Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
DI KECAMATAN NIPAH PANJANG
KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR JAMBI

HAIKAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Pengelolaan
Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Jambi adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis
ini.

Bogor, September 2008


Haikal
NRP C251050141

ABSTRACT
HAIKAL, Mangrove Ecosystem Management in Nipah Panjang District Tanjung
Jabung Regency, Province of Jambi. Supervised by KIAGUS ABDUL AZIZ and
ARIO DAMAR.
Nipah Panjang District as one of the coastal zone in the east coast of Jambi
with mangrove resource that supported the live of society near by, this day faced
on the problems of over exploitation rate for various use such as pallet stake and
firewood.
Research about mangrove ecosystem on District of Nipah Panjang aim to
know the condition of mangrove ecosystem and also to find an alternative for
mangrove ecosystem management in this region.
This research took place in mangrove ecosystem of Nipah Panjang District.
The research were done about two month, from May until July 2007. Primary data
were obtained through sampling, field observation, and respondent information.
Secondary data were obtained from study of bibliography and from related
institution. The extent, potency and condition of mangrove ecosystem in Nipah

Panjang District was estimated using geographic information system (GIS)
method and biophysics analysis for vegetation structure. The amount use of pallet
stake and firewood utilitation was estimate by counting the intake frequency for
the use for a year.
The survey and measurement result in the field showed that the extent of
mangrove area in Nipah Panjang District 337 ha. Mangrove ecosystem in this
region had seriously damage with density was 317,50 individual/ha. The pallet
steak and firewood by the society reach (50.600-63.200 log/year), with detail
utilitation was pallet steak was (21.600-29.300 log/year) and firewood was
(29.000-33.900 log/year). The height utilitation of pallet steak and firewood
cause the degradation of the mangrove ecosystem area in the coastal zone of
Nipah Panjang District, with degradation rate are 20 % per year.
Management strategy which can be done in mangrove ecosystem
management in Nipah Panjang District are; Limited the woods taken from the
mangrove forest with allowing number of pallet stake are 5.341 log/year,
equivalent to number of firewood was 16.209 log/year.

Keyword: Nipah Panjang, mangrove ecosystem, management.

RINGKASAN

HAIKAL, Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah Panjang
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Dibimbing oleh KIAGUS
ABDUL AZIZ dan ARIO DAMAR.
Kecamatan Nipah Panjang sebagai salah satu wilayah pesisir pantai timur
Jambi dengan sumberdaya mangrove yang mendukung kehidupan masyarakat
sekitar, dewasa ini dihadapkan pada masalah tingkat eksploitasi berlebihan untuk
berbagai keperluan seperti pengambilan cerucuk dan kayu bakar.
Penelitian tentang pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah
Panjang bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove serta mencari
alternatif pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah Kecamatan Nipah Panjang
ini.
Penelitian ini bertempat di ekosistem mangrove Kecamatan Nipah Panjang,
penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih dua bulan, mulai dari bulan Mei
sampai dengan bulan Juli 2007. Data primer diperoleh melalui penarikan contoh,
observasi lapangan, serta pengumpulan informasi dari responden. Data sekunder
diperoleh dari studi kepustakaan dan dinas atau instansi terkait. Untuk mengetahui
luas, potensi dan kondisi ekosistem mangrove yang terdapat di Kecamatan Nipah
panjang digunakan metode sistem informasi geografis (SIG), dan analisis biofisik
untuk struktur vegetasi. Untuk mengetahui jumlah pemanfaatan cerucuk dan kayu
dilakukan dengan menghitung frekuensi pengambilan mangrove untuk cerucuk

dan kayu bakar selama 1 tahun.
Hasil survei dan pengukuran di lapangan menunjukan luas ekosistem
mangrove di Kecamatan Nipah Panjang yang tersisa saat ini adalah 337 ha.
Ekosistem mangrove di wilayah ini mengalami kerusakan yang sangat berat
dengan kerapatan 317,50 individu/ha. Pemanfaatan cerucuk dan kayu bakar oleh
masyarakat mencapai (50.600-63.200 batang/tahun), dengan rincian cerucuk
mencapai (21.600-29.300 batang/tahun) dan kayu bakar (29.000-33.900
batang/tahun). Tingginya jumlah pemanfaatan cerucuk dan kayu bakar ini
berakibat pada penurunan luas ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kecamatan
Nipah Panjang, dengan laju penurunan mencapai 20 % per tahun.
Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove di Kecamatan Nipah Panjang antara lain; membatasi jumlah
pengambilan kayu dari hutan mangrove dengan jumlah cerucuk yang boleh
diambil adalah 5.341 batang/tahun, setara dengan kayu bakar sebanyak 16.209
batang/tahun.
Kata Kunci: Nipah Panjang, ekosistem mangrove, pengelolaan.

