatan tubes. Larva chironomida yang diamati pada penelitian ini berasal dari subfamili
Chironominae dan genus Chironomus sp. Identifikasi dilakukan dengan mengamati bagian mentum larva dan berpedoman pada buku identifikasi Eppler
2001. Siklus hidup Chironomus sp. terdiri dari 4 fase, yakni telur, larva, pupa dan dewasa. Fase larva merupakan fase terlama yang terdiri dari ± 21 hari pada
wadah dengan penambahan bahan organik. Sedangkan pada tanpa penambahan bahan organik, pertumbuhan larva hanya sampai ± 1 minggu dan hanya tumbuh
hingga instar I dengan sifat hidup planktonik. Terhambatnya pertumbuhan larva pada kondisi minim bahan organik disebabkan karena kekurangan bahan makanan
dan tidak tersedianya bahan untuk pembuatan tubes sehingga larva hanya bersifat planktonik. Pada wadah B dan C, larva menjadi bersifat bentik secara
keseluruhan pada hari ke-4. Bahan organik yang tersedia memungkinkan larva untuk membentuk tubes. Larva terus mengalami perkembangan dari segi ukuran
hingga minggu ke-3. Minggu ke-3 larva membentuk pupa. Fase ini hanya berlangsung selama 24-48 jam dan selanjutnya pupa akan keluar membentuk
chironomida dewasa.
Larva Chironomus sp. membutuhkan waktu ± 3 minggu untuk berubah menjadi pupa. Selama waktu tersebut, larva Chironomus sp. mengalami
perubahan ukuran kapsul kepala sebanyak empat kali. Perubahan ukuran ini lebih dikenal dengan sebutan pergantian instar. Kapsul kepala merupakan satu-satunya
bagian tubuh Chironomus sp. yang terbuat dari zat kitin. Oleh karena itu, perkembangan ukurannya tidak mengikuti layaknya perkembangan ukuran tubuh.
Ukurannya hanya berubah sebanyak 4 kali dalam suatu kelompok selang per instar. Parameter yang biasa digunakan sebagai penentuan instar ini adalah
panjang dan lebar kapsul kepala. Penelitian ini berpedoman pada Dettinger- Dettinger-Klemm 2003 untuk pengelompokan larva Chironomus sp.
berdasarkan instar. Pengelompokan berdasarkan instar terdiri dari 4. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa larva Chironomus sp. yang ditemukan terdiri dari 4 instar untuk perlakuan dengan penambahan bahan organik. Sedangkan untuk perlakuan
tanpa penambahan bahan organik hanya ditemukan larva instar I. Hal ini terjadi karena ketidaktersediaan bahan organik pada wadah perlakuan tanpa penambahan
bahan organik sehingga pertumbuhan larva terhambat. Berdasarkan waktu capaian instar juga dapat dilihat pengaruh bahan organik bagi jangka waktu yang
dibutuhkan untuk melewati satu instar. Perlakuan dengan kandungan bahan organik yang lebih tinggi menyebabkan larva Chironomus sp. lebih cepat
mencapai instar IV. Namun membutuhkan jangka waktu yang lebih lama pada instar IV. Hal ini membuktikan bahwa penambahan bahan organik dapat
meningkatkan pertumbuhan larva chironomida. Berdasarkan hasil penelitian larva Chironomus sp. yang ditemukan
diketahui hanya terdiri dari satu kelompok umur. Hal ini terjadi karena pengumpulan massa telur dilakukan pada waktu dan lokasi yang sama. Larva
Chironomus sp. pada wadah dengan penambahan bahan organik baik 0,5 mgl maupun 1,0 mgl mengalami pertumbuhan yang digambarkan oleh pergeseran
modus ke kanan pada grafik distribusi panjang. Pergeseran modus lebih cepat terjadi pada perlakuan dengan penambahan bahan organik 1,0 mgl. Hal ini
membuktikan bahwa penambahan bahan organik sebagai sumber makanan bagi larva chironomida dapat mempercepat pertumbuhan. Sedangkan pada wadah
tanpa penambahan bahan organik tidak terjadi pertumbuhan. Larva Chironomus sp. hanya bertahan hingga selama lebih kurang satu minggu. Larva Chironomus
sp. pada perlakuan tanpa penambahan bahan organik tidak tumbuh karena tidak tersedianya makanan sebagai sumber energi untuk melakukan proses
metabolisme. Perbedaan pertumbuhan juga diperlihatkan pada uji rancangan acak lengkap. Berdasarkan uji Anova: Single factor Lampiran 6, diperoleh hasil
bahwa minimal ada satu perlakuan yang mempengaruhi pertumbuhan larva Chironomus sp. Hasil tersebut ditunjukkan pada empat parameter yang diuji
yakni panjang total, lebar badan, serta panjang dan lebar kapsul kepala. Berdasarkan hasil pengamatan di Danau Lido, keberadaan Keramba Jaring
Apung memiliki dampak negatif, yaitu menambah masukan bahan organik ke Danau Lido yang bersumber dari pelet atau pakan buatan ikan budidaya. Dampak
negatif ini dapat dikurangi dengan mempertimbangkan peran larva chironomida sebagai pakan alami ikan. Larva chironomida diharapkan dapat mengurangi
pencemaran akibat masukan bahan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui kondisi perairan yang optimum bagi pertumbuhan maupun perkembangan larva
Chironomus sp. sehingga dapat dilakukan optimalisasi larva chironomida sebagai pakan alami untuk mengurangi jumlah pakan buatan yang digunakan dalam
budidaya ikan di Danau Lido. Peran larva chironomida lainnya yakni sebagai indikator lingkungan.
Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan perkembangan dan pertumbuhan larva chironomida pada dua perlakuan penambahan bahan organik yang berbeda
konsentrasi. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar indikator perubahan lingkungan yang disebabkan oleh bahan organik. Badan air dengan penambahan
bahan organik yang lebih tinggi yaitu 1,0 mgl akan ditunjukkan oleh pertumbuhan dan perkembangan larva chironomida yang lebih cepat. Peran
chironomida sebagai indikator juga digambarkan pada penelitian yang dilakukan di 13 danau yang berada di daerah Inggris dan Skotlandia bagian selatan.
Penelitian tersebut membuktikan bahwa chironomida dapat digunakan untuk menggambarkan perubahan pola total phospor dan klorofil-a Langdon et al.
2006.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Perlakuan dengan penambahan bahan organik 0,5 mgl dan 1,0 mgl menunjukkan pertumbuhan panjang hingga 3 minggu, sedangkan pada perlakuan
tanpa penambahan bahan organik, kelangsungan hidup larva hanya mencapai 1 minggu dan instar pertama.
5.2. Saran
Penelitian akan menjadi lebih baik apabila pemeliharaan Chironomus sp. dapat dimulai dari fase pemijahan sehingga diperoleh informasi mengenai telur
secara keseluruhan untuk melengkapi deskripsi siklus hidup Chironomus sp.