Analisis Komparatif Tafsir QS. 3Ali’Imran: 159
membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi beliau itu senantiasa memberikan maaf.”
14
Inilah gambaran, betapa agung akhlak Rasulullah Saw. mampu menunjukkan sikap kelembutan terhadap umatnya, padahal secara logika,
kesalahan yang mereka perbuat, pantas mendapatkan hukuman, karena mereka sudah memaksakan kehendak kepada Rasulullah untuk keluar
menghadapi musuh di luar kota Madinah. Akibatnya, Rasulullah menanggung penderitaan dan kekalahan dalam perang Uhud. Nampaknya mereka tidak lagi
menghargai pendapat Rasulullah yang bersumber dari wahyu melalui mimpi beliau. Oleh karenanya, penggalan bagian pertama ayat 159 Surat Ali-
„Imran, menegaskan keagungan akhlak Rasulullah Saw. Tafsir al-Mishbah dan Tafsir Ibnu Katsir, menyelaraskan penggalan
bagian pertama ayat tersebut sesuai dengan firman-Nya dalam ayat yang lain:
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan
dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. QS. 9At-Taubah: 128.
Selanjutnya, terhadap penggalan bagian pertama ayat 159 Surat Ali- „Imran, dapat dibaca pula dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an:
Inilah rahmat Allah yang meliputi Rasulullah dan meliputi mereka, yang menjadikan beliau SAW., begitu penyayang dan lemah
lembut kepada mereka. Seandainya beliau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya hati orang-orang di sekitar beliau tidak akan tertarik
kepada beliau, dan perasaan mereka tidak akan tertambat pada beliau. Manusia itu senantiasa memerlukan naungan yang penuh kasih
sayang, pemeliharaan yang optimal, wajah yang ceria dan peramah, cinta dan kasih sayang, dan jiwa kepenyantunan yang tidak menjadi
sempit karena kebodohan, kelemahan dan kekurangan mereka. Mereka memerlukan hati yang agung, yang suka memberi kepada
14
Aal asy-Syeikh. op. cit., h. 173-174
mereka dan tidak membutuhkan pemberian dari mereka; yang mau memikul duka derita mereka dan tidak menginginkan duka derita
mereka dipikul mereka; dan yang senantiasa mereka dapatkan padanya kepedulian, perhatian, pemeliharaan, kelemahlembutan,
kelapangan dada, cinta kasih dan kerelaan.
15
Antara Tafsir al-Mishbah, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, walaupun menggunakan redaksi yang berbeda dalam menguraikan
kandungan ayat tersebut, namun secara substansi memiliki pandangan yang sama tentang keagungan akhlak Rasulullah Saw., dimana beliau senantiasa
bersikap lemah lembut terhadap sebagian umatnya yang telah melakukan kesalahan. Inilah kepribadian yang agung, semata-mata merupakan rahmat
dari Allah. Al-Maragi menguraikan tafsirnya terhadap penggalan ini bagian
pertama dari ayat 159 Surat Ali- „Imran:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sesungguhnya memang telah ada di antara para sahabatmu orang-orang yang berhak mendapatkan celaan dan
perlakuan keras, ditinjau dari karakter manusia. Sebab mereka telah melakukan
kesalahan yang
berakibat kekalahan,
sedangkan peperangan itu dilakukan oleh semuanya. Tetapi sekalipun demikian,
engkau Muhammad tetap bersikap lemah lembut terhadap mereka, dan engkau perlakukan mereka dengan baik. Semua itu berkat rahmat
yang diturunkan Allah ke dalam hatimu, dan Allah mengkhususkan hal itu hanya untukmu. Karena Allah telah membekalimu dengan
akhlak-akhlak Al-
Qur‟an, yang luhur, di samping hikmah-hikmah- Nya yang agung. Dengan demikian, musibah-musibah yang engkau
alami sangat mudah dan enteng dirasakan.
16
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu Andaikata engkau
Muhammad bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka kaum muslimin, niscaya mereka akan bercerai bubar
meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu. Sehingga engkau tidak bisa menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke
jalan yang lurus. Hal itu karena maksud dan tujuan utama diutusnya para rasul ialah untuk menyampaikan syariat-syariat Allah kepada
umat manusia. Hal itu jelas tidak akan tercapai selain mereka
15
Quthb. op. cit., h. 193
16
al-Maragi. op. cit., h. 193-194
bersimpati kepada para rasul, dan jiwa mereka merasa tenang dengan para rasul. Semua itu akan terwujud jika sang rasul bersikap pemurah
dan mulia, melupakan semua dosa yang dilakukan oleh seseorang, serta memaafkan kesalahan-kesalahannya. Rasul haruslah bersifat
lemah lembut terhadap orang yang berbuat dosa, membimbingnya ke arah kebaikan, bersikap belas kasih, lantaran ia sangat membutuhkan
bimbingan dan hidayah.
