Karakteristik Fisikokimia Pati Pisang pada Berbagai Tingkat Kematangan

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA PATI PISANG PADA
BERBAGAI TINGKAT KEMATANGAN

DYAH SEKAR ALAMANDA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik
Fisikokimia Pati Pisang pada Berbagai Tingkat Kematangan adalah benar karya
saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Dyah Sekar Alamanda
NIM F24100045

ABSTRAK
DYAH SEKAR ALAMANDA. Karakteristik Fisikokimia Pati Pisang pada
Berbagai Tingkat Kematangan. Dibawah bimbingan DR. DIDAH NUR
FARIDAH dan ASSOC. PROF. MASUBON THONGNGAM.
Pematangan buah pisang merupakan proses pemecahan pati menjadi gulagula sederhana. Hal ini dapat mempengaruhi karakteristik dari pati pisang. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan kadar pati resisten, morfologi
granula pati, dan profil gelatinisasi pati pisang dari berbagai tingkat kematangan. Pati
pisang diekstraksi dari tiga varietas pisang Namwa Thailand yaitu Khom, Pak Chong,
dan Mali Ong. Rendemen pati pisang yang dihasilkan yaitu (dalam %, b/b) 14 – 10 %,
9 – 6 %, 5 – 0.9 %, 0.6 – 0.1 %, and 0.2 – 0.1 % secara berturut-turut untuk
tingkat kematangan 1, 2, 3, 4, and 5. Kadar pati resisten dalam pati pisang akan
menurun pada tingkat kematangan yang lebih tinggi. Kadar pati resisten pati
pisang pada tingkat kematangan 1 dan 3 secara berturut-turut yaitu 64 – 66 % dan
54 – 56 %. Granula pati pisang pada tingkat kematangan awal berbentuk lebih
oval dan pada tingkat kematangan yang lebih tinggi berbentuk oval memanjang

serta berukuran lebih kecil. Granula pati pisang pada tingkat kematangan lebih
tinggi akan pecah pada suhu lebih rendah (80°C). Suhu gelatinisasi pati pisang
Namwa sekitar 80.6 – 81.4 °C.

Kata kunci: fisikokimia, karakteristik pati, pati pisang, pati resisten, tingkat
kematangan.

ABSTRACT
DYAH SEKAR ALAMANDA. The Effect of Banana Maturity Stages on Banana
Starch Properties. Supervised by DR. DIDAH NUR FARIDAH and ASSOC.
PROF. MASUBON THONGNGAM.
Ripening process of banana known is a process of starch breakdown to
sugar. This could affect the properties of the starch also. The objective of this
research were to determine the changes of resistant starch in different stage of
banana maturity, to identify the changes of starch granule morphology of banana
in different maturity stage, and to determine the pasting properties of banana
starch. Banana strach was extracted from three Thailand banana varieties (Khom,
Pak Chong, and Mali Ong). The starch obtained from extraction process was
decreased in higher maturity stages. The yield of banana starch (in wb) was 14 –
10 %, 9 – 6 %, 5 – 0.9 %, 0.6 – 0.1 %, and 0.2 – 0.1 % in maturity stage 1, 2, 3, 4,

and 5 respectively. The result showed that resistant starch content was decrease
during higher maturity stage. Resistant starch content of banana starch for
maturity stage 1 and 3 was 64 – 66 % and 54 – 56 %. Furthermore, banana starch
granules in early maturity stage were more oval. Meanwhile at higher maturity
stage were more elongated oval and smaller in size. The starch granules in higher
maturity stage also disrupted earlier in lower temperature (80°C). Pasting
temperature of banana starch was around 80.6 – 81.4 °C.
Keywords: banana starch, maturity stage, microscopy, resistant starch, starch
properties

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA PATI PISANG PADA
BERBAGAI TINGKAT KEMATANGAN

DYAH SEKAR ALAMANDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan


DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Karakteristik Fisikokimia Pati Pisang pada Berbagai Tingkat
Kematangan
Nama
: Dyah Sekar Alamanda
NIM
: F24100045

Disetujui oleh

Dr Didah Nur Faridah, STP, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Feri Kusnandar, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Penelitian yang berjudul “Karakteristik Fisikokimia Pati Pisang pada Berbagai
Tingkat Kematangan” dilaksanakan di Kasetsart University, Thailand selama
bulan Mei sampai September 2014.
Selama penulisan karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
1. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, dan Adnan atas dukungan dan doa terbaik
yang diberikan selama ini.
2. Dr. Didah Nur Faridah, sebagai pembimbing akademik, untuk arahan
dan bantuan selama penyelesaian karya tulis ini.
3. Assoc. Prof. Masubon Thongngam atas arahan, bantuan, saran, dan
waktu selama penelitian di Kasetsart University.
4. Dr. Fahim M. Taqi and Dr. Endang Prangdimurti, sebagai dosen penguji

atas masukan untuk perbaikan karya tulis ini.
5. Semua pihak yang membantu selama program AIMS Exchange Program
IPB (Bapak Eko, Ibu Dias, Bapak Pungki), staf Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, dosen dan staf KU (Dr. Sasitorn, dosen Food Science
and Engineering, Pi Jay, staff International Studies Center KU) yang
telah banyak memberikan bantuan selama program berlangsung.
6. Anggota lab 2413 (Pi Joyce, Pi Dear, Pi Kai, Pi Tan, Pi Milk, Pi Tong,
Pi Booky, Titu, Pi Nan, Pi Pat, Pi Koy), teknisi serta staf Food Science
and Engineering KU Lab (Pi Pong, Pi Ant, Pi Joom, and Pi Neng) untuk
semua bantuan selama penelitian berlangsung.
7. AIMS Student Thailand 2014 (Indah, Lingga, Elvan, and Gunawan) dan
mahasiswa Permitha KU (Mbak Dwita, Mbak Ida, Mas Iwan, Kak Alfa,
Mbak Hesti) untuk bantuannya selama tinggal di Bangkok.
8. Teman-teman ITP 47 (Gina, Sarah, Rita, Utari, Dani) atas semangat
yang diberikan.
9. EC, BPH, dan Kadep IAAS IPB 2012-2013, Project Family, IAAS IOP
18, dan teman-teman di IAAS LC IPB atas dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan sedikit
kontribusi dalam perkembangan Ilmu dan Teknologi Pangan.


