Subkategori Mengejek Mak, satus ki nol’e piro?? D4
menunduk. Kemudian, tindak verbal yang terjadi pada tuturan D16 adalah ekspresif dengan tindak perlokusi MT2 hanya tersenyum merasa tersindir,
kemudian menanggapi panggilan MT1. Berdasarkan uraian di atas, kedua tuturan yang disampaikan penutur
tersebut lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang menghilangkan muka mitra tuturnya. Ketidaksantunan yang menghilangkan muka itu mengarah pada sebuah
tuturan yang dapat mengakibatkan mitra tuturnya malu bahkan merasa kehilangan muka.
Pembahasan terakhir, mengenai maksud ketidaksantunan penutur. Maksud adalah milik penutur, sehingga dilakukan konfirmasi kembali untuk
mengetahui maksud penutur. Meskipun kedua tuturan di atas, termasuk dalam subkategori menyindir, maksud dari tuturan penutur sebenarnya hanya ingin
mengajak bercanda mitra tuturnya.
4.3.4.2 Subkategori Mengejek Mak, satus ki nol’e piro?? D4
Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur sedang berdiskusi untuk menyelesaikan PR bersama beberapa anggota keluarga yang lain di ruang
keluarga. Penutur sengaja bertanya kepada mitra tutur, padahal penutur sudah mengetahui keterbatasan mitra tutur, yakni tidak dapat membaca.
Mendengar pertanyaan tersebut, mitra tutur memberikan jawaban sekenanya
Iya, itu yang masih belum laku mbak, soalnya pengangguran. D9 Konteks tuturan: penutur sedang berbincang bersama MT1 di ruang tamu
rumah penutur Senin, 13 Mei 2013, sekitar pukul 12.10 –12.35 WIB. MT2
berjalan dari dalam membawakan minuman untuk MT1. MT1 bertanya kepada penutur perihal MT2. Tiba-tiba penutur melontarkan jawaban
bahwa MT2 seorang pengangguran sembari menunjuk MT2
Kedua tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur dengan sengaja berusaha menghina atau mengejek mitra tuturnya dengan menceritakan
kelemahan mitra tutur di hadapan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari cara penutur berbicara, misalnya pada tuturan D4, penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua dengan lugas, penutur sengaja bertanya kepada orang yang memiliki kelemahan membaca dan menulis. Begitu juga dengan tuturan D9,
penutur berbicara dengan ketus sembari tertawa dan menunjuk ke arah mitra tuturnya. Bahkan, disampaikan di hadapan tamu yang berkunjung.
Penanda ketidaksantunan linguistik dalam tuturan-tuturan tidak santun dapat dilihat berdasarkan intonasi, tekanan, nada, pilihan kata diksi, dan kata
fatis. Intonasi pada kedua tuturan di atas berbeda. Tuturan D4 berintonasi tanya, sedangkan tuturan D9 berintonasi berita dengan pola intonasi datar-turun.
Meskipun memiliki intonasi tanya dan intonasi berita yang cenderung terdengar menurun, kenyataannya kedua tuturan di atas justru mempermalukan mitra
tuturnya. Pada tuturan D4 penutur berbicara dengan tekanan lunak pada frasa nol’e piro, sedangkan tuturan D9 disampaikan oleh penutur juga dengan tekanan
lunak pada kata pengangguran. Bagian yang ditekankan dari kedua tuturan tersebut dipersepsi sebagai ketidaksantunan karena menyiratkan suatu hinaan atau
ejekan terhadap mitra tuturnya dan berpotensi mempermalukan mitra tutur. Lebih lanjut lagi mengenai nada tutur. Nada menyangkut tinggi rendahnya bunyi. Kedua
tuturan di atas disampaikan dengan nada sedang. Meskipun dituturkan dengan nada sedang, tuturan tersebut dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena
terdengar sebagai ejekan dan hinaan terhadap mitra tuturnya.
Tuturan D4 menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa, sedangkan tuturan D9 menggunakan bahasa nonstandar
yang ditandai dengan pemakaian kata tidak baku, yaitu soalnya. Pada tuturan D4 terdapat kata-kata
nol’e piro yang artinya nol’nya berapa, sedangkan pada tuturan D9 terdapat kata pengangguran. Pilihan kata pengangguran tersebut dianggap
tidak santun karena mempermalukan mitra tuturnya. Akan lebih santun jika diganti dengan kata belum bekerja. Pada kedua tuturan tersebut tidak ditemukan
penggunaan kata fatis. Selanjutnya, mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik yang dilihat
berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Aspek pertama ditinjau dari penutur dan lawan tutur, pada tuturan D4, penutur laki-laki kelas 4 SD,
berusia 12 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 42 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Pada tuturan D9, penutur laki-laki berusia 50 tahun, MT1 seorang
tamu, dan MT2 laki-laki berusia 23 tahun. Penutur adalah bapak dari MT2. Kedekatan hubungan dalam keluarga terkadang justru memunculkan bentuk-
bentuk ketidaksantunan. Aspek berikutnya adalah konteks. Konteks dalam tuturan D4 terjadi
ketika penutur dan mitra tutur sedang berdiskusi untuk menyelesaikan PR bersama beberapa anggota keluarga yang lain di ruang keluarga. Penutur sengaja
bertanya kepada mitra tutur, padahal penutur sudah mengetahui keterbatasan mitra tutur, yakni tidak dapat membaca. Mendengar pertanyaan tersebut, mitra tutur
memberikan jawaban sekenanya. Dari konteks itu, terlihat bahwa penutur sengaja
ingin mempermalukan mitra tuturnya dengan melontarkan pertanyaan yang jelas tidak dapat dijawab oleh mitra tutur karena keterbatasannya.
Begitu juga dengan tuturan D9 yang terjadi ketika penutur sedang berbincang bersama MT1 di ruang tamu rumah penutur Senin, 13 Mei 2013,
sekitar pukul 12.10 –12.35 WIB. MT2 berjalan dari dalam membawakan
minuman untuk MT1. MT1 bertanya kepada penutur perihal MT2. Tiba-tiba penutur melontarkan jawaban bahwa MT2 seorang pengangguran sembari
menunjuk MT2. Berdasarkan konteks tersebut juga terlihat bahwa penutur sengaja ingin mempermalukan mitra tuturnya dengan berkata bahwa mitra tutur
seorang pengangguran. Seharusnya hal itu tidak perlu disampaikan oleh penutur di hadapan tamu yang datang.
Lebih lanjut lagi dalam aspek tujuan penutur, tuturan sebagai tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Tujuan penutur dalam tuturan D4 yaitu
mengajak mitra tuturnya bercanda. Tindak verbal yang terjadi yakni ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu diam saja karena malu
tidak dapat membantu mengerjakan PR kemudian pergi tidur. Begitu juga dengan tuturan D9 yang disampaikan dengan tujuan menyuruh MT2 untuk segera mencari
pekerjaan. Tindak verbal yang terjadi yaitu ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut yakni MT2 hanya tersenyum malu kemudian kembali ke
belakang. Berdasarkan tindak perlokusi yang terjadi pada mitra tutur diketahui bahwa tuturan penutur tidak santun karena mengarah pada tuturan yang
menghilangkan muka