Bea Masuk Antidumping Pengamanan Terhadap Industri Dalam Negeri Menurut PP No. 34 Tahun 1996

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006

KORUPSI SEBAGAI TINDAKAN KRIMINAL
YANG HARUS DIBERANTAS: KARAKTER
DAN PRAKTEK HUKUM DI INDONESIA
Otto Cornelis Kaligis
Abstract: To defeat corruption in Indonesia should be started from law
enforcement institutions. Corruption happens when someone puts individual
need illegally on top of the society’s need. Corruptions occur in many forms
including misue of political instruments. Defeating corruption in Indonesia is
always related to politics. Political force has created a conclusion in the society
that corruption is a culture, every beaureaucrat performs corruption to maintain
status and position. Formal law system that we own, in particular those related to
corruption neglect those possibilities and does not provide facilities which can be
used by the suspect, if becomes the victim of unjust law enforcers.
Kata Kunci: Pemberantasan, Korupsi, Tindakan Kriminal

Korupsi (Latin: Corruptio atau Corruptus) sudah begitu lama tertanam dalam budaya
(Andi Hamzah, 1991: 7). Upeti misalnya, berarti uang (mata uang emas atau mata uang
lainnya) yang wajib dibayarkan (dipersembahkan) kepada raja atau negara yang berkuasa
(Poerwadarminta, 1982). Sebab itu tidak mencengangkan lagi jika korupsi di Indonesia telah

menyerang sampai kepada pemerintah-pemerintah daerah. Tiap provinsi di Indonesia boleh
dikatakan tidak lepas dari berita-berita sehubungan dengan kasus korupsi yang dijalankan oleh
aparat eksekutif, legislatif dan yudikatifnya. Jawa Tengah, sebagai contoh, adalah provinsi
dengan kasus korupsi terbanyak, yaitu 131 kasus (Kompas, 9 Maret 2003).
Di masa reformasi ini kita justru dikejutkan dengan pemberitaan tentang korupsi yang
terjadi di kalangan legislatif, suatu hal yang sebelumnya tidak Pernah terungkap di masa orde
baru (Pembaruan, 2004). Bahkan secara lebih berani lagi, beberapa aktivis lembaga swadaya
masyarakat menilai parlemen Indonesia dan Korupsi merupakan dua "makhluk" yang sulit
dipisahkan (Amrie. 2003: 91). Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW)
mengharapkan KPK 'membersihkan' korupsi dengan menggunakan 'sapu yang bersih',
Pemberantasan korupsi seharusnya dimulai dengan membersihkan orang-orang yang
mengusut, menuntut, dan mengadili tindak pidana korupsi (Kompas, 2004). Dapat dikatakan
bahwa korupsi sudah menjangkau segala lapisan lembaga negara di segala tingkatan. Selain itu
dengan semakin canggihnya cara orang melakukan korupsi, badan hukum konvensional
semakin tidak mampu mengungkapkan dan membawa kasus korupsi ke pengadilan. Selain itu,
dalam sistem yang dihinggapi penyakit korupsi endemik (wabah), mekanisme penegakan
hukum konvensional mungkin penuh dengan pejabat yang korup (Jeremy, 2003: 177).
Pernyataan "memberantas korupsi di Indonesia dimulai dari pemberantasan korupsi di
lembaga penegak hukum", mengandung pokok pemikiran bahwa: pertama, pemberantasan
korupsi di Indonesia mempunyai kaitan sangat erat terhadap kinerja lembaga penegak hukum;

kedua, korupsi di lembaga penegak hukum terjadi sebagai akibat dari efek domino8 adanya
151

Universitas Sumatera Utara

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

korupsi yang terjadi di luar lembaga penegak hukum; ketiga, korupsi ada jika seseorang secara
tidak sah meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat serta cita-cita yang
menurut sumpah akan dilayaninya. Korupsi itu muncul dalam banyak bentuk menyangkut
penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan, apakah kebijakan mengenai tarif, sistem
penegakan hukum, keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengembalian pinjaman, dan halhal lain, atau menyangkut prosedur-prosedur sederhana. Korupsi bisa jarang atau meluas,
bahkan di sejumlah negara sedang berkembang, korupsi telah meresap ke dalam sistem
ketatanegaraan (http://www.answers.com/topic/domino-effect>, 10 Maret 2005). Berdasarkan
hal tersebut, yang menjadi permasalahan dalam hal ini bagaimana sebenarnya karakteristik
tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia, dan bagaimana perlindungan hukum dan hak
asasi manusia tersangka/terdakwa dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Kenyataan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, bahkan meminjam
istilah yang digunakan oleh Jon ST Quah, korupsi sudah menjadi ‘a way of life’ (Quah, 2003:

64). Pandangan pesimistis akan menyatakan hampir tidak mungkin untuk memberantas praktik
korupsi di Indonesia. Selain itu masalah penyebab korupsi terjadi dan pemberantasan korupsi
ternyata tidak pernah sejalan. Hal ini terjadi karena pemberantasan korupsi di Indonesia
mempunyai ciri dan karakteristik yang berbeda dari negara lain. Pemberantasan korupsi di
Indonesia selalu terkait dengan politik.
Kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Akbar Tanjung semasa menjabat menjadi
Menteri Sekretaris Negara. Kasus ini tidak bisa ditilik hanya dari sudut hukum semata karena
kasus itu sendiri sarat muatan politis sebagai konsekuensi logis posisi Akbar Tanjung sebagai
Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar (Asrun,2004: 40). Sehingga terlepas dari
kebenaran materi perkaranya, kedua kasus ini terlanjur bernuansa politk (Lopa, 2001).
Kasus-kasus korupsi yang sarat muatan politis makin meningkat setelah krisis
moneter terjadi di Indonesia. Dalam hal ini gejala yang obvious, yaitu kerusuhan sosial dan
krisis moneter, dianggap bersumber pada sesuatu yang sama sekali berbeda, remang-remang
dan bersifat politik. Adanya unsur politik ini diyakini sebagai indikasi yang menunjukkan
keterkaitan antara gejala yang ingin dijelaskan, explanandum, dan pergesekan kekuasaan di
Tingkat elite (http:/www-b.tempo.co.id/ang/min/02/50: 14/Feb/1998)
Di seluruh dunia korupsi sebetulnya menjadi suatu masalah, Khususnya di negaranegara sedang berkembang, korupsi menyebabkan kerapuhan ekonomi dan sosial. Korupsi
mudah menjadi biang keladi pemberontakan yang berakibat coup d'etat terhadap suatu
pemerintahan yang sah.
Korupsi juga merupakan isu paling menarik yang paling sering digunakan dalam

kampanye-kampanye pemilihan umum (Klitgaard, 1998: 2). Sepanjang sejarah berdirinya
negara ini, Indonesia sudah membuktikan hal tersebut. Jatuhnya Orde Baru yang berkuasa
lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, sedikit banyak terjadi akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) yang dilakukan oleh birokrat dan pengusaha yang dekat dengan birokrat.
Korupsi adalah suatu perbuatan yang dipolitisir menjadi suatu kejahatan terhadap
negara dan masyarakat dalam pengertian seluas-luasnya. Kekuatan politik telah berhasil
menciptakan suatu konklusi dalam masyarakat bahwa "korupsi merupakan budaya", "setiap
pejabat pasti korupsi demi mempertahankan status dan kedudukannya". Karena itu
karakteristik tindak pidana Korupsi di Indonesia memiliki muatan berbeda dari kejahatan
umum lainnya. Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak pernah lepas dari pengaruh politik
suatu negara.
Pengaruh politik tersebut dimulai bahkan sejak saat suatu kekuatan politik berusaha
untuk menjadi penguasa di mana korupsi selalu menjadi isu untuk menarik simpati/dukungan
152

Universitas Sumatera Utara

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
masyarakat. Pemberantasan korupsi selalu dikaitkan dengan upaya-upaya mempertahankan
kekuasaan politik maupun upaya untuk menjatuhkan kekuasaan politik yang sedang berkuasa.

Sejak tahun 1950-an sampai hari ini sejarah Indonesia mencatat, penegak hukum
merupakan institusi politik paling lemah dan paling mudah terkooptasi secara politis
dibandingkan dengan lembaga negara lainnya, penegakan hukum dan Kekuasaan kehakiman
by design atau by accident sering menjadi alat politik oleh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
legislatif.
Penegakan hukum didisain sedemikian rupa sehingga terjadi kooptasi terhadap
kekuasaan kehakiman melalui pembentukan undang-undang yang mengatur wewenang dan
hak penegak hukum, seperti UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No.
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI", UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Agung, dan UU No, 15 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Proses tekanan terhadap penegakan hukum by accident sering dijumpai dalam
peradilan dengan public figure sebagai terdakwa atau pihak yang berperkara, di mana tekanan
politik dan penggunaan media massa atau kekuataan massa sebagai alat penekan menjadikan
penegakan hukum mudah terjerumus dalam praktik kolusi antara pencari keadilan dan pejabat
penegak hukum (Bagir Manan, 2002: 12). Contoh yang dapat di kemukakan antara lain, kasus
dakwaan perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Sjahril Sabirin, Gubernur Bank
Indonesia. Diseretnya seorang Gubernur Bank Indonesia dalam kasus korupsi tidak lepas dari
upaya Presiden Indonesia waktu itu, Abdurrahman Wahid, untuk mengganti Sjahril Sabirin
dari kedudukannya sebagai Gubernur BI. Demikian juga dengan kasus tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak lepas

