Seleksi Cendawan Endofit Untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia Solanacearum) Pada Tanaman Cabai

1

SELEKSI CENDAWAN ENDOFIT UNTUK PENGENDALIAN
PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum)
PADA TANAMAN CABAI

RATNA DWI HIRMA WINDRIYATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

3

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Seleksi Cendawan
Endofit untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada

Tanaman Cabai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Ratna Dwi Hirma Windriyati
NRP A352110041

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian pihak terkait.

4

RINGKASAN
RATNA DWI HIRMA WINDRIYATI. Seleksi Cendawan Endofit untuk
Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tanaman
Cabai. Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan ABDJAD ASIH NAWANGSIH.

Cabai merupakan salah satu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai
ekonomi cukup tinggi dan mempunyai kedudukan penting dalam industri pangan
di Indonesia. Budidaya cabai sangat bergantung pada musim, cuaca, iklim dan
serangan organisme pengganggu tanaman. Salah satu gangguan penyakit penting
yang sering menyerang adalah layu bakteri. Layu bakteri disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum yang mempunyai kisaran inang yang luas, menginfeksi
tanaman melalui akar dan menyerang pembuluh xilem. Penyakit layu bakteri ini
sulit untuk dikendalikan karena bakteri dapat bertahan di tanah dan gulma selama
bertahun-tahun.
Metode yang efektif dan ramah lingkungan sangat diperlukan, yaitu dengan
pengendalian hayati. Metode yang perlu dikembangkan misalnya menggunakan
cendawan endofit. Cendawan endofit adalah cendawan yang menginfeksi jaringan
tanaman tanpa menimbulkan gejala penyakit. Penelitian mengenai cendawan
endofit untuk pengendalian penyakit layu bakteri belum pernah dilakukan. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan beberapa cendawan endofit dan
menguji kemampuan cendawan endofit dalam mengendalikan penyakit layu
bakteri. Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu pengambilan sampel di
lapangan, isolasi cendawan endofit dan bakteri R. solanacearum, uji patogenisitas,
uji kolonisasi, uji keefektifan cendawan endofit penyakit layu bakteri dan
pengaruh cendawan endofit terhadap pertumbuhan.

Bakteri R. solanacearum diperoleh dari tanaman bergejala layu di Bogor,
sedangkan sampel tanaman cabai sehat diambil dari dua daerah yaitu Bogor
(kecamatan Dramaga dan Ciampea) dan Garut (Kecamatan Rancabango dan
Panjiwangi), setiap lokasi lahan diambil 10 tanaman cabai. Cendawan endofit
diisolasi dari bagian akar dan batang tanaman cabai sehat dengan sterilisasi
permukaan. Seluruh cendawan yang berhasil diisolasi berjumlah 110 isolat.
Cendawan yang didapatkan dari Bogor berjumlah 32 isolat (18 berasal dari akar
dan 14 dari batang), sedangkan dari Garut didapatkan 78 isolat (46 isolat berasal
dari akar dan 32 isolat dari batang).
Semua cendawan yang didapatkan dari hasil isolasi, diuji patogenisitasnya
terhadap perkecambahan benih cabai. Cendawan ditanam pada media PDA dan
diinkubasi selama 7 hari. Selanjutnya, 20 benih cabai yang sudah disterilisasi
permukaan ditanam di atas media biakan cendawan dan diinkubasi pada suhu
ruang. Setelah 7-14 hari, diamati persentase perkecambahan dan panjang
kecambah. Sepuluh isolat cendawan endofit didapatkan bersifat nonpatogenik, 7
isolat berasal dari bagian akar dan 3 isolat dari batang. Dua isolat cendawan
endofit (B1TW dan B5GB) dapat meningkatkan jumlah daun tanaman cabai dan 5
isolat cendawan endofit (A9.2GB, B5GB, A1SG, A3.2G2, A7.3G2) mampu
meningkatkan tinggi tanaman cabai dibandingkan dengan kontrol.
Lima isolat cendawan endofit yaitu A1TW, A7.3G2, A9.2GB, A8.1aG2,

dan B5GB diuji kemampuannya dalam menekan penyakit layu bakteri. Tiga isolat

5

cendawan endofit mewakili kelompok cendawan yang mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman, dan 2 isolat mewakili cendawan endofit yang tidak dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai. Berdasarkan kemampuannya
menghambat penyakit, didapatkan bahwa isolat B5GB dan A1TW mampu
menekan penyakit layu bakteri dengan tingkat penekanan paling tinggi, yaitu
sebesar 27% dan 23.33%.
Kata kunci: Capsicum annuum L., patogenisitas, pengendalian hayati

6

SUMMARY
RATNA DWI HIRMA WINDRIYATI. Selection of Endophytic Fungi as
Biocontrol Agent of Bacterial Wilt (Ralstonia solanacearum) on Chili. Supervised
by SURYO WIYONO dan ABDJAD ASIH NAWANGSIH.
Chili is one of important horticultural crops in Indonesia. Chili cultivation
very depend on the season, harvest, weather, climate, pest and diseases. Bacterial

wilt is one of important diseases on chili in Indonesia. Bacterial wilt is caused by
Ralstonia solanacearum which has wide range of host, infects the plant roots and
attacks the xylem vessels. The disease cause great yield loss. Bacterial wilt
disease is difficult to control because the bacteria can survive in the soil and
weeds for years, varied in virulence and has wide host range.
Environmentally friendly methods such as the using endophytic fungi is
needed. Endophytic fungi is potential as a biological agent and safe for
environment. Endophytic fungi is a fungi that infects the plant tissues without
causing any disease symptoms. This research was conducted to obtain endophytic
fungi from healthy chili plant and test the ability of endophytic fungi to control
bacterial wilt disease. This study was consisted of several steps, sampling in the
field, isolation of endophytic fungi and bacteria R. solanacearum, pathogenicity
test, colonization test, test of the effectiveness of endophytic fungi against
bacterial wilt disease and the growth of chili.
Ralstonia solanacearum was isolated from the infected plants from Bogor.
Healthy chili plant collection were taken from Bogor (Dramaga and Ciampea) and
Garut (Rancabango and Panjiwangi), from each field site, it was taken 10 chili
plants. The endophytic fungi were isolated from roots and stems of the healthy
chili plant by surface sterilization. The isolation resulted in 110 isolates fungi.
Thirty two of them were obtained from Bogor (18 isolates were derived from root

and 14 of them were from stem), whereas from Garut it was obtained 78 isolates
fungi (46 isolates were derived from root and 32 of them were from stem).
One hundred and ten isolated fungi were tested the pathogenicity on the
chili seed germination. Fungi were grown on potato dextrose agar medium and
incubated in 7 days. Twenty chili seeds were planted on the fungi culture medium
and incubated at room temperature. After 7-14 days the percentage of germination
and seedling length were observed. Ten isolates were nonpathogenic endophytic
fungi, 7 were derived from root, and 3 of them were from stem. Two endophytic
fungi isolates (B1TW and B5GB) increased the number of leaves of chili plants
and 5 isolates (A9.2GB, B5GB, A1SG, A3.2G2, A7.3G2) increased the chili
plants height compared to control plants.
Five isolates of endophytic fungi A1TW, A7.3G2, A9.2GB, A8.1aG2, and
B5GB tested the suppress ability of bacterial wilt disease. It were taken from 3
isolates of endophytic fungi (A7.3G2, A9.2GB, B5GB) represent fungi improved
plant growth and 2 isolates (A1TW, A8.1aG2) of endophytic fungi represent not
enhance chili plants height. Based on diseases suppression capability, it was found
that endophytic fungi isolates A1TW and B5GB were able to control bacterial wilt
at the level of 27% and 23.33%. Endophytic fungi isolates which were potential as

