Knowledge and Knowledge Changes on the Community Forest Farmers in Achieving Sustainable Forest Management

PENGETAHUAN DAN PERUBAHAN PENGETAHUAN
PETANI HUTAN RAKYAT DALAM MENCAPAI
PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

MARIA ULFA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengetahuan dan
Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat dalam Mencapai Pengelolaan Hutan
Lestari adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014
Maria Ulfa
NIM E151110151

RINGKASAN
MARIA ULFA. Pengetahuan dan Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat
dalam Mencapai Pengelolaan Hutan Lestari. Dibimbing oleh DIDIK
SUHARJITO dan PRIJANTO PAMOENGKAS.
Pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat menjadi aspek penting
dalam keberhasilan pengelolaan hutan rakyat lestari. Sistem pengetahuan yang
mendasari pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat telah dipelajari selama
bertahun-tahun. Penelitian ini difokuskan pada pengetahuan dalam pengelolaan
hutan rakyat, perubahan-perubahan pengetahuan yang terjadi, serta sumber
pemerolehan pengetahuan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
pengetahuan petani hutan rakyat serta sumber mendapatkan pengetahuan tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan pada Bulan April dan Mei 2013.
Penelitian ini mengambil tempat di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah yang telah
mendapatkan sertifikat hutan rakyat lestari dengan skema Forest Stewardship

Council (FSC). Responden berjumlah 108 orang yang berasal dari KTH Tani
Makmur, KTH Rindang Jaya, KTH Wana Mukti, KTH Margo Makmur, KTH
Karya Sari, dan KTH Rimba Lestari. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara dan observasi. Data sekunder dikumpulkan melalui pencatatan
dokumen.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal petani dalam
pengelolaan hutan mengalami perubahan. Perubahan terjadi pada kegiatan
persiapan bibit, penanaman, dan pemeliharaan. Pengetahuan petani bersumber
dari warisan; pengalaman bertani; dari petani lainnya serta pendampingan dan
penyuluhan. Sumber pengetahuan yang paling dominan pada perubahan
pengetahuan petani adalah pendampingan dari TFT (61,11%).

Kata kunci:
Pengetahuan lokal, Perubahan pengetahuan lokal, Pengelolaan hutan rakyat lestari,
Sertifikasi hutan

SUMMARY
MARIA ULFA. Knowledge and Knowledge Changes on the Community Forest
Farmers in Achieving Sustainable Forest Management. Supervised by DIDIK
SUHARJITO and PRIJANTO PAMOENGKAS.

Knowledge of farmers in managing community forests becomes an
important in the success of sustainable community forest management.
Knowledge of the underlying system management of natural resources by the
communities has been studied for many years. This study focused on farmers
knowledge in forest management, knowledge changes that occur, as well as the
source of knowledge acquisition. This study aims to explain the sources in
obtaining the knowledges and the farmers knowledge changes.
This research was carried out for 2 months from April to May 2013. This
study took place in Kebumen, Central Java, which has been certified by Forest
Stewardship Council (FSC) scheme. Respondents totaled 108 people whose came
from KTH Tani Makmur, KTH Rindang Jaya, KTH Wana Mukti, KTH Margo
Makmur, KTH Karya Sari, and KTH Rimba Lestari. Primary data were collected
through interview and observation and recording of documents.
This study showed that the local knowledge of farmers in forest
management changes. Changes occured in the seed preparation, planting, and
maintenance activities. Farmers knowledge derived from inheritance; farming
experience; from other farmers, coaching and counseling. The most dominant
knowledge source on the farmers knowledge changes is coaching from TFT
(61.11%).


Keywords:
Local knowledge, local knowledge change, sustainable community forest
management, forest certification

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGETAHUAN DAN PERUBAHAN PENGETAHUAN
PETANI HUTAN RAKYAT DALAM MENCAPAI
PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

MARIA ULFA


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian: Dr. Ir. Iin Ichwandi, MScF

Judul Tesis : Pengetahuan dan Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat
dalam Mencapai Pengelolaan Hutan Lestari
Nama
: Maria Ulfa
NIM
: E151110151


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS
Ketua

Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, MSc.F.Trop
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi S2
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, MSc

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


Tanggal Ujian: 12 Maret 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini adalah
pengetahuan lokal, dengan judul Pengetahuan dan Perubahan Pengetahuan Petani
Hutan Rakyat dalam Mencapai Pengelolaan Hutan Lestari. Karya ilmiah ini
merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka
penulisan Tesis untuk memperoleh gelar Master Sains pada Program Studi Ilmu
Pengelolaan Hutan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito,
MS dan Bapak Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, MSc.F.Trop selaku pembimbing atas
bimbingan dan arahan dalam penulisan karya ilmiah, sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Di samping itu, penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada Pengurus dan anggota Koperasi Serba Usaha Taman Wijaya Rasa
(Kostajasa) Kabupaten Kebumen yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh

keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya serta teman-teman Ilmu
Pengelolaan Hutan 2011.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014
Maria Ulfa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR AKRONIM
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengetahuan
Pengetahuan Lokal

Pengelolaan Hutan Lestari
Hutan Rakyat
Sertifikasi Hutan Rakyat
3 METODE
Kerangka Pikir Penelitian
Definisi Operasional Pengelolaan Hutan
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Alat dan Objek Penelitian
Metode Penelitian
Jenis Data
Metode Pengumpulan Data
Pengolahan Dan Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kabupaten Kebumen
Koperasi Serba Usaha Taman Wijaya Rasa (KOSTAJASA)
Karakteristik Responden
Sumber Pengetahuan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat
Pengelolaan Hutan Lestari
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pengetahuan

5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

1
1
2
2
2
3
3
3
4
6
7
8
8

9
11
11
11
12
13
13
13
13
14
16
18
21
29
32
33
33
34
34
37

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar Kelompok Tani Hutan yang Tergabung di Bawah Kostajasa
Tabel 2. Kategori Umur Responden
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Responden
Tabel 4. Lama Mengelola Hutan Rakyat
Tabel 5. Pekerjaan Utama Responden
Tabel 6. Sumber Perubahan Pengetahuan Paling Dominan
Tabel 7. Persiapan Lahan yang Baik dan Buruk Menurut Petani
Tabel 8. Ciri-ciri Biji yang Baik dan Buruk Menurut Petani
Tabel 9. Kegiatan Penanaman yang Baik dan Buruk Menurut Petani
Tabel 10.Persentase yang Memberikan Pupuk Urea dan yang Tidak
Memberikan Pupuk
Tabel 11.Persentase yang Memberikan Pestisida dan yang Tidak
Memberikan Pestisida

15
16
16
17
17
21
22
23
25
26
27

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Terasering dari batu di lahan hutan rakyat.
Gambar 2 Anakan mahoni di bawah tegakan.
Gambar 3 Bibit bantuan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Gambar 4 Kayu yang dijual ke pembeli lokal.
Gambar 5 Label kegiatan inventarisasi tegakan.

