Kelompok IV spesifik dari Bacan, hanya beranggotakan H. iryaghedhi Warb. HRSI dan H. globularia Warb. HRSG. Kemiripan diantara kedua aksesi
sebesar 0.37 dan mempunyai kemiripan genetik dengan kelompok lain sebesar 17. Hal ini berarti pada kelompok IV mempunyai keragaman genetik dengan
kelompok I, II dan III sebesar 83. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelompokkan aksesi pala secara
individu tidak selalu berdasarkan daerah asal, kecuali untuk aksesi dari kelompok IV yang memang spesifik berasal dari Bacan. Sub kelompok lain terdiri atas cam-
puran antar lokasi. Umumnya kemiripan genetik dalam kelompok maupun antara kelompok dari 48 aksesi pala yang dianalisis rendah 0.17
– 86, dan data dari penelitian menunjukkan bahwa 48 aksesi pala Maluku Utara terdiri empat
kelompok genetik yang berbeda, hal ini berarti keragaman genetik pala di Maluku Utara cukup tinggi. Marka molekuler dapat memberikan gambaran yang cukup
tinggi tentang perbedaan genetik individu, baik pada tingkat spesies maupun pada kerabat jauhnya. Penanda molekuler dapat mendeteksi variasi genetik
pada tingkat jari-ngan atau seluler dan polimorfisnya tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
B. Identifikasi Seks Tanaman Pala M. fragrans Houtt. Dengan SSR
Polimorfik Marka SSR
Sidik jari DNA berdasarkan PCR telah menjadi metode yang digunakan untuk identifikasi jenis kelamin tanaman pala. Marka SSR yang digunakan dalam
penelitian bukan berasal dari marka yang khusus didesain untuk M. fragrans Houtt.. Hasil penelusuran pustaka untuk mendapatkan marka SSR khusus M.
fragrans Houtt. belum ditemukan dalam database Genebank. Untuk itu diguna-
kan marka SSR dari tanaman yang mempunyai kedekatan genetik dengan M. fragrans
Houtt. dan masih dalam satu famili Myristicaceae. Marka SSR yang di- gunakan dalam penelitian didesain dan dikembangkan dari M. malabarica Lam.
oleh Hemmila et al. 2010 dan V. surinamensis oleh Draheim et al. 2009, ke- dua spesies masih dalam keluarga yang sama yaitu Myristicaceae.
Tujuh belas primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan primer yang dikembangkan oleh Hemmila et al. 2010 dan Draheim et al. 2009.
Sebagian dari primer-primer tersebut telah digunakan untuk menganalisis keragaman plasma nutfah pala dan terbukti dapat teramplifikasi pada template
DNA spesies-spesies pala yang diuji. Kemudian primer-primer digunakan untuk
menguji kemampuan amplifikasi untuk membedakan tanaman pala jantan dan pala betina serta prediksi bibit pala jantan dan bibit betina.
Dari 17 primer yang digunakan, 9 primer dapat teramplifikasi pada tanaman pala jantan dan pala betina serta prediksi bibit jantan dan bibit betina.
Satu primer Vsur34 dapat teramplifikasi dan menunjukkan polimorfik pada tanaman pala jantan dan pala betina serta prediksi bibit jantan dan bibit betina.
Delapan primer menghasilkan pita monomorf pada semua sampel yang diuji M4s73, M4s14, M2r6, M1r6, M2r31, M1s75, M4s90. Delapan primer sisanya
M1r10, M5r33, Vmul65, Vsur56, Vseb21, Vseb3, Vsur35, Vsur45 tidak dapat teramplifikasi tidak ada pita DNA yang terdeteksi pada genom pala jantan dan
pala betina serta prediksi bibit jantan dan bibit betina. Jumlah alel per lokus dijumpai 2 sampai 4 alel Tabel 46.
Tabel 46. Data hasil amplifikasi 17 marka SSR pada tanaman pala M. fragrans Houtt. jantan, pala betina dan prediksi bibit jantan dan bibit betina
Marka Seks Pala
Jumlah alel
Ket Pala
betina Pala
jantan Bibit
jantan Bibit
betina Vsur34
+ +
+ +
4 Polimorf
M4s73 +
+ +
+ 2
Monomorf M4s14
+ +
+ +
2 Monomorf
M2r6
+ +
+ +
2 Monomorf
M2r9
+ +
+ +
2 Monomorf
M1r6 +
+ +
+ 2
Monomorf M2r31
+ +
+ +
2 Monomorf
M1s75
+ +
+ +
2 Monomorf
M4s90
+ +
+ +
2 Monomorf
M1r10
- -
- -
-
M5r33
- -
- -
-
Vmul65 -
- -
- -
Vsur56 -
- -
- -
Vseb21 -
- -
- -
Vseb3 -
- -
- -
Vsur35 -
- -
- -
Vsur45 -
- -
- -
Jumlah alel 18
18 18
18 22
Keterangan : “+” teramplifikasi, “-“ tidak teramplifikasi tidak ada pita DNA terdeteksi
Marka SSR mempunyai sifat reproducible, kodominan, polimorfisme ting- gi sehingga dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik serta deter-
minasi seks tanaman Akter et al. 2008; Ishii et al. 2001; Paolucci et al. 2010; Spigler et al. 2008;. Dari 17 marka SSR diatas, maka 10 marka telah digunakan
untuk menganalisis keragaman spesies pala dengan tingkat polimorfis yang ting- gi. Marka SSR tersebut juga digunakan untuk identifikasi jenis kelamin tanaman
pala dari spesies M. fragrans Houtt.. Dari 17 marka SSR yang digunakan hanya satu marka yang polimorfis Vsur34, sedangkan marka menghasilkan pita
monomorfis, dikarenakan marka SSR tersebut tidak dapat mendeteksi lokus- lokus spesifik seks tanaman pala sehingga menghasilkan pola pita yang mono-
morf. Delapan marka SSR tidak dapat mengamplifikasi atau tidak adanya sekuen komplementer pada DNA genom tanaman pala jantan, pala betina dan bibit pala
jantan dan betina sehingga tidak ada pita DNA yang ter-deteksi. Hasil evaluasi, menunjukkan bahwa pasangan primer SSR yang di-
gunakan dalam penelitian, sebagian monomorfik dan sebagian primer tidak dapat mendeteksi pita DNA sampel. Rendahnya tingkat polimorfis pasangan primer
SSR kemungkinan karenaakibat tingginya tingkat konservasi bagian genom genotipe yang digunakan untuk diamplifikasi, selain itu basis genetik dari
genotipe sampel tidak kom-patibel dengan sekuen nukleotida primer SSR karena primer didesain dari spesies yang berbeda. Williams et al. 1990 mengemuka-
kan bahwa salah satu syarat utama untuk terjadinya amplifikasi DNA dengan primer yaitu bila primer tersebut mem-punyai urutan basa nukleotida yang
komplementer dengan kedua untai DNA genom pada posisi yang berlawanan. Kemungkinan lain, amplifikasi DNA tidak terjadi apabila komplementer urutan
basa nukelotida DNA cetakan terdapat pada jarak yang jauh. Amplifikasi DNA dengan PCR akan terjadi jika komplemen basa primer dengan urutan basa DNA
cetakan jaraknya tidak melebihi 5000 bp Yu et al. 2002 Berdasarkan sifat marka SSR yang reproducibl, yaitu spesifik untuk se-
tiap spesies tanaman, sehingga dapat menghasilkan polimorfisme yang berbeda antara spesies dan varietas dari spesies yang sama Azmat dan Ali Khan, 2010.
Selain itu se-kuen basa dari marka SSR yang digunakan tidak dapat mengamplifikasi DNA genom, khusus gen yang mengendalikan seks tanaman
pala. Ye et al. 2005 menyatakan pada analisis SSR, pasangan primer SSR harus terdapat dalam jarak yang berdekatan pada kromosom yang sama, yang
dapat diamplifikasi oleh reaksi PCR untuk menghasilkan pita. Lokus SSR pada
genom yang tidak dapat terdeteksi dengan analisis SSR karena jarak antara dua motif sekuen SSR yang orientasinya berlawanan dan berjauhan atau meskipun
motif mengelompok pada jarak yang dapat diamplifikasi oleh pendeteksian PCR, namun motif SSR tidak berorientasi seperti yang dibutuhkan dalam amplifikasi
PCR sehingga lokus SSR tidak dapat terdeteksi. Tidak munculnya pita DNA dapat terjadi akibat optimasi yang tidak sesuai sehingga tidak terjadi amplifikasi
saat proses PCR. Selain itu Yu et al. 2002, menyatakan persentase signifikan dari marka SSR untuk menghasilkan pola pita yang monomorphic atau
polymorphic, tergantung pada kompleksitas genom sampel spesies yang diuji, serta amplifikasi lokus tunggal yang terjadi di genom genotipe.
Meskipun primer yang digunakan dalam penelitian merupakan primer yang sebagian telah digunakan untuk analisis keragaman genetik spesies pala,
akan tetapi beberapa lokus yang diuji tidak menghasilkan pita sehingga tidak dapat diidentifikasi. Hal ini diduga karena urutan basa pada beberapa lokus ter-
sebut tidak dapat mengamplifikasi genom pala dari sampel yang digunakan. Tang et al. 2008 melaporkan frekuensi polimorfik marka SSR di pengaruhi oleh
panjang atau pendek SSR, untuk itu SSR dibagi dalam panjang dan pendek. Frekuensi polimorfik SSR tergantung panjang SSR dan spesies atau genotipe
yang digunakan dalam penelitian. Jumlah lokus yang dapat teridentifikasi dengan marka SSR dalam pene-
litian tidak banyak, tetapi satu marka Vsur34, dan dapat digunakan untuk mem- bantu determinasi seks tanaman pala. Polimorfis yang ditunjukkan oleh marka
Vsur34 dapat disebabkan oleh sekuen basa dari primer Vsur34 yang dapat meng-amplifikasi sekuen-sekuen nukleotida komplementer genom pala serta
dapat mendeteksi pala jantan dan pala betina. Selain itu marka Vsur34 dapat digunakan untuk membedakan pohon pala jantan dan pala betina. Hal ini sangat
penting dalam hal identifikasi seks tanaman pala.
Identifikasi Seks Tanaman Pala M. fragrans Houtt.
Pasangan primer polimorfik Vsur34 digunakan untuk mengamplifikasi DNA genom tanaman pala M. fragrans jantan, pala betina, bibit jantan dan bibit
betina. Hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23.
Jantan
♂
Betina
♀
Gambar 22. Profil fragmen DNA gel akrilamid menggunakan SSR Vsur34 dengan sampel pala jantan dan pala betina. Amplifikasi dengan primer
Vsur34 menghasilkan 4 macam pita yang berbeda ukuran masing- masing menjadi alel A3, alel A4, alel B1, alel B2 M=marka DNA 1
kb
Gambar 23. Elektroferogram hasil PCR menggunakan primer SSR Vsur34 dengan contoh DNA bibit pala. Amplifikasi menghasilkan 4 macam
pita yang berbeda ukuran masing-masing menjadi alel 1, alel 2, alel 3, alel 4. M= marka DNA 1 kb.
Identifikasi seks bibit yang digunakan dalam analisis DNA adalah bibit yang berasal dari seleksi biji bertanduk jantan dan tidak bertanduk betina.
Gambar 22, memperlihatkan profil fragmen DNA gel akrilamid dengan sampel tanaman pala jantan dan pala betina. Hanya dua pita diproduksi menggunakan
primer SSR Vsur34, dan menunjukkan konsisten seks dari tanaman pala jantan dan pala betina. Hasil fragmen DNA untuk tanaman jantan menghasilkan 2 alel
B1
B2 A3
A4
M 3
1 4
2
♂ ♀ ♀ ♂ ♀ ♀ ♀ ♀ ♀ ♀
M M
♂ ♀ ♀ ♀ ♂ ♀ ♀ ♀ ♀ ♀ ♀ ♂ - ♀ ♀ - - ♂ ♂
♂ ♂
♂ ♂
500 bp
B1 dan B2 dengan hasil produk PCR sebesar 500 bp untuk B1 dan B2 sebesar 200 bp. Pita band tanaman betina tersusun atas 2 alel dengan alel A3 ukuran
fragmen sebesar 150 bp dan A4 sebesar 100 bp. Dari elektroferogram terlihat sekuen fragmen primer Vsur34 dapat mengamplifikasi genom pala jantan dan
pala betina dengan menghasilkan band spesifik jantan dan betina yang dapat memprediksi seks bibit pala.
Hasil elektroferogram Gambar 23, memperlihatkan fragmen DNA bibit yang diprediksi bibit jantan dan bibit betina yang berasal dari biji bertanduk dan
tidak bertanduk. Amplifikasi PCR dengan primer SSR Vsur34 menghasilkan 4 macam alel, yaitu alel 1, 2, 3 dan 4. Berdasarkan band fragmen DNA tanaman
pala jantan dan pala betina Gambar 22, dapat digunakan sebagai template untuk menentukan jenis kelamin bibit. Dari urutan alel-alel yang terbentuk hasil
amplifikasi sekuen DNA genom bibit pala dapat ditentukan jenis kelamin bibit jantan, bibit betina dan prediksi bibit monoecious. Bila dalam 1 lokus terdapat alel
1 dan alel 2 maka lokus adalah fenotipe bibit jantan, demikian bila terdapat alel 3 dan alel 4 adalah fenotipe bibit betina.
