Analisis Komparatif Tafsir QS. 3Ali’Imran: 159

membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi beliau itu senantiasa memberikan maaf.” 14 Inilah gambaran, betapa agung akhlak Rasulullah Saw. mampu menunjukkan sikap kelembutan terhadap umatnya, padahal secara logika, kesalahan yang mereka perbuat, pantas mendapatkan hukuman, karena mereka sudah memaksakan kehendak kepada Rasulullah untuk keluar menghadapi musuh di luar kota Madinah. Akibatnya, Rasulullah menanggung penderitaan dan kekalahan dalam perang Uhud. Nampaknya mereka tidak lagi menghargai pendapat Rasulullah yang bersumber dari wahyu melalui mimpi beliau. Oleh karenanya, penggalan bagian pertama ayat 159 Surat Ali- „Imran, menegaskan keagungan akhlak Rasulullah Saw. Tafsir al-Mishbah dan Tafsir Ibnu Katsir, menyelaraskan penggalan bagian pertama ayat tersebut sesuai dengan firman-Nya dalam ayat yang lain: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. QS. 9At-Taubah: 128. Selanjutnya, terhadap penggalan bagian pertama ayat 159 Surat Ali- „Imran, dapat dibaca pula dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Inilah rahmat Allah yang meliputi Rasulullah dan meliputi mereka, yang menjadikan beliau SAW., begitu penyayang dan lemah lembut kepada mereka. Seandainya beliau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya hati orang-orang di sekitar beliau tidak akan tertarik kepada beliau, dan perasaan mereka tidak akan tertambat pada beliau. Manusia itu senantiasa memerlukan naungan yang penuh kasih sayang, pemeliharaan yang optimal, wajah yang ceria dan peramah, cinta dan kasih sayang, dan jiwa kepenyantunan yang tidak menjadi sempit karena kebodohan, kelemahan dan kekurangan mereka. Mereka memerlukan hati yang agung, yang suka memberi kepada 14 Aal asy-Syeikh. op. cit., h. 173-174 mereka dan tidak membutuhkan pemberian dari mereka; yang mau memikul duka derita mereka dan tidak menginginkan duka derita mereka dipikul mereka; dan yang senantiasa mereka dapatkan padanya kepedulian, perhatian, pemeliharaan, kelemahlembutan, kelapangan dada, cinta kasih dan kerelaan. 15 Antara Tafsir al-Mishbah, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, walaupun menggunakan redaksi yang berbeda dalam menguraikan kandungan ayat tersebut, namun secara substansi memiliki pandangan yang sama tentang keagungan akhlak Rasulullah Saw., dimana beliau senantiasa bersikap lemah lembut terhadap sebagian umatnya yang telah melakukan kesalahan. Inilah kepribadian yang agung, semata-mata merupakan rahmat dari Allah. Al-Maragi menguraikan tafsirnya terhadap penggalan ini bagian pertama dari ayat 159 Surat Ali- „Imran: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sesungguhnya memang telah ada di antara para sahabatmu orang-orang yang berhak mendapatkan celaan dan perlakuan keras, ditinjau dari karakter manusia. Sebab mereka telah melakukan kesalahan yang berakibat kekalahan, sedangkan peperangan itu dilakukan oleh semuanya. Tetapi sekalipun demikian, engkau Muhammad tetap bersikap lemah lembut terhadap mereka, dan engkau perlakukan mereka dengan baik. Semua itu berkat rahmat yang diturunkan Allah ke dalam hatimu, dan Allah mengkhususkan hal itu hanya untukmu. Karena Allah telah membekalimu dengan akhlak-akhlak Al- Qur‟an, yang luhur, di samping hikmah-hikmah- Nya yang agung. Dengan demikian, musibah-musibah yang engkau alami sangat mudah dan enteng dirasakan. 16 Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu Andaikata engkau Muhammad bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka kaum muslimin, niscaya mereka akan bercerai bubar meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu. Sehingga engkau tidak bisa menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus. Hal itu karena maksud dan tujuan utama diutusnya para rasul ialah untuk menyampaikan syariat-syariat Allah kepada umat manusia. Hal itu jelas tidak akan tercapai selain mereka 15 Quthb. op. cit., h. 193 16 al-Maragi. op. cit., h. 193-194 bersimpati kepada para rasul, dan jiwa mereka merasa tenang dengan para rasul. Semua itu akan terwujud jika sang rasul bersikap pemurah dan mulia, melupakan semua dosa yang dilakukan oleh seseorang, serta memaafkan kesalahan-kesalahannya. Rasul haruslah bersifat lemah lembut terhadap orang yang berbuat dosa, membimbingnya ke arah kebaikan, bersikap belas kasih, lantaran ia sangat membutuhkan bimbingan dan hidayah. 