Bogor, Februari 2015
Dyah Sekar Alamanda

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE

3

Bahan

3

Alat

3


Ekstraksi Pati

3

Prosedur Analisis

4

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Hasil Ekstraksi Pati Pisang

7


Morfologi Granula Pati

11

Morfologi Granula Pati selama Pemanasan

13

Profil Gelatinisasi Pati Pisang

15

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16


Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kadar pati resisten dari beberapa jenis pisang ..................................... 8
Tabel 2 Kadar total gula dari pati pisang Namwa Thailand ............................ 10
Tabel 3 Profil gelatinisasi pati pisang Namwa Thailand ................................. 16

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Penampakan buah pisang pada tingkat kematangan berbeda ............ 2
Gambar 2 Proses ekstraksi pati pisang Namwa ................................................ 4
Gambar 3 Grafik rendemen proses ekstraksi pati pisang dari varietas dan
tingkat kematangan yang berbeda (%, bb)........................................ 7
Gambar 4 Kadar pati resisten pada pati pisang Namwa (%, bk) ....................... 8
Gambar 5 Hasil photomicrograph granula pati pisang Thailand dan hasil
polarisasi cahaya ........................................................................... 12
Gambar 6 Hasil photomicrograph granula pati pisang Namwa Thailand
varietas Pak Chong selama pemanasa ............................................ 14
Gambar 7 Grafik profil gelatinisasi pati pisang Namwa Thailand .................. 15

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kadar air pati pisang Namwa untuk analisis kadar pati
resisten...................................................................................... 20
Lampiran 2 Kadar pati resisten dan pati non resisten untuk perhitungan
kadar total pati .......................................................................... 21
Lampiran 3 Hasil statistik untuk analisis kadar pati resisten pati pisang
Namwa ..................................................................................... 22
Lampiran 4 Hasil statistik untuk analisis kadar total pati pisang ..................... 23
Lampiran 5 Hasil statistik untuk profil gelatinisasi pati pisang Namwa .......... 26
Lampiran 6 Dokumentasi selama penelitian ................................................... 29

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang merupakan buah dengan produksi terbesar kedua di dunia dan Asia
adalah produsen pisang terbesar (FAO 2012). Indonesia dan Thailand merupakan
20 besar produsen pisang pada tahun 2012. Produksi pisang di Indonesia sebesar
6189052 ton dan produksi pisang Thailand 1650000 ton (FAO 2012). Kandungan
nutrisi pada pisang cukup lengkap, dimana dalam 100 gram pisang mentah
mengandung 120 kalori, 27 gram karbohidrat, 1,2 gram protein, kandungan lemak
yang sangat rendah (0,3 gram), serta vitamin B6 (0,05 mg), kalium (12 mg),
vitamin C (12 mg), dan kalsium (8 mg) (Huang 2013). Selain itu, pisang matang
memiliki memiliki daya cerna yang tinggi (Sharrock dan Lustry 2000).
Tanaman pisang termasuk ke dalam genus Musa di dalam famili Musaceae.
Pisang merupakan buah klimakterik yang menunjukkan puncak respirasi saat
proses pematangan di suhu 20°C (Kotecha dan Desai 1995). Menurut da Mota et
al. (2000), varietas tanaman pisang akan mempengaruhi komposisi kimia dan
karakteristik fisikokimia dari tepung buah pisang. Buah pisang yang masih
mentah memiliki kandungan pati yang tinggi (20 – 23 %), namun pada saat proses
pematangan pati akan dikonversi menjadi gula sederhana. Kandungan pati pada
buah pisang yang matang sekitar 1 – 2 % (Robinson 1996).
Selama proses pematangan, terdapat perubahan yang terjadi pada buah
pisang, antara lain hilangnya air karena proses respirasi dan pemecahan pati
menjadi gula sederhana (Kotecha dan Desai 1995). Gula sederhana yang dapat
ditemukan pada daging buah pisang yaitu sukrosa, glukosa, dan fruktosa.
Kandungan gula sederhana akan meningkat selama proses pematangan. Pada
tingkat kematangan awal kandungan gula sederhana pada pisang sebesar 0.62%
dan meningkat menjadi 4.65% (Khawas et al. 2014). Perbandingan kandungan
gula sederhana yang terdapat dalam pisang yaitu 66% sukrosa, 14 % fruktosa, dan
20% glukosa (Robinson 1996). Tipe polisakarida yang terdapat dalam buah
pisang hijau adalah pati resisten dan selulosa serta pektin untuk tipe polisakarida
non-pati (Robinson 1996). Komponen protopektin tak larut air, selulosa, dan
hemiselulosa akan menurun jumlahnya selama proses pematangan. Sementara itu,
pektin larut air akan meningkat selama proses pematangan.
Pematangan (maturity) secara fisiologis adalah tahap pertumbuhan tanaman
atau bagian dari tanaman yang akan terus berkembang walaupun sudah dipetik
(Shewfelt 2009). Beberapa perubahan yang terjadi pada buah selama proses
pematangan dapat terlihat secara visual, misalnya perubahan berat buah, panjang
buah, lingkar buah, diameter, dan pulp-to-peel ratio (Dadzue 1998 dan Singh
2004). Tingkat kematangan buah pisang ditandai dengan perbedaan warna kulit
buah. Skala warna yang dipakai sebagai standar komersial dideskripsikan sebagai
berikut: 1=hijau, 2=hijau dengan sedikit warna kuning, 3=bagian hijau lebih
banyak daripada kuning, 4=bagian kuning lebih banyak daripada hijau, 5=kuning
dengan ujung hijau, 6=kuning penuh, dan 7=kuning berbintik kecoklatan (Tapre
dan Jain 2012).

2

Gambar 1 Penampakan buah pisang pada tingkat kematangan yang berbeda
(Tapre dan Jain 2012)
Kandungan pati pada buah pisang mentah lebih tinggi daripada buah pisang
matang. Pati pada buah pisang dapat ditemukan dalam jaringan suatu tanaman
sebagai polisakarida dalam bentuk granula-granula pati. Granula pati terdiri dari
dua polimer, yaitu amilosa dan amilopektin, dan berbeda antara sumber tanaman
(Ottenhof dan Farhat 2004), spesies, atau tingkat kematangan pada tanaman yang
sama (Tester, Karkalas, Qi 2004). Struktur dari granula pati dapat mempengaruhi
karakteristik fisik dan fungsionalnya (French 1984).
Berdasarkan hasil yang diperoleh Faisant et al. (1995), pati dari buah pisang
hijau memiliki resistensi dalam pencernaan tikus dan manusia. Terdapat empat
tipe pati resisten, yaitu tipe 1: granula pati yang tidak dapat diakses secara fisik
dan dapat ditemukan di sereal dan biji-bijian, tipe 2: pati resisten dalam pisang
dan kentang mentah, tipe 3: pati retrogradasi yang ditemukan dalam pangan yang
sudah mengalami proses pemasakan kemudian didinginkan, dan tipe 4: pati
termodifikasi secara kimia (Lehmann dan Robin 2007). Pati pada pisang
dilaporkan memiliki resistensi terhadap hidrolisis oleh enzim α-amilase and
glukoamilase. Pengujian secara in vivo pada hewan tikus menunjukkan bahwa 75
– 84 % granula pati pisang dapat bertahan selama proses pencernaan di usus halus
dan mencapai usus besar (Englyst dan Cummings 1986).
Terdapat beberapa varietas pisang di Thailand, diantaranya adalah varietas
Namwa. Jenis pisang yang termasuk dalam varietas Namwa adalah Khom, Pak
Chong, dan Mali Ong (Sonpueak dan Thongngam 2012). Varietas Namwa
termasuk ke dalam kelompok Musa ABB (Arjcharoen et al. 2010). Sampai saat
ini belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui perngaruh tingkat
kematangan terhadap karakteristik fisikokimia.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitan ini adalah untuk mengkaji perubahan pati resisten pada
tingkat kematangan yang berbeda, mengidentifikasi perubahan morfologi dari
granula pati pisang pada tingkat kematangan yang berbeda, dan untuk
mempelajari profil gelatinisasi dari pati pisang.