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
DI KECAMATAN NIPAH PANJANG
KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR JAMBI

HAIKAL

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

Judul Tesis

: Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah
Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi

Nama

: Haikal

NRP

: C251050141

Disetujui
Komisi Pembimbing


Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc
Ketua

Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Tanggal Ujian : 15 Agustus 2008

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji syukur hanya kepada Allah SWT karena atas segala karuniaNya,
penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul dari penelitian ini adalah Pengelolaan
Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Jambi.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc dan Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing, atas semua pengorbanannya baik
waktu, tenaga, pikiran, petunjuk serta pengarahan dan dorongan semangat dari
awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Ayahanda H. Jamaluddin, Ibunda Hj. Rohana, Kakanda Yeni Novita, S.Ag
dan Emilda, S.Pd serta Adinda Elvira atas kasih sayang, doa dan dukungan
semangat maupun materi pada penulis selama studi.
3. Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jambi yang telah memberikan bantuan
dana pendidikan kepada penulis.
4. Dinas Kelautan dan Perikanan dan Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam
Provinsi Jambi yang telah banyak membantu dalam penyediaan dan informasi
data dalam penelitian ini.

5. Keluarga besar Program Studi SPL IPB dan khususnya teman-teman SPL
Angkatan XII, Ibuk Ida, Bang Rusman, Uda Indra, Mas Hari, Faiz, Dinan,
Ucup, Angga, Evi, dan Widhi atas dukungan, bantuan, dan doa selama studi
dan penulisan tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, September 2008

Haikal

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Pauh Mudik, Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi, pada tanggal 10 Juli 1982 dari ayah H. Jamaluddin dan Ibu Hj. Rohana.
Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1994 di SD Negeri 4
Tanjung Pauh Mudik, SLTP Negeri 3 Keliling Danau pada tahun 1997, SMU
Negeri 2 Sungai Penuh pada tahun 2000. Pada Tahun 2004, penulis berhasil
menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Bung
Hatta Padang. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi pada Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................

xiii

PENDAHULUAN ....................................................................................


1

Latar Belakang ....................................................................................
Perumusan Masalah.............................................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................

1
2
3

TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
Terminologi Ekosistem Mangrove ......................................................
Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove...........................................
Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove ............................
Adaptasi Pohon Mangrove ..................................................................
Keterkaitan Masyarakat dengan Ekosistem Mangrove.........................
Karakteristik Ekosistem Mangrove Pantai Timur Jambi ......................
Karakteristik Masyarakat Pesisir Tanjung Jabung Timur Jambi...........
Pengelolaan Ekosistem Mangrove.......................................................
Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan ...............................
Sistem Informasi Geografis.................................................................

4
4
5
8
9
10
11
11
12
16
17

KERANGKA PEMIKIRAN .....................................................................

19

METODE PENELITIAN..........................................................................

21

Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................
Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh ..............................
Pengumpulan Data........................................................................
Penarikan Contoh..........................................................................
Penarikan Contoh Vegetasi ...........................................................
Penarikan Contoh Jumlah Pengambilan Cerucuk dan
Kayu Bakar...................................................................................
Analisis Data ......................................................................................
Data Luas Ekosistem Mangrove....................................................
Data Ekologi (Struktur Komunitas Mangrove) ..............................
Data Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar.................................
Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove
di Kecamatan Nipah Panjang ........................................................

21
21
21
22
22

HASIL......................................................................................................
Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Nipah Panjang........................
Batas Administrasi Kecamatan Nipah Panjang ..............................
Topografi, Hidrologi dan Iklim .....................................................

28
28
28
28

ix

23
24
24
24
26
27

Aksesibilitas .................................................................................
Kondisi Ekonomi Masyarakat .......................................................
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat ...............................................
Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan..........................................
Pertanian dan Perkebunan .............................................................
Perikanan......................................................................................
Pengelolaan Ekosistem Mangrove
di Kecamatan Nipah Panjang Saat Ini ...........................................
Kondisi Ekosistem Mangrove Kecamatan Nipah Panjang ...................
Luas Ekosistem Mangrove Kecamatan Nipah Panjang..................
Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove
Kecamatan Nipah Panjang ............................................................
Kerapatan dan Kerapatan Relatif Jenis Mangrove .........................
Frekuensi dan Frekuensi Relatif Jenis Mangrove...........................
Penutupan dan Penutupan Relatif Jenis Mangrove ........................
Indeks Nilai Penting .....................................................................
Jumlah Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar .............................
Keanekaragaman Fauna ................................................................
Kondisi Fisik Ekosistem Mangrove.....................................................
Suhu .............................................................................................
Salinitas ........................................................................................
Derajat Keasaman (pH).................................................................
Jenis Tanah...................................................................................

28
29
29
30
31
31
31
33
33
33
35
36
37
38
39
39
40
40
41
42
42

PEMBAHASAN.......................................................................................

43

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
Kesimpulan...................................................................................
Saran ............................................................................................

53
53
53

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

55

LAMPIRAN .............................................................................................

60

x

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Jenis vegetasi mangrove yang terdapat
di Kecamatan Nipah Panjang ...........................................................