Simulasi untuk memprediksi fenotipe dari persilangan tetua dengan model alel diatas. Jika digunakan satu lokus yang mengendalikan sifat seks jantan dan
betina maka hasil prediksi akan tidak sesuai dengan nisbah yang didapat. Model dua lokus yang lebih baik menjelaskan variasi ekspresi seks turunan dari pada
yang model satu lokus. Untuk mendekati model nisbah yang sesuai maka di- asumsikan sifat seks dikendalikan oleh dua lokus A dan B, yaitu A3 dan A4, ser-
ta lokus B1 dan B2. Pemilihan fenotipe seks tanamanbibit ditentukan melalui pendeteksian alel A3, A4, B1 dan B2, dengan model A3=A, A4=a dan B1=B,
B2=b. Tabel 47. Model genotipe dan fenotipe seks dengan tipe bunga yang terbentuk
pada tanaman pala Genotipe
Fenotipe Tipe Bunga
Gynoecious AA atau a
– bb Betina
Androecious aa
– BB atau b Jantan
Monoecious AA atau a
– BB atau b Jantan dan betina
Gynomonoecious AA
– Bb Betina
– bisexual Andromonoecious
Aa – BB
Jantan – bisexual
Trimonoecious aa
– bb Jantan- betina- bisexual
Gambar 24. Model persilangan antara tanaman betina dan jantan berdasarkan
hasil fragmen DNA dengan dua lokus seks pala Berdasarkan hasil eksplorasi dan identifikasi jenis kelamin tanaman pala
di lapangan, tipe bunga pala yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 47. Pada model persilangan diatas, untuk genotipe tetua jantan dan betina diturunkan
berdasarkan hasil fragmen DNA alel A3 dan A4, B1 dan B2. Model alel yang dihasilkan untuk seks betina dengan dua alel yang heterozigot A3A4 Aa dengan
genotipe nya A3A4B2B2 Aabb dan seks jantan B1B2 Bb genotipe A4A4B1B2 aaBb. Model persilangan diatas menjelaskan; bila persilangan antara tetua
betina dan jantan dengan genotipe heterozigot; betina genotipe A3A4B2B2 Aabb dengan jantan A4A4B1B2 aaBb akan menghasilkan progeni monoe-
P1 X P2
A3A4B2B2 A4A4B1B2
Aabb aaBb Betina
Jantan
AaBb : Aabb : aaBb : aabb Monoecious Betina jantan Trimonoecious
1 : 1 : 1 : 1
P1 X P2
A3A4B1B2 A3A4B1B2
AaBb AaBb Monoecious
Monoecious
A-B- : A-bb : aaB- : AABb : AaBB : aabb
Monoecious Betina jantan Gynomonoecious andromonoecious Trimonoecious
5 : 3 : 3 : 2 : 2 : 1
satu alel betina diprediksi akan menjadi bibit monoecious dan bukan bibit herma- phrodit
. Untuk tanaman pala tidak dikenal adanya tanamanpohon hermaphrodit. Berdasarkan hasil identifikasi dan eksplorasi di delapan Kabupaten di Maluku
Utara, tidak ditemukan tanaman pala hermaphrodit. Pala mempunyai bunga hermaphrodit
, dan bunga hermaphrodit umumnya ada bersama pada pohon tri- monoecious
. Pohon trimonoecious bentuk morfologi pohon sama seperti pohon betina, yang membedakan hanya bentuk bunga dihasilkan pada masing-masing
pohon. Tabel 49. Fenotipe seks bibit pala berdasarkan fragmen pita DNA primer SSR
Vsur34 dengan DNA bibit berasal dari biji bertanduk
Hasil penelitian memperlihatkan fragmen sekuen penanda DNA jenis kelamin pada tanaman pala. Wilayah penanda sebagian ditandai pada seks
jantan juga pada betina, dan menunjukkan fragmen sekuen DNA untuk jenis kelamin. Primer SSR Vsur34 menghasilkan amplifikasi 2-4 band yang jelas,
termasuk band jantan 500 bp dan 200 bp, dan band betina 150 bp dan 100 bp serta dapat digunakan sebagai penanda penentuan jenis kelamin pada pala.
Dikarenakan hanya satu primer yang berhasil dapat mengevaluasi jenis kelamin pala, kemungkinan variasi di wilayah DNA bersama oleh kedua jenis kelamin
relatif tinggi. Untuk itu, jika urutan fragmen seks jantan maupun betina bisa lebih baik ditandai, maka daerah spesifik untuk jenis kelamin mungkin dapat diguna-
kan untuk mengevaluasi spesifik jenis kelamin yang ada pada pala. Pala merupakan tanaman dioecious, yaitu keberadaan jenis kelamin
jantan dan betina terpisah pada tanaman yang berbeda, kondisi tersebut yaitu Genotipe
Sebaran alel Keterangan
A1 A2
B3 B4
Jantan Jantan Tetua
Betina Betina Tetua
Bibit-1 Jantan
Bibit-2 Andromonoecious
Bibit-3 Betina
Bibit-4 Jantan
Bibit-5 Betina
Bibit-6 Trimonoecious
Bibit-7 Trimonoecious
Bibit-8 Andromonoecious
Bibit-9 Andromonoecious
Bibit-10 Betina
umum terdapat pada hewan, akan tetapi relatif jarang terjadi pada tanaman Renner dan Ricklefs, 1995 dan kebanyakan tanaman dioecious tidak menunjuk-
kan dimorphism seksual sebelum kematangan seksual Ainsworth et al. 1995. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan
dengan seks selama fase pre-reproduktif kecuali menggunakan penanda genetik yang tersedia untuk penentuan jenis kelamin. Dasar genetik penentuan jenis ke-
lamin pada tanaman dioecious muncul beragam Taylor, 1999, termasuk kro- mosom seks heteromorphic dan juga satu atau beberapa autosom genom seks-
determinasi lokus, yang mungkin dipengaruhi oleh gen sitoplasma dan tekanan lingkungan Korpelainen, 1998; Ainsworth et al., 2000.
Tabel 50. Persentase fenotipe seks bibit pala berdasarkan hasil amplifikasi primer Vsur34 terhadap asal bibit biji tidak bertanduk dan biji
bertanduk
Berdasarkan hasil amplifikasi primer SSR Vsur34 untuk menentukan seks bibit pala, hasil persentase memperlihatkan bibit yang berasal dari biji tidak
bertanduk yang diprediksi adalah bibit betina mempunyai persentase sebesar 53 dan bibit jantan 27. Dari prediksi biji tidak bertanduk tidak ditemukan bibit
andromonoecious . Secara morfologi karakter tanaman gynomonoecious dan tri-
monoecious , mempunyai bentuk morfologi yang tidak berbeda dengan tanaman
betina serta produksi buah yang dihasilkan pada kedua tipe tanaman sama de- ngan tanaman betina. Secara umum dilapangan akan memperlihatkan bahwa biji
yang tidak bertanduk akan menghasilkan persentase tanaman betina yang lebih besar 73 gabungan betina, gynomonoecious dan trimonoecious.
Untuk bibit yang berasal dari biji yang bertanduk diprediksi bibit jantan, menghasilkan persentase bibit jantan sebesar 20 dan betina 30, serta tidak
ditemukan bibit gynomonoecious pada kelompok tersebut. Tanaman jantan dan andromonoecious
mempunyai bentuk morfologi yang mirip, sehingga kedua jenis tanaman bila dilapangan akan memperlihatkan morfologi yang sama. Gabungan
Seks bibit Bentuk Biji
Tidak Bertanduk Bertanduk
Jantan 27
20 Betina
53 30
Gynomonoecious 7
-
Andromonoecious -
30 Trimonoecious
13 20
cious , betina dan jantan dioecious dan trimonoecious. Bila persilangan antara
dua tetua dengan genotipe homozigot AAbb x aaBB, akan menghasilkan progeni 100 monoecious AaBb. Bila monoecious x monoecious akan menghasilkan
progeni yaitu monoecious : betina : jantan dioecious : gynomonoecious : andro- monoecious
: trimonoecious Gambar 24. Berdasarkan hasil model persilangan kemudian dapat diturunkan untuk
menentukan fenotipe turunan hasil analisis fragmen DNA bibit yang berasal dari biji tidak bertanduk dan bertanduk Tabel 48 dan Tabel 49
Tabel 48. Fenotipe seks bibit pala berdasarkan fragmen pita DNA primer SSR Vsur34 dengan DNA bibit berasal dari biji tidak bertanduk
Bila dalam 1 lokus terdapat „alel A1 dan alel B3’ maka lokus tersebut ada- lah bibit monoecious
. Demikian juga bila dalam lokus terdapat „alel A2 dan alel A4’ adalah bibit trimonoecious atau „alel A1 dan alel B4’, lokus tersebut adalah
bibit gynomonoecious , serta „alel A2 dan alel B3’ adalah bibit andromonoecious.
Berdasarkan hasil identifikasi dengan primer SSR Vsur34, dari pita DNA teridentifikasi bibit jantan, bibit betina dan bibit monoecious, andromonoecious,
gynomonoecious dan trimonoecious. Gabungan satu alel tanaman jantan dan
Genotipe Sebaran alel
Keterangan A1
A2 B3
B4 Jantan
Jantan Tetua Betina
Betina Tetua Bibit-1
Jantan Bibit-2
Betina Bibit-3
Betina Bibit-4
Trimonoecious Bibit-5
Jantan Bibit-6
Betina Bibit-7
Gynomonoecious Bibit-8
Betina Bibit-9
Betina Bibit-10
Trimonoecious Bibit-11
Betina Bibit-12
Jantan Bibit-13
- -
- -
-
Bibit-14 Betina
Bibit-15 Betina
Bibit-16 -
- -
- -
Bibit-17 -
- -
- -
Bibit-18 Jantan
dari kedua jenis tanaman akan menghasilkan persentase tanaman dominan jan- tan sebesar 50.
Identifikasi seks pala dengan menggunakan primer SSR Vsur34, meng- hasilkan penanda SSR Vsur34 yang dapat membedakan bibit pala jantan dan
betina. Sementara itu, pendekatan tersebut sangat berguna untuk pemilihan awal benih pala yang diprediksi biji bergenotipe betina, monoecious, gynomonoecious
dan trimonoecious, yang tujuan akhirnya yaitu untuk mengoptimalkan konservasi plasma nutfah dan manajemen keanekaragaman spesies pala.
Simpulan
Sepuluh marka SSR dapat mengevaluasi kekerabatan dan keragaman genetik plasma nutfah spesies tanaman pala, dengan tingkat polimorfisme yang
dihasilkan tinggi yaitu 78, dengan gen diversity He sebesar 0.821 dan nilai heterosigositas Ho sebesar 1.00. Keragaman genetik tertinggi 0.897 dihasilkan
pada lokus M4s14, sedangkan terendah 0.731 pada M2r6. Heterosigositas rata- rata tinggi dihasilkan pada semua lokus. Rata-rata Polimorphic Information Con-
tent PIC sebesar 0.787. Seluruh aksesi pala yang diamati memiliki nilai poli-
morfis yang tinggi sehingga tingkat keragamannya tinggi. Klastering spesies pala dengan tingkat kesamaan genetik 23 membentuk empat klaster utama dengan
tingkat kemiripan 14.25 - 86.00, tingkat kemiripan tersebut mengindikasikan individu beragam dalam populasi pala dengan tingkat heterozigositas alel-alel
sebesar 1.00. Primer SSR Vsur34 menghasilkan pola band polimorfik yang dapat mem-
bedakan seks tanaman pala jantan dan pala betina pada M. fragrans. Primer Vsur34 dapat membedakan bibit pala yang berasal dari biji tidak bertanduk
adalah bibit gyno-monoecious dan trimonoecious dengan dihasilkan bibit betina sebesar 73. Bibit berasal dari biji bertanduk adalah bibit andromonoecious,
trimonoecious serta dihasilkan bibit jantan sebesar 50. Primer SSR Vsur34
dapat dijadikan penanda untuk membedakan seks tanaman dan bibit pala sejak dini.
PEMBAHASAN UMUM
Keragaman Pala Myristica spp. Maluku Utara
Tanaman pala Myristica spp. adalah tanaman asli Indonesia yang berasal dari kepulauan Maluku dan Maluku Utara. Informasi keragaman tanaman
maupun jenis varietas pala di Maluku Utara masih terbatas dan belum teridentifikasi. Kegiatan eksplorasi dan identifikasi dilakukan untuk menggali
seberapa besar keragaman plasmanutfah pala di Maluku Utara. Hasil penelitian yang telah dilakukan memperkuat informasi tentang adanya keragaman jenis
maupun spesies pala di Maluku Utara. Sebanyak 52 aksesi pala telah dikarakterisasi dengan menggunakan
Tropical Fruits Descriptors IPGRI, 1980; Marzuki, 2007 yang dimodifikasi untuk
tanaman pala. Identifikasi dan Karakterisasi yang dilakukan telah berhasil meng- identifikasi spesies pala M. fragrans Houtt. M. fatua Houtt., M.argentea Warb., M.
succedanea Reinw., M. speciosa Warb., M. papuana Scheff., H. iryaghedhi
Warb., H. globularia Warb., H. spicata Sinclair, H. sylvestris Warb., dan Myristica sp. Selain aksesi pala yang telah diketahui nama spesiesnya, ternyata di Maluku
Utara ditemukan aksesi-aksesi pala yang memperlihatkan keragaman terhadap bentuk buah maupun bentuk biji serta morfologi tanaman yang beragam. Karena
keterbatasan informasi dan literatur nama-nama spesies serta pendeskripsian spesifik karakter morfologi dari aksesi-aksesi yang ditemukan, maka penamaan
aksesi pala tersebut dimasukan dalam Myristica sp. Spesies pala yang teridentifikasi, mempunyai daerah asal tanaman se-
perti M. fragrans Houtt. adalah spesies yang berasal dari Kepulauan Banda dan Kepulauan Ambon, Maluku. Spesies M. succedanea Reinw. berasal dari Ke-
pulauan Maluku Utara dan spesies M. argentea Warb. dari Papua Purseglove et al.