17 Selain QS. 9At-Taubah: 128, sebagaimana yang dinyatakan dalam Tafsir al-Mishbah dan Tafsir Ibnu Katsir tentang keagungan akhlak Rasulullah, al-Maragi memandang penggalan bagian pertama ayat 159 Surat Ali- „Imran, sesuai dengan Firman-Nya dalam ayat yang lain: dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung QS. 68Al-Qalam: 4 Bagian Kedua karena itu maafkanlah mereka, Berkat rahmat Allah, Nabi Muhammad Saw. bersikap lemah lembut, maka beliau diperintahkan oleh Allah untuk memaafkan sebagian sahabat karena kesalahan mereka yang telah memaksa Nabi keluar dari kota Madinah untuk menghadapi musuh, dan hasil yang diperoleh adalah kekalahan, sehingga Rasulullah menanggung penderitaan fisik. Oleh karenanya, memaafkan kesalahan orang lain tidak akan terwujud, jika masih berperangai kasar dan berhati keras. Quraish Shihab mengungkapkan, bahwa “maaf” secara harfiah berarti “menghapus”. Jadi memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan orang lain yang dinilai tidak wajar. 18 Terkait dengan kelanjutan bagian kedua dari ayat 159 Surat Ali- „Imran, al-Maragi menjelaskan: 17 Ibid., h. 195 18 Shihab, op. cit., h. 313 Hal itu jelas tidak akan tercapai selain mereka bersimpati kepada para rasul, dan jiwa mereka merasa tenang dengan para rasul. Semua itu akan terwujud jika sang rasul bersikap pemurah dan mulia, melupakan semua dosa yang dilakukan oleh seseorang, serta memaafkan kesalahan-kesalahannya. Rasul haruslah bersifat lemah lembut terhadap orang yang berbuat dosa, membimbingnya ke arah kebaikan, bersikap belas kasih, lantaran ia sangat membutuhkan bimbingan dan hidayah. 19 Berbeda dengan Tafsir al-Mishbah dan Tafsir al-Maragi, penjelasan untuk bagian kedua ini tentang “karena itu maafkanlah mereka”, peneliti tidak menemukan urainnya dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, padahal uraiannya panjang-lebar dan bertele-tela, termasuk dalam Tafsir Ibnu Katsir yang penjelasannya juga cukup panjang. Bagian ketiga Dan mohonkanlah ampunan bagi mereka, Berdoa, memohon ampunan Allah bagi mereka yang bersalah, merupakan bukti nyata bagi hati yang lembut dan telah memaafkan kesalahan orang lain. Pada bagian ketiga ini, juga tidak ditemukan penjelasannya di dalam kitab tafsir sebagai sumber data primer, kecuali penjelasan singkat yang ada kaitannya dengan musyawarah dalam Tafsir al-Mishbah: Quraish Shihab menjelaskan: kalau demikian untuk mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan ayat di atas yang sedang ditafsirkan ini: QS. 3Ali- „Imran: 159, م لرفغتسا wa istaghfir lahum. 20 19 al-Maragi, op.cit., h. 195 20 Shihab, op. cit., h. 314 Bagian keempat Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Pada bagian ini, Quriash Shihab menjelaskan dalam Tafsir al- Mishbah: Salah satu yang menjadi penekanan pokok ayat ini QS. 3Ali- „Imran: 159 adalah perintah melakukan musyawarah. Ini penting karena petaka yang terjadi di Uhud didahului oleh musyawarah serta disetujui oleh mayoritas. Kendati demikian, hasilnya telah diketahui, adalah kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa musyawarah tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul Saw. Nah, karena itu, ayat ini dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah. Kesalahan yang dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama. 21 Makna musyawarah menurut Quraish Shihab: Kata musyawarah terambil dari kata ر ش syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambildikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Kata musyawarah, pada dasarnya, hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas. 22 Terkait رمأا ىِف fi al-amr dalam urusan itu dalam QS. 3Ali-„Imran: 159, para ulama berbeda pendapat tentang hal apa saja yang harus dimusyawarahkan. Sebagian ulama berpendapat, berdasarkan asbab al-nuzul, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa perang Uhud, maka wilayah yang dimusyawarahkan adalah sebatas urusan perang. Dalam hal ini menurut Quraish Shihab, bahwa pandangan ini tidak didukung praktik Nabi Saw., bahkan tidak sejalan dengan sekian ayat al- Qur‟an. Terdapat dua ayat 21 Ibid.., h. 312 22 Ibid. lain yang menggunakan akar kata musyawarah, yaitu QS. 2Al-Baqarah: 233, 23 dan QS. 42Asy- Syūrā: 38 24 . QS. 2Al-Baqarah: 233 membicarakan bagaimana seharusnya suami- istri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti soal menyapih anak. Di sana, Allah memberi petunjuk agar persoalan itu dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami-istri. 