DAFTAR AKRONIM
PHL
UNCED
TFK
TEK
ITTO
C& I
SFM
RIL
PHBM
LEI
SLIMF
FSC
KTH
Kostajasa
MCPFE
KTM
TFT

: Pengelolaan Hutan Lestari
: United Nations Conference on Environment and Development
: Traditional Forest Knowledge
: Traditional Ecological Knowledge
: International Tropical Timber Organization
: Criteria and Indicator
: Sustainable Forest Management
: Reduce Impact Logging
: Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
: Lembaga Ekolabel Indonesia
: Small and Low Intensity Managed Forest
: Forest Stewardship Council
: Kelompok Tani Hutan
: Koperasi Taman Wijaya Rasa
: Ministerial Conference on the Protection of Forests in Europe
: Kelompok Tani Mahoni
: Tropical Forest Trust

22
24
26
28
31

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat menjadi aspek penting
dalam keberhasilan pengelolaan hutan rakyat lestari. Organisasi hutan
internasional telah mengakui kontribusi pengetahuan tradisional terhadap hutan
dalam pencapaian pengelolaan hutan lestari (PHL) (Sun dan Youn 2012). Parotta
et al. (2009) juga mengungkapkan mengenai peran pengetahuan tradisional dalam
pengelolaan hutan. Saat ini, PHL menjadi tujuan utama dari lembaga kehutanan di
seluruh dunia setelah adanya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) yang diadakan di Rio de Jeneiro tahun
1992.
Sistem pengetahuan yang mendasari pengelolaan sumber daya alam oleh
masyarakat telah dipelajari selama bertahun-tahun dalam upaya untuk
menemukan cara untuk mengelola sumber daya alam. Adapun penelitian
mengenai pengetahuan yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain Kustiari
(2003) tentang faktor-faktor penentu tingkat kemampuan petani dalam mengelola
lahan marginal, tentang potensi dan pengembangan kompetensi agribisnis petani
berlahan sempit (Harijati 2007), tentang model pengembangan pembelajaran
petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (Yumi 2011), dan mengenai
manajemen simpukng oleh masyarakat Dayak dalam keberlangsungan sumber
daya alam (Mulyoutami et al. 2009).
Penelitian tentang pengetahuan lokal juga telah banyak dilakukan di luar
Indonesia diantaranya penelitian mengenai budaya hutan adat di Timor Asia
seperti feng shui di China yang telah ditinjau kembali sebagai sarana untuk
melindungi dan melestarikan lanskap hutan yang masih sensitif terhadap nilainilai budaya dan spiritual setempat (Yuan dan Liu 2009). Dari perspektif sosial,
dibangun sebuah lembaga sosial yang berperan mempromosikan penggunaan
hutan lokal berkelanjutan dengan warga lokal di Dinasti Chosun dari Korea (Chun
dan Tak 2009). Pemanfaatan dan pengelolaan hutan berdasarkan pengetahuan
tradisional juga dinilai melalui pendekatan etnobotani (Pei et al. 2009).
Pengetahuan tradisional dan pengelolaan hutan dalam mengelola perlebahan asli
sebagai kegiatan tradisional yang telah memanfaatkan sumber daya hutan sejak
zaman kuno di semenanjung Korea (Sun & Youn 2012), serta penelitianpenelitian mengenai deskripsi pengetahuan tradisional tentang hutan dan peran
utama dalam manajemen hutan dan implikasi politik untuk menjaga pengetahuan
tradisional tentang hutan terhadap pengelolaan hutan lestari.
Belum banyak peneliti yang mengangkat mengenai pengetahuan dan
perubahan pengetahuan petani dalam mencapai pengelolaan hutan lestari karena
penelitian lebih banyak mengkaji kaitan antara pengetahuan lokal dengan
pengelolaan hutan lestari (Sun & Youn 2012). Oleh karena itu, peneliti melakukan
penelitian untuk melengkapi penelitian-penelitian yang ada mengenai
pengetahuan lokal. Penelitian ini hendak menjelaskan tentang pengetahuan petani
hutan rakyat, perubahan-perubahan pengetahuan, serta sumber-sumber
pengetahuan. Pengetahuan dan perubahan pengetahuan petani hutan rakyat yang
akan dijelaskan adalah pengetahuan dalam teknis pengelolaan hutan yaitu
kegiatan persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan

2
pemanenan, sedangkan sumber-sumber pengetahuan yang akan dijelaskan adalah
sumber-sumber pemerolehan pengetahuan petani dan sumber-sumber yang paling
dominan menyebabkan perubahan pada pengetahuan petani.
Perumusan Masalah
Berkes dan Truner (2006) mengungkapkan bahwa praktek pengelolaan dan
penggunaan sumber daya dapat berkembang dari waktu ke waktu dengan belajar
adaptif, berdasarkan uraian pemahaman bertahap lingkungan serta pada pelajaran
dari kesalahan.
Penelitian ini hendak menjelaskan tentang pengetahuan petani hutan
rakyat, perubahan-perubahan pengetahuan, serta sumber-sumber pengetahuan.
Pengetahuan dan perubahan pengetahuan petani hutan rakyat yang akan dijelaskan
adalah pengetahuan dalam teknis pengelolaan hutan yaitu kegiatan persiapan
lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan, sedangkan
sumber-sumber pengetahuan yang akan dijelaskan adalah sumber-sumber
pemerolehan pengetahuan petani dan sumber-sumber yang paling dominan
menyebabkan perubahan pada pengetahuan petani.
Hutan rakyat di Kabupaten Kebumen merupakan salah satu hutan rakyat
yang mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan rakyat lestari. Hutan rakyat di
Kebumen merupakan teladan keberhasilan suatu proses pembelajaran petani
dalam pengelolaan hutan secara lestari. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba
menganalisis dan menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1 Darimana sumber-sumber pemerolehan pengetahuan petani dalam
pengelolaan hutan rakyat?
2 Bagaimana penggunaan pengetahuan petani dalam teknis pengelolaan hutan
rakyat?
3 Bagaimana perubahan pengetahuan yang terjadi pada petani dalam
pengelolaan hutan rakyat?
Tujuan Penelitian