1981. Serta spesies M. fatua Houtt., M. speciosa Warb., M. papuana Scheff. wilayah penyebarannya di daerah Maluku, Maluku Utara hingga Papua New
Guenia. Informasi keanekaragaman plasma nutfah pala sangat penting untuk
konservasi plasma nutfah tanaman pala agar dapat mengkonservasi represent- tasi keragaman yang ada sebagai bahan dasar pemuliaan tanaman untuk pe-
ngembangan varietas unggul baru. Kegiatan karakterisasi keragaman pala akan menghasilkan sumber-sumber gen dan sifat-sifat potensial yang dapat men-
dukung program pemuliaan tanaman pala dimasa yang akan datang. Selain itu konservasi plasma nutfah pala diperlukan untuk mencegah terjadinya erosi
genetik akibat berbagai tindakan manusia di lokasi tumbuh plasma nutfah pala. Karakterisasi keragaman plasma nutfah pala perlu dilakukan agar in-
formasi keragaman genetik pala dapat diketahui. Upaya untuk mengidentifikasi tanaman pala yang sulit dibedakan berdasarkan ciri morfologisnya, yaitu dengan
melakukan deteksi pada tingkat molekuler DNA. Untuk mengungkapkan ke- ragaman genetik tanaman pala, karakter yang dijadikan sebagai penanda di-
antaranya adalah karakter agronomi, morfologi, protein dan DNA molekuler. Analisis keragaman genetik tanaman pala dapat dilakukan secara morfologi
dengan pengamatan terhadap fenotipe maupun dengan menggunakan marka molekuler. Untuk mempelajari keanekaragaman genetik dapat menggunakan pe-
nanda morfologi. Hubungan kekerabatan secara sederhana dapat dilihat dengan menggunakan penanda morfologi. Penanda morfologi hanya digunakan sebagai
salah satu cara mengidentifikasi keragaman suatu tanaman dan biasanya tidak digunakan secara sendirian, tetapi dikombinasikan dengan penanda lain. Peng-
gunaan penanda morfologi saja menjadi kurang efektif, karena beberapa karak- ter morfologi yang diatur oleh banyak gen terekspresi pada akhir pertumbuhan,
misalnya karakter hasil sehingga membutuhkan waktu penelitian lebih lama Weising et al. 1995. Selain itu kemiripan pada fenotipe juga belum tentu me-
nunjukkan kemiripan pada tingkat DNA. Identifikasi berdasarkan karakter morfologi digunakan untuk menunjukkan
kesamaan maupun perbedaan tanaman berdasarkan karakter morfologinya. Kekerabatan dapat dilihat dari persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan
yang dimiliki oleh individu yang diperbandingkan. Semakin banyak persamaan yang dimiliki semakin dekat hubungan kekerabatannya Ganopoulos et al. 2011.
Analisis keragaman genetik dapat dilakukan secara langsung dengan mengamati karakter morfologi pada populasi plasma nutfah pala serta menganalisis karakter
agronomisnya. Karakterisasi terhadap karakter morfologi pada populasi pala budidaya
dan populasi pala non budidaya, memperlihatkan bentuk pohon pala bervariasi, mulai dari piramid, setengah piramid hingga bentuk kolom, bergantung pada
spesiesnya. Bentuk daun bervariasi mulai dari ovat, obovat, elips hingga oblong, demikian pula dengan bentuk ujung daun ada yang tumpul, runcing hingga
sangat runcing terdapat pada aksesi pala yang diamati. Pala memiliki jumlah
bunga bervariasi mulai dari satu tangkai bunga hingga lebih dari 10 bunga per rangkai , demikian juga warna bunga pala bervariasi tergantung dari spesies pala
yaitu warna gading , kuning hingga kecoklatan. Spesies pala yang teridentifikasi memiliki bentuk buah yang sangat
bervariasi dan bentuk buah spesifik sesuai dengan spesies pala. Variasi bentuk buah pala yaitu bentuk bulat membujur oblate, bulat, oval, lonjong hingga
sangat lonjong dengan ukuran buah mulai dari sangat kecil hingga besar bergantung pada spesies dan jenis pala. Demikian juga permukaan kulit buah
mulai dari halus hingga kasar, dengan glosi kulit buah mulai dari rendah hingga tinggi. Selain karakter morfologi buah yang beragam, biji pala berbentuk oblat,
bulat, oval hingga lonjong dan sangat lonjong, dengan warna biji abu-abu, coklat hingga coklat kehitaman. Warna fuli pala berdasarkan hasil karakterisasi di-
temukan warna merah, gading dan putih kekuningan. Pengukuran sifat morfologi diketahui bahwa keragaman pala di Ternate, Tidore, Patani Halmahera Tengah,
Bacan Halmahera Selatan dan Makian memperlihatkan keragaman terhadap bentuk pohon, bentuk daun dan ujung daun, jumlah bunga primer, warna bunga,
bentuk buah, warna buah tua, permukaan kulit buah, glosi kulit buah dan bentuk biji. Warna biji dan warna fuli secara statistik tidak berubah secara nyata di
semua lokasi. Analisis klaster terhadap 52 aksesi pala berdasarkan 21 karakter morfo-
logi menunjukkan bahwa dari 52 aksesi yang dianalisis terbagi dalam 3 kelompok pada tingkat kemiripan Similarity 42. Kelompok I terdiri atas 11 aksesi dari
Ternate, 11 aksesi dari Tidore, 11 aksesi dari Patani, 9 aksesi dari Bacan dan 3 aksesi dari Makian. 45 Aksesi mengelompok dengan tingkat kemiripan 48.
Kelompok II , terdiri atas 4 aksesi Pala yang semua aksesi ini berasal dari Bacan
dan mengelompok pada tingkat kemiripan 43. Kelompok III, terdiri atas 2 ak- sesi berasal dari Bacan dan satu aksesi dari Tidore bergabung dengan tingkat
kemiripan 48. Karakter agronomi pala untuk produksi buah memperlihatkan adanya ke-
ragaman diantara spesies dan aksesi pala di Ternate, Tidore dan Patani Halma- hera Tengah, Bacan Halmahera Selatan dan Makian. Bobot buah, biji dan fuli
aksesi pala bervariasi tergantung pada spesies dan jenis pala yang dianalisis. Perbedaan bobot buah, biji, fuli dan bentuk biji yang terjadi berhubungan dengan
karakter bentuk buah dan biji. Buah M. argentea Warb. lebih berat dari buah M. succedanea
Reinw. karena buah M. argentea Warb. mempunyai buah dan biji
yang lebih besar dibandingkan dengan M. succedanea Reinw. Untuk M. fragrans Houtt. memiliki bentuk buah yang agak besar hampir setara dengan buah M.
argentea Warb., sedangkan M. succedanea Reinw. memiliki buah sedikit lebih
kecil dibandingkan dengan kedua jenis diatas. Demikian untuk aksesi Myristica sp. BTBK jenis pala tersebut mempunyai ukuran buah yang sangat kecil de-
ngan daging buah yang sangat tipis sehinga fuli yang dihasilkan bobotnya juga sangat kecil.
Selain keragaman tanaman plasma nutfah pala, karakterisasi untuk me- ngetahui perbedaan-perbedaan komposisi dan kandungan minyak pala dari ber-
bagai jenis dan spesies pala yang telah berhasil teridentifikasi perlu dilakukan, agar keragaman kandungan minyak atsiri dan komponen atsiri dari setiap spe-
sies pala dapat diketahui. Salah satu minyak atsiri Indonesia yang sudah sangat dikenal di pasar
eksport adalah minyak pala. Pala Indonesia mempunyai kualitas lebih unggul, dengan aromanya yang khas dan rendeman minyak yang tinggi menyebabkan
nilai jual yang tinggi dipasaran dunia. Minyak pala merupakan minyak atsiri yang dapat diperoleh dari biji dan fuli pala dengan cara penyulingan. Kedua produk
tersebut menghasilkan minyak pala dan atsiri, yang digunakan sebagai bahan rempah, dan bahan obat. Hingga saat ini Indonesia merupakan produsen pala
terbesar di dunia 70-75, Hadad dan Firman, 2003. Selain keragaman morfologi tanaman pala, maka keragaman kandungan
komponen minyak atsiri dari spesies pala yang ada di Maluku Utara perlu di karakterisasi, sehingga informasi komponen minyak atsiri dari plasma nutfah pala
dapat diketahui. Karena tinggi rendahnya mutu minyak pala ditentukan oleh ciri- ciri fisik dan kimiawinya, serta oleh spesies pala yang digunakan dan daerah asal
tumbuh tanaman. Guenther 1972, mengatakan bahwa sifat minyak berdasar- kan komposisi minyak pala tergantung kepada asal daerah tumbuh, jenis spesies
tanaman pala, umur buah, mutu biji pala dan fuli serta metode penyulingan. Selain itu komposisi dan kandungan komponen atsiri minyak pala menurut
Maarse dan Kepner 1970 bergantung pada tingkat kematangan buah pala, spe- sies dan faktor lokasi, namun keberadaan komponen atsiri tertentu biasanya
konsisten. Sebanyak 9 sampel biji yang berasal dari spesies M. fragrans Houtt, M.
succedanea Reinw., M. fatua Houtt., M. speciosa Warb., M. argentea Warb. dan
Myristica sp., serta fuli pala yang berwarna merah dan putih, kemudian dilakukan
ekstraksi minyak atsiri dengan cara penyulingan biji pala dan fuli. Hasil ekstraksi minyak pala memperlihatkan karakteristik warna fisik yang normal yaitu ber-
warna bening sampai kuning pucat. Secara umum seluruh sampel pala yang di- uji tidak memperlihatkan perbedaan terhadap warna minyak pala yaitu bening
dengan karakteristik mempunyai bau dan rasa khas minyak pala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji dan fuli menghasilkan kadar minyak pala yang berbeda.
Fuli mengandung minyak atsiri lebih tinggi daripada biji. Kadar minyak atsiri tertinggi dihasilkan spesies M. succedanea Reinw. 12.56 dan Myristica sp.
PHG1 dan kadar terendah M. argentea Warb. 8.84 dan M. speciosa Warb. 9.37. Sedangkan kadar minyak atsiri fuli mengandung 19.60
–21.30. Kadar minyak fuli 21, lebih tinggi dibandingkan kadar minyak biji pala 11.
Mutu minyak pala baik tinggi ataupun rendah, ditentukan oleh ciri-ciri fisik dan kimiawinya. Ciri fisik dari minyak pala yang dijadikan ukuran penentuan mutu
minyak pala adalah bobot jenis, putaran optik, indeks bias, kelarutan dalam alkohol, dan sisa penguapan. Ciri kimiawi minyak atsiri pala adalah kandungan
myristicin dalam senyawa aromatik dan kandungan alkohol dalam senyawa
terpen Krishnamoorthy dan Rema, 2001 Sifat fisiko-kimia bobot jenis, indeks bias, putaran optik, sisa penguapan dan kelarutan dalam etanol 9 spesies pala
Maluku Utara umumnya stabil dan memenuhi standar mutu SNI, kecuali spesies pala M. succedanea Reinw., M. fatua Houtt. dan Myristica sp. memiliki putaran
optik yang tinggi menyimpang dari standar SNI. Sifat fisiko-kimia 4 macam fuli pala memenuhi standar SNI.
Penelitian selanjutnya menunjukkan 9 spesies pala dan fuli pala dari Maluku Utara mengandung 22 - 25 komponen atsiri. Sebagian besar komponen
penyusun minyak atsiri 9 spesies pala Maluku Utara adalah senyawa terpenoid. Analisis GC-MS 9 spesies pala dan fuli pala tersusun atas komponen mono-
terpen hidrokarbon, monoterpen alkohol, monoterpen aromatik dan eter aroma- tik, dengan persentase komponen monoterpen hidrokarbon lebih tinggi. Kompo-
nen minyak atsiri spesies pala dan fuli pala sebagian besar tersusun dari mono- terpen hidrokarbon yaitu berkisar 56.04 - 78.93. Forest dan Heacock 1972
melaporkan bahwa minyak pala dapat mengandung komponen monoterpen hingga 80. Selain itu Purseglove et al. 1981 juga melaporkan bahwa unsur
utama dari minyak pala dan fuli adalah hidrokarbon monoterpen, bersama dengan jumlah yang lebih kecil monoterpen teroksigenasi dan eter aromatik.
Unsur utama dari hidrokarbon monoterpen adalah pinene dan sabinene. Analisis
GC-MS menghasilkan komponen minyak atsiri 9 spesies pala dan fuli memiliki komponen utama yang sama yaitu -pinene, -pinene, sabinene dan terpinen-4-
ol. Pinene merupakan senyawa monoterpen hidrokarbon yang banyak dijumpai dalam minyak pala dan fuli pala.
Komponen utama eter aromatik adalah myristicin. Eter aromatik, myris- ticin
, safrol dan elemicin menentukan rasa dan sifat untuk sebagian besar minyak pala. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa komponen aromatik utama 9
spesies pala dan fuli pala adalah myristicin, safrol, elemicin dan methyleugenol. Kadar myristicin tertinggi di jumpai pada M. fragrans Houtt., M. succedanea
Reinw. dan Myristica sp. PTLK, serta pada fuli berwarna merah tipis. Kadar safrol tertinggi 4.26 dijumpai pada M. fragrans Houtt. FPBB.
