Larangan Terhadap Klausula Baku.

3. Larangan Terhadap Klausula Baku.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memuat definisi kontrak baku tetapi merumuskan pengertian klausula baku yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 yaitu, “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. 199 Selain itu, Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang pencantuman klausula oleh para pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan yaitu: 200 1 Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang 199 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 200 Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Universitas Sumatera Utara dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran. 2 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 3 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum. 4 Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Pasal 18 ayat 1 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang larangan yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, larangan Pasal 18 ayat 1 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya dibatasi hanya untuk jngka waktu 4 empat tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 empat tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat ketentuan ini berlebihan karena menutup kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku. 201 201 Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Kosumen, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 108. Universitas Sumatera Utara Contohnya, kehilangan kenderaan bukan tanggung jawab pengelola parkir. 202 Dalam Kasus Anny Gultom dan Hontas Tambunan sebagai penggugat melawan PT. Securindo Pakatama Indonesia sebagai tergugat, Putusan No. 551Pdt.G2000PN. Jkt.Pst pada tanggal 26 Juni 2001 yang didukung pada tingkat banding Pengadilan Tinggi dan kasasi Mahkamah Agung membatalkan klausula eksonerasi yang isinya membebaskan tanggung jawab dari tergugat selaku pengelola parkir dalam hal terjadinya sesuatu terhadap objek yang diparkirkan karena ketidakbebasan konsumen yang tidak mempunyai pilihan lain selain tunduk pada kemauan dari pengelola parkir terhadap penggunaan satu-satunya lahan parkir di kompleks perparkiran pusat perbelanjaan Cempaka Mas yang disediakan pengelola parkir. Dalam hal ini tidak ada paksaan fisik yang menimbulkan tekanan atau ketakutan pada pihak mitra berkontrak tetapi pada penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh pihak pengelola sebagai satu-satunya lahan parkir yang tersedia pada area pusat perbelanjaan tersebut. 203 Selanjutnya hal yang terkait dengan larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan barang kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan pasangan dari larangan klausula baku yang menyatakan bahwa, “pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang 202 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008, hal 44. 203 Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 192-193. Universitas Sumatera Utara dibeli konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. 204 Contohnya adalah struk belanja yang berbunyi “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”. 205 Larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan barang kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Jadi pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijual dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas barang tersebut tetapi tentu saja jika pengembalian barang dengan alasan-alasan yang dibenarkan hukum. Larangan dalam Pasal 18 huruf d Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo sudah tepat. Klausula baku berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah tidak adil. 206 Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa Pasal 1796 KUH Perdata telah menentukan pemberian kuasa dirumuskan dalam kata-kata umum dan hanya meliputi 204 Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 109. 205 H.P. Panggabean, Praktik Standaard Contract Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Op.cit, hal 3. 206 Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 109. Universitas Sumatera Utara perbuatan-perbuatan pengurusan sehingga pemberian kuasa menurut Pasal 1796 KUH Perdata hanya terbatas pada tindakan-tindakan pengurusan saja. Jika yang dikehendaki pelaku usaha misalnya bank adalah dapat melakukan segala tindakan apa pun padahal Pasal 1796 KUH Perdata hanya membatasi pada perbuatan pengurusan saja, maka bank mencampuri terlalu jauh urusan nasabah debitur. Pemberian kuasa harus dengan tegas dan khusus menyebutkan tindakan-tindakan dan kewenangan apa saja yang boleh dilakukan oleh kreditur dengan itikad baik kreditur sepanjang kreditur tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan debitur dan kebijaksanaan debitur tidak mengurangi kemampuan nasabah debitur untuk melunasi utang. Misalnya dapat diberikan kuasa umum untuk melakukan segala tindakan sehubungan dengan perbuatan hukum menjual rumah tertentu dari pemberi kuasa yang hanya terbatas hal-hal yang sehubungan dengan pelaksanaan penjualan rumah yang harus diketahui dan disetujui oleh pemberi kuasa serta adanya pembatasan- pembatasan terhadap tindakan-tindakan penerima kuasa yaitu kepatutan dari tindakan-tindakannya. 