dari upaya KPK untuk merebut simpati publik.
Karakter lain dari pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah bahwa
pemberantasan korupsi yang sarat nuansa politik tersebut dijalankan untuk mencari 'tumbal'
semata. Seolah-olah jika seorang telah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan,
maka penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sudah berjalan dengan baik.
Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak berorientasi kepada keadilan. Akibat
dari tujuan pencarian 'tumbal' itu, seorang dituduh sebagai pelaku tindak pidana kehilangan
hak-haknya sebagai manusia dan kehilangan hak hukumnya (Sapardjaja, 2002: 229)
Dalam kasus seperti ini, seorang yang ditetapkan sebagai tersangka atau tertuduh oleh
aparat penegak hukum adalah korban (victim) dari pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sistem hukum pidana formal yang kita miliki,
khususnya yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, mengabaikan kemungkinan tersebut
dan tidak menyediakan sarana yang dapat dipergunakan oleh si tersangka, apabila ia menjadi
korban kesewenang-wenangan penegak hukum. Di dalam praktek, dapat disebutkan antara lain
kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdul Waris Halid dan Nurdin Halid.
Keprihatinan negara-negara di dunia terhadap Korupsi, menjadikan korupsi sebagai
suatu kejahatan yang tidak lagi merupakan kejahatan domestik. Kejahatan korupsi dimasukkan
golongan "white collar crime", kemudian meningkat lagi menjadi trans-national crime. Istilah
"trans-national" ini dipergunakan untuk menunjukkan kejahatan yang sebetulnya dilakukan
oleh perorangan, di mana terhadap kejahatannya itu si pelaku dapat dibebani tanggung jawab

berdasarkan hukum nasional maupun hukum internasional. Pengertian ini harus dibedakan
dengan kejahatan internasional di mana pelakunya adalah negara, dan negara hanya dapat
dibebani tanggung jawab kriminal internasional (international criminal resposibility of states)
karena melanggar hukum internasional.
Sebagaimana telah disepakati di Palermo, Italia, ketika disepakati Convention of
Trans-national Organized Crime (TOC). United Nations Convention Against of Transnational

153

Universitas Sumatera Utara

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

Organized Crime sering juga disebut “konvensi Palermo”, ditandatangani pada tanggal 17
Desember 1999 dan diterima oleh sidang umum PBB berdasarkan Resolusi 54/128.
Karena mempengaruhi pembangunan kerjasama internasional, kestabilan politik
negara, dan membawa kesengsaraan bagi rakyat. (Kaligis, 2003: 163-165).
Diakuinya United Nation Convention Against Corruption (2003), sebagai konvensi,
maka kejahatan korupsi sudah memasuki golongan “international crime” Poernom (t.t). Suap,
sebagal contoh, memerlukan pelaku suap (biasanya merupakan pengusaha swasta) dengan

penerima suap (umumnya pejabat negara).
Oleh karena itu sebagai pelaku dan penerima suap, keduanya dapat dituntut
melakukan tindak pidana korupsi. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Forum Keadilan,
Mantan Jaksa Agung Baharudin Lopa (alm) pernah mengatakan bahwa, secara teknis,
pemberantasan korupsi sulit dilakukan, karena menyangkut pembuktian yang sulit, manakala
seseorang memberikan uang sogok atau hadiah kepada seorang pejabat, maka kedua pihak
(pihak pemberi dan pihak penerima) tentu saja tidak memberikan tanda terima/kwintansinya.
Keduanya juga tentu tidak akan mau mengakuinya, karena berdasarkan UU Anti-korupsi, baik
penerima maupun pemberi diancam pidana. Contoh di Indonesia adalah kasus Eddy Tansil
yang berkat 'Surat Pengantar' dari Menteri Sudomo berhasil memperoleh kredit dari Bank
BAPINDO (kini Bank Mandiri) dan ternyata disalahgunakan, sedangkan negara dirugikan
(Tiras, Juni 1996, 10-19; Tiras, May 1996: 11-22) Eddy Tansil dihukum (kemudian melarikan
diri) sedangkan Sudomo sebagai pejabat negara tidak sedikit pun disentuh hukum. Hal ini
sebagaimana akhir dari kisah Endin Wahyudin (jaksa) yang mengungkapkan suap kepada 2
(dua) orang jaksa agung, dan Kito Irkhamni yang mengungkapkan harta kekayaan Jaksa Agung
M.A. Rahman (http://www.liputan6.com/fullnews/42939.html. April 2003). Oleh karena itu
tidak salah kalau korupsi juga dapat diartikan dengan penyalahgunaan kekuasaan, Jenis korupsi
seperti ini sangat sulit dijangkau oleh proses penegakan hukum (Poernomo, 2005: 6).
The 6th United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders, taht.m 1980, telah direkomendasikan:

"Corruption is a crime ussualy associated with abuse of power, and without moral authority of
top leadership it is very difficult to eliminate corruption. It is context a crime and the abuse of
power, offences and offenders beyond the reach of the law."
Perhatian internasional terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi
sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan, penanganan
korupsi tidak dapat dilakukan dengan cara-cara biasa saja (Ordinary measure) yaitu oleh aparat
hukum dengan senjata undang-undang anti korupsi saja (UU No.31 tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi). Karena korupsi merupakan
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka penanganannya pun harus dengan cara-cara
luar biasa (extra ordinary measure), yaitu dengan penegakan hukum progresif itu semangat
yang kuat untuk memberantas korupsi (Kompas Mei 2003).
Sifat extra ordinary dari tindak pidana korupsi jika dibandingkan dengan kejahatan
biasa, berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis menangani lebih dari 100 kasus tindak
pidana korupsi, diakibatkan karena tindak pidana korupsi selalu menyangkut uang dengan
jumlah yang sangat besar. Sadar atau tidak jumlah tersebut selalu menjadi ancaman potensial
bagi aparat penegak hukum untuk menyalahgunakan kekuasaan/wewenangnya demi
kepentingan pribadi atau korpsnya. Contohnya pada perkara dugaan korupsi dengan tersangka
Abdullah Puteh (Merdeka Juli 2004; Kompas, Desember 2004; pada tanggal 10 Maret 2005). Di sisi
tersangka, jumlah uang yang besar menjadi ancaman potensial juga bagi dirinya sendiri di
mana hak-haknya sebagai tersangka/terdakwa diabaikan begitu saja.


154

Universitas Sumatera Utara

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAM TERSANGKA/TERDAKWA, MENURUT
HUKUM INDONESIA (MUNGKINKAH?)
Ketika menangani kasus hukum sering aparat penegak hukum, demi mengejar tujuan
pribadi dan nama baik korps, mengorbankan hak-hak tersangka/terdakwa sudah menjadi kasuskasus yang melanda seluruh dunia dan dikenal dengan istilah miscarriage of justice. Apabila
seorang pejabat penegak hukum yang mempunyai kuasa dan wewenang untuk mengupayakan
tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru
untuk memberikan ketidakadilan. Pada saat itulah terjadi miscarriage of justice atau kegagalan
penegakan keadilan telah terjadi (Henry, 1999: 1013).
Criminal Cases Review Commission yang dibentuk di Inggris pada tahun 1997 untuk
memeriksa kemungkinan terjadinya kegagalan penegakan hukum, mengumumkan bahwa pada
awal tugasnya, mereka memeriksa sekitar 250 kasus per tahun. Kini mereka menerima
pengaduan lebih dari 800 perkara pertahun (http://www.crimeinfo.org.uklservlet/
factsheetservlet?command?printa) Miscarriage of justice, dikutip pada tanggal 12 Januari
2005). Hampir semua negara mengenal kasus-kasus yang dianggap kasus-kasus miscarriage of

