Isolation of cellulose nanofibers from cassava bagasse and its use as tapioca film filler

ISOLASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS
TAPIOKA DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN
PENGISI FILM TAPIOKA

RUMPOKO WICAKSONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Isolasi Nanoserat
Selulosa dari Ampas Tapioka dan Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film
Tapioka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Rumpoko Wicaksono
NIM F361080071

RINGKASAN
RUMPOKO WICAKSONO. Isolasi Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka dan
Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film Tapioka. Dibimbing oleh KHASWAR
SYAMSU, INDAH YULIASIH dan MUHAMAD NASIR.
Film berbahan dasar pati dibatasi oleh sifat mekanisnya yang buruk. Salah
satu usaha yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sifat mekanis film tersebut
yaitu menggunakan serat atau serat berukuran nano sebagai bahan penguat.
Ampas tapioka, suatu hasil samping industri pati ubikayu (tapioka), merupakan
salah satu sumber serat alam.Nanoserat selulosa dari sumber yang dapat
diperbarui akhir-akhir ini lebih mendapat perhatian karena memiliki sifat mekanis
yang baik dan ramah lingkungan.
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk:(1) mendapatkan informasi
tentang karakter nanoserat selulosa dari ampas tapioka yang dihasilkan
menggunakan beberapa metode isolasi; (2) mengetahui sifat mekanis dan fisis
film hasil aplikasi nanoserat selulosa; dan (3) mengetahui kestabilan sifat mekanis

film selama penyimpanan pada kondisi kelembaban lingkungan yang berbeda.
Isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka dilakukan melalui tiga metode, yaitu
metode I (perlakuan alkali + bleaching + mekanis), metode II (perlakuan alkali +
bleaching + hidrolisis asam + mekanis), dan metode III (hidrolisis asam +
mekanis).
Nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode I berdiameter 20-30
nm, sedangkan nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II dan metode
III masing-masing 5-8 nm dengan panjang beberapa mikrometer. Kestabilan
suspensi nanoserat selulosa dari metode I, II, dan III tergolong baik, ditunjukkan
dengan nilai zeta potential masing-masing sebesar 46,47 mV, 52,45 mV, dan
33,75 mV. Semua metode yang diterapkan dapat meningkatkan kristalinitas
bahan dari 14,52% (sebelum perlakuan isolasi) menjadi 33,25% (metode I),
39,73% (metode II), dan 31,23% (metode III).
Penggunaan nanoserat selulosa dapat meningkatkan sifat kuat tarik film
tapioka sebesar 2,44-2,71 N/mm2, namun cenderung menurunkan pemanjangan
putus film, sebesar 16,51-31,14%. Laju transmisi uap air yang dihasilkan sebesar
143,21-166,56 g/m2.hari dan nilai permeabilitas film tehadap uap air sebesar
28,52-31,98 g.mm/m2.hari.kPa. Penambahan nanoserat selulosa juga menurunkan
transparansi film.
Kondisi penyimpanan dengan RH 75% selama tujuh hari menyebabkan nilai

kuat tarik film secara umum meningkat dan nilai pemanjangan putusnya menurun.
Nilai modulus elastisitas film mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa
kekakuan film makin bertambah selama periode penyimpanan yang diamati.
Kondisi penyimpanan dengan RH 97% selama tujuh hari menyebabkan nilai kuat
tarik film secara umum menurun dan nilai pemanjangan putusnya menurun. Nilai
modulus elastisitas film cenderung turun, menunjukkan bahwa struktur film
makin lunak selama periode penyimpanan yang diamati.
Kestabilan suspensi nanoserat selulosa tidak hanya mencerminkan
kemampuannya untuk terdistribusi secara baik dalam matriks film, namun juga
terkait dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang selanjutnya berpengaruh

terhadap sifat mekanis film, meningkatkan keefektifan nanoserat selulosa sebagai
penahan transmisi uap air, dan menunjang sifat transparansi film. Nanoserat
selulosa dengan kristalinitas yang tinggi tidak hanya menunjang peningkatan
kekuatan film, namun dapat meningkatkan keefektifan film sebagai penahan
transmisi uap air, serta menekan penurunan transparansi film akibat penggunaan
bahan pengisi.

Kata kunci: nanoserat selulosa, ampas tapioka, bahan pengisi, film tapioka


SUMMARY
RUMPOKO WICAKSONO. Isolation of Cellulose Nanofibers from Cassava
Bagasse and Its Use as Tapioca-Film Filler. Supervised by KHASWAR
SYAMSU, INDAH YULIASIH and MUHAMAD NASIR.
Starch-based films limit their application due to poor mechanical properties.
An effort to overcome these poor characteristics was using fibers or nanofibers as
reinforcement filler. Cassava bagasse, a solid by-product of cassava starch
industry, is a source of natural fibers. Cellulose nanofibers from the renewable
sources have gained more attention in recent years because of their exceptional
mechanical properties and environmental friendly.
This research aims: (1) to know of cellulose nanofibers character produced
from cassava bagasse; (2) to know physical and mechanical properties of film
produced by application of cellulose nanofibers; and (3) to know of mechanical
properties stability of film during storage at different environmental humidity
conditions. Cellulose nanofibres from cassava bagasse were obtained by three
methods, namely method I (alkali treatment + bleaching + mechanical treatment),
method II (alkali treatment + bleaching + acid hydrolysis + mechanical treatment),
and method III (acid hydrolysis + mechanical treatment).
Cellulose nanofibers produced from method I have diameter of 20-30 nm,
while cellulose nanofibers produced from method II and III have diameter of 5-8

