Safety in consuming goat sate viewed from heating aspect and total amount of microbes contamination from sate shops in east jakarta

KEAMANAN MENGKONSUMSI SATE
KAMBING
DITINJAU DARI ASPEK PEMANASAN DAN
TINGKAT CEMARAN MIKROBA
DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

CHAIDIR TAUFIK

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

2

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keamanan Mengkonsumsi
Daging Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran
Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur adalah karya saya sendiri dengan
bimbingan para Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir
tesis ini.

Bogor,

Agustus 2006

Chaidir Taufik
NRP B. 551034074

3

ABSTRAK
CHAIDIR TAUFIK Keamanan Mengkonsumsi Sate Kambing Ditinjau dari
Aspek Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur.
Dibimbing oleh R. ROSO SOEJOEDONO dan EDY SETIARTO.
Sate adalah salah satu makanan tradisional Indonesia berupa irisan
daging kecil-kecil yang dicucuk dan dipanggang dan diberi bumbu kacang atau

kecap. Daging untuk membuat sate kambing berasal dari daging kambing dan
domba. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan
mengkonsumsi sate ditinjau dari aspek pemanasan sate setengah matang dan sate
matang. Selain itu untuk mengetahui tingkat cemaran mikroba pada sate mentah,
setengah matang, dan matang. Parameter yang diukur adalah suhu internal sate
pada pemanasan setengah matang dan matang serta tingkat cemaran mikroba pada
sate mentah, setengah matang, dan matang dari jumlah cemaran mikroba (total
plate count/TPC), Coliform, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan
Salmonella sp. Hasil penelitian menunjukkan suhu rata-rata pemanasan sate
setengah matang adalah 61,68 0 C dengan waktu rata-rata 2 menit 43 detik, suhu
rata-rata sate matang 77,31 0 C dengan waktu rata-rata 5 menit. Sate setengah
matang tidak aman dikonsumsi ditinjau dari kemungkinan terjadinya infeksi
Toxoplasma gondii. Persentase TPC, Coliform, E. coli sate mentah yang di atas
SNI 01-6366-2000 masing- masing 100%, 93,3%, 3,3% serta ditemukannya
Salmonella menandakan sate mentah tidak aman untuk dibakar sebagai bahan
baku sate. Jumlah rata-rata bakteri pada sate setengah matang jika dibandingkan
dengan dosis infektif Escherichia coli dan Salmonella sp maka sate setengah
matang kurang aman untuk dikonsumsi sedangkan sate matang aman untuk
dikonsumsi. Pengaruh pemanasan untuk menurunkan tingkat cemaran mikroba
pada Coliform berbeda nyata (p< 0,05), sedangkan untuk cemaran mikroba yang

lain tidak berbeda nyata.
Kata kunci: sate mentah, sate setengah matang, sate matang, temperatur internal
sate, jumlah cemaran mikroba.

4

ABSTRACT
CHAIDIR TAUFIK Safety in Consuming Goat Sate Viewed from Heating Aspect
and Total Amount of Microbes Contamination from Sate Shops in East Jakarta.
Under direction of R. ROSO SOEJOEDONO and EDY SETIARTO.
Sate,which is one of Indonesian traditional foods, is a kind of small meat
slices which are sticked into sharpened bamboo splinters, grilled and then served
with peanut flavour or soya sauce. Meat used to make goat sate is not only derived
from goat meat but also from sheep meat. The objectives of this research were to
know the safety in consuming sate viewed from the heating aspect of the broilling
result between half cooked sate and cooked sate, and also to know the level of
microbes contamination aspect in raw sate meat, half cooked sate and cooked sate.
Parameters measured were the internal temperature in heating process of half
cooked sate and the cooked sate and the level of microbes contamination which
was viewed from the total plate count (TPC), Coliform, Escherichia coli,

Staphylococcus aureus and Salmonella in raw sate meat, half cooked sate and
cooked sate. The obtained result showed that the average temperature in heating
half cooked sate was 61.68 0 C by the average time of 2 (two) minutes and 43
seconds, while the average temperature in heating cooked sate was 77.31 0 C by
the average times of 5 (five) minutes. The half cooked sate was not safe if viewed
from toxoplasmosis aspect. Percentage of TPC, Coliform, E. coli in raw sate was
above SNI 01-6366-2000, each as follow : 100%, 93.3%, 3.3%. Besides this fact,
the finding of Salmonella in raw sate meat as the raw material of sate was not safe
to be broilled. The average amount of microbes contamination of the half cooked
sate if compared with infectious dose was not safe for consuming while the
cooked sate was safe. The impact of heating sate to decrease the total amount
microbe in Coliform was significant (p< 0.05), whereas the impact of heating sate
for other microbes were no t significant.
Keywords: raw sate, half cooked sate, cooked sate, internal temperature, total
microbe contamination

5

KEAMANAN MENGKONSUMSI SATE
KAMBING

DITINJAU DARI ASPEK PEMANASAN DAN
TINGKAT CEMARAN MIKROBA
DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

CHAIDIR TAUFIK

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

6

Judul Tesis


:

Nama
NRP

:
:

Keamanan Mengkonsumsi Sate Kambing Ditinjau dari Aspek
Pemanasan dan Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya
Jakarta Timur
Chaidir Taufik
B. 551034074

Disetujui:
Komisi Pembimbing

Drh. Edy Setiarto,MS
Anggota


Drh. R. Roso Soejoedono,MPH, DEA
Ketua

Diketahui:

Ketua Program Studi

Dr. Drh. Denny W. Lukman,MSi.

Tanggal Ujian :

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro,MSi.

Tanggal Lulus :

7

PRAKATA


Alhamdulillah saya panjatkan ke hadhirat Alloh Yang Maha Pengasih,
karena atas berkat dan rahmat-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian
ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2006 sampai Maret 2006, dengan judul
Keamanan Mengkonsumsi Sate Kambing Ditinjau dari Aspek Pemanasan dan
Tingkat Cemaran Mikroba di Kotamadya Jakarta Timur.
Terima kasih kepada Bapak Dr. Drh. Denny W. Lukman, MSi sebagai
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bapak Drh. R. Roso
Soejoedono, MPH, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Drh. Edy
Setiarto, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing serta kepada semua staf
Pengajar dan staf Penunjang Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Kepala dan
staf Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kotamadya Jakarta Timur serta Kepala
dan staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membantu
dalam pemeriksaan di Laboratorium.
Selain itu, tidak lupa disampaikan ungkapan terima kasih kepada istri
tercinta Ferina Darmarini, putri terkasih Yasmin dan Rosalyn yang telah banyak
berkorban serta mendorong agar penulis dapat segera menyelesaikan tesis ini.
Semoga Alloh membalas amal baik mereka semua dan diberikan rahmat,
pengampunan dari Alloh SWT.

Tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan perbaikan untuk kesempurnaan tulisan ini.
Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor,
Agustus 2006
Chaidir Taufik

8

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1958 sebagai anak ke
lima dari sepuluh bersaudara, dari keluarga almarhum Bapak H. Muhammad Zaini
bin Sarpin dan Ibu Hj. Jahorah.
Pendidikan Sekolah Dasar ditamatkan di SD Negeri Tengah Petang 02
Kramat Jati Jakarta Timur, melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri XX
dan Selanjutnya Sekolah Menengah Atas Negeri XIV Jurusan Paspal. Penulis
mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Perintis II atau tanpa ujian saringan masuk dan akhirnya penulis mengambil

kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan meraih gelar dokter hewan pada
bulan Maret 1982.
Penulis pernah bekerja di perusahaan peternakan unggas petelur dan
sejak tahun 1983 penulis bekerja di Dinas Peternakan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta sampai dengan sekarang.

9

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR

xi

……………………………………………...............

xii


PENDAHULUAN ………………………………………………………….

1

TINJAUAN PUSTAKA
Daging dan Susunan Daging …………………………………………
Keamanan Daging Kambing ..………………………………………..
Pengaruh Pembakaran Terhadap Daging ………..……………………
Pengaruh Pembakaran Terhadap Mikroorganisme …………………..
Penyakit Asal Makanan ………………………………………………
Dosis Infektif …………………………………………………………
Mikrobiologi Pencemar Daging ………………………………………
Jumlah Mikroba Pencemar ……………………………………………
Indikator Bakteri Patogen ……………………………………………
Coliform ………………………………………………………………
Escherichia coli ……………………………………………………….
Staphylococcus aureus ………………………………………………..
Salmonella …………………………………………………………….
Toksoplasmosis ………………………………………………………

4
5
6
10
12
14
15
16
16
18
19
19
20
21

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………..
Bahan dan Alat ……………………………………………………….
Metode Penelitian …………………………………………………….
Metode Sampling …………………………………………………….
Metode Pengujian Mikrobiologi …………………………………….
Analisa Data
………………………………………………………

24
24
24
26
27
28

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Pembakaran Sate ……………………………………………
Tingkat Panas Sate Setengah Matang ………………………………..
Tingkat Panas Sate Matang …………………………………………..
Sanitasi Higine ………………………………………………………..
Tingkat Cemaran Mikroba Sate Mentah …………………………….
Tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang …………………..
Tingkat Cemaran Mikroba Sate Matang ……………………………..
Pengaruh Pemanasan Terhadap Tingkat Cemaran Mikroba .................
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ………………………………………………………………
Saran ………………………………………………………………….

29
29
31
32
34
35
37
38
39
40

10

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

42

LAMPIRAN ………………………………………………………………..

43

11

DAFTAR TABEL

Halaman

1.

Estimasi Dosis Infektif ………………………………………………

14

2.

Kelompok Suhu Hasil Pembakaran Sate Setengah Matang ................

29

3.

Kelompok Suhu Hasil Pembakaran Sate Matang ................................

31

4.

Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Mentah ............................

34

5.

Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang .............

36

6.

Persentase Tingkat Cemaran Mikroba Sate Matang ............................

37

12

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

Daur Hidup Toxoplasma gondii

2.

Tampilan Pengukuran Panas Sate Kambing

…………………………. 25

3.

Tampilan Sate Kambing Setengah Matang

………………………….. 30

4.

Tampilan Sate Kambing Matang

....................................................... 22

……………………………………..

32
5.

Grafik Perbandingan tingkat Cemaran Mikroba Sate Mentah ................ 34

6.

Grafik Perbandingan tingkat Cemaran Mikroba Sate Setengah Matang .. 36

7.

Grafik Perbandingan tingkat Cemaran Mikroba Sate Matang ................. 37

13

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Daging dikategorikan sebagai bahan pangan yang mudah rusak (perishable
food)

dan berpotensi

mengandung

bahaya

(potentialy harzardous food).

Pangan asal hewan memiliki faktor- faktor yang mendukung pertumbuhan
mikroorganisme, karena kandungan

gizi

yang

baik, terutama

kandungan

protein yang relatif tinggi, memiliki pH yang mendekati netral dan memiliki
aktifitas air ( a w ) di atas 0,85 ( Lukman 2004b).
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia
(PEMRI 1996).
Sate adalah irisan daging kecil-kecil yang dicucuk dan dipanggang dan
diberi bumbu kacang atau kecap (DEPDIKBUD 1999). Sedangkan yang dikenal
sebagai sate kambing adalah irisan kecil-kecil daging kambing atau daging domba
yang dicucuk dan dipanggang dan diberi bumbu kacang atau kecap. Sampel sate
kambing dalam penelitian ini adalah sate yang telah dibakar tetapi tidak diberi
bumbu kacang atau kecap.
Sate kambing merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang
banyak disukai oleh masyarakat luas karena umumnya mempunyai rasa yang
khas. Berdasarkan daerah dikenal sate padang, sate tegal, sate betawi, sate solo
dan lainnya. Sate ternyata tidak hanya dikenal di Indonesia, beberapa negara Asia
Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam memiliki kekhasan
tersendiri dengan masakan satenya (Anonim 2006).
Berdasarkan laporan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Propinsi
DKI Jakarta tahun 2005 perbandingan jumlah domba dan kambing yang dipotong
di rumah pemotongan hewan (RPH) atau tempat pemotongan hewan (TPH)
hampir seimbang. Hal ini terjadi pula di pasar daging walaupun daging domba
yang dijual, tetapi pedagang daging menyebutnya sebagai daging kambing.

14

Konsumsi sate kambing di Kotamadya Jakarta Timur berdasarkan laporan
Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kotamadya Jakarta Timur kurang lebih
3500 kg perhari dan hampir sebagian besar pemotongan kambing atau domba
ditujukan untuk pembuatan sate (SDPPJT 2005).
Warung sate umumnya usaha tradisional dimana umumnya daging sate
dipanaskan dengan menggunakan bara yang berasal dari arang batok kelapa atau
arang kayu. Pembakaran dilakukan secara manual dan kematangan umumnya
diukur hanya berdasarkan perasaan atau pengalamannya dalam membakar sate.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari pengaruh pemanasan
terhadap keamanan mengkonsumsi sate ditinjau dari tingkat suhu internal daging
dilanjutkan dangan memeriksa jumlah cemaran mikroba pada daging sate yang
sudah dibakar setengah matang dan matang sesuai dengan kebiasaan pada masingmasing warung sate.
Sejak lama telah diketahui bahwa pengambilan sampel mikrobiologi
permukaan daging dengan cara pengirisan jaringan akan diketemukan jumlah
bakteri yang lebih banyak jika dibandingkan dengan cara swab. Pengambilan
sampel dengan cara pengirisan hanya bisa dilakukan di laboratorium dan sulit
dilakukan di lapangan atau tempat komersial. Kondisi permukaan daging,
penanganan produk, keadaan mikroflora akan mempengaruhi jumlah bakteri yang
diketemukan pada berbagai macam teknik sampling (Gill et al. 2001).
Atas dasar pertimbangan di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1.