Elemicin adalah komponen utama dari fraksi aromatik eter baik di minyak pala dan fuli dengan kontribusi membentuk jumlah yang lebih kecil dibanding
safrol dan miristisin. Proporsi eter aromatik selalu lebih tinggi pada fuli dari dalam minyak pala. Dann et al. 1977 juga melaporkan bahwa panel rasa mampu
mendeteksi perbedaan sifat organoleptik minyak fuli dan pala dari pohon yang sama sehingga menunjukkan bahwa eter aromatik mungkin memainkan peran
kunci dalam karakter organoleptik untuk minyak atsiri pala dan fuli. Hal tersebut menunjukkan fakta bahwa mungkin sangat penting untuk memiliki karakteristik
untuk perbandingan minyak dari pala dan fuli, hal ini disebabkan kandungan eter aromatik dan dalam minyak fuli lebih tinggi menyebabkan sifat halusinogenik le-
bih dalam selain itu kandungan oleoresin minyak fuli lebih rendah dibandingkan biji pala Krishnamoorthy dan Rema, 2001.
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa identifikasi dengan marka morfologi memiliki kelemahan karena karakter tersebut sangat dipengaruhi lingkungan.
Karakterisasi yang didasarkan pada penanda morfologi biasanya dipengaruhi lingkungan makro dan mikro, serta umur tanaman. Seringkali penanda morfologi
memberikan hasil yang bias, sebab genotipe yang berbeda dapat menampilkan fenotipe yang sama. Agar dapat memperkuat informasi data penanda morfologi
maka diperlukan dukungan penanda molekuler untuk memperjelas perbedaan dan hubungan kekerabatan antar aksesi berdasarkan karakteristik molekuler
Jarret Gawel, 1995. Penanda molekuler dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik lebih baik, karena hasilnya konsisten dan tidak dipengaruhi
oleh lingkungan Zhang et al. 2009.
Analisis molekuler dapat membantu mengatasi kekurangan tersebut. Berbagai marka molekuler telah dikembangkan untuk menganalisis keragaman
genetik pada berbagai jenis tanaman. Salah satu marka yang paling efektif untuk tujuan tersebut adalah marka simple sequence repeats SSR atau dikenal juga
dengan mikrosatelit. Mikrosatelit telah digunakan secara luas pada berbagai jenis tanaman karena tingkat polimorfisme yang tinggi, lokus yang spesifik, mudah
diperbanyak, hanya membutuhkan sedikit DNA, sifatnya yang kodominan dan dapat mendeteksi variasi alel yang tinggi Pugh, 2004. Pemanfaat marka SSR
untuk identifikasi keragaman genetik telah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman baik tanaman monokotil maupun dikotil. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, marka SSR sangat potensial untuk dikembangkan sebagai marka molekuler terutama untuk keperluan identifikasi
dan studi keragaman genetik. Pada tanaman pala telah digunakan 10 marka SSR yang didesain oleh
Hemmila et al. 2010 dan Draheim et al. 2009, untuk karakterisasi dan meng- analisis keragaman genetik aksesi pala. 10 lokus SSR yang digunakan menun-
jukkan pita polimorfik dan telah berhasil diskoring dan dianalisis. Berdasarkan hasil analisis diperoleh total jumlah alel sebanyak 94 dari 10 lokus, dengan rata-
rata jumlah alel perlokus 9.40. Jumlah alel terkecil 5 pada lokus M2r9 dan terbesar 14 pada lokus M1s75. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
marka SSR cukup efektif untuk mempelajari keragaman genetik plasma nutfah tanaman Saunders et al. 2004.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh rata-rata gen diversity He 0.821 dan rata-rata heterosigositas Ho sebesar 1.00. Keragaman genetik tertinggi
0.897 dihasilkan pada lokus M4s14, sedangkan terendah 0.731 pada M2r6. Heterosigositas rata-rata tinggi dihasilkan pada semua lokus. Rata-rata Poli-
morphic Information Content PIC sebesar 0.787. Nilai polimorfis digunakan un-
tuk melihat tingginya keragaman genetik pala. Semakin tinggi nilai polimorfis ma- ka tingkat keragaman genetiknya semakin tinggi. Seluruh aksesi pala yang di-
amati memiliki nilai polimorfis yang tinggi sehingga tingkat keragamannya tinggi. Mikrosatelit bersifat kodominan sehingga genotipe dapat langsung ditentukan
berdasarkan variasi alel Crouch et al. 1998. Hal tersebut mengindikasikan bahwa setiap lokus SSR yang teramplifikasi menghasilkan seluruh alel yang poli-
morfis.
Polimorfisme dengan ukuran yang bervariasi ditunjukkan oleh 10 marka SSR yang diuji pada populasi pala yang berasal dari Ternate, Tidore, Patani
Halmahera Tengah, Bacan Halmahera Selatan dan Makian. Polimorfisme ber- hubungan dengan kemampuan primer untuk membedakan individu tanaman pala
pada populasi yang diamati. Tingkat heterosigositas dan keragaman genetik yang tinggi menunjukkan bahwa lokus SSR yang digunakan dapat membedakan
aksesi pala yang dianalisis. Hasil analisis kedekatan genetik mengindikasikan tingkat kesamaan antar
individu yang ditentukan berdasarkan koefisien DICE dengan menggunakan prosedur SIMQUAL yang tersedia dalam paket perangkat lunak NTSys. Hal ini
berarti, jarak genetik diantara aksesi pala yang diuji menjadi semakin kecil de- ngan semakin besarnya nilai kesamaan diantara keduanya. Sebaliknya, jarak ge-
netik antar aksesi pala yang diuji menjadi semakin besar dengan semakin kecil- nya nilai kesamaan diantara keduanya.
Berdasarkan hasil analisis kemiripan menggunakan program NTSys di- peroleh kesamaan genetik 48 aksesi pala berkisar 14.25 - 86.00 . Sebanyak 48
aksesi pala dari Ternate, Tidore, Patani, Bacan dan Makian menunjukkan ke- miripan genetik dengan membentuk satu kelompok pada koefisien kemiripan
0,14. Pada koefisien kemiripan 0,23 populasi pala dari Ternate,Tidore, Patani, Bacan dan Makian membentuk 4 klaster. Klaster I; mempunyai 20 anggota
dengan koefisien kemiripan sebesar 0.34, terdiri atas 5 aksesi dari Ternate, 7 aksesi dari Tidore, 2 aksesi dari Patani dan 3 aksesi dari Makian. Klaster II;
mempunyai 16 anggota dengan koefisien kemiripan sebesar 0.31, dengan satu aksesi dari Ternate, 3 aksesi dari Tidore, 7 aksesi dari Patani dan dari Bacan 5
aksesi pala. Klaster III; beranggota 10 aksesi yaitu 5 aksesi dari Ternate, 2 aksesi dari Patani, 2 aksesi dari Bacan dan satu aksesi dari Tidore dengan
koefisien kemiripan sebesar 0.47. Klaster IV; dengan koefisien kemiripan genetik sebesar 0.37, anggotanya hanya 2 aksesi yaitu dari Bacan.
Dalam program pemuliaan tanaman, pendugaan hubungan genetik sa- ngat berguna untuk mengelola plasma nutfah, identifikasi kultivar, membantu
seleksi tetua untuk persilangan, serta mengurangi jumlah individu yang dibutuh- kan untuk pengambilan sampel dengan kisaran keragaman genetik yang luas.
Ketepatan pengelompokan akan meningkat apabila jumlah lokus yang digunakan dalam analisis meningkat Mosser Lee 1994. Jumlah marker SSR yang di-
gunakan umumnya akan memberikan ketepatan perkiraan jarak genetik yang
meningkat apabila karakter yang dianalisis meningkat. Semakin tinggi jumlah marka, akan menurunkan kesalahan dalam perkiraan kemiripan genetik. Marka
molekuler dapat memberikan gambaran yang cukup tinggi tentang perbedaan genetik individu, baik pada tingkat spesies maupun pada kerabat jauhnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelompokkan aksesi pala secara individu tidak selalu berdasarkan daerah asal, kecuali untuk aksesi dari kelompok
IV yang memang spesifik berasal dari Bacan. Sub kelompok lain terdiri atas campuran antar lokasi. Umumnya kemiripan genetik dalam kelompok maupun
antara kelompok dari 48 aksesi yang dianalisis rendah 0.17 – 86, dan data dari
penelitian ini menunjukkan bahwa 48 aksesi pala Maluku Utara terdiri atas empat kelompok genetik yang berbeda, hal ini berarti keragaman genetik pala di Maluku
Utara cukup tinggi.
SeksTanaman Pala M. fragrans Houtt.
Keanekaragaman tanaman pala yang terdapat di Maluku Utara yang ditujukan untuk budidaya dan pengembangan tanaman, masih menghadapi per-
masalahan oleh petani pala yaitu menentukan jenis kelamin tanaman. Pala me- rupakan tanaman dioecious, dengan bunga jantan dan bunga betina berkem-
bang pada individu tanaman yang berbeda. Seleksi tipe seks yang tepat dari biji dan bibit untuk penanaman secara komersial akan sangat berguna dan hanya
tanaman betina dan monoecious yang membentuk buah. Permasalahan utama pala yaitu tidak dapat membedakan seks tanaman pada stadia bibit dan hal ini
merupakan faktor pembatas dalam perkebunan pala. Solusi untuk mengetahui seks tanaman pala dengan menggunakan marka morfologi kemudian didukung
dengan molekuler DNA. Secara morfologi penciri sifat-sifat visualmorfologi da- pat digunakan untuk membedakan seks tanaman pala
Hasil identifikasi dan karakterisasi terhadap seks tanaman pala di Maluku Utara pada daerah Ternate, Tidore dan Makian menghasilkan tanaman jantan,
betina, monoecious dan trimonoecious. Tanaman trimonoecious adalah tanaman pala yang mempunyai bunga jantan, bunga betina dan bunga hermaphrodit da-
lam satu tanaman, sedangkan tanaman monoecious adalah tanaman pala yang mempunyai bunga jantan dan bunga betina dalam satu tanaman. Selain itu, di-
temukan bunga hermaphrodit pala. Selama ini dari literatur yang ada tidak di- temukan informasi mengenai bunga hermaphrodit pada tanaman pala. Ber-
dasarkan hasil eksplorasi dan identifikasi seks tanaman pala dilapangan, pada
tanaman pala tidak ditemukan tanamanpohon hermaphrodit. Umumnya bunga hermaphrodit
bergabung dengan bunga betina dan bunga jantan pada tanaman yang sama atau disebut pohon trimonoecious.
Karakteristik tanaman jantan ; pohonnya berbentuk silindermembola,
sudut percabangan meruncing dengan cabang utama tegak, bentuk daun lebih kecil tegak dan permukaan daun lebih glosi, bunga berangkai 3
– 15 dan bagian bunga tidak mempunyai pistil dengan anther linier 8-30 baris. Tanaman tidak
berbuah sedangkan biji bagian ujung biji lancip. Bibit jantan umumnya akar tidak bercabang. Karakteristik tanaman betina; pohonnya berbentuk piramid atau
setengah piramid, percabangan utama membentuk sudut 45 ⁰. Bentuk daun
lebih besar dan terkulai dan daun tidak glosi. Bagian dasar bunga mengembung dengan adanya pistil dan tidak memiliki anther serta menghasilkan buah ≥ 100 –
500 buahpanenpohon. Biji umumnya di bagian ujung kepala biji tidak ber-
tanduk. Bibit menghasilkan percabangan akar dan cabang. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa populasi pala di semua lokasi
yang diamati memperlihat seks tanaman pala betina yang dominan pada semua lokasi tetapi tidak berbeda nyata, kemudian diikuti tanaman monoecious yang
lebih tinggi untuk populasi di Ternate dan berbeda nyata dibandingkan dengan Tidore dan Makian. Persentase seks tanaman pala di antara 3 lokasi memper-
lihatkan persentase tanaman betina dihasilkan lebih besar 50 persen, hal ini berarti secara umum populasi tanaman pala di Maluku Utara yang dominan
adalah tanaman betina dengan persentase rataan sebesar 64,55 persen. Walaupun jumlah tanaman betina lebih dominan tetapi dalam populasi tanaman
pala masih ditemukan tanaman jantan, hal ini sesuai dengan rekomendasi untuk frekuensi tanaman jantan dengan tanaman betina yaitu 1 : 10
Hasil uji Khi-kuadrat perbandingan pala betina, jantan, monoecious dan trimonoecious
pada populasi tanaman pala di Ternate, Tidore dan Makian mengikuti kaidah perbandingan 3:1. Penelitian yang dilakukan pada tanaman
salak menjelaskan perbedaan jenis kelamin tanaman salak kemungkinan diatur oleh gen-gen yang mengatur ekspresi kelamin yang terletak dalam kromosom
tertentu. Ekspresi kelamin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi, transport dan kepekaan hormon Negrutiu dan Sala, 1991, sedangkan aktivitas hormon sangat
dipengaruhi oleh rangsangan lingkungan antara lain kualitas cahaya, periodi- sitas, nutrisi dan suhu Parker, 1990. Hal yang sama dilaporkan juga terjadi pa-
da asparagus Asparagus officinalis L. yang menunjukkan bahwa asparagus
dapat menjadi berumah dua karena adanya aborsi dari putik atau serbuk sari dari primordial bunga hemaphrodit sehingga menjadi tanaman yang secara genotip
jantan atau betina. Kejadian tersebut disebabkan adanya perubahan keseim- bangan hormon yang dikendalikan oleh sistem gen pengontrol kelamin pada pa-
sangan kromosom homomorphic dan faktor lingkungan Bracale et al. 1991. Penelitian pada mentimun Cucumis sativus L. juga menunjukkan bahwa di-
ferensiasi kelamin dikontrol oleh faktor genetik dan faktor lingkungan Malepszy dan Szczytt, 1991.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi penentuan jenis kelamin antara lain: panjang hari yang pendek, suhu yang rendah, persedian dari nitrogen yang
banyak. Selain itu kelembaban yang tinggi akan meningkatkan tanaman men- timun menjadi betina, sedangkan apabila suhu tinggi dan kondisi cuaca yang
tidak menguntungkan akan menurunkan tanaman yang akan menjadi betina. Kemungkinan yang lain adalah perubahan jenis kelamin dapat dipengaruhi oleh
perlakuan bahan kimia. Etilen, auksin dan agen-agen yang membebaskan etilen akan meningkatkan jumlah tanaman menjadi betina sedangkan giberelin dan
substansi yang menetralkan pengaruh etilen akan meningkatkan jumlah tanaman jantan Malepszy dan Szczytt, 1991.