207 Selain itu, klausula baku berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran yang tidak adil dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan keadaan. 208 207 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 241-244. 208 Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 109. Universitas Sumatera Utara Dalam praktek, penyalahgunaan keadaan melalui tekanan dan paksaan yang dilakukan terhadap calon mitra berkontrak tidak selalu dengan ancaman kekerasan. Walaupun tidak terlihat ancaman dalam bentuk kekerasan tetapi sudah cukup secara substansial untuk membuktikan pihak yang dipaksa telah kehilangan kebebasannya dan tidak berdaya untuk menolak kontrak tersebut selain harus menyatakan setuju dan menandatangani kontrak sekalipun sangat disadarinya penandatangan kontrak akan memberikan potensi kerugian baginya atau paling tidak bukan refleksi dari apa yang diinginkan. 209 Selanjutnya menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, ketentuan larangan membuat klausula baku perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya tidak hanya mengatur larangan yang berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen tetapi juga berkurangnya kegunaan barang atau jasa. Apabila larangan klausula baku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terbatas hanya pada hal hilangnya kegunaan barang dan jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya kegunaan barang atau jasa 209 Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 190. Universitas Sumatera Utara dalam klausula baku. 210 Maka Contohnya adalah barang pecah atau membuka segel berarti membeli. 211 Pasal 18 ayat 1 huruf f Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur tentang larangan klausula baku yang memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. Klausula baku yang memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa termasuk klausula eksonerasi karena dalam klausula baku pemberian hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta kekayaan konsumen, pelaku usaha dapat membatasi tanggung jawabnya dengan adanya hak pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta kekayaan konsumen di mana pembatasan tanggung jawab dapat dikategorikan termasuk klausula eksonerasi karena klausula eksonerasi berisi pembatasan pertanggungjawaban pelaku usaha atau kreditur. 212 Contohnya adalah perusahaan maskapai penerbangan berhak menunda danatau menjadwal ulang penerbangan pada hari yang sama tanpa harus melakukan ganti rugi dalam bentuk apapun juga atas kerugian yang ditimbulkan karena penundaan danatau penjadwalan ulang suatu penerbangan atau perusahaan tidak memiliki tanggung jawab atas kerugian yang timbul karena pembatalan suatu 210 Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 109-110. 211 Yusuf Sofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal 44. 212 Mariam Darus Badzulzaman, “Perjanjian Baku Standard, Perkembangannya di Indonesia”,Op.cit, hal 31. Universitas Sumatera Utara penerbangan. 213 Namun sekarang, Pasal 10 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara mewajibkan perusahaan maskapai penerbangan untuk memberikan ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- tiga ratus ribu rupiah per penumpang untuk keterlambatan lebih dari 4 empat jam. 214 Perusahaan maskapai penerbangan wajib memberikan ganti rugi sebesar 50 lima puluh persen dari jumlah ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- tiga ratus ribu rupiah per penumpang jika perusahaan maskapai penerbangan menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang dan wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara untuk pembatalan penerbangan dan perubahan jadwal penerbangan yang dilakukan kurang dari 7 tujuh hari kalender sampai dengan waktu keberangkatan yang telah ditetapkan sesuai dengan Pasal 10 huruf b dan c serta Pasal 13 ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 215 213 M. Sadar et al, Op.cit, hal 37. Selain itu penumpang juga dibebaskan dari biaya tambahan bila penerbangan dialihkan ke penerbangan perusahaan maskapai penerbangan lain termasuk peningkatan kelas pelayanan dan untuk penurunan kelas pelayanan, penumpang berhak mendapatkan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli. 214 Pasal 10 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 215 Pasal 10 huruf b dan c jo Pasal 13 ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara mewajibkan perusahaan maskapai penerbangan untuk membebaskan penumpang yang tidak terangkut dari biaya tambahan danatau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan. 216 Perusahaan maskapai penerbangan menurut Pasal 12 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara, wajib memberitahukan kepada penumpang paling lambat 7 tujuh hari kalender sebelum pelaksanaan penerbangan dengan mengembalikan seluruh uang tiket yang dibayarkan penumpang. 