7


biological control agents of bacterial wilt disease on chili were A1 TW and
B5GB, both of which were sterile hyphae.
Keywords: Capsicum annuum L., pathogenicity, biological control

8

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9


SELEKSI CENDAWAN ENDOFIT UNTUK PENGENDALIAN
PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum)
PADA TANAMAN CABAI

RATNA DWI HIRMA WINDRIYATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

10

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Abdul Munif, MScAgr


12

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dipilih
ialah cendawan endofit, dengan judul Seleksi Cendawan Endofit untuk
Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tanaman
cabai.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suryo Wiyono, MScAgr dan Dr
Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi selaku pembimbing, yang telah banyak memberi
saran, kritik dan motivasi yang membangun, serta Dr Ir Abdul Munif, MScAgr
selaku penguji luar komisi, yang memberikan saran pada penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan
beasiswa studi magister melalui program Beasiswa Unggulan serta mendanai
sebagian penelitian ini melalui program Hibah Penelitian Unggulan Strategis
Nasional. Terima kasih pula kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
selaku ketua tim penelitian proyek Hibah Penelitian Unggulan Strategis Nasional
dan ketua program studi Fitopatologi, kepada Dra Purnomowati, SU dan Drs Uki

Dwiputranto, GradDipSc, MSc yang telah memberikan rekomendasi untuk
melanjutkan studi magister.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ayahanda Achmad Ghozali
Hasan, ibunda Sri Yuli Purwaningsih, suami Akhmad Saefudin, eyang uti Salimah
serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terima
kasih juga kepada teman-teman penulis, mba Riana, Evan, ibu Sri Hartati,
Fitopatologi 2011, Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Pondok Putri Rahmah, dan
semua pihak yang telah membantu tetapi tidak dapat disebutkan disini, penulis
ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas semua doa, bantuan dan
dukungan yang telah diberikan selama ini dengan balasan terbaik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Ratna Dwi Hirma Windriyati

13

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3

TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya Tanaman Cabai Merah
Bioekologi Bakteri Ralstonia solanacearum
Gejala Penyakit Layu Bakteri
Patogenisitas R. solanacearum
Pengendalian R. solanacearum
Cendawan Endofit sebagai Agens Biokontrol
Mekanisme Pengendalian Hayati Patogen oleh Cendawan Endofit

3
3
3
4
5
6
6
8

METODE
Tempat dan Waktu
Bahan
Isolasi Cendawan Endofit dari Tanaman Cabai Sehat
Uji Patogenisitas Cendawan Endofit terhadap Perkecambahan Benih
Cabai
Uji Kemampuan Cendawan Endofit terhadap Pertumbuhan Tanaman
Cabai
Uji Penghambatan terhadap Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman
Cabai
Uji Cendawan Endofit dalam Mengkolonisasi Tanaman Cabai
Variabel Pengamatan dan Pengukuran
Analisis Data

9
9
9
9

10
11
11
12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Cendawan Endofit
Patogenisitas Cendawan Endofit
Pengaruh Cendawan Endofit terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai
Kemampuan Cendawan Endofit dalam Mengendalikan Layu Bakteri
Kolonisasi Cendawan Endofit

12
12
13
16
18
19

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

20
20
21

10
10

14

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

31

15

DAFTAR TABEL
1
2
3

Jumlah isolat cendawan endofit dari tanaman cabai sehat
Pengaruh cendawan endofit terhadap perkecambahan benih cabai
Pengaruh cendawan endofit terhadap kejadian penyakit layu bakteri

12
13
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Pengaruh cendawan endofit terhadap jumlah daun tanaman cabai
Pengaruh cendawan endofit terhadap tinggi tanaman cabai
Tingkat kolonisasi cendawan endofit pada bagian akar dan batang
bibit cabai
Gambar mikroskopis hifa isolat A1TW (Hifa steril 1) pada media
water agar dan PDA
Gambar mikroskopis hifa isolat B5GB (Hifa steril 2) pada media
water agar dan PDA

17
17
19
20
20

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

9
10

Lokasi lahan asal sampel tanaman cabai sehat di daerah Bogor dan
Garut
Lokasi lahan asal sampel tanaman cabai bergejala layu di daerah
Bogor
Perkecambahan benih pada biakan cendawan endofit
Bentuk koloni beberapa isolat cendawan endofit
Tanaman cabai besar yang ditanam di rumah kaca
Tanaman cabai bergejala layu 9 dan 12 hari setelah perlakuan
Isolasi R. solanacearum
Daftar sidik ragam kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum 6
hari setelah perlakuan
Daftar sidik ragam kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum 9
hari setelah perlakuan
Daftar sidik ragam kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum
12 hari setelah perlakuan