Hasil penelitian memprediksi seks tanaman pala pada stadia biji dan bibit berdasarkan bentuk biji bertanduk dan berlinger menghasilkan prediksi tipe seks
biji betina, jantan dan monoecious. Untuk lokasi Ternate menghasilkan tipe seks dioecious
sebesar 77.0 dan monoecious sebesar 23.0. Lokasi Tidore di- prediksi tipe seks dioecious sebesar 69.0 dan monoecious 31.0, sedangkan
lokasi Makian tipe seks dioecious sebesar 65.0 dan monoecious 35.0. Frekuensi persentase linger biji diprediksi tipe seks dioecious sebesar 69.7 dan
monoecious adalah 29.7.
Hal tersebut dapat dijelaskan bila benih yang dihasilkan dari perkawinan tanaman androdioecious atau gynodioecious akan menghasilkan tanaman dioe-
cious atau monoecious Weeks et al. 2006; Hofmeyr, 1941; Storey, 1953, de-
ngan jumlah tanaman betina lebih banyak dibandingkan jantan, karena tanaman betina dan monoecious akan memperlihatkan penampilan morfologi tanaman
yang sama Maisyaroch, 1986. Faktor lain yaitu banyak tanaman jantan pada populasi tanaman pala dilapangan yang ditebang, selain itu dalam hal seleksi
pemilihan benih-benih yang dianggap sebagai benih betina saja yang dipilih, sehingga hal-hal tersebut memperkecil jumlah populasi tanaman jantan di
lapangan. Efek dari faktor tersebut diatas akan menghasilkan ratio segregasi uji Khi-kuadrat menyimpang tidak sesuai dengan rasio Mendel. Hal lain yang dapat
dijelaskan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Durand dan Durand 1991 pada tanaman berumah dua Mercurialis annua menunjukkan bahwa per-
bedaan jenis kelamin dikontrol oleh 3 gen. Tanaman jantan bergantung pada 2 gen pelengkap A dan satu dari gen pelengkap B, sedangkan sensitivitas untuk
hormon betina tergantung pada jumlah gen dominan B. Tanpa adanya gen pelengkap, gen dominan A atau gen dominan B akan menginduksi tanaman
menjadi betina. Pemberian auksin dari luar akan menginduksi tumbuhnya bunga jantan pada nodia bunga betina sedangkan sitokinin akan menginduksi tumbuh-
nya putik pada bunga tanaman jantan. Hasil uji Khi-kuadrat terhadap prediksi seks tanaman berdasarkan per-
cabangan perakaran dan percabangan bibit, untuk semua lokasi Ternate, Tidore dan Makian diperoleh nisbah yang sesuai yaitu 3:1 dan 9:7. Prediksi seks
tanaman pala berdasarkan percabangan perakaran dan percabangan bibit yaitu bila bibit yang memperlihatkan akar bercabang dan bibit bercabang berarti
tanaman betina, sebaliknya bibit yang akar dan cabang tidak bercabang berarti tanaman jantan. Prediksi seks tanaman saat pertumbuhan vegetatif juga di-
lakukan oleh Hadi et al. 2002 yang melakukan identifkasi seks tanaman salak pada pertumbuhan vegetatif yaitu apabila biji salak yang berkecambah “ber-
sabuk” akan menghasilkan tanaman betina, sedangkan biji berkecambah “tidak bersabuk” akan menghasilkan tanaman jantan. Selain itu sifat seks tanaman
ditentukan oleh hasil interaksi antara faktor endogen dan eksogen tanaman.
Menurut Metzger 1995 faktor eksogen atau faktor lingkungan juga dapat ber- pengaruh terhadap penampakan bunga atau mempengaruhi ekspresi seks
tanaman. Marka molekuler dapat memberikan gambaran yang cukup tinggi tentang
perbedaan genetik individu maupun perbedaan seks tanaman. Penanda molekuler dapat mendeteksi variasi genetik pada tingkat jaringan atau seluler
dan polimorfisnya tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Sehingga deteksi seks tanaman pala dengan marka molekuler dapat memberikan informasi yang lebih
baik dan dapat digunakan pada saat tanaman dalam stadia vegetatif. Selain karakterisasi keragaman genetik tanaman pala dengan marka
SSR, tujuh belas primer telah digunakan untuk mengidentifikasi seks tanaman pala. Hanya satu primer SSR Vsur34 dapat teramplifikasi dan menunjukkan
polimorfik pada tanaman pala jantan dan pala betina serta prediksi bibit jantan dan bibit betina. Primer Vsur34 sekaligus dapat mendeteksi perbedaan pala
jantan dan betina. Hasil seleksi bibit berdasarkan biji bertanduk dan tidak ber- tanduk, yang kemudian dibibibitkan untuk di identifikasi seks bibit, dengan primer
SSR Vsur34 seks bibit berumur 6 – 8 bulan dapat diidentifikasi. Selain dari seks
jantan dan betina, maka prediksi bibit monoecious, trimonoecious, gynomonoe- cious dan andromonoecious
juga dapat dipisahkan berdasarkan sebaran alel dari fragmen sekuen DNA bibit.
Williams et al. 1990 mengemukakan bahwa salah satu syarat utama untuk terjadinya amplifikasi DNA sampel dengan primer yaitu bila primer tersebut
mempunyai urutan basa nukleotida yang komplementer dengan kedua untai DNA genom pada posisi yang berlawanan. Urutan basa nukleotida sekuen pri-
mer Vsur34 yang komplementer dengan genom tanaman pala dapat meng- amplifikasi DNA genom tanaman pala, khusus gen yang mengendalikan seks
tanaman pala, sehingga dapat mendeteksi pala jantan dan pala betina. Berdasarkan hasil amplifikasi dengan PCR, dihasilkan fragmen DNA yang
spesifik dari tanaman jantan yaitu 2 alel dengan hasil produk PCR sebesar 500 bp untuk B1 dan B2 sebesar 200 bp. Pola pita band tanaman betina, dengan
jarak yang berdekatan tersusun atas 2 alel dengan fragmen sebesar 150 bp dan A4 sebesar 100 bp. hasil band spesifik jantan dan betina yang dapat mem-
prediksi seks bibit pala. Simulasi model lokus yang mengendalikan sifat seks jantan dan betina,
untuk prediksi yang sesuai yaitu nisbah yang didapat adalah model dua lokus yang dapat menjelaskan variasi dalam ekspresi seks turunan bibit jantan dan
betina. Model persilangan untuk genotipe tetua jantan dan betina diturunkan ber- dasarkan hasil fragmen DNA alel A3 dan A4, B1 dan B2. Hasil simulasi per-
silangan menghasilkan progeni monoecious, betina dan jantan dioecious dan trimonoecious.
Persilangan antara dua tetua dengan genotipe homozigot AAbb x aaBB, akan menghasilkan progeni 100 monoecious AaBb. Asumsi yang dapat
dikemukan bila tanaman pala yang ada di perkebunan melakukan persilangan antara genotipe; monoecious x monoecious akan menghasilkan progeni yaitu
monoecious : betina : jantan : gynomonoecious : andromonoecious : trimonoe-
cious . Model turunan progeni tersebut dapat dideteksi dengan model alel yang
dihasilkan dari tetua tanaman jantan dan betina. Berdasarkan hasil model per- silangan tersebut kemudian dapat diturunkan untuk menentukan fenotipe turunan
hasil analisis fragmen DNA bibit yang berasal dari biji tidak bertanduk dan biji bertanduk.
Hasil determinasi bibit yang berasal biji tidak bertanduk menghasilkan persentase tanaman betina, gynomonoecious dan trimonoeciou. Untuk bibit yang
berasal dari biji bertanduk akan menghasilkan bibit jantan, andromonoecious, tri- monoecious
dan tidak ditemukan bibit gynomonoecious. Primer SSR Vsur34 da- pat dijadikan penanda untuk membedakan seks tanaman dan bibit pala sejak
dini.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Klastering berdasarkan 21 karakter morfologi menunjukkan keragaman morfologi pala di Maluku Utara pada spesies pala M. fragrans Houtt., M. fatua
Houtt., M. argentea Warb., M. succedanea Reinw., M. speciosa Warb., M. papuana
Scheff., H. iryaghedhi Warb., H. globularia Warb., H. spicata Sinclair, H. sylvestris Warb., dan Myristica sp., seluruh aksesi mengelompok
menjadi satu dengan tingkat kemiripan 32. Pada tingkat kemiripan 42 spesies pala terbagi menjadi 3 klaster dan mempunyai keragaman fenotipik
antar spesies cukup tinggi. 2. Kadar minyak atsiri biji dan fuli pala berkisar 8.84-21.30. dengan sifat fisiko-
kimia bobot jenis, indeks bias, putaran optik, sisa penguapan dan kelarutan dalam etanol 9 spesies pala dan fuli pala Maluku Utara memenuhi mutu
Standar Nasional Indonesia SNI. Komponen utama monoterpen hidro- karbon yang terkandung dalam 9 spesies pala yaitu -pinene, -pinene,
sabinene dan terpinen-4-ol, serta komponen eter aromatik utama pala dan fuli pala adalah myristicin, safrol, elemicin dan methyleugenol.
3. Morfologi tanaman betina habitus lebih piramid, daun lebih besar, bunga 1-3, sedangkan tanaman jantan habitus lebih semi piramid - membola dengan
daun lebih kecil dan jumlah bunga lebih dari 3 pertangkai. Morfologi tanaman monoecious dan trimonoecious
tidak memperlihatkan perbedaan dengan tanaman betina, dengan tipe seks betina lebih dominan.
4. Prediksi seks berdasarkan biji yang bertanduk dan berlingir adalah biji jantan dan biji yang tidak bertanduk dan berlingir adalah biji betina. Morfologi bibit
bercabang dan akar bercabang adalah tanaman betina, bibit dan akar tidak bercabang adalah tanaman jantan dengan nisbah ratio prediksi seks biji 2:1,
3:1 dan 9:7. 5. Sepuluh marka SSR dapat digunakan untuk evaluasi kekerabatan dan
keragaman genetik plasma nutfah tanaman pala, dengan tingkat polimorfis- me yang dihasilkan tinggi sebesar 78. Klastering spesies pala dengan
tingkat kesamaan genetik sebesar 23 membentuk empat klaster utama dengan tingkat kemiripan 14.25 sampai 86.00, tingkat kemiripan tersebut
mengindikasikan individu beragam dalam populasi pala dengan tingkat heterozigositas alel-alel sebesar 1.00.
6. Dihasilkan fragmen spesifik betina sebesar 150bp-200bp, dan jantan 500bp- 200bp. Determinasi bibit dari biji tidak bertanduk menghasilkan tanaman be-
tina, gynomonoecious dan trimonoecious. Bibit dari biji bertanduk akan meng- hasilkan bibit jantan, andromonoecious, trimonoecious dan tidak ditemukan
bibit gynomonoecious. Primer SSR Vsur34 dapat dijadikan penanda untuk membedakan seks tanaman dan bibit pala sejak dini.
Saran
1. Untuk mendapat informasi yang lebih akurat mengenai keragaman spesies pala, perlu di desain primer spesifik untuk genus Myristica sp. yang dapat
mendeteksi keragaman genetik spesies-spesies pala dan kerabat dekatnya yang belum teridentifikasi.
2. Marka SSR merupakan marka molekuler yang sangat informatif untuk mengevaluasi keragaman genetik pala. Oleh karena itu marka SSR dapat
direkomendasikan untuk digunakan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan analisis keragaman genetik pada marga Myristica yang lain.
3. Kegiatan penelitian determinasi keragaman genetik dan analisis spesifik lokasi aksesi pala perlu dilakukan untuk menganalisis spesies-spesies pala
yang belum sempat teridentifikasi pada penelitian ini, agar informasi spesies- spesies pala yang belum tergali informasi genetiknya dapat di identifikasi dan
karakterisasi sifat genetiknya. 4. Perlu dilakukan penelitian mengidentifikasi seks tanaman pala pada tingkat
molekuler dengan mendisain primer spesifik SSR yang dapat menjelaskan lebih detail sifat genetik seks pala.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah MHRO, Ch’ng PE and Lim TH. 2010. Determination of some physical properties of Nutmeg Myristica fragrans seed. Research Journal of
Applied Science, Engineering and Technology 27:669-672. Adam H, Collin M, Richaud F, Beule T, Cros D, Omore A, Nodichao L, Nouy B
and Tregear JW. 2011. Environmental regulation of sex determination in
oil palm: current knowledge and insights from other species. Annals of Botany
108:1529 –1537.
Ainsworth C, Crossley S, Buchanan-Wollaston V, Thangavelu M and Parker J. 1995. Male and female flowers of the dioecious plant sorrel show different
patterns of MADS box gene expression. The Plant Cell 7:1583-1598. Ainsworth C. 2000. Boys and girls come out to play: the molecular biology of
dioecious plants. Ann Bot. 86:211 –221.
Akagi H, Yokozeki Y, Inagaki A and Fujimura T. 1996. Microsatellite DNA markers for Rice chromosomes. Rheoritical and Apllied Genetics
93:1071-1077. Akter J, Islam MS, Sajib AA, Ashraf N, Haque S and Haseena K. 2008.