217 Perusahaan maskapai penerbangan dibebaskan dari tanggung jawab atas ganti rugi akibat keterlambatan jika keterlambatan penerbangan disebabkan oleh faktor cuaca seperti badai dan atau teknik operasional seperti terjadinya antrian pesawat udara lepas landas, mendarat, atau alokasi waktu keberangkatan di bandar udara sesuai dengan Pasal 13 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 218 Kemudian, Pasal 18 ayat 1 huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang klausula baku yang menyatakan 216 Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 217 Pasal 12 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 218 Pasal 13 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. Universitas Sumatera Utara tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibeli. Dalam hubungan bank sebagai pelaku usaha dan nasabah debitur sebagai konsumen, bank sering membuat klausula baku yang menyatakan kewajiban nasabah untuk tunduk pada segala peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh bank. Pencantuman klasula nasabah harus tunduk pada segala peraturan bank yang masih akan ditetapkan jelas merupakan peraturan baru yang belum dapat diketahui atau dipahami. Sutan Remy Sjahdeini menilai klausula ini bertentangan Pasal 1320 ayat 3 KUH Perdata dan Pasal 1333 KUH Perdata. Syarat adanya suatu hal yang diatur dalam Pasal 1320 ayat 3 KUH Perdata harus ada terlebih dahulu suatu hal yang diperjanjikan. Pencantuman klasula nasabah harus tunduk pada segala peraturan bank yang masih akan ditetapkan jelas merupakan peraturan baru yang belum dapat diketahui atau dipahami. Oleh karena itu, klausula tersebut berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata tidak sah dan tidak mengikat. 219 Namun menurut Ahmadi Miru, praktek pembuatan klausula baku yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat 1 huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah berlangsung lama. 220 219 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 230. Adapun secara umum 220 Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 110. Universitas Sumatera Utara praktek pembuatan klausula baku yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat 1 huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah: 221 a. Ketentuan yang ditetapkan kemudian secara sepihak oleh bank baik penetapan bunga, biaya, ongkos, dendan kurs, termasuk pemberlakuan ketentuan yang sudah ada maupun yang akan berlaku di kemudian hari; b. Persyaratan-persyaratan danatau tindakan-tindakan danatau bukti-bukti yang secara sepihak ditetapkan oleh bank; c. Ketentuan-ketentuan yang mempunyai pengertian yang sangat luas, misalnya kata-kata “termasuk tetapi tidak terbatas pada”. Walaupun ketentuan bank Pasal 18 ayat 1 huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk melarang praktek pembuatan klausula baku tersebut, bank tidak akan mematuhi ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jika tidak ada pengecualian larangan tersebut. Kalau pun ada bank yang mematuhi ketentuan tersebut, maka bank akan bangkrut dalam kondisi tersebut. 222 Selanjutnya, Pasal 18 ayat 1 huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang klausula yang menyatakan konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran. Contohnya pembuatan klausula baku yang menyatakan konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan selain harus sesuai dengan Pasal 18 ayat 1 huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 221 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia: Simpanan, Jasa, dan Kredit, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006, hal 73. 222 Ahmadi Miru, “Larangan Penggunaan Klausula Baku Tertentu dalam Perjanjian antara Konsumen dan Pelaku Usaha.”, Jurnal Hukum UII Yogyakarta, Vol. 8 No. 17 2001, hal 116. Universitas Sumatera Utara tentang Perlindungan Konsumen juga harus sesuai secara diametral dengan Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Kuasa pembebanan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan SKHMT menurut rumusan Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan harus dibuat dalam bentuk akta PPAT. Dengan kata lain, SKMHT yang tidak dibuat dengan akta PPAT tidaklah berlaku sebagai SKMHT. 223 Dengan berlakunya Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tidak lagi dapat disatukan dengan perjanjian kredit tapi harus dibuat secara terpisah. 