26
27
27
28
28
29
29
30
30
30

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cabai merupakan salah satu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai
ekonomi cukup tinggi dan mempunyai kedudukan penting dalam industri pangan
di Indonesia. Tingkat konsumsi cabai masyarakat Indonesia tergolong tinggi,
terutama pada hari besar. Menurut data dari Ditjenhorti (2014), konsumsi cabai
merah dari tahun 2009 sampai 2013 cenderung meningkat, misalnya konsumsi
rata-rata per kapita dari tahun 2011 sampai 2012 yaitu dari 14 965 menjadi 16 529.
Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia pada skala rumah tangga
mengonsumsi cabai dalam bentuk segar (mencapai 80%), sedangkan untuk
industri pengolahan hanya 20%. Tingginya tingkat konsumsi cabai oleh
masyarakat memberikan peluang besar untuk petani dalam mengembangkan
budidaya cabai. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya lahan pertanian di
Indonesia pada tahun 2009 hingga 2013, yang menyebabkan meningkatnya
produksi dan produktivitas cabai besar. Meskipun jumlah lahan dan produksi
cabai meningkat, lonjakan harga cabai masih tetap terjadi setiap tahun. Hal ini
dapat dikarenakan harga cabai sangat bergantung pada musim tanam, musim
panen, sistem distribusi, cuaca, iklim dan serangan organisme pengganggu
tanaman. Salah satu gangguan penyakit penting yang sering menyerang adalah
penyakit layu. Penyakit layu dapat disebabkan kekurangan air atau adanya
gangguan patogen, seperti cendawan Verticillium sp. (Sanogo dan Carpenter
2006), Fusarium sp. (Nurzannah et al. 2014) dan bakteri Ralstonia solanacearum.
Penyakit layu yang akan dibahas disini adalah penyakit layu bakteri.
Layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Tanaman
yang terinfeksi akan menjadi layu, kerdil dan daunnya menguning (Alvarez et al.
2010). Hal ini sangat merugikan karena gejala lebih lanjut dapat menyebabkan
kematian dan kegagalan panen pada tanaman cabai. Kejadian penyakit yang
terjadi pada tanaman cabai dapat mencapai 16.6% (Begum et al. 2012). Bakteri ini
dapat bertahan hidup di dalam tanah dan air, meskipun tanpa tanaman inang. Sisa
akar tanaman terinfeksi patogen yang tertimbun di dalam tanah akan menjadi
sumber inokulum berikutnya. Sel bakteri yang keluar dari sisa akar tanaman
terinfeksi dapat menginfeksi tanaman lain, baik melalui luka alami atau luka
akibat adanya gigitan serangga. Penyakit ini mempunyai distribusi yang luas,
sering menyerang tanaman pertanian termasuk tanaman cabai, baik di negara
tropis maupun subtropis. Bakteri R. solanacearum dapat menular melalui saluran
irigasi atau permukaan air, pencangkulan, pemangkasan atau ketika pindah tanam.
Tanah yang terinfestasi bakteri akan terbawa melalui bibit, sepatu atau alat
pertanian, sehingga penyebarannya luas (EPPO 2004). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Alvarez et al. (2010) bahwa pengendalian penyakit layu bakteri sulit
dilakukan karena bakteri R. solanacearum dapat bertahan hidup di dalam tanah
dan air dalam waktu yang lama. Selain itu, bakteri ini mempunyai kisaran inang
yang luas (Schloter et al. 2000). Oleh karena itu, diperlukan adanya metode yang
dapat mengatasi penyakit ini, tidak hanya efektif tetapi juga ramah lingkungan.

2

Pengendalian penyakit layu bakteri yang sudah pernah dilakukan seperti
melakukan rotasi tanaman, tumpangsari, penanaman varietas tahan dan
penggunaan agens hayati seperti bakteri rizosfer dan endofit. Rotasi dan
tumpangsari dengan tanaman jagung yang dilakukan Khairul (2005) dapat
menekan kejadian penyakit layu bakteri pada cabai hingga 48.6%. Penanaman
varietas tanaman cabai tahan seperti varietas PBC 473 (Yulianah 2007; Putri
2010), pemanfaatan bakteri rizosfer Pseudomonas fluorescens RH4003 asal
kacang tanah dapat menekan kejadian penyakit menjadi 5.83% (Aditya 2006).
Pemanfaatan bakteri endofit dan rizosfer dari tanaman tomat (Nawangsih 2006:
Nawangsih et al. 2011), dan pisang tongkat langit (Latupeirissa et al. 2014) untuk
menekan penyakit layu bakteri. Teknik pengendalian hayati menggunakan bakteri
endofit telah banyak dilakukan untuk menekan layu bakteri, sebaliknya
pemanfaatan cendawan endofit untuk pengendalian penyakit layu bakteri masih
belum banyak dilakukan.
Cendawan endofit merupakan cendawan yang dapat mengolonisasi jaringan
tanaman tanpa menimbulkan gejala penyakit dan tidak menimbulkan kerugian
(Bacon dan White 2000). Cendawan endofit pada umumnya bermanfaat bagi
tanaman inang, seperti memacu pertumbuhan tanaman (Dai et al. 2008), tanaman
menjadi lebih tahan terhadap tekanan lingkungan dan dapat menekan penyakit
tanaman (Ganley et al. 2008; Motaal et al. 2010). Mekanisme penekanan penyakit
pada tanaman melalui dua cara yaitu secara langsung (antibiosis), menghasilkan
senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan patogen dan tidak langsung, yaitu
dengan menginduksi ketahanan tanaman inang baik secara fisik maupun kimia
(Herre et al. 2007). Penelitian cendawan endofit telah banyak dilakukan, namun
penelitian cendawan endofit pada tanaman hortikultura terutama tanaman cabai
sebagai agens hayati di Indonesia masih relatif sedikit. Beberapa penelitian
menunjukkan manfaat cendawan endofit asal cabai diantaranya adalah cendawan
endofit tanaman cabai dan teki untuk menekan Colletotrichum spp. (Istikorini
2008), cendawan endofit untuk menekan pertumbuhan kutu daun (Aphis gossypii)
(Hernawati et al. 2011), cendawan endofit untuk menghambat penyakit daun
keriting kuning (Damayanti 2013) yang disebabkan oleh Pepper yellow leaf curl
begomovirus (PepYLCV), dan untuk pengendalian penyakit busuk pangkal batang
karena Phytophthora capsici (Ramdan 2014).
Pemanfaatan cendawan endofit asal tanaman cabai untuk pengendalian
penyakit layu bakteri pada tanaman cabai belum pernah dilakukan. Pemanfaatan
cendawan endofit dari tanaman lain (selain cabai) sebagai agens hayati terhadap R.
solanacearum telah dilakukan, seperti cendawan endofit dari akar tanaman
kentang (Sunarmi 2010), tanaman Camptotecha acuminate (Ding et al. 2010) dan
tanaman Populus deltoides (Meng et al. 2012), namun pengujian yang dilakukan
masih dalam skala in vitro.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan cendawan endofit dari tanaman cabai sehat.
2. Menguji kemampuan cendawan endofit dalam mengendalikan penyakit layu
bakteri pada tanaman cabai besar.

3

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi baru mengenai spesies
cendawan endofit dari tanaman cabai yang mempunyai potensi dalam
mengendalikan penyakit layu bakteri dan memacu pertumbuhan pada tanaman
cabai.

TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya Tanaman Cabai Merah
Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu
tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi di Indonesia.
Cabai mempunyai kontribusi besar terutama di bidang industri pangan. Hal ini
ditandai dengan semakin meningkatnya permintaan cabai merah. Menurut data
dari Ditjenhorti (2014), luas lahan pertanaman cabai meningkat dari tahun 2009
ke 2013 (117.178 menjadi 124.110 ha). Oleh karena itu terjadi peningkatan
produksi pada tahun tersebut. Oleh karena itu, budidaya tanaman cabai perlu
dikembangkan.
Permasalahan yang sering muncul pada budidaya tanaman cabai adalah
banyaknya serangan hama dan penyakit, baik saat pembibitan, masa vegetatif,
generatif dan juga pascapanen. Penyakit yang sering menyerang tanaman cabai
seperti virus kuning, penyakit mosaik, antraknosa yang disebabkan oleh
Collethotricum sp. yang menyerang saat tanaman mulai berbuah, busuk pangkal
batang oleh Phytophthora sp. menyerang saat pembibitan, layu Fusarium, bercak
daun Cercospora, dan layu bakteri oleh Ralstonia solanacearum (Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian 2010). Menurut Rachmah (2015), penyakit yang
menyebabkan kerusakan cukup serius pada tanaman cabai pada masa vegetatif
dari tingkat paling tinggi yaitu berturut-turut penyakit layu bakteri, virus kuning
dan bercak daun Cercospora. Oleh karena itu perlu adanya kajian lebih lanjut
terhadap penyakit tersebut terutama layu bakteri.
Bioekologi Bakteri Ralstonia solanacearum
Bakteri R. solanacearum termasuk tular tanah dan air. Penyebaran antar
tanaman dapat terjadi apabila tanaman sehat berada di dekat perakaran tanaman
sakit, penanaman tanaman di lahan yang terinfeksi, melalui peralatan pertanian
dan aliran irigasi. Bakteri ini mampu bertahan dalam tanah hingga bertahun-tahun
dan bertahan pada tanaman alternatif lainnya. Beberapa gulma seperti Urtica
dioica, Amaranthus spp., Biden pilosa, Galinsoga perviflora, Oxalis latifolia,
Spergula arvensis, Rumex abyssinicum, Tagetes minuta dan Stellaria sennii
diketahui sebagai inang alternatif bagi bakteri ini (Wenneker et al. 1999). Yulianti
(2009) menambahkan bahwa R. solanacearum juga dapat hidup pada gulma
seperti rumput teki, krokot dan babandotan. Faktor lingkungan seperti temperatur,
kelembapan serta adanya mikroorganisme antagonis akan mempengaruhi
kelangsungan hidup bakteri ini (Champoiseau dan Jones 2009). Suhu (30-35 ºC)

4

dan kelembaban tanah yang tinggi merupakan kondisi terbaik R. solanacerum
untuk berkembang. Jumlah bakteri ini akan meningkat, laju infeksi patogen
meningkat, perkembangan penyakit meningkat, sehingga jumlah bakteri yang
keluar dari tanaman inang ke tanah meningkat. Hal ini akan mempercepat
penyebaran penyakit (EPPO 2004). Patogen ini telah banyak dilaporkan
mempunyai inang yang banyak. Salah satunya dilaporkan oleh Nasrun et al.
(2007) bahwa selain menyerang tanaman cabai, R. solanacearum juga menyerang
tanaman pisang, jahe, kacang tanah, nilam dan tanaman Solanaceae lainnya,
seperti tembakau, terong dan tomat.
Bakteri R. solanacearum dapat dikelompokan menjadi ras dan biovar.
Pengelompokan ras didasarkan pada kisaran inang dan reaksi hipersensitif pada
inang spesifik, sedangkan pengelompokan biovar didasarkan pada penggunaan
disakarida (laktosa, sorbitol dan selobiosa) dan heksosa alkohol (manitol, sorbitol
dan dulcitol). Menurut James et al. (2003), bakteri R. solanacearum yang
menyerang tanaman cabai masuk ke dalam ras 1 dan 3 serta biovar 3 karena
mampu menggunakan laktosa, maltosa, selobiosa, manitol, sorbitol dan dulcitol.
Nasrun et al. (2007) menambahkan bahwa R. solanacearum yang menyerang
nilam dapat juga menyerang tanaman cabai, namun tidak dapat menginfeksi
tanaman pisang, jahe dan kacang tanah, sehingga dimasukan ke dalam ras 1.
Biovar 3 juga mampu menggunakan sumber karbon lain seperti dekstrosa dan
trehalosa.
Bakteri R. solanacearum tidak akan berpendar jika ditumbuhkan pada
media King’s B, dapat tumbuh pada NaCl 0-2%, pH 4-8,5 dengan suhu 13-37 ºC
dan tidak dapat tumbuh pada suhu 41 ºC. Apabila ditumbuhkan pada media semi
selektif (tetrazolium cholride) akan membentuk koloni yang berlendir berwarna
putih dengan warna merah muda di tengah (virulen), sedangkan avirulen
koloninya berwarna merah tua (James et al. 2003). Hal ini juga didukung oleh
hasil penelitian dari Chandrashekara et al. (2012), bahwa koloni berwarna putih
kusam dengan warna merah muda di tengah dan tepi koloni bakteri ini bentuknya
tidak teratur. Bakteri ini termasuk Gram negatif, berbentuk batang dan tidak
membentuk spora.Uji KOH yang dilakukan oleh Chaudhry dan Rashid (2011)
menghasilkan adanya lendir pada loop, yang menunjukan bakteri tersebut
termasuk gram negatif (dinding sel yang tipis), tidak memproduksi levan, bersifat
aerob, tidak memproduksi ammonia dari arginin.
Gejala Penyakit Layu Bakteri
Gejala penyakit layu bakteri biasanya terlihat pada siang hari, yaitu daun
muda layu dan terlihat merunduk. Jika kondisi mendukung, seluruh bagian
tanaman akan layu. Sebaliknya jika kondisi kurang mendukung, perkembangan
penyakit kurang cepat, pertumbuhan terhambat, tanaman memproduksi akar
adventif pada batang. Jaringan vaskular pada batang terlihat cokelat, jika batang
dipotong terdapat aliran massa bakteri (ooze) berwarna putih kekuningan (EPPO,
2004). Adanya ooze ini membedakan gejala layu bakteri dari layu Fusarium. Layu
Fusarium ditandai dengan memucatnya warna tulang daun, tangkai merunduk dan
layu dimulai dari daun bagian bawah selanjutnya anak tulang daun menguning
(Nurzannah et al. 2014), sedangkan layu bakteri diawali dengan layunya daun
bagian pucuk, diikuti oleh daun bagian bawah (Nasrun et al. 2007). Gejala dengan