Microsatellite markers for determining genetic identities and genetic diversity among jute cultivars. Australian Journal of Crop Sience 13:97-
107. Archer AV. 1988. Determination of safrole and myristicin in Nutmeg and Mace by
high performance liquid chromatography. Journal of Chromatograph 4381:117-121.
Arrijani. 2005. Biologi dan konservasi marga Myristica di Indonesia. Biodiversitas. 62:147-151.
Asiedu R, Kuile N and Mujeeb-Kazi A. 1989. Diagnostic markers in Wheat wide crosses. 293-299p. in Review of Advances in Plant Biotechnology, 1985-
1988: 2nd International Symposium in Genetik Manipulation in Crops. A Mujeeb-Kazi and LA Stich eds.. CYMMIT, Mexico DF, Mexico.
Asgedom S, Vosman B, Esselink D and Struik PC. 2011. Diversity between and within farmers’ varieties of tomato from Eritrea. African Journal of
Biotechnology. 1012: 2193-2200.
Asyik N. 2005. Karakterisasi mutu dan identifikasi komponen aroma minyak Pala Nutmeg oil Indonesia sebagai bahan baku industri flavor [Thesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 113 hal. Azmat MA and Khan AA. 2010. Assessment of genetic diversity among the
varieties of Gossypium arboreum and Gossypium hirsutum through RAPD and SSR markers. Pak. J. Bot. 425:3173-3181.
Baldry J, Dougan J, Matthews WS, Nabney J, Pickering GR and Robinson FV. 1976. Composition and flavor of Nutmeg Oils. International Flav. Food
Addit, 7:28-30.
[Balitbangtri] Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. 1990. Minyak Atsiri Buku VII. Di dalam: Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri. Prosiding Simposium I Balai Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri . Bogor.
Belitz HO and Grosch W. 1987. Food Chemistry. Berlin Heidelberg: Springer Verlag.
[BSN] Badan Standar Nasional. 1999. SNI Minyak Pala. Jakarta: BSN. Blair MW, Panaud O and McCouch SR. 1999. Inter-simple sequence repeat
ISSR amplification for analysis of microsatellite motif frequency and finger-printing in Rice Oryza sativa L.. Theor. Appl. Genet. 98:780-792.
Bracale M, Caporali E, Galli MG, Longo C, Marziani-Longo G, Rossi G, Spada A, Soave C, Falavigna A, Raffaldi F, Maestri E, Restivo FM and Tassi F.
1991. Sex determination and differentiation in Aspargus officinalis L. Plant Science
80:67-77. Brinegar. 2009. Assessing evolution and biodiversity in plants at the molecular
level. Kathmandu University Journal of Science, Engineering and Technology
52: 149-159. Burstin J, Deniot G, Potier J, Weinachter C, Aubert G and Baranger A. 2001.
Microsatellite Polymorphism in Pisum sativum. Plant Breeding 120:311- 317.
Chairul dan Sulianti SB. 2000. Perbandingan Komposisi Kimia Penyusun Minyak Atsiri Pala Wegio Myristica fatua dan Pala Myristica fragrans dengan
GC-MS . Bogor: Laboratorium Fitokimia, Puslitbang Biologi LIPI.
Chakravarthi BK and Naravaneni R. 2006. SSR marker based DNA fingerprinting and diversity study in Rice Oryza sativa L.. African Journal of
Biotechnology 5:684-688.
Chan YK. 1995. Development of F1 Hybrids for Papaya Carica papaya L. seed production and performance of F1 Hybrids [Dissertation]. Malaysia:
University of Malaya. 208p. Chandler WH. 1958. Evergreen Orchards. Philadelphia: Lea and Febigers,
U.S.A. Chang SS. 1989. Food flavors. Food Technology 43:101-104.
Chen L, Xu H, Li H, Wu J, Ding H and Liu Y. 2011. Isolation and characterization
of sixteen polymorphic microsatellite lci in the Golden Apple Snail Pomacea canaliculata. Int. J. Mol Sci. 12:5993-5998.
Connell LM and Ritland K. 2004. Somatic mutations at microsatellite loci in Western redcedar Thuja plicata: Cupressaceae. Journal of heredity
952:172-176. Crouch JH, Crouch HK, Constandt H, Van Gysel A, Breyne P, Van Montagu M,
Jarret RL and Ortiz R. 1999. Comparison of PCR-based molecular marker analyses of Musa breeding populations. Mol Breed. 5:233-244.
Dan AE, Matthews WSA and Robinson FV. 1977. Studies on the yield and compositions of nutmeg and mace oils from Grenada. Proceedings of the
Seventh International Conggres of Essential Oils. October 1977, Kyoto, Japan. 123-124pp.
De Guzman CC and Siemonsman BS. 1999. Spices. Vol 13. Bogor: Plant Resources Of South-East Asia, Prosea Foundation. Bogor.
Deinum HK. 1949. Noot muskaat en foill land bouw de Indesche Archieple Hall. Di dalam: Van En Kopel CJF editor. Dee III, W Vanhoeves Graveenhage.
Dice LR. 1945. Measure of the amount of ecology association between species. Ecology
26:297-302. Djilani A.and Dicko A. 2012. The Therapeutic benefits of essential oils. Nutrition,
Well-Being and Health. 155-178p. www.intechopen.com...pdfpdfs_id29979 12 Juni 2012.
de Vicente MC and Fulton T. 2003. Using molecular marker technique in studies on plant genetic diversity. www.ipgri.cgiar.orgpublicationspubfile
.asp?ID_PUB=912 7 Pebruari 2012. [KemTan dan Ditjenbun] Kementerian Pertanian dan Ditjen Perkebunan. 2011.
Statistik Perkebunan 2009-2011 . Tanaman Rempah dan Penyegar.
Direktorat Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. Jakarta.
[Ditjenbun] Ditjen Perkebunan. 2012. Pedoman Teknis Perluasan Tanaman Pala Tahun 2012
. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. Jakarta.
Douaihy B, Sobierajska K, Jasin´ska AK, Boratyn´ska K, Tolga O, Romo A, Machon N, Didukh Y, Dagher-Kharrat MB and Boratyn´ski A. 2012.
Morphological versus molecular markers to describe variability in Juniperus excels
subsp. exclsa Cupressaceae. AoB Plants. 1-14. Doyle JJ and Doyle JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus
12:13-15. Draheim H, Cui M and Dick CW. 2009. Characterization of 14 microsatellite DNA
markers for the tropical forest tree Virola surinamensis Rol Warb. Myristicaceae. Molecular Ecology Resources. 1386-1388.
Durand B and Durand R. 1991. Sex determination and reproductive organ diferentiation in Mercurialis. Plant Science 80:49-65.
Edwards KJ, Barker JHA, Daly A, Jones C and Karp A. 1996. Microsatellite librarries enriched for several microsatellite sequence in plants.
Biotechniques . 20:758-760.
Ehtemam MH, Rahiminejad MR, Saeidi H, Tabatabaei BES, Krattinger SG and Keller B. 2010. Relationships among the a genomes of Triticum L. species
as evidenced by SSR Markers, in Iran. Int. J. Mol. Sci. 11:4309-4325. Elmeer K and Mattat I. 2012. Marker-assisted sex differentiation in Date Palm
using simple sequence repeats. 3 Biotech. 1:1-7. Erstellt A.M. 2001. In Franz Eugen Köhler .1883. Köhlers Medizinal-Pflanzen in
naturgetreuen Abbildungen
und kurz
erläuterndem Texte.
http:caliban.mpiz-koeln.mpg.dekoehler2highDSC_3144.html 10 Desember 2011
Forrest JE and Heacock RA. 1972. Identification of the major components of the essential oils of Mace. J. Chromatography 69:11-13.
Gallareta JI, Barandalla L, Lorenzo R, Gonzalez J, Rios DJ and Ritter E. 2007. Microsatellite variation in potato landcras from the island of La Palma.
Spanish Journal of Agricultural research 592:186-192.
Ganopoulos IV, Kazantzis K, Chatzicharisis I, Karayiannis I and Tsaftaris AS. 2011. Genetic diversity, structure and fruit trait associations in Greek
sweet cherry cultivars using microsatellite based SSRISSR and morpho-physiological markers. Euphytica. 1-15.
Groome JR. 1970. A Natural history of the Island of Granada, W.I., Caribben Trinidad: Printers Limited, Arima, W.I.
Guenther E. 1972. The Essential Oil. Vol II, III and V. New York: Van Nostrand Reinhold company.
Hadad EA dan Hamid A. 1990. Mengenal Berbagai Plasma Nutfah Pala di Daerah Maluku Utara
. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
Hadad MEA dan Firman C. 2003. Budidaya Pala. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 34 hal. Bogor.
Hadad MEA dan Syakir M. 1992. Pengadaan Bahan Tanaman Pala. Perkembangan Penelitian Tanaman Pala dan Kayumanis.
Bogor: Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. BALITTRO. 81:1-7.
Hadad MEA, Randriany E dan Heryana N. 2006. Perbaikan Budidaya dan Mutu Hasil Tanaman Pala Myristia fragrans Houtt.
Sukabumi: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri BALITTRI. Departemen
Pertanian. 69 hal. Sukabumi.
Hadi PS, Purwanto A dan Prajitno D. 2002. Identifikasi kromosom dalam penentuan jenis kelamin tanaman Salak Salacca zalacca Gaertner
Voss. Agrosains 151:31-46. Heilbuth JC, Ilves KI, and Sarah PO. 2001. The consequences of dioecy for seed
dispersal: modeling the seed-shadow handicap. Evolution. 555:880 –
888. Hemmila S, Kumara M, Ravikanth G, Guftasson S, Vasudeva R, Ganeshaiah
KN, Shaanker RU and Lascoux M. 2010. Development of eleven microsatellite markers in the red-listed tree species Myristica malabarica.
Conservation Genet. Resources. Springer Netherlands. Netherlands
. 3p.
Hofmeyr JDJ. 1941. Genetic studies of Carica papaya L. S. Afr. J. Sci. 35:300 –
304. Intirach J, Junkum A and Tuetun. 2012 Chemical constituents and combined
larvicidal effects of selectes essential oils against Anoheles cracens diptera: Cullidae. Psyche 2012:1-11
IPGRI. 1980. Tropical Fruits Descriptor. IPGRI. Southeast Asia Regional Committee, Rome. Italy. 14p.
Ijas S. 2011. Microsatellite markers: An important fingerprinting tool for characterization of crop plants. African Journal of Biotechnology.
1040:7723-7726. Ishii T, Xu Y and McCouch SR. 2001. Nuclear-and chloroplast-microsatellite
variation in a-genome species of Rice. Genome 44:102-106. Jonah PM, Bello LL, Lucky O, Midau A and Moruppa A. 2011. Review: The
importance of molecular markers in plant breeding programmes. Global Journal of Science Frontier Research
115:5-12. Kalia RK, Rai MK and Kalia S. 2011. Microsatellite markers: an overview of the
recent progress in plants. Euphytica 177: 309-334. Kalivas A, Xanthopoulos F, Kehabia O and Tsaftaris AS. 2011. Agronomic
characterization, genetic diversity and association analysis of Cotton cultivars using simple sequence repeat molecular markers. Gen. Mol. Res
101: 208-217. Kaplan DR. 2001. The Science of plant morphology: definition, history, and role
in modern biology. American journal of botany 8810: 1711 –1741.
Kashyap VK, Guha S, Sitalaximi T, Bindu GH, Hasnain SE and Trivedi R. 2005. Genetic structure of Indian population based on fifteen autosomal
microsatellite loci. BMG Genetics 7:28:1-9. Kataren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: PN balai Pustaka
Khan A, Fu YB and Khan IA. 2009. Genetic diversity of Pakistani Cotton cultivars as revealed by simple sequence repeat markers. Communication in
biometry and crop science 41:21-30.
Korpelainen H. 1998. Labile sex expression in plants. Biol Rev. 73:157 –180.
Krishnamoorthy B. dan Rema J. 2001. Nutmeg and mace. In Handbook of Herbs and Spice
. Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC. Cambridge. England. 332p.
Khrisnamoorthy, B, Zachariah JT, Ravindran PN, and Gopalam A. 1992. Identification of sex of nutmeg seedlings based on morphological and
chemical character. J. Plantn. Crops. 20:194-199. Kumar P, Gupta VK, Misra AK, Modi DR and Pandey BK. 2009. Potential of
molecular markers in plant biotechnology. Plant Omics Journal 24:141- 162.
La Muhuria, Nasrullah dan Moeljoparwiro S. 1997. Analisis kromosom untuk penentuan jenis kelamin tanaman pala. BPPS-UGM, Jogyakarta.
102B:147-158. Lawrence GHM. 1955. An introduction to Plant Taxonomy. New York: Macmillan,
USA. Leela N. 2008. Nutmeg and mace. In: Parthasarathy V., Chempakam B.,
Zachariah T. eds: Chemistry of Spices. CABI Publishing, Wallingford: 165
–185p. Liu S, Cantrell RG, McCarty JC and Stewart JMD. 2000. Simple sequence
eapeat-based assessment of genetic diversity in Cotton Race Stock accessions. Crop Sci. 40:1459-1469.
Loridon K, McPee K, Morin J and Dubreuil P. 2005. Microsatellite marker polymorphism and maping in Pea Pisum sativum L.. Theor. Appl. Genet.
111: 1022-1031. Maarse H and Kepner RE. 1970. Change in composition of volatile terpenes in
Doughlas fir needles during maturation. J. Agr. Food Chem. 18:1095- 1100
Maarse H. 1991. Volatil Compounds in Food and Bavarages. New York: Marcel Dekker Inc.
Maisyaroch S dan Suwarno FC. 1986. Pengaruh ukuran benih dan letaknya di dalam buah terhadap penampakan seks dan vigor bibit Pepaya Carica
papaya L.. Bul. Agr. 18:1.