224 a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan. Selain SKMHT harus dibuat dengan akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan SKMHT juga harus memenuhi syarat sebagai berikut: b. Tidak memuat kuasa substitusi c. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan mana serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan. Ini berarti SKMHT adalah suatu surat kuasa yang benar-benar khusus hanya terbatas untuk memberikan atau membebankan hak tanggungan semata-mata. 225 223 Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Jakarta: Kencana, 2008, hal 191-192. Selanjutnya Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak 224 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Bandung: Alumni, 1999, hal 104. 225 Kartini Muljadi et al, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Op.cit, hal 192. Universitas Sumatera Utara Tanggungan mengatur bahwa SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan APHT selambat- lambatnya 1 satu bulan. 226 Sedangkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 tiga bulan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 227 Selain itu menurut Pasal 95 Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan: 228 1 Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah: a. Akta Jual Beli; b. Akta Tukar Menukar; c. Akta Hibah; d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan; e. Akta Pembagian Hak Bersama; f. Akta Pemberian Hak Tanggungan; g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. 2 Selain akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 PPAT juga membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Peraturan Kepala BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur bahwa Pasal 96 ayat 2 226 Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 227 Pasal 15 ayat 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 228 Pasal 95 Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Universitas Sumatera Utara telah dihapus sehingga tidak perlu menggunakan formulir sesuai dengan bentuk akta sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 96 ayat 1, tetapi bentuk akta yang digunakan untuk membuat APHT dan SKMHT harus sesuai dengan lampiran Peraturan Kepala BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang terdiri dari APHT dan SKMHT di mana akta tanah yang dibuat oleh PPAT dan pembuatan APHT dengan menggunakan SKMHT sebagai akta tanah yang dibuat oleh PPAT dan APHT dengan menggunakan SKMHT sebagai akta pemberian kuasa dapat dilakukan. Menurut Pasal 96 ayat 5 Peraturan Kepala BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Kepala kantor pertanahan akan menolak pendaftaran akta PPAT yang tidak sesuai dengan ketentuan aturan pasal 96 ayat 1 peraturan tersebut. 229 Selain itu menurut Pasal 15 ayat 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT baik bagi SKMHT yang sudah terdaftar maupun SKHMT yang belum terdaftar dapat batal demi hukum. 230 229 Situs Resmi Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan, “Mulai 2 Januari 2013 Penyiapan dan Pembuatan Blanko Akta PPAT Dilakukan oleh Masing-Masing PPAT”, “ http:www.pekalongankab.go.idfasilitas-webartikelsosial-budaya3311-mulai-2-januari-2013- penyiapan-dan-pembuatan-blanko-akta-ppat-dilakukan-oleh-masing-masing-ppat.html, diakses 30 Maret 2013. 230 Pasal 15 ayat 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Universitas Sumatera Utara Jika penerapan Pasal 18 ayat 1 huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tentang larangan klausula baku yang menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan terhadap barang yang dibeli secara angsuran berbenturan secara diametral dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, maka pelanggaran tersebut diancam pidana 5 lima tahun pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- dua miliar rupiah berdasarkan Pasal 62 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 231 Pada Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Mengenai letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku dapat juga dilihat dari itikad baik pelaku usaha sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha adalah beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan. 232 Seharusnya ada sikap keterbukaan dan itikad baik dari pelaku usaha untuk menghasilkan rancangan kontrak yang dibuat dalam bahasa yang lebih mudah 231 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009, hal 27-28. 