Sate adalah makanan tradisional yang banyak digemari oleh masyarakat luas
tetapi belum ada standar pemanasannya.

2.

Konsumsi daging sate di Kotamadya Jakarta Timur diperkirakan lebih dari
3500 kg setiap hari (SDPPJT 2005).

3.

Adanya penyakit zoonosa yang dapat ditularkan kepada manusia melalui
mengkonsumsi daging yang kurang matang.

15

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1.

Untuk mengetahui tingkat keamanan mengkonsumsi sate kambing di
Kotamadya Jakarta Timur ditinjau dari jumlah kuman Total Plate Count,
Coliform, E. coli, Staphylococcus aureus, Salmonella dan Toxoplasma
gondii.

2.

Untuk mengetahui hubungan tingkat

keamanan mengkonsumsi sate

kambing dengan pembakaran sate kambing.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan informasi tentang :
1.

Lamanya pembakaran sate kambing.

2.

Suhu internal daging sate kambing setelah selesai pembakaran.

3.

Tingkat cemaran mikroba daging sate kambing setelah selesai pembakaran.

Hipotesa Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini :
Ho : Panas hasil pembakaran daging sate kambing yang matang dapat untuk
membunuh mikroorganisme yang ada dalam daging sate kambing.
H1 : Panas hasil pembakaran daging sate setengah matang tidak dapat untuk
membunuh mikroorganisme yang ada dalam daging sate kambing.

16

TINJAUAN PUSTAKA
Daging dan Susunan Daging
Daging

adalah

semua

jaringan

hewan

dan

semua

produk

hasil

pengolahannya yang sesuai untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno 1992). Daging terdiri dari tiga
komponen utama yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose
tissue), dan jaringan ikat (connective tissue) (Muchtadi dan Sugiyono 1989).
Jaringan otot merupakan komponen yang terbanyak dalam karkas, yaitu 35
– 65% dari berat karkas atau sampai 35 – 40% dari berat hewan hidup. Otot ini
melekat pada kerangka, tetapi ada yang langsung melekat pada ligamen, tulang
rawan, dan kulit. Jaringan otot terdiri dari jaringan bergaris melintang, jaringan
otot licin, jaringan otot khusus. Jaringan otot melintang yaitu jaringan otot yang
langsung menempel pada tulang. Jaringan otot licin yaitu jaringan otot yang
terdapat pada dinding alat-alat jeroan. Sedangkan jaringan otot khusus yaitu
jaringan bergaris melintang yang khusus terdapat pada dinding jantung. Jaringan
lemak yang terdapat pada daging dibedakan menurut lokasinya, yaitu lemak
dibawah kulit, lemak intramuskular, dan lemak intraselulair. Jaringan lemak
dibawah kulit terletak dipermukaan luar jaringan otot, langsung di bawah
permukaan kulit, jaringan lemak intermuskular terletak diantara jaringan otot.
Jaringan intramuskular yaitu jaringan lemak di dalam otot diantara serabut-serabut
otot;sedangkan jaringan lemak intraselulair yaitu jaringan lemak di dalam sel.
Jaringan ikat mempunyai fungsi sebagai pengikat bagian-bagian daging serta
mempertautkannya ke tulang. Jaringan ikat yang penting adalah serabut kolagen,
serabut elastin, dan serabut retikulin. Serabut kolagen terutama mengandung
protein kolagen yang berwarna putih dan bersifat terhidrolisa ole h panas, banyak
terdapat pada tendon (jaringan ikat yang menghubungkan daging dan tulang).
Serabut elastin yang komponen utamanya adalah protein elastin, berwarna kuning,
tidak dapat terdegradasi oleh panas, tetapi kehadirannya tidak mempengaruhi
kualitas daging karena biasanya hanya ada dalam jumlah yang kecil. Adapun
serabut retikulin, banyak mengandung protein retikulin tetapi tidak terhidrolisa
oleh panas, banyak terdapat dalam dinding sel.

17

Unit struktural jaringan otot adalah jaringan sel daging, atau yang biasa
disebut serabut otot. Serabut otot terdiri dari miofibril- miofibril. Miofibril tersebut
dikelilingi oleh sarkoplasma (sitoplasma) dan dilindungi oleh sarkolema (dinding
sel). Selain miofibril dalam sarkoplasma juga terdapat inti sel, mitokondria,
retikulum sarkoplasma, konpleks golgi, glikogen, dan lemak. Miofibril terdiri dari
serabut-serabut yang lebih halus yang disebut miofilamen yang terdiri dari dua
macam protein yaitu filamen aktin yang tipis dan filamen miosin yang tebal.
Kedua filamen tersebut terkenal sebagi unit kontraktil yang berperan dalam proses
kontraksi dan relaksasi otot ( Muchtadi dan Sugiyono 1989).
Daging domba mempunyai ciri-ciri daging terdiri dari serat-serat halus yang
sangat rapat jaringannya, warna daging merah muda, diantara otot-otot dan di
bawah kulit terdapat banyak lemak, daging domba jantan hampir sama baunya
dengan kambing jantan (prengus). Sedangkan ciri-ciri daging kambing adalah
daging berwarna lebih pucat dibandingkan dengan daging domba, lemaknya
menyerupai le mak domba, bila kambing dikuliti maka rambut-rambut di bawah
kulit akan melekat, dagingnya berbau prengus (Saptoningsih 2000).

Aroma

kambing (goaty) pada daging kambing dan domba berkorelasi dengan adanya
asam 4- metiloktanoat. Sedangkan, konsentrasi asam 4- metiloktanoat pada daging
kambing lebih tinggi daripada daging domba (Naundea 1981).

Keamanan Daging Kambing
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia
(PEMRI 1996).
Keamanan daging dimulai dari peternakan sampai ke meja makan, dengan
melalui beberapa mata rantai yang membutuhkan penanganan yang baik seperti di
peternakan dilakukan secara good farming practice, pengobatan hewan dilakukan
secara good veterinary practice, transportasi dilakukan secara good transportation
practice, dan di RPH dilakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem, serta
dalam pengolahan dilakukan sesuai dengan petunjuk good manufacturing practice
(Lukman 2004b).