3

METODE
Bahan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adala buah pisang beku yang
sudah disimpan di dalam suhu -18°C yang berasal dari Pathum Thani, Thailand.
Terdapat tiga varietas yang digunakan yaitu Khom (Musa ABB), Pak
Chong(Musa ABB), dan Mali Ong (Musa ABB) yang masing-masing terdiri dari
lima tingkat kematangan. Sementara untuk bahan kimia yang digunakan untuk
preparasi sampel dan analisis yaitu NaOH, NaCl, NaHSO3, akuades, CH3COOH
glasial, CaCl2.2H2O, NaN3, KOH, enzim α-amilase pankreatik (30 Ceralpha
units/ml), amiloglukosidase (300 U/ml), standar d-glukosa, asam maleat, etanol,
dan enzyme kit untuk analisis pati resisten didapatkan dari Megazyme, Irlandia
(K-RSTAR 08/11).
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat gelas, waring
blender, saringan dengan ukuran 100 mesh, ultrasonikator Chrom Tech, hot air
oven Memmert, magnetic stirrer, timbangan analitik, vortex, shaking water bath
Memmert, spektometer UV-Vis Genesis, mikropipet, tabung reaksi berulir,
mikroskop cahaya Carl Zeiss, Rapid Visco Analyzer (RVA-4) Newport Scientific.

Ekstraksi Pati
Pati dalam buah pisang diekstrak dengan menggunakan metode yang
dilakukan oleh Pellisari et al. (2012) dengan beberapa modifikasi. Sampel berupa
irisan buah pisang beku yang sebelumnya disimpan dalam suhu -18°C di-thawing
dalam larutan NaHSO3 (1%, b/v) selama 20 menit. Irisan buah pisang dicuci
akuades. Irisan buat pisang kemudian ditambahkankan 4% NaCl dalam 0,05 M
NaOH dengan rasio 1:10 dan dicampur menggunakan blender. Campuran
kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrrer selama 2 jam. Setelah
itu, polisakarida non-pati dihilangkan dengan menggunakan kain saring.
Supernatan yang didapatkan kemudian diendapkan selama 30 menit sehingga
didapatkan endapan berupa komponen pati pisang. Endapan ini kemudian
disonikasi selama 20 menit dalam akuades. Komponen non-pati lain dipisahkan
dari sedimen pati dengan menggunakan metode ‘table starch extraction’ sehingga
didapatkan residu pati pisang dengan warna putih bersih. Sedimen pati kemudian
dilewatkan pada saringan dengan ukuran 100 mesh dan dikeringkan dengan
menggunakan hot air oven suhu 50°C. Diagram alir ekstraksi pati secara lengkap
dapat dilihat pada Gambar 2.

4
Irisan pisang beku direndam dalam natrium hidrogen sulfit (1 %, w/v) selama 20 menit

Irisan pisang dicuci dengan akuades

Irisan pisang diblender dalam 4 % NaCl in 0.05 N NaoH (rasio 1:10)

Campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 2 jam

Campuran dilewatkan pada kain saring

Residu yang ditambahkan didiamkan selama 30 menit

Residu pati dipisahkan dari supernatan

Sedimen disonikasi selama 20 menit

Pengotor dipisahkan dari sedimen pati dengan metode "table starch extraction"

Suspensi pati dilewatkan saringan berukuran 100 mesh

Sedimen pati dikeringkan dengan hot air oven selama semalam dengan suhu 50°C

Gambar 2 Proses ekstraksi pati pisang Namwa
Prosedur Analisis
1. Analisis Pati Resisten dan Total Pati (Megazyme 2011)
Sampel yang telah didapatkan dianalisis kadar pati resistennya dengan
menggunakan metode enzyme kit untuk analisis pati resisten (K-RSTAR
08/11) dari Megazyme. Tepung pati pisang (100 ± 5 mg) diletakkan pada
tabung berulir dan ditambahkan 4 ml enzim α-amilase pankreatik (30

5
Ceralpha Unit/ml) yang mengandung AMG (3U/ml). Campuran ini
kemudian diinkubasi selama 37°C dalam shaking waterbath selama 16
jam. Setelah itu, 4 ml etanol (99%) ditambahkan ke dalam tabung dan
disentrifus dengan kecepatan 1500 g selama 10 menit. Supernatan
dipisahkan dari sedimen dan disimpan untuk analisis total pati, sedimen
yang didapat kemudian ditambahkan 6 ml etanol 50% dan disentrifus
dengan kecepatan 1500 g selama 10 menit. Tahapan ini dilakukan
sebanyak 2 kali. Residu yang didapatkan kemudian diresuspensi dengan 2
ml KOH 2 M dan ditempatkan pada cold waterbath stirrer selama 20
menit. sebanyak 8 ml buffer natrium asetat 1,2 M (pH 3,8) ditambahkan.
Campuran ini kemudian ditambahkan enzim AMG (300 U/mL) sebanyak
0,1 mL dan diinkubasi pada 50°C selama 30 menit. Campuran ini
kemudian ditepatkan volumenya sampai 100 mL dengan akuades dan
disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 1500 g. Sebanyak 0,1 mL
larutan yang sudah ditepatkan volumenya diambil dan ditambahkan 3 mL
reagen GOPOD dan diinkubasi pada suhu 50°C selama 20 menit.
Absorbansi sampel kemudian diukur pada panjang gelombang 510 nm.
Blanko yang digunakan adalah campuran 0,1 ml buffer natrium asetat dan
3 ml reagen GOPOD. Absorbansi 0,1 ml d-glukosa juga diukur setelah
ditambahkan 3 ml reagen GOPOD.
Untuk analisis total gula, supernatan yang didapatkan dari proses
pencucian dengan etanol 99% dan 50% pada analisis pati resisten
dicampurkan dengan larutan buffer natrium asetat (pH 4,5) dan ditepatkan
volumenya sampai 100 ml. Kemudian sebanyak 0,1 ml larutan diambil dan
diinkubasi bersama dengan 10 μL AMG dalam 100 mM larutan buffer
natrium maleat (pH 6,0) selama 20 menit pada suhu 50°C. Reagen
GOPOD sebanyak 3 ml ditambahkan ke dalam sampel dan kemudian
diinkubasi selama 20 menit pada suhu 50°C. Absorbansi sampel kemudian
diukur pada panjang gelombang 510 nm. Nilai ini dihitung sebagai
kandungan pati non-resisten.

dimana
=
=

Absorbansi sampel dikurangi absorbansi blanko
Konversi absorbansi ke mikrogram (absorbansi untuk 100 μg Dglukosa yang bereaksi dengan GOPOD ditentukan dan nilai F =
100 dibagi dengan nilai absorbansi GOPOD dari D-glukosa)
= Berat kering sampel yang dianalisis, berat basah × [(100 – kadar
air)/100]
90
= Konversi D-glukosa bebas ke D-glukosa-anhidrat
*Nilai total gula sederhana didapatkan dari studi oleh Khawas et al. (2014)