33

2. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove
pada setiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ............................

35

3. Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis mangrove
pada setiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ............................

36

4. Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis......................................

37

5. Indeks nilai penting komunitas mangrove ........................................

38

6. Jenis-jenis fauna yang ditemukan di ekosistem mangrove
Kecamatan Nipah Panjang ...............................................................

40

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar
1.

Halaman
Diagaram alir pendekatan pengelolaan ekosistem
mangrove di Kecamatan Nipah Panjang ......................................

20

2.

Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh ................

21

3.

Skema penempatan petak contoh .................................................

23

4.

Peta penyebaran mangrove di Kecamatan
Nipah Panjang tahun 1989 dan 2005 ...........................................

34

Kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon
pada setiap jalur pengamatan .......................................................

35

Frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon
pada setiap jalur pengamatan .......................................................

37

Penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon
pada setiap jalur pengamatan .......................................................

38

Indeks nilai penting komunitas mangrove tingkat pohon
pada setiap jalur pengamatan .......................................................

39

Sebaran suhu pada setiap jalur pengamatan .................................

41

10. Sebaran salinitas pada setiap jalur pengamatan ............................

41

11. Sebaran pH pada setiap jalur pengamatan....................................

42

5.

6.

7.

8.

9.

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Halaman

1.

Data vegetasi pada setiap jalur pengamatan..................................

60

2.

Perhitungan kerapatan dan kerapatan relatif .................................

81

3.

Perhitungan frekuensi dan frekuensi relatif...................................

82

4.

Perhitungan penutupan dan penutupan relatif ...............................

83

5.

Perhitungan indeks nilai penting...................................................

94

6.

Jumlah pengambilan cerucuk .......................................................

95

7.

Jumlah pengambilan kayu bakar...................................................

97

8.

Laju penurunan luas hutan mangrove
Kecamatan Nipah Panjang............................................................

100

Jenis satwa liar yang sering dijumpai
di pantai timur Jambi....................................................................

101

10. Jenis burung di Kabupaten Tanjung Jabung Timur .......................

102

11. Kayu yang boleh diambil ............................................................

104

12. Waktu yang diperlukan untuk penambahan
luas hutan seperti tahun 1989.......................................................

105

13. Waktu yang diperlukan untuk penambahan luas 835 ha
(pertengahan antara 337 ha dan 1447 ha)......................................

106

14. Jumlah mangrove yang harus ditanam..........................................

107

9.

xiii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan salah satu sistem ekologi yang produktif,
beragam dan kompleks. Wilayah ini berfungsi sebagai penyangga, pelindung, dan
penyaring antara daratan dan lautan, juga merupakan pemusatan penduduk
sehingga memberikan tekanan yang semakin berat terhadap ekosistem di wilayah
pesisir ini. Tekanan ini semakin berat karena kebijakan pemerintah yang belum
banyak menunjukkan kepedulian terhadap sumberdaya wilayah pesisir dan lautan.
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove dan mampu berkembang pada
daerah pasang surut, terutama pantai berlumpur seperti jenis Rhizophora,
Avicennia, Bruguiera, dan Sonneratia dimana jenis-jenis ini berasosiasi dengan
jenis lain seperti Nipah, dan tumbuhan bukan mangrove lainnya. Peranan penting
ekosistem mangrove dari sudut pandang ekologi adalah sebagai jalur hijau yang
berfungsi untuk menjaga garis pantai dari abrasi, menjadi penyangga terhadap
perembesan air laut, pengolahan limbah, sebagai daerah pemijahan, daerah
asuhan, dan daerah penyedia makanan bagi berbagai jenis ikan serta biota laut
lainnya. Ekosistem mangrove juga berperan dalam perekonomian sebagai sumber
bahan makanan dan bahan baku beberapa industri.
Hutan mangrove Pantai Timur Jambi mengalami penurunan luas yang
sangat drastis, yaitu dari 6.500 ha (SK Menteri Pertanian tahun 1981) menjadi
3.800 ha menurut hasil tata batas INTAG tahun 1996, bahkan menurut penelitian
Gunarso (1998) dalam Santosa (1999), luas hutan mangrove ini hanya tinggal
1.900 ha. Penurunan luas hutan mangrove di pantai Timur Jambi ini antara lain
disebabkan tingginya pemanfaatan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
cerucuk dan kayu bakar. Sehingga terjadinya penurunan kualitas maupun
kuantitas ekosistem mangrove yang ada di Kecamatan Nipah Panjang pada saat
ini.
Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah
Panjang berdampak pada penurunan fungsi kawasan sebagai daerah penyangga
dari gempuran ombak atau angin badai, terjadinya penurunan hasil tangkapan