18

Pemeriksaan antemortem dilakukan sebelum hewan dipotong dan bertujuan
untuk:
(a) Memilih hewan yang telah cukup beristirahat sehingga dagingnya aman
dan layak untuk konsumsi manusia,
(b) Memilih hewan yang sehat dan pemeriksaan klinis secara terinci hewan
yang berpenyakit, diduga berpenyakit atau yang dianggap mempunyai
kelainan, serta melakukan isolasi,
(c) Mencegah kontaminasi pada tempat pengulitan yang disebabkan oleh
hewan yang sangat kotor,
(d) Mencegah kontaminasi pada gedung, perlengkapan dan karyawan dari
hewan yang menderita penyakit yang dapat menular,
(e) Mendapatkan informasi yang mungkin diperlukan untuk pemeriksaan
postmortem, diagnosa dan keputusan tentang karkas dan jeroan.
Pemeriksaan postmortem dilakukan segera setelah hewan dipotong dengan
tujuan antara lain:
(a) Mengenali kelainan atau abnormalitas pada daging, isi dada, dan isi perut.
(b) Menjamin bahwa proses pemotongan telah dilaksanakan dengan benar.
(c) Menjamin kualitas dan keamanan daging.
(d) Meneguhkan diagnosa pemeriksaan antemortem (DPPK-DKI 2005).
Pemeriksaan antemortem dan postmortem, tidak bisa mendeteksi parasit
yang sudah ada di dalam otot dan hanya bisa dideteksi dengan pemeriksaan
laboratorium.

Pengaruh Pembakaran Terhadap Daging
Berbagai bentuk pemasakan seperti perebusan, penggorengan dan
pemanggangan, sejak dahulu kala sudah dipakai untuk meningkatkan kelezatan
masakan, kemudahan mengunyah dan keamanan makanan. Sampai sekarang
pemanasan tetap merupakan metode yang paling mudah dan efektif untuk
memastikan bahwa makanan bebas dari mikroorganisme patogen. Kegagalan
dalam memberikan panas yang tepat seringkali diidentifikasi sebagai faktor
penyebab kejadian luar biasa dari foodborne illness (Adams 2004).

19

Pemanggangan daging hanya cocok untuk potongan-potongan daging
seperti steak, potongan daging yang kecil, sebab panas yang dihasilkan
pemanggangan biasanya dalam waktu singkat yang tidak cukup untuk mencapai
jaringan yang lebih dalam. Pengaruh pemasakan terhadap daging dapat dilihat dari
berbagai aspek yaitu
1. Penampilan
Daging yang dimasak biasanya akan berwarna kecokelatan, dimana grup asam
amino dalam protein yang ada dalam otot akan bereaksi dengan cadangan gula
dalam daging seperti glukosa. Warna kecokelatan terjadi pada suhu yang
tinggi (kurang lebih 90 0 C) seperti pemanggangan atau perebusan. Warna
daging bagian dalam dan suhu daging biasanya berhubungan dengan berbagai
macam tingkatan. Penghilangan warna kemerahan akibat meningkatnya suhu
disebabkan denaturasi dari pigmen, warna daging yang dimasak berwarna
kecokelatan dari metmioglobin, hal ini disebabkan terjadinya oksidasi dan
denaturasi. Tekstur yang terlihat akibat pemasakan adalah mendekati lunak ,
kenyal, dan lembut. Jaringan lemak tampak lunak dan jus daging yang hilang
akan menyebabkan daging terlihat kering (Aberle et al. 2001).
2. Perubahan Struktur
Pada saat protein dari otot dipanaskan, protein akan kehilangan struktur
aslinya dan akan terjadi perubahan konfigurasi. Setiap protein mengalami
perubahan yang spesifik, denaturasi (perubahan struktur yang disebabkan oleh
nonproteolitik).

Kesemua

ini

akan

diikuti

dengan

campuran

dan

penggumpalan molekul protein (koagulasi), kondisi ini menunjukkan telah
hilangnya kelarutan protein. Koagulasi protein miofibril dapat diamati dengan
adanya perubahan secara fisik pada jaringan. Struktur mikro dari serabut otot
akibat pemanasan adalah terjadinya disintegrasi dari filamen otot, serabut otot
akan mengalami kekakuan, fenomena ini disebut dengan pengerasan protein
(hardening protein). Koagulasi dan hilangnya kelarutan protein pada sebagian
besar protein serabut otot akibat pemanasan, dilain pihak kolagen yang
mengelilingi jaringan ikat akan meningkatkan kelarutan protein. Perubahan
yang pertama kali adalah terjadinya pengerutan kolagen menjadi sepertiga dari
panjang semula, hal ini terjadi pada pemanasan suhu 56 0 C, dan ketika

20

dipanaskan pada suhu 61 0 C sampai 62 0 C akan terjadi pengerutan kolagen
menjadi setengah panjang semula, dan inilah yang disebut collagen shrinkage
(pengerutan kolagen). Pada pemanasan la njutan dan dibarengi dengan adanya
kelembaban, kolagen akan terhidrolisa dan membentuk gelatin pda saat proses
pendinginan, akibatnya kolagen menjadi lebih lunak. Protein jaringan ikat
elastin tidak sensitif terhadap panas, walaupun telah dipanaskan dengan suhu
yang cukup tinggi, protein ini akan tetap bertahan. Beberapa perubahan lain
akibat pemanasan protein otot, akan mempengaruhi struktur yang lebih kecil
seperti adanya perubahan pH, menurunnya daya ikat aktifitas ion, dan
menurunnya aktifitas enzim. Selain lemak akan berpindah tempat akibat
meningkatnya suhu otot yang diwarnai meleleh dan mencairnya lemak serta
membentuk emulsi dengan protein yang larut (Aberle et al. 2001).
3. Keempukan
Pemanasan akan menyebabkan daging menjadi lebih empuk dan menjadi lebih
kenyal. Keempukan daging akibat terjadinya pemendekan kolagen, pemanasan
sampai dengan suhu 56 0 C sampai 58 0 C proses keempukan daging relatif
lambat tetapi ketika suhu ditingkatkan menjadi 62 0 C sampai 64 0 C pengerutan
kolagen akan semakin cepat dan diikuti dengan kekenyalan dan pengerasan
protein. Peningkatan suhu akan menyebabkan terhidrolisanya kolagen dan hal
inilah yang menyebabkan keempukan daging (Aberle et al. 2001).
4. Jus Daging
Jus daging memegang peranan dalam hal kelezatan daging, karena jus daging
berisi banyak komponen rasa dan jus daging juga akan membantu memecah
dan melembutkan daging ketika dalam proses pengunyahan. Jus daging
umumnya terdiri dari lemak dan cairan yang berada dalam serabut otot.
Lemak dalam serabut otot (marbling) akan meningkatkan jus daging secara
tidak langsung sebab selama pemasakan lemak akan lumer dan mencair serta
pindah tempat (Aberle et al. 2001). Lemak akan meleleh ketika dipanaskan,
kebanyakan lemak akan meleleh pada suhu 300 C sampai 400 C. Protein akan
berkoagulasi atau menggumpal ketika diberi panas, protein dalam jaringan
otot akan berkoagulasi dan hal ini ditunjukkan dengan adanya pengerutan
ukuran daging (Gaman dan Sherrington 1993). Hilangnya jus daging akibat