1
2
3

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
Menjelaskan sumber-sumber pemerolehan pengetahuan petani dalam
pengelolaan hutan rakyat.
Menjelaskan penggunaan pengetahuan petani dalam teknis pengelolaan hutan
rakyat.
Menjelaskan perubahan pengetahuan yang terjadi pada petani dalam
pengelolaan hutan rakyat.
Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan perkembangan dalam
kajian ilmu pengetahuan khususnya mengenai pengetahuan petani dalam
mengelola hutan rakyat dan manfaatnya dalam pembangunan kehutanan
berkelanjutan dan dapat memberikan masukan bagi instansi terkait di Pusat,
daerah, dan pihak lainnya yang berkepentingan dalam pengembangan
pembangunan kehutanan berkelanjutan yang berbasis masyarakat, khususnya

3
dalam upaya peningkatan pengetahuan petani hutan rakyat dan pengembangan
pengelolaan hutan rakyat lestari. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
informasi awalan bagi penelitian lanjutan mengenai pengetahuan petani dalam
pengelolaan hutan rakyat.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengetahuan
Koentjaraningrat (1990) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah unsurunsur yang mengisi akal dan alam jiwa seseorang manusia yang sadar, secara
nyata terkandung dalam otaknya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan
berhubungan dengan jumlah informasi yang diterima seseorang. Beberapa
pengertian yang berhubungan dengan pengetahuan sebagaimana yang disebutkan
Ban & Hawkins (1999):
1 Pengetahuan dianggap keterangan dari dunia yang dihuni, relatif dalam
pengertian bahwa pandangan bisa berbeda antar orang yang dikarenakan
perbedaan pengalaman.
2 Pengetahuan khas setempat yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan yang
biasanya berdasarkan pengalaman dari generasi ke generasi, meliputi
keanekaragaman dan kompleksitas lokal daripada pengetahuan yang didapat
secara ilmiah.
3 Pengetahuan sebagai suatu sistem dan informasi pertanian. Terjadi
pemanfaatan pengetahuan dan informasi untuk meningkatkan kesesuaian
antara pengetahuan, lingkungan, dan teknologi pertanian.
4 Tingkat pengetahuan adalah pengetahuan seseorang mengenai suatu keadaan
yang dinilai atas dasar jumlah pandangan yang diinginkan.
Pengetahuan Lokal
Beckford dan Barker (2007) mengungkapkan bahwa pengetahuan lokal
dapat didefinisikan sebagai badan dinamis dan kompleks pengetahuan, praktik
dan
keterampilan
yang
dikembangkan
dan
dipertahankan
oleh
masyarakat/komunitas dengan sejarah dan berbagi pengalaman. Pengetahuan ini
menyediakan kerangka kerja untuk pengambilan keputusan dalam sejumlah
kegiatan sosial, ekonomi dan lingkungan dan mata pencaharian antara masyarakat
pedesaan. Pengetahuan lokal ini adalah pengetahuan yang dikembangkan dan
digunakan dari waktu ke waktu oleh masyarakat setempat dan dipengaruhi oleh
realitas lingkungan dan sosial-ekonomi.
Pengetahuan masyarakat setempat membentuk elemen fundamental sistem
pengelolaan hutan yang paling di negara berkembang. Pengetahuan tradisional ini,
tidak hanya untuk masa depan budaya masyarakat lokal, tetapi juga untuk para
ilmuwan dan pihak perencana untuk meningkatkan kesejahteraan petani (Pei,
Zhang, dan Huai 2009). Selanjutnya, Parotta dan Agnoletti (2007)
mengungkapkan bahwa praktek pengelolaan hutan yang inovatif, berdasarkan
pengetahuan tradisional yang dikembangkan oleh masyarakat pedesaan selama
berabad-abad, telah memberikan kontribusi signifikan terhadap warisan alam dan
budaya dunia dengan menciptakan dan mempertahankan keindahan lanskap

4
sambil membantu untuk mempertahankan produksi barang dan jasa yang
meningkatkan keamanan penghidupan dan kualitas hidup. Pengetahuan hutan adat
merupakan komponen integral dari jaringan keterkaitan dan hubungan, didukung
oleh kerangka keseluruhan tanda dan makna. Hal ini sering didasarkan pada
pengalaman sejarah panjang dan wawasan yang mendalam mengenai dinamika
ekosistem hutan, dan perilaku dan karakteristik spesies hewan dan tumbuhan yang
memiliki signifikansi ekonomi, sosial, budaya, dan spiritual khusus bagi
masyarakat. Pengetahuan ini sangat penting untuk kelangsungan hidup dan masa
depan kesejahteraan masyarakat lokal, dan terutama, masyarakat adat ketika
mereka mencoba untuk mempertahankan identitas budaya khas mereka, mata
pencaharian, integritas dan kesehatan hutan ekosistem tempat mereka bergantung.
Berkes (1993) mengungkapkan sebuah istilah lain yaitu pengetahuan
ekologi tradisional (TEK). TEK merupakan pengalaman yang diperoleh selama
ribuan tahun kontak langsung manusia dengan lingkungan. Meskipun istilah TEK
mulai digunakan secara luas pada 1980-an, praktek TEK adalah setua pemburupengumpul kebudayaan kuno. Namun, tidak ada definisi yang diterima secara
universal mengenai pengetahuan ekologi tradisional (TEK) dalam literatur. Istilah
ini, menjadi ambigu dikarenakan kata-kata tradisional dan pengetahuan ekologi
itu sendiri ambigu. Dalam kamus, tradisional biasanya mengacu pada kelanjutan
budaya ditransmisikan dalam bentuk sikap sosial, keyakinan, prinsip-prinsip dan
konvensi yang berasal dari perilaku dan praktek yang berasal dari pengalaman
sejarah. Namun, masyarakat berubah melalui waktu, terus-menerus mengadopsi
praktik dan teknologi baru, dan membuatnya sulit untuk menentukan berapa
banyak dan apa jenis perubahan akan mempengaruhi label praktek sebagai
tradisional.
Pengetahuan ekologi menimbulkan masalah definisi sendiri. Jika ekologi
didefinisikan sempit sebagai cabang biologi dalam domain ilmu barat, maka
tegasnya tidak ada TEK. Jika pengetahuan ekologi didefinisikan secara luas untuk
merujuk pada pengetahuan, bagaimana pengetahuan itu diperoleh, hubungan
makhluk hidup dengan satu sama lain dan dengan lingkungan mereka, maka
istilah TEK menjadi dipertahankan. Dalam konteks ini, pengetahuan ekologi
bukanlah preferensi istilah untuk masyarakat tradisional atau adat itu sendiri.
Untuk sampai pada definisi TEK, perlu untuk menyaring melalui berbagai makna
dan unsur TEK sebagaimana ditegaskan dalam karya-karya besar, hal ini
kemudian dapat membuat istilah TEK merujuk pada sebuah defenisi yaitu TEK
adalah badan pengetahuan dan keyakinan komulatif, turun temurun oleh transmisi
budaya, tentang hubungan makhluk hidup (termasuk manusia) dengan satu sama
lain dan dengan lingkungan. Selanjutnya, TEK adalah atribut dari masyarakat
dengan kontinuitas sejarah dalam praktek penggunaan sumber daya; oleh dan
besar, ini adalah masyarakat berteknologi maju non-industri atau kurang, banyak
dari mereka pribumi atau suku.
Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)
Pengelolaan hutan berada dalam keadaan lestari apabila besarnya hasil
sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung selama terus menerus sesuai
dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan hutan lestari
bertujuan sosial, ekonomi dan lingkungan. (Davis and Jhonson 1987). Sementara

