Tuntutan Integrasi: Menepis Dikotomi Ilmu Menyusun Keilmuan yang Ideal Kesimpulan

BAB V KURIKULUM MADRASAH ALIYAH MASA DEPAN

B. Tuntutan Pembaharuan

Pendidikan Madrasah Aliyah: Upaya Mempertahankan Sisi Politis Beberapa tuntutan pembaharuan pendidikan Madrasaha Aliyah MA diantaranya; tuntutan pembaharuan manajemen pengelolaan MA, tuntutan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia SDM guru, tuntutan perbaikan sarana prasarana dan tuntutan pembaharuan kurikulum MA. Masih ada tuntutan pembaharuan yang lain, tetapi penulis batasi hanya yang telah disebut. Bebarapa tuntutan ini harus direalisasikan oleh MA jika akan mempertahankan nilai politisnya.

C. Tuntutan Integrasi: Menepis Dikotomi Ilmu Menyusun Keilmuan yang Ideal

dalam Rangka Mewujudkan Kekuatan Politis Bergesernya kurikulum Madrasah Aliyah tidak terlepas dari tuntutan integrasi ilmu. Karena di awal perkembangan madrasah di Indonesia –seperti telah disebut Munir– perbedaan antara kurikulum madrasah dengan sekolah cukup terasa. Para pembaharu pemikiran Islam Indonesia pun tidak tinggal diam menyikapi masalah ini. Kemudian muncul istilah Islamisasi ilmu pengetahuan. Berbicara Islamisasi ilmu pengetahuan, yang merupakan akar permasalahan yang terjadi pada pergeseran kurikulum MA, memunculkan tiga paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma 111 sekuler, 112 paradigma Islamisasi dan paradigma integrasi. Hal ini dalam rangka mewujudkan konsep keilmuan yang ideal dalam kurikulum MA. Karena dengan kurikulum yang ideal, lembaga madrasah akan mempunyai kekuatan secara politis. Dan dengan paradigma yang integratif ini madrasah adalah lembaga pendidikan yang akan mengeliminasi dikotomi ilmu pengetahuan.

D. Tuntutan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

111 Kata paradigma mempunyai arti model, pola atau contoh, lihat, John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, 143. Immanuel Kant menyebut paradigma sebagai skema konseptual, Marx menyebutnya dengan ideologi dan Wittgestein dengan cagar bahasa, lihat, Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika Jakarta: Teraju, 2004, 11. Oleh karenanya paradigma dapat dimaknai sebagai sekumpulan asumsi- asumsi, konsep-konsep yang secara logis dianut bersama dan dapat mengarahkan cara berpikir, mengkaji dan meneliti. Lihat, Kusmana ed., Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset Jakarta: UIN Press, 2006, 33. 112 Secara harfiyah, kata sekuler berasal dari bahasa latin, saeculum yang berarti masa, waktu atau generasi, lihat, Havey Cox, The Secular City New York: The MacMillan Company, 1966, 2. Berbeda dengan Niyazi Berkes yang mengartikan kata saeculum dengan dunia masa kini, lihat Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey Montreal: McGill University Press, 1964, 5. Kata saeculum sebenarnya salah satu dari dua kata latin yang berarti dunia. Karena masih ada kata lain yaitu mundus, yang menunjukan ruang, sementara saeculum menunjukan waktu. Saeculum sendiri lawan dari kata eternum yang berarti abadi, yang digunakan untuk alam yang kekal abadi, lihat, Naquib al-Attas, Islam and Secularism, terj. Karsijo Joyosumarno Bandung: Pustaka, 1998, 18. Arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dibendung, sampai-sampai Hodgson mengatakan, bahwa zaman sekarang lebih tepat disebut dengan ”zaman teknik” technical age, karena pada kemunculan zaman itu, ada peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme itu. 113 Hal ini diperkuat Tilaar, menurutnya bahwa era abad 21 merupakan era ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa support ilmu pengetahuan dan teknologi suatu masyarakat akan tertinggal dari perubahan. Oleh sebab itu, negara- negara baik negara maju maupun negara berkembang memberikan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan, khususnya pendidikan sains dan pengembangan teknologi. 114 Mau tidak mau jelas berimplikasi terhadap umat Islam, yang menuntut dunia madrasah khususnya kurikulum MA harus menyesuikan dengan perkembangan zaman tersebut. E. Tantangan Modernitas Semakin lama manusia menginginkan otonomi yang lebih besar dalam hidupnya, dalam hal ini adalah kemerdekaan, berpikir rasional, dimana kesemuanya ini dapat menghantarkan perubahan, baik dalam kehidupan beragama, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Apa yang baru saja disebut, sebenarnya merupakan prinsip- prinsip modernitas, dimana menurut Tariq Ramadan, dalam The West and the Challenges of Modernity, prinsip-prinsip modernitas meliputi, rasionalitas, perubahan dan kemerdekaan. 115 Jika kurikulum MA, ingin menyesuaikan dengan zaman yang sedang berkembang, maka harus memenuhi tuntutan modernitas 116 ini, yakni kurikulum tersebut harus rasional, dimana pelajaran Mafikibb yang disebut Husni Rahim jangan menjadi momok madrasah, karena itu adalah rumpun mata-mata pelajaran yang bersifat rasional. Kurikulum MA harus berani berubah dan bergeser ke arah yang lebih baik. Serta kurikulum MA harus independen, artinya tidak ditunggangi kepentingan politik. 113 Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas Jakarta: Paramadina, 1998, 43. 114 Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia Jakarta: PT. Grasindo, 2002, 51. 115 Tariq Ramadan, The West and the Challenges of Modernity Menjadi Modern Bersama Islam: Islam Barat dan Tantangan Modernitas, edisi Indonesia Jakarta: Teraju, 2003, 1. 116 Menurut Arnold Toynbee, bahwa modernitas telah mulai menjelang akhir abad ke-15 M, ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya mengatasi Kristen abad pertengahan. Lihat, Arnold Toynbee, A Study of History, diringkas oleh D.D. Somervelle Oxford: Oxford University Press, 1957, 148.