21

pemanasan akan menyebabkan menurunnya cita rasa dan karakteristik daging
yang khas serta berdampak terhadap penerimaan konsumen (Aberle et al.
2001).
5. Flavor dan Aroma
Pada saat pemanasan atau pemasakan, bahan-bahan tertentu akan mudah
menguap dan hal inilah yang berkontribusi terhadap fla vor dan aroma;
beberapa macam jenis bahan yang mudah menguap seperti molekul dari sulfur
dan molekul yang tersusun dari nitrogen serta hidrokarbon, aldehid, keton,
alkohol, dan asam. Pengaruh pemanasan adalah sangat unik, karena
tergantung dari kondisi dan cara pemanasan atau pemasakan, bahkan jenis
pemasakan dapat diidentifikasi hanya dari flavor dan aroma dari produk yang
dimasak. Aroma berasal dari lemak yang dilepaskan selama proses
pemasakan, serta aroma dapat dibedakan apakah berasal dari babi, domba,
sapi, atau unggas. Pemanasan dengan pemanasan yang kering seperti
pemanggangan akan mengeluarkan flavor tertentu sedangkan pemasakan
dengan memakai air sebagai media penghantar panas dan dengan tekanan
udara tertentu akan menyebabkan perubahan flavor yang khas dalam jaringan
daging (Aberle et al. 2001). Intensitas aroma khas daging kambing yang
dipanggang di atas bara arang menjadi lemah dan aroma yang dominan adalah
aroma harum daging panggang. Aroma harum daging panggang berhubungan
dengan reaksi Maillard, yaitu reaksi kimiawi dengan bantuan panas antara
asam amino dengan gugus karbonil dalam daging yang menghasilkan
komponen aromatik (Bahar 1994 dan Gaman 1990).
Gaman dan Sherrington (1990) menambahkan pengaruh pemasakan selain
menurunkan keempukkan daging juga akan membuat daging berkerut yang
diakibatkan hilangnya cairan (jus daging), kolagen pada jaringan ikat akan
berubah bentuk menjadi gelatin hal inilah yang menyebabkan daging menjadi
lebih lunak, selain itu pemanasan akan menyebabkan beberapa bahan nutrisi
akan hilang seperti vitamin B yang larut dalam air.

22

Pengaruh Pembakaran Terhadap Mikroorganisme
Pemasakan makanan merupakan langkah penting untuk mendapatkan
makanan secara mikrobiologi lebih aman. Rekomendasi memasak daging ayam,
daging babi adalah dengan memasak daging tersebut sampai warna daging
menjadi keabu-abuan atau kecokelatan yang menunjukkan suhu sudah mencapai
74 0 C. Pemasakan terhadap produk-produk yang perlu mendapatkan perhatian
khusus seperti pemasakan daging sapi dan daging domba karena kedua bahan
makanan tersebut sering dikonsumsi dalam kondisi setengah matang (Kotula KL
dan Kotula AW 2001).
USDA (United State Departement of Agriculture) telah mensyaratkan
pemasakan daging sapi setengah matang dalam rangka mengkontrol Salmonella
Sp adalah suhu 54,4 0 C selama 121 menit, 60,0 0 C selama 12 menit, 71,1 0 C
selama 0,12 menit. Waktu tersebut sesuai dengan anjuran Institut Daging Amerika
Serikat (American Meat Institut) yaitu 130 0 F untuk daging sapi kurang matang
(very rare beef), 150 0 F untuk daging sapi setengah matang (medium beef), 1600 F
untuk daging sapi matang (well done beef) (Kotula KL dan Kotula AW 2001).
Pembakaran akan dapat merusak atau mematikan bakteri yang vegetatif
dibagian luar daging tetapi bakteri yang terdapat pada bagian dalam daging
kemungkinan belum dapat dimatikan dengan pemasakan terutama dengan cara
pemanggangan. Lembaga Advokasi Spesifikasi Mikrobiologi untuk Pangan (US
Nation Advisary Committe on the Microbiological Specification for Foods)
merekomendasikan dalam menonaktifkan E. Coli O157:H7 atau Salmonella sp
adalah dengan memasak daging dengan suhu 60 0 C selama 8,34 menit, 62 0 C
selama 2,11 menit, 65,6 0 C selama 0,53 menit atau 68,3 0 C selama 0,13 detik.
Buck et al. dalam Kotula KL dan Kotula AW melaporkan, daging dengan
ketebalan 1,7 cm harus dipanggang selama 6 menit pada setiap sisinya pada suhu
137 0 C agar dapat mengurangi bakteri aeropilik dari jumlah 105 - 108 pergram
daging menjadi 102 pergram ; kejadian tersebut hampir sama pada bakteri yang
memfermentasi laktosa dan E. Coli. Sedangkan Coliform dapat dikurangi sampai
1Log10 dimana dimulai pada jumlah awal 5Log10 pada 85 gram daging dengan
ketebalan 1,3 cm pada pemanggangan 140 0 C selama 2,5 menit pada setiap
sisinya, atau 149 0 C selama 1 menit pada setiap sisinya. Bakteri psikotropik lebih

23

sensitif terhadap panas jika dibandingkan dengan bakteri mesopilik (Kotula KL
dan Kotula AW 2001).
Penyakit antraks yang disebut juga sebagai radang limpa, radang kura,
splenik fever adalah zoonosa yang akut, umumnya bersifat sepsis dan fatal.
Penyebab penyakit ini adalah Bacillus antracis yang berbentuk batang dengan
ujung persegi dan panjang, berpasang-pasangan atau berantai. Bakteri ini bersifat
aerob, Gram positif, tidak motil, berkapsul, tahan asam dan membentuk spora.
Spora antraks akan terbentuk bila terpapar oksigen yang berlebihan yang dapat
bertahan dilingkungannya selama 25 sampai 30 tahun. Selain itu penyebab bakteri
ini tahan terhadap pembekuan cepat pada suhu – 72 0 C, tahan desinfeksi dan
panas (Soejoedono 2004).
Dubey et al. (1990) melakukan penelitian tentang pengaruh pemanasan
terhadap kista Toxoplasma gondii pada daging babi yang sudah dihomogenkan
yang hasilnya kista Toxoplasma gondii tahan terhadap pemanasan dengan suhu 52
0

C selama 9,5 menit tetapi akan mati pada suhu 58 0 C selama 9,5 menit atau pada

suhu 61 0 C selama 3,6 menit sedangkan pada suhu 64 0 C selama 3 menit kista
masih tetap hidup.