25 QS. 42Asy- Syūrā: 38 menjanjikan bagi orang mukmin ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Orang-orang mukmin dimaksud memiliki sifat-sifat, antara lain adalah م ي ر ش مهرمأ amruhum syūrā bainahumurusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka. 26 Dengan demikian, Quraish Shihab menyimpulkan: Lapangan musyawarah adalah: persoalan-persoalan kemasyarakatan, seperti dipahami dari QS. 42Asy- Syūrā: 38 di atas. Para sahabat Nabi saw. menyadari benar hal ini hingga mereka tidak mengajukan saran menyangkut hal-hal yang telah mereka ketahui adanya petunjuk Ilahi. Ketika Nabi saw. memilih satu lokasi, untuk pasukan kaum muslimin dalam perang Badar, sahabat beliau, al- Khubbab Ibn al- Mundzir, terlebih dahulu bertanya: “Apakah ini tempat yang diperintahkan Allah kepadamu untuk engkau tempati atau pilihan ini adalah pilihanmu berdasarkan strategi perang dan tipu muslihat?” Ketika Nabi menjawab bahwa pilihan itu adalah pilihan berdasarkan pertimbangan beliau, barulah al-Khubbab menyarankan lokasi lain, yang ternyata disetujui oleh Nabi saw. Sebaliknya, dalam perundingan Hudaibiyah, beberapa syarat yang disetujui Nabi tidak berkenan di hati banyak sahabat beliau. „Umar Ibn Khaththab menggerutu dan menolak, “Mengapa kita harus menerima syarat- syarat ini yang merendahkan agama kita.” Demikian lebih kurang ucap „Umar, tetapi begitu Nabi saw. menyampaikan bahwa: “Aku adalah Rasul Allah.” „Umar ra. dan sahabat-sahabat lainnya terdiam 23 ... apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain... Qs. Al-Baqarah [2]: 233 24 dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarat antara mereka; ... QS. 42Asy- Syūrā: 38 25 Shihab. op. cit., h. 315 26 Ibid. dan menerima putusan Rasul saw. itu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah swt. secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Rasul saw., persoalan itu tidak termasuk lagi yang dapat dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan dalam hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya serta soal-soal kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun yang tanpa petunjuk dan yang mengalami perubahan. 27 Para fuqaha ahli fiqih berbeda pendapat, apakah musyawarah itu suatu hal yang wajib bagi Nabi Muhammad, atau sunnah dalam rangka menarik hati para sahabat? Dalam hal ini terdapat hadis Nabi dari Abu Hurairah bahwa beliau pernah bersabda: تؤم ر ش تس لا “Orang yang diajak bermusyawarah itu adalah orang yang dapat dipercaya. Demikian munurut Tafsir Ibnu Katsir. 28 Dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an, dinyatakan: De ngan nash yang tegas ini, “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ” QS. 3Ali-„Imran: 159, Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan, hingga Muhammad Rasulullah SAW. sendiri melakukannya. Ini adalah nash yang pasti dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa syura merupakan mabda’ asasi „prinsip dasar‟ dimana nizham Islam tidak ditegakkan di atas prinsip lain. Adapun bentuk syura beserta implementasinya, adalah persoalan teknis yang dapat berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku di kalangan umat dan kondisi yang melingkupi kehidupannya. Maka semua bentuk dan cara yang dapat merealisasikan syura, bukan sekadar simbol lahiriahnya saja, adalah dari Islam. 29 “Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu” dalam Tafsir Al-Maragi, uraiannya tidak jauh berbeda dengan Tafsir al-Mishbah, Tafsir Ibnu Katsir Lub ābu at-tafsīr min Ibn Katsīr, dan Tafsir Fi Zilalil Qur’an. Point yang dapat diangkat di sini adalah musyawarah mengandung banyak sekali manfaat, di antaranya: 27 Ibid., h. 315-316 28 Aal asy-Syeikh, op. cit., h. 175 29 Quthb, op. cit., h. 193 1. Melalui musywarah dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum. 2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan pikirannya pun berbeda-beda. Sebab kemungkinan ada di antara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, termasuk para pembesar sekalipun. 