6

2. Morfologi Granula Pati (Perez et al. 2005)
Suspensi pati dalam akuades (1%, b/v) ditempatkan pada pada kaca
preparat. Peparat suspensi pati kemudian diamati di bawah mikroskop
cahaya (Carl Zeiss, Germany) dengan perbesaran 40 kali.
3. Analisis profil gelatinisasi pati pisang (da Mota et al. 2000)
Sebanyak 1 gram pati pisang (b.k.) ditambahkan akuades sehingga
didapatkan larutan pati dalam air dengan konsentrasi 4% (b/v, basis
kering). Pengujian dilakukan selama 20 menit. Proses heating dimulai
pada 50°C sampai mencapai suhu 95°C selama 4 menit. Kemudian
dilanjutkan dengan tahap holding di suhu 95°C selama 5 menit. Setelah itu,
suspensi pati akan mengalami tahapan cooling sehingga suhu menjadi
50°C selama 4 menit dan tahapan holding selama 6 menit di suhu 50°C.
4. Analisis Hot-stage Light Microscopy (Brunnschweiller et al. 2005)
Perubahan bentuk granula pati selama proses pemanasan dianalisis dengan
menggunakan mikroskop cahaya. Suspensi pati (1%, b/v) pada kaca
preparat dianalisis di bawah mikroskop (Carl Zeiss, Germany) dengan
perbesaran 40 kali. Suhu dinaikkan dari suhu ruang sampai dengan suhu
95°C dengan kecepatan 5°C/menit.
Analisis Data
Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk rerata ± standar deviasi (mean ±
SD). Data kadar pati resisten kemudian diolah dan dianalisis dengan
menggunakan uji T sample independen sistem rancangan acak lengkap faktor
tunggal dengan program SPSS versi 20 dengan faktor tunggal yaitu tingkat
kematangan buah pisang. Pengolahan data ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diukur. Data kadar pati resisten dan
total pati dianalisis untuk melihat perlakuan perbedaan tingkat kematangan.
Sementara itu, data hasil analisis kadar total pati dan profil gelatinisasi pati diolah
dengan menggunakan metode sidik ragam (ANOVA) sistem rancangan acak blok
lengkap faktor tunggal dengan program SPSS versi 20 untuk perlakuan perbedaan
varietas buah pisang pada tingkat kematangan yang sama terhadap profil
gelatinisasi patinya.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Ekstraksi Pati Pisang
Proses ekstraksi dilakukan dengan menghilangkan komponen lain selain
komponen pati yang terdapat dalam pisang. Beberapa tahapan ditambahkan dari
metode awal, yaitu penambahan 4% NaCl pada larutan NaOH 0,05 N dan juga
sonikasi sampel selama 20 menit. Sampel berupa irisan buah pisang dingin
dilakukan thawing dalam natrium hidrogen sulfit (1%, b/v) yang bertujuan untuk
menghambat oksidasi sehingga tidak terjadi reaksi pencoklatan enzimatis
(Pellisari et al. 2012). Sementara itu, penghancuran dan pengadukan irisan pisang
dalam larutan NaOH berfungsi untuk menghilangkan serat larut (Pellisari et al.
2012). Serat tidak larut akan tertahan dalam kain saring sehingga didapatkan
suspensi pati. Rendemen ekstraksi pati pisang dari berbagai tingkat kematangan
(%) dalam basis basah seperti ditunjukkan dalam gambar berikut

Rendemen Ekstraksi (%,bb)

16.00
14.00

Khom

12.00
Pak Chong

10.00

Mali Ong

8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
1

2

3
Tingkat Kematangan

4

5

Gambar 3 Grafik rendemen proses ekstraksi pati pisang dari varietas dan
tingkat kematangan yang berbeda (%, basis basah)
Rendemen pati pisang yang didapatkan akan menurun seiring meningkatnya
tingkat kematangan seperti yang terlihat pada Gambar 1. Penurunan rendemen
ekstraksi pati pisang terjadi pada tiga varietas Pisang Namwa, yaitu Khom, Pak
Chong, dan Mali Ong. Rendemen tertinggi pada tingkat kematangan pertama
didapatkan dari varietas Pak Chong (14,19 %), diikuti oleh Khom (12,91 %) dan
Mali Ong (10,89%). Rendemen pati pisang akan menurun secara drastis pada
tingkat kematangan ketiga, seperti yang terlihat pada grafik untuk varietas Pak
Chong dan Mali Ong. Tekstur irisan buah pisang dari pengamatan secara visual
juga lebih lunak daripada tingkat kematangan pertama atau kedua. Hal ini
mungkin disebabkan adanya peningkatan aktivitas enzim amilase secara
signifikan dan hampir sepuluh kali lipat dari tingkat kematangan sebelumnya
(Mohan et al. 2014). Rendemen pati yang didapatkan akan terus menurun pada
tingkat kematangan 4 (0,6 – 0,1 %) dan pada tingkat kematangan 5 rendemen
proses ekstraksi yang didapatkan berkisar antara 0,2 – 0,15 %. Robinson (1996)
menyatakan bahwa buah pisang yang masih hijau memiliki kandungan pati yang

8

Kadar Pati Resisten (%)

tinggi, sekitar 20 – 23%. Namun, kandungan pati ini akan berkurang sampai 1 –
2% pada buah pisang yang sudah matang.

70
60

a

a
b

a
b

b

50
40

Tingkat
Kematangan 1
Tingkat
Kematangan 3

30
20
10
0
Mali Ong

Pak Chong

Khom

Gambar 4 Grafik kadar pati resisten pada pati pisang Namwa (%, bk). Hurufhuruf yang sama pada kelompok varietas yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Kadar pati resisten dianalisis untuk tiga varietas pada dua tingkat
kematangan. Kadar pati resisten pada tingkat kematangan 5 tidak dilakukan
pengujian karena rendemen pati pisang terlalu sedikit. Terdapat pola yang sama
yang dihasilkan dari analisis kadar pati resisten pati pisang Namwa, dimana
terjadi penurunan kadar pati resisten dari tingkat kematangan 1 ke 3. Kadar pati
resisten tertinggi pada tingkat kematangan 1 yaitu varietas Mali Ong 66,01 ± 1,83
%. Kadar pati resisten untuk tingkat kematangan 3 menurun, menjadi sebesar
55,21 ± 0,62 %. Kadar pati resisten untuk varietas Pak Chong tingkat kematangan
1 adalah 64,90 ± 0,25 % dan mengalami penurunan pada tingkat kematangan 3
(54.81 ± 2.23 %). Kemudian, varietas Khom memiliki kadar pati resisten yang
cenderung lebih rendah di tingkat kematangan yang sama dibandingkan dengan
varietas Pak Chong atau Mali Ong. Kadar pati resisten Khom 64,62 ± 1,82 %
(tingkat kematangan 1), menurun menjadi 56.56 ± 0.81 % (tingkat kematangan 3).
Tabel 1 Kadar pati resisten dari beberapa jenis pisang
Sampel

Tepung pisang

Kadar pati
resisten (%)

0,1 – 0,35

Metode

Referensi

Pengujian
dilakukan
dengan menggunakan RS
(Resistant Starch) kit assay
dari Megazyme. Sampel
diinkubasi dengan enzim
α-amilase pankreatik yang
mengandung AMG pada
37°C
pada
shaking
waterbath.
Sampel
kemudian dicuci dengan
etanol dan diresuspensi
dalam KOH. Kemudian
sampel diinkubasi dengan
AMG pada 50°C.