Akhirnya Smith (1993) menyimpulkan bahwa memasak

daging sampai suhu internal daging 70

0

C akan dapat mencegah infeksi

toksoplasma. Pada tahun 1996, Iskandar melakukan studi toksoplasmosis pada
domba dan kambing di RPH yang ada di Jakarta hasilnya terdeteksi 48,3%
kambing dan domba 43,3% positif terinfeksi toksoplasmosis secara serologis.
Sedangkan hasil penyid ikan oleh Dinas Peternakan Propinsi DKI Jakarta pada
tahun 1998 mendapatkan hasil 66,67% domba dan 49,12% kambing yang akan
dipotong di RPH positif terinfeksi toksoplasmosis secara serologis. Pada tahun
1998, Iskandar telah berhasil mengisolasi Toxoplasma gondii dari otot diafragma
kambing dan domba yang mempunyai titer serologis yang tinggi terhadap
Toxoplasma gondii.
Kista Toxoplasma gondii yang ada dalam jaringan dapat terus ada
sepanjang individu itu hidup, dan sampai saat ini belum ada obat yang dapat
membunuh bradyzoit yang ada dalam jaringan. Kista Toxoplasma gondii dalam
otot atau jaringan dapat berisi ratusan atau bahkan ribuan bradyzoit. Kista yang
berisi bradyzoit jika termakan oleh manusia atau karnivora yang lain di dalam

24

tubuhnya, bradyzoit

akan berubah menjadi tachyzoit yang akan dapat

menginfeksi manusia atau karnivora (Smith 1993).

Penyakit Asal Makanan
Istilah penyakit asal makanan (food illness atau foodborne disease)
merupakan istilah yang saat ini secara umum lebih disukai untuk digunakan.
Penyakit asal makanan dapat didefinisikan sebagai: ”Setiap penyakit yang bersifat
infeksius atau keracunan yang disebabkan atau diduga disebabkan oleh konsumsi
makanan atau air” (Naim 2004).
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit asal makanan menurut Naim
(2004) dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu Infeksi dan Intoksidasi, sedangkan
Ray (2001) menambahkan dengan kelompok Toksikoinfeksi.
Penyakit asal makanan yang bersifat infeksi terjadi bila bakteri hidup
termakan bersama makanan dalam jumlah yang hidup dan untuk beberapa bakteri
dapat bertahan hidup terhadap keasaman lambung yang merupakan salah satu
.barrier protektif tubuh. Bakteri yang bertahan hidup ini, kemudian memasuki
usus halus tempat dimana bakteri ini akan bermultiplikasi dan menyebabkan
timbulnya gejala klinis. Infeksi dapat bersifat invasif atau non- invasif, pada
infeksi non- invasif, mikroorganisme akan menempel pada permukaan usus atau
sel epitil kemudian bermultiplikasi dan berkolonisasi di permukaan usus,
sedangkan infeksi yang bersifat invasif keberadaanya tidak terbatas pada lumen
usus tetapi dapat juga berpenetrasi menembus sel usus dan dapat menyebar ke
seluruh tubuh (Naim 2004).
Karakteristik mikroorganisme penyebab penyakit asal makanan yang
bersifat infektif adalah:
1. Sel hidup dari bakteri patogen harus dikonsumsi melalui makanan.
2. Sel yang bertahan dari asam lambung akan mempenetrasi sel epitil usus, dan
memperbanyak diri.
3. Level dosis agar dapat menyebabkan infeksi adalah sangat besar.
4. Gejala klinis terjadi setelah 24 jam.
5. Gejala klinis pada usus bersifat lokal.

25

Bakteri yang termasuk golongan ini adalah Salmonella typhi, Salmonella
paratyphi, Listeria monocytogenes, Escherichia coli patogenik, Shigella
sp,Campylobacter sp, Yersenia enterocolistica, Vibrio cholerae, Brucella sp,
Streptococcal sp, Q fever ( Ray 2001).
Penyakit asal makanan yang bersifat intoksikasi, bakteri akan tumbuh dan
berkembang dalam makanan serta memproduksi toksin. Bila makanan tersebut
dikonsumsi,

toksin

yang

terbentuk

(bukan

mikroorganismenya)

akan

menyebabkan gejala klinis (Naim 2004).
Karakteristik penyakit asal makanan yang bersifat intoksikasi adalah:
1. Toksin diproduksi oleh bakteri patogen yang tumbuh dalam makanan.
2. Toksin dapat tahan atau tidak tahan (labil) terhadap panas.
3. Menelan makanan yang mengandung toksin.
4. Gejala klinis yang ditimbulkan biasanya cepat, kurang lebih 30 menit setelah
menyantap makanan tercemar.
5. Gejala klinis yang ditimbulkan bisa berbeda, enterotoksin akan menyebabkan
gejala lambung, sedangkan neurotoksin akan menyebabkan gejala syaraf.
6. Tidak timbul gejala demam.
Mikroorganisme yang termasuk golongan ini adalah Staphylococus aureus,
Clostridium. botulinum, Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Penicillium
viridatum, Penicillium patulum dan Claviceps purpurea (Ray 2001).
Selain kedua penyakit asal makanan tersebut di atas, Ray (2001)
menambahkan adanya golongan yang ketiga yang disebut penyakit asal makanan
yang bersifat toksikointoksikasi walaupun perbedaan tidak selalu jelas.
Karakteristik penyakit asal makanan yang bersifat toksikoinfeksi adalah:
1. Membentuk spora, membutuhkan bakteri vegetatif dalam jumlah yang banyak
sampai menimpulkan infeksi.
2. Sel vegetatif atau bentuk spora tidak memperbanyak diri di dalam saluran
pencernaan, tetapi bersporlasi dan mengeluarkan toksin.
3. Bakteri Gram negatif, sel hidup yang ditelan dalam jumlah yang sedang.
4. Bakteri Gram positif secara cepat memperbanyak diri di dalam saluran
pencernaan.
5. Banyak sel yang mati dan melepaskan toksin.

26

6. Toksin akan menyebabkan gejala gastro intestinal.
Clostridium perfringens,

Bakteri yang termasuk golongan ini adalah

Bacillus cereus, Vibrio cholerae, Escherichia coli enteropatogenik (Ray 2001).

Dosis Infektif
Untuk dapat menyebabkan penyakit, jumlah sel bakteri yang cukup harus
dikonsumsi. Jumlah ini dikenal dengan dosis infektif. Dosis infektif bervariasi
dari suatu organisme ke organisme lainnya dan dari satu orang kepada orang
lainnya. Infeksi yang sukses menyerang orang atau hewan merupakan hasil
interaksi dua faktor variabel, yaitu faktor virulensi patogen (kemampuannya untuk
menyebabkan sakit) dan kepekaan individual. Makanan sebagai pembawa infeksi
mungkin juga membantu mereduksi dosis infektif dengan proteksi patogen dan
efek lokal asam lambung (Naim 2004).
Estimasi dosis infektif dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1 Estimasi Dosis Infektif
Bakteri

Dosis Infektif

Escherichia coli
Enteropatogenik
Enterotoksigenik
Enteroinvasif
Enterohemoragik
Salmonella Typhi
Salmonella Newport
Salmonella Eastbourne
Salmonella Heidelberg
Campyhbacter sp
Staphylococus aureus
Sumber: Naim 2004.