3. Semua pendapat di dalam musyawarah, diuji kemampuannya. Setelah itu diuji pendapat yang paling baik. 4. Di dalam musyawarah akan tampak bertautnya hati untuk menyukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu memang sangat diperlukan untuk suksesnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu berjamaah lebih afdal di dalam salat-salat fardu. Salat berjamaah lebih afdal dari pada salat sendirian, dengan perbedaan dua puluh tujuh derajat. Telah dinyatakan oleh Al-Hasan ra. bahwa Allah SWT, sebenarnya telah mengetahui bahwa Nabi saw. sendiri tidak membutuhkan mereka para sahabat dalam masalah ini. Tetapi beliau bermaksud membuat suatu sunnah untuk orang-orang sesudah beliau. 30 Bagian kelima kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang bertawakkal kepada-Nya. Pesan terakhir Ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu لع لك تف تمزعاذإف ه fa idzā ‘azamta fatawakkal ‘alā Allah apabila telah bulat tekad, [laksanakanlah] dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya. Inilah uraian singkat Quraish Shihab dalam tafsirnya. 31 Bagian akhir dari QS.3Ali-Imran: 159, menurut Tafsir Ibnu Katsir, bermakna, jika kamu telah mengajak mereka bermusyawarah mengenai suatu masalah, lalu kamu telah benar-benar bulat terhadap keputusan yang dihasilkan, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. 32 30 al-Maragi, op. cit., h. 197 31 Shihab, op. cit., h. 314 32 Aal asy-Syeikh, op. cit., h. 175 Dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an dinyatakan: Ketika ada kesempatan, Rasulullah SAW. tidak tergerak hatinya untuk surut kembali. Karena beliau ingin memberikan pelajaran secara tuntas kepada mereka, pelajaran tentang syura musyawarah, kemudian tekad dan pelaksanaan, disertai dengan tawakkal dan menyerah kepada kadar-Nya. Juga hendak mengajarkan kepada mereka bahwa syura itu ada waktunya, dan sesudah itu tidak boleh ada keragu-raguan dan kebimbangan, untuk menimbang-nimbang dan mengkaji ulang, serta membolak-balik pikiran. Karena semua itu cenderung membawa kepada kelumpuhan, kepastian, dan kegoyahan yang tidak ada kesudahannya. Yang ada hanyalah pemikiran dan bermusyawarah, tekad dan pelaksanaan, serta tawakkal kepada Allah, suatu sikap yang dicintai oleh Allah. Dengan demikian, tawakkal kepada Allah dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya pada akhirnya, adalah garis perimbangan terakhir dalam tashawur islami dan dalam kehidupan islami. Ini adalah hubungan dengan hakikat yang besar, yaitu hakikat bahwa kembali segala urusan adalah kepada Allah dan bahwa Allah berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya. 33 Bahwa perlu ada batasan waktu dalam melakukan musyawarah, dan jika sudah menjadi kesepakatan bersama, maka tidak boleh satu pihak pun yang meragukannya, apalagi menebarkan kebimbangan kepada peserta musyawarah. Agar kesepakatan itu menjadi tanggung jawab bersama, maka dengan kebulatan tekad, segala hal diserahkan kepada Allah. Apapun dampak yang timbul dari kesepakatan itu, harus diterima sebagai bentuk tawakkal kepada Allah. Demikian makna dari uraian Tafsir Fi Zilalil Qur’an. Tafsir Al-Maragi memaknai bagian akhir dari QS. 3Ali- „Imran: 159, bahwa: Jangan sekali-kali kalian mengandalkan kemampuan dan kekuasaan sendiri. Juga jangan terlalu yakin dengan pendapat dan perlengkapansarana yang cukup memadai. Karena semua itu tidak cukup untuk menunjang keberhasilan usaha. Selagi tidak dibarengi pertolongan dan taufiq Allah. Sebab hambatan-hambatan dan rintangan-rintangan yang menjegal jalan menuju keberhasilan sangatlah banyak dan tidak bisa diduga datangnya. Tak ada yang bisa 33 Quthb, op. cit., h. 195-196 meliputinya selain Zat Yang Maha Tahu mengenai masalah-masalah gaib. Untuk itu bertawakkal merupakan suatu keharusan, dan wajib pula menyandarkan diri pada kekuatan dan kemampuan-Nya. 34 Manusia hanya bisa berusaha dengan segenap kemampuannya. Namun demikian, tidak boleh melupakan keterbatasan diri, untuk senantiasa memohon pertolongan Allah. Ikhtiar dan memohon pertolongan kepada Allah, keduanya harus seiring-sejalan. Inilah hakikat bertawakkal kepada- Nya.