17
Selain QS. 9At-Taubah: 128, sebagaimana yang dinyatakan dalam Tafsir al-Mishbah dan Tafsir Ibnu Katsir tentang keagungan akhlak
Rasulullah, al-Maragi memandang penggalan bagian pertama ayat 159 Surat Ali-
„Imran, sesuai dengan Firman-Nya dalam ayat yang lain:
dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung QS. 68Al-Qalam: 4
Bagian Kedua
karena itu maafkanlah mereka, Berkat rahmat Allah, Nabi Muhammad Saw. bersikap lemah lembut,
maka beliau diperintahkan oleh Allah untuk memaafkan sebagian sahabat karena kesalahan mereka yang telah memaksa Nabi keluar dari kota Madinah
untuk menghadapi musuh, dan hasil yang diperoleh adalah kekalahan, sehingga Rasulullah menanggung penderitaan fisik. Oleh karenanya,
memaafkan kesalahan orang lain tidak akan terwujud, jika masih berperangai kasar dan berhati keras.
Quraish Shihab mengungkapkan, bahwa “maaf” secara harfiah berarti “menghapus”. Jadi memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat
perlakuan orang lain yang dinilai tidak wajar.
18
Terkait dengan kelanjutan bagian kedua dari ayat 159 Surat Ali- „Imran, al-Maragi menjelaskan:
17
Ibid., h. 195
18
Shihab, op. cit., h. 313
Hal itu jelas tidak akan tercapai selain mereka bersimpati kepada para rasul, dan jiwa mereka merasa tenang dengan para rasul. Semua
itu akan terwujud jika sang rasul bersikap pemurah dan mulia, melupakan semua dosa yang dilakukan oleh seseorang, serta
memaafkan kesalahan-kesalahannya. Rasul haruslah bersifat lemah lembut terhadap orang yang berbuat dosa, membimbingnya ke arah
kebaikan, bersikap belas kasih, lantaran ia sangat membutuhkan bimbingan dan hidayah.
19
Berbeda dengan Tafsir al-Mishbah dan Tafsir al-Maragi, penjelasan untuk bagian kedua ini tentang
“karena itu maafkanlah mereka”, peneliti tidak menemukan urainnya dalam
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, padahal uraiannya panjang-lebar dan bertele-tela, termasuk dalam Tafsir Ibnu Katsir
yang penjelasannya juga cukup panjang.
Bagian ketiga
Dan mohonkanlah ampunan bagi mereka, Berdoa, memohon ampunan Allah bagi mereka yang bersalah,
merupakan bukti nyata bagi hati yang lembut dan telah memaafkan kesalahan orang lain. Pada bagian ketiga ini, juga tidak ditemukan penjelasannya di
dalam kitab tafsir sebagai sumber data primer, kecuali penjelasan singkat yang ada kaitannya dengan musyawarah dalam Tafsir al-Mishbah:
Quraish Shihab menjelaskan: kalau demikian untuk mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis,
itu sebabnya hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh
pesan ayat di atas yang sedang ditafsirkan ini: QS. 3Ali- „Imran: 159,
م لرفغتسا
wa istaghfir lahum.
20
19
al-Maragi, op.cit., h. 195
20
Shihab, op. cit., h. 314
Bagian keempat
Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Pada bagian ini, Quriash Shihab menjelaskan dalam Tafsir al-
Mishbah: Salah satu yang menjadi penekanan pokok ayat ini QS. 3Ali-
„Imran: 159 adalah perintah melakukan musyawarah. Ini penting karena petaka yang terjadi di Uhud didahului oleh musyawarah serta
disetujui oleh mayoritas. Kendati demikian, hasilnya telah diketahui, adalah kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk
berkesimpulan bahwa musyawarah tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul Saw. Nah, karena itu, ayat ini dipahami sebagai pesan untuk
melakukan
musyawarah. Kesalahan
yang dilakukan
setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa
musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama.
21
Makna musyawarah menurut Quraish Shihab: Kata musyawarah terambil dari kata
ر ش
syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini
kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambildikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Kata
musyawarah, pada dasarnya, hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas.
22
Terkait رمأا ىِف fi al-amr dalam urusan itu dalam QS. 3Ali-„Imran:
159, para ulama berbeda pendapat tentang hal apa saja yang harus dimusyawarahkan. Sebagian ulama berpendapat, berdasarkan asbab al-nuzul,
bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa perang Uhud, maka wilayah yang dimusyawarahkan adalah sebatas urusan perang. Dalam hal ini
menurut Quraish Shihab, bahwa pandangan ini tidak didukung praktik Nabi Saw., bahkan tidak sejalan dengan sekian ayat al-
Qur‟an. Terdapat dua ayat
21
Ibid.., h. 312
22
Ibid.
lain yang menggunakan akar kata musyawarah, yaitu QS. 2Al-Baqarah: 233,
23
dan QS. 42Asy- Syūrā: 38
24
. QS. 2Al-Baqarah: 233 membicarakan bagaimana seharusnya suami-
istri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti soal menyapih anak. Di sana, Allah memberi petunjuk agar
persoalan itu dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami-istri.
25
QS. 42Asy- Syūrā: 38 menjanjikan bagi orang mukmin ganjaran yang
lebih baik dan kekal di sisi Allah. Orang-orang mukmin dimaksud memiliki sifat-sifat, antara lain adalah
م ي ر ش مهرمأ amruhum syūrā
bainahumurusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka.
26
Dengan demikian, Quraish Shihab menyimpulkan: Lapangan
musyawarah adalah:
persoalan-persoalan kemasyarakatan, seperti dipahami dari QS. 42Asy-
Syūrā: 38 di atas. Para sahabat Nabi saw. menyadari benar hal ini hingga mereka tidak
mengajukan saran menyangkut hal-hal yang telah mereka ketahui adanya petunjuk Ilahi. Ketika Nabi saw. memilih satu lokasi, untuk
pasukan kaum muslimin dalam perang Badar, sahabat beliau, al- Khubbab Ibn al-
Mundzir, terlebih dahulu bertanya: “Apakah ini tempat yang diperintahkan Allah kepadamu untuk engkau tempati atau
pilihan ini adalah pilihanmu berdasarkan strategi perang dan tipu muslihat?” Ketika Nabi menjawab bahwa pilihan itu adalah pilihan
berdasarkan pertimbangan beliau, barulah al-Khubbab menyarankan lokasi lain, yang ternyata disetujui oleh Nabi saw. Sebaliknya, dalam
perundingan Hudaibiyah, beberapa syarat yang disetujui Nabi tidak berkenan di hati banyak sahabat beliau. „Umar Ibn Khaththab
menggerutu dan menolak, “Mengapa kita harus menerima syarat- syarat ini yang merendahkan agama kita.” Demikian lebih kurang
ucap „Umar, tetapi begitu Nabi saw. menyampaikan bahwa: “Aku adalah Rasul Allah.” „Umar ra. dan sahabat-sahabat lainnya terdiam
23
... apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain... Qs. Al-Baqarah [2]: 233
24
dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarat antara mereka; ... QS. 42Asy- Syūrā: 38
25
Shihab. op. cit., h. 315
26
Ibid.
dan menerima putusan Rasul saw. itu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah swt.
secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Rasul saw., persoalan itu tidak termasuk lagi yang dapat dimusyawarahkan.
Musyawarah hanya dilakukan dalam hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya serta soal-soal kehidupan duniawi, baik yang
petunjuknya bersifat global maupun yang tanpa petunjuk dan yang mengalami perubahan.
27
Para fuqaha ahli fiqih berbeda pendapat, apakah musyawarah itu suatu hal yang wajib bagi Nabi Muhammad, atau sunnah dalam rangka
menarik hati para sahabat? Dalam hal ini terdapat hadis Nabi dari Abu Hurairah bahwa beliau pernah bersabda:
تؤم ر ش تس لا “Orang yang diajak bermusyawarah itu adalah orang yang dapat dipercaya. Demikian munurut
Tafsir Ibnu Katsir.
28
Dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an, dinyatakan:
De ngan nash yang tegas ini, “dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu ” QS. 3Ali-„Imran: 159, Islam menetapkan
prinsip ini dalam sistem pemerintahan, hingga Muhammad Rasulullah SAW. sendiri melakukannya. Ini adalah nash yang pasti dan tidak
meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa syura merupakan
mabda’ asasi „prinsip dasar‟ dimana nizham Islam tidak ditegakkan di atas prinsip lain. Adapun bentuk syura beserta
implementasinya, adalah persoalan teknis yang dapat berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku di kalangan umat dan kondisi yang
melingkupi kehidupannya. Maka semua bentuk dan cara yang dapat merealisasikan syura, bukan sekadar simbol lahiriahnya saja, adalah
dari Islam.
29
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu” dalam Tafsir Al-Maragi, uraiannya tidak jauh berbeda dengan Tafsir al-Mishbah,
Tafsir Ibnu Katsir Lub ābu at-tafsīr min Ibn Katsīr, dan Tafsir Fi Zilalil
Qur’an. Point yang dapat diangkat di sini adalah musyawarah mengandung banyak sekali manfaat, di antaranya:
27
Ibid., h. 315-316
28
Aal asy-Syeikh, op. cit., h. 175
29
Quthb, op. cit., h. 193
1. Melalui musywarah dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum.
2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan pikirannya pun berbeda-beda. Sebab kemungkinan ada di antara
mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, termasuk para pembesar sekalipun.