106 - 1010
106 – 108
108
101 – 103
105

Keterangan

dalam hamburger
dalam cokelat
dalam keju
Intoksikasi

Sanitasi higiene
Sanitasi

pangan

adalah

upaya

pencegahan

terhadap

kemungkinan

bertambah dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam
makanan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak jaringan dan
membahayakan manusia (PEMRI 1996).

27

Higiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya sehat atau baik untuk
kesehatan. Tujuan higiene adalah untuk menjamin agar daging tetap aman dan
layak untuk dikonsumsi manusia tanpa menimbulkan gangguan kesehatan
(Lukman 2004b).
Higiene dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu higiene proses, higiene tempat
dan sarana, serta higiene personal. Higiene proses bertujuan agar proses produksi
tidak menimbulkan kontaminasi tambahan pada bahan pangan sedangkan higiene
personal bertujuan adalah untuk menjamin bahwa orang yang berhubungan
langsung atau tidak langsung melalui tubuhnya tidak mencemari bahan makanan,
berprilaku dan bekerja sesuai aturan serta diharapkan pekerja yang sakit atau
diduga sakit tidak ikut melakukan penanganan daging (Lukman 2004b).
Sedangkan higiene tempat dan sarana bertujuan agar produk yang dihasilkan tidak
mengandung jumlah mikroba yang banyak, tidak mengandung toksin dari
mikroba, tidak mengandung residu bahan pembersih dan kimia, serta tidak
mengandung bahan lain yang berbahaya bagi manusia (Lelieveld 2000).
Kepentingan pemanfaatan Higiene dalam rantai makana n adalah (a)
melindungi dan menjaga kesehatan manusia (b) melindungi dan menjaga
kesehatan hewan dan lingkungan (c) menjamin kebersihan (d) menghindari
kerugian ekonomis (e) menjaga kesegaran dan keutuhan makanan serta (f)
menghindari ketidakpuasan konsume n (Lukman 2004b).

Mikrobiologi Pencemar Daging
Daging dipotong dari hewan/unggas yang sehat dengan metode pemotongan
yang baik dan higienis mengandung sedikit mikroorganisme (terutama di
pernukaan daging). Microorganisme dalam daging yang sehat mungkin dapat
ditemukan dalam limfonodus (Lukman 2004a).
Mikroorganisme dapat ditemukan dalam daging karena berasal dari hewan
sakit yang dipotong (bakterimia). Invasi dan penyebaran mikroorganisme ke
dalam daging dapat terjadi melalui pembuluh darah, pembuluh limfe, penggiling
daging. Faktor- faktor yang menunjang invasi mikroorganisme ke dalam daging
antara lain:

28



Isi usus: semakin banyak isi dalam usus, semakin besar invasi (oleh sebab itu,
semakin besar invasi (oleh sebab itu, pemuasan selama 24 jam sebelum
pemotongan sangat diperlukan).



Kondisi fisiologis hewan: jika hewan stres, demam, sakit, maka invasi
mikroorganisme ke dalam daging lebih mudah, akibat pengeluaran darah yang
tidak sempurna dan pH akhir yang relatif tinggi(>6,2).



Metode penyembelihan dan pengeluaran darah.



Kecepatan pendinginan.
Pencemaran daging terjadi pada saat pemotongan. Sumber pencemaran

antara lain: hewan (kulit, rambut/bulu, kuku, isi jeroan), pekerja (tangan, pakaian),
peralatan (pisau, boks), air (pencuci, es), bangunan (lantai) dan lingkungan
(udara). Jenis mikroorganisme yang sering diisolasi dari daging diantaranya:
Acinetobacter, Moraxella, Pseudomonas, Aeromonas, Alcaligenes, Micrococcus
( Lukman 2004a)

Jumlah Mikroba Pencemar
Jumlah bakteri atau mikroba pencemar berkisar 102 sampai 104 / cm2
tergantung faktor- faktor seperti kontaminasi lingkungan, proses produksi yang
memenuhi syarat sanitasi higiene. Jumlah mikroba akan bertambah kalau
dibiarkan pada kondisi suhu pertumbuhan yang sesuai, jumlahnya akan semakin
bertambah banyak selama penyimpanan dan pemanasan selanjutnya. Jika jumlah
bakteri bertambah menjadi 107 per cm2 sampai 108 per cm2 mereka akan nampak
dalam bentuk lendir, daging menjadi bau busuk dan rusak serta tidak cocok untuk
dijual (Buckle 1985).

Indikator Bakteri Patogen
Makanan yang terkontaminasi secara langsung ataupun tidak langsung
dengan feses, secara teori mengandung satu atau lebih bakteri patogen dan
akibatnya akan dapat membahayakan konsumen. Semua mikroorganisme patogen
yang bersangkutan dalam foodborne illness dapat dipertimbangkan sebagai
mikroorganisme yang patogen pada usus, dikecualikan Staphylococus aureus,

29

Bacillus aureus, Cl. botulinum, Cl. perfringens, dan berarti mikroorganisme
tersebut dapat bertahan hidup dan berkembang dalam saluran pencernaan
manusia, makanan hewan dan unggas (Ray 2001).
Penurunan kontaminasi feses pada karkas sapi selama proses pemotongan
dan pengulitan dapat dipandang sebagai satu langkah penting dalam rangka
menurunkan kasus kejadian foodborne illness. Keberadaan mikroba yang berasal
dari feses pada makanan yang diperiksa biasanya akan diketemukan lebih tinggi
jika dibandingkan dengan bakteri patogen dan keberadaan bakteri ini dapat
dipakai sebagai bakteri indikator adanya kontaminasi langsung atau kontaminasi
tidak langsung dari feses.
Kriteria yang ideal sebagai bakteri indikator adalah
1. Bakteri indikator lebih disukai yang mempunyai satu atau beberapa spesies.
2. Bakteri indikator harus berasal dari saluran pencernaan.
3. Bakteri indikator harus tidak patogen.
4. Bakteri indikator harus lebih banyak diketemukan pada kotoran dibandingkan
bakteri patogen.
5. Bakteri indikator harus dapat dideteksi dengan teknik biologi molukuler agar
dapat dideteksi lebih cepat.
6. Bakteri indikator harus dapat dideteksi dan dihitung walaupun terdapat bakteri
lain dalam jumlah yang lebih besar.
7. Bakteri indikator harus dideteksi dalam waktu yang lebih singkat, mudah dan
murah.
8. Bakteri indikator harus mempunyai pertumbuhan dan ketahanan yang sama
pada makanan sebagai bakteri patogen.
9. Bakteri indikator tidak boleh mengalami sublethal injury ketika terpapar fisik
dan kimiawi.
10. Bakteri indikator lebih disukai diketemukan bersamaan dengan bakteri
patogen dalam makanan.
11. Bakteri indikator lebih disukai mempunyai korelasi dengan kemungkinan
keberadaan bakteri patogen pada makanan.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas, tidak ada satupun bakteri atau spesies
yang dapat memenuhi kriteria tersebut