232 M. Sadar et al, Op.cit, hal 39. Universitas Sumatera Utara dipahami dan ditulis dengan huruf-huruf yang mudah dibaca misalnya menggunakan ukuran huruf 11 Times New Romans dengan kualitas kertas dan cetakan yang baik disertai keterbukaan untuk menjelaskan maksud-maksud dari poin-poin kontrak kepada nasabah konsumen serta membuka kesempatan bagi nasabah konsumen untuk membaca dan memahami atau bahkan menegosiasikan keinginan-keinginan nasabah yang dapat berbentuk pengajuan usul-usul perubahan draft kontrak yang ditawarkan oleh pelaku usaha walaupun draft tersebut telah dalam bentuk tercetak yang dimaksudkan untuk lebih murah dan mudah pengadaannya bukan agar tidak dapat diubah. Bila pelaku usaha setuju dengan usulan perbaikan atau perubahan yang diusulkan oleh nasabah konsumen, maka perubahan-perubahan tersebut dapat dilakukan dengan cara mencoret klausula atau kalimat draft kontrak dan menuliskan perubahan-perubahan yang disepakati untuk kemudian diparaf oleh masing-masing pihak. 233 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memang dalam hal ini telah membangkitkan kesadaran baru berupa perkembangan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab caveat venditor. 234 Namun, konsumen harus tetap waspada caveat emptor. 235 233 Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 183-184. Pasal 5 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan konsumen untuk membaca atau 234 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal 42. 235 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Op.cit, hal 205. Universitas Sumatera Utara mengikuti petunjuk informasi mengenai produk jasa dan barang demi keamanan dan keselamatan. 236 Dedi Harianto berpendapat konsumen sendiri harus melengkapi pengetahuan tentang kelebihan dan kekurangan produk yang akan dibeli dengan memiliki berbagai informasi mengenai produk yang dibutuhkan sebelum memberikan pertimbangan untuk memilih atau membeli produk sesuai kebutuhan. 237 Konsumen juga mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan kehati-hatian duty of care dan kewajiban untuk membaca setiap proposal kontrak sebelum meyetujuinya duty to read karena banyak fakta menunjukkan bahwa ketidakmampuan suatu kontrak dalam melindungi konsumen lebih disebabkan karena ketidakpedulian konsumen sendiri terhadap kontrak-kontrak yang akan ditandatangani misalnya karena malas membaca kontrak apalagi untuk membahasnya dengan alasan menghabiskan waktu dan konsumen percaya saja dengan kontrak yang disodorkan. 238 Hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk memohon pembatalan kontrak kecuali penipuan dan kekhilafan sehingga pihak lain mendapat pemahaman yang keliru atau salah tentang kontrak. Jadi, dengan menandatangani kontrak baku apakah ia mengetahui isi kontrak atau tidak, ia menjadi terikat dengan kontrak tersebut. 239 236 A. Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012, hal 149. 237 Dedi Harianto, Opcit, hal 129. 238 Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 184. 239 F.X. Suhardana, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak. Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2009, hal 25. Universitas Sumatera Utara Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat sanksi bahwa setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau kontrak yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah batal demi hukum. Substansi Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan penegasan kembali asas kebebasan membuat kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata. Konsekuensi yuridisnya adalah setiap kontrak yang memuat klausula baku dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memiliki bentuk atau format yang dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat para pihak yaitu pelaku usaha dan konsumen yang membuat kontrak tersebut. 240 Di samping itu Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha untuk segera menyesuaikan standar kontrak yang dipergunakan dengan ketentuan undang-undang ini. 241 240 M. Syaiffudin, Op.cit, hal 237. Contohnya penyesuian klausula baku yang diterapkan sebelumnya adalah “Jika barang kiriman tersampaikan dengan terlambat pada penerima, tidak bisa dituntut penggantian kerugian” diubah klausulanya menjadi “Jika barang kiriman tersampaikan dengan terlambat, akan diberikan penggantian kerugian ... kali biaya 241 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010, hal 27. Universitas Sumatera Utara kirim”. 242 Jika ternyata masih tetap dipakai standar kontrak yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas, akibat hukumnya adalah batal demi hukum. Artinya, klausula itu dianggap tidak ada, karena tidak mempunyai kekuatan hukum. 243 Menurut Yusuf Shofie, walaupun ada kesan pada sebagian pelaku usaha bahwa Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang kontrak baku sehingga sehingga menghambat aktivitas ekonomi, namun Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang penggunaan kontrak baku baik untuk barang maupun jasa. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya membatasi penggunaan kontrak baku yang menimbulkan ekses negatif bagi pihak lainnya atau konsumen. 