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian beberapa bab terdahulu dapat disimpulkan, bahwa pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Hal ini tidak berarti bahwa faktor-faktor lain seperti, faktor agama ideologi, sosial, ekonomi, dan budaya, tidak ikut berperan dalam mempengaruhi pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah. Namun di antara faktor-faktor tersebut ada yang lebih dominan mempengaruhi pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah yaitu faktor politik. Biasanya ending dari terjadinya pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah ditentukan oleh kebijakan pendidikan, dan kebijakan tersebut muncul untuk menindaklanjuti undang-undang, sedangkan undang-undang itu biasanya syarat dengan kepentingan politis. Kesimpulan ini dikuatkan oleh bebarapa bukti argumen, sebagai berikut: 1. Kebijakan pendidikan di Indonesia jelas bersifat politis terhadap pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah MA, sehingga tujuan, isi, pendekatan metode dan penilaian kurikulum MA mengalami pergeseran dari masing-masing periode. Pergeseran metode dan penilaian dalam kurikulum MA tidak menjadi persoalan krusial, karena pergeseran ini mengarah pada modernisasi, dalam arti bergeser ke arah yang lebih baik. Tetapi ketika pergeseran tersebut pada tujuan dan isi kurikulum menjadi problem yang serius, karena ketika kedua komponen kurikulum MA ini berubah pastilah harus sesuai dengan dasar ke-Islaman madrasah yang menjadi fundamen pokok. Adapun pergeseran isi kurikulum MA yang secara otomatis menggeser tujuannya adalah lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Indikatornya, ketika tujuan kurikulum MA adalah untuk mencetak calon ulama, tetapi tujuan tersebut tidak tercapai karena terganjal dengan content kurikulum MA yang senantiasa meminimalisir pelajaran agama Islam, hal ini dijalankan oleh madrasah MA karena tuntutan undang-undang. Walaupun keadaannya terjepit oleh undang-undang yang bersifat politis, kurikulum MA tetap mempertahankan ciri yang melekat padanya dimana merupakan karakteristiknya. Adapun ciri yang melekat tersebut adalah senantiasa mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, yang secara substansi terkandung dalam tujuan dan isi kurikulum MA. 2. Kebijakan pendidikan yang bersifat politis menggiring sistem ganda dualistik dalam pendidikan menjadi satu sistem pendidikan nasional Undang-Undang Pendidikan pertama No. 4 tahun 1950 dan ke dua No. 2 tahun 1989. Hal ini terbukti dengan bergesernya kurikulum MA yang semula memprioritaskan ulu m al-di n kemudian lambat laun mengadopsi pelajaran umum yang pada akhirnya kurikulum MA sama dengan kurikulum SMA pada umumnya. Implikasi dari realitas yang demikian menyebabkan Diknas mempunyai otoritas yang lebih dominan. Dengan demikian outcome MA terus diklaim lebih rendah kualitasnya dari pada output SMA. Namun perlu menjadi catatan, bahwa setelah munculnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 30, pendidikan agama dengan tujuan menciptakan ahli agama ulama dapat diselenggarakan oleh pemerintah danatau kelompok masyarakat. Dengan demikian Madrasah Aliyah Keagamaan MAK dengan kurikulum dominan mata pelajaran agama Islam di bawah otoritas Kementerian Agama dapat direalisasikan, maka secara substansi tujuan dan content awal kurikulum MA tidak hilang, hal ini hendaknya menjadi perhatian bagi Kementerian Agama, agar meningkatkan kualitas pendidikan yang di bawah kewenangannya. Selanjutnya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan cukup efektif mempengaruhi pergeseran kurikulum MA. Dimana berdasarkan data yang penulis kumpulkan terjadi pergeseran kurikulum MA yang secara spesifik dapat diketahui pergeserannya dari komponen-komponen kurikulum MA. Semua komponen kurikulum MA sejak tahun 1950–2006 UU pendidikan pertama sampai ketiga baik tujuan, isi, metode maupun penilaian terjadi pergeseran. 3. Alur pergeseran kurikulum MA cukup jelas, bahwa sebelum muncul kurikulum 1975 kurikulum MA beragam dengan tetap mempertahankan ciri khas ke- Islamannya. Namun setelah muncul kurikulum 1975 kurikulum SKB tiga menteri, kurikulum MA menjadi seragam, dimana mengajarkan kurang lebih 30 pelajaran agama dan 70 pelajaran umum, persyaratan ini mutlak, ketika madrasah ingin diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional UU pendidikan No. 4 Tahun 1950 dan UUSPN No. 2 Tahun 1989. Dan perlu menjadi catatan penting bahwa kurikulum MA menjadi beragam kembali setelah munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003, yaitu pendidikan agama dengan menciptakan ahli agama ulama dapat diselenggarankan oleh pemerintah danatau kelompok masyarakat, dengan demikian MAK dapat payung hukum, hal ini dapat disimpulkan bahwa keragaman kurikulum madrasah setelah munculnya UUSPN Tahun 2003 secara politis dinaungi undang-undang.

B. Saran