5
itu, ITTO (1992) mendefinisikan pengelolaan hutan lestari sebagai proses
pengelolaan lahan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan yang
secara jelas ditetapkan yang menyangkut produksi berkesinambungan dari hasil
hutan yang diinginkan dan jasa tanpa dampak yang tidak diinginkan baik terhadap
lingkungan maupun sosial, atau pengurangan nilai yang terkandung di dalamnya
dan potensinya pada masa mendatang. Expert panel ITTO menganggap bahwa
definisi operasional mengenai PHL perlu mencakup unsur-unsur berikut:
1 Hasil yang berkesinambungan berupa kayu dan hasil hutan lainnya serta jasa.
2 Mempertahankan tingkat biodiversitas yang tinggi dalam konteks
perencanaan tataguna lahan yang intergratif yang mencakup jaringan kerja
kawasan lindung dan kawasan konservasi.
3 Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan penekanan pada
pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site productivity), menjaga
sumber benih dan unsur biodiversitas hutan yang diperlukan untuk regenerasi
dan pemeliharaan hutan.
4 Meningkatkan dampak positif pada areal di sekitar dan sekaligus mengambil
langkah-langkah untuk meminimalkan dampak yang merugikan.
5 Proses untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan menyelesaikan
perbedaan pendapat yang timbul.
Kesepakatan dasar yang telah dicapai rnengenai konsep PHL terfokus pada
terjaminnya keberlanjutan fungsi hutan ditinjau dari 3 hal pokok, yaitu fungsi
produksi, fungsi lingkungan/ekologi dan fungsi sosial budaya.
Selanjutnya, MCPFE, 1993 dalam Wolfslehner B, Vacik H, and Lexer MJ
2005 Mendefinisikan PHL sebagai pengelolaan dan penggunaan hutan dan lahan
hutan dengan cara dan pada tingkat untuk mempertahankan keanekaragaman
hayati, produktivitas, kapasitas generasi, vitalitas, dan potensi hutan untuk
memenuhi kebutuhan sekarang dan di masa depan, terkait fungsi ekologi,
ekonomi, dan sosial di tingkat lokal, nasional, dan global.
Lanly (1995) dalam Varma VK, Ferguson I, Wild I (2000), menyatakan
bahwa konsensus mengenai karakterisasi pengelolaan hutan lestari melalui enam
criteria yaitu: (1) tingkat luas sumber daya hutan, (2) konservasi keanekaragaman
hayati, (3) kesehatan dan vitalitas hutan, (4) fungsi produktif hutan, (5)
perlindungan fungsi hutan, dan (6) berkaitan dengan ekonomi dan kebutuhan
sosial. ITTO 1992; Helsinki 1995; Montreal 1995 dalam Varma VK, Ferguson I,
Wild I 2000, menjelaskan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari sebagai
berikut:
1 Sumber daya hutan negara: distribusi daerah hutan menurut tipe hutan,
dengan spesies asli atau spesies eksotis, dan pada kelas usia.
2 Konservasi keanekaragaman hayati: distribusi luas hutan yang dikelola
khusus untuk konservasi dan pemanfaatan sumber daya hutan genetik,
distribusi jumlah spesies endemik, dan distribusi jumlah spesies sesuai
dengan status perlindungan (terancam punah, terancam, langka, punah).
3 Kesehatan hutan, vitalitas dan integritas: distribusi daerah yang terkena
penyakit, serangga, kebakaran, persaingan dari spesies eksotis dan unregener
diciptakan bagian dari ekosistem.
4 Produksi kayu dan hasil hutan lainnya: distribusi kawasan hutan yang
dikelola sesuai untuk rencana pengelolaan, distribusi daerah tersedia untuk

6
produksi kayu dan hasil hutan non kayu, distribusi daerah yang didedikasikan
untuk produksi berkelanjutan dari kayu dan hasil hutan Non kayu.
5 Perlindungan tanah dan air: distribusi daerah hutan yang dikelola secara
khusus untuk tujuan konservasi tanah dan air, distribusi daerah yang tunduk
pada konten organik miskin, dan tanah yang dipadatkan.
6 Fungsi sosial-ekonomi: distribusi kawasan hutan yang dikelola terutama
untuk bersantai dan pariwisata, nilai-nilai budaya, untuk lanskap dan untuk
memenuhi kebutuhan yang bergantung pada populasi hutan.
Sustainable forest management (SFM) dapat dicapai dengan menerapkan
pemanenan hutan terbaik (misalnya reduce impact logging/RIL) dan keterlibatan
lebih besar dengan skema sertifikasi hutan. Rametsteiner E dan Simula M (2003)
menyebutkan bahwa untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari (SFM)
digunakan instrumen sertifikasi. Sertifikasi hutan diperkenalkan pada awal 1990an untuk mengatasi masalah deforestasi dan degradasi hutan dan untuk
mempromosikan pemeliharaan keanekaragaman hayati, terutama di daerah tropis.
Sampai saat ini sekitar 124 juta ha atau 3,2% dari hutan dunia telah disertifikasi
oleh skema sertifikasi yang berbeda dibuat selama dekade terakhir. Sertifikasi
hutan bertujuan untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari dengan alat lain,
yaitu dengan menggunakan kriteria dan indikator (C & I) untuk SFM. Kriteria dan
indikator terutama dikembangkan untuk tingkat nasional untuk menggambarkan
dan memonitor status dan tren di hutan dan pengelolaan hutan.
Hutan Rakyat
Hutan rakyat di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam penjelasan
Undang-undang No.41 tahun 1999 pasal 5 ayat 1 adalah hutan hak yang berada
pada tanah yang dibebani hak milik. Hal ini selaras dengan kemudian diperjelas
oleh Peraturan Menteri Kehutanan P.03/Menhut-V/2004 dimana hutan rakyat
adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak
lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayukayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%.
Hutan rakyat di Indonesia memiliki karakteristik yang unik seperti yang
diungkapkan dari hasil seminar Ditjen RRL (1995a), antara lain: (1) lokasi hutan
rakyat terbatas pada lahan milik, lahan marga/adat, kawasan hutan produksi yang
dapat dikonversi yang tidak berhutan dan tanah Negara yang terlantar/HGU
terlantar; (2) usaha hutan rakyat ditinjau dari segi usaha, sebagian besar berskala
kecil sampai menengah yang dalam pengembangannya menghadapi masalah
pemilikan lahan yang sempit (di Pulau Jawa) dan status lahan sering belum jelas;
(3) pelaksana pengelolaan hutan rakyat biasanya adalah stratum masyarakat paling
bawah yang mempunyai kemampuan teknis, ekonomis dan manajemen minimal;
(4) pola penanaman hutan rakyat tidak monokultur (homogen) tetapi bersifat
heterogen, yaitu penanaman berbagai jenis tanaman di satu areal lahan pada waktu
bersamaan; (5) pelaksana pengeloaan hutan rakyat umumnya kurang mempunyai
ketrampilan dalam pengelolaan hutan; (6) kelembagaan pengelolaan hutan rakyat
belum berkembang ke taraf yang mantap; (7) dalam peraturan perundangan yang
ada, seperti dalam uraian kegiatan pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat yang
mencapai 10 butir, tidak ada yang mencakup keteknikan hutan; (8) dimensi kayu
yang dipanen biasanya kecil. Sebagai contoh di beberapa hutan rakyat Jawa Barat