Thakorlal et al.
(2014)

9

Tepung pisang

Kadar pati
resisten (%)
52,2 – 68,1

Pati pisang

70,1 – 79,2

Sampel

Pati pisang

11,2

Tepung pisang
mentah

12,5

Pati pisang Namwa

77,3 – 81,1

Metode

Referensi

Sampel diinkubasi dengan
pepsin pada suhu 40°C.
Vatanasurchat et
Kemudian
ditambahkan
al. (2012a)
AMG dan diinkubasi pada
37°C (Goni et al. 1996)
Sampel direbus dalam
larutan buffer asetat dan
kemudian
diinkubasi
dalam enzim amilase pada
37°C. AMG ditambahkan Hung et al.
dalam
sampel
dan (2013)
diinkubasi pada 60°C.
Sampel
kemudian
dikeringkan dan ditimbang
(Englyst et al. 1992)
Pengujian
dilakukan
dengan menggunakan RS
(Resistant Starch) kit assay
dari Megazyme. Sampel
diinkubasi dengan enzim
α-amilase pankreatik yang
mengandung AMG pada Srikeo et al.
37°C
pada
shaking (2011)
waterbath.
Sampel
kemudian dicuci dengan
etanol dan diresuspensi
dalam KOH. Kemudian
sampel diinkubasi dengan
AMG pada 50°C.
Sampel
diinkubasi
dalam
α-amilase
pankreatik
yang
mengandung
AMG
Vatanasurchat et al.
pada
suhu
37°C.
(2012)
Sampel
kemudian
diinkubasi
dengan
AMG pada 50°C (Mc
Cleary et al. 2012)

Tabel 1 menunjukkan beberapa studi yang telah dilakukan untuk
mengetahui kadar pati resisten pisang. Perbedaan metode yang dilakukan akan
mempengaruhi perbedaan hasil kadar pati resisten yang dihasilkan. Studi yang
dilakukan oleh Srikaeo et al. (2011) menunjukkan bahwa tepung pisang mentah
mengandung pati resisten sebanyak 12,5%. Sementara itu, Vatanasurchat et al.
(2012a), mengemukakan bahwa kadar pati resisten pada beberapa jenis pisang
Thailand (Kluai Hom, Kluai Khai, Kluai Lebmuenang, dan Kluai Namwa)
berkisar antara 71 – 81%. Kadar pati resisten pisang Namwa yaitu 81,1% untuk
tingkat kematangan 1 dan 77,3 % untuk tingkat kematangan 3 (Vatanasurchat et
al. 2012b). Hasil ini mendekati hasil yang telah didapat dimana kadar pati resisten
pada pati pisang akan menurun pada tingkat kematangan yang lebih tinggi.
Beberapa perbedaan dari hasil studi yang telah dilakukan sebelumnya,
dipengaruhi juga oleh jenis sampel yang digunakan. Hasil kadar pati resisten studi

10
oleh Srikaeo et al. (2011) dan Thakorlal et al. (2014) memiliki nilai yang lebih
rendah. Penggunaan sampel tepung pisang akan menyebabkan kadar pati resisten
yang didapatkan lebih rendah dari penggunaan pati pisang yang digunakan dalam
penelitian. Hal ini disebabkan masih adanya komponen lain seperti protein, lemak,
ataupun polisakarida non-pati. Sementara itu, kadar pati resisten berbeda dengan
studi yang dilakukan oleh Hung et al. (2013). Tahapan perebusan sampel pati
pisang dalam asetat buffer menyebabkan kadar pati resisten yang didapatkan lebih
rendah. Pati pisang akan tergelatinisasi ketika proses perebusan dan menyebabkan
pati lebih mudah dihidrolisis oleh enzim ketikan pengujian.
Kadar pati resisten pisang yang cukup tinggi dipengaruhi oleh struktur dan
ukuran granula pati pisang. Pati dalam bentuk granula lebih sulit diserang oleh
enzim (Thakorlal et al. 2010). Granula pati pisang memiliki struktur kristalin tipeB yang menyebabkan granula pati pisang lebih resisten terhidrolisis oleh enzim
(Thakorlal et al. 2010 dan Vatanasurchat et al. 2012a). Di samping itu,
strukturnya yang kompak akan menghambat akses enzim untuk dapat
menghidrolisisnya. Ukuran granula pati pisang yang besar (7,4 – 80 μm)
menyebabkan rasio antara luas permukaan dan volume menjadi lebih kecil (Lii et
al. 1982).
Penurunan kadar pati resisten pada tingkat kematangan yang berbeda dapat
disebabkan oleh proses kematangan itu sendiri, dimana terjadi perubahan pati
yang dikonversi menjadi gula-gula sederhana. Proses ini akan mempengaruhi
kerentanan pati terhadap serangan enzim (Zhang et al. 2005). Selama proses
pematangan buah pisang, pati akan dikonversi menjadi gula-gula sederhana
karena adanya aktivitas enzim α-amilase, sehingga memudahkan untuk dapat
dihidrolisis lebih lanjut.
Tabel 2 Kadar total pati dari pati pisang Namwa Thailand
Total Pati (%
Total Gula (%)
Total Pati
pati pisang)
(Khawas et al. 2014)
(% pisang segar)a
0,64
11,64 ± 0,39a
90,84 ± 3,00
Khom
1,35
4,60 ± 0,04b
93,04 ± 0,80
4,65
0,13 ± 0,01c
83,75 ± 0,04
0,64
88,72 ± 1,37
11,79 ± 0,01a
Pak
1,35
0,79 ± 0,01b
84,73 ± 2,63
Chong
5
4,65
0,15 ± 0,01c
90,36 ± 1,83
1
0,64
9,16 ± 0,39a
90,84 ± 3,00
Mali
3
1,35
1,72 ± 0,04b
93,04 ± 0,80
Ong
5
4,65
83,75 ± 0,04
0,19 ± 0,00c
a
Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
Varietas

Tingkat
Kematangan
1
3
5
1
3

Pengujian kadar total pati pisang dilakukan dengan menggunakan sampel
pati pisang dari tiga tingkat kematangan untuk masing-masing varietas. Kadar
total pati ketiga varietas akan menurun pada tingkat kematangan yang lebih tinggi.
Kadar total pati tertinggi (% pisang segar) didapatkan dari varietas Pak Chong.
Kadar total pati untuk varietas Pak Chong adalah 11,79 ± 0,01 % (tingkat

11
kematangan 1), 0,79 ± 0,01 % (tingkat kematangan 3), dan 0,15 ± 0,01 (tingkat
kematangan 5). Sementara itu, kadar total pati untuk varietas Khom lebih rendah
daripada total pati varietas Pak Chong yaitu 11,64 ± 0,39 % (tingkat kematangan
1), 4,60 ± 0,04 % (tingkat kematangan 3), dan 0,13 ± 0,01 % (tingkat kematangan
5). Kadar total pati untuk varietas Mali Ong untuk tingkat kematangan 1, 3, dan 5
secara berturut-turut yaitu 9,16 ± 0,39 %, 1,72 ± 0,04 %, dan 0,19 ± 0,00 %.
Secara umum, kadar total pati (% pisang segar) akan menurun seiring
dengan tingkat kematangan yang meningkat. Hal ini sesuai dengan nilai rendemen
pati yang didapatkan dari hasil ekstraksi. Selama proses pematangan, pati akan
dikonversi menjadi gula sederhana. Kadar total pati pada pisang matang hanya
berkisar 1 – 2 %, sementara kadar pati pada pisang mentah berkisar antara 20 – 23
% (Zhang et al. 2005). Perbedaan nilai kadar total pati antar varietas yang
didapatkan dapat dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang dilakukan (Pelissari et al.
2012).
Morfologi Granula Pati
Granula pati pisang diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran
40×. Hasil dari pengamatan dengan mikroskop seperti di tunjukkan oleh gambar
berikut.
Varietas Khom