Malepszy S, Niemirowicz – Szczytt K. 1991. Sex determination in cucumber
Cucumis sativus L. as a model system for molecular biology. Plant Science
. 80: 39-47
Mallavarapu CR and Ramesh S. 1998. Composition of essential oils of Nutmeg and Mace. Journal of Medicinal and Aromatic Plant Sciences 20:746-748.
Marcia B, Dahlan PM, Sutrisno dan George MLC. 2006. Karakterisasi kemiripan genetik koleksi inbrida Jagung berdasarkan marka mikrosatelit. Jurnal
Agrobiogen 22:45-51.
Marlatt C, Ho CM and Chien CM. 1992. Studies of aroma constituents bounds as cyclosides in Tomate. H. Agri. Food Chem. 40:249-252.
Marzuki I, Hadad EA, Syukur dan Assagaf M. 2006. Potensi dan Pengembangan Pala di Maluku Utara.
Bogor: Balitro. 57 hal. Marzuki I. 2007. Studi Morfo-Ekotipe dan Karakterisasi Minyak Atsiri, Izosim dan
DNA Pala Banda Myristica fragrans Houtt Maluku [Desertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 174 hal.
Masada Y. 1976. Application of Gas-Liquid Chromatography Mass spectrophometry to the identification of Essenstial Oils
. New York: Plenum Press, John Wiley and Sons.
Mason SL, Steven MR, Jellen EN, Bonifacio A, Fairbanks DJ, Coleman CE, McCarty RR, Rasmussen AG and Maughan PJ. 2005. Development and
use of microsatellite markers for germplamsm characterization in Quinoa Chenopodium quinoa Willd.. Crop. Sci. 45:1618-1630.
Maya KM, Zachariah TJ and Krishnamoorthy B. 2004. Chemical composition of essential oil of Nutmeg Myristica fragrans Houtt. accessions. Journal of
Spices and Aromatic Crops 132: 135-139.
McCoughch SR, Chen X, Panaud O, Temnykh S, Xu Y, Cho YG, Huang N, Ishii T and Blair M. 1997. Microsatellite marker development, mapping and
aplication in rice genetics and breeding. Plant Mol. Biol. 35:89-99. Metzger JD. 1995. Hormones and plant reproductive development. p 617-748.Di
dalam: Davies P. J., editor. Plant Hormone. Netherlands: Kluwer Acad Publish.
Ming R, Bendahmane A. and Renner SS. 2011. Sex chromosomes in Lamd plants. Plant. Bio. 62:485-514.
Molla MR, Islam MN, Rohman MM dan Rahman L. 2010. Microsatelilite allele size profiling to determine varietal identity and genetic diversity among
Groundnut varieties in Bangladesh. Natural and Science 812:123-127. Mondini L, Noorani A and Pagnotta A. 2009. Assessing plant genetic diversity by
molecular tools. Diversity 1:19-35. Moser H and Lee M. 1994. RFLP and SSR variation and genealogical distance,
multivariate distance, heterosis and genetic variance in oats. Theor Appl Genet
.87:947-986.
Muchtaridi M. 2007. Pengembangan Minyak Atsiri sebagai aroma terapi dan potensinya sebagai produk sediaan farmasi. Teknik Industri Pertanian
17:80-88. Naranjo CA, Ferrari MR, Palermo AM and Poggio L. 1998. Karyotype,DNA
content and meiotic behaviour in five South American species of Vicia Fabaceae. Annals of Botany 82: 757
–764 Narvel JM, Fehr WR, Chu WC, Grant D and Shoemaker RC. 2000. Simple
sequence repeat diversity among Soybean plant introduction and elite genotype. Crp. Sci. 40:1452-1458
Nayar BK, Rajendar R and Vathsala P. 1977. A simple morphological technique to distinguish the sex of nutmeg seedlings. Curr. Sci. 46:156-157.
Negrutiu and Sala F. 1991. Sexual development in plants: an open question of strategic impotance. Plant science 80:1-6.
Nei M and Li WH. 1979. Mathematical model for studying genetic variation in of restriction endonuclease. Proc. Natl. Acad Science USA 76:5269-5273.
Nurdjanah N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian.
Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 56 hal.
Onyango M, Haymer D, Keeley S and Manshardt R. 2010. Analysis of genetic diversity and ralationship in East African “Apple Bana” AAB genome and
“Muraru” AA genome dessert Bananas using microsatellite markers. Acta Hort
. 8:623-636. Packiyasothy EV, Jansz ER and Dharmadasa HM. 1991. Studies on some
chemical components of nutmeg Myristica fragrans Houtt. leaf directed at determination of sex of seedlings. J. Natn. Sci. Coun. Sri Lanka 19:91-
98. Panaud O, Chen X, and Mccouch SR. 1996. Development Of microsatellite
markers and characterization of simple equence length polymorphism SSLP In Rice Oryza Sativa L.. Mol. Gen Genet. 252:597-607.
Panhwar F. 2005. Genetically evolved Papaya Carica and its future in Sindh, Pakistan. ChemLin-Virtual Library Chemistry. 1-21.
Paolucci I, Gaudet M, Jorge V, Beritognolo I, Terzoli S, Kuzminzky E, Muleo R, Mugnozza SG and Sabatti M. 2010. Genetic linkage maps of Populus
alba L. and comparative mapping analysis of sex determination across
Populus species. Springer-Verlag. Tree Genetic Genomes. 6:863-875. Park YJ, Lee JK and Kim NS. 2009. Simple sequence repeat polymorphisms
SSRPs for evaluation of molecular diversity and germplasm classification of minor crops. Molecules 14:4546-4569.
Parker JS. 1990. Sex chromosomes and sexual diferentiation in fowering plants. Chromosomes Today
10:187-198.
Pertsovich S. 2010. Method to selectively remove safrole from nutmeg oil. Patent Aplication Publication. Chicago. United State. 0239726 A1:1-11
Peter KV. 2001. Handbook of Herbs and Spices. New York: CRC Press. Pino JA, Rosado A, Goire I and Roncal E. 1995. Evaluation of flavor
characteristic compounds in Dill herb essential oil by sensory analysis and gas chromatography. J. Agric. Food Chem. 43:1307-1309.
Phadnis NA and Choudhary KG. 1971. Sex determination in the seedling stage of nutmeg Myristica fragrans Houtt.. Trop. Sci. 13:265-274.
Plieske J and Strauss D. 2001 Microsatellite markers for genome analysis in Brassica
. I. Development in Brassica napus and abundance in Brassicaceae
species. Theor Appl Genet 102:689 –694.
Powell W, Morgante M, Andre C, Hanafey M, Vogel J, Tingey S and Rafalski A. 1996. The Comparison of RFLP, RAPD, AFLPand SSR Microsatellite
Markers for Germplasm Analysis. Molecular Breeding 2:225-238. Pugh TO, Fouet AM, Risterucci P, Brottier M, Abouladze C, Deletrez B, Courtois
D, Clement P, Larmande JAK, Goran N and Lanaud C. 2004. A new cacao linkage map based on codominant markers: development and
integration of 201 new microsatellite markers. Theor. Appl. Genet. 108:1151
–1161. Purseglove JW, Brown EG, Green SL and Robbins SRJ. 1981. Spices. New
York: Longman. 439 p. [Puslitbangbun] Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2005.
Pedoman Deskriptor Tanaman Perkebunan . Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. 176 hal. Rahman MS, Sohag MKH and Rahmn L. 2010. Microsatellite based DNA
fingerprinting of 28 local rice Oryza sativaL. varieties of Bangladesh. J. Bangladesh Agril. Univ.
81: 7 –17.
Ramakhrishna W, Chowdari KW, Lagu MD, Gupta VS and Rajenekar PK. 1995. DNA fingerprinting to detect genetic variation in rice using hypervariable
DNA sequence. Theor. Appl. Genet. 90:1000-1006
Ramos HCC, Pereira MG, Silva FF, Gonçalves LSA, Pinto FO, de Souza Filho GA and Pereira TSN.
2011. Genetic characterization of Papaya plant Carica papaya L. derived from the first backcross generation. Genet.
Mol . Res. 101:393-403.
Raybould AF, Mogg RJ, Aldam C, Gliddon J, Thorpe RS and Clarke RT. 1998. The genetic structure of Sea Beet Beta vulgaris ssp. maritime
populations. III. Detection of Isolation by Distance at Microsatellite Loci. Heredity
. 80:127-132. Reeve D. 2006. Material profiles, the Spice trail: Nutmeg, origin, cultivation and
processing. Naturals. 31:48-50.
Reineccius GA. 1994. Source Book of Flavors. Vol 2
nd
. New York: Chapman and Hall.
Renner SS and Ricklefs RE. 1995. Dioecy and its correlates in the flowering plants. Am. J. Bot. 82:596
–606. Riju A, Rajesh MK, Fasila Sherin PTP, Chandrasekar A, Elain Apshara SE and
Arunachalam V. 2009. Mining of expressed sequence tag libraries of Cacao for microsatellite markers using five computational tools. Journal of
genetics 882: 217-225.
Robinson AJ, Love GC, Batley J, Barker G and Edwards D. 2004. Simple sequnce repeat marker loci discovery using SSR primer. Bioinformatics
Application Note 209:1475-1476.
Rohlf FJ. 2000. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System. Version 2.02. User Guide. Applied Biostatistics Inc., 3 Heritage Lane, Setauket,
New York. Saddoud O, Baraket G, Chatti K, Trifi M, Marrakchi M, Mars M and Salhi-
Hannachi A. 2011. Using morphology characters and simple sequence repeats SSR markers to characterize Tunizian Fig Ficus carica L.
cultivar. Acta Biologica Cracoviensia. 532:7-14. Sambrook J, Fritsch EF and Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory
Manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Cold Spring
Harbor, USA. Saunders JA, Mischke S, Leamy EA and Hemeida AA .2004. Selection of
international molecular standards for DNA fingerprinting of Theobroma cacao
. Theor Appl Genet 110:41 –47
Sawadogo M, Ouedraogo JT, Balma D, Oudraogo M, Gowda BS, Botanga C and Timko MP. 2009. The use of cross species SSR primer to study genetic
diversity of Okra from Burkina faso. African journal of Biotechnology 811:2476-2482.
Sheeja TE, George JK, Jerome J, Varma RS, Syamkumar S, Khrisnamoorthy B and Parthasarathy VA. 2008. Optimization of DNA isolation and PCR
parameters in Myristica sp. And related geera for RAPD and ISSR analysis. Journal of Spices and Aromatic Crops 172:91-97.
Shukla P and Misra SP. 1979. An Introduction to Taxonomy of Angiosperms. New Delhi: Vikas Publishing House Pvt Ltd.
Smith AE and Anand N. 1984. The United Kingdom Market for Cloves, Nutmeg, Mace, Cassia and Chinamon
. Natural Resources Institute, London. 44p. Smith JSC and Smith OS. 1992. Fingerprinting crop varieties. Adv. Agron. 47:85-
129.
Spigler RB, Lewers KS, Main DS and Ashman TL. 2008. Genetic mapping of sex determination in a wild Strawberry, Fragaria virginiana, reveals earliest
form of sex chromosomes. Heredity 101:507-517. Statistical Analysis System. 1996. Statistical Analysis System. New York: SAS
Institute Inc., Cary, USA. Stehlik I and Barrett SCH. 2006. Pollination intensity influences sex ratios in
dioecious Rumex nivalis, a wind-pollinated plant. Evolution. 606:1207 –
1214. Stebbins GL. 1971. Chromosome Evolution in Higher Plants. Massachusetts:
Addison-Wesley, Reading, USA. Storey WB. 1953. Genetics of Papaya. The Journal of Heredity 44:70-78.
Tang J, Baldwin SJ, Jacobs JME, Van der Linden CG, Voorrips RE, Leunissen
JAM, Van EH and Vosman B. 2008. Largescale identification of polymorphic microsatellites using an in Silico approach. BMC
Bioinformatics 9:374-379.
Tantasawat P, Trongchuen J, Prajongjai T, Jenweerawat S dan Chaowiset W. 2011. SSR analysis of Soybean Glycine max genetic relationship and
variety identification in Thailand. AJCS 53: 283-290. Tariq RM. 2011. Bearing fruit by male Carica papaya similar to that of a female
plant provides a potential source for understanding Homo Sapiens evolution. Pak. J. Bot. 433:1747-1751.
Taylor DR. 1999. Genetics of sex ratio variation among natural populations of a dioecious plant. Evolution. 53:55
–62. Temnykh S. 2000. Mapping and genom organization of microsatellite sequence
in Rice Oryza sativa L. Theor. Appl. Genet. 100:697-712. Thomas WTB, Powel W, Swanston JS, Ellis RP, Chalmers KJ. Barua UM, Jack
P, Lea V, Forster BP, Waugh R and Smith DB. 1996. Quantitative trait loci for germination and malting quality characters in a Spring Barley cross.
Crop Sci . 36:265-273.
Tjitrosoepomo G. 1989. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.
Tjitrosoepomo G. 1990. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press.
Upadhyay P, Singh VK and Neeraja CN. 2011. Identification of genotype specific alleles and molecular diversity assessment of popular Rice Oryza sativa
varieties of India. Int. Jour. of Plant Breed and Gen. 52:130-140. Utami NW and Brink M. 1999. Myristica Gronoy. Di dalam: de Guzman CC and
Siemonsma JS, editor. Plant Resources of South-East Asia 13:139-143.
Varshney R, Graner A and Sorrells E. 2005. Genic microsatellite markers in plant: features and applications. TRENS in Biotechnology 231:48-55.