2
nelayan, dan penurunan keanekaragaman flora dan fauna yang berada dalam
ekosistem tersebut. Sebagai contoh, hilangnya sebagian ekosistem mangrove di
beberapa wilayah Indonesia seperti, Pantai Utara Jawa, Aceh dan lain-lain, telah
mengalami kerusakan sampai melewati pada tingkat daya dukung lingkungan
untuk mentolerirnya, seperti ekploitasi mangrove untuk pertambakan di Pantai
Utara Jawa mengakibatkan hilangnya bibit Bandeng atau Nener yang dulunya
banyak terdapat di daerah ini. Demikian juga halnya yang terjadi di Aceh, karena
hilangnya sebagian besar mangrove yang terdapat di daerah pesisir pantai
mengakibat banyaknya korban jiwa pada waktu terjadinya tsunami, hal ini
disebabkan oleh hilangnya fungsi mangrove sebagai peredam gelombang.
Kerusakan dan kehilangan hutan mangrove di pantai Timur Jambi yang
semakin meluas, menimbulkan permasalahan lingkungan (terjadinya abrasi) yang
harus dihadapi oleh masyarakat pesisir Tanjung Jabung Timur terutama
masyarakat di Kecamatan Nipah Panjang. Sebagai langkah awal dari upaya
pemulihan dan pelestarian ekosistem mangrove agar pemanfaatannya dapat
berkelanjutan perlu dilakukan suatu kajian potensi ekosistem mangrove yang
masih tersisa.

Perumusan Masalah
Meningkatnya pertambahan penduduk dan pembangunan serta kurangnya
lapangan kerja, nampaknya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
penurunan luas hutan mangrove yang ada di Kecamatan Nipah Panjang.
Penurunan luas hutan mangrove ini sebagian besar disebabkan oleh pemanfaatan
kayu mangrove sebagai bahan bangunan (untuk pancang alas atau cerucuk), dan
sumber energi (kayu bakar).
Pemanfaatan hutan mangrove untuk cerucuk ini telah berlangsung cukup
lama. Hal ini disebabkan oleh kondisi topografi Kecamatan Nipah Panjang yang
terletak di pinggir sungai dengan kondisi tanah yang berawa sehingga dalam
membangun rumah atau jembatan diawali dengan pemasangan cerucuk atau
pancang alas sebagai pondasi. Hal di atas diperparah lagi dengan belum adanya
keinginan masyarakat untuk mendatangkan jenis kayu alternatif selain mangrove
sebagai kayu pengganti cerucuk karena cerucuk yang berasal dari kayu mangrove

3
mudah didapatkan dan tahan lama. Sementara itu, kebutuhan kayu bakar yang
terus meningkat disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk di daerah ini
dan belum adanya alternatif penggganti kayu bakar selain mangrove.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah utama yang dihadapi
dalam upaya memulihkan dan menjamin kelestarian ekosistem mangrove di
Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur ini adalah masih
rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya pengelolaan
dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara lestari serta belum diterapkannya
alternatif pengelolaan ekosistem mangrove yang dapat menjamin kesinambungan
pemanfaatan kayu mangrove di wilayah pesisir ini.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang yang
mencakup luas, kerapatan jenis, frekuensi jenis, penutupan jenis, dan indeks
nilai penting jenis komunitas mangrove.
2. Mencari alternatif pengelolaan ekosistem mangrove tersebut agar terwujud
kesinambungan pemanfaatannya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi upaya
pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Kecamatan Nipah
Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi dimasa mendatang.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Terminologi Ekosistem Mangrove
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam
atau salinitas, dan kedua sebagai individu spesies. Supaya tidak rancu, komunitas
tumbuhan hutan mangrove ini juga sering diistilahkan dengan perkataan hutan
bakau, sebenarnya tumbuhan bakau merupakan salah satu dari jenis tumbuhtumbuhan yang hidup di hutan pasang surut tersebut (Supriharyono, 2000).
Mangrove adalah tipe hutan yang khas yang terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove
adalah hutan yang selalu atau secara teratur tergenang air laut, tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Komunitas ini sering pula disebut dengan hutan pantai,
hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Untuk menghindari
kekeliruan, perlu dipertegas bahwa istilah bakau hendaknya digunakan hanya
untuk jenis-jenis tumbuhan tertentu saja yakni dari marga Rhizophora. Sedangkan
istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan dalam hutan ini yang saling
berinteraksi dengan lingkungannya, baik yang bersifat biotik maupun yang
abiotik.
Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda,
namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Mangrove didefinisikan baik
sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai
kumunitas (Tomlinson, 1986). Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi
tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai tropis dan sub tropis yang terlindung
(Saenger, 1983).
Menurut Macnae (1968), kata mangrove merupakan kombinasi antara
bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove, dalam bahasa Inggris kata
mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah
jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang
menyusun komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata
mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata
mangal untuk menyatakan komunitas.