244 Oleh karena itu menurut Ahmadi Miru, kontrak baku tetap mengikat para pihak dan pada umumnya beban tanggung gugat para pihak adalah berat sebelah maka langkah yang harus dilakukan bukan melarang penggunaan kontrak baku melainkan membatasi penggunaan klausula-klausula tertentu dalam kontrak baku. 245 Pembatasan kontrak baku tidak hanya dibatasi oleh Pasal 18 Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen saja, tetapi kontrak baku juga dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. 242 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal 46. 243 Janus Sidabalok, Op.cit, hal 27. 244 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal 49. 245 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hal 132. Universitas Sumatera Utara Yusuf Shofie berpendapat bahwa, “secara riil eksistensi BPSK tidak selalu berhubungan dengan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yaitu peran BPSK untuk melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha untuk menciptakan keseimbangan kepentingan pelaku usaha dan konsumen”. 246 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Kepmenperindag No. 350MPPKep122001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK yaitu: 247 Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi: a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli danatau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang itu; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. mendapatkan, meneliti danatau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan danatau pemeriksaan; k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 246 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal 240. 247 Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Kepmenperindag No. 350MPPKep122001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. Universitas Sumatera Utara m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Memperbandingkan pengawasan klausula baku di Belanda, KUH Perdata Belanda yang baru mengatur bahwa kontrak baku sejak awal diawasi oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam Article 6:214 Dutch Civil Code yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris yaitu: 248 1. If, with regard to a specific profession or economic sector, a Standard Regulation has been issued for agreements entered into by one of the parties in the course of his professional practice or business, then this agreement is not only subject to the rules of law, but also to the rules of that Standard Regulation. The particular types of agreements for which Standard Regulations may be issued and the profession or economic sector which may fall under the scope of such Regulations, shall be selected by Order in Council. 2. A Standard Regulation shall be made, amended and repealed by a commission that is to be appointed by the Ministry of Justice. Additional rules will be set by law with regard to the way how these commissions must be formed and their working method. 3. The making, amendment or withdrawal of a Standard Regulation cannot become effective before it has been approved by the Crown and before it has been published, with approval of the Crown, in the Dutch Government Gazette. 4. A Standard Regulation may derogate from rules of law as far as a derogation from these rules would as well be allowed under an agreement between private parties, whether or not subject to specific formal requirements. The previous sentence does not apply when a statutory provision implies otherwise. 5. Parties may in their agreement derogate from the rules of a Standard Regulation. The Standard Regulation may, however, indicate that such a derogation must meet specific formal requirements. Ada perbedaan antara pengawasan kontrak baku di Belanda berdasarkan Article 6:214 Dutch Civil Code jika dibandingkan dengan pengawasan kontrak baku 248 Dutch Civil Code, “Dutch Civil Code”, http:dutchcivillaw.comlegislationdcctitle6655.htm232, diakses tanggal 19 Desember 2013. Universitas Sumatera Utara oleh BPSK di Indonesia. Di Belanda berdasarkan Article 6:214 Dutch Civil Code, setiap kontrak baku harus diseleksi oleh Order in Council terlebih dahulu. Kemudian kontrak baku yang dibuat itu diubah dan dicabut oleh suatu komisi yang ditunjuk Departemen Kehakiman sesuai dengan aturan tambahan mengenai bagaimana cara komisi ini dibentuk dan cara kerjanya. Selain itu pembuatan, perubahan, dan penolakan kontrak baku harus disetujui oleh RajaRatu sebelum diterbitkan dalam Berita Negara dengan persetujuan RajaRatu. Kemudian, suatu kontrak baku dapat dikesampingkan dari aturan hukum dan itu dibolehkan dalam kontrak-kontrak oleh pihak swasta kecuali undang-undang menyiratkan sebaliknya. Para pihak mungkin akan mengesampingkan kontrak baku tetapi pengesampingan tersebut harus tunduk pada persyaratan formal tertentu. Hal ini berarti bahwa pengawasan terhadap kontrak baku di Belanda dilakukan sebelum terjadinya sengkata para pihak dalam kontrak baku sedangkan di Indonesia, pengawasan terhadap pencatuman klausula baku dilakukan bila ada pengaduan dari konsumen mengenai adanya pelanggaran dalam pencantuman klausula baku. Namun, Indonesia tidak mungkin mengikuti pengawasan kontrak baku seperti di Belanda mengingat jumlah penduduk Indonesia menurut Badan Universitas Sumatera Utara Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BKKBN diestimasi akan mencapai 250.000.000. dua ratus lima puluh juta jiwa pada tahun 2013. 