5

intensitas penyakit lebih dari 50%, tanaman akan mati dalam waktu 7-25 hari. Jika
akar dan batang dipotong, akan terlihat adanya nekrotik pada jaringan pembuluh,
yaitu adanya warna cokelat dan hitam sepanjang jaringan kayu dan kambium.
Selain itu, terdapat aliran massa bakteri yang keluar dari jaringan pembuluh kayu
jika batang direndam dalam air (Nasrun et al. 2007).
Menurut Champoiseau dan Jones (2009), bakteri R. solanacearum
menginfeksi tanaman terutama dari bagian akar yang terluka, baik dikarenakan
adanya pertumbuhan akar lateral atau karena luka oleh organisme lain. Selain itu
juga dapat masuk ke tanaman melalui batang yang luka karena serangga atau luka
mekanis. Setelah menginfeksi akar dan batang, kemudian mengolonisasi jaringan
vaskular melalui xilem. Hal ini didukung oleh pernyataan Zhu et al. (2010),
bahwa setelah menginfeksi tanaman melalui luka, bakteri ini kemudian
mengolonisasi pembuluh xilem dan menyebar dengan cepat hingga batang
tanaman sehingga menyebabkan layu.
Perkembangan layu pada tanaman juga bergantung pada tipe inang dan ras
patogen (Lemessa dan Zeller 2007). Gejala layu yang terjadi disebabkan adanya
produk eksopolisakarida polisakarida (EPS) berlebihan dalam pembuluh vaskular.
Kolonisasi dan kelayuan tanaman inang ini dipengaruhi oleh gen yang dimiliki R.
solanacearum. Gen tersebut adalah gen yang pengode enzim litik, EPS, gen hrp
(gen hipersensitif patogenisitas), gen pengode efektor yang diinjeksi oleh T3SS
dan gen pengode lainnya (Alvarez et al. 2010). Patogen tetap mempertahankan
keagresifannya pada kepadatan terendah 1.13x105 cfu/ml setelah memasuki fase
stasioner Zhu et al. (2010).
Patogenisitas R. solanacearum
Menurut EPPO (2004), R. solanacearum mempunyai beragam gen yang
terlibat dalam kolonisasi dan kelayuan tanaman inang, seperti enzim hidrolitik dan
EPS, gen hrp, lipopolisakarida dan lectin. Enzim hidrolitik merupakan enzim yang
digunakan untuk mendegradasi atau menghidrolisis dinding sel tanaman yang
sebagai tahap awal proses infeksi untuk mendapatkan nutrisi. EPS diketahui
berperan dalam merusak pembuluh tanaman karena adanya tekanan hidrostatik,
dan juga membantu dalam kolonisasi patogen pada batang tanaman.
Huang dan Allen (2000) juga menyatakan bahwa virulensi R.
solanacearum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ekstrapolisakarida (EPS I),
endoglucanase (EG) dan poligalakturonase (PG). Kolonisasi bakteri pada akar
batang tomat memerlukan senyawa ini. Poussier et al. (2003) menyatakan bahwa
gen phcA merupakan gen pengatur virulensi, yang ditemukan pada tanaman yang
layu atau terinfeksi, yang mengatur kejadian konversi fenotipik terjadi pada
tanaman. Pendekatan biokimia, genetika dan molekuler menyatakan bakteri
mempunyai faktor virulensi seperti EPS I yang mengsekresi eksoenzim untuk
mendegradasi dinding sel tanaman, poligalakturonase (PG) dan dan
endoglukanase (EG), mesin sekresi tipe III (hrp) yang memungkinkan sekresi dan
injeksi protein efektor ke dalam tanaman. Semua faktor virulensi dikendalikan
oleh gen phcA yaitu protein regulator yang berperan dalam sistem Phc. phcA
mengaktifkan ekspresi gen untuk mengode produksi EPS I, EG, beberapa
eksoprotein lain dan merepresi ekspresi gen lain seperti motilitas, produksi PG,
siderofor dan hrp.

6

Pengendalian R. solanacearum
Pengendalian bakteri R. solanacearum sangat kompleks sehingga
dibutuhkan pengendalian yang tepat, cepat, efisien, baik secara kimia maupun
biologi. Pengendalian layu bakteri menggunakan agens hayati sudah banyak
dilakukan, akan tetapi sebagian besar menggunakan bakteri. Pemanfaatan
cendawan endofit sebagai agens hayati untuk penyakit ini masih jarang dilakukan.
Guo et al. (2004), mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat
di rumah kaca menggunakan rhizobacteria yaitu dengan strain Serratia sp.(J2),
Pseudomonas fluorescens (J3) dan Bacillus sp. (BB11). Semua bakteri tersebut
mampu mengontrol penyakit layu bakteri dan dapat meningkatkan hasil tomat.
Kuarabachew et al. (2007) menggunakan P. fluorescens untuk mengontrol R.
solanacearum. P. fluorescens diisolasi dari kentang berbeda dari beberapa daerah
kemudian ditumbuhkan pada media King’s B. Isolat yang menunjukkan
antibiosis kemudian diuji di rumah kaca. Isolat Pf S2, Pf Wt3 dan PfW1 secara
signifikan dapat mengurangi 59,83% penyakit layu bila dibandingkan dengan
kontrol. Selain itu, pertumbuhan tanaman kentang meningkat seperti tinggi
tanaman dan berat kering. Chakravarty dan Kalita (2011) juga melakukan
penelitian menggunakan P. flruorescens untuk mengendalikan penyakit layu
bakteri pada terong. Bahan organik yang berbeda dievaluasi sebagai substrat
pembawa P. fluorescens. Vermikompos dan pupuk kandang dapat mendukung
pertumbuhan bakteri antagonis ini. Karboksil metil selulosa dan substrat pembawa
diuji di pot dan lapangan. Hasilnya formulasi CVPf dapat menekan penyakit layu
pada terong dan meningkatkan hasil panen dibandingkan yang lain.
Cendawan Endofit sebagai Agens Biokontrol
Endofit menurut Petrini (1992) dalam Vaz et al. (2009) adalah
mikroorganisme yang ada di dalam jaringan tanaman sehat paling sedikit satu
siklus hidup tanpa menyebabkan gejala penyakit atau pengaruh negatif terhadap
tanaman inang. Cendawan endofit dapat diperoleh dari jaringan tanaman yang
sehat, seperti akar, batang, daun dan buah. Vaz et al. (2009) mendapatkan
cendawan endofit dari tanaman Myrciaria floribunda, Alchornea castaneifolia dan
Eugenia aff. bimarginata. Cendawan endofit Colletotrichum gloesporioides
paling banyak terdapat pada M. floribunda dan A. castaneifolia, sedangkan
Mycosphaerella sp. paling banyak terdapat pada E. aff. bimarginata. Contoh
cendawan endofit lain yang pernah ditemukan yaitu Aspergillus flavus,
Penicillium citrinum dan Periconia lateralis yang ditemukan pada cabai (Basha et
al. 2010). Cendawan endofit Ascomycota yang umum ditemukan pada tanaman
karet liar ada tiga genus yaitu Pestalotiopsis,Trichoderma dan Penicillium. Genus
lainnya yaitu Alternaria, Annulohypoxylon, Cladosporium, Cochliobolus,
Colletotrichum, Endomelanconiopsis, Entonema, Epicoccum, Fusarium,
Guignardia, Leptosphaerulina, Khuskia dan Umbelopsis (Gazis dan Chaverri
2010).
Cendawan endofit berbeda dengan cendawan mikoriza. Mikoriza
mengolonisasi akar tanaman hingga rizosfer, sedangkan endofit berada di dalam
jaringan tanaman, tumbuh dalam akar, batang, daun dan akan menghasilkan spora
jika jaringan tanaman tua. Menurut Rodriguez et al. (2009), hampir semua