sebagai bakteri indikator yang ideal,

30

namun ada beberapa bakteri yang dapat dipakai sebagai bakteri indikator, seperti
Coliform, E. coli, Enterobacter sp ( Ray 2001).
Enterococus sp merupakan bakteri yang umum ditemukan pada saluran
pencernaan hewan dan dapat digunakan sebagai bakteri indikator alternatif untuk
mendeteksi kontaminasi feses pada karkas daging sapi. Bakteri ini umumnya lebih
tahan terhadap dingin dibandingkan dengan E. coli atau Coliform, Enterococus sp
mampu berkolonisasi pada habitat yang bukan tempat hidupnya seperti peralatan
RPH, terdeteksinya bakteri ini pada peralatan RPH menunjukkan penanganan
sanitasi belum berjalan dengan baik (Ingham dan Schmidt 2000).

Coliform
Istilah ”Coliform” tidak mempunyai nilai taksonomi, tetapi dapat mewakili
satu grup spesies dari beberapa genus seperti Escherichia, Enterobacter,
Klebsiela, Citrobacter, Aeromanas dan Serratia. Alasan utama dikelompokkan
dalam satu grup adalah karena bakteri tersebut di atas mempunyai beberapa
kesamaan seperti mereka semuanya berbentuk batang, Gram negatif, tidak
membentuk spora, kebanyakan motil, fakultatif anaerob, dapat tumbuh dalam
makanan pada pH 4,0 atau di bawahnya dan dalam kondisi aktivitas air (Aw) 0,92
atau di bawahnya, semua bakteri kelompok ini sensitif terhadap pemanasan yang
rendah dan mati pada suhu pasturisasi (Ray 2001).
Coliform merupakan petunjuk adanya polusi kotoran (feses) bahaya
terbesar sehubungan dengan air minum adalah bila air tersebut telah tercemar oleh
bahan buangan atau kotoran manusia atau hewan berdarah panas ( Supardi dan
Sukamto 1999). Termasuk Coliform antara lain: Escheria coli, Edwarsiella,
Citrobacter, Klebsiella, Enterobacter, Hafnia, Serratia, Proteus, Arizona,
Yersinia, Shigella, Providentia, Pseudomonas dan lain- lain (Ray 2001).
Bakteri Coliform dapat dibedakan atas dua grup yaitu: 1) Coliform fecal,
misalnya E. coli dan 2) Coliform non- fecal, misalnya E. aeroginosa. E. coli
merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, sedangkan
E. aeroginosa biasanya ditemukan pada hewan atau tanaman yang telah mati
(Supardi dan Sukamto 1999).

31

Escherichia coli
Escherchia coli umumnya merupakan flora normal saluran pencernaan
manusia dan hewan. Sejak 1940 di Amerika Serikat telah ditemukan strain-strain
E. coli yang tidak merupakan flora normal saluran pencernaan. Strain tersebut
dapat menyebabkan diare pada bayi. Saat ini strain E. coli yang menyebabkan
diare dapat dikelompokkan dalam empat grup yaitu enteropathogenic ( EPEC),
enterotoxigenic (ETEC), enteroinvasive (EIEC), E. coli

yang menghasilkan

verocytotoxin (VTEC). Istilah VTEC terdiri dari E. coli penghasil Shigatoxin
(STEC) dan E. coli penghasil Shiga-liketoxin( SLTEC). E. coli enterohemorrhagic
(EHEC) adalah strain E. coli yang menyebabkan diare berdarah, EHEC
merupakan bagian dari VTEC (Willshaw et al. 2000). Bakteri E. coli yang
merupakan flora normal pada saluran pencernaan dapat berubah menjadi
oportunis patogen bila hidup di luar usus, misalnya pada infeksi saluran kemih,
infeksi luka dan mastitis. Termasuk basil Coliform, merupakan flora komensal
yang paling banyak pada usus manusia dan hewan, hidup aerobik/fakultatif
anerobik. Coliform dapat berubah menjadi oportunis patogen bila hidup di luar
usus, menyebabkan infeksi saluran kemih, infeksi luka dan mastitis pada sapi
(Supardi dan Sukamto 1999).
E. coli merupakan bakteri batang gram negatif, tidak berkapsul, umumnya
mempunyai fimbria dan bersifat motil. Sel E. coli mempunyai ukuran panjang 2,0
– 6,0 µm dan lebar 1,1 – 1,5 µm, tersusun tunggal, berpasangan, dengan flagella
peritikus. Bakteri ini mampu meragi laktosa denga n cepat sehingga pada agar Mc.
Conkey dan Eosin Methylin Blue (EMB) membentuk koloni merah muda sampai
tua dengan kilat logam yang spesifik, dan permukaan halus. Pada medium agar
darah beberapa strain membentuk daerah hemolisis di sekeliling koloni. Diketahui
bahwa E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, maka untuk
mencegah pertumbuhan bakteri ini pada makanan, sebaiknya makanan disimpan
pada suhu rendah (Supardi dan Sukamto 1999).

Staphylococus aureus
Staphylococus aureus termasuk dalam familia Micrococcaceae. Kecuali
beberapa strain, bakteri ini umumnya membentuk pigmen kuning keemasan,

32

memperoduksi koagulase, dan dapat memfermentasi glukosa dan mannitol dengan
memproduksi asam dalam keadaan anaerobik. Bakteri ini bersifat anaerobik
sangat lamban. Sel dari bakteri ini bersifat gram positif, dan berbentuk bulat
(kokus) berukuran diameter 0,5 – 1,5 um, tidak membentuk spora, katalase positif,
dan biasanya sel-selnya terdapat dalam kelompok seperti buah anggur. Akan
tetapi, juga mungkin terdapat secara terpisah (tunggal), membentuk pasangan atau
dalam jumlah 4 (empat) sel (tetrad). Staphylococus aureus tahan terhadap lisis
yang disebabkan oleh enzim lisozim, dan memproduksi enzim fosfatase dan
deoksiribonuLKease (Supardi dan Sukamto 1999).
Staphylococus aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran berselaput
lendir dari tubuh manusia dan hewan seperti hidung, mulut, dan tenggorokan, dan
dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini juga sering terdapat
pada pori-pori dan permukaan kulit, kalenjar keringat, dan saluran usus. Selain
dapat menyebabkan intoksikasi, Staphylococus aureus j