a

b

c

Varietas Pak Chong

a

b

c

12

Varietas Mali Ong

a

b

c

Gambar 5 Hasil photomicrograph granula pati pisang tiga varietas pisang Namwa
Thailand (atas) dan hasil polarisasi cahaya (bawah) untuk tingkat
kematangan 1 (a), 3 (b), dan 5 (c) dan pada perbesaran 40×.
Bentuk granula dari pati pisang seperti yang terlihat pada Gambar 3 secara umum
adalah tidak beraturan dan oval memanjang. Granula pati varietas Mali Ong
berbentuk lebih oval daripada varietas Khom atau Pak Chong. Menurut Perez et al.
(2005), granula pati pisang berbentuk lenticular dengan ukuran rata-rata sekitar 39
μm. Sementara itu Lii et al. (1982) dan Enggleston (1992) mengemukakan bahwa
granula pati pisang bervariasi bentuknya dari oval sampai oval memanjang
dengan ukuran granula pati sekitar 20 – 50 μm.
Pengamatan dengan mikroskop polarisasi cahaya memperlihatkan adanya
Maltese cross pada granula pati. Granula pati pisang yang utuh akan menunjukkan
birefringence yang jelas. Hilum terletak pada tengah persilangan. Pola
birefringence ini terlihat pada granula pati ketiga varietas dan pada tingkat
kematangan 1, 3, atau 5. Hal ini menandakan proses ekstraksi yang dilakukan
berhasil untuk mengekstrak granula pati secara utuh (Bello-Perez et al. 2012).
Perbedaan tingkat kematangan juga berpengaruh terhadap bentuk granula
pati pisang. Pada varietas yang sama, granula pati pisang pada tingkat kematangan
yang lebih tinggi memiliki ukuran yang lebih kecil. Selain itu, permukaan dari
granula pati pada tingkat kematangan yang lebih tinggi juga lebih kasar. Hal ini
disebabkan adanya aktivitas enzimatis pada permukaan granula pati, sehingga
terjadi pengikisan permukaan granula selama proses pematangan (Peroni-Okita et
al. 2010). Pengikisan permukaan granula ini juga menyebabkan ukuran granula

13
pati yang lebih kecil. Terkikisnya permukaan granula pati ini juga menyebabkan
granula lebih rentan terhidrolisis. Sehingga nilai pati resisten pada tingkat
kematangan yang lebih tinggi menjadi lebih rendah.
Morfologi Granula Pati selama Pemanasan
Morfologi granula pati pisang selama pemanasan diamati dengan mikroskop
cahaya (Carl Zeiss, Germany) dengan perbesaran 40×. Perubahan granula pati
pisang selama pemanasan seperti terlihat pada gambar berikut.
Tingkat Kematangan 1

Tingkat Kematangan 3

a

a

b

b

c

c

d

d

e

e

14
Tingkat Kematangan 1

Tingkat Kematangan 3

f

f

g

g

h

h

i

i

Gambar 6 Hasil photomicrograph granula pati pisang Namwa Thailand varietas
Pak Chong tingkat kematangan 1 (kiri) dan tingkat kematangan 3
(kanan) selama pemanasan pada suhu 25°C (a), 50°C (b), 60°C (c).
70°C (d), 79°C (e), 80°C (f), 81°C (g), 83°C (h), dan 95°C (i) pada
tingkat perbesaran 40×.
Perubahan granula pati dari varietas Pak Chong pada tingkat kematangan 1
dan 3 selama proses pemanasan dari suhu 25°C sampai dengan 95°C diperlihatkan
pada Gambar 4. Selama proses pemanasan granula pati akan membengkak dan
ukurannya akan membesar. Pembengkakan ini akan berlangsung sampai granula
pati pecah (Fennema 1996). Granula pati Pak Chong tingkat kematangan 1 mulai
pecah pada suhu 81°C, seperti yang terlihat pada Gambar 1 (g). Pada suhu 83°C
granula pati terlihat lebih transparan. Sementara itu, untuk tingkat kematangan 3
granula pati mulai pecah pada suhu yang lebih rendah, yaitu suhu 80°C. Sebagian
besar granula patinya pecah pada suhu 81°C yang ditandai dengan granula yang
terlihat lebih transparan.

15
Menurut Fennema (1996), granula pati yang dipanaskan dalam air akan
membengkak kemudian pecah. Prosesnya dinamakan gelatinisasi. Komponen
amilosa dan amilopektin akan keluar dari granula pati yang sudah pecah. Granula
pati yang sudah pecah terlihat transparan dan tersisa granule ghost seperti yang
terlihat pada Gambar 4 (i). Sehingga granula pati yang sudah pecah akan
kehilangan sifat birefrigence dan kristalinitasnya (Fennema 1996). Perbedaan
granula permukaan granula pati pisang dapat menjadi salah satu faktor pecahnya
granula pati pada tingkat kematangan 3 di suhu yang lebih rendah. Permukaan
yang kasar pada granula pati mengindikasikan bahwa granula pati mengalami
kerusakan (Nimsung et al. 2007). Sehingga ketika terjadi pemanasan, granula pati
yang memiliki permukaan kasar tersebut akan lebih mudah pecah.
Profil Gelatinisasi Pati Pisang
7000.00

100.0

6000.00

90.0
80.0

5000.00
60.0

3000.00

Pak Chong
Khom
Mali Ong
Temp

2000.00
1000.00

-1000.00

0.1
0.9
1.8
2.7
3.5
4.4
5.3
6.1
7.0
7.9
8.7
9.6
10.5
11.3
12.2
13.1
13.9
14.8
15.7
16.5
17.4
18.3
19.1
20.0

0.00

50.0
40.0

Suhu (°C)

Viskositas (RVU)

70.0

4000.00

30.0
20.0
10.0
0.0

Waktu (menit)

Gambar 7 Grafik profil gelatinisasi pati pisang Namwa Thailand tingkat kematangan 1

Profil gelatinisasi pati pisang Namwa dianalisis dengan menggunakan Rapid
Visco Analyzer (RVA) untuk varietas Pak Chong, Khom, dan Mali Ong. Gambar
5 memperlihatkan profil gelatinisasi pati pisang Namwa yang memiliki profil
mirip. Varietas Khom menunjukkan viskositas maksimum (peak viscosity) yang
paling tinggi (5067 ± 3 cP) dibandingkan Mali Ong (4921 ± 18 cP) dan Pak
Chong (4644 ± 15 cP) secara signifikan. Viskositas maksimum yang tinggi ini
menunjukkan bahwa varietas Khom lebih cepat menyerap air dan membentuk
pasta (Adewole et al. 2012) dibandingkan Mali Ong atau Pak Chong. Hal ini juga
ditunjukkan dengan waktu tercapainya viskositas maksimum (peak time) untuk
varietas Khom yang lebih cepat dari pada Pak Chong atau Mali Ong.