7

tanaman sehat berasosiasi dengan cendawan endofit. Secara umum cendawan
endofit dikelompokkan menjadi endofit clavicipitaceous (C-endofit) dan
nonclavicipitaceous endofit (NC-endofit), berdasarkan keterkaitan evolusi,
taksonomi, tanaman inang dan fungsi ekologisnya. Endofit clavicipitaceous
biasanya menginfeksi rumput-rumputan, sedangkan endofit nonclavicipitaceous
pada jaringan nonvascular yang tidak menunjukan gejala, pakis, konifer dan
angiospermae. Penularan cendawan endofit dapat secara vertikal (diturunkan
kepada anakannya) dan secara horizontal.
Penelitian menggunakan cendawan endofit telah banyak digunakan.
Cendawan endofit diketahui mampu medukung pertumbuhan tanaman, juga
menekan penyakit tanaman. Banyak senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh
cendawan endofit misalnya antimikroba, insektisida, sitotoksik dan antikanker.
Pemanfaatan cendawan endofit sebagai agens biokontrol telah banyak dilakukan.
Beberapa diantaranya dilakukan oleh Rubini et al. (2005), yang mengisolasi
cendawan endofit dari tanaman cokelat, dan diuji kemampuannya dalam menekan
penyakit sapu setan. Gliocladium catenulatum merupakan cendawan endofit yang
dapat menekan penyakit sapu setan paling baik karena menghasilkan senyawa
antifungi.
Selain itu, Istikorini (2008) mengisolasi cendawan endofit dari bagian akar
dan batang tanaman cabai dan teki. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa
cendawan endofit tersebut adalah Acremonium sp., Fusarium oxysporum, F.
solani, Trichoderma sp., Gliocladium sp., Penicillium sp. Aspergillus sp. dan
Colletotrichum sp. Cendawan Acremonium sp. hanya dapat diisolasi dari teki,
sedangkan Colletotrichum sp. hanya dapat diisolasi dari tanaman cabai.
Berdasarkan uji patogenisitas yang dilakukan dapat dibuktikan bahwa cendawan
endofit yang didapatkan tidak mampu menimbulkan gejala penyakit pada tanaman
cabai, tomat, ketimun dan kacang panjang. Hernawati et al. (2011), mengisolasi
cendawan endofit dari daun tanaman cabai untuk menekan kutu daun. Beberapa
cendawan endofit yang didapatkan yaitu Aspergillus flavus, Nigrospora sp.
Coniothyrium sp., SH 1 (hifa steril 1) dan SH 2 (hifa steril 2). Setelah dilakukan
perlakuan berupa penyemprotan suspensi cendawan endofit pada bagian tajuk dan
tanahnya, terlihat bahwa Nigrospora sp., SH 1 dan SH 2 dapat menekan
pertumbuhan populasi kutu daun.
Pemanfaatan cendawan endofit sebagai agens biokontrol terhadap R.
solanacearum masih secara in vitro, yaitu dengan mengekstrak senyawa yang
dihasilkan dari cendawan. Seperti yang dilakukan oleh Ding et al. (2010)
mengisolasi cendawan endofit dari tanaman Camptotecha acuminate (Nyssaceae)
dan melaporkan bahwa terdapat sembilan taksa cendawan endofit, beberapa
diantaranya Colletotrichum, Alternaria dan Pestalotiopsis dan Diaporthe.
Selanjutnya cendawan ini difermentasi untuk mendapatkan senyawa metabolit
sekundernya dan diuji aktivitas antibakterinya terhadap R. solanacearum.
Ternyata hanya isolat XSJ01 (Penicillium sp.) yang mempunyai aktivitas
antibakteri kuat (zona hambat lebih dari 20 mm). Selain itu, Meng et al. (2012)
juga menguji senyawa metabolit yang dihasilkan cendawan endofit. Cendawan
endofit yang didapatkan berasal dari tanaman Populus deltoides (cottonwood).
Sebelumnya, cendawan endofit difermentasi kemudian dilakukan ekstraksi dan
fraksinasi. Terdapat empat senyawa yang didapatkan yaitu palmariol B, 4hydroxymellein, alternariol 9-methyl ether dan botrallin. Senyawa 4-

8

hydroxymellein mempunyai sifat antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan
dengan senyawa lainnya, yang ditandai dengan sedikitnya massa bakteri yang
tumbuh. Sebaliknya, senyawa botrallin mempunyai kemampuan antibakteri yang
paling lemah diantara senyawa lainnya.
Mekanisme Pengendalian Hayati Patogen oleh Cendawan Endofit
Cendawan endofit umumnya bersifat menguntungkan bagi tanaman inang.
Penelitian mengenai cendawan endofit sebagai agen biokontrol telah banyak
dikaji. Mekanisme cendawan endofit dalam menekan penyakit tanaman ada
beberapa, yaitu secara langsung (hubungan cendawan endofit dan patogen) dan
tidak langsung (induksi ketahanan tanaman).
Mekanisme penghambatan langsung biasanya terjadi karena cendawan
endofit menghasilkan senyawa aktif yang dapat menekan perkembangan patogen,
baik bersifat antifungal maupun antibakteri. Cendawan endofit yang masuk ke
dalam kelompok ini mampu menghasilkan satu atau lebih senyawa semacam
antibiotik, seperti senyawa terpenoid, alkaloid, senyawa aromatik dan polipeptida.
Cendawan endofit Acremonium zeae menghasilkan antibiotik pirosidin yang
mampu menghambat patogen A. flavus dan F. verticillioides. Selain itu, cendawan
endofit Phomopsis cassia juga dapat menghasilkan antibiotik cadinane
sesquiterpenes yang mampu menghambat Cladosporium sphaerospermum dan C.
cladosporioides. Selain menghasilkan senyawa aktif, cendawan endofit juga
menghasilkan enzim litik yang mampu mendegradasi senyawa penyusun dinding
sel patogen seperti kitin, protein, selulosa, hemiselulosa dan DNA. Cendawan
endofit akan menghasilkan enzim untuk menghidrolisis dinding sel tanaman
ketika mengkolonisasi permukaan tanaman. Enzim ini dapat menekan aktivitas
patogen secara langsung dan mendegradasi dinding sel patogen (Gao et al. 2010).
Penghambatan secara tidak langsung dapat melalui induksi ketahanan
tanaman, yaitu SAR (systemic acquired resistance) dan ISR (induced systemic
resistance). SAR, diinduksi oleh infeksi patogen yang diperantarai asam salisilat
dan berhubungan dengan akumulasi PR (pathogenesis related) protein. ISR
diinduksi oleh beberapa rhizobacteria non patogen, diperantarai oleh asam
jasmonik atau etilen, tidak berhubungan dengan akumulasi PR protein.
Mekanisme lainnya yaitu cendawan endofit sebagai elisitor yang dapat
merangsang tanaman menghasilkan senyawa metabolit aktif sehingga
meningkatkan ketahanan tanaman. Cendawan endofit juga dapat mendukung
pertumbuhan tanaman, yaitu dengan meningkatkan zat pengatur tumbuh seperti
sitokinin dan auksin, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik dan sulit
untuk diinfeksi patogen (Gao et al. 2010).
Beberapa penelitian mengenai cendawan endofit sebagai agens biokontrol
telah dilakukan banyak peneliti. Mejia et al. (2008), mendapatkan cendawan
endofit dari tanaman Theobromae cacao sehat, yaitu Colletotrichum
gloeosporioides, Clonostachys rosea dan Botryosphaeria ribis. Cendawan endofit
ini dapat melawan cendawan patogen seperti Moniliophthora roreri,
Phytophthora palmivora (busuk hitam buah), Moniliophthora perniciosa (sapu
setan). Motaal et al. (2010) mendapatkan cendawan endofit dari tanaman obat
Hyoscyamus muticus L. yaitu Alternaria alternata, Aspergillus fumigatus,
Drechslera hawaiiensis, Fusarium solani, Penicillium citrinum, Neoscytalidium