nm with several micrometer of length. Cellulose nanofibers suspension have good
stability, indicated by zeta potential value of method I, II, and III are 46.47 mV,
52.45 mV, and 33.75 mV, respectively. All method improved crystallinity of
fibers from 14.52% in cassava bagasse to 33.25% (method I), 39.73% (method II),
and 31.23% (method III).
It was observed that the addition of cellulose nanofibers was improved
tensile strength of films as much as 2.44-2.71 N/mm2, but tends to decrease of
elongation at break as much as 16.51-31.14%. Water vapour transmission rate of
film in range 143.21-166.56 g/m2.day and water vapoor permeability of film is
28.52-31.98 g.mm/m2.day.kPa. The addition of cellulose nanofibers also
decreased the transparency of film.
Storage condition with RH 75% for seven days cause tensile strength
generally increased but elongation at break is decreased. Modulus of elasticity of
film has increased during storage, indicating that the film stiffness also increased.
Storage condition with RH 97% for seven days caused tensile strength and
elongation at break decreased. Modulus of elasticity of film tends to decrease,
indicating film structure getting soft during storage.
Stability of cellulose nanofibers suspension not only reflects its ability to be
well distributed in the matrix of the film, but also related to the crystallinity of
cellulose nanofibers, further affect the mechanical properties of the film,

improving the effectiveness cellulose nanofibers as a water vapour transmission
barrier, and to support the transparency properties of the film. Cellulose
nanofibers with higher crystallinity not only support the increased the strength of

the film, but it can increase the effectiveness of the film as a water vapour
transmission barrier, as well as inhibit the reduction of film transparency due to
the use of fillers.
Keywords: cellulose nanofibers, cassava bagasse, filler, tapioca-film

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ISOLASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA

DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN PENGISI
FILM TAPIOKA

RUMPOKO WICAKSONO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Liesbetini Hartoto, M.S.
2. Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si.

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.TP., DEA

2. Dr. Nurul Taufiqu Rochman, Ph.D., M.Eng.

Judul Disertasi : Isolasi Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka
Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film Tapioka
Nama
: Rumpoko Wicaksono
NIM
: F361080071

dan

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.
Ketua

Dr. Indah Yuliasih, S.TP., M.Si.
Anggota


Dr. Eng. Muhamad Nasir
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Machfud, M.S.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian: 22Agustus 2013

Tanggal Lulus: 30 Agustus 2013

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata ala atas

segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Terima kasih
penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing, yaitu Prof. Dr. Ir. Khaswar
Syamsu, M.Sc., Dr. Indah Yuliasih, S.TP., M.Si., dan Dr. Eng. Muhamad Nasir,
yang telah memberi arahan dan masukan selama penelitian dan penulisan disertasi
ini. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Teknologi
Industri Pertanian beserta pengelola dan staf yang sudah banyak membantu dan
memberi layanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa.Selain itu, ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak Pimpinan Universitas Jenderal
Soedirman yang telah memberi izin penulis untuk menempuh studi di Sekolah
Pascasarjana IPB, serta kepada pihak DIKTI yang telah memberi dukungan
melalui pemberian beasiswa BPPS.Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada keluarga besar penulis atas segala doa dan dukungannya, serta kepada
semua pihak yang telah berjasa dalam memperlancar kegiatan studi penulis,
termasuk pihak pengelola jurnal ilmiah yang telah menerima sebagian karya ini
untuk dipublikasikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Rumpoko Wicaksono


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
2
5
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Potensi dan Kendala Pemanfaatan Serat Selulosa
Nanoserat Selulosa
Pemanfaatan Limbah atau Produk Samping Agroindustri Sebagai
Bahan Baku Nanoserat Selulosa dan Aplikasinya Dalam Pembuatan
Film

14

3 ISOLASI DAN KARAKTERISASI NANOSERAT SELULOSA DARI
AMPAS TAPIOKA
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

18
19
21
33

4 APLIKASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA
SEBAGAI BAHAN PENGISI FILM TAPIOKA
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

34
35
37
45

5 PENGARUH KELEMBABAN RELATIF RUANG PENYIMPANAN
TERHADAP KESTABILAN SIFAT MEKANIS FILM TAPIOKA
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

46
47
49
52

6 PEMBAHASAN UMUM

55

Simpulan

6
8

65

7 SIMPULAN DAN SARAN

66

DAFTAR PUSTAKA

68

LAMPIRAN

76

RIWAYAT HIDUP

83

DAFTAR TABEL
1 Dimensi nanoserat selulosa
2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan
metode isolasinya
3 Hasil pengamatan FTIR
4 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya tampak
5 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya ultraviolet

10
16
28
44
45

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Kerangka pikir perumusan masalah
Unit glukopiranosa selulosa
Konfigurasi selulosa
Model struktur serat selulosa
Diameter serat selulosa dan kekuatan mekanisnya
Hasil scanning electron microscope (SEM) nanofibrils
Hasil pengamatan menggunakan atomic force microscopy (AFM) dan
bagan daerah kristal dan amorf nanoserat selulosa
Hasil transmission electron microscope (TEM) wiskers
Metode isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka
Hasil pengamatan SEM terhadap ampas tapioka dengan perbesaran
20 X (A) dan 100 X (B)
Hasil pengamatan TEM terhadap morfologi nanoserat selulosa
Reaksi umum oksidasi unit aromatik lignin dan hidrolisisnya dalam
alkali
Hasil pengamatan TEM terhadap nanoserat selulosa ampas tapioka
melalui hidrolisis asam
Nilai zeta potential suspensi nanoserat selulosa
Spektrum FTIR ampas tapioka
Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode I
Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode II
Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode III
Substruktur lignin ferulic acid (A) dan p-coumaric (B)
Struktur dasar hemiselulosa
Gugus fungsional lignin
Ikatan -1-4 glikosida
Difraktogram ampas tapioka
Difraktogram nanoserat selulosa
Struktur selulosa I dan II
Pengaruh jenis serat terhadap kuat tarik film
Pengaruh kadar serat terhadap kuat tarik film
Pengaruh jenis serat terhadap pemanjangan putus film
Pengaruh kadar serat terhadap pemanjangan putus film
Pengaruh jenis serat terhadap laju transmisi uap air

4
6
6
8
9
9
10
11
20
22
23
24
24
25
26
26
27
27
28
28
29
29
30
31
32
38
38
40
40
41

31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53

Pengaruh jenis serat terhadap permeabilitas film terhadap uap air
Pengaruh kadar serat terhadap laju transmisi uap air
Pengaruh kadar serat terhadap permeabilitas uap air
Kuat tarik film tapioka selama penyimpanan
Perubahan bobot film selama penyimpanan
Pemanjangan putus film selama penyimpanan
Modulus elastisitas film selama penyimpanan
Reaksi ikatan gugus sulfat pada permukaan nanoserat selulosa
Hubungan antara ZP dan indeks kristalinitas nanoserat selulosa
Hubungan antara nilai ZP dan kuat tarik film
Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan pemanjangan putus film
Hubungan antara ZP dan laju transmisi uap air film
Hubungan antara ZP dan permeabilitas film terhadap uap air
Jalur difusi uap air dengan adannya nanoserat selulosa
Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang
cahaya tampak
Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang
cahaya ultraviolet
Hubungan antara indeks kristalinitas dan kuat tarik film
Hubungan antara kristalinitas dan pemanjangan putus film
Hubungan kristalinitas dan laju transmisi uap air
Hubungan kristalinitas dan permeabilitas film terhadap uap air
Diagram absorpsi uap air secara langsung dan tidak langsung pada
permukaanserat
Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada
gelombang cahaya tampak
Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada
gelombang cahaya ultraviolet

42
42
43
49
50
51
52
53
54
55
56
57
57
58
59
59
60
61
62
62
63
64
64

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Analisis statistik kuat tarik film
Analisis statistik pemanjangan putus film
Analisis statistik laju transmisi uap air
Analisis statistik permeabilitas film terhadap uap air film
Analisis statistik kuat tarik film selama penyimpanan
Analisis statistik pemanjangan putus film selama penyimpanan
Analisis statistik modulus elastisitas film selama penyimpanan

76
77
78
79
80
81
82

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pati merupakan bahan yang banyak digunakan sebagai bahan baku maupun
sebagai bahan campuran dalam pembuatan kemasan ramah lingkungan. Pati
mudah diperoleh,
dapat diperbarui, dan dapat terbiodegradasi, sehingga
berpotensi sebagai bahan alternatif pengganti plastik sintetis untuk aplikasi
pengemasan (Savadekar dan Mhaske 2012). Tapioka merupakan salah satu jenis
pati yang banyak diteliti dan digunakan sebagai bahan baku kemasan ramah
lingkungan, terutama di daerah tropis.
Sifat fisis dan mekanis film berbahan dasar pati pada umumnya masih lebih
rendah dibandingkan dengan film berbahan dasar petrokimia. Sifat penting yang
harus diperhatikan dalam pembuatan film adalah kekuatan, kelenturan, dan
kestabilannya selama pemakaian dan penyimpanan. Alternatif peningkatan
kekuatan film dapat ditempuh dengan cara menggunakan bahan pengisi ( )
yang bersifat memperkuat (  ).
Bahan pengisi dapat berfungsi secara ekonomis dan teknis. Secara
ekonomis, penggunaan bahan pengisi dapat menekan biaya produksi jika
harganya lebih murah daripada polimer utamanya, sedangkan secara teknis, dapat
memodifikasi polimer utamanya menjadi bahan dengan sifat yang dikehendaki,
seperti meningkatkan kekakuan pada bahan yang terlalu lentur, meningkatkan
kekuatan, mengurangi kerutan dan kecenderungan untuk bengkok (Xanthos
2010).
Salah satu bahan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan
pengisi adalah serat alam. Serat alam lignoselulosa merupakan salah satu
biopolimer yang paling banyak di muka bumi, sehingga mudah diperoleh di
berbagai daerah (Siró dan Plackett 2010). Serat alam juga memiliki beberapa
keunggulan dari segi ekonomi, lingkungan, dan teknis. Energi yang diperlukan
untuk memproduksi serat alam relatif rendah dan tidak memerlukan peralatan
khusus yang mahal, dapat diperbarui dan tidak menghasilkan karbondioksida
yang berlebih jika dibakar atau dikomposkan, sehingga menguntungkan dari segi
lingkungan (John dan Thomas 2008).
Serat alam juga memiliki bobot jenis yang ringan, namun mampu
menghasilkan kekuatan yang tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan
penguat dan bersifat nonabrasif bagi alat pencampuran dan pencetakan.
Kemampuan serat alam sebagai bahan pengisi penguat telah dibuktikan pada
produk berbahan dasar polietilen (Menezes 
 2009; Prachayawarakorn 

2010), karet alam (Bras 
 2010; Pasquini 
 2010), pati termoplastik (Ma 

 2005; Teixeira 
 2009), polipropilen (Qiu 
 2006; Reddy dan Yang
2009; Kengkhetkit dan Amornsakchai 2012), serta pati (Famá 
 2009; Dias 

 2011).
Penggunaan serat tidak hanya memberi penguatan saja, namun juga dapat
memberi efek penahanan, antara lain meningkatkan kemampuan penahanan film
pati terhadap uap air (Müller 
 2009a; Belbekhouce 
 2011), penahanan
terhadap oksigen dan minyak (Aulin 
 2010). Penggunaan serat juga dapat
meningkatkan kemampuan biodegradasi karet alam (Bras 
 2010),

2
memudahkan pembentukan film amilopektin (Rubio
 2007), dan
meningkatkan kestabilan panas pati termoplastik (Ma
 2005; Chang

2010).
Salah satu sumber serat selulosa yang penting untuk industri adalah kayu.
Adanya kompetisi kebutuhan penggunaan di bidang lain, seperti sektor bangunan,
perabotan, industri kertas, dan energi, menimbulkan tantangan untuk mencari
sumber selulosa dari selain tanaman berkayu keras. Oleh karena itu, sumber
selulosa yang berasal dari tanaman nonkayu keras, seperti rami,  , , dan
lain-lain, berpotensi untuk dieksplorasi.
Bahan nonkayu sebagai sumber serat alam memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan kayu, antara lain dapat dipanen dalam waktu yang lebih
singkat, mudah dibudidaya, sehingga dapat mengurangi eksploitasi penebangan
hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam untuk kepentingan industri
(Subyakto
 2009). Selain itu, limbah pertanian atau hasil samping
agroindustri yang kaya serat juga menjadi alternatif dalam perolehan serat
selulosa. Limbah pengolahan hasil pertanian pada umumnya juga mengandung
sedikit lignin karena sudah terbuang pada proses pengolahan, sehingga
memudahkan dalam mendapatkan serat (Siró dan Plackett 2010).
Ampas tapioka merupakan sisa ekstraksi pati ubi kayu. Ubi kayu merupakan
salah satu tanaman perkebunan penting di Indonesia. Produksi ubi kayu nasional
pada tahun 2010 mencapai 23.918.118 ton (KEMENTAN 2012). Sekitar 26% ubi
kayu digunakan sebagai bahan baku dalam industri tapioka (Hermiati
 2012).
Ekstraksi tapioka dari 100 kg ubi kayu menghasilkan tapioka kasar sekitar 22 kg
dan limbah padat berupa ampas tapioka sebanyak 54,5 kg (Fauzi
 2010).
Ketersediaan ampas tapioka di Indonesia di tahun 2011 mencapai 11.328.986 kg
(BPS, 2013). Apabila ampas tapioka tidak diproses lebih lanjut menjadi produk
lain, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.
Perkembangan nanoteknologi di berbagai bidang, menarik peneliti untuk
mengisolasi serat berukuran nano. Hal ini terkait dengan adanya sifat atau
fenomena baru yang muncul jika materi tersebut digunakan pada skala nano
akibat perubahan sifat fungsional bahan, terkait dengan perubahan sifat
dispersinya (Lin
 2009), peningkatan luas permukaan partikel yang dapat
memfasilitasi terbentuknya interaksi yang lebih besar dengan bahan lain, sehingga
dapat meningkatkan efisiensi penguatan (Liang dan Pearson 2009). Sehubungan
dengan hal tersebut, terbuka peluang untuk memanfaatkan limbah hasil pertanian
yang kaya selulosa dengan pendekatan nanoteknologi dengan harapan dapat
meningkatkan daya guna bahan yang dihasilkan.

Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian
Ampas tapioka merupakan limbah padat industri tapioka yang dihasilkan
dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sekitar 50% dari bahan baku yang
digunakan. Ampas tapioka masih mengandung sisa pati dan serat dengan kadar
air yang masih cukup tinggi, sekitar 70%, dan berpotensi mencemari lingkungan
jika tidak dimanfaatkan. Ampas tapioka telah dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan pakan ternak, bioetanol, dan lain-lain. Kandungan serat dalam ampas

3
tapioka berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pengisi untuk memperbaiki
sifat fisis dan mekanis film.
Penggunaan serat tidak terbatas dalam bentuk utuhnya saja, namun
dikembangkan dalam bentuk selulosa murninya. Serat tersusun atas lignin,
selulosa, dan hemiselulosa. Kadar lignin dalam ampas tapioka mencapai 2,83%,
selulosa 15,63%, dan hemiselulosa 4,58% (Rattanachomsri   2009).
Perkembangan aplikasi nanoteknologi di berbagai bidang, menarik peneliti terkait
untuk mengekstraksi serat hingga berukuran nano atau 10-9 meter. Hal ini terkait
dengan adanya sifat atau fenomena baru yang muncul jika materi tersebut
diaplikasikan pada skala nano akibat perubahan sifat fungsional bahan. Perubahan
ini berhubungan dengan perubahan sifat dispersinya (Lin   2009), peningkatan
luas permukaan partikel yang dapat memfasilitasi terbentuknya interaksi yang
lebih besar dengan bahan lain, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penguatan
(Liang dan Pearson 2009). Berdasarkan potensi ketersediaan ampas tapioka dan
pengaruh positif penggunaan serat selulosa, serta adanya peluang untuk perubahan
sifat bahan yang lebih baik akibat aplikasi serat berukuran nano, maka perlu dikaji
penggunaan serat nanoselulosa dalam pembuatan film.
Teixeira   (2009) telah melakukan isolasi nanoserat selulosa dari ampas
tapioka dan digunakan sebagai bahan penguat pati termoplastik. Isolasi dilakukan
secara langsung dari bahan baku dengan metode hidrolisis asam dan ultrasonikasi.
Perlakuan hidrolisis menggunakan asam kuat merupakan metode yang umum
dilakukan untuk mengisolasi nanoserat selulosa, terutama untuk menghasilkan
  Perlakuan hidrolisis asam juga dapat digunakan untuk menghidrolisis
hemiselulosa menjadi xilosa dan gula lain, serta selanjutnya xilosa terdegradasi
membentuk furfural. Asam juga dapat menghidrolisis polisakarida lain seperti
residu pati menjadi gula sederhana (Adel   2010).
Serat selulosa pada dasarnya tersusun atas nanoserat selulosa yang disatukan
oleh hemiselulosa. Serat-serat elementer dan hemiselulosa dilindungi oleh lapisan
lignin (John dan Thomas 2008). Lignin dapat dihilangkan dengan perlakuan
!"#$ (pemucatan), sehingga teroksidasi dan lebih mudah larut dalam alkali
(Gellerstedt 2010). Larutan alkali juga diketahui dapat menghidrolisis
hemiselulosa (Abe dan Yano 2009). Penghilangan lignin dan hemiselulosa akan
memudahkan proses isolasi nanoserat selulosa. Penghilangan bahan non-selulosa,
terutama lignin, diharapkan dapat meningkatkan adhesi antara serat selulosa dan
matriks film yang bersifat hidrofilik, seperti pati (Abraham   2011). Lignin
merupakan bahan yang relatif hidrofobik dan amorf. Penghilangan lignin dan
bahan non-selulosa lain dapat meningkatkan interaksi antara serat dengan matriks
film berbasis pati (Azeredo   2012).
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan
lain dalam mengisolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka, yaitu melibatkan
perlakuan alkali dan !"#$. Informasi tentang pengaruh penggunaan nanoserat
selulosa sebagai bahan pengisi film berbahan dasar tapioka masih terbatas,
sehingga penelitian ini juga mengkaji pengaruh penggunaan nanoserat selulosa
yang dihasilkan sebagai bahan pengisi film berbahan dasar tapioka, serta evaluasi
kestabilan sifat film yang dihasilkan jika disimpan selama waktu tertentu pada
kelembaban lingkungan yang berbeda. Kerangka pikir perumusan masalah dan
kajian penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

4

FILM BERBASIS PATI

AMPAS TAPIOKA

KONDISI

Ketersediaan dan
kandungan serat sisa
ekstraksi pati

PERMASALAHAN

ALTERNATIF
PEMECAHAN
MASALAH

KETERBATASAN
INFORMASI

 Pati merupakan bahan
yang banyak digunakan
sebagai bahan dasar
pembuatan film ramah
lingkungan
 Tapioka merupakan
salah satu pati yang
mudah didapatkan di
Indonesia

Kendala sifat mekanis
dan fisis film berbahan
dasar pati

Potensi pencemaran
lingkungan

Peningkatan nilai tambah
ampas tapioka dengan
menjadi bahan baku
nanomaterial

Isolasi
nanoserat
selulosa dari
ampas tapioka
dengan
perlakuan
alkali dan

Penggunaan nanoserat
selulosa dari ampas tapioka
untuk memperbaiki sifat
mekanis dan fisis film

Pengaruh
penggunaan
nanoserat selulosa
dari ampas tapioka
terhadap sifat
mekanis dan fisis
film tapioka

%&'()*+,-

RUANG LINGKUP
KAJIAN

Evaluasi sifat
nanoserat
selulosa

Evaluasi sifat
mekanis dan
sifat fisis film
tapioka

Gambar 1 Kerangka pikir perumusan masalah

Kestabilan
mekanis film
berbahan pengisi
nanoserat
selulosa dari
ampas tapioka
selama
penyimpanan
Evaluasi kestabilan
mekanis film tapioka
berbahan pengisi
nanoserat selulosa
selama penyimpanan

5
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk: (1) mengetahui karakter nanoserat selulosa
dari ampas tapioka yang dihasilkan menggunakan beberapa metode isolasi; (2)
mengetahui sifat mekanis dan fisis film hasil aplikasi nanoserat selulosa; dan (3)
mengetahui kestabilan sifat mekanis film selama penyimpanan pada kondisi
kelembaban lingkungan yang berbeda.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber
informasi tentang isolasi dan penggunaan nanoserat selulosa dari ampas tapioka
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya dan aplikasinya
di bidang industri.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian metode isolasi nanoserat
selulosa dari ampas tapioka dan karakterisasi nanoserat selulosa yang dihasilkan,
kajian pengaruh penggunaan nanoserat selulosa yang dihasilkan terhadap sifat
mekanis dan fisis film tapioka yang dihasilkan, serta evaluasi kestabilan sifat
mekanis film pada kondisi kelembaban lingkungan penyimpanan yang berbeda.
Sumber ampas tapioka diperoleh dari industri kecil tapioka di daerah
Purbalingga, metode isolasi yang digunakan merupakan gabungan metode kimia
dan mekanis. Metode kimia menggunakan bahan berupa alkali (KOH), ./0123456
16057 (NaClO2), dan asam sulfat, dilanjutkan dengan perlakuan mekanis
menggunakan 84xer. Nanoserat selulosa yang dihasilkan diaplikasikan sebagai
bahan pengisi film dengan konsentrasi 0-4% dari berat kering tapioka sebagai
bahan dasar pembuatan film. Film yang terpilih dievaluasi sifat kestabilannya
selama 7 hari penyimpanan pada RH 75% dan 97%.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Potensi dan Kendala Pemanfaatan Serat Selulosa
Serat alam lignoselulosa mudah ditemukan di berbagai daerah, sehingga
ketersediaannya berlimpah dan merupakan salah satu biopolimer yang paling
banyak di muka bumi. Serat alam secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan
asalnya, yaitu berasal dari tanaman, hewan, dan mineral. Serat asal tanaman dapat
dikelompokkan berdasarkan sumbernya, antara lain serat batang, serat daun, serat
biji, serat buah, dan sebagainya. Komposisi kimia serat tanaman tergantung pada
umur, asal serat, dan metode isolasinya (Sheltami t al 2012). Serat alam berupa
serat selulosa terdapat pada kayu, kapas, rami, dan sebagainya, berfungsi untuk
memperkuat struktur tanaman. Selain itu, selulosa dapat pula disintesis oleh
ganggang dan beberapa bakteri (Siró dan Plackett 2010).
Selulosa tersusun atas rantai polimer tidak bercabang dengan ikatan -1-4
antara unit-unit glukosa dengan rumus empiris (C6H10O5)n. Panjang rantai selulosa
dipengaruhi oleh sumbernya. Derajat polimerisasi selulosa berkisar dari beberapa
ratus sampai sepuluh ribu unit glukosa. Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil
yang terletak pada posisi C2 dan C3 (gugus hidroksil sekunder) dan C6 (gugus
hidroksil primer). Unit glukopiranosa selulosa dan konfigurasi selulosa dapat
dilihat pada Gambar 2 dan 3. Gugus hidroksil dapat membentuk ikatan hidrogen
intramolekuler dan antarmolekuler. Ikatan hidrogen tersebut memungkinkan
pembentukan struktur kristal tiga dimensi yang sangat teratur (Khalil t al2012).

Gambar 2 Unit glukopiranosa selulosa (Kamide 2005)

Gambar 3 Konfigurasi selulosa (Kamide 2005)

7
Pemanfaatan serat alam hingga kini menarik perhatian terutama bagi
kalangan industri, terkait dengan berbagai keunggulannya, baik dari segi ekonomi,
teknis, dan lingkungan. Biaya untuk memperoleh serat selulosa relatif murah dan
tidak memerlukan peralatan khusus yang mahal. Secara teknis, serat alam bersifat
nonabrasif bagi alat pencampuran dan pencetakan. Keunggulan serat alam ditinjau
dari aspek lingkungan, yaitu terkait dengan sifatnya yang dapat diperbarui,
memerlukan energi yang rendah dalam memproduksinya, serta tidak
menghasilkan karbondioksida yang berlebih jika dibakar atau dikomposkan (John
dan Thomas 2008).
Serat selulosa juga memiliki bobot jenis yang ringan, namun mampu
menghasilkan kekuatan yang tinggi sebagai bahan penguat komposit, antara lain
2009; Prachayawarakorn 9t
sebagai penguat komposit polietilen (Menezes 9t al
:
al: 2010), karet alam (Bras 9t al
2010; Pasquini 9t al
2010), komposit pati
:
:
termoplastik (Ma 9t :al 2005; Teixeira 9t al
2009), polipropilen (Qiu 9t al
2006;
:
:
Reddy dan Yang 2009; Kengkhetkit dan Amornsakchai 2012), serta film berbahan
dasar pati (Famá 9t :al 2009; Dias 9t al
: 2011).
Serat selulosa juga berperan penting dalam meningkatkan ketahanan film
pati terhadap uap air (Müller 9t :al 2009a; Belbekhouce 9t :al 2011),
meningkatkan sifat penahanan terhadap oksigen dan minyak (Aulin 9t al
2010),
:
meningkatkan kemampuan biodegradasi, misalnya pada karet alam (Bras 9t al
:
2010) dan komposit ;poly
apr;o1000

Panjang (nm)
>10.000
>1000
100-600
>1000

As>?@t ratio (P/D)
>1000
100-150
10-100

~1

11

Gambar 8

Hasil transmission l tron
2012)

(TEM)
mi wisk rs (Cao t al

Proses pembuatan material berskala nano dapat dilakukan melalui
pengecilan ukuran dengan berbagai metode, sehingga tercapai material dengan
ukuran nano (pendekatan top -down
), atau dilakukan melalui penyusunan atau
perakitan atom atau molekul menjadi struktur yang lebih besar atau
supramolekuler (pendekatan bottom ). Pembuatan
-up
material nano dari bahan
alam umumnya menggunakan pendekatan top -downPublikasi pembuatan
nanoserat selulosa secara bottom
masih
-up jarang. Salah satunya penggunaan
l trospinni untuk merakit serat selulosa dari selulosa dalam larutan tertentu,
misalnya N N-dim thylformamid . Proses l trospinni dilakukan dengan cara
mengalirkan larutan ke dalam syri
dengan kecepatan 1 ml/jam. Ujung jarum
diberi muatan positif 20 kV, sedangkan aluminum foilsebagai kolektor serat yang
terletak 20 cm dari jarum diberi muatan negatif 3 kV (Dong t al2012).
Serat berskala nano diperoleh melalui proses disintegrasi serat selulosa,
melalui proses nonkimiawi, proses kimiawi, dan perpaduan dua proses tersebut.
Proses nonkimiawi dilakukan dengan menggunakan beberapa metode antara lain
metode berdasarkan tekanan, seperti homogenisasi (Bhattacharya t al 2008);
st am px losion(Ibrahim t al2010; Kaushik t al2010); dan berdasarkan gaya
a misalnya ndi (Abe dan Yano 2009).
Hi
hom ni r digunakan pada metode homogenisasi untuk
memperkecil ukuran serat atau partikel dengan memanfaatkan gaya sh ar akibat
pembatasan aliran secara mendadak di bawah tekanan tinggi melalui suatu katup
(Sanguansri dan Augustin 2006). Pembukaan dan penutupan katup akibat adanya
pegas menyebabkan terjadinya perubahan tekanan yang besar, sehingga serat atau
partikel saling bertumbukan dan terjadi disintegrasi serat atau partikel (Siró dan
Plackett 2010).
Metode st am
px losion
memerlukan energi yang besar untuk menghasilkan
uap panas jenuh dan memerlukan reaktor yang kuat. Struktur lignoselulosa dapat
terbuka bahkan terdisintegrasi akibat tekanan uap panas dalam suatu reaktor atau
autoklaf. Disintegrasi terjadi akibat tekanan uap panas yang dilepaskan secara
mendadak, sehingga terjadi ledakan mengenai struktur serat (Ibrahim t al. 2010;

12
Jacquet Dt Eal 2012). Ibrahim Dt Eal (2010) menggunakan uap jenuh bersuhu 220
C selama 240 detik untuk mendisintegrasi serat dari limbah batang pisang.
Kaushik Dt Eal (2010) menggunakan autoklaf dengan tekanan 15 lb selama 4 jam
untuk mendisintegrasi serat dari jerami gandum. Uap panas berasal dari larutan
NaOH 10-12% yang digunakan untuk merendam jerami.
GriFG
ndi dilakukan menggunakan peralatan yang cukup sederhana, yaitu
berupa GHInd
Dr . Bahan lignoselulosa terfibrilasi akibat gaya JKDar saat melalui
celah GHIndDr yang berputar dengan kecepatan tinggi hingga 1.500 rpm. Proses
mekanis ini terutama ditujukan untuk mengupas lapisan dinding sel luar, sehingga
akan membuka lapisan dalam yang kaya serat nano (Nakagaito dan Yano 2004).
Gaya sh
merusak struktur dinding sel yang terdiri atas lapisan serat nano yang
Dar
berikatan hidrogen, sehingga serat berukuran nano tersebut saling terlepas dalam
pulp(Siró dan Plackett 2010). Besarnya gaya JKDar dipengaruhi oleh lebar celah,
kecepatan putar, serta bentuk permukaan diskatau batu gerinda (Subyakto Dt Eal
2009).
Intensitas perlakuan mekanis berupa ulangan dan durasi proses berpengaruh
terhadap keefektifan pemisahan agregat serat. Intensitas yang terlalu tinggi
berisiko menurunkan sifat kristalinitas dan derajat polimerisasi selulosa
(Henriksson Dt Eal 2007; Abe dan Yano 2009), serta memerlukan energi yang
tinggi (Nakagaito dan Yano 2004). Perolehan serat berskala nano dengan
menggunakan energi yang rendah dan sedikit serat selulosa yang terdegradasi
merupakan pertimbangan penting untuk memilih metode mekanis yang digunakan
(Subyakto Dt Eal 2009).
Peningkatan keefektifan perolehan nanoserat selulosa juga dapat dilakukan
dengan perlakuan tambahan berupa pembekuan bahan sebelum dikenai proses
rushi
, yaitu bahan dibekukan dengan
mekanis. Metode ini disebut LMryLFG
menggunakan nitrogen cair. Kristal es yang terbentuk menekan dinding sel,
sehingga saat dikenai gaya JKDar secara mekanis akan lebih mudah mengalami
disintegrasi melepaskan nanoserat selulosa (Siró dan Plackett 2010; Sundari dan
Ramesh 2012).
Nanoserat selulosa murni dapat diperoleh dengan menggunakan serangkaian
perlakuan kimiawi. Perlakuan kimiawi juga dapat memudahkan nanoserat selulosa
terlepas dari agregat serat, akibat reduksi senyawa yang mengikat serat elementer
selulosa, yaitu hemiselulosa, serta menghilangkan lignin yang melindungi agregat
serat elementer tersebut (John dan Thomas 2008).
Campuran toluene-ethanol dapat digunakan untuk menghilangkan lapisan
lilin, lemak, dan minyak dalam bahan (Habibi Dt Eal 2009). Proses pemucatan
(blDaLFG
hi ) menggunakan campuran asam asetat glasial dan natrium klorit dapat
menghilangkan senyawa fenol atau molekul yang memiliki gugus kromofor yang
ada pada lignin (Bhattacharya Dt Eal 2008). Pemucatan juga dapat dilakukan
menggunakan natrium hipoklorit (Elanthikkal Dt Eal 2010), hidrogen peroksida
Dthyl
DFDdiami
FD
(Teixeira Dt Eal 2011), atau menggunakan larutan tDtraLaDtyl
(TAED) (Rosa Dt Eal 2012). Proses tersebut menyebabkan lignin teroksidasi dan
menjadi lebih mudah larut dalam larutan alkali (Elanthikkal Dt Eal 2010).
Larutan alkali dapat digunakan untuk pemurnian serat selulosa dari senyawa
hemiselulosa, sisa pati, dan pektin. Abe dan Yano (2009) menggunakan KOH 25% untuk pemurnian nanoserat selulosa dari kayu, jerami padi, dan ampas
kentang. Penggunaan larutan alkali tersebut dilakukan sebanyak dua kali pada
o

13
suhu 90oC selama dua jam. Elanthikkal Nt Oal (2010) menggunakan larutan alkali
berupa NaOH 1 M pada suhu 80oC selama empat jam untuk mereduksi kandungan
hemiselulosa dan pektin pada serat pisang. Peningkatan konsentrasi larutan alkali
yang digunakan cenderung meningkatkan fibrilasi (Zhang Nt Oal 2005).
Kandungan lignin juga dapat berkurang akibat perlakuan alkali melalui
pembentukan kompleks kimiawi dan depolimerisasi (Mandal dan Chakrabarty
2011; Johar Nt Oal 2012).
Enzim dan mikroorganisme juga dapat dimanfaatkan untuk memudahkan
pemisahan serat selulosa. Henriksson Nt Oal (2007) menggunakan Novozym
sebelum perlakuan homogenisasi untuk memperoleh serat nano dari tanaman
Perlakuan tersebut menghasilkan serat nano berdiameter 15-30 nm
Pi
PNa abi
NQO
dengan panjang beberapa mikrometer. TriPhod
ma NNQN
r i
merupakan
Nr
mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa melalui enzim ekstraseluler
yang dikeluarkan, meliputi Nnd
, PNllobiohydr
ola , dan PNllobia
( RSTUPana
QN
QN
QN
) (Satyamurthy Nt Oal 2011). Kemampuan ini dimanfaatkan oleh
STUPosida
QN
Satyamurthy Nt Oal (2011) untuk memperoleh nanoserat selulosa dari serat kapas.
Perlakuan tersebut dapat menghasilkan serat selulosa berdiameter sekitar 36,5 nm.
Isolasi nanoserat selulosa dengan menggunakan asam kuat dapat
menghasilkan whisk
Asam kuat lebih mudah menghidrolisis bagian amorf
NVQO
serat, sehingga serat terdegradasi menjadi serat pendek. Asam kuat juga dapat
menghidrolisis hemiselulosa menjadi xilosa dan gula lain, selanjutnya xilosa
terdegradasi membentuk furfural. Selain itu, polisakarida lain seperti residu pati
dapat terhidrolisis menjadi gula sederhana (Adel Nt Oal 2011).
Derajat polimerisasi nanoserat selulosa, kristalinitas, morfologi, dan sifat
lainnya dapat dipengaruhi oleh asam yang digunakan (Adel Nt Oal 2011). Alemdar
dan Sain (2008) menggunakan asam klorida 1 M untuk menghidrolisis jerami padi
dan polong kedelai. Hidrolisis dilakukan pada suhu 80 ± 5 oC selama 2 jam untuk
menghidrolisis hemiselulosa, pektin dan polisakarida menjadi gula sederhana,
sehingga diperoleh serat selulosa bebas bahan nonselulosa.
Selain asam klorida, banyak penelitian menggunakan asam sulfat sebesar 60
- 65% w/v atau 6 - 6,5 M sebagai media hidrolisis. Hidrolisis menggunakan asam
sulfat digunakan oleh Bhattacharya Nt Oal (2008) pada ampas tebu, Chen Nt Oal
(2009) pada serat polong kacang, Menezes Nt Oal (2009) pada serat rami, Teixeira
Nt al
. (2009) pada ampas tapioka, Bras Nt Oal (2010) pada pulp ampas tebu,
Elanthikkal Nt Oal (2010) pada serat pisang, Lu dan Hsieh (2010) pada selulosa
kapas, Pasquini Nt Oal (2010) pada ampas tapioka, Belbekhouche Nt Oal (2011) pada
serat sisal, Liu Nt Oal (2011) pada bubuk selulosa mikrokristal, dan Teixeira Nt Oal
(2011) pada ampas tebu. Hidrolisis dilakukan pada suhu 45
60oC selama
beberapa puluh menit sampai beberapa jam tergantung jenis bahan awalnya.
Permasalahan yang perlu diperhatikan terkait penggunaan hidrolisis asam
antara lain kemungkinan adanya bahaya keracunan akibat residu asam kuat pada
N film .
permukaan serat, terutama jika digunakan sebagai bahan pengisi Ndibl
Selain itu, konsentrasi asam yang terlalu tinggi dapat menyebabkan degradasi
selulosa yang berlebih. Abraham Nt Oal (2011) menggunakan asam lemah berupa
asam oksalat 5% untuk mengurangi bahaya penggunaan asam kuat dan mencegah
degradasi selulosa. Namun, untuk meningkatkan keefektifan dalam perolehan
nanoserat selulosa digunakan langkah tambahan berupa dua tahap Nst
am

14
px losion, yaitu pada tahap preparasi bahan baku dan pada tahap setelah
perlakuan asam.
Diameter dan panjang nanoserat selulosa dipengaruhi oleh perlakuan isolasi
atau ekstraksi nanoserat selulosa yang diterapkan. Serat yang masih mengandung
lignin dan hemiselulosa menunjukkan ukuran yang lebih besar, dibandingkan
nanoserat selulosa murni. Hemiselulosa juga dapat mencegah terjadinya agregasi
nanoserat selulosa (Lavoine Wt Xal 2012). Fragmen kristal nanoserat selulosa dalam
kondisi kering cenderung membentuk agregat. Agregat terjadi akibat
pembentukan ikatan hidrogen karena adanya gugus hidrogen dan energi
permukaan nanoserat selulosa yang tinggi (Mandal dan Chakrabarty 2011).
Reaksi hidrolisis yang lebih lama, misalnya dari 30 menit menjadi 60 menit,
menyebabkan nanoserat selulosa yang terbentuk lebih pendek dan kecil, indeks
kristalinitas lebih tinggi, dan penurunan kestabilan termal (Tonoli Wt alX 2012).
Neto Wt al
(2013) di sisi lain melaporkan bahwa kondisi hidrolisis asam yang
X
lebih lama (40 menit) tidak hanya menghasilkan nanoserat selulosa yang lebih
pendek, namun juga menyebabkan kerusakan struktur kristal nanoserat selulosa
dibanding perlakuan hidrolisis asam selama 30 menit.
Hidrolisis umumnya menyerang pada bagian amorf, sehingga dihasilkan
nanoserat selulosa pendek dengan kristalinitas tinggi. Hal ini berlawanan dengan
hasil nanoserat selulosa dari proses mekanis, yaitu cenderung menghasilkan
nanoserat selulosa panjang dan mengandung bagian kristal dan amorf (Neto Wt Xal
2013). Selain itu, peningkatan waktu hidrolisis asam menggunakan asam sulfat
dapat meningkatkan kandungan sulfur pada permukaan nanoserat selulosa, dan
menunjukkan suhu degradasi termal yang lebih rendah dibandingkan dengan
nanoserat selulosa yang dihasilkan secara mekanis (Tonoli Wt al
X 2012).
Proses pemurnian kimiawi juga berpengaruh terhadap permukaan serat.
X
Johar Wt al
(2012) menunjukkan bahwa serat setelah perlakuan alkali tampak
lebih kasar. Hal ini menunjukkan terjadi degadrasi pada bahan yang terdapat di
permukaan serat, seperti hemiselulosa, lignin, pektin, lilin, dan bahan lain di
permukaan serat. Perubahan sifat kimia permukaan yang terjadi berpengaruh
terhadap kestabilan dispersi nanoserat selulosa dalam larutan. Kestabilan
pot
nanoserat selulosa. Nilai ini
dispersinya dinilai dengan nilai YWta Wntial
menunjukkan perbedaan muatan antara medium dengan muatan listrik di sekitar
pot
yang tinggi menunjukkan kapasitas dispersi yang
partikel. Nilai YWta Wntial
tinggi dalam air, sedangkan nilai YWta Wntial
pot
yang rendah menunjukkan
kestabilan dispersi yang rendah (Tonoli Wt Xal 2012).

W

Pemanfaatan Limbah atau Produk Samping Agroindustri Sebagai Bahan
Baku Nanoserat Selulosa dan Aplikasinya Dalam Pembuatan Film
Kayu merupakan sumber serat selulosa yang penting untuk industri. Adanya
kompetisi kebutuhan penggunaan di bidang lain, seperti sektor bangunan,
perabotan, industri kertas, dan energi, menimbulkan tantangan untuk mencari
sumber selulosa dari selain tanaman berkayu keras. Oleh karena itu, sumber
, dan
selulosa yang berasal dari tanaman nonkayu keras, seperti rami, ZWmp , sisal
lain-lain, berpotensi untuk diekspolarasi. Bahan nonkayu sebagai sumber serat
alam memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan kayu, antara lain dapat

15
dipanen dalam waktu yang lebih singkat, mudah dibudidaya, sehingga dapat
mengurangi eksploitasi penebangan hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam
untuk kepentingan industri (Subyakto [t \al 2009).
Limbah pertanian atau hasil samping agroindustri yang kaya serat menjadi
alternatif dalam perolehan nanoserat selulosa. Penggunaan serat asal limbah
pertanian selain menjadi alternatif pemanfaatan limbah, juga diharapkan dapat
mengurangi eksploitasi hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam bagi industri.
Selain itu, limbah pengolahan hasil pertanian pada umumnya juga mengandu