justice di dunia umumnya. Sebagai bukti terjadinya kegagalan penegakan keadilan, seperti di
Indonesia kita mengenal kasus "Sengkon-Karta". Kasus "Sengkon-Karta" merupakan kasus
yang sangat istimewa, karena sebelumnya dalam perkara pidana tidak dikenal upaya hukum
luar biasa "Peninjauan Kembali" yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Perhatikan bahwa
upaya hukum "Peninjauan Kembali" tidak diatur baik dalam HIR maupun dalam KUHAP.
Perkara ini menyebabkan perubahan mendasar terhadap sistem hukum Formal Indonesia, di
mana pada tahun 1985 dalam UU Mahkamah Agung, diperkenalkanlah lembaga “Peninjauan
Kembali” sebagai upaya hukum luar biasa terhadap putusan peradilan yang telah inkracht dan
wajib dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Kegagalan penegakan keadilan (miscarriage of justice) dalam sistem peradilan pidana,
menurut Clive Walker, terjadi apabila:
“whenever suspect or defendants or convicts are treated by the State in breach if their rights,
whether because of, first, deficient processes or, second, the laws which are applied to them
or, third, because there is no factual justification for the applied treatment of punishment;
fourth, whenever suspects or defendants or convicts are treated adversely by the State to a
disproportionate wxtent in comparison with the need to protect rights of others. Or fifth,
whenever the rights of other are not effectively or proportionately protected or vindicated by
State action against wrongdoers ir sixth, by state law itself” (http.//www.leeds.ac.uk/law/
hamlyn/, pada tanggal 15 Februari 2005)
Lebih lanjut Walker menjelaskan bahwa keenam kategori yang menyebabkan
terjadinya kegagalan penegakan keadilan ini dapat menimbulkan suatu kegagalan yang tidak
bersifat langsung (indirect miscarriage) yang mempengaruhi komunitas masyarakat secara
keseluruhan. Suatu penghukuman yang lahir dari ketidakjujuran atau rekayasa akan
menimbulkan tuntutan terhadap legitimasi negara yang berbasis pada nilai-nilai sistem
peradilan pidana yang seharusnya menghormati hak-hak individu. Dalam konteks ini
kegagalan penegakan keadilan akan menimbulkan bahaya bagi integritas moral proses pidana
(Moral Integrity Of The Criminal Process). Bahkan lebih jauh lagi, dapat merusak kepercayaan
masyarakat akan penegakan hukum.
Dari uraian tersebut di atas terdapat 4 (empat) hal penting yang terkandung dalam
makna kegagalan penegakan keadilan, yaitu; pertma, kegagalan penegakan keadilan tidak
hanya terbatas pada produk pengadilan atau dalam sistem hukum pidana, tetapi juga dapat
terjadi di luar pengadilan, tetapi dapat berbentuk seluruh kekuasaan dari penegak hukum yang
bersifat memaksa (coercive powers). Kedua, kegagalan penegakan keadilan dapat
dilembagakan dalam hukum, misalnya dalam bentuk legalisasi biaya-biaya tidak resmi; ketiga,
155

Universitas Sumatera Utara

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

kegagalan penegakan hukum harus mencakup pula kelemahan negara ketika menjalankan
tanggung jawabnya; keempat, kegagalan penegakan keadilan harus ditegaskan pada hal-hal
yang berkaitan dengan hak asasi manusia (http.//www.leeds.ac.uk/law/hamlyn/, pada tanggal
15 Februari 2005).
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi bagian bagi
proses pencarian keadilan dalam perkara pidana umum. Bagi perkara tindak pidana korupsi,
selain menggunakan KUHAP, digunakan juga ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara
yang tercantum dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejalan dengan hal itu, maka perlu juga
disebutkan berlakunya ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hukum acara dalam UU
No. 30 Tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagaimana
diatur dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisis Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan UU No, 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pengadilan TIPIKOR).
Sebagai suatu sistem, maka interaksi lembaga sub-sistem peradilan pidana dalam
menangani perkara tindak pidana diatur dalam hukum acara pidana atau hukum pidana formal
sebagaimana diatur dalam peraturan
Perundang-undangan di atas. Interaksi tersebut bukan saja berarti tata cara dalam
melakukan penyidikan atau penuntutan, namun termasuk dengan maksud agar tercipta suatu
keseimbangan antara hak dan wewenang Penyidik/Penuntut Umum dan hak-hak asasi seorang
tersangka/terdakwa ataupun keluarganya. Tetapi dalam prakteknya, hukum acara formal bagi
perkara tindak tersangka/terdakwa, sehingga seorang tersangka/terdakwa menjadi korban
pelanggaran HAM tanpa dapat berbuat apa-apa, karena secara materil dan formal tidak tersedia
upaya hukum bagi mereka untuk membela hak-haknya.
Pada titik ini kepentingan penyidikan/penuntutan dan perlindungan HAM tidak boleh
dipertentangkan. Keduanya merupakan counter-balance yang harus seimbang, sehingga dalam
keseimbangan itulah dapat tercapai keadilan, yaitu suatu keadaan di mana semua kepentingan
dapat terakomodasikan dengan baik.
Sri Soemantri mengatakan bahwa ciri-ciri negara yang berdasarkan atas hukum
sekurang-kurangnya ada empat, yaitu: pertama, adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi
manusia (dan warga negara); kedua, adanya pembagian kekuasaan; ketiga, dalam
melaksanakan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasarkan hukum yang berlaku, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis; dan keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang bebas
dalam menjalankan tugas mereka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
(Muqoddas 1992: 29)
Suatu negara hukum, pemerintah harus memberi jaminan adanya penegakan hukum
dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan atau hasil guna (doelmatigheid), dan
kepastian hukum (Mertokusumo dan A. Pitlo:1993:l).
Penegakan hukum dalam bidang pidana dapat terlaksana dengan baik, dalam arti
dapat terciptanya ketertiban dan ketentraman bagi semua pihak bila dijalankan dalam suatu
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice system) yang baik pula.
Maka tidak ada jalan lain, KUHAP harus diperbaiki. Jalan yang terbaik
adalah dengan melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang
PRAPERADILAN. Bagi seorang tersangka atau terdakwa yang hak-haknya dilanggar, tersedia
upaya hukum yang seharusnya dapat menjadi keseimbangan atas hak dan wewenang penyidik
dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa. Dalam kata lain, Praperadilan adalah upaya
paksa yang dimiliki oleh Tersangka/Terdakwa untuk membela hak-haknya.
156