249 Memperbandingkan jumlah penduduk di Belanda yang pada tahun 2013 diestimasi akan mencapai 16.805.037 enam belas juta delapan ratus lima ribu tiga puluh tujuh jiwa masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. 250 BPSK memang telah diresmikan dengan adanya Keputusan Presiden No. 90 tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK di berbagai kota besar di Indonesia yang terakhir diikuti dengan Keputusan Presiden No. 22 tahun 2013 tentang pembentukan BPSK di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Donggala, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ogan Ilir, Kota Pali, dan Kota Kotambagu. Demikian dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia dan jumlah transaksi kontrak baku di Indonesia tidak memungkinkan bagi Indonesia untuk melakukan pengawasan satu per satu kontrak baku mulai dari proses perancangan hingga pelaksanaan kontrak baku jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan jumlah transaksi kontrak baku di Belanda. 251 249 Fitri Syahrifah, “BKKBN: Tahun Ini Penduduk Indonesia Capai 250 Juta Jiwa”, http:health.liputan6.comread521272bkkbn-tahun-ini-penduduk-indonesia-capai-250-juta-jiwa, diakses tanggal 20 Desember 2013. 250 Index Mundi, “Netherland Demographic Profile.”, http:www.indexmundi.comnetherlandsdemographics_profile.html, diakses tanggal 20 Desember 2013. 251 Keputusan Presiden No. 90 tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK di Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar jo Keputusan Presiden No. 22 tahun Universitas Sumatera Utara Namun, pengawasan terhadap kontrak baku dalam hal ini oleh BPSK juga mengalami kendala karena BPSK sendiri menurut Susanti Adi Nugroho di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menghdapai berbagai kendala yaitu: 252 a. Kendala kelembagaan; b. Kendala pendanaan; c. Kendala sumber daya manusia; d. Kendala peraturan; e. Kendala pembinaan, pengawasan, dan minimya koordinasi antar aparat penanggung jawab; f. Kurangnya sosialisasi dan kesadaran hukum konsumen; g. Kurangnya respon dan pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen; h. Kurangnya respon masyarakat terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan lembaga BPSK. Menurut Aman Sinaga, pada umumnya BPSK mengalami kendala dana operasional dan SDM sehingga kinerjanya kurang optimal. 253 Selain itu, meskipun BPSK telah dibentuk di berbagai kota di Indonesia, masalah SDM tetap menjadi masalah di mana Shidarta mempertanyakan adanya orang-orang yang berkompeten di bidang perlindungan konsumen di setiap wilayah Daerah Tingkat II. 254 Kemudian kewenangan BPSK sangat terbatas. Lingkup sengketa yang berhak ditangani oleh BPSK hanya mencakup pelanggaran Pasal 19 ayat 2, Pasal 2013 tentang pembentukan BPSK di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Donggala, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ogan Ilir, Kota Pali, dan Kota Kotambagu. 252 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Kencana, 2011, hal 210-236. 253 Harian Analisa, “BPSK Belum Optimal Lindungi Konsumen.”, http:www.analisadaily.commobilepagesnews71223bpsk-belum-optimal-lindungi-konsumen, diakses tanggal 20 Desember 2013. 254 Shidarta, Op.cit, hal 180. Universitas Sumatera Utara 20, Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 255 Sanksi yang diberikan hanya berupa sanksi administratif yang telah mendapat pengaruh dari sistem Common Law sehingga dapat berupa ganti rugi seperti yang diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran terhadap pasal-pasal lain yang bernuansa pidana sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan termasuk pelanggaran pancantuman klausula baku sekalipun pengawasan terhadap pencantuman klasula baku ini adalah bagian dari tugas BPSK. 256 Dengan demikian, pada prinsipnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat kontrak baku yang memuat klausula baku atas setiap perjanjian transaksi usaha perdagangan barang danatau jasa, selama dan sepanjang klausula baku tidak mencantumkan ketentuan yang dilarang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 257 255 Ibid. 256 Ibid. 257 Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia, 2003, hal 57. Universitas Sumatera Utara

6. Klausula Syarat Batal Sebagai Salah Satu Klausula Eksonerasi dan Perlindungan Konsumen.