C. Analisis Kandungan QS. 3Ali- ‘Imran: 159

Guna pendalaman pemahaman sikap Nabi Muhammad Saw. sebagai tauladan bagi umatnya, maka akan diuraikan lima sikap perilaku berdasarkan telaah tafsir QS. 3Ali- „Imran: 159, sebagai berikut:

1. Lemah Lembut dan Tidak berlaku keras lagi berhati kasar

Kata engkau berlaku lemah lembut, asalnya dari kata َنَا – ِلَي ,ُنْ ًةَن يِلَو اًناَيَلَو اًن يِل l āna-yalīnu, līnan walayānan walīnatan yang berarti lunak, lemas. 35 Pada ayat yang lain terdapat kata اًّ يَل sebagaimana Allah berfirman: Wahai Musa dan Harun “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah- mudahan ia ingat dan takut.” QS. 20Thaha: 43-44 Terdapat kata lain yang memiliki makna kelembutan, yaitu al-hilm ملحلا, al-anah ةانأا, dan al-rifq قفرلا. Ketiga kata ini dapat ditemukan dalam hadis Nabi Saw.: َع ِننبا ننَعَو َملَسَو ِنيَلَع ُها ىلَص ِها ُلنوُسَر َلاَق :َلاَق ,اَمُهن َع ُها َيِضَر ساب جَشَأ َملسم اورُ ُةاَنَأناَو ُمنلِحنا :ها اَمُه بُُِ ِنَْ تَلنصَخ َكنيِف نِإ :سنيَقنلا ِدنبَع 34 al-Maragi, op. cit., h. 198 35 Ahmad Warson Munawir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pesantren Al-Munawwir Krapyak. 1984. h. 1396 Dari Ibnu ‘Abbas ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda kepada Asyaj hambanya Qais: “Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua sifat yang disukai oleh Allah, yaitu: santun al-hilm dan sabar al- anāh HR. Muslim 36 َها نِإ : َملَسَو ِنيَلَع ُها ىلَص ِها ُلوُسَر َلاَق :نتَلاَق اَهن َع ُها َيِضَر َةشِئاَع ننَعَو َ يلع قفتمُ ُلُك ِرنمَأنا ِِ َقنفّرلا بُُِ ٌقنيِفَر Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah itu lunak rafīqun dan menyukai kelunakan al-rifq pada segala hal HR. Muttafaqun „alaih 37 Dapatlah dipahami bahwa, lunak atau lemah lembut menjadi sikap para Nabi dan Rasul yang mendapat tugas untuk membimbing dan mengajarkan umat manusia berdasarkan petunjuk Allah. Artinya kelembutan merupakan bagian dari metode dakwah. Secara logika, Fir‟aun yang dosa- dosanya telah melampaui batas, hingga mengaku dirinya Tuhan, mestinya seketika dengan mudah Allah hancurkan dan binasakan sebagaimana Allah membinasakan dosa-dosa umat terdahulu. Namun Allah perintahkan kepada Musa dan Harun agar berbicara dengan perkataan yang lemah lembut ketika menghadapi Fir‟aun. Kelembutan sikap yang ditunjukkan oleh Musa dan Harun ketika berhadapan dengan Fir‟aun, terkandung beberapa hikmah, di antaranya: pertama, sebagaimana ayat tersebut, mudah- mudahan Fir‟aun dapat mengingat dan takut akan peringatan Tuhan, jika di hatinya masih melihat adanya kebenaran untuk memperoleh hidayah Allah. Kedua, Tugas para Nabi dan Rasul hanyalah menyampaikan berita gembira dan peringatan sebagaimana Firamn Allah: ﯿ Sesungguhnya Kami telah mengutusmu Muhammad dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, 36 Mushlich Shabir. Terjemah Riyadhus Shalihin. Jilid 1. Semarang: Karya Toha Putra Semarang. 2004 h. 327 37 Ibid. dan kamu tidak akan dimintai pertanggungan jawab tentang penghuni-penghuni neraka. QS. 2Al-Baqarah: 119 Ketiga, kelembutan sikap harus menjadi modal utama bagi setiap orang yang menyampaikan kebenaran, karena kebenaran tidak bisa ditegakkan dengan prilaku kasar dan berhati keras dalam tindakan atau pun ucapan. Maka hal ini membuktikan bahwa Islam tidak boleh disebarkan dengan paksaan apalagi tindakan anarkis. Keempat, jika Fir‟aun tidak menyadarinya juga, padahal ia sudah dingatkan secara baik-baik dengan sikap lemah lembut, maka inilah alasan bagi Tuhan untuk menimpakan azab kepadanya. Kelima, hanya Tuhanlah yang memiliki hak prerogatif untuk menghukummenimpakan adzab, dan hukuman Tuhan seperti bencanamalapetaka di bumi, tidak akan ditimpakan kepada seseorang atau suatu kaum, kecuali telah datang kepada mereka peringatan yang disampaikan dengan lemah lembut. Untuk itu manusia tidak memiliki kewenangan untuk menghukum, sekalipun seorang Nabi yang mendapatkan wahyu Tuhan. Dengan kelembutan, mencegah seseorang untuk berperilaku keras lagi berhati kasar, sehingga timbul pada dirinya pancaran aura kewibawaan yang memunculkan rasa simpati dari orang lain. Dengan begitu, orang lain rela mendengarkan dan menerima saran darinya.

2. Memaafkan.

Perilaku keras dan berhati kasar adalah penyakit hati walau pun jasmani tampak sehat walafiat. Perangai ini sebagai penghalang seseorang untuk melihat kebenaran. Maka memaafkan itulah obat penyakit hati. Dengan memaafkan, pelampiasan kemarahan dapat terhindarkan untuk memperoleh kembali hati yang lembut sehingga dapat melihat cahaya kebenaran di balik setiap peristiwa. Ketahuilah bahwa surga adalah balasan yang setimpal bagi setiap hati yang senantiasa memaafkan. Firman Allah: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. QS. 3Ali- „Imran: 133-134 Boleh jadi seseorang sanggup tidak menampakkan kemarahannya di depan umum, akan tetapi tidak menutup kemungkinan baginya untuk masih menyisakan kemarahan di hati yang berpotensi pada perasaan dendam. Lagi- lagi memaafkan itulah akan menghapus rasa dendam. Hilangnya rasa dendam, akan tercipta perdamaian. Inilah tangga kebajikan menuju pengharapan kasih sayang Tuhan . Terkait menahan marah, dapat dijumpai pada ayat lain dalam Al- Qur‟an tentang kisah Nabiyallah Ya‟qub as. yang kehilangan putra terkasihnya, Nabiyallah Yusuf as. Allah berfirman: Dan Yaqub berpaling dari mereka anak-anaknya seraya berkata: Aduhai duka citaku terhadap Yusuf, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya terhadap anak-anaknya. QS. 12Yusuf: 84 Betapa pentingnya Allah mengajarkan kepada umat manusia melalui Rasul-Nya agar senantiasa menahan marah dan sanggup memaafkan, sekalipun terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berlaku dzalim, karena kesanggupan memaafkan guna memperbaiki hubungan sosial adalah kebajikan yang dicintai Allah. tetapi karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu, mereka suka merobah Perkataan Allah dari tempat-tempatnya, 38 dan mereka sengaja melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu Muhammad senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka yang tidak berkhianat, maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. QS. 5Al-Maidah: 13 Kalau pun ada hak manusia untuk menghukum, itu semata-mata melaksanakan perintah Tuhan, seperti hukuman qishash 39 oleh lembaga yang diberikan wewenang, bukan dilakukan oleh setiap individu yang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi karena rasa dendam di hati. Bahkan, masih ada peluang untuk memaafkan dari pihak korban, bila hendak memenuhi anjuran Tuhan. Sebagaimana firman Allah: 38 Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi. Lihat Al- Qur’an dan Terjemahannya terbitan Khadim al-Haramain asy-Syarifain Pelayan kedua Tanah Suci Raja Fahd ibn „Abd al‟Aziz, dan telah mendapatkan Tanda Tashih dari Departemen Agama RI pada 3 Sya‟ban 1410 H28 Februari 1990. h. 160 39 Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat ganti rugi yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, bila ahli waris si korban, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat karena balas dendam, maka terhadapnya di dunia diberlakukan qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Lihat Al- Qur’an dan Terjemahannya, ... h. 43