9

dimidiatum, Thyrostromella myriana, Ulocladium charcarum. Semua cendawan
endofit ini mempunyai aktivitas antagonis terhadap cendawan patogen Giberella
zeae dan Thanatephorus cucumeris. Semua cendawan endofit ini mengeluarkan
cairan ekstraseluler yang bersifat antagonis terhadap cendawan patogen. Rehman
et al. (2011) mendapatkan cendawan endofit Nodulisporium sp. dari tanaman obat
Nothapodytes foetida. Cendawan endofit ini setelah diuji dengan kultur ganda
ternyata mempunyai aktivitas antagonis terhadap cendawan patogen Alternaria
alternata dan Colletotrichum gleosporoides. Selain itu, cendawan Nodulisporium
sp. ini juga mampu menghambat bakteri patogen gram positif. Menurut Zhao et
al. (2010), cendawan endofit berperan penting dalam memproduksi senyawa
bioaktif untuk aplikasi pertanian, kesehatan dan industri makanan. Cendawan
endofit mampu memproduksi senyawa bioaktif yang sebenarnya berasal dari
tanaman, seperti paclitaxel, podophyyotoxin, camptothecine, vinblastine,
hypericin dan diosgenin. Asosiasi antara cendawan endofit dengan tanaman inang
ini menguntungkan karena salah satu senyawanya dapat bersifat antimikroba yang
banyak digunakan sebagai obat atau biokontrol. Cendawan endofit mampu
menginduksi ketahanan tanaman Pinus monticola, karena efektif meningkatkan
ketahanan terhadap penyakit Cronartium ribicola penyebab penyakit karat blister
putih pada pinus (Ganley et al. 2008).

METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen
Proteksi Tanaman dan Rumah Kaca Cikabayan Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2012 sampai dengan Desember 2014.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman cabai sehat dan
sakit (terinfeksi layu bakteri) yang diambil dari daerah Bogor dan Garut. Media
MEA (malt extract agar), PDA (potato dextrose agar), PDB (potato dextrose
broth), TTC (tripheny tetrazolium chloride) agar, dan TSA (tryptic soy agar),
etanol 70%, NaOCl 1% dan 3%, akuades, spiritus, isolat bakteri Ralstonia
solanacearum yang diisolasi dari tanaman cabai sakit, isolat cendawan endofit
dari tanaman cabai sehat.
Isolasi Cendawan Endofit dari Tanaman Cabai Sehat
Cendawan endofit diisolasi dari bagian akar dan batang tanaman cabai yang
sehat yang diperoleh dari lapangan. Dan tiap lokasi lahan, diambil 10 tanaman.
Isolasi cendawan endofit dilakukan dengan merujuk pada metode dari Fisher et al.
(1993). Akar dan batang tanaman dicuci bersih menggunakan air mengalir,
kemudian dipotong-potong. Potongan akar dan batang tanaman cabai disterilisasi
permukaannya secara bertahap yaitu dengan merendam dalam etanol 70% selama

10

1 menit, NaOCl 1% (akar) dan 3% (batang) selama 3 menit, etanol 70% selama 30
detik dan dibilas menggunakan akuades steril sebanyak 3 kali. Selanjutnya, akar
dan batang ditiriskan di atas kertas saring steril dan dipotong lagi menjadi bagian
yang lebih kecil. Potongan kecil tersebut kemudian ditanam pada media MEA
10% yang sebelumnya diberi 2 tetes asam laktat 20% per cawan petri. Setiap
cawan diisi 5 potongan bagian tanaman dan diinkubasi pada suhu ruang selama 310 hari. Miselium yang tumbuh dari potongan jaringan tanaman tersebut diamati
setiap hari, selanjutnya miselium dipindahkan ke dalam media PDA baru untuk
dimurnikan. Isolat yang telah murni diidentifikasi berdasarkan warna koloni dan
morfologi mikroskopisnya dan dibandingkan dengan kunci identifikasi. Uji
kesterilan dilakukan dengan membuat kontrol, yaitu dengan menggoreskan
potongan akar dan batang yang sudah disterilisasi (setelah bilasan terakhir) ke
media PDA, kemudian diamati beberapa hari berikutnya.
Uji Patogenisitas Cendawan Endofit terhadap Perkecambahan Benih Cabai
Cendawan endofit yang didapatkan dari hasil isolasi kemudian diuji
patogenisitasnya. Uji patogenisitas dilakukan dengan menumbuhkan benih cabai
varietas Gelora yang sudah disterilisasi permukaannya pada koloni cendawan
endofit berumur ± 7 hari. Benih cabai yang digunakan pada masing-masing
cendawan endofit sebanyak 20 benih. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang,
selanjutnya diamati selama 7-14 hari. Isolat cendawan endofit yang bersifat
patogenik tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya. Cendawan endofit bersifat
berpotensi patogenik apabila menghambat perkecambahan atau pertumbuhan biji
cabai.
Uji Kemampuan Cendawan Endofit terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai
Tahap ini dilakukan untuk melihat kemampuan cendawan endofit terhadap
pertumbuhan tanaman. Benih cabai disterilisasi permukaan dan direndam di
dalam suspensi cendawan endofit selama 60 menit. Selanjutnya, benih diambil
kemudian dibungkus menggunakan kertas tisu steril lembab dan disimpan
semalaman (12 jam). Benih cabai yang telah disimpan selanjutnya ditanam pada
baki semai berisi media tanah steril. Kontrol dilakukan tanpa pemberian cendawan
endofit. Setelah tanaman berumur 3 minggu dipindah ke polybag, dan disiram
kembali dengan suspensi cendawan endofit sebanyak 10 ml per tanaman
(kerapatan 105 fragmen hifa/ml).
Uji Penghambatan terhadap Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Cabai
Patogen diambil dari tanaman yang menunjukan gejala layu bakteri.
Tanaman cabai sakit dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran. Bagian pangkal
batang dipotong untuk melihat adanya ooze, selanjutnya dicelupkan ke dalam
tabung reaksi berisi 9 ml akuades steril. Selanjutnya dilakukan pengenceran
bertingkat untuk membuat seri pengenceran hingga10-8. Suspensi bakteri setiap
tingkat pengenceran 10-6, 10-7, 10-8 selanjutnya disebarkan ke dalam cawan petri
berisi media TTC agar sebanyak 0.1 ml dengan 3 ulangan. Isolat murni yang
didapatkan ini kemudian digunakan untuk melihat sifat morfologi dan fisiologi
bakteri berdasarkan Schaad (2001). Virulensi bakteri patogen dijaga dengan
menginokulasikan suspensi ooze ke tanaman cabai sehat.