7
terlihat bahwa diameter maksimum hanya mencapai sekitar 35 cm; dan (9) pola
penanaman lain yang khas terdapat di Gunung Kidul, ada tiga pola, yaitu (1)
penanaman pohon di sepanjang batas lahan milik, (2) penanaman pohon di teras
bangku, dan (3) penanaman pohon di seluruh lahan milik.
Cahyono et al. (2002) mengungkapkan bahwa hutan rakyat di Indonesia
dikembangkan oleh rumah tangga dengan alasan untuk mendapatkan keuntungan
finansial. Namun, alasan terkuat dikembangkannya hutan rakyat oleh rumah
tangga adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau sebagai tabungan.
Pengelola hutan rakyat atau yang juga biasa disebut petani hutan rakyat umumnya
melakukan proses pemanenan kayu dengan menggunakan istilah ‘tebang butuh’.
Mereka akan menebang kayu apabila membutuhkan sesuatu yang diharapkan
dapat dipenuhi dengan melakukan kegiatan penebangan dan penjualan kayu hasil
tebangan. Mereka memperlakukan hutan sebagai aset jangka panjang seperti
rekening bank yang bisa diuangkan sewaktu-waktu.
Ada empat pola hutan rakyat yang ditemukan oleh Donie (1996) yaitu (1)
pola murni kayu-kayuan yang tumbuh lambat, (2) pola campuran kayu-kayuan
dan tanaman buah-buahan, (3) pola campuran tanaman kayu-kayuan dan tanaman
semusim, dan (4) pola campuran tanaman kayu-kayuan, buah-buahan, dan
tanaman semusim. sementara itu, Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan
(1995b) membagi tipologi hutan rakyat menjadi 3, yaitu (1) murni/monokultur,
(2) campuran seperti kebun rakyat dan (3) agroforestri.
Sertifikasi Hutan Rakyat
Maryudi (2005) mengungkapkan bahwa karakteristik hutan rakyat
Indonesia yang unik, menimbulkan beberapa kendala dalam pencapaian sertifikasi
bagi hutan rakyat Indonesia. Adapun kendala dalam pencapaian sertifikasi yang
seharusnya diketahui oleh petani hutan rakyat yaitu kendala dari dalam (Internal
contraints) yang berkaitan langsung dengan kharakteristik hutan rakyat maupun
dari dalam diri pengelolanya (petani hutan) sendiri serta kendala dari luar
(External Constraints), merupakan kendala yang tidak berkaitan langsung dengan
pengelolaan hutan maupun petani hutan, namun mungkin bisa berperan penting
dalam mendukung keberhasilan promosi sertifikasi hutan rakyat. Akan tetapi,
kesangsian berbagai pihak terhadap kemungkinan pelaksanaan sertifikasi di lahan
hutan milik rakyat selanjutnya dapat ditepis dengan adanya skema sertifikasi yang
dikembangkan untuk hutan yang dikelola oleh masyarakat. Selanjutnya Maryudi
(2010) mengungkapan bahwa hutan rakyat memiliki beberapa kekuatan untuk
sertifikasi hutan antara lain bahwa hutan rakyat mempunyai potensi yang besar
untuk mendukung industri perkayuan nasional dan di beberapa daerah telah
mampu memberikan/menumbuhkan berbagai manfaat, baik manfaat ekonomis
bagi petani hutan, maupun manfaat sosial dan lingkungan. Pengelolaan hutan
rakyat secara garis besar bebas dari tenurial conflicts, salah satu indikator
kelestarian yang dirumuskan beberapa lembaga sertifikasi. Hal ini membuka
peluang bagi hutan rakyat untuk mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan.
Hinrich, Muhtaman, dan Irianto (2008) mengatakan bahwa sertifikasi
hutan yang dikelola masyarakat Indonesia mengikuti 2 skema sertifikasi yang
berbeda dari 2 lembaga yang berbeda, yaitu
1 Skema sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) LEI.

8
2

Skema sertifikasi hutan yang dikelola dengan intensitas rendah dan kecil
(small and low intensity managed forest – SLIMF) oleh FSC.
Skema sertifikasi PHBM LEI berlandaskan pada perluasan sistematis
hutan rakyat yang ada di Indonesia yang disebut tipologi. Tipologi tersebut
disusun oleh LEI dengan mengelompokkan kawasan hutan rakyat berdasarkan: (1)
klasifikasi lahan (hutan/bukan hutan/kawasan dilindungi), (2) orientasi
manajemen (untuk kebutuhan sendiri/komersial), (3) tipe produk (kayu/non kayu),
dan (4) status kepemilikan lahan (lahan milik negara/lahan masyarakat
(perorangan dan komunal)/lahan hak milik pribadi).