Vavilov, N.I. 2011. Center of origin for crop plants. Lecturer 5 http:www.hort.purdue.edunewcropHort_306textlec05.pdf 01-Nov-
2011. Wang ML, Barkley NA and Jenkins T. 2009. Microsatellite markers in plant and
insects, Part 1: Applications of biotechnology. Gene, Genomes and Genomics
31:1-10. Weber JL. 1990. Informativeness of Human dC-dAn. dG-dTn polymophism.
Genomics . 7:524-530.
Weeks SC, Benvenuto C and Reed SK. 2006. When males and hermaphrodites coexist: a review of androdioecy in plants. Integr Comp Biol 46:449
–464. Weising K. Nybon H. Wolf K and Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plants
and Fungi . Florida: CRC Press, Boca Raton. 322p.
Weiss EA. 2002. Spices Crops. New York: CABI Publishing. 86-103p. Wellmer F, Riechmann JL, Alves-Ferreira M and Meyerowitz EM. 2004. Genome-
wide analysis of spatial gene expression in Arabidopsis flowers. Plant Cell 15:1314
–1326 Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA and Tingey SV. 1990. DNA
polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucl. Acids Res. 18:6231-6235.
Wang JM, Yang JM, Zhu JH, Jia QJ and Tao YZ. 2010. Assessment of genetic diversity by simple sequence repeat markers among forty elite varieties in
the germplasm for malting barley breeding. J. Zhejiang Univ-Sci. B Biomed Biotechnol
. 1110:792-800. Yadav OP, Mitchell SE, Fulton TM dan Kresovish S. 2008. Transferring
molecular markers from Sorgum, Rice and other Cereals to Pearl Millet and identifying polymorphic markers. Journal of SAT Agricultural research
6:1-4. Yin T, Difazio SP, Gunther LE, Zhang X, Sewell MM, Woolbright SA, Allan GJ,
Kelleher CT, Douglass CJ and Wang M. 2008. Genome structure and emerging evidence of incipient sex chromosome in Populus. Genome
Res. 18:422-430.
Ye C, Yu Z, Kong F, Wu S and Wang B. 2005. R-ISSR as new tool for genomic fingerprinting, mapping and gene tagging. Plant Mol Bio Rep. 23:167-177.
Yu JK, Mangor J, Thompson L, Edwards KJ, Slabaugh MB and Knapp SJ. 2002. Allelic diversity of simple sequence repeats among elite inbred lines of
cultivated Sunflower. Genomes 45:652-660.
Zaini N dan Syahreza S. 2009. Rancang bangun peralatan spektroskopi cahaya tampak untuk mengidentifikasi kemurnian minyak pala menggunakan
jaringan syaraf tiruan. Jurnal Rekayasa Elektrik. 81:23-28. Zachariah J, Gopalan A, Krishnamurthy B and Ravindran PN. 1986. Steroid
degradation compound associated with sex expression in nutmeg Myristica fragrans Houtt.. Proc. Indian Natn. Sci. Acad. 52:685-688.
Zhang D, Mischke S and Johnson ES. 2009. Molecular characterization of an international cacao collection using microsatellite markers. Tree Genetics
Genomes 5:1
–10. Zhang, Mischke S, Goenaga R, Hemeida AA and Saunders JA. 2006. Genetic
diversity and structure of managed and semi-natural population of Cocoa Theobroma cacao L. in huallaga and Ucayali Valleys of peru. Annals of
Bot. 98:647-655.
Zhang X, Feng B, Zhang Q, Zhang D, Altman N and Ma H. 2005. Genome-wide expression profiling and identification of gene activities during early flower
development in Arabidopsis. Plant Mol. Biol. 58:401 –419.
Zluvova J, Zak J, Janousek B and Vyskot B. 2010. Dioecious Silene latifolia plants show sexual dimorphism in the vegetative stage. BMC.Plant
Biology. 10:1-5.
Zulkifli L. Sudarsono, H. Aswidinnoor dan N. Toruan-Mathius. 2001. Analisis pembeda klon kAret tahan dan rentan penyakit gugur daun Corynespora
serta analisis keragaman genetik dengan AFLP dan RAPD [Tesis]. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 53-55 hal. Tidak dipublikasikan.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Deskriptor Tanaman Pala Karakter Morfologi
Skorpengukuran
Pohon Umur pohon
Jenis bibit Vigor
Lebar kanopi Tinggi pohon
Bentuk pohon sebutkan jumlah pohon
Tahun 1=bibit dari biji, 2=bibit dari grafting, 3=klonal
1=lemah, 2=sedang, 3=kekar meter diukur lebarnya dari dua arah
meter diukur dari permukaan tanah hingga ujung kanopi
1=kolom, 2=piramida, 3=obovat, 4=persegi, 5=bulat, 6=semi-oval, 7=tak beraturan, 8=lainnya
Batang Permukaan batang
Lingkar batang Pola percabangan
Pola penyebaran percabangan
Sudut cabang utama Pertambahan pertumbuhan
ranting Panjang ruas ranting
Diameter ranting Warna ranting muda
termasuk daun muda di ujung ranting
Permukaan ranting muda 3=halus, 7=sedang, 9=kasar
cm, diukur 50 cm di atas permukaan tanah 1=ekstensif 1 anak ranting baru bertunas dan
tumbuh di bawah ranting, 2= intensif 2 anak ranting baru bertunas dan tumbuh di bawah
ranting, 3=keduanya catat yang lebih menonjol 1=asendan, 2=tak beraturan, 3=vertisilat, 4=aksial,
5=horizontal 1=lancip45
, 2=sedang45 -90
, 3=tumpul90
cm, diukur panjang pertambahan tunas utama setelah panen, pengukuran pada 10 ranting yang
dipilih secara acak cm, diukur pada pertengahan kanopi setelah
pertumbuhan berhenti, pengukuran pada 10 ranting yang dipilih secara acak
cm, diukur pada bagian tengah ranting setelah pertumbuhan berhenti, pengukuran pada 10
ranting yang dipilih secara acak 1=kuning kuning 14D, 2=hijau hijau 141A,
3=merah oranye keabuan 166A, 4=lainnya jelaskan dalam deskriptor
1=licin glabrous, 2=berbulu pubescent
Daun Bentuk daun dicatat
setelah daun mekar sempurna
Bentuk pangkal daun Panjang helai daun
Lebar daun Warna daun tua
1=ovat, 2=obovat, 3=oval, 4=bulat, 5=lanset, 6=oblong, 7=lainnya
1=runcing, 2=tumpul, 3=terpotong truncate cm, rata-rata dari 10 daun tua
cm 1=hijau muda hijau 141D, 2=hijau hijau 141A,
3=hijau tua hijau 139A
Sambungan Lampiran 1 : Alur pada tangkai daun
Sudut tangkai daun Tepi daun
Jumlah tulang daun primer Relief pertulangan daun
permukaan atas Bentuk ujung daun
Tekstur daun Aroma daun diremas2
1=ada, 2=tidak ada 1=lancip45
, 2=sedang45 -90
, 3=tumpul90 1=rata, 2=bergerigi, 3=berombak
1=tenggelam, 3=datar, 5=terangkat 1=sangat runcing, 3=runcing, 5=sedang, 7=obtus,
9=sangat obtus 3=lunak, 5=agak keras, 7=keras, 9=sangat keras
3=lemah, 5=sedang, 7=kuat pengukuran sudut tangkai daun s.d. aroma daun
diambil dari daun dewasa di bagian tengah ranting
Bunga Lama waktu mulai berbunga
sejak tanam Musim berbunga dan
lamanya Tunas bunga pertama
muncul Bunga terbuka atau mekar
Akhir musim berbunga Pola pembungaan
Sifat meranggas daun Posisi bunga
Warna bunga Tipe bunga
Jumlah bunga per malai Panjang sumbu utama
tangkai bunga Diameter bunga
Panjang tangkai bunga Panjang petal
Panjang sepal Jumlah petal
Bentuk stilus bunga Ada tidaknya polen
Ada tidaknya nektar bunga Ada tidaknya perhiasan
bunga periantium Tahun
Bulan Bulan, tahun
Bulan Bulan
3=pada setiap musimbulan tertentu, 5=sepanjang tahun, 7=tidak beraturan
3=tidak ada, 5=sebagian, 7=penuh dicatat saat musim berbunga
1=terminal, 2=subterminal, 3=aksilar, 4=lainnya 1=kuning kuning 4D, 2=hijau hijau-kuning 149C,
3=coklat oranye-keabuan 164B, 4=lainnya 3=monoecious, 5=dioecious, 7=hermaphrodit
cm cm
mm mm
mm 1=lurus, 2=kinked, 3=lainnya
1=ada, 2=tidak ada 1=ada, 2=tidak ada
1=ada, 2=tidak ada pengukuran tipe bunga s.d. perhiasan bunga
diambil dari rata-rata 5 sample per tanaman
Sambungan Lampiran 1 :
Buah Lama waktu buah pertama
terbentuk setelah tanam Lama waktu dari
pembungaan hingga buah masak
Musim berbuah mulai dan akhir berbuah
Sifat pembuahan Bentuk buah ID=D
vertikal
maksD
horisontal
maks Panjang buah
Diameter buah Permukaan kulit buah
Keseragaman ukuran buah Bobot buah
Bentuk pangkal buah Bentuk ujung buah
Glosi kulit buah Panjang tangkai buah
Diameter tangkai buah Warna tangkai buah dicatat
pada buah matang yang ternaungi cahaya matahari
Warna kulit buah matang Tingkat diskolorisasi buah
terbuka setelah 1 jam Warna diskolorisasi
Tahun Hari
Bulan 1=musimbulan tertentu, 2=setiap waktu, 3=tak
teratur 1=oblat ID10, 2=bulat ID 1-1.15, 3=oval ID
1.16-1.25, 4=agak lonjong ID 1.26-1.5, 5=lonjong ID 1.5 tentukan banyak buah diukur
cm, rata-rata dari 10 sample cm, diukur pada bagian buah terlebar, rata-rata dari
10 sampel 1=halus, 2=sedang, 3=kasar
3=rendah, 5=sedang, 7=tinggi gram, rata-rata dari 10 buah
1=lekuk ke dalam, 2=rata, 3=cembung, 4=menonjol 1=rata, 2=bulat, 3=menonjol
1=rendah, 2=sedang, 3=tinggi cm
mm, diukur pada bagian tengah 1=kuning grup kuning 8A, 2=hijau grup hijau-
kuning 145A, 3=oranye grup merah-oranye 32A, 4=coklat grup oranye-keabuan 177B, 5=lainnya
pengukuran panjang tangkai s.d. warna tangkai diambil 5 sampel per pohon
1=hijau muda grup hijau 142A, 2=gading grup kuning 4D, 3=kuning grup hijau-kuning 154A,
4=lainnya 1=rendah, 2=sedang, 3=tinggi
1=biru, 2=coklat, 3=coklat kemerahan, 4=hitam
Biji Bobot biji
Warna biji tua Permukaan kulit biji
Panjang biji Diameter biji
Bentuk biji ID=D
vertikal
maksD
horisontal
maks pengamatan pada biji tua
gram, kering dengan dan tanpa batok, basah 1=hitam, 2=coklat, 3=hitam kecoklatan
3=kusam, 5=sedang, 7=glosi cm
cm 1=oblat ID10, 2=bulat ID 1-1.15, 3=oval ID
1.16-1.25, 4=agak lonjong ID 1.26-1.5, 5=lonjong ID 1.5
pengukuran panjang biji s.d. bentuk biji diambil dari 10 buah per pohon
Sambungan Lampiran 1: ArilusFuli
Warna fuli Bobot fuli
Bobot basah 1=merah, 2=merah muda, 3=gading
gram gram, diukur dari biji yang tua
Produksi Hasil per pohon
Karakteristik hasil Produktivitas
Lama buah bertahan di pohon hingga mencapai
panen Kadar minyak yang
diekstrak dari daun, biji tua, biji muda, fuli, buah
Kadar komponen atsiri utama
jumlah per tahun 1=terus menerus produksi, 2=setiap musim
tertentu, 3=tak menentu kg per ha
hari , biji tua 7 bulan biji muda 3-5 bulan
, myristicin, isoeugenol, safrol, elemisin, dideteksi dengan metode GCMS
Sumber : Deskriptor Tanaman Buah Tropis dimodifikasi IPGRI, 1980, yang dimodifikasi Marzuki, 2007
Waktu Retensi
Lampiran 2. Profil kromatogram GC-MS minyak atsiri pala spesies M. fragrans Houtt. Pala Banda fuli putih, MFGP
Waktu Retensi
Lampiran 3. Profil kromatogram GC-MS minyak atsiri pala spesies M. succedanea
Reinw. MSC
Waktu Retensi
Lampiran 4. Profil kromatogram GC-MS minyak atsiri pala spesies M. fatua Houtt. MFT
Waktu Retensi
Lampiran 5. Profil kromatogram GC-MS minyak atsiri pala spesies M. argentea Warb. MARG
Waktu Retensi
Lampiran 6. Profil kromatogram GC-MS minyak atsiri pala spesies M. speciosa Warb. MSPC
Waktu Retensi
Lampiran 7. Profil kromatogram GC-MS minyak atsiri pala Myristica sp. PKBM
Waktu Retensi
Lampiran 8. Profil kromatogram GC-MS minyak atsiri pala Myristica sp. PTLK
Waktu Retensi
Lampiran 9. Profil kromatogram GC-MS minyak atsiri pala Myristica sp. PHG1
Waktu Retensi
Lampiran 10. Profil kromatogram GC-MS M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna merah tebal FMTB
Waktu Retensi
Lampiran 11. Profil kromatogram GC-MS M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna merah tipis FMTP
Waktu Retensi
Lampiran 12. Profil kromatogram GC-MS M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna putih tebal FPTB
Waktu Retensi
Lampiran 13. Profil kromatogram GC-MS M. fragrans Houtt. fuli pala berwarna putih tipis FPTP