5
Menurut Bengen (2004), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi
pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang
mampu berkembang dan tumbuh pada daerah pasang surut dengan pantai
berlumpur. Soemodihardjo dan Soerianegara (1987), mendefinisikan bahwa hutan
mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada lumpur aluvial di daerah pantai dan
muara sungai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan ditumbuhi oleh
beberapa jenis pohon mangrove seperti Avicennia, Rhizophora, Ceriops,
Lumnitzera, Excoecoria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora, dan Nypa.
Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove,
meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44
jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tumbuhan tersebut, 43 jenis
(diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan hanya pada
habitat mangrove (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan di sekitar
mangrove ikutan (mangrove associate) (Noor et al., 1999).
Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam tropika yang
memiliki fungsi dan manfaat yang luas ditinjau dari aspek ekologi dan ekonomi.
Fungsi ekologi mangrove dapat dilihat dari aspek fisik, kimia, biologi (Bengen
1998). Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari
ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat
langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain; menurunkan tingkat
erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut,
menurunkan tingkat polusi (pencemaran) produksi bahan organik, sebagai sumber
makanan, sebagai daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai
jenis biota laut.
Menurut Dahuri et al. (1996), nilai pakai tidak langsung dari ekosistem
mangrove adalah dalam bentuk fungsi ekologi yang vital, termasuk pengendalian
terhadap erosi pantai, stabilisasi sedimen, perlindungan bagi terumbu karang di
dekatnya terhadap padatan-padatan tersuspensi, perlindungan bagi tata guna lahan
di wilayah pantai dari terpaan badai dan tsunami, pencegahan terhadap intrusi
garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap polusi.

6
Fungsi fisik hutan mangrove adalah sebagai peredam gelombang dan angin
badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen. Mangrove
terbukti memainkan peran penting dalam melindungi pesisir dari gempuran badai.
Fungsi perlindungan pantai dilakukan melalui sistem perakaran mangrove yang
rapat dan terpancang sebagai jangkar, dapat meredam gelombang laut, dan
mengurangi kecapatan arus sehingga pantai terhindar dari abrasi (Khazali, 2001).
Sistem perakaran mangrove juga efektif dalam menangkap dan mengendapkan
partikel-partikel tanah yang berasal dari erosi di hulu, sehingga lama-kelamaan
akan terjadi penambahan lahan baru ke arah laut. Sebagai contoh, di daerah sungai
Musi Banyuasin Sumatera Selatan ditemukan garis pantai maju sekitar 20 m/tahun
(Chambers dan Sobur, 1977). Fungsi biologi hutan mangrove adalah sebagai
sumber kesuburan perairan, tempat perkembangbiakan dan daerah asuhan
berbagai jenis biota laut, tempat bersarangnya burung-burung (khususnya burung
air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali,
2001). Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya
dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya.
Kemudian Menurut Bengen (2001), sebagai suatu ekosistem khas wilayah
pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologi penting, yakni :
1. Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, turutama yang berasal dari daun dan
dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi hewan pemakan detritus, dan
sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang
berperan dalam penyuburan perairan.
2. Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding
ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai macam biota
perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan
maupun yang hidup dilepas pantai.
3. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi,
penahan lumpur, dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air
permukaan.
Fungsi kimia hutan mangrove adalah kemampuan ekosistem ini dalam
melakukan proses kimia dan pemulihan (Self purification). Pertama, hutan

7
magrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan
organik. Kedua, hutan mangrove sebagai energi bagi lingkungan perairan
sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem
mangrove telah menjadikannya sebagai sumber energi bagi berbagai biota yang
bernaung di dalamnya, seperti ikan, udang, kepiting, burung, kera, dan biota
lainnya yang telah menjadi mata rantai makanan yang sangat kompleks, sehingga
terjadi pengalihan energi dari tingkat tropik yang lebih rendah ke tingkat tropik
yang lebih tinggi. Ketiga, hutan mangrove merupakan pensuplai bahan organik
bagi lingkungan perairan. Di dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme
sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Daun mangrove yang
gugur diuraikan menjadi partikel-partikel detritus dan menjadi sumber makanan
bagi bermacam hewan laut. Disamping itu, hutan mangrove sebagai suatu
ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap
ekosistem lain yang berada di daerah tersebut (Bengen, 1998).
Menurut Nikijuluw (1999), hutan mangrove sebagai ekosistem yang sangat
berkaitan dengan perairan laut adalah potensi alam yang belum dikelola dengan
baik. Fungsi utama mangrove adalah sebagai penyangga ekosistem pantai dari
gempuran ombak dan gelombang laut. Hutan mangrove juga memasok unsur hara
ke perairan laut yang dapat dimanfaatkan organisme laut. Dengan bentuknya yang
khas, hutan mangrove juga berfungsi sebagai daerah pemijahan dan asuhan bagi
berbagai jenis ikan.
Selanjutnya Saenger et al. (1983), menyebutkan hampir 83% dari seluruh
jenis ikan laut yang dikonsumsi manusia dijumpai di ekosistem mangrove. Selain
itu, kayu tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan
kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan
rumah tangga, obat dan minuman (Sudarmadji 2001).
Lebih lanjut Sugiarto dan Ekayanto (1996), menambahkan bahwa secara
fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran
yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak,
sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi).
Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang
angin. Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring

8
berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk
ke ekosistem mangrove (Abdullah, 1988).
Peranan hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh
ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan
kehidupan antara ekosistem laut dan daratan, kemampuannya untuk menstimulir
dan meminimalisasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan
menyerap logam berat tersebut (Salim, 1986 dalam Hilmi 1998).
Menurut Subing (1995), hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang
kehidupan manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi
misalnya untuk menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai
habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove
dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan
petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam.
Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove
Menurut Noor (1999), mangrove pada umumya tumbuh dalam 4 (empat)
zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai
berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air
tawar. Lebih jelasnya masing-masing zona diuraikan sebagai berikut :
a) Mangrove Terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada
substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi
daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata
cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.
b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang
ditemukan adalah Bruguiera gymnorrhiza, Excoecoria agallocha, Rhizophora
mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.
c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir
tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia.
Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung
dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena

9
palustris, dan Xylocarpus granatum, kearah pantai campuran komunitas
Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan.
d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di
belakang jalur hijau mangrove sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis
yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum
ditemukan pada zona ini adalah Ficus microcarpus, F. retusa, Intsia bijuga,
Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus
moluccensis.
Adaptasi Pohon Mangrove
Pada dasarnya karakteristik dari ekosistem mangrove adalah berkaitan
dengan keadaan tanah, salinitas, penggenangan air, pasang surut, dan kandungan
oksigen tanah. Adapun adaptasi dari tumbuhan mangrove terhadap habitat
tersebut tampak pada fisiologi dan komposisi struktur tumbuhan mangrove
(Istomo, 1992).
Keistimewaan lain dari ekosistem mangrove adalah resisten terhadap kadar
garam yang biasa terdapat di daerah pasang surut, baik tropis maupun sub-tropis.
Mangrove terdapat pada lingkungan dengan kadar salinitas berkisar antara
perairan payau (2-22 0/00) hingga mencapai asin (38 0/00). Hutan mangrove tidak
bergantung pada iklim, melainkan pada kondisi tanah. Berbeda dengan ekosistem
hutan tropika yang komposisi tanahnya berlapis-lapis, ekosistem mangrove hanya
mempunyai satu lapisan tanah saja (single strata). Karena adanya titik temu antara
daratan dengan lautan, maka ekosistem mangrove menjadi sangat rumit karena
terikat oleh ekosistem darat maupun ekosistem lepas pantai (Supriharyono, 2000).
Menurut Bengen (2001), hutan mangrove pada umumnya didominasi oleh
empat genera (Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, dan Bruguiera), memiliki daya
adaptasi yang khas untuk dapat hidup dan berkembang pada substrat berlumpur
yang sering bersifat asam anoksik. Daya adaptasi ini meliputi:
1. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah
Pohon mangrove memiliki sistem perakaran yang khas bertipe cakar ayam
dan penyangga. Sistem perakaran cakar ayam yang menyebar luas di permukaan
substrat, memiliki sederet cabang akar berbentuk pinsil yang tumbuh tegak lurus
di permukaan substrat. Cabang akar ini disebut pneumatofora dan berfungsi untuk

10
mengambil oksigen. Sistem perakaran penyangga tumbuh berbeda dengan sistem
perakaran cakar ayam, dimana akar-akar penyangga tumbuh dari batang pohon
menembus permukaan substrat. Pada akar penyangga ini tidak ditemukan
pneumatofora seperti pada cakar ayam, tapi mempunyai lobang-lobang kecil yang
disebut lentisel yang juga berfungsi melewatkan udara (mendapatkan oksigen).
2. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi
Kepekaan garam adalah karakteristik yang sangat penting dari lingkungan
mangrove, dan pada umumnya menyerap ion-ion Na dan Cl. Air laut mengandung
kira-kira 35 gr garam per liter, dan air tanah dalam keadaan lebih rendah dari satu
(lebih kearah negatif). Pada kenyataannya bahwa mangrove mampu tumbuh
dalam substrat dengan salinitas yang tinggi dan pada kondisi tersebut, mangrove
dapat tumbuh lebih baik (Hutchings dan Saenger, 1987). Lebih lanjut ia
berpendapat bahwa komunitas mangrove mampu mengontrol garam yang masuk
untuk mempertahankan keseimbangan air yang diterima secara fisiologis.
Berdaun tebal dan kuat yang mengandung kelenjar-kelenjar garam untuk
dapat mengekskresi garam. Mempunyai jaringan internal penyimpanan air untuk
mengatur keseimbangan garam. Daunnya memiliki struktur stomata khusus yang
berfungsi untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut
Mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk
jaringan horizontal yang lebar, disamping untuk memperkokoh pohon, akar
tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Keterkaitan Masyarakat dengan Ekosistem Mangrove
Masyarakat yang mendiami wilayah pesisir, khususnya yang berkaitan
dengan hutan mangrove secara turun-temurun telah melaksanakan berbagai
praktek pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber ekonominya, sehingga
masyarakat tersebut berusaha agar hutan tersebut tetap lestari. Masyarakat sering
kali mengembangkan cara dan sarana pengelolaan khusus terhadap sumberdaya
ini, dan seringkali mempunyai kekuasaan yang nyata terhadap sumberdaya hayati
yang lebih besar dari pemerintah (Macnae, 1968).
Interakasi antara masyarakat dengan hutan mangrove dipengaruhi oleh
pengembangan sektor ekonomi formal, subsitusi di dalam dan di luar ekosistem