3 METODE
Kerangka Pikir Penelitian
Berkes (1993) mengungkapkan bahwa Pengetahuan ekologi tradisional
(TEK) merupakan pengalaman yang diperoleh selama ribuan tahun kontak
langsung manusia dengan lingkungan. Pengetahuan tradisional digambarkan
sebagai sesuatu yang diturunkan dalam masyarakat sebagai bagian dari warisan
budaya (Lejano et. al 2013). Sementara itu, Konvensi Keanekaragaman Hayati
mendefinisikan pengetahuan tradisional sebagai: pengetahuan, inovasi dan
praktek-praktek masyarakat adat dan lokal yang berasal dari penggunaan sumber
daya alam hayati dan praktik budaya yang terkait dan tradisi, pengetahuan
tradisional merupakan tubuh pengetahuan dan keyakinan ditularkan melalui
tradisi lisan dan tangan pertama, pengamatan tentang lingkungan setempat, dan
sebagai sistem manajemen diri yang mengatur penggunaan sumber daya, dan
memainkan peran penting dalam pembangunan berkelanjutan di dunia saat ini
(Pei et al. 2009).
Pengetahuan ekologi tradisional berkembang dari waktu ke waktu.
Dimulai dari tahap pemburu-pengumpul yang merupakan mata pencaharian
subsisten manusia yang hidup di kawasan hutan. Dilanjutkan dengan penanaman
tanaman pangan di sekitar hutan dan kemudian dilanjutkan dengan fase
perladangan berpindah, sehingga pada akhirnya masyarakat mampu memanipulasi
keanekaragaman hayati dalam berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan mata
pencaharian mereka. Masyarakat tradisional ini memiliki berbagai macam sistem
pertanian tradisional menetap yang terintegrasi dengan baik dalam lanskap hutan
(Ramakrishnan 2007).
Ada proses belajar yang terjadi yang kemudian menyebabkan terjadinya
perubahan pengetahuan. Selain itu, perubahan pengetahuan petani dalam
pengelolaan hutan rakyat tidak terlepas dari sumber pengetahuan yang
dimanfaatkan oleh petani hutan rakyat itu sendiri. Hasil belajar petani hutan
rakyat di Kebumen ditandai dengan adanya perubahan perilaku dalam teknis
pengelolaan hutan. Perubahan perilaku ini pula yang menjadikan hutan rakyat di
lokasi penelitian dianggap telah menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam
pengelolaan hutan dan kemudian mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan rakyat
lestari. Konsep pengelolaan hutan lestari adalah proses pengelolaan lahan hutan
untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan yang secara jelas ditetapkan
yang menyangkut produksi berkesinambungan dari hasil hutan yang diinginkan
dan jasa tanpa dampak yang tidak diinginkan baik terhadap lingkungan maupun

9
sosial, atau pengurangan nilai yang terkandung di dalamnya dan potensinya pada
masa mendatang.
Pada penelitian ini, fokus kajian adalah untuk mengkaji pengetahuan
petani hutan rakyat, perubahan-perubahan pengetahuan, serta sumber-sumber
pemerolehan pengetahuan. Pengetahuan dan perubahan pengetahuan petani hutan
rakyat yang akan dijelaskan adalah pengetahuan dalam teknik silvikultur
pengelolaan hutan rakyat yang terdiri dari kegiatan persiapan lahan, pengadaan
bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan, sedangkan sumber-sumber
pengetahuan yang akan dijelaskan adalah sumber-sumber pemerolehan
pengetahuan petani dan sumber-sumber yang paling dominan menyebabkan
perubahan pada pengetahuan petani.dari kajian aspek-aspek ini diharapkan dapat
melengkapi data-data yang diperlukan dalam melakukan analisis permasalahan
sehingga dapat menjawab tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini.
Definisi Operasional Pengelolaan Hutan
Pengetahuan petani hutan rakyat dalam pengelolaan hutan secara lestari
dapat dilihat dari teknik silvikultur pengelolaan hutan rakyat. Teknik yang
digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dikatakan lestari apabila sesuai
dengan teknik pengelolaan hutan secara ilmiah dan berdasarkan standar dari
masing-masing lembaga yang memberikan sertifikasi pengelolaan hutan lestari.
Standar tersebut dapat dilihat dari kriteria dan indikator. Adapun teknis
pengelolaan hutan secara ilmiah adalah sebagai berikut:
1 Persiapan lahan ialah suatu upaya yang dilakukan oleh petani hutan dalam
rangka mempersiapkan lahan yang akan ditanami, agar lahan tersebut
terhindar dari berbagai hama dan penyakit. Kegiatan yang dilakukan dalam
persiapan lahan berupa pembersihan lahan dan pengolahan tanah. Pengolahan
lahan dilakukan pada saat musim kemarau.
a Pembersihan lahan ialah suatu tindakan yang dilakukan agar tanah siap
untuk ditanami dan menghindarkan tanaman dari gangguan gulma yang
akan menghambat tanaman pokok. Pembersihan lahan dilakukan baik
secara manual maupun semi mekanis.
b Pengolahan tanah ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk memudahkan
dalam proses penanaman. Pengolahan tanah dilakukan dengan ukuran
kedalaman 20−50 cm dan tidak boleh terlalu dangkal ataupun terlalu
dalam.
2 Persiapan bibit yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi bibit yang
berkualitas baik untuk memperoleh hasil yang menguntungkan secara
ekonomi dan ekologis. Kegiatan persiapan bibit terdiri dari berbagai kegiatan
yaitu pengadaan benih dan pembuatan persemaian.
a Pengadaan benih yang meliputi kegiatan pengumpulan benih, ekstraksi
benih, dan penyimpanan benih ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh benih yang berkualitas yaitu yang hasilnya banyak dan tahan
terhadap serangan hama dan penyakit. Pengadaan benih dapat dilakukan
dengan membeli benih dari areal produksi benih dan atau melalui kegiatan
pengunduhan.
b Persemaian ialah suatu kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi bibit
yang berkualitas baik pada suatu areal yang tetap atau sementara dengan