11

Tahap selanjutnya yaitu inokulasi cendawan endofit pada tanaman cabai.
Cendawan endofit diinokulasikan ke tanaman dengan pemeraman benih dan
penyiraman pada bibit cabai. Pemeraman benih dilakukan seperti pada uji
keefektifan cendawan endofit terhadap pertumbuhan tanaman, dilakukan sebelum
penanaman. Penyiraman dilakukan dengan menumbuhkan cendawan endofit pada
media PDB 100 ml dan digojok dengan kecepatan 150 rpm selama 14 hari.
Miselium yang tumbuh dipanen dan dihancurkan menggunakan homogenizer
(IKA ULTRA-TURRAX T18 Basic) dengan kecepatan 3.500-24.000 rpm selama
5-8 menit. Kerapatan setiap cendawan endofit dihitung hingga menjadi 105
fragmen hifa/ml. Perakaran tanaman cabai berumur 1 minggu diinokulasi dengan
cendawan endofit kembali, dengan cara penyiraman sebanyak 10 ml per tanaman.
Tahap terakhir, dilakukan inokulasi bakteri patogen ke tanaman. Tanaman
cabai berumur 5 minggu (± 5-7 daun) pada perakarannya dilukai dengan
menggunakan pisau. Selanjutnya masing-masing tanaman diinokulasi dengan
suspensi inokulum R. solanacearum sebanyak 30 ml, dengan kerapatan bakteri
108 cfu/ml. Inokulum yang digunakan ini menggunakan suspensi ooze segar.
Pengamatan dilakukan terhadap masa inkubasi dan kejadian penyakit.
Uji Cendawan Endofit dalam Mengolonisasi Tanaman Cabai
Benih cabai direndam dalam inokulum cendawan endofit, kemudian disemai
pada media tanah steril di polybag dan diamati pertumbuhannya. Setelah 30 hari,
dilakukan pengamatan. Bagian akar dan batang tanaman cabai dipotong kecil dan
disterilisasi permukaannya dengan NaOCl 1% selama 1 menit dan etanol 70%
selama 1 menit, kemudian dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali, potongan akar
dan batang yang telah steril selanjutnya ditiriskan di atas kertas saring steril. Akar
dan batang dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecil, kemudian potongan
tersebut diletakkan di atas cawan petri berisi media PDA. Setiap cawan petri diisi
dengan 5 potongan akar dan diulang 5 kali, kemudian diinkubasi selama 5-7 hari
pada suhu ruang. Jumlah akar dan batang yang terkolonisasi cendawan endofit
dihitung untuk mendapatkan persentase kolonisasinya.
Variabel Pengamatan dan Pengukuran

1.
2.

3.

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Tinggi tanaman diukur dari atas permukaan tanah sampai tajuk tanaman cabai
menggunakan penggaris (cm). Pengamatan dilakukan setiap minggu.
Pengamatan kejadian penyakit dilakukan dari awal sampai muncul gejala
(masa inkubasi), diamati tiap hari. Kejadian penyakit dihitung dengan rumus
berikut:

Pengamatan kolonisasi cendawan endofit dilakukan dengan menghitung
persentase akar dan batang tanaman cabai yang terkolonisasi cendawan
endofit, yaitu dengan rumus berikut:

12

Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok.
Setiap perlakuan diulang 6 kali dan setiap ulangan terdiri atas 5 tanaman. Data
diolah menggunakan analisis ragam (Analysis of Variance) dan dilanjutkan
dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Cendawan Endofit
Cendawan endofit yang berhasil diisolasi dari wilayah Garut dan Bogor
berjumlah 110 isolat, masing-masing 78 isolat dari Garut dan 32 isolat dari Bogor
(Tabel 1). Jumlah cendawan endofit yang berasal dari Garut lebih banyak
dibandingkan dengan cendawan yang berasal dari Bogor. Hal ini diduga karena
adanya perbedaan waktu dalam pengambilan sampel. Pengambilan sampel
tanaman di daerah Garut dilakukan pada musim hujan, sedangkan pengambilan
sampel di Bogor sebagian dilakukan pada musim kemarau. Selain itu, adanya
penggunaaan fungisida yang berlebihan (dua kali seminggu) pada lokasi
pengambilan sampel di Bogor juga diduga mempengaruhi jumlah cendawan
endofit. Menurut Hyde dan Soytong (2008), keragaman spesies endofit sangat
ditentukan oleh metode isolasi, letak geografis asal tanaman serta bagian jaringan
yang diisolasi.
Tabel 1 Jumlah isolat cendawan endofit dari tanaman cabai sehat
Asal isolate
Bogor
Garut

Jumlah isolat dari bagian tanaman
Akar
Batang
18 (16.36)
14 (12.72)
46 (41.81)
32 (29.09)

Total
32 (29.09)
78 (70.90)

Angka dalam kurung menunjukkan persentase.

Hasil isolasi cendawan endofit juga menunjukan bahwa distribusi cendawan
endofit didapatkan dari akar lebih banyak dibandingkan dengan bagian batang.
Hal ini sesuai dengan penelitian Paul et al. (2012) yang memperoleh cendawan
endofit dari tanaman cabai, yaitu 41% berasal dari akar, 36% dari daun dan 23%
dari batang. Distribusi cendawan endofit yang ditemukan juga bergantung pada
jenis tanaman dan musim pengambilan sampel (Kim et al. 2013).

13

Patogenisitas Cendawan Endofit
Hasil pengujian patogenisitas cendawan dengan menggunakan benih cabai
menunjukan bahwa 91 (82.72%) isolat menghambat perkecambahan benih, 12
(10.9%) isolat bersifat netral, dan 10 (9.09%) isolat memacu perkecambahan
benih. Jumlah cendawan endofit asal akar yang memacu pertumbuhan panjang
kecambah hanya ada 7 (6.36%) isolat, sedangkan asal batang hanya 3 (2.72%)
isolat. Sebaliknya, jumlah cendawan asal akar yang menghambat pertumbuhan
kecambah sebanyak 57 (51.81%), dan 39.09% asal batang. Pengelompokkan ini
berdasarkan persentase kecambah dan rerata panjang kecambah. Isolat cendawan
endofit menghambat jika persentasi perkecambahan antara kurang dari 85% dan
mempunyai panjang kecambah kurang dari kontrol, sedangkan isolate cendawan
memacu perkecambahan jika persentase perkecambahan antara 85-100% dan
mempunyai panjang kecambah lebih dari kontrol. Isolat cendawan endofit
di