16
Tabel 3 Profil gelatinisasi pati pisang Namwa Thailand tingkat kematangan 1
Varietas

a

Peak Viscosity
(cP)a

Breakdown
(cP)a

Setback
(cP)a

Peak Time
(minute)a

Pasting Temp
(°C)a

Khom

5067 ± 3a

1594 ± 170a

2642 ± 24a

5.30 ± 0.05a

81.40 ± 0.07a

Pak Chong

4644 ± 15b

1296 ± 32a,b

2832 ± 10b

5.17 ± 0.05a

80.68 ± 1.10a

Mali Ong

4921 ± 18c

1266 ± 10b

2540 ± 8c

5.23 ± 0.05a

80.65 ± 1.13a

Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Gambar 5 juga memperlihatkan bahwa pati pisang Namwa memiliki
breakdown yang rendah dan setback yang cukup tinggi. Varietas Mali Ong
memiliki breakdown terendah (1266 ±10 cP) daripada Khom (1594 ± 170 cP) dan
Pak Chong (1296 ± 32 cP). Hal ini menunjukkan bahwa pasta pati pisang dari
ketiga varietas ini stabil selama proses pemanasan. Kemudian, selama proses
pendinginan (cooling), viskositas pasta pati dari ketiga varietas pisang Namwa ini
akan meningkat. Ikatan hidrogen antara amilosa dan amilopektin akan lebih cepat
terbentuk dibandingkan retensi air sehingga menyebabkan viskositas pasta pati
meningkat (Pellisari et al. 2012). Hal ini mempengaruhi nilai setback pati pisang
Namwa yang tinggi. Setback juga mengindikasikan indeks retrogradasi dari pasta
pati (Aini dan Hariyadi 2010). Setback yang tinggi menandakan bahwa pati dari
pisang mudah teretrogradasi dan stabil selama pendinginan. Varietas Pak Chong
memiliki nilai setback tertinggi (2832 ± 10 cP) dibandingkan varietas Khom (2642
± 24 cP) dan Mali Ong (2540 ± 8 cP). Suhu gelatinisasi (pasting temperature)
untuk ketiga varietas pisang Namwa tidak berbeda secara nyata. Varietas Khom
memiliki suhu gelatinisasi tertinggi (81.40 ± 0.07 °C) diikuti oleh Pak Chong
(80.68 ± 1.10 °C), dan Mali Ong (80.65 ± 1.13 °C) secara berturut-turut. Nilai
suhu gelatinisasi pati pisang Namwa mendekati dengan nilai yang dihasilkan oleh
Siriwong (2003) yang menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati pisang Thailand
mentah sekitar 78 – 81 °C

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tingkat kematangan pisang Namwa Thailand akan mempengaruhi sifat-sifat
pati pisang yang dihasilkan. Proses ekstraksi pati pisang akan memberikan
hubungan negatif antara rendemen pati yang dihasilkan dengan tingkat
kematangan. Tingkat kematangan yang lebih tinggi akan menghasilkan rendemen
pati yang lebih rendah. Pati pisang Namwa Thailand memiliki kadar pati resisten
yang cukup tinggi untuk tingkat kematangan awal. Kadar pati resisten akan
menurun pada tingkat kematangan yang lebih tinggi. Pengamatan dengan
mikroskop menunjukkan bahwa pati pisang Namwa berbentuk oval tidak
beraturan. Bentuk granula pati pisang antar varietas sedikit berbeda. Bentuk

17
granula pati juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan, dimana pada tingkat
kematangan awal granula pati akan berbentuk lebih oval. Pada tingkat
kematangan yang lebih tinggi, granula pati pisang Namwa akan berbentuk lebih
oval memanjang dan berukuran lebih kecil. Selain itu, granula pati pada tingkat
kematangan yang lebih tinggi akan pecah pada suhu yang lebih rendah
dibandingkan granula pati pada tingkat kematangan awal.
Saran
Penelitian secara lebih mendalam dibutuhkan untuk memastikan faktorfaktor yang menyebabkan penurunan kadar pati resisten pisang Namwa pada
tingkat kematangan yang lebih tinggi. Penelitian lain yang berhubungan dengan
aplikasi pati pisang dalam produk pangan olahan juga dapat dilakukan, sehingga
dapat diketahui pada tingkat kematangan tertentu dapat menghasilkan produk
pangan olahan terbaik.

DAFTAR PUSTAKA
Aini Nur dan Purwiyatno Hariyadi. 2010. Gelatinization properties of white maize
starch from three varieties of corn subject to oxidized and acetylated-oxidized
modification. Int Food Res J. 17:961-968.
Arjcharoen Araya, B Silayoi, K Wanichkul, dan S Apisitwanich. 2010. Variation
of B genome in Musa accesions and their new identifications. Kasetsart J. (Nat.
Scie.). 44: 392-400.
Akerberg AKE, HGM Liljeberg, dan EA Granfeldt. 1998. An in-vitro method,
based on chewing, to predict resistant starch content in foods allows paralel
determination of potentially available starch and dietary fiber. J Nutr. 128:651660.
Bello-Perez LA, E Agama-Acevado, SG Sayago-Ayerdi, E Moreno-Damian, dan
JDC Figueroa. 2005. Morphological and molecular studies of banana starch.
Food Sci Tech Int. 11: 367-372.
Brunnschweiller J, D Luethi, S Handschin, Z Farah, F Escher, dan B Conde-Petit.
2005. Isolation, physicochemical characterization and application of yam
(Discorea spp.) starch as thickening and gelling agent. Starch-starke. 57:107117.
Da Mota RV, FM Lajolo, C Ciacco, dan BR Cordenunsi. 2000. Composition
functional properties of banana flour from different varieties. Starch-starke.
34:62-68.
Dadzie BK dan JE Orchard. 1998. Routine postharvest screening of
banana/plantain hybrids. Criteria and methods. INIBAP Technical Guidelines.
Eggleston G. 1992. Physicochemical studies on starches isolated from plantain
cultivars, plantain hybrids cooking bananas. Starch-starke. 44:121-128.
Englyst HN and JH Cummings. 1986. Digestion of the carbohydrates of banana
(Musa paradisiaca sapientum) in the human small intestine. American J Clin
Nutr. 44:42-50.