10

3

4

penataan yang rapi dan teratur. Persemaian dilakukan dengan mengatur
drainase tanah dengan membuat parit, mencampur top soil dan kompos
untuk membantu menyuburkan lahan, pembuatan bedengan pada daerah
miring ditimbun dengan tanah dan diratakan, pengaturan tata ruang dengan
berpedoman pada denah persemaian yang telah dibuat.
Penanaman terdiri dari berbagai kegiatan, antara lain penentuan jarak tanam,
pembuatan lubang tanam, dan pemasukan bibit ke lubang tanam.
a Penentuan jarak tanam ialah suatu tindakan untuk menentukan jarak antar
satu tanaman dengan tanaman yang lain sehingga diperoleh ruang tumbuh
yang baik.
b Pembuatan lubang tanam ialah suatu tindakan yang bertujuan agar
tanaman lebih baik pertumbuhannya. Lubang tanam dibuat dengan jarak
tanam tertentu sehingga pertumbuhannya lurus. Pembuatan lubang tanam
dilakukan dengan mencangkul tanah.
c Penanaman ialah suatu tindakan memasukkan bibit ke dalam lubang tanam
agar aman dari gangguan hewan dan dapat tumbuh dengan baik.
Pemasukan bibit dilakukan dengan memasukkan bibit ke dalam tanah
sesui dengan lubang yang telah dibuat.
Pemeliharaan yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara
tanaman agar tidak mudah terserang hama dan penyakit sehingga
pertumbuhannya baik. Pemeliharaan terdiri dari berbagai kegiatan berupa
penyulaman, penanggulangan hama dan penyakit serta perlindungan lahan
dan tanaman.
a Penyulaman ialah suatu tindakan yang bertujuan untuk mengantisipasi
tanaman yang mati dengan mempersiapkan tanaman pengganti.
Penyulaman dilakukan dengan mempersiapkan bibit cadangan dilahan
lainnya untuk mengantisipasi ketidakberhasilan tanaman yang ditanam
sebelumnya.
b Penyiangan ialah kegiatan yang dilakukan untuk membebaskan tanaman
pokok dari tanaman pengganggu dengan cara membersihkan gulma yang
tumbuh liar di sekeliling tanaman, agar kemampuan kerja akar dalam
menyerap unsur hara dapat berjalan secara optimal. Disamping itu,
tindakan penyiangan juga dimaksudkan untuk mencegah datangnya hama
dan penyakit yang biasanya menjadikan rumput atau gulma lain sebagai
tempat persembunyiannya, sekaligus untuk memutus daur hidupnya.
c Pendangiran ialah kegiatan mengemburkan tanah di sekitar tanaman
dengan maksud untuk memperbaiki aerasi dan drainase tanah yang
berguna bagi pertumbuhan tanaman.
d Penanggulan hama dan penyakit ialah suatu tindakan yang bertujuan untuk
mendapatkan tanaman yang baik pertumbuhannya dan lingkungan sekitar
tanaman dapat mendukung pertumbuhan tanaman. penanggulan hama dan
penyakit dilakukan dengan mengumpulkan berbagai bahan untuk dibuat
ramuan obat pembasmi hama dan penyakit, menyemprotkan pestisida
ataupun obat kimia lainnya, memberikan musuh alami bagi hama dan
penyakit dengan melakukan penjagaan agar musuh alami tidak menyebar
ke lokasi lainnya.
e Perlindungan lahan dan tanaman ialah suatu tindakan yang bertujuan untuk
mencegah longsor, menghambat laju api apabila terjadi kebakaran dan

11

5

menjaga lahan dari serangan hama dan hewan pengganggu. Perlindungan
lahan dan tanaman dilakukan dengan mencangkul tanah dan membuat
tangga-tangga, penanaman tanaman secang, pembuatan jadwal ronda.
Pemanenan yaitu kegiatan pengambilan hasil dari tanaman yang diusahakan
baik berupa kayu, getah, buah dan daun. Pemanenan terdiri dari berbagai
kegiatan berupa penebangan dan penyaradan.
a Penebangan ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil
dari tanaman dengan meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan
sesudahnya, arah rebah dibuat dengan pertimbangan ekonomi, ekologi dan
keselamatan kerja. Penebangan dilakukan dengan memotong batang sesuai
tanda yang telah dibuat sebelumnya, mengukur batang dengan
menggunakan meteran dan menguliti kayu yang sudah ditebang.
b Penyaradan ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengangkut kayu
hasil tebangan menuju alat pengangkut dengan mana dan tidak merusak
kayu dan lingkungan sekitarnya dan tidak melewati situs kebudayaan,
tempat keramat maupun kuburan. Penyadaran dilakukan dengan
memperhatikan peta lokasi yang dibuat (Arafah, 2002).
Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dari Bulan April sampai Mei
2013 di di enam Kelompok Tani Hutan (KTH) di lima kecamatan yang tergabung
di bawah Koperasi Taman Wijaya Rasa (Kostajasa) Kabupaten Kebumen, Jawa
Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan
pertimbangan Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten yang terdapat petani
hutan rakyat yang telah mendapatkan sertifikasi hutan rakyat lestari dengan skema
Forest Stewardship Council (FSC) pada tahun 2009. Adapun keenam KTH yang
dijadikan sampel yaitu KTH Tani Makmur Desa Wonoharjo Kecamatan
Rowokele, KTH Rindang Jaya Desa Arjomulyo dan KTH Wana Mukti Desa
Sidomukti Kecamatan Adimulyo, KTH Margo Makmur Desa Pohkumbang
Kecamatan Karanganyar, KTH Karya Sari Desa Sikayu Kecamatan Buayan, dan
KTH Rimba Lestari Desa Kalibening Kecamatan Karanggayam.
Alat dan Objek Penelitian
Penelitian ini memerlukan beberapa alat bantu seperti kuisioner, alat tulis,
kamera, alat perekam serta personal computer, sedangkan objek penelitian yaitu
108 orang perwakilan petani dari 910 petani yang memiliki lahan hutan rakyat
yang tergabung dalam Kostajasa yang telah mendapatkan sertifikat pengelolaan
hutan rakyat lestari.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survai. Penelitian survai memiliki ciri
khas yaitu data yang dikumpulkan berasal dari responden dengan menggunakan
kuisioner (Effendi 1989). Pada penelitian ini, dilakukan dua pemilihan contoh
yaitu

12
1

2

Pemilihan lokasi penelitian
Lokasi dipilih secara sengaja (purposive), yaitu wilayah pengelolaan hutan
rakyat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah yang telah mendapatkan sertifikat
hutan rakyat lestari.
Pemilihan responden
Kelompok yang dipilih menjadi responden merupakan kelompok yang telah
mendapatkan sertifikat dan kelompok yang belum mendapatkan sertifikat
pengelolaan hutan rakyat lestari. Berdasarkan data per 31 Desember tahun
2011, ada 910 orang di Kabupaten Kebumen yang merupakan petani hutan
rakyat yang tergabung dalam KTH di bawah naungan Kostajasa dalam
pengelolaan hutan rakyat lestari. Pemilihan responden dilakukan secara acak.
Jumlah responden ditentukan berdasarkan rumus Slovin (Nazir 2009).

dimana:
n = Ukuran sampel (responden)
N = Ukuran populasi
e = Tingkat kesalahan yang ditolerir (9%)
Dari perhitungan menggunakan rumus, maka diperoleh jumlah responden
yang akan diwawancara sebanyak 108 orang petani hutan rakyat yang telah
tersertifikasi.
Jenis Data
Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek
penelitian yang dikumpulkan melalui wawancara dengan responden menggunakan
kuisioner dan observasi lapangan. Data primer yang dikumpulkan, antara lain:
1. Teknik pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani (kegiatan persiapan
lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan).
2. Sumber yang membentuk pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat.
3. Sumber yang mempengaruhi perubahan pengetahuan petani.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari institusi atau lembaga
tertentu. Data sekunder diperoleh dengan melakukan pencatatan terhadap datadata dan studi literatur yang mendukung tercapainya tujuan penelitian. Data
sekunder yang dicatat dapat berasal dari hasil penelitian, data instansi terkait,
lembaga informal dan sebagainya. Data sekunder yang dikumpulkan, antara lain:
1 Kondisi umum lokasi penelitian meliputi: letak dan keadaan fisik lingkungan.
2 Data umum masyarakat di lokasi penelitian meliputi: monografi masingmasing desa, jumlah penduduk, struktur umur, tingkat pendidikan masyarakat
dan mata pencaharian.
3 Informasi dan dokumen terkait hutan rakyat yang didapatkan dari laporan
Koperasi Taman Wijaya Rasa dan kriteria dan indikator FSC yang digunakan
Smartwood.

