Economic Impact Analysis of Road Infrastructure due to Estate Crops Sector in Lampung Province.
ANALISIS DAMPAK EKONOMI INFRASTRUKTUR JALAN
TERHADAP SEKTOR PERKEBUNAN DI PROVINSI LAMPUNG
NUNI GUSNAWATY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Dampak
Ekonomi Infrastruktur Jalan terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Nuni Gusnawaty
NIM H451100291
RINGKASAN
NUNI GUSNAWATY. Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur Jalan Terhadap
Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh BAYU
KRISNAMURTHI dan ANNA FARIYANTI.
Komoditas perkebunan merupakan andalan ekspor Indonesia, namun
sebagian besar diekspor dalam bentuk bahan mentah. Hal ini menunjukkan belum
maksimalnya proses industrialiasasi produk perkebunan. Infrastruktur jalan
memiliki peran penting sebagai sektor promosi untuk industrialisasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis peranan sektor
perkebunan dan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dalam perekonomian
Provinsi Lampung; (2) menganalisis keterkaitan dan peran investasi sektor jalan,
jembatan, dan pelabuhan terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung; (3)
menganalisis peranan jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis perkebunan kopi
di Provinsi Lampung. Penelitian ini menggunakan analisis tabel input output,
analisis regresi berganda, dan analisis efisiensi menggunakan persamaan
matematika. Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung.
Hasil analisis input output menunjukkan bahwa sektor kunci bagi
perekonomian di Provinsi Lampung adalah sektor kelapa, kopi, serta sektor jalan,
jembatan, dan pelabuhan. Sektor perkebunan yang memerlukan sektor jalan,
jembatan, dan pelabuhan adalah sektor kelapa sawit sedangkan sektor karet
berperan sebagai penyedia input. Penambahan panjang jalan berpengaruh positif
terhadap produksi kopi di Lampung, sedangkan peningkatan mutu jalan dapat
mengurangi biaya angkutan sebesar 22.501%. Pengurangan biaya transportasi
dapat mengurangi biaya produksi, sehingga harga kopi dapat menjadi lebih
kompetitif. Untuk dapat meningkatkan produksi tanaman perkebunan khususnya
kopi di Provinsi Lampung upaya yang dapat dilakukan adalah membuat jalan baru,
menggunakan bibit unggul sehingga produktivitas lahan meningkat, dan
peremajaan pohon yang sudah tidak produktif.
Kata kunci: tanaman perkebunan, input-output, jalan
, α-amilase, flavonoid, salam, saponin
SUMMARY
NUNI GUSNAWATY. Economic Impact Analysis of Road Infrastructure due to
Estate Crops Sector in Lampung Province. Supervised by BAYU
KRISNAMURTHI and ANNA FARIYANTI.
Estate commodities are mainstay product for Indonesia export, but most of
it was being export as fresh product. These facts showed that industrialization in
estate crops product has not been maximized yet. Road infrastructure has
important role as promoting sector for industrialization.
The objective of this research are (1) to analyze the role of estate crops
sector and roads, bridges and ports sector in Lampung Province economic
development; (2) to analyze connection and role of investment in roads, bridges
and ports sector for estate crops sector; and (3) to analyze role of road
infrastructure for the improvement of coffee agribusiness performance in
Lampung Province. Analysis tool used for this research are input output table
analysis, multiple linear regression analysis, and efficiency analysis using
mathematic equation. This research were held in Lampung Province.
Input-Output analysis (IO) showed that the roads, bridges and ports sector,
coconut sector, and coffee sector, are the key sectors in economic development of
Lampung province. Estate crops sector who really need the output of roads,
bridges and ports sector is the palm sector, while acting as input provider is
rubber sector. Increased length of road has positive effect for coffee production in
Lampung Province while improved quality of roads could reduce transportation
costs up to 22.501%. Reduction in transport costs can reduce production costs
and the price of coffee will be more competitive. In order to increased estate
crops production specially coffee in Lampung Province, government should build
new roads, encourage the use of high quality seeds, and rejuvenation of
unproductive trees.
Keywords: estate crops, input-output, Road
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAMPAK EKONOMI INFRASTRUKTUR JALAN
TERHADAP SEKTOR PERKEBUNAN DI PROVINSI LAMPUNG
NUNI GUSNAWATY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Drajat Martianto, MS
Penguji Luar Komisi
: Dr Ir Arief Daryanto, MEc
Penguji Program Studi
: Dr Ir Suharno, MADev
Judul Tesis : Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur Jalan Terhadap Sektor
Perkebunan di Provinsi Lampung
Nama
: Nuni Gusnawaty
NIM
: H451100291
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS
Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 11 Juli 2013
Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini adalah
infrastruktur dalam agribisnis, dengan judul Analisis Dampak Ekonomi
Infrastruktur Jalan terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS
serta Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi yang telah banyak memberi saran dan
bimbingan selama penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc dan Bapak Dr Ir Suharno,
MADev selaku penguji luar komisi dan penguji program studi atas saran yang
diberikan sehingga tesis ini menjadi lebih baik. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Dr Sumaryanto di Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Bapak Dr Haryono, Bapak Kasdi Subagyono, Bapak Dr
Marhendro, Bapak Drs Edi Sugianto serta staf Sekretariat Badan Litbang
Pertanian, dan Bapak Arif Maelan Khasani serta staf Badan Pusat Statistik yang
telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, alm ibu, suami dan anak-anak serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
Nuni Gusnawaty
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
4
7
8
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Infrastruktur Jalan di Indonesia
Peranan Pembangunan Infrastruktur Terhadap Perekonomian dan Upaya
untuk Meningkatkan Investasi di Bidang Infrastruktur
Keterkaitan antar Sektor dan Peranannya dalam Pembangunan
Perekonomian Daerah
Peningkatan Kinerja Agribisnis
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Model Input-Output
Pemutakhiran Tabel Input-Output dengan Metode RAS
Teori Produksi
Analisis Efisiensi Biaya
Konsep Daya Saing
Kerangka Pemikiran Operasional
9
9
13
15
17
19
19
19
23
24
25
25
26
4 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Analisis Keterkaitan antar Sektor Ekonomi
Analisis Dampak Berganda
Analisis Pengaruh Infrastruktur Jalan terhadap Kinerja
Agribisnis Perkebunan Kopi
29
29
29
29
31
33
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Perekonomian Provinsi Lampung
Keterkaitan dan Peranan Sektor Perkebunan dan Sektor Infrastruktur
Jalan dalam Perekonomian Provinsi Lampung
Keterkaitan ke Belakang
Keterkaitan ke Depan
Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan
Dampak Pengganda (Multiplier Effect)
38
38
34
39
40
44
48
49
Dampak Investasi Infrastruktur Jalan Terhadap Sektor Perkebunan
di Provinsi Lampung
Peranan Jalan dalam Peningkatan Kinerja Agribisnis Perkebunan Kopi
di Provinsi Lampung
Peranan Jalan dalam Peningkatan Produksi Kopi
Peranan Jalan dalam Efisiensi Biaya Angkutan
Peranan Jalan dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas Kopi
Lampung
51
54
55
58
60
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
63
63
64
DAFTAR PUSTAKA
65
LAMPIRAN
68
RIWAYAT HIDUP
93
DAFTAR TABEL
1 Luas areal dan produksi tanaman perkebunan rakyat, perkebunan besar
negara, dan perkebunan besar swasta di Provinsi Lampung 2011
2 Nilai ekspor per komoditi yang tercatat pada dinas perindustrian dan
perdagangan Povinsi Lampung Tahun 2007-2011 (000 US $)
3 Volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung Tahun 2002-2011 (ton)
4 Panjang jalan dirinci menurut tingkat kewenangan 1987 - 2010 (Km)
5 Ilustrasi tabel IO untuk tiga sektor
6 Struktur tabel input-output Provinsi Lampung klasifikasi 70 sektor
7 Rumus perhitungan multiplier effect menurut tipe dampak
8 Keterkaitan langsung ke belakang sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
9 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor
perkebunan dan sektor infrastruktur di Provinsi Lampung tahun 2011
10 Keterkaitan langsung ke depan sektor tanaman perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
11 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor tanaman
perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
12 Nilai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan sektor jalan,
jembatan, dan pelabuhan dengan sektor perkebunan Provinsi Lampung
tahun 2011
13 Indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan sektor
perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
14 Angka pengganda output sektor perkebunan dan sektor infrastruktur
Provinsi Lampung 2011
15 Angka pengganda pendapatan sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung 2011
16 Angka pengganda tenaga kerja sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung 2011
17 Multiplier efect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan
pelabuhan terhadap output sektor perkebunan dan sektor infrastruktur
Provinsi Lampung tahun 2011
18 Multiplier effect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan
pelabuhan terhadap pendapatan dari sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
19 Multiplier effect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan
pelabuhan terhadap tenaga kerja dari sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
20 Dampak investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan (juta rupiah)
21 Produksi dan luas lahan tanaman kopi di Provinsi Lampung periode
2002 sampai dengan 2011
22 Luas lahan kopi dan panjang jalan di Provinsi Lampung tahun 2002
sampai dengan 2011
23 Hasil regresi model produksi kopi di Provinsi Lampung
24 Peningkatan produksi kopi karena investasi pembangunan jalan baru
25 Ruas jalan, panjang jalan, dan kelas jalan sepanjang rute penelusuran
26 Peningkatan kinerja agribisnis kopi karena investasi jalan
4
5
5
11
21
30
34
42
43
45
46
47
49
50
50
51
52
53
53
54
55
56
57
58
59
62
DAFTAR GAMBAR
1 Kenaikan panjang jalan di Indonesia
2 Nilai ekspor komoditas perkebunan Provinsi Lampung 2007-2011
3 Grafik volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung 2007-2011
(Ton)
4 Panjang jalan di Indonesia 1987-2010
5 Alur keterkaitan antarsektor dalam perekonomian
6 Kerangka pemikiran operasional penelitian
3
6
6
10
22
28
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Klasifikasi sektor tabel IO Lampung tahun 2000
Klasifikasi sektor tabel IO Lampung tahun 2011
Keterkaitan langsung ke belakang sektor perkebunan dan infrastruktur
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor
perkebunan dan infrastruktur
Keterkaitan langsung ke depan sektor perkebunan dan infrastruktur
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor perkebunan
dan infrastruktur
Multiplier effect output simulasi investasi sektor jalan, jembatan, dan
pelabuhan
Multiplier effect pendapatan simulasi investasi sektor jalan, jembatan,
dan pelabuhan
Multiplier effect tenaga kerja simulasi investasi sektor jalan, jembatan,
dan pelabuhan
Hasil regresi fungsi produksi kopi = fungsi input
Perhitungan rencana anggaran biaya jalan kelas I, II, dan III
68
69
71
73
75
77
79
82
84
87
90
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, 20 Agustus 1981, merupakan putri
kedua pasangan Helmi dan Tjarningsih. Penulis menyelesaikan Sekolah
Menengah Atas pada tahun 1999 di SMU Negeri 2 Bandar Lampung, pendidikan
Strata Satu jurusan teknik sipil di Fakultas Teknik Universitas Lampung
diselesaikan pada tahun 2003. Penulis menjadi mahasiswi Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor mayor Agribisnis pada tahun 2010 dengan beasiswa
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang merupakan tempat penulis
bekerja sejak tahun 2006. Penulis menikah dengan Rinto Sugiharto, ST dan
dikaruniai dua orang putri yang bernama Karima Kusuma Dewi dan Hasna
Cendikia.
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan komoditas pertanian tidak terlepas dari peran berbagai
subsistem yang terlibat dalam sistem agribisnis, baik subsistem hulu (upstream
agribusiness), subsistem usahatani (on farm agribusiness), subsistem hilir
(downstream agribusiness) dan subsistem layanan pendukung (supporting
subsystem). Namun demikian, subsistem layanan pendukung sering diabaikan
dalam upaya pengembangan komoditas pertanian. Hal ini terjadi karena
pembangunan subsistem layanan pendukung seringkali bukan merupakan bagian
dari pembangunan pertanian walaupun memiliki peranan yang sangat penting
untuk mendukung pembangunan pertanian itu sendiri karena memiliki keterkaitan
yang sangat erat dalam mendukung subsistem lainnya sehingga pengembangan
agribisnis dapat berjalan dengan baik.
Infrastruktur merupakan salah satu sub sistem pendukung yang penting
dalam pengembangan agribisnis dan meningkatkan perekonomian Indonesia yang
merupakan salah satu negara yang berbasis pertanian. Bappenas (2010)
menyebutkan bahwa penyediaan infrastruktur sangat berperan dalam mendukung
perkembangan pertanian, antara lain berkontribusi dalam: (i) pengembangan
kapasitas sumberdaya lahan dan air untuk usahatani; (ii) mengurangi risiko
usahatani; (iii) memperlancar pengadaan masukan dan penyaluran keluaran
usahatani; (iv) pengadaan modal usahatani; dan (v) meningkatkan akses terhadap
sumber-sumber inovasi teknologi. Dengan demikian, kondisi infrastruktur yang
tidak memadai akan berdampak langsung pada peningkatan biaya, penurunan
produktivitas atau kombinasi keduanya dalam jangka pendek. Sedangkan dalam
jangka panjang menyebabkan terjadinya kontraksi manfaat tak langsung dari
kaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage),
turunnya kinerja faktor‐faktor produksi dan lambatnya pertumbuhan kesempatan
kerja dan usaha, sehingga pada akhirnya menyebabkan lambatnya pertumbuhan
ekonomi di wilayah yang bersangkutan (Bappenas 2010). Dengan demikian,
tersedianya infrastruktur yang memadai terutama yang mendukung usaha
pertanian merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkan
perekonomian masyarakat Indonesia, dimana pada Agustus 2011 jumlah
penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang bekerja di bidang pertanian,
kehutanan, perburuan, dan perikanan sebanyak 35,86 persen (BPS 2011).
Salah satu jenis infrastruktur yang sangat penting dalam menunjang aktivitas
ekonomi termasuk sub sektor pertanian adalah jalan. Weiss dan Figura (2003)
menyebutkan bahwa banyak keuntungan ekonomi yang diperoleh dari prasarana
jalan terutama yang terkait dengan pendapatan, aksesibilitas, lapangan pekerjaan,
reduksi biaya transportasi, penghematan biaya dan waktu serta peningkatan
produktivitas. Selain itu, peningkatan infrastruktur jalan memiliki kemampuan
paling tinggi untuk mendorong peningkatan output, penurunan tingkat harga,
peningkatan ekspor, penurunan suplai impor, peningkatan upah riil tenaga kerja,
dan peningkatan pendapatan rumah tangga dibandingkan dengan peningkatan
infrastruktur lainnya seperti komunikasi atau listrik. (Delis 2008)
2
Terkait dengan pengembangan sektor pertanian, Napitupulu et al. (2011)
menyebutkan bahwa pembangunan dan investasi sektor jalan dan jembatan dapat
mempercepat perubahan wilayah berbasis pertanian menuju industralisasi. Hal ini
terjadi karena jalan merupakan bagian dari infrastruktur yang berperan dalam
tahap awal pembangunan ekonomi dan lebih berperan sebagai “the promoting
sector” yang mendahului perkembangan sektor lainnya seperti industri.
Proses industrialiasi sektor pertanian merupakan isu penting yang masih
menjadi titik lemah pembangunan sektor pertanian, terutama sektor perkebunan.
Komoditas-komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi
yang merupakan andalan ekspor dari sektor pertanian masih diekspor dalam
bentuk primer, yang menunjukkan proses industrialiasi belum berjalan dengan
baik. Dengan demikian, investasi infrastruktur terutama jalan diharapkan mampu
mendorong proses industrialisasi tersebut sehingga tercipta nilai tambah dan daya
saing komoditas dari sektor perkebunan.
Walaupun proses industrialisasi masih berjalan lambat, komoditas
perkebunan masih memegang peranan penting karena selain sumbangan terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, komoditas perkebunan juga
merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia karena dari waktu ke waktu
neraca perdagangan komoditas perkebunan hampir selalu mengalami surplus.
Selama periode Juli- Agustus 2011, terjadi kenaikan surplus neraca perdagangan,
baik dari sisi volume dan nilai masing-masing sebesar 87.86 persen, dan 65.61
persen. Selama periode bulan Agustus 2011, surplus neraca perdagangan yang
terbesar adalah komoditas minyak sawit mencapai US$ 2.32 milyar, disusul oleh
komoditas karet sebesar US$ 913,39 juta. Sementara, komoditas yang mengalami
defisit neraca perdagangan dan terbesar adalah pada komoditas tebu yang
mencapai US$ 117.63 juta (Pusdatin Kementan 2011).
Krisis ekonomi yang melanda sebagian negara tujuan ekspor komoditas
perkebunan Indonesia, dan semakin ketatnya persaingan di perdagangan
internasional sehingga menuntut Indonesia dapat meningkatkan daya saing
komoditas perkebunan di dunia internasional antara lain dengan harga yang lebih
kompetitif, mutu yang lebih baik, dan meningkatkan dari ekspor yang berupa
bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi.Salah satu kendala
untuk memperoleh harga pasar yang lebih kompetitif untuk berbagai komoditas di
Indonesia adalah masalah transportasi. Menurut Parikesit (2009) infrastruktur
jalan bertanggung jawab 5-25% pada harga akhir sebuah komoditi di pasar.
Sarana dan prasarana transportasi yang kurang memadai membuat biaya produksi
menjadi tinggi sehingga harga produk Indonesia kurang kompetitif.
Keterbatasan dana Pemerintah baik pusat maupun daerah menyebabkan
kebutuhan akan infrastruktur yang lebih banyak dan lebih baik menjadi kurang
tercukupi. Untuk mengatasi keterbatasan ini, maka perlu adanya peran investasi
swasta. Hasil penelitian Banarjee et al. dan Wibowo (2006) menunjukkan bahwa
hal-hal yang menyebabkan kurangnya minat investor untuk berinvestasi di bidang
infrastruktur antara lain adalah karena kurangnya kestabilan makroekonomi,
institusi dan penegakkan hukum yang buruk, dan tingkat risiko investasi yang
tinggi dengan pengembalian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Upaya
yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan minat swasta untuk
berinvestasi di bidang infrastruktur adalah menciptakan kondisi makroekonomi
3
15
10
5
0
-5
-10
1987-1988
1988-1989
1989-1990
1990-1991
1991-1992
1992-1993
1993-1994
1994-1995
1995-1996
1996-1997
1997-1998
1998-1999
1999-2000
2000-2001
2001-2002
2002-2003
2003-2004
2004-2005
2005-2006
2006-2007
2007-2008
2008-2009
2009-2010
Kenaikan Panjang Jalan
(%)
yang stabil, institusi hukum yang transparan, efektif dan mampu menjamin
keamanan investasi, mengurangi tingkat risiko investasi infrastruktur.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model input-output (I-O)
untuk mengetahui peranan sub sektor perkebunan dan infrastruktur terutama jalan
dalam peningkatan perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya, dan menilai
peran infrastruktur jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis sektor perkebunan
dengan melihat pada salah satu komoditas perkebunan yaitu kopi. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk
meningkatkan investasi di bidang infrastruktur atau menbuat kebijakan yang dapat
meningkatkan peran swasta dalam investasi infrastruktur.
Sifat infrastruktur sebagai barang publik menyebabkan pengadaan
infrastruktur dianggap sebagai kewajiban pemerintah, sementara karena
keterbatasan anggaran maka dana yang dialokasikan untuk infrastruktur kurang
memadai. Keterbatasan anggaran ini dapat diatasi dengan adanya investasi swasta
di bidang infrastruktur, namun pihak swasta pada umumnya tidak mau
berinvestasi di bidang infrastruktur yang menurut Banarjee et al. (2006) dan
Wibowo (2006) penyebabnya adalah karena kurangnya kestabilan makroekonomi,
institusi dan penegakkan hukum yang buruk, serta tingkat risiko investasi yang
tinggi dengan pengembalian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Trend kenaikan panjang jalan di Indonesia periode tahun 1988 sampai
dengan tahun 2010 pada Gambar 1 menunjukkan nilai yang minimum pada tahun
1998-1999 karena pada tahun tersebut Indonesia sedang mengalami krisis
moneter. Tahun 1999 sampai dengan 2010 terjadi peningkatan pembangunan
infrastruktur jalan namun kembali menurun pada tahun 2010.
Kenaikan Panjang Jalan (%)
Trendline Kenaikan Panjang Jalan
Gambar 1 Kenaikan panjang jalan di Indonesia
Sumber: BPS (2012).
Peran swasta dalam investasi infrastruktur dapat ditingkatkan apabila
pemerintah mampu menginformasikan atau memperlihatkan bahwa risiko
investasi infrastruktur dapat diminimalkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan menunjukkan sektor-sektor apa yang dapat dikembangkan oleh
swasta sebagai timbal balik investasi tersebut. Penelitian ini mengambil
komoditas perkebunan sebagai sektor yang akan digunakan sebagai timbal balik
investasi karenamerupakan komoditas andalan ekspor Indonesia. Neraca
perdagangan sektor perkebunan hampir selalu mengalami surplus. Tahun 2011
surplus neraca perdagangan sektor perkebunan tertinggi dimiliki oleh komoditas
4
minyak kelapa sawit mencapai US$ 19.723 miliar, disusul oleh karet sebesar US$
10.679 miliar (Kementan Pusdatin 2012). Sementara, komoditas yang mengalami
defisit neraca perdagangan terbesar adalah tebu yang mencapai US$ 1.791 miliar.
Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi besar untuk
pengembangan sektor perkebunan. Provinsi Lampung bersama dengan Provinsi
Bengkulu dan Sumatera Selatan merupakan penghasil kopi robusta terbesar di
Pulau Sumatera yang merupakan daerah penghasil kopi utama di Indonesia.
Rumusan Masalah
Provinsi Lampung menempati posisi yang sangat strategis karena
merupakan provinsi penghubung Pulau Sumatera dan Jawa yang merupakan basis
kekuatan ekonomi Indonesia. Provinsi ini masih mengandalkan sektor pertanian
sebagai leading sector perekonomian daerah. Pada tahun 2010, sektor pertanian
secara umum masih merupakan penyumbang terbesar Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Provinsi Lampung dengan kontribusi sebesar 36.98 persen, diikuti
sektor industri pengolahan dengan kontribusi sebesar 16 persen (BPS Prov.
Lampung 2012). Pada sektor pertanian, Provinsi Lampung sejak lama dikenal
sebagai produsen utama komoditas utama perkebunan seperti lada, kopi, kakao,
karet, tebu dan kelapa sawit.
Lahan komoditas utama perkebunan di Provinsi Lampung dapat dilihat pada
Tabel 1. Nilai pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi terbanyak untuk sektor
perkebunan ditempati oleh tanaman tebu, tetapi tebu tidak memiliki lahan yang
belum menghasilkan. Apabila luas lahan yang ada mulai tidak produktif, maka
produksi tebu di Provinsi Lampung akan sangat menurun. Sedangkan komoditas
perkebunan lain yang masih memiliki potensi untuk peningkatan produksi antara
lain karet dan kelapa sawit.
Tabel 1 Luas areal dan produksi tanaman perkebunan rakyat, perkebunan besar
negara, dan perkebunan besar swasta di Provinsi Lampung tahun 2011
Komposisi Luas Areal (Ha)
Jenis Tanaman
Menghasilkan
Tidak
Menghasilkan
Jumlah
Produksi
(ton)
9.217
143.904
8.121
161.242
142,986
-
28
17
45
10
Lada
8.220
47.503
8.179
63.902
21,905
Karet
48.279
69.442
2.116
119,837
72,240
Tebu
-
113.847
-
113.847
548,513
Kakao
19.441
29.451
1.051
49.943
25,541
Kelapa Sawit
36.776
121.873
1.143
159.792
370,606
Belum
Menghasilkan
Kopi Robusta
Kopi Arabika
Sumber: BPS Provinsi Lampung (2012).
Sebanyak 49.26 persen penduduk Provinsi Lampung yang bekerja di bidang
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Luasnya areal perkebunan dan
banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian yang didalamnya termasuk
5
sektor perkebunan tersebut mengindikasikan bahwa sektor perkebunan memiliki
peranan yang sangat penting bagi perekenomian masyarakat Provinsi Lampung.
Nilai ekspor komoditas perkebunan di Provinsi Lampung tahun 2007 sampai
dengan tahun 2011 pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kelapa sawit merupakan
komoditas perkebunan dengan nilai ekspor tertinggi di Provinsi Lampung, dari
tahun 2007 – 2011 nilai ekspor untuk komoditas kelapa sawit maupun komoditas
perkebunan lainnya menunjukkan nilai yang cenderung meningkat. Nilai ekpor
komoditas perkebunan unggulan Provinsi Lampung lainnya dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Nilai ekspor per komoditi Provinsi Lampung tahun 2007-2011 (000 US $)
Jenis Komoditi
2007
2008
2009
2010
2011
Karet
91,224
101,266
69,768
235,672
126,614
Kopi
255,296
600,977
466,051
386,670
493,374
Lada
98,619
159,814
165,192
296,592
115,156
Kakao
72,944
149,019
228,547
474,335
99,763
262,127
883,175
751,507
675,046
832,458
17,582
24,996
70,752
42,317
26,594
Minyak Kelapa Sawit
Gula tetes
Sumber: BPS Prov. Lampung (2012).
Volume ekspor hasil komoditas perkebunan Provinsi Lampung tertinggi
seperti terlihat pada Tabel 3 sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 adalah
hasil olahan dari kelapa sawit berupa minyak kelapa sawit sebesar 788,319 ton
pada tahun 2011, diikuti oleh gula tetes (olahan dari tebu) sebesar 257,958 ton,
dan kopi sebesar 227,127 ton. Namun volume ekspor ketiga komoditas tersebut
pada tahun-tahun terakhir mengalami kecenderungan yang menurun.
Tabel 3 Volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung tahun 2002-2011 (ton)
Jenis Komoditi
Karet
Kopi
Lada
Kakao
Minyak Kelapa Sawit
Gula Tetes
2007
2008
2009
44,619
37,201
45,509
161,855
320,764
345,378
35,533
49,623
68,614
44,015
63,720
96,980
410,852 1,035,032 1,288,004
312,284
293,876
453,350
2010
65,385
266,658
81,617
148,467
800,030
286,781
2011
27,544
227,127
24,046
33,816
788,319
257,958
Sumber: BPS Prov.Lampung (2012).
Nilai ekspor komoditas perkebunan di Provinsi Lampung sejak tahun 2007
sampai dengan tahun 2011 cenderung mengalami kenaikan. Gambar 2
menunjukkan bahwa nilai ekspor komoditas perkebunan Provinsi Lampung
sampai dengan tahun 2011 tertinggi diperoleh pada tahun 2010 sebesar US$
2,110,632 dan turun pada tahun 2011 menjadi US$ 1,693,959.
6
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
0
2007
2008
2009
2010
2011
Ekspor Komoditi Perkebunan Prov. Lampung (US $)
Trendline Ekspor Komoditi Perkebunan Prov. Lampung
Gambar 2 Nilai ekspor komoditas perkebunan Provinsi Lampung tahun
2007-2011
Sumber: diolah dari BPS Prov.Lampung (2012).
Gambar 3 menunjukkan tahun 2009 sampai tahun 2010 terjadi pengurangan
volume ekspor kelapa sawit, yang disebabkan oleh adanya fenomena el-nino
sehingga produksi kelapa sawit berkurang, dan meskipun dampak fenomena iklim
sudah berlalu namun ditahun berikutnya ekspor tidak meningkat karena masalah
infrastruktur yang tidak mengalami kemajuan berarti, adanya penetapan tarif
ekspor untuk CPO dan produk sawit, dan berbagai bentuk non tariff barrier
terhadap produk kelapa sawit Indonesia baik oleh organisasi non profit maupun
grup konsumen Eropa dan konsorsium negara maju melalui PBB, serta belum
jelasnya aturan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi terutama di
provinsi-provinsi penghasil kelapa sawit sehingga tidak ada kepastian hukum
untuk pembukaan lahan sawit yang baru (Supriyono dan Yusuf 2012).
Keseluruhan nilai ekspor komoditas perkebunan mengalami trend yang
meningkat, namun volume ekspor untuk semua komoditas perkebunan mengalami
penurunan terutama untuk kelapa sawit. Pengembangan komoditas perkebunan
andalan tidak terlepas dari ketersediaan infastruktur seperti jalan. Infrastruktur
jalan memiliki peranan yang sangat penting terkait dengan aksessibilitas dan
mobilitas, baik barang, orang maupun jasa yang terkait dengan komoditas
tersebut. Dengan demikian, ketersediaan infrastruktur jalan baik secara kuantitas,
kualitas maupun penyebarannya di Provinsi Lampung akan memberikan dampak
langsung maupun tidak langsung terhadap pengembangan komoditas perkebunan.
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
2007
Karet
Kakao
2008
2009
Kopi
Minyak Kelapa Sawit
2010
Lada
Gula tetes
2011
Gambar 3 Grafik volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung tahun
2007-2011(Ton)
Sumber: diolah dari BPS Prov. Lampung (2012).
Pada tahun 2011, panjang jalan di Provinsi Lampung mencapai 18,520
km, yang terdiri dari jalan nasional sepanjang 682 km, jalan provinsi sepanjang
7
1,825 km, jalan kabupaten sepanjang 16,013 km dan jalan kota sepanjang 445.44
km (BPS Prov. Lampung 2012). Jika dirinci menurut kondisi jalan, sekitar 40.97
persen panjang jalan di Provinsi Lampung dalam keadaan baik, 21.16 persen
dalam kondisi sedang, 23.12 persen dalam kondisi rusak dan 14.75 persen dalam
kondisi kritis. Untuk memperbaiki kerusakan jalan provinsi, pemerintah Provinsi
Lampung menganggarkan dana sebesar Rp. 481 miliar, namun jumlah tersebut
hanya mampu memperbaiki sekitar 14.34 persen dari total jalan yang rusak
dimana kebutuhan idealnya mencapai Rp. 3,105.39 miliar (Bappeda Prov.
Lampung 2012)
Besarnya anggaran yang diperlukan untuk investasi maupun pemeliharaan
jalan mendorong pemerintah pusat maupun daerah harus menetapkan skala
prioritas untuk membangun ataupun memperbaiki jalan. Hal tersebut tentu akan
berdampak pada seluruh sektor perekonomian yang terkait, termasuk sektor
perkebunan. Untuk itu, perlu dilihat keterkaitan antara
pembangunan
infrastruktur jalan dengan kinerja sektor perkebunan. Dengan demikian,
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peranan sektor infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan dan
sektor perkebunan terhadap perekonomian di Provinsi Lampung?
2. Bagaimana dampak ekonomi investasi infrastruktur jalan, jembatan, dan
pelabuhan dalam pengembangan sektor perkebunan terutama dalam hal
output, tenaga kerja, dan pendapatan?
3. Bagaimana peran investasi infrastruktur jalan terhadap peningkatan kinerja
agribisnis sektor perkebunan khususnya kopi di Provinsi Lampung?
Analisis keterkaitan antar sektor digunakan untuk mengetahui peran sektor
perkebunan dan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap perekonomian
Provinsi Lampung secara keseluruhan. Sedangkan untuk mengetahui dampak
ekonomi investasi infrastruktur di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap
perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya dan sektor perkebunan
khususnya dilihat dari sisi output, pendapatan, dan tenaga kerja dilakukan
simulasi investasi dengan nilai yang tercantum dalam RPJMD Provinsi Lampung
2010-2014 untuk tahun 2013.
Peran infrastruktur jalan terhadap kinerja agribisnis perkebunan kopi dilihat
dari tiga hal yaitu dari sisi produksi, efisiensi biaya angkutan, dan daya saing kopi
Lampung. Dari sisi produksi selain dilihat pengaruh panjang jalan terhadap
produksi kopi di Lampung, dilihat juga pengaruh input-input produksi lainnya
seperti produktivitas, penggunaan pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan jumlah
pohon yang produktif. Peran infrastruktur jalan terhadap efisiensi biaya angkutan
diproxy dari data komposisi jalan sepanjang rute dari sentra perkebunan kopi di
Kabupaten Lampung Barat ke lokasi pengolahan kopi di Bandar Lampung dengan
biaya yang diperlukan dalam kondisi eksisting sehingga diperoleh berapa efisiensi
yang diperoleh jika mutu jalan sepanjang rute dinaikkan. Peran jalan terhadap
peningkatan daya saing akan diperoleh dari hasil analisis secara deskriptif dari
berbagai sumber dan hasil analisis kuantitatif sebelumnya.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk:
8
1. Menganalisis keterkaitan dan peranan sektor infrastruktur jalan, jembatan, dan
pelabuhan serta sektor perkebunan dalam perekonomian Provinsi Lampung
menggunakan metode input-output (IO).
2. Menganalisis multiplier effect investasi infrastruktur jalan, jembatan, dan
pelabuhan terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung menggunakan
metode input-output (IO).
3. Menganalisis peranan jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis perkebunan
kopi di Provinsi Lampung dilihat dari sisi produksi, efisiensi biaya, dan
peningkatan daya saing.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil
kebijakan untuk merumuskan kebijakan yang tepat dalam investasi jalan sehingga
dapat mendorong perkembangan sektor perkebunan yang menjadi andalan di
Provinsi Lampung. Serta secara akademis dapat menjadi bahan rujukan bagi
peneliti yang menaruh minat untuk memperdalam studi tentang investasi
infrastruktur maupun pengembangan ekonomi regional berbasis pertanian.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian untuk mengetahui bagaimana peran infrastruktur jalan raya
terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung ini tidak meneliti peran jalan
terhadap keseluruhan sektor komoditas perkebunan di Lampung, tetapi hanya
melihat perannya terhadap beberapa komoditas unggulan perkebunan saja yaitu
kelapa sawit, kopi, karet, tebu, lada, kakao, kelapa, cengkeh. Sedangkan untuk
mengetahui nilai peran jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis akan diambil
salah satu komoditas saja yaitu kopi. Dalam analisisis menggunankan metode I-O
sektor infrastruktur menurut Asosiasi Konstruksi Indonesia (AKI) dapat
dipisahkan menjadi sektor bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal,
sektor prasarana pertanian, sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan, sektor
bangunan instalasi listrik, gas, air bersih, dan komunikasi serta sektor bangunan
lainnya, sehingga kajian menggunakan metode ini tidak dapat melihat hanya
sektor jalan saja.
Untuk melihat perbedaaan biaya yang diperlukan untuk membangun jalan
kelas I, II, dan III akan digunakan ilustrasi sederhana rencana anggaran biaya
jalan dengan permukaan beton. Tetapi perhitungan ini tidak dapat dijadikan acuan
keperluan biaya riil untuk pembangunan jalan, karena dalam pembangunan jalan
biaya yang diperlukan tergantung kondisi tanah di lokasi, kontur lahan, desain
jalan, beban jalan, dan lain-lain sesuai kondisi lokasi.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Infrastruktur dalam agribisnis termasuk dalam subsistem kelembagaan dan
penunjang kegiatan pertanian. Karena sifatnya sebagai barang publik
menyebabkan pengadaan infrastruktur dianggap sebagai kewajiban pemerintah,
sementara karena keterbatasan anggaran maka dana yang dialokasikan untuk
infrastruktur kurang memadai.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model input-output (I-O)
untuk mengetahui berapa besar peranan investasi infrastruktur terutama jalan
dalam peningkatan perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya, dan
dampaknya terhadap subsektor perkebunan pada khususnya. Serta menilai peran
jalan dalam peningkatan kinerja sektor perkebunan dengan menganbil salah satu
kasus saja yaitu untuk komoditas kopi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong pemerintah pusat maupun
daerah untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur atau menbuat
kebijakan yang dapat meningkatkan peran swasta dalam investasi infrastruktur.
Kondisi Infrastruktur Jalan di Indonesia
Pertumbuhan ekonomi nasional di akhir tahun 2011 mencapai 6,5%.
Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan
infrastruktur. Kondisi infrastruktur di Indonesia mengalami masa kritis karena
kondisi infrastruktur tidak mampu menampung kebutuhan masyarakat.
Terbatasnya investasi pada pemeliharaan dan infrastruktur terlihat dari rendahnya
peringkat kualitas infrastruktur Indonesia pada indeks kualitas infrastruktur yang
pernah dipublikasikan pada World Economic Forum Competitiveness Report
tahun 2010-2011. Indeks ini menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-4
terendah. Pengukuran infrastruktur Indeks Daya Saing Dunia ini disusun
berdasarkan tanggapan survei eksekutif akan kualitas jalan, rel kereta api,
pelabuhan, transportasi udara, pasokan listrik,data tentang kabel telepon tetap dan
pelanggan telepon selular serta daftar kilometer kursi pesawat udara (Purwanti
dan Djumena 2011).
Salah satu infrastruktur yang perlu ditingkatkan adalah infrastruktur
transportasi karena infrastruktur transportasi berfungsi sebagai katalisator dalam
mendukung pertumbuhan wilayah, pertumbuhan ekonomi, dan sebagai alat
persatuan dan kesatuan. Berkaitan dengan peran yang diberikan oleh sub sektor
transportasi di dalam mendukung pembangunan perekonomian di Indonesia, data
statistik menunjukkan bahwa sub sektor ini memberikan kontribusi antara 3-4
persen terhadap PDB dari tahun 2000 – 2004 (Bappenas 2005).
Besarnya kontribusi yang diberikan oleh sektor transportasi dalam
peningkatan PDB tidak serta merta menyebabkan pemerintah meningkatkan
sarana pendukungnya yang salah satunya adalah jalan. Tabel 4 menunjukkan
kenaikan panjang jalan terbesar terjadi pada tahun 1988, dimana panjang jalan
naik sebesar 1094% dari tahun sebelumnya, sedangkan kenaikkan panjang jalan
menjadi negatif pada tahun 1999 karena sejak tahun tersebut jalan di Provinsi
Timor-Timur sudah tidak dimasukkan dalam data karena keluarnya Timor-Timur
dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (BPS 2012).
10
Tabel 4 Panjang jalan dirinci menurut tingkat kewenangan tahun 1987 – 2010
(Km)
Kenaikan
Tahun
Negara
Provinsi
Kab/Kota
Jumlah
Panjang Jalan
(%)
1987
13,863
12,594
33,398
168,784
1988
14,590
12,594
33,398
195,425
12.404
1989
17,185
17,800
32,250
208,437
7.071
1990
19,806
17,800
32,250
225,611
6.644
1991
21,858
17,800
32,250
249,535
8.679
1992
21,858
17,800
32,250
259,592
3.357
1993
23,483
17,800
32,250
275,178
5.034
1994
26,351
26,853
39,747
280,834
6.828
1995
23,857
26,853
39,747
293,151
3.545
1996
26,850
26,853
39,747
303,805
2.961
1997
27,127
26,853
39,747
305,248
0.390
1998
27,977
26,853
39,747
307,596
0.631
1999*)
26,206
26,271
38,914
283,207
-6.896
2000
26,272
26,271
38,914
282,898
-0.089
2001
26,328
26,271
38,914
287,577
1.344
2002
27,616
26,271
38,914
291,841
1.209
2003
29,318
26,271
38,914
292,774
0.261
2004
34,628
34,628
40,125
298,175
4.182
2005
34,628
34,628
40,125
316,255
4.848
2006
34,628
34,628
40,125
331,816
3.980
2007
34,628
34,628
40,125
346,782
3.681
2008
34,628
34,628
40,125
363,006
3.849
2009
38,570
38,570
48,020
389,747
8.813
2010
38,570
38,570
53,291
395,453
2.304
*)
sejak 1999 tidak termasuk Timor-Timur
Sumber: BPS (2012).
Panjang jalan di Indonesia terus meningkat tetapi persentase kenaikkan
panjang jalan setiap tahun semakin menunun. Puncak penurunan terjadi pada
tahun 1999 karena adanya krisis moneter di Indonesia disertai dengan pelepasan
Provinsi Timor-Timur. Grafik panjang jalan di Indonesia tahun 1988-2010 dapat
dilihat pada Gambar 4.
0
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999*)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Panjang
jalan total
(Km)
1,000,000
Panjang jalan total (Km)
Gambar 4 Panjang jalan di Indonesia tahun 1987-2010
Sumber: BPS (2012).
11
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2006 tentang jalan, jaringan
jalan berdasarkan fungsi dan perannya dapat dibedakan menjadi:
1. Sistem jaringan jalan primer
Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan yang disusun
berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua
simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:
a. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan;
b. menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.
Tipe jalan dalam sistem jaringan jalan primer terdiri dari:
1. Jalan arteri primer
Jalan arteri primer adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antara
pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat
kegiatan wilayah. Kecepatan rencana minimum adalah 60 km/jam dan lebar
badan jalan paling rendah 11 meter.
2. Jalan kolektor primer
Jalan kolektor primer adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antara
pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah
dengan pusat kegiatan lokal. Kecepatan rencana minimum adalah 40 km/jam
dan lebar badan jalan paling rendah 9 meter.
3. Jalan lokal primer
Jalan lokal primer adalah jalan menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan
pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan
lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat
kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. Kecepatan rencana
minimum adalah 20 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 7.5 meter.
4. Jalan lingkungan primer
Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan antarpusat kegiatan
di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan
perdesaan. Kecepatan rencana minimum adalah 15 km/jam dan lebar badan
jalan paling rendah 6.5 meter. Bila tidak diperuntukkan bagi kendaraan
bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih, lebar badan jalan paling rendah 3.5 meter.
2. Sistem jaringan jalan sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus
kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder
kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil. Sistem jaringan
jalan sekunder terdiri atas:
1. Jalan arteri sekunder
Jalan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan antara kawasan primer
dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan
sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Kecepatan rencana
minimum adalah 30 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 11 meter.
12
2. Jalan kolektor sekunder
Jalan kolektor sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder
kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Kecepatan rencana minimum
adalah 20 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 9 meter.
3. Jalan lokal sekunder
Jalan lokal sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan,
kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Kecepatan
rencana minimum adalah 10 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 7,5
meter.
4. Jalan lingkungan sekunder
Jalan lingkungan sekunder adalah jalan menghubungkan antarpersil dalam
kawasan perkotaan. Kecepatan rencana minimum adalah 10 km/jam dan lebar
badan jalan paling rendah 6.5 meter.
PP nomor 36 tahun 2006 tentang jalan menyebutkan bahwa jaringan jalan
menurut status jalan dikelompokan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten, jalan kota dan jalan desa. Sedangkan jaringan jalan menurut kelasnya
seperti tercantum dalam PP nomor 43 tahun 1993 dibagi menjadi:
1. Jalan kelas I
Merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan
lebih besar dari 10 ton.
2. Jalan kelas II
Merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10
ton.
3. Jalan kelas III A
Merupakan jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
4. Jalan kelas III B
Merupakan jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 12,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8
ton.
5. Jalan kelas III C
Merupakan jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,100 milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 9,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.
Dana pembangunan dan pemeliharaan yang kurang seharusnya membuat
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah lebih menjaga kondisi jalan yang
sudah ada, sehingga dana yang ada dapat digunakan semaksimal mungkin untuk
membangun jalan baru. Untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat
13
pemerintah sebaiknya mengetahui penyebab rusaknya jalan sebelum tercapai
umur rencana.
Menurut Agah (2008) penyebab rusaknya jalan sebelum tercapai umur
rencana adalah karena perilaku pengguna jalan yang mengangkut beban melebihi
beban standar rencana jalan, kesalahan desain, pengaruh lingkungan seperti
kondisi tanah yang memiliki sifat labil, malpraktek dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan jalan,
dan kurangnya tanggung jawab sosial
masyarakat untuk menggunakan prasarana jalan dengan baik.
Peranan Pembangunan Infrastruktur Terhadap Perekonomian dan Upaya
untuk Meningkatkan Investasi di Bidang Infrastruktur
Infrastruktur merupakan salah satu komponen yang penting dalam
meningkatkan perekonomian. Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa elastisitas
diacu dari produk domestik bruto (PDB) terhadap infrastruktur di suatu negara
adalah antara 0.07 sampai dengan 0.44 yang berarti kenaikan satu persen saja
ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0.07%
sampai dengan 0.44% (World Bank 1994).
Pasar dalam negeri, termasuk untuk produk pertanian banyak dikuasai oleh
produk-produk impor. Hal ini salah satunya disebabkan oleh tingginya biaya
produksi yang disebabkan oleh hambatan di bidang infrastruktur pendukung.
Karena itu untuk meningkatkan daya saing produk nasional yang dapat
mendorong peningkatan perekonomian Indonesia diperlukan adanya investasi di
bidang infrastruktur (Sindonews 2011).
Menurut World Economic Forum (WEF 2011) ada 12 pilar yang mendorong
peningkatan produktivitas dan daya saing yaitu:
1.
Institusi hukum dan administrasi yang baik dan transparan
2.
Infrastruktur yang ekstensif dan efisien
3.
Stabilitas makroekonomi
4.
Kesehatan dan pendidikan dasar
5.
Kualitas pendidikan dan pelatihan yang tinggi
6.
Efisiensi pasar barang
7.
Efisiensi pasar tenaga kerja
8.
Perkembangan pasar uang
9.
Kesiapan teknologi
10. Ukuran pasar
11. Perilaku bisnis dalam negeri
12. Inovasi
Indonesia berada pada peringkat 46 berdasarkan indeks daya saing global
(Global Competitiveness Indeks) 2011-2012 yang berarti turun 2 peringkat dari
tahun sebelumnya yang berada di urutan 44. Untuk meningkatkan perekonomian
Indonesia, maka Pemerintah dan swasta harus bekerja sama untuk meningkatkan
daya saing Indonesia di pasar dunia. Pada tahun 2011 Pemerintah membuat
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) yang
merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan
termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui
pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk
14
mencapai hal tersebut, diharapkan pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 7-9
persen per tahun secara berkelanjutan.
Pengembangan MP3EI dilakukan melalui perubahan pola pikir bahwa
keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya tergantung pada pemerintah saja
melainkan merupakan kolaborasi bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, BUMN, BUMD, dan Swasta. Pihak swasta akan diberikan peran utama
dan penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan investasi
dan penciptaan lapangan kerja, sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi
sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. Dari sisi regulasi, pemerintah akan
melakukan deregulasi (debottlenecking) terhadap regulasi yang menghambat
pelaksanaan investasi. Fasilitasi dan katalisasi akan diberikan oleh pemerintah
melalui penyediaan infrastruktur maupun pemberian insentif fiskal dan non fiskal.
Untuk penyediaan infrastruktur karena adanya keterbatasan anggaran
pemerintah, maka dalam MP3EI pemerintah akan mengembangkan model
kerjasama pemerintah dan swasta atau Public Private Partnership (PPP) juga
mengembangkan metode pembangunan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia
usaha yang dikaitkan dengan kegiatan produksi. Peran Pemerintah ada
TERHADAP SEKTOR PERKEBUNAN DI PROVINSI LAMPUNG
NUNI GUSNAWATY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Dampak
Ekonomi Infrastruktur Jalan terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Nuni Gusnawaty
NIM H451100291
RINGKASAN
NUNI GUSNAWATY. Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur Jalan Terhadap
Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh BAYU
KRISNAMURTHI dan ANNA FARIYANTI.
Komoditas perkebunan merupakan andalan ekspor Indonesia, namun
sebagian besar diekspor dalam bentuk bahan mentah. Hal ini menunjukkan belum
maksimalnya proses industrialiasasi produk perkebunan. Infrastruktur jalan
memiliki peran penting sebagai sektor promosi untuk industrialisasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis peranan sektor
perkebunan dan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dalam perekonomian
Provinsi Lampung; (2) menganalisis keterkaitan dan peran investasi sektor jalan,
jembatan, dan pelabuhan terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung; (3)
menganalisis peranan jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis perkebunan kopi
di Provinsi Lampung. Penelitian ini menggunakan analisis tabel input output,
analisis regresi berganda, dan analisis efisiensi menggunakan persamaan
matematika. Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung.
Hasil analisis input output menunjukkan bahwa sektor kunci bagi
perekonomian di Provinsi Lampung adalah sektor kelapa, kopi, serta sektor jalan,
jembatan, dan pelabuhan. Sektor perkebunan yang memerlukan sektor jalan,
jembatan, dan pelabuhan adalah sektor kelapa sawit sedangkan sektor karet
berperan sebagai penyedia input. Penambahan panjang jalan berpengaruh positif
terhadap produksi kopi di Lampung, sedangkan peningkatan mutu jalan dapat
mengurangi biaya angkutan sebesar 22.501%. Pengurangan biaya transportasi
dapat mengurangi biaya produksi, sehingga harga kopi dapat menjadi lebih
kompetitif. Untuk dapat meningkatkan produksi tanaman perkebunan khususnya
kopi di Provinsi Lampung upaya yang dapat dilakukan adalah membuat jalan baru,
menggunakan bibit unggul sehingga produktivitas lahan meningkat, dan
peremajaan pohon yang sudah tidak produktif.
Kata kunci: tanaman perkebunan, input-output, jalan
, α-amilase, flavonoid, salam, saponin
SUMMARY
NUNI GUSNAWATY. Economic Impact Analysis of Road Infrastructure due to
Estate Crops Sector in Lampung Province. Supervised by BAYU
KRISNAMURTHI and ANNA FARIYANTI.
Estate commodities are mainstay product for Indonesia export, but most of
it was being export as fresh product. These facts showed that industrialization in
estate crops product has not been maximized yet. Road infrastructure has
important role as promoting sector for industrialization.
The objective of this research are (1) to analyze the role of estate crops
sector and roads, bridges and ports sector in Lampung Province economic
development; (2) to analyze connection and role of investment in roads, bridges
and ports sector for estate crops sector; and (3) to analyze role of road
infrastructure for the improvement of coffee agribusiness performance in
Lampung Province. Analysis tool used for this research are input output table
analysis, multiple linear regression analysis, and efficiency analysis using
mathematic equation. This research were held in Lampung Province.
Input-Output analysis (IO) showed that the roads, bridges and ports sector,
coconut sector, and coffee sector, are the key sectors in economic development of
Lampung province. Estate crops sector who really need the output of roads,
bridges and ports sector is the palm sector, while acting as input provider is
rubber sector. Increased length of road has positive effect for coffee production in
Lampung Province while improved quality of roads could reduce transportation
costs up to 22.501%. Reduction in transport costs can reduce production costs
and the price of coffee will be more competitive. In order to increased estate
crops production specially coffee in Lampung Province, government should build
new roads, encourage the use of high quality seeds, and rejuvenation of
unproductive trees.
Keywords: estate crops, input-output, Road
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAMPAK EKONOMI INFRASTRUKTUR JALAN
TERHADAP SEKTOR PERKEBUNAN DI PROVINSI LAMPUNG
NUNI GUSNAWATY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Drajat Martianto, MS
Penguji Luar Komisi
: Dr Ir Arief Daryanto, MEc
Penguji Program Studi
: Dr Ir Suharno, MADev
Judul Tesis : Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur Jalan Terhadap Sektor
Perkebunan di Provinsi Lampung
Nama
: Nuni Gusnawaty
NIM
: H451100291
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS
Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 11 Juli 2013
Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini adalah
infrastruktur dalam agribisnis, dengan judul Analisis Dampak Ekonomi
Infrastruktur Jalan terhadap Sektor Perkebunan di Provinsi Lampung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS
serta Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi yang telah banyak memberi saran dan
bimbingan selama penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc dan Bapak Dr Ir Suharno,
MADev selaku penguji luar komisi dan penguji program studi atas saran yang
diberikan sehingga tesis ini menjadi lebih baik. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Dr Sumaryanto di Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Bapak Dr Haryono, Bapak Kasdi Subagyono, Bapak Dr
Marhendro, Bapak Drs Edi Sugianto serta staf Sekretariat Badan Litbang
Pertanian, dan Bapak Arif Maelan Khasani serta staf Badan Pusat Statistik yang
telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, alm ibu, suami dan anak-anak serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
Nuni Gusnawaty
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
4
7
8
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Infrastruktur Jalan di Indonesia
Peranan Pembangunan Infrastruktur Terhadap Perekonomian dan Upaya
untuk Meningkatkan Investasi di Bidang Infrastruktur
Keterkaitan antar Sektor dan Peranannya dalam Pembangunan
Perekonomian Daerah
Peningkatan Kinerja Agribisnis
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Model Input-Output
Pemutakhiran Tabel Input-Output dengan Metode RAS
Teori Produksi
Analisis Efisiensi Biaya
Konsep Daya Saing
Kerangka Pemikiran Operasional
9
9
13
15
17
19
19
19
23
24
25
25
26
4 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Analisis Keterkaitan antar Sektor Ekonomi
Analisis Dampak Berganda
Analisis Pengaruh Infrastruktur Jalan terhadap Kinerja
Agribisnis Perkebunan Kopi
29
29
29
29
31
33
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Perekonomian Provinsi Lampung
Keterkaitan dan Peranan Sektor Perkebunan dan Sektor Infrastruktur
Jalan dalam Perekonomian Provinsi Lampung
Keterkaitan ke Belakang
Keterkaitan ke Depan
Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan
Dampak Pengganda (Multiplier Effect)
38
38
34
39
40
44
48
49
Dampak Investasi Infrastruktur Jalan Terhadap Sektor Perkebunan
di Provinsi Lampung
Peranan Jalan dalam Peningkatan Kinerja Agribisnis Perkebunan Kopi
di Provinsi Lampung
Peranan Jalan dalam Peningkatan Produksi Kopi
Peranan Jalan dalam Efisiensi Biaya Angkutan
Peranan Jalan dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas Kopi
Lampung
51
54
55
58
60
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
63
63
64
DAFTAR PUSTAKA
65
LAMPIRAN
68
RIWAYAT HIDUP
93
DAFTAR TABEL
1 Luas areal dan produksi tanaman perkebunan rakyat, perkebunan besar
negara, dan perkebunan besar swasta di Provinsi Lampung 2011
2 Nilai ekspor per komoditi yang tercatat pada dinas perindustrian dan
perdagangan Povinsi Lampung Tahun 2007-2011 (000 US $)
3 Volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung Tahun 2002-2011 (ton)
4 Panjang jalan dirinci menurut tingkat kewenangan 1987 - 2010 (Km)
5 Ilustrasi tabel IO untuk tiga sektor
6 Struktur tabel input-output Provinsi Lampung klasifikasi 70 sektor
7 Rumus perhitungan multiplier effect menurut tipe dampak
8 Keterkaitan langsung ke belakang sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
9 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor
perkebunan dan sektor infrastruktur di Provinsi Lampung tahun 2011
10 Keterkaitan langsung ke depan sektor tanaman perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
11 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor tanaman
perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
12 Nilai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan sektor jalan,
jembatan, dan pelabuhan dengan sektor perkebunan Provinsi Lampung
tahun 2011
13 Indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan sektor
perkebunan dan sektor infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
14 Angka pengganda output sektor perkebunan dan sektor infrastruktur
Provinsi Lampung 2011
15 Angka pengganda pendapatan sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung 2011
16 Angka pengganda tenaga kerja sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung 2011
17 Multiplier efect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan
pelabuhan terhadap output sektor perkebunan dan sektor infrastruktur
Provinsi Lampung tahun 2011
18 Multiplier effect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan
pelabuhan terhadap pendapatan dari sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
19 Multiplier effect investasi pemerintah di sektor jalan, jembatan, dan
pelabuhan terhadap tenaga kerja dari sektor perkebunan dan sektor
infrastruktur Provinsi Lampung tahun 2011
20 Dampak investasi sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan (juta rupiah)
21 Produksi dan luas lahan tanaman kopi di Provinsi Lampung periode
2002 sampai dengan 2011
22 Luas lahan kopi dan panjang jalan di Provinsi Lampung tahun 2002
sampai dengan 2011
23 Hasil regresi model produksi kopi di Provinsi Lampung
24 Peningkatan produksi kopi karena investasi pembangunan jalan baru
25 Ruas jalan, panjang jalan, dan kelas jalan sepanjang rute penelusuran
26 Peningkatan kinerja agribisnis kopi karena investasi jalan
4
5
5
11
21
30
34
42
43
45
46
47
49
50
50
51
52
53
53
54
55
56
57
58
59
62
DAFTAR GAMBAR
1 Kenaikan panjang jalan di Indonesia
2 Nilai ekspor komoditas perkebunan Provinsi Lampung 2007-2011
3 Grafik volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung 2007-2011
(Ton)
4 Panjang jalan di Indonesia 1987-2010
5 Alur keterkaitan antarsektor dalam perekonomian
6 Kerangka pemikiran operasional penelitian
3
6
6
10
22
28
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Klasifikasi sektor tabel IO Lampung tahun 2000
Klasifikasi sektor tabel IO Lampung tahun 2011
Keterkaitan langsung ke belakang sektor perkebunan dan infrastruktur
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor
perkebunan dan infrastruktur
Keterkaitan langsung ke depan sektor perkebunan dan infrastruktur
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor perkebunan
dan infrastruktur
Multiplier effect output simulasi investasi sektor jalan, jembatan, dan
pelabuhan
Multiplier effect pendapatan simulasi investasi sektor jalan, jembatan,
dan pelabuhan
Multiplier effect tenaga kerja simulasi investasi sektor jalan, jembatan,
dan pelabuhan
Hasil regresi fungsi produksi kopi = fungsi input
Perhitungan rencana anggaran biaya jalan kelas I, II, dan III
68
69
71
73
75
77
79
82
84
87
90
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, 20 Agustus 1981, merupakan putri
kedua pasangan Helmi dan Tjarningsih. Penulis menyelesaikan Sekolah
Menengah Atas pada tahun 1999 di SMU Negeri 2 Bandar Lampung, pendidikan
Strata Satu jurusan teknik sipil di Fakultas Teknik Universitas Lampung
diselesaikan pada tahun 2003. Penulis menjadi mahasiswi Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor mayor Agribisnis pada tahun 2010 dengan beasiswa
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang merupakan tempat penulis
bekerja sejak tahun 2006. Penulis menikah dengan Rinto Sugiharto, ST dan
dikaruniai dua orang putri yang bernama Karima Kusuma Dewi dan Hasna
Cendikia.
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan komoditas pertanian tidak terlepas dari peran berbagai
subsistem yang terlibat dalam sistem agribisnis, baik subsistem hulu (upstream
agribusiness), subsistem usahatani (on farm agribusiness), subsistem hilir
(downstream agribusiness) dan subsistem layanan pendukung (supporting
subsystem). Namun demikian, subsistem layanan pendukung sering diabaikan
dalam upaya pengembangan komoditas pertanian. Hal ini terjadi karena
pembangunan subsistem layanan pendukung seringkali bukan merupakan bagian
dari pembangunan pertanian walaupun memiliki peranan yang sangat penting
untuk mendukung pembangunan pertanian itu sendiri karena memiliki keterkaitan
yang sangat erat dalam mendukung subsistem lainnya sehingga pengembangan
agribisnis dapat berjalan dengan baik.
Infrastruktur merupakan salah satu sub sistem pendukung yang penting
dalam pengembangan agribisnis dan meningkatkan perekonomian Indonesia yang
merupakan salah satu negara yang berbasis pertanian. Bappenas (2010)
menyebutkan bahwa penyediaan infrastruktur sangat berperan dalam mendukung
perkembangan pertanian, antara lain berkontribusi dalam: (i) pengembangan
kapasitas sumberdaya lahan dan air untuk usahatani; (ii) mengurangi risiko
usahatani; (iii) memperlancar pengadaan masukan dan penyaluran keluaran
usahatani; (iv) pengadaan modal usahatani; dan (v) meningkatkan akses terhadap
sumber-sumber inovasi teknologi. Dengan demikian, kondisi infrastruktur yang
tidak memadai akan berdampak langsung pada peningkatan biaya, penurunan
produktivitas atau kombinasi keduanya dalam jangka pendek. Sedangkan dalam
jangka panjang menyebabkan terjadinya kontraksi manfaat tak langsung dari
kaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage),
turunnya kinerja faktor‐faktor produksi dan lambatnya pertumbuhan kesempatan
kerja dan usaha, sehingga pada akhirnya menyebabkan lambatnya pertumbuhan
ekonomi di wilayah yang bersangkutan (Bappenas 2010). Dengan demikian,
tersedianya infrastruktur yang memadai terutama yang mendukung usaha
pertanian merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkan
perekonomian masyarakat Indonesia, dimana pada Agustus 2011 jumlah
penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang bekerja di bidang pertanian,
kehutanan, perburuan, dan perikanan sebanyak 35,86 persen (BPS 2011).
Salah satu jenis infrastruktur yang sangat penting dalam menunjang aktivitas
ekonomi termasuk sub sektor pertanian adalah jalan. Weiss dan Figura (2003)
menyebutkan bahwa banyak keuntungan ekonomi yang diperoleh dari prasarana
jalan terutama yang terkait dengan pendapatan, aksesibilitas, lapangan pekerjaan,
reduksi biaya transportasi, penghematan biaya dan waktu serta peningkatan
produktivitas. Selain itu, peningkatan infrastruktur jalan memiliki kemampuan
paling tinggi untuk mendorong peningkatan output, penurunan tingkat harga,
peningkatan ekspor, penurunan suplai impor, peningkatan upah riil tenaga kerja,
dan peningkatan pendapatan rumah tangga dibandingkan dengan peningkatan
infrastruktur lainnya seperti komunikasi atau listrik. (Delis 2008)
2
Terkait dengan pengembangan sektor pertanian, Napitupulu et al. (2011)
menyebutkan bahwa pembangunan dan investasi sektor jalan dan jembatan dapat
mempercepat perubahan wilayah berbasis pertanian menuju industralisasi. Hal ini
terjadi karena jalan merupakan bagian dari infrastruktur yang berperan dalam
tahap awal pembangunan ekonomi dan lebih berperan sebagai “the promoting
sector” yang mendahului perkembangan sektor lainnya seperti industri.
Proses industrialiasi sektor pertanian merupakan isu penting yang masih
menjadi titik lemah pembangunan sektor pertanian, terutama sektor perkebunan.
Komoditas-komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi
yang merupakan andalan ekspor dari sektor pertanian masih diekspor dalam
bentuk primer, yang menunjukkan proses industrialiasi belum berjalan dengan
baik. Dengan demikian, investasi infrastruktur terutama jalan diharapkan mampu
mendorong proses industrialisasi tersebut sehingga tercipta nilai tambah dan daya
saing komoditas dari sektor perkebunan.
Walaupun proses industrialisasi masih berjalan lambat, komoditas
perkebunan masih memegang peranan penting karena selain sumbangan terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, komoditas perkebunan juga
merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia karena dari waktu ke waktu
neraca perdagangan komoditas perkebunan hampir selalu mengalami surplus.
Selama periode Juli- Agustus 2011, terjadi kenaikan surplus neraca perdagangan,
baik dari sisi volume dan nilai masing-masing sebesar 87.86 persen, dan 65.61
persen. Selama periode bulan Agustus 2011, surplus neraca perdagangan yang
terbesar adalah komoditas minyak sawit mencapai US$ 2.32 milyar, disusul oleh
komoditas karet sebesar US$ 913,39 juta. Sementara, komoditas yang mengalami
defisit neraca perdagangan dan terbesar adalah pada komoditas tebu yang
mencapai US$ 117.63 juta (Pusdatin Kementan 2011).
Krisis ekonomi yang melanda sebagian negara tujuan ekspor komoditas
perkebunan Indonesia, dan semakin ketatnya persaingan di perdagangan
internasional sehingga menuntut Indonesia dapat meningkatkan daya saing
komoditas perkebunan di dunia internasional antara lain dengan harga yang lebih
kompetitif, mutu yang lebih baik, dan meningkatkan dari ekspor yang berupa
bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi.Salah satu kendala
untuk memperoleh harga pasar yang lebih kompetitif untuk berbagai komoditas di
Indonesia adalah masalah transportasi. Menurut Parikesit (2009) infrastruktur
jalan bertanggung jawab 5-25% pada harga akhir sebuah komoditi di pasar.
Sarana dan prasarana transportasi yang kurang memadai membuat biaya produksi
menjadi tinggi sehingga harga produk Indonesia kurang kompetitif.
Keterbatasan dana Pemerintah baik pusat maupun daerah menyebabkan
kebutuhan akan infrastruktur yang lebih banyak dan lebih baik menjadi kurang
tercukupi. Untuk mengatasi keterbatasan ini, maka perlu adanya peran investasi
swasta. Hasil penelitian Banarjee et al. dan Wibowo (2006) menunjukkan bahwa
hal-hal yang menyebabkan kurangnya minat investor untuk berinvestasi di bidang
infrastruktur antara lain adalah karena kurangnya kestabilan makroekonomi,
institusi dan penegakkan hukum yang buruk, dan tingkat risiko investasi yang
tinggi dengan pengembalian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Upaya
yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan minat swasta untuk
berinvestasi di bidang infrastruktur adalah menciptakan kondisi makroekonomi
3
15
10
5
0
-5
-10
1987-1988
1988-1989
1989-1990
1990-1991
1991-1992
1992-1993
1993-1994
1994-1995
1995-1996
1996-1997
1997-1998
1998-1999
1999-2000
2000-2001
2001-2002
2002-2003
2003-2004
2004-2005
2005-2006
2006-2007
2007-2008
2008-2009
2009-2010
Kenaikan Panjang Jalan
(%)
yang stabil, institusi hukum yang transparan, efektif dan mampu menjamin
keamanan investasi, mengurangi tingkat risiko investasi infrastruktur.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model input-output (I-O)
untuk mengetahui peranan sub sektor perkebunan dan infrastruktur terutama jalan
dalam peningkatan perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya, dan menilai
peran infrastruktur jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis sektor perkebunan
dengan melihat pada salah satu komoditas perkebunan yaitu kopi. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk
meningkatkan investasi di bidang infrastruktur atau menbuat kebijakan yang dapat
meningkatkan peran swasta dalam investasi infrastruktur.
Sifat infrastruktur sebagai barang publik menyebabkan pengadaan
infrastruktur dianggap sebagai kewajiban pemerintah, sementara karena
keterbatasan anggaran maka dana yang dialokasikan untuk infrastruktur kurang
memadai. Keterbatasan anggaran ini dapat diatasi dengan adanya investasi swasta
di bidang infrastruktur, namun pihak swasta pada umumnya tidak mau
berinvestasi di bidang infrastruktur yang menurut Banarjee et al. (2006) dan
Wibowo (2006) penyebabnya adalah karena kurangnya kestabilan makroekonomi,
institusi dan penegakkan hukum yang buruk, serta tingkat risiko investasi yang
tinggi dengan pengembalian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Trend kenaikan panjang jalan di Indonesia periode tahun 1988 sampai
dengan tahun 2010 pada Gambar 1 menunjukkan nilai yang minimum pada tahun
1998-1999 karena pada tahun tersebut Indonesia sedang mengalami krisis
moneter. Tahun 1999 sampai dengan 2010 terjadi peningkatan pembangunan
infrastruktur jalan namun kembali menurun pada tahun 2010.
Kenaikan Panjang Jalan (%)
Trendline Kenaikan Panjang Jalan
Gambar 1 Kenaikan panjang jalan di Indonesia
Sumber: BPS (2012).
Peran swasta dalam investasi infrastruktur dapat ditingkatkan apabila
pemerintah mampu menginformasikan atau memperlihatkan bahwa risiko
investasi infrastruktur dapat diminimalkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan menunjukkan sektor-sektor apa yang dapat dikembangkan oleh
swasta sebagai timbal balik investasi tersebut. Penelitian ini mengambil
komoditas perkebunan sebagai sektor yang akan digunakan sebagai timbal balik
investasi karenamerupakan komoditas andalan ekspor Indonesia. Neraca
perdagangan sektor perkebunan hampir selalu mengalami surplus. Tahun 2011
surplus neraca perdagangan sektor perkebunan tertinggi dimiliki oleh komoditas
4
minyak kelapa sawit mencapai US$ 19.723 miliar, disusul oleh karet sebesar US$
10.679 miliar (Kementan Pusdatin 2012). Sementara, komoditas yang mengalami
defisit neraca perdagangan terbesar adalah tebu yang mencapai US$ 1.791 miliar.
Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi besar untuk
pengembangan sektor perkebunan. Provinsi Lampung bersama dengan Provinsi
Bengkulu dan Sumatera Selatan merupakan penghasil kopi robusta terbesar di
Pulau Sumatera yang merupakan daerah penghasil kopi utama di Indonesia.
Rumusan Masalah
Provinsi Lampung menempati posisi yang sangat strategis karena
merupakan provinsi penghubung Pulau Sumatera dan Jawa yang merupakan basis
kekuatan ekonomi Indonesia. Provinsi ini masih mengandalkan sektor pertanian
sebagai leading sector perekonomian daerah. Pada tahun 2010, sektor pertanian
secara umum masih merupakan penyumbang terbesar Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Provinsi Lampung dengan kontribusi sebesar 36.98 persen, diikuti
sektor industri pengolahan dengan kontribusi sebesar 16 persen (BPS Prov.
Lampung 2012). Pada sektor pertanian, Provinsi Lampung sejak lama dikenal
sebagai produsen utama komoditas utama perkebunan seperti lada, kopi, kakao,
karet, tebu dan kelapa sawit.
Lahan komoditas utama perkebunan di Provinsi Lampung dapat dilihat pada
Tabel 1. Nilai pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi terbanyak untuk sektor
perkebunan ditempati oleh tanaman tebu, tetapi tebu tidak memiliki lahan yang
belum menghasilkan. Apabila luas lahan yang ada mulai tidak produktif, maka
produksi tebu di Provinsi Lampung akan sangat menurun. Sedangkan komoditas
perkebunan lain yang masih memiliki potensi untuk peningkatan produksi antara
lain karet dan kelapa sawit.
Tabel 1 Luas areal dan produksi tanaman perkebunan rakyat, perkebunan besar
negara, dan perkebunan besar swasta di Provinsi Lampung tahun 2011
Komposisi Luas Areal (Ha)
Jenis Tanaman
Menghasilkan
Tidak
Menghasilkan
Jumlah
Produksi
(ton)
9.217
143.904
8.121
161.242
142,986
-
28
17
45
10
Lada
8.220
47.503
8.179
63.902
21,905
Karet
48.279
69.442
2.116
119,837
72,240
Tebu
-
113.847
-
113.847
548,513
Kakao
19.441
29.451
1.051
49.943
25,541
Kelapa Sawit
36.776
121.873
1.143
159.792
370,606
Belum
Menghasilkan
Kopi Robusta
Kopi Arabika
Sumber: BPS Provinsi Lampung (2012).
Sebanyak 49.26 persen penduduk Provinsi Lampung yang bekerja di bidang
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Luasnya areal perkebunan dan
banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian yang didalamnya termasuk
5
sektor perkebunan tersebut mengindikasikan bahwa sektor perkebunan memiliki
peranan yang sangat penting bagi perekenomian masyarakat Provinsi Lampung.
Nilai ekspor komoditas perkebunan di Provinsi Lampung tahun 2007 sampai
dengan tahun 2011 pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kelapa sawit merupakan
komoditas perkebunan dengan nilai ekspor tertinggi di Provinsi Lampung, dari
tahun 2007 – 2011 nilai ekspor untuk komoditas kelapa sawit maupun komoditas
perkebunan lainnya menunjukkan nilai yang cenderung meningkat. Nilai ekpor
komoditas perkebunan unggulan Provinsi Lampung lainnya dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Nilai ekspor per komoditi Provinsi Lampung tahun 2007-2011 (000 US $)
Jenis Komoditi
2007
2008
2009
2010
2011
Karet
91,224
101,266
69,768
235,672
126,614
Kopi
255,296
600,977
466,051
386,670
493,374
Lada
98,619
159,814
165,192
296,592
115,156
Kakao
72,944
149,019
228,547
474,335
99,763
262,127
883,175
751,507
675,046
832,458
17,582
24,996
70,752
42,317
26,594
Minyak Kelapa Sawit
Gula tetes
Sumber: BPS Prov. Lampung (2012).
Volume ekspor hasil komoditas perkebunan Provinsi Lampung tertinggi
seperti terlihat pada Tabel 3 sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 adalah
hasil olahan dari kelapa sawit berupa minyak kelapa sawit sebesar 788,319 ton
pada tahun 2011, diikuti oleh gula tetes (olahan dari tebu) sebesar 257,958 ton,
dan kopi sebesar 227,127 ton. Namun volume ekspor ketiga komoditas tersebut
pada tahun-tahun terakhir mengalami kecenderungan yang menurun.
Tabel 3 Volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung tahun 2002-2011 (ton)
Jenis Komoditi
Karet
Kopi
Lada
Kakao
Minyak Kelapa Sawit
Gula Tetes
2007
2008
2009
44,619
37,201
45,509
161,855
320,764
345,378
35,533
49,623
68,614
44,015
63,720
96,980
410,852 1,035,032 1,288,004
312,284
293,876
453,350
2010
65,385
266,658
81,617
148,467
800,030
286,781
2011
27,544
227,127
24,046
33,816
788,319
257,958
Sumber: BPS Prov.Lampung (2012).
Nilai ekspor komoditas perkebunan di Provinsi Lampung sejak tahun 2007
sampai dengan tahun 2011 cenderung mengalami kenaikan. Gambar 2
menunjukkan bahwa nilai ekspor komoditas perkebunan Provinsi Lampung
sampai dengan tahun 2011 tertinggi diperoleh pada tahun 2010 sebesar US$
2,110,632 dan turun pada tahun 2011 menjadi US$ 1,693,959.
6
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
0
2007
2008
2009
2010
2011
Ekspor Komoditi Perkebunan Prov. Lampung (US $)
Trendline Ekspor Komoditi Perkebunan Prov. Lampung
Gambar 2 Nilai ekspor komoditas perkebunan Provinsi Lampung tahun
2007-2011
Sumber: diolah dari BPS Prov.Lampung (2012).
Gambar 3 menunjukkan tahun 2009 sampai tahun 2010 terjadi pengurangan
volume ekspor kelapa sawit, yang disebabkan oleh adanya fenomena el-nino
sehingga produksi kelapa sawit berkurang, dan meskipun dampak fenomena iklim
sudah berlalu namun ditahun berikutnya ekspor tidak meningkat karena masalah
infrastruktur yang tidak mengalami kemajuan berarti, adanya penetapan tarif
ekspor untuk CPO dan produk sawit, dan berbagai bentuk non tariff barrier
terhadap produk kelapa sawit Indonesia baik oleh organisasi non profit maupun
grup konsumen Eropa dan konsorsium negara maju melalui PBB, serta belum
jelasnya aturan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi terutama di
provinsi-provinsi penghasil kelapa sawit sehingga tidak ada kepastian hukum
untuk pembukaan lahan sawit yang baru (Supriyono dan Yusuf 2012).
Keseluruhan nilai ekspor komoditas perkebunan mengalami trend yang
meningkat, namun volume ekspor untuk semua komoditas perkebunan mengalami
penurunan terutama untuk kelapa sawit. Pengembangan komoditas perkebunan
andalan tidak terlepas dari ketersediaan infastruktur seperti jalan. Infrastruktur
jalan memiliki peranan yang sangat penting terkait dengan aksessibilitas dan
mobilitas, baik barang, orang maupun jasa yang terkait dengan komoditas
tersebut. Dengan demikian, ketersediaan infrastruktur jalan baik secara kuantitas,
kualitas maupun penyebarannya di Provinsi Lampung akan memberikan dampak
langsung maupun tidak langsung terhadap pengembangan komoditas perkebunan.
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
2007
Karet
Kakao
2008
2009
Kopi
Minyak Kelapa Sawit
2010
Lada
Gula tetes
2011
Gambar 3 Grafik volume ekspor per komoditi Provinsi Lampung tahun
2007-2011(Ton)
Sumber: diolah dari BPS Prov. Lampung (2012).
Pada tahun 2011, panjang jalan di Provinsi Lampung mencapai 18,520
km, yang terdiri dari jalan nasional sepanjang 682 km, jalan provinsi sepanjang
7
1,825 km, jalan kabupaten sepanjang 16,013 km dan jalan kota sepanjang 445.44
km (BPS Prov. Lampung 2012). Jika dirinci menurut kondisi jalan, sekitar 40.97
persen panjang jalan di Provinsi Lampung dalam keadaan baik, 21.16 persen
dalam kondisi sedang, 23.12 persen dalam kondisi rusak dan 14.75 persen dalam
kondisi kritis. Untuk memperbaiki kerusakan jalan provinsi, pemerintah Provinsi
Lampung menganggarkan dana sebesar Rp. 481 miliar, namun jumlah tersebut
hanya mampu memperbaiki sekitar 14.34 persen dari total jalan yang rusak
dimana kebutuhan idealnya mencapai Rp. 3,105.39 miliar (Bappeda Prov.
Lampung 2012)
Besarnya anggaran yang diperlukan untuk investasi maupun pemeliharaan
jalan mendorong pemerintah pusat maupun daerah harus menetapkan skala
prioritas untuk membangun ataupun memperbaiki jalan. Hal tersebut tentu akan
berdampak pada seluruh sektor perekonomian yang terkait, termasuk sektor
perkebunan. Untuk itu, perlu dilihat keterkaitan antara
pembangunan
infrastruktur jalan dengan kinerja sektor perkebunan. Dengan demikian,
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peranan sektor infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan dan
sektor perkebunan terhadap perekonomian di Provinsi Lampung?
2. Bagaimana dampak ekonomi investasi infrastruktur jalan, jembatan, dan
pelabuhan dalam pengembangan sektor perkebunan terutama dalam hal
output, tenaga kerja, dan pendapatan?
3. Bagaimana peran investasi infrastruktur jalan terhadap peningkatan kinerja
agribisnis sektor perkebunan khususnya kopi di Provinsi Lampung?
Analisis keterkaitan antar sektor digunakan untuk mengetahui peran sektor
perkebunan dan sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap perekonomian
Provinsi Lampung secara keseluruhan. Sedangkan untuk mengetahui dampak
ekonomi investasi infrastruktur di sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan terhadap
perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya dan sektor perkebunan
khususnya dilihat dari sisi output, pendapatan, dan tenaga kerja dilakukan
simulasi investasi dengan nilai yang tercantum dalam RPJMD Provinsi Lampung
2010-2014 untuk tahun 2013.
Peran infrastruktur jalan terhadap kinerja agribisnis perkebunan kopi dilihat
dari tiga hal yaitu dari sisi produksi, efisiensi biaya angkutan, dan daya saing kopi
Lampung. Dari sisi produksi selain dilihat pengaruh panjang jalan terhadap
produksi kopi di Lampung, dilihat juga pengaruh input-input produksi lainnya
seperti produktivitas, penggunaan pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan jumlah
pohon yang produktif. Peran infrastruktur jalan terhadap efisiensi biaya angkutan
diproxy dari data komposisi jalan sepanjang rute dari sentra perkebunan kopi di
Kabupaten Lampung Barat ke lokasi pengolahan kopi di Bandar Lampung dengan
biaya yang diperlukan dalam kondisi eksisting sehingga diperoleh berapa efisiensi
yang diperoleh jika mutu jalan sepanjang rute dinaikkan. Peran jalan terhadap
peningkatan daya saing akan diperoleh dari hasil analisis secara deskriptif dari
berbagai sumber dan hasil analisis kuantitatif sebelumnya.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk:
8
1. Menganalisis keterkaitan dan peranan sektor infrastruktur jalan, jembatan, dan
pelabuhan serta sektor perkebunan dalam perekonomian Provinsi Lampung
menggunakan metode input-output (IO).
2. Menganalisis multiplier effect investasi infrastruktur jalan, jembatan, dan
pelabuhan terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung menggunakan
metode input-output (IO).
3. Menganalisis peranan jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis perkebunan
kopi di Provinsi Lampung dilihat dari sisi produksi, efisiensi biaya, dan
peningkatan daya saing.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil
kebijakan untuk merumuskan kebijakan yang tepat dalam investasi jalan sehingga
dapat mendorong perkembangan sektor perkebunan yang menjadi andalan di
Provinsi Lampung. Serta secara akademis dapat menjadi bahan rujukan bagi
peneliti yang menaruh minat untuk memperdalam studi tentang investasi
infrastruktur maupun pengembangan ekonomi regional berbasis pertanian.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian untuk mengetahui bagaimana peran infrastruktur jalan raya
terhadap sektor perkebunan di Provinsi Lampung ini tidak meneliti peran jalan
terhadap keseluruhan sektor komoditas perkebunan di Lampung, tetapi hanya
melihat perannya terhadap beberapa komoditas unggulan perkebunan saja yaitu
kelapa sawit, kopi, karet, tebu, lada, kakao, kelapa, cengkeh. Sedangkan untuk
mengetahui nilai peran jalan dalam peningkatan kinerja agribisnis akan diambil
salah satu komoditas saja yaitu kopi. Dalam analisisis menggunankan metode I-O
sektor infrastruktur menurut Asosiasi Konstruksi Indonesia (AKI) dapat
dipisahkan menjadi sektor bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal,
sektor prasarana pertanian, sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan, sektor
bangunan instalasi listrik, gas, air bersih, dan komunikasi serta sektor bangunan
lainnya, sehingga kajian menggunakan metode ini tidak dapat melihat hanya
sektor jalan saja.
Untuk melihat perbedaaan biaya yang diperlukan untuk membangun jalan
kelas I, II, dan III akan digunakan ilustrasi sederhana rencana anggaran biaya
jalan dengan permukaan beton. Tetapi perhitungan ini tidak dapat dijadikan acuan
keperluan biaya riil untuk pembangunan jalan, karena dalam pembangunan jalan
biaya yang diperlukan tergantung kondisi tanah di lokasi, kontur lahan, desain
jalan, beban jalan, dan lain-lain sesuai kondisi lokasi.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Infrastruktur dalam agribisnis termasuk dalam subsistem kelembagaan dan
penunjang kegiatan pertanian. Karena sifatnya sebagai barang publik
menyebabkan pengadaan infrastruktur dianggap sebagai kewajiban pemerintah,
sementara karena keterbatasan anggaran maka dana yang dialokasikan untuk
infrastruktur kurang memadai.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model input-output (I-O)
untuk mengetahui berapa besar peranan investasi infrastruktur terutama jalan
dalam peningkatan perekonomian Provinsi Lampung pada umumnya, dan
dampaknya terhadap subsektor perkebunan pada khususnya. Serta menilai peran
jalan dalam peningkatan kinerja sektor perkebunan dengan menganbil salah satu
kasus saja yaitu untuk komoditas kopi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong pemerintah pusat maupun
daerah untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur atau menbuat
kebijakan yang dapat meningkatkan peran swasta dalam investasi infrastruktur.
Kondisi Infrastruktur Jalan di Indonesia
Pertumbuhan ekonomi nasional di akhir tahun 2011 mencapai 6,5%.
Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan
infrastruktur. Kondisi infrastruktur di Indonesia mengalami masa kritis karena
kondisi infrastruktur tidak mampu menampung kebutuhan masyarakat.
Terbatasnya investasi pada pemeliharaan dan infrastruktur terlihat dari rendahnya
peringkat kualitas infrastruktur Indonesia pada indeks kualitas infrastruktur yang
pernah dipublikasikan pada World Economic Forum Competitiveness Report
tahun 2010-2011. Indeks ini menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-4
terendah. Pengukuran infrastruktur Indeks Daya Saing Dunia ini disusun
berdasarkan tanggapan survei eksekutif akan kualitas jalan, rel kereta api,
pelabuhan, transportasi udara, pasokan listrik,data tentang kabel telepon tetap dan
pelanggan telepon selular serta daftar kilometer kursi pesawat udara (Purwanti
dan Djumena 2011).
Salah satu infrastruktur yang perlu ditingkatkan adalah infrastruktur
transportasi karena infrastruktur transportasi berfungsi sebagai katalisator dalam
mendukung pertumbuhan wilayah, pertumbuhan ekonomi, dan sebagai alat
persatuan dan kesatuan. Berkaitan dengan peran yang diberikan oleh sub sektor
transportasi di dalam mendukung pembangunan perekonomian di Indonesia, data
statistik menunjukkan bahwa sub sektor ini memberikan kontribusi antara 3-4
persen terhadap PDB dari tahun 2000 – 2004 (Bappenas 2005).
Besarnya kontribusi yang diberikan oleh sektor transportasi dalam
peningkatan PDB tidak serta merta menyebabkan pemerintah meningkatkan
sarana pendukungnya yang salah satunya adalah jalan. Tabel 4 menunjukkan
kenaikan panjang jalan terbesar terjadi pada tahun 1988, dimana panjang jalan
naik sebesar 1094% dari tahun sebelumnya, sedangkan kenaikkan panjang jalan
menjadi negatif pada tahun 1999 karena sejak tahun tersebut jalan di Provinsi
Timor-Timur sudah tidak dimasukkan dalam data karena keluarnya Timor-Timur
dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (BPS 2012).
10
Tabel 4 Panjang jalan dirinci menurut tingkat kewenangan tahun 1987 – 2010
(Km)
Kenaikan
Tahun
Negara
Provinsi
Kab/Kota
Jumlah
Panjang Jalan
(%)
1987
13,863
12,594
33,398
168,784
1988
14,590
12,594
33,398
195,425
12.404
1989
17,185
17,800
32,250
208,437
7.071
1990
19,806
17,800
32,250
225,611
6.644
1991
21,858
17,800
32,250
249,535
8.679
1992
21,858
17,800
32,250
259,592
3.357
1993
23,483
17,800
32,250
275,178
5.034
1994
26,351
26,853
39,747
280,834
6.828
1995
23,857
26,853
39,747
293,151
3.545
1996
26,850
26,853
39,747
303,805
2.961
1997
27,127
26,853
39,747
305,248
0.390
1998
27,977
26,853
39,747
307,596
0.631
1999*)
26,206
26,271
38,914
283,207
-6.896
2000
26,272
26,271
38,914
282,898
-0.089
2001
26,328
26,271
38,914
287,577
1.344
2002
27,616
26,271
38,914
291,841
1.209
2003
29,318
26,271
38,914
292,774
0.261
2004
34,628
34,628
40,125
298,175
4.182
2005
34,628
34,628
40,125
316,255
4.848
2006
34,628
34,628
40,125
331,816
3.980
2007
34,628
34,628
40,125
346,782
3.681
2008
34,628
34,628
40,125
363,006
3.849
2009
38,570
38,570
48,020
389,747
8.813
2010
38,570
38,570
53,291
395,453
2.304
*)
sejak 1999 tidak termasuk Timor-Timur
Sumber: BPS (2012).
Panjang jalan di Indonesia terus meningkat tetapi persentase kenaikkan
panjang jalan setiap tahun semakin menunun. Puncak penurunan terjadi pada
tahun 1999 karena adanya krisis moneter di Indonesia disertai dengan pelepasan
Provinsi Timor-Timur. Grafik panjang jalan di Indonesia tahun 1988-2010 dapat
dilihat pada Gambar 4.
0
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999*)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Panjang
jalan total
(Km)
1,000,000
Panjang jalan total (Km)
Gambar 4 Panjang jalan di Indonesia tahun 1987-2010
Sumber: BPS (2012).
11
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2006 tentang jalan, jaringan
jalan berdasarkan fungsi dan perannya dapat dibedakan menjadi:
1. Sistem jaringan jalan primer
Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan yang disusun
berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua
simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:
a. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan;
b. menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.
Tipe jalan dalam sistem jaringan jalan primer terdiri dari:
1. Jalan arteri primer
Jalan arteri primer adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antara
pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat
kegiatan wilayah. Kecepatan rencana minimum adalah 60 km/jam dan lebar
badan jalan paling rendah 11 meter.
2. Jalan kolektor primer
Jalan kolektor primer adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antara
pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah
dengan pusat kegiatan lokal. Kecepatan rencana minimum adalah 40 km/jam
dan lebar badan jalan paling rendah 9 meter.
3. Jalan lokal primer
Jalan lokal primer adalah jalan menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan
pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan
lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat
kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. Kecepatan rencana
minimum adalah 20 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 7.5 meter.
4. Jalan lingkungan primer
Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan antarpusat kegiatan
di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan
perdesaan. Kecepatan rencana minimum adalah 15 km/jam dan lebar badan
jalan paling rendah 6.5 meter. Bila tidak diperuntukkan bagi kendaraan
bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih, lebar badan jalan paling rendah 3.5 meter.
2. Sistem jaringan jalan sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus
kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder
kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil. Sistem jaringan
jalan sekunder terdiri atas:
1. Jalan arteri sekunder
Jalan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan antara kawasan primer
dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan
sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Kecepatan rencana
minimum adalah 30 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 11 meter.
12
2. Jalan kolektor sekunder
Jalan kolektor sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder
kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Kecepatan rencana minimum
adalah 20 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 9 meter.
3. Jalan lokal sekunder
Jalan lokal sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan,
kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Kecepatan
rencana minimum adalah 10 km/jam dan lebar badan jalan paling rendah 7,5
meter.
4. Jalan lingkungan sekunder
Jalan lingkungan sekunder adalah jalan menghubungkan antarpersil dalam
kawasan perkotaan. Kecepatan rencana minimum adalah 10 km/jam dan lebar
badan jalan paling rendah 6.5 meter.
PP nomor 36 tahun 2006 tentang jalan menyebutkan bahwa jaringan jalan
menurut status jalan dikelompokan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten, jalan kota dan jalan desa. Sedangkan jaringan jalan menurut kelasnya
seperti tercantum dalam PP nomor 43 tahun 1993 dibagi menjadi:
1. Jalan kelas I
Merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan
lebih besar dari 10 ton.
2. Jalan kelas II
Merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10
ton.
3. Jalan kelas III A
Merupakan jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 18,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
4. Jalan kelas III B
Merupakan jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,500 milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 12,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8
ton.
5. Jalan kelas III C
Merupakan jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,100 milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 9,000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.
Dana pembangunan dan pemeliharaan yang kurang seharusnya membuat
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah lebih menjaga kondisi jalan yang
sudah ada, sehingga dana yang ada dapat digunakan semaksimal mungkin untuk
membangun jalan baru. Untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat
13
pemerintah sebaiknya mengetahui penyebab rusaknya jalan sebelum tercapai
umur rencana.
Menurut Agah (2008) penyebab rusaknya jalan sebelum tercapai umur
rencana adalah karena perilaku pengguna jalan yang mengangkut beban melebihi
beban standar rencana jalan, kesalahan desain, pengaruh lingkungan seperti
kondisi tanah yang memiliki sifat labil, malpraktek dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan jalan,
dan kurangnya tanggung jawab sosial
masyarakat untuk menggunakan prasarana jalan dengan baik.
Peranan Pembangunan Infrastruktur Terhadap Perekonomian dan Upaya
untuk Meningkatkan Investasi di Bidang Infrastruktur
Infrastruktur merupakan salah satu komponen yang penting dalam
meningkatkan perekonomian. Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa elastisitas
diacu dari produk domestik bruto (PDB) terhadap infrastruktur di suatu negara
adalah antara 0.07 sampai dengan 0.44 yang berarti kenaikan satu persen saja
ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0.07%
sampai dengan 0.44% (World Bank 1994).
Pasar dalam negeri, termasuk untuk produk pertanian banyak dikuasai oleh
produk-produk impor. Hal ini salah satunya disebabkan oleh tingginya biaya
produksi yang disebabkan oleh hambatan di bidang infrastruktur pendukung.
Karena itu untuk meningkatkan daya saing produk nasional yang dapat
mendorong peningkatan perekonomian Indonesia diperlukan adanya investasi di
bidang infrastruktur (Sindonews 2011).
Menurut World Economic Forum (WEF 2011) ada 12 pilar yang mendorong
peningkatan produktivitas dan daya saing yaitu:
1.
Institusi hukum dan administrasi yang baik dan transparan
2.
Infrastruktur yang ekstensif dan efisien
3.
Stabilitas makroekonomi
4.
Kesehatan dan pendidikan dasar
5.
Kualitas pendidikan dan pelatihan yang tinggi
6.
Efisiensi pasar barang
7.
Efisiensi pasar tenaga kerja
8.
Perkembangan pasar uang
9.
Kesiapan teknologi
10. Ukuran pasar
11. Perilaku bisnis dalam negeri
12. Inovasi
Indonesia berada pada peringkat 46 berdasarkan indeks daya saing global
(Global Competitiveness Indeks) 2011-2012 yang berarti turun 2 peringkat dari
tahun sebelumnya yang berada di urutan 44. Untuk meningkatkan perekonomian
Indonesia, maka Pemerintah dan swasta harus bekerja sama untuk meningkatkan
daya saing Indonesia di pasar dunia. Pada tahun 2011 Pemerintah membuat
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) yang
merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan
termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui
pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk
14
mencapai hal tersebut, diharapkan pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 7-9
persen per tahun secara berkelanjutan.
Pengembangan MP3EI dilakukan melalui perubahan pola pikir bahwa
keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya tergantung pada pemerintah saja
melainkan merupakan kolaborasi bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, BUMN, BUMD, dan Swasta. Pihak swasta akan diberikan peran utama
dan penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan investasi
dan penciptaan lapangan kerja, sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi
sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. Dari sisi regulasi, pemerintah akan
melakukan deregulasi (debottlenecking) terhadap regulasi yang menghambat
pelaksanaan investasi. Fasilitasi dan katalisasi akan diberikan oleh pemerintah
melalui penyediaan infrastruktur maupun pemberian insentif fiskal dan non fiskal.
Untuk penyediaan infrastruktur karena adanya keterbatasan anggaran
pemerintah, maka dalam MP3EI pemerintah akan mengembangkan model
kerjasama pemerintah dan swasta atau Public Private Partnership (PPP) juga
mengembangkan metode pembangunan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia
usaha yang dikaitkan dengan kegiatan produksi. Peran Pemerintah ada