Universitas Sumatera Utara

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
Lembaga Praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas
Corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap
HAM khususnya hak kemerdekaan, Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang
untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan
penahanan atas dirinya. Hal itu untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan
kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan HAM (Loekman, 1982: 54).
Sekalipun lembaga praperadilan adalah alat kontrol bagi penegak hukum khususnya
penyidik dan penuntut umum (Kompas, November 1982). Tetapi dalam praktek dialami
bahwa putusan hakim dalam perkara praperadilan adalah putusan yang bersifat deklaratoir,
yaitu menyatakan bahwa penghentian penuntutan Kejaksaan/penuntut umum adalah tidak sah
dan memerintahkan kejaksaan untuk meneruskan penuntutan. Terbukti dalam perkara gugatan
praperadilan oleh Linda Tani. Terhadap penghentian penuntutan yang dilakukan oleh
Kejaksaan Tinggi Negeri Jakarta, sekalipun oleh hakim dinyatakan bahwa penghentian
penuntutan oleh Kejaksaan Tinggi tidak sah, namun sampai hari ini Kejaksaan tidak
meneruskan penuntutan tersebut. kesulitan eksekusi dalam perkara ini dapat dipahami karena
fungsi kejaksaan menurut pasal 270 KUHAP, Jaksa merupakan pelaksana putusan pengadilan
(eksekutor). Jadi tanpa ada political will dari Kejaksaan sendiri untuk menaati putusan
praperadilan tersebut, maka putusan tersebut tidak akan dapat dilaksanakan, sebab tidak ada
kekuatan lain atau lembaga lain yang mempunyai wewenang melakukan atau memaksa Jaksa
untuk melaksanakan putusan hakim pada perkara praperadilan.
Kondisi seperti ini akan sangat merugikan saksi pelapor/penggugat. Karena berbeda
dengan praperadilan yang diajukan kepada penyidik/polisi mengenai penangkapan atau
penahanan yang tidak sah, di mana pihak ketiga yang dirugikan dapat meminta ganti rugi atas
kebebasannya yang dirampas secara tidak sah; maka para gugatan praperadilan yang ditujukan
terhadap penghentian penuntutan, tujuan atau maksud saksi pelapor/penggugat bukanlah untuk
meminta ganti rugi, tetapi untuk memperoleh keadilan yang benar-benarnya (due process).
Dalam suatu RUU (revisi) KUHAP yang diajukan oleh Departemen Kehakiman,
maka lembaga praperadilan sudah dihilangkan, dan perannya digantikan oleh Hakim
Komisaris (Draft RUU (revisi) KUHAP, Pasal 75-79). Namun, ternyata hampir semua
wewenang lembaga praperadilan dialihkan kepada Hakim Komisaris, namun putusannya hanya
merupakan penetapan (tidak punya kekuasaan eksekutorial).
Dalam sejarahnya pada masa HIR, masalah pengawasan dan penilaian terhadap
penangkapan dan penuntutan sama sekali tidak ada. Teman-teman pada masa itu ada semacam
pengawasan oleh hakim, yakni dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang harus
dimintakan persetujuan hakim [vide Pasal 83 C ayat (4) HIR], Namun dalam kenyataannya
kontrol hakim ini kurang dirasakan manfaatnya, karena tidak aktif mengingat urusan
perpanjangan penahanan oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-mata dianggap urusan
birokrasi.
Dengan demikian kehadiran lembaga praperadilan menjadi titik balik yang
memberikan semangat baru, khususnya mengenai jaminan hak-hak tersangka, karena bersifat
transparan (transparancy) dan akuntabilitas publik (public accountability) yang merupakan
syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung
HAM.
Tetapi harus juga dilihat bahwa karena dalam KUHAP, praperadilan merupakan
barang baru, maka di dalam praktek terdapat kelemahan, antara lain: pertama, tidak semua
unsur paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya
oleh lembaga praperadilan, misalnya tindakan penggeledahan, penyitaan dan pembukaan serta
pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP; kedua, praperadilan tidak berwenang
157

Universitas Sumatera Utara

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

untuk menguji atau menilai suatu tindakan tanpa permintaan dari tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasa tersangka, sehingga sering kali sekalipun suatu tindakan polisi/jaksa
sudah jelas sewenang-wenang, tetapi tidak dapat dilakukan praperadilan; ketiga, arahnya,
dalam sidang praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan segi formal semata-mata
daripada menguji syarat materilnya. Padahal sering kali memperhatikan segi formal sematamata daripada menguji syarat menentukan apakah seseorang dikenakan upaya penangkapan
atau penahanan. Putusan praperadilan hanya berupa penetapan, sehingga seringkali diabaikan
oleh penegak hukum, khususnya jaksa dalam perkara-perkara di mana jaksalah yang
melakukan penyidikan (Nasution, 2001: 6-8).
Sementara itu mengenai Hakim Komisaris, tampaknya RUU (revisi) KUHP hendak
meniru model yang diterapkan oleh Belanda, yang juga sebetulnya dikenal dalam masa
sebelum KUHAP, yaitu dalam Reglement op de strafvoerdering, dan disebut Rechtercommissaris yang dapat melakukan tindakan investigasi (investigating judge) untuk
memanggil orang, saksi maupunn tersangka, mendatangi rumah saksi dan juga memeriksa
apakah petugas penegak hukum melakukan tugasnya dengan benar. Tetapi setelah HIR berlaku
rechter-commissaris tidak digunakan lagi (Loqman, 1982: 47-48)
Kemudian istilah ini pernah juga muncul dalam konsep RUU KUHAP diajukan ke
DPR pada tahun 1974, pada masa Oemar Seno Adjie menjabat Menteri Kehakiman. Di dalam
rancangan tersebut, peran, wewenang dan fungsi hakim komisaris hampir sama dengan
lembaga praperadilan saat ini. Jadi sebetulnya fungsi hakim kornisaris dalam sistem Eropa
Kontinental seperti di Belanda bertujuan mengawasi jalannya proses hukum acara pidana
khususnya pelaksanaan wewenang eksekutif (penyidik dan penuntut umum) dalam upaya
mencari kebenaran materil. Dengan demikian pengawasan hakim komisaris ini pada dasarnya
merupakan hak kontrol dari pihak yudikatif (control van rechterlijkemacht) terhadap eksekutif.
Karena itulah hakim diberi wewenang yang demikian luas mencampuri bidang tugas penyidik
maupun penuntut umum dalam hal pemeriksaan pendahuluan.
Namun harus diingat juga bahwa pemberlakuan konsep hakim komisaris ini berarti
menggantungkan kemerdekaan seseorang kepada “belas kasihan” negara, khususnya
kekuasaan kehakiman untuk melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap eksekutif (penyidik
dan penuntut hukum). Sedangkan dalam konsep praperadilan, kemerdekaan orang itu
memberikan hak fundamental padanya untuk melawan dan menuntut negara (eksekutif yaitu
penyidik dan penuntut umum) untuk membuktikan bahwa tindakan upaya paksa (Dwang
Middelen) yang mereka jalankan sudah benar dan tidak melanggar ketentuan hukum yang
berlaku dan HAM.
Karena itu konsep praperadilan sudah selayaknya dipertahankan, dengan memberikan
tambahan wewenang untuk menyelidiki hal-hal yang lebih luas dari sekedar penahanan dan
penangkapan tidak sah atau penghentian penuntutan. Demikian juga dalam pelaksanaan
putusannya harus merupakan putusan yang memiliki kedudukan sama dengan keputusan
eksekutorial. Sehingga eksekutif yang tidak melaksanakannya dapat dituduh melakukan
tindakan melawan putusan hakim.
DAFTAR PUSTAKA
Asrun, A.M., Vonis Bebas Akbar Tanjung: Antitesis Pemberantasan Korupsi, dalam Harian
Kompas, 1 Maret 2004.
Hakim, Amrie, (Penyunting), "Analisis Hukum 2002, Jangan Tunggu Langit Runtuh", Justika
Siar Publika, Jakarta, 2003.
Hamzah, Andi, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, tahun 1991.
158

Universitas Sumatera Utara

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
Harian Kompas 30 Agustus 2004, "KPK Hat-us Bed Terapi Kejut bagi Para Penegak Hukum".
Harian Kompas 9 Desember 2004, "Puteh Akan Segera Diajukan ke Pengadilan AdHoc
Korupsi".
Harian Kompas, 25 April 2003, "Kito Irkhamni dituntut 4 bulan".
Harian Kompas, 25 mei 2003, "Reformasi Hukum Tinggal Kenangan".
Harian Kompas, Maret 2003, Ramai-ramai Menjarah Uang Rakyat
Harian Kompas, 25 Mei 2003, "Reformasi Hukum Tinggal Kenangan"
Harian Kompas, 30 November 1982, "Seminar Peradin: Dipersoalkan, Penangkapan bukan
oleh Polisi,"
Harian Suara Merdeka, 15 Juli 2004, "Akhirnya Puteh Penuhi Panggilan KPK".
Harian Suara Pembaruan, Agustus 2004, Anggota DPRD pun "Melipat" Uang Rakyat.
Henry, Black, et. al., Black Law Dictionary, 7th edition, USA, West Group, 1999.
Jeremy, Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003.
Kaligis, O.C., The Birth of a Convention (Convention against Corruption), Jakarta: Yarsif
Watampone, 2003.
Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Lopa, Baharuddin, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, Kompas, 2001,
Loqman, Loebby, Pra-peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Majalah Tiras No. 17 Tahun 2, 23 May 1996, "Fenomena Eddy Tansil".
Majalah Tiras No. 19 Tahun 2, 5 Juni 1996, "Dari Katabelece hingga Moralitas".
Manan, Bagir, "Mewujudkan Independensi Kekuasaan Kehakiman dengan Reformasi
Mahkamah Agung", dalam Jurnal Keadilan vol. 2, No. 6, Tahun 2002.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditiya Bakti,
Bandung, 1993.
Muqoddas, Moh. Busro (Penyunting), Politik Hukum dan Pembangunan Nasional, UII Press,
Yokyakarta, 1992.
Poernomo, Bambang Upaya Penanggulangan dengan Pendekatan Alternatif Terhadap
Kejahatan Korupsi, makalah, tanpa tahun.
Poernomo, Bambang, Masyarakat Anti Korupsi Menjadi Dasar Pemerintahan
yang Bersih KKN dan Negara Demokrasi Kerakyatan, Makalah, 2005.
159

Universitas Sumatera Utara

Otto Cornelius Kaligis: Korupsi sebagai Tindakan Kriminal ...

Poerwadarminta, H,J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982.
Quah, Jon S.T., Curbing Corruption in Asia, A Comparative Study of Six Countries, Singapore,
Eastern University Press, 2003.
Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana
Indonesia, Bandung, Alumni, 2002.
Internet:
Clive Walker, Miscarriage of Justice in Principle and Practice, dikutip
, pada tanggal 15 Pebruari 2005.

Justice, dikutip pada tanggal 12 Januari 2005.

Miscarriage

dari
of

, "Eksepsi
Puteh: KPK Langgar Praduga Tak Bersalah", dikutip dari pada tanggal 10 Maret
2005.
,Teori
Moneter, Edisi 50/02 - 14/Feb/1998.

Konspirasi

dan

Krisis

dikutip pada tanggal 10 Maret 2005.

160

Universitas Sumatera Utara

PENULIS NOMOR INI
Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera
Utara Tahun 1990 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Tahun 2002, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Tambah Sembiring, SH, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun
1974, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
M. Husni, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun
1986 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Tahun 1997, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Lukman Hakim Nainggolan, SH, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera
Utara Tahun 1979, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Liza Erwina, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Tahun 1987 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Tahun 1996, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Syamsiar Yulia, SH.CN, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun
1985 dan memperoleh gelar Candidat Notariat Tahun 1995 di Universitas Sumatera Utara,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Hasim Purba, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Tahun 1991 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Tahun 2001, sebagai peserta Program Doktor Ilmu Hukum pada Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Suria Ningsih, SH, M.Hum, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Tahun 1985 dan memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Tahun 1996, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Subanindyo Hadiluwih Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen
Perguruan Tinggi Swasta di Medan.
Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Katholik
Parahyangan Bandung Tahun 1966, memperoleh gelar Magister Hukum di Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung Tahun 2003 dan memperoleh gelar Doktor
Dalam Bidang Hukum Pidana di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
Tahun 2006, Advokat, Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Manado.

161

Universitas Sumatera Utara