13
Metode Pengumpulan Data

1

2

3

Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan 3 teknik, yaitu
Teknik wawancara, dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi terkait
masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan kuisioner. Wawancara dilakukan oleh peneliti yang kemudian
akan mendapatkan tanggapan dan respon dari 108 orang responden terpilih
yang berupa penjelasan atau jawaban dari pertanyaan yang dilakukan.
Teknik observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap lokasi
pengelolaan hutan rakyat serta terhadap objek penelitian. Observasi langsung
di lapangan dilakukan untuk memperbandingkan hasil wawancara dengan
kenyataan di lapangan, atau bahkan dapat mempertajam hasil wawancara.
Dengan metode ini diharapkan peneliti mampu melihat, merasakan dan
memaknai gejala sosial yang diteliti dan bersama-sama membentuk dan
mendapatkan pengetahuan dari objek penelitian peneliti.
Pencatatan data sekunder dari berbagai sumber/instansi dan hasil penelitian
terdahulu.
Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang dikumpulkan berdasarkan hasil wawancara, survei lapang,
dan pencatatan data sekunder kemudian dipadukan dan dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif. Data yang didapat kemudian dipilih berdasarkan
pada pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstarakan, dan
transformasi data yang didapatkan dari kegiatan penelitian di lapangan.
Selanjutnya dilakukan penyajian data dalam bentuk tabel, grafik, atau bagan. Dan
langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan, yang merupakan proses
menghubungkan keterkaitan antar data secara kualitatif dengan merujuk pada
literatur-literatur yang mendukung.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kabupaten Kebumen
Berdasarkan data dari buku Kebumen Dalam Angka 2011, Kabupaten
Kebumen merupakan Kabupaten yang masuk ke dalam wilayah Propinsi Jawa
Tengah. Secara administrasi pemerintahan wilayah Kabupaten Kebumen dibagi
menjadi 26 kecamatan, 11 kelurahan, dan 449 desa. Kabupaten Kebumen
memiliki luas wilayah 128.111,50 ha. Kabupaten Kebumen secara geografis
terletak pada 7°27'−7°50' Lintang Selatan dan 109°22'−109°50' Bujur Timur.
Secara administratif, Kabupaten Kebumen berbatasan dengan:
Sebelah Utara
: Kabupaten Banjarnegara
Sebelah Selatan
: Samudera Hindia
Sebelah Timur
: Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo
Sebelah Barat
: Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap
Kabupaten Kebumen memiliki kondisi topografi yang bervariasi. Di
bagian selatan Kabupaten Kebumen merupakan dataran rendah, sedang pada
bagian utara berupa pegunungan, yang merupakan bagian dari rangkaian

14
Pegunungan Serayu. Di selatan daerah Gombong, terdapat rangkaian pegunungan
kapur, yang membujur hingga pantai selatan. Daerah ini terdapat sejumlah gua
dengan stalagtit dan stalagmit. Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, pada tahun
2011 tercatat 39.768,00 hektar (31,04%) merupakan lahan sawah dan 88.343,50
hektar (68,96%) merupakan lahan kering (bukan sawah).
Penduduk Kabupaten Kebumen pada tahun 2011 tercatat 1.163.591 jiwa,
dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 581.947 jiwa dan perempuan
sebanyak 581.644 jiwa. Terdapat 312.646 rumah tangga sehingga rata-rata jumlah
jiwa per rumah tangga sebesar 4 jiwa. Kepadatan rata-rata penduduk Kabupaten
Kebumen sebesar 908 jiwa/km². Menurut kelompok umur, penduduk dibawah 15
tahun sebesar 27,50% (319.947 jiwa) dan penduduk 65 tahun keatas sebesar
8,73% (101.637 jiwa), sedang penduduk 15–64 tahun sebesar 63,77% (742.007
jiwa). Dari keadaan tenaga kerja (penduduk 15 tahun keatas) yang pada tahun
2011 berjumlah 845.264 jiwa terlihat angkatan kerja sebesar 69,91% dan bukan
angkatan kerja sebesar 30,09%. Dari penduduk angkatan kerja yang bekerja
sebanyak 97,91% dan yang 2,09% merupakan pencari kerja. Dari jumlah
penduduk yang bekerja, 43,82% diantaranya bekerja di sektor pertanian, 16,62%
bekerja di sektor industri pengolahan, 16,64% bekerja di sektor perdagangan,
hotel dan restoran, 12,87% bekerja di sektor jasa-jasa, serta sisanya di sektor
konstruksi, angkutan dan komunikasi, dan sektor lainnya.
Koperasi Serba Usaha Taman Wijaya Rasa (KOSTAJASA)
Kostajasa dibentuk pada tanggal 27 Agustus tahun 2007. Koperasi ini
dibentuk atas tindak lanjut atau perkembangan dari proses pembentukan
Kelompok Tani Mahoni (KTM) di Kabupaten Kebumen yang difasilitasi oleh
Tropical Forest Trust (TFT). Kostajasa menawarkan dibentuknya kelompok tani
hutan setelah melihat potensi hutan rakyat yang ada di desa tersebut. Kostajasa
mengunjungi pemuka masyarakat (kepada desa, ketua RT, dan ketua kelompok
tani) di setiap desa lokasi penelitian. Setelah ada kesepakatan antara Kostajasa dan
pemuka masyarakat, kemudian diadakan pertemuan guna mensosialisasikan
pengelolaan hutan rakyat lestari. Hasil dari sosialisasi ini membuahkan hasil yaitu
adanya persetujuan dari pihak petani untuk membentuk dan bergabung ke dalam
kelompok tani hutan di bawah bimbingan Kostajasa.
Program ini secara umum bertujuan untuk membantu masyarakat dalam
mengelola lahan hutan di tanah miliknya untuk menuju pengelolaan hutan yang
lestari berdasarkan prinsip dan kriteria FSC. Semuanya bermuara kepada
peningkatan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat, yang secara khusus berfokus
pada pemanfaatan sumberdaya hutan mahoni di wilayah tersebut. Adapun tujuan