18
Englyst HN. SM Kingman, dan JA Cumming. 1992. Classification and
measurement of nutritionally important starch fractions. European J of Clin
Nut. 46:533-550.
[FAO] Food Agriculture Organization. 2012. FAOSTAT statistics database.
[Internet]. [diacu 2014 November 15]. Tersedia dari: http://www.fao.org/
production/faostat.
Faisant N, A Buleon, P Colonna, C Molis, S Lartigue, JP Galmiche, dan M
Champ. 1995. Digestion of raw banana starch in the small intestine of healthy
hymans: structural features of resistant starch. Br. J. Nutr. 73: 111-123.
Fennema Owen R. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker: New
York.
French AD. 1984. Organization of starch granules pp 183-247. In: Whistler RL,
Be Miller JN and Paschall EF (eds), Starch: Chemistry and Technology.
Academic Press: New York.
Goni I, L Garcia-Diz, E-Manas, dan F Saura-Claisto. 1996. Analysis of resistant
starch: a method for foods and food product. Food Chem. 56:445-449
Huang Y. 2013. Impact of Banana (Musa acuminata) Ripening on Resistant and
Non Resistant using hot-air and microwave drying. Thesis. McGill University:
Kanada.
Kader AA. 1999. Fruit maturity, ripening, and quality relationships. Acta Horta.
485:203-208.
Khawas PA, N Sit, LS Badwaik, SC Deka. 2014. Nutritional composition of
culinary Musa ABB at different stage of development. American J of Food Sci
Tech. 2(3):80-87.
Kotecha PM dan BB Desai. 1995. Banana, pp 67-90. Dalam: DK Salunkie and SS
Kadam (editor). Handbook of Fruit Science and Technology Production,
Composition, Storage, and Processing. Marcell Dekker Inc.: New York.
Lehmann U dan F Robin. 2007. Slowly digestible starch-its structure and health
implications: a review. Trends in Food Sci Technol. 18:346-355.
Lii CY et al. 1982. Investigation of the physical and chemical properties of
banana starches. J Food Sci. 47:1493-1497.
McCleary BV, M McNally, dan D Rossiter. 2002. Measurement of resistant starch
by enzymatic digestion in starch and selected plant materials. Collaborative
Study J AOAC Int. 85:1103-1111.
Megazyme. 2011. Resistant Starch Assay (KSTAR) Procedure. Irlandia:
Megazyme International.
Mohan T, PN Rajesh, KF Zuhra, dan K Vijitha. 2014. Magnitude of changes in
the activity of amylase and cellulase and its association with the biochemical
composition during maturation and ripening of banana (Musa spp.). Biochem
Physiol 3: 127.
Mohapatra D et al. 2010. Banana and its by-product utilisation: an overview. J Sci
Indust Res. 69: 323-329.
Ottenhof MA dan IA Farhat. 2004. Starch retrogradation. Biotechnology and
Genetic Engineering Reviews. 21:215-228.
Pellisari FM, MM Andrade-Mahecha, PJ do Amaral Sobral dan FC Menegalli.
2012. Isolation and characterization of the flour starch of plantain bananas
(Musa paradisiaca). Starch-starke. 64:382-391.

19
Peroni-okita FHG et al. 2010. In vivo degradation of banana starch:structural
characterization of the degradation process. Carbohydr Polym. 81:291-299.
Robinson JC. 1996. Banana and Plantains. CAB International: Oxon, UK.
Sharrock S dan C Lustry. 2000.in INIBAP Annual Report. INIBAP:Montpellier,
Perancis.
Shewfelt L Robert. 2009. Measuring quality and maturity in postharvest handling
Second Edition: A System Approach. Wojciech J et al, ed. Elsevier: New York.
Singh SP, L Bhatt, dan M Prasad. 2004. Physico-quality changes associated with
growth and development of banana (Musa sp) fruit CV Dwarf Cavendish.Agric
Sci Digest. 24:197-199.
Siriwong W, V Tulyathan, dan Y Waiprib. 2003. Isolation and physicochemical
characterization of starches from different banana varieties. J Food Biochem.
27:471-484.
Sonphueak Sutthipun dan Masubon Thongngam. 2012. The effect of harvesting
days of banana on the physicochemical properties of bananan flour and starch.
Proceeding of Kasetsart University Fair 24 October 2014 Bangkok.
Srikaeo K, S Mingyai, dan PA Sopade. 2011. Physicochemical properties,
resistant starch content and enzymatic digestibility of unripe banana, edible
canna, taro flours, and their rice noodle products. Int J Food Sci Tech. 46:21112117.
Tapre AR dan RK Jain. 2012. Study of advanced maturity stages of banana. Int J
Advanced Eng Res Studies. 1(3):272-274.
Thakorlal J, CO Perera, B Smith, L Englberger, dan A Lorens. 2010. Resistant
starch in micronesian banana cultivars offers health benefits. Pacific Health
Dialog. 16: 49-59.
Tester RF, J Karkalas, dan X Qi. 2004. Starch structure and digestibility enzymesubstrate relationship. World’s Poultry Sci J. 60:186-195.
Vatanasurchat N, B Niyomwit, dan K Wongkrajang. 2012a. Resistant starch
content, in vitro starch digestibility and physicochemical properties of flour
and starch from Thai bananas. Maejo Int J Sci Technol. 6(02):259-271.
---------------------------------------, dan W Narasri. 2012b. Resistant starch,
physicochemical and structural properties of bananas from different cultivars
with an effect of ripening and processing. Kasetsart J (Nat Sci) 26:461-472.
Wall MM. 2006. Ascorbic acid, vitamin A, dan mineral composition of banana
(Musa sp) and papaya (Carica papaya) cultivars grown in Hawaii. J Food
Composition Analys. 19:96-110.
Zhang P, RL Whistler, JN BeMiller, dan BR Hamaker. 2005. Banana starch:
production, physicochemical properties, and digestibility – a reviews.
Carbohydr. Polym. 59:443-458.

20
Lampiran 1 Kadar air pati pisang Namwa untuk analisis kadar pati resisten
Varietas
Mali Ong

Pak Chong

Khom

Tingkat Kematangan Kadar Air (%, bb)
1
3
5
1
3
5
1
3
5

13.4
11.0
11.0
11.0
10.9
11.1
11.0
11.0
11.0

21
Lampiran 2 Kadar pati resisten dan pati non resisten untuk perhitungan kadar total
pati
Varietas
Khom
Pak Chong
Mali Ong

Tingkat
Kematangan
1
3
1
3
1
3

Pati Resisten
(%)
64.62 ± 1.82
56.56 ± 0.81
64.90 ± 0.25
54.81 ± 2.23
66.01 ± 1.83
55.21 ± 0.62

Pati Non-Resisten
(%)
26.22 ± 1.18
36.48 ± 1.60
18.85 ± 0.30
33.91 ± 0.85
18.72 ± 0.80
35.15 ± 1.21

Total Pati
(%)a

90.84 ± 3.00a
93.04 ± 0.80 a
83.75 ± 0.04 a
88.72 ± 1.37 a
84.73 ± 2.63 a
90.36 ± 1.83 a,b

22
Lampiran 3 Hasil statistik untuk analisis kadar pati resisten pati pisang Namwa

Group Statistics
Maturity

N

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

Stage 1

6

65,1750

1,33358

,54443

Stage 3

6

55,5250

1,37046

,55949

RS

Independent Samples Test
RS
Equal variances Equal variances
assumed

not assumed

Levene's Test for Equality of F

,018

Variances

,895

Sig.
t
df
Sig. (2-tailed)

t-test for Equality of Means

Mean Difference
Std. Error Difference

12,361

12,361

10

9,993

,000

,000

9,65000

9,65000

,78066

,78066

95% Confidence Interval of

Lower

7,91058

7,91041

the Difference

Upper

11,38942

11,38959

23
Lampiran 4 Hasil statistik untuk analisis kadar total pati pisang
Khom
Descriptives
TS
N

Mean

Std.

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Deviation

Lower Bound

Minimum

Maximum

Upper Bound

Stage 1

2

11,6450

,38891

,27500

8,1508

15,1392

11,37

11,92

Stage 3

2

4,6000

,04243

,03000

4,2188

4,9812

4,57

4,63

Stage 5

2

,1300

,01414

,01000

,0029

,2571

,12

,14

Total

6

5,4583

5,19536

2,12100

,0061

10,9105

,12

11,92

Test of Homogeneity of Variances
TS
Levene Statistic

df1

.

df2
2

Sig.
.

.

ANOVA
TS
Sum of Squares
Between Groups

Mean Square

134,805

2

67,403

,153

3

,051

134,959

5

Within Groups
Total

df

TS
Duncan
Maturity

N

Subse