3. Semua pendapat di dalam musyawarah, diuji kemampuannya. Setelah itu diuji pendapat yang paling baik.
4. Di dalam musyawarah akan tampak bertautnya hati untuk menyukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu
memang sangat diperlukan untuk suksesnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu berjamaah lebih afdal di dalam salat-salat
fardu. Salat berjamaah lebih afdal dari pada salat sendirian, dengan perbedaan dua puluh tujuh derajat.
Telah dinyatakan oleh Al-Hasan ra. bahwa Allah SWT, sebenarnya telah mengetahui bahwa Nabi saw. sendiri tidak
membutuhkan mereka para sahabat dalam masalah ini. Tetapi beliau bermaksud membuat suatu sunnah untuk orang-orang sesudah
beliau.
30
Bagian kelima
kemudian apabila
kamu telah
membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Pesan terakhir Ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu
لع لك تف تمزعاذإف ه
fa idzā ‘azamta fatawakkal ‘alā Allah apabila telah bulat tekad, [laksanakanlah] dan berserah dirilah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya. Inilah uraian singkat Quraish Shihab dalam tafsirnya.
31
Bagian akhir dari QS.3Ali-Imran: 159, menurut Tafsir Ibnu Katsir, bermakna, jika kamu telah mengajak mereka bermusyawarah mengenai suatu
masalah, lalu kamu telah benar-benar bulat terhadap keputusan yang dihasilkan, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
32
30
al-Maragi, op. cit., h. 197
31
Shihab, op. cit., h. 314
32
Aal asy-Syeikh, op. cit., h. 175
Dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an dinyatakan:
Ketika ada kesempatan, Rasulullah SAW. tidak tergerak hatinya untuk surut kembali. Karena beliau ingin memberikan pelajaran secara
tuntas kepada mereka, pelajaran tentang syura musyawarah, kemudian tekad dan pelaksanaan, disertai dengan tawakkal dan
menyerah kepada kadar-Nya. Juga hendak mengajarkan kepada mereka bahwa syura itu ada waktunya, dan sesudah itu tidak boleh ada
keragu-raguan dan kebimbangan, untuk menimbang-nimbang dan mengkaji ulang, serta membolak-balik pikiran. Karena semua itu
cenderung membawa kepada kelumpuhan, kepastian, dan kegoyahan yang tidak ada kesudahannya. Yang ada hanyalah pemikiran dan
bermusyawarah, tekad dan pelaksanaan, serta tawakkal kepada Allah, suatu sikap yang dicintai oleh Allah.
Dengan demikian, tawakkal kepada Allah dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya pada akhirnya, adalah garis perimbangan
terakhir dalam tashawur islami dan dalam kehidupan islami. Ini adalah hubungan dengan hakikat yang besar, yaitu hakikat bahwa
kembali segala urusan adalah kepada Allah dan bahwa Allah berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya.
33
Bahwa perlu ada batasan waktu dalam melakukan musyawarah, dan jika sudah menjadi kesepakatan bersama, maka tidak boleh satu pihak pun
yang meragukannya, apalagi menebarkan kebimbangan kepada peserta musyawarah. Agar kesepakatan itu menjadi tanggung jawab bersama, maka
dengan kebulatan tekad, segala hal diserahkan kepada Allah. Apapun dampak yang timbul dari kesepakatan itu, harus diterima sebagai bentuk tawakkal
kepada Allah. Demikian makna dari uraian Tafsir Fi Zilalil Qur’an.
Tafsir Al-Maragi memaknai bagian akhir dari QS. 3Ali- „Imran: 159,
bahwa: Jangan sekali-kali kalian mengandalkan kemampuan dan
kekuasaan sendiri. Juga jangan terlalu yakin dengan pendapat dan perlengkapansarana yang cukup memadai. Karena semua itu tidak
cukup untuk menunjang keberhasilan usaha. Selagi tidak dibarengi pertolongan dan taufiq Allah. Sebab hambatan-hambatan dan
rintangan-rintangan yang menjegal jalan menuju keberhasilan sangatlah banyak dan tidak bisa diduga datangnya. Tak ada yang bisa
33
Quthb, op. cit., h. 195-196
meliputinya selain Zat Yang Maha Tahu mengenai masalah-masalah gaib. Untuk itu bertawakkal merupakan suatu keharusan, dan wajib
pula menyandarkan diri pada kekuatan dan kemampuan-Nya.
34
Manusia hanya bisa berusaha dengan segenap kemampuannya. Namun demikian, tidak boleh melupakan keterbatasan diri, untuk senantiasa
memohon pertolongan Allah. Ikhtiar dan memohon pertolongan kepada Allah, keduanya harus seiring-sejalan. Inilah hakikat bertawakkal kepada-
Nya.