11
mangrove

dan

kondisi

sosial

ekonomi.

Menurut

Ruitenbeek

(1992),

mengembangkan pembangunan ekonomi yang memperluas upah disektor
ekonomi akan menurunkan tingkat ketergantungan masyarakat pada hutan
mangrove. Disisi lain substitusi kegiatan di dalam ekosistem mangrove menjadi
peruntukan lain, berakibat pada hilangnya produktivitas pantai sehingga akan
meningkatkan tekanan terhadap perikanan lepas pantai.
Selanjutnya menurut Alikodra (1995), suatu proses interaksi antara
masyarakat dengan hutan mangrove adalah suatu proses dimana masyarakat sejak
beberapa generasi telah hidup dari pemanfaatan hasil hutan kawasan tersebut. Hal
ini secara implisit terdapat pada sistem hukum dan adat masyarakat, dimana
dalam pemahaman sistem hukum adat tanah masyarakat tersebut bisa diperoleh
interaksi yang jelas dan terus meningkat.
Karakteristik Ekosistem Mangrove Pantai Timur Jambi
Habitat utama kawasan pesisir Tanjung Jabung Timur sebagaimana kawasan
pesisir Sumatera bagian timur adalah berupa vegetasi hutan mangrove. Ekosistem
mangrove yang ada di sepanjang kawasan pesisir pantai Kabupaten Tanjung
Jabung Timur selalu tergenang air walaupun pada saat air surut. Hal ini sangat
menguntungkan bagi anakan ikan (juvenile) sebagai tempat berlindung. Vegetasi
yang dominan yang terdapat di pantai timur Jambi adalah jenis Api-api atau
Bakau hitam (Avicennia sp.), Bakau merah (Rhizophora sp.), Pidada (Sonneratia
sp.) dan Tanjang (Bruguiera sp.). Di sepanjang pantai diduduki oleh jenis Pidada
(Sonneratia sp.), kemudian pada daerah dengan genangan pasang agak rendah
diduduki oleh jenis Api-api dan Tanjang, selanjutnya pada kedalaman pasang
tertinggi diduduki oleh jenis tumbuhan bakau serta pada sisi kanan dan sisi kiri
sungai. Disepanjang sungai dan tempat-tempat tertentu di pantai ditumbuhi oleh
jenis nipah yang diselingi oleh pidada dan bakau (BKSDA Jambi, 2004).
Karakteristik Masyarakat Pesisir Tanjung Jabung Timur
Jauh sebelum abad 20 penduduk kawasan Pantai Timur Jambi adalah
penduduk Melayu yang umumnya tinggal secara tradisional di pinggir-pinggir
sungai. Selain penduduk Melayu, juga terdapat suku minoritas yang dikenal
dengan orang laut atau suku Bajau. Etnis Bajau ini masih tetap ada di kawasan

12
pantai timur Jambi, namun sebagian mereka telah berbaur atas hasil asimilasi
perkawinan dan suku-suku pendatang seperti Bugis dan Banjar.
Kelompok etnis yang saat ini terdapat khusus di daerah pantai, lebih spesifik
di sepanjang pesisir pantai terdiri dari etnis Bugis, Melayu, Banjar dan Jawa.
Melayu merupakan penduduk asli sedangkan Bugis, Banjar dan Jawa merupakan
pendatang. Suku Bugis merupakan transmigran sejak tahun 1950 dari Sulawesi
Selatan, umumnya mereka bermukim pada muara-muara sungai di sekitar pesisir
pantai atau pada muara-muara parit drainase yang dibuat sendiri. Kelompok etnis
ini mempunyai matapencaharian bertani padi dan kelapa serta sebagai nelayan.
Suku Banjar sebagian besar bermukim di Muara Sabak dan Kuala Tungkal,
mereka merupakan transmigran dari Kalimantan, matapencaharian mereka adalah
bertani sawah pasang surut dan kelapa.
Matapencaharian penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Timur sesuai
dengan kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai, pada umumnya adalah
petani yang bekerja disektor perikanan laut, budidaya ikan dan udang, perkebunan
kelapa dan pertanian (sawah,kebun,ladang).
Potensi sumberdaya alam meliputi perikanan, pertanian, perkebunan,
peternakan, hutan dan sumberdaya minyak serta gas alam. Pemanfaatan
sumberdaya alam tersebut merupakan modal dasar dalam menunjang kehidupan
masyarakat dengan tetap harus dijaga dan dilestarikan melalui pemanfaatan yang
seimbang (BKSDA Jambi, 2004).
Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Saenger et al. (1983), menyatakan pengelolaan hutan mangrove harus
mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut sehingga secara ideal
merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Aspek sosial dan ekonomi
menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya
alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal tempat sumberdaya alam
itu berada. Pengelolaan hutan mangrove dengan demikian tidak boleh
mengucilkan masyarakat setempat, namun harus membukakan akses kepada
masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak
langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti penting

13
pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian
sumberdaya tersebut.
Menurut Bengen (2001), menyebutkan bahwa pelestarian hutan mangrove
merupakan suatu unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan
tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik
yang berada di sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian mangrove
pada dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan.
Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada
institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan porsi yang lebih
besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai
komponen penggerak pelestarian hutan mangrove.
Kemudian Dahuri et al. (1996), menjelaskan bahwa pengelolaan multiguna
mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara
seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka
pendek. Pengelolaan multiguna juga akan membawakan jangkauan kegiatan yang
beragam, sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk
terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.
Selanjutnya menurut Sudarmadji (2001), keberhasilan dalam pengelolaan
(rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan
masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran
hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu kelimpahan ikan atau
berbagai biota laut lainnya.
Kerangka dasar dalam pengelolaan mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan
mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Kedua konsep ini pada dasarnya
memberikan legitimasi dan pengertian bahwa sangat memerlukan pengelolaan
dalam perlindungan agar dapat terus lestari (Bengen,2001).
Lebih lanjut Bengen (2001), menjelaskan bahwa salah satu cara yang dapat
dilakukan dalam rangka upaya perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove
adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan
konservasi, dan sebagai suatu bentuk sabuk hijau disepanjang pantai dan tepi

14
sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan
dan membawa hasil yang lebih baik.
1) Perlindungan Hutan Mangrove
Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya
pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan
dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai
suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Konservasi adalah
merupakan pemanfaatan biosfir oleh manusia sehingga dapat memberikan
manfaat yang sangat besar bagi generasi sekarang, juga menjaga potensinya agar
bisa digunakan dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Konservasi bersifat
positif yang mencakup pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan yang lestari,
pemulihan dan peningkatan lingkungan alami. Secara fungsional, konservasi
merupakan suatu proses dimana spesies dan habitat dikelola guna mendukung
ekploitasi lestari dan spesies tertentu tanpa melenyapkan kualitas atau
biodiversitas habitat (Carter, 1994).
Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama
Menteri Pertanian dan Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/1984 dan Nomor:
082/Kpts-II/1984, tanggal 30 april 1964, dimana diantaranya disebutkan lebar
sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat,
selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan
hutan mangrove, juga dibuat menyelaraskan peraturan mengenai areal
perlindungan hutan mangrove diantara instansi-instansi terkait.
Penentuan lebar sabuk hijau di atas dikuatkan lagi dengan Keputusan
Presiden No.32 Tahun 1990 tentang pengelolaan hutan lindung. Dalam Keppres
tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan
untuk melindungi pantai dari kegiatan yang dapat menggangu kelestarian fungsi
pantai. Kriteria sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian
yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 m dari
titik pandang ke arah darat. Selanjutnya peraturan mengenai konservasi ini
dituangkan dalam Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

15
Dahuri (1998), menyatakan bahwa dalam pengembangan wilayah pantai
yang lestari harus diperhatikan aspek daya dukung. Untuk itu dalam
pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah pesisir secara lestari perlu dilakukan
penzonasian dalam pemanfaatannya.
Hal ini dipertegas lagi oleh Aksornkoae (1993), zonasi mangrove
merupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan pengelolaan
ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional
terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu:
a) Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya akan
hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan
sumber makanan dan daerah berbiak bagi biota laut. Zona ini juga melindungi
daerah pantai dari angin, badai, dan erosi tanah.
b) Zona Perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan
mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari
pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada
zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat
lokal.
c) Zona Pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan penutupan
mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghijauan
kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.
Sebagai layaknya kawasan konservasi di daratan, konservasi di wilayah
pesisir dan laut menerapkan prinsip dan kondisi yang sama, perbedaannya adalah
pada kawasan pesisir dan laut ada dua dimensi fisik yang cukup berbeda, yaitu
tanah (pantai) dan air (laut) dengan meliputi segenap flora dan fauna ikutannya.
2) Rehabilitasi Hutan Mangrove
Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk di dalamnya pemulihan
dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih
stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem
atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,
rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove
atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang
memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem.

16
Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove
sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3 jenis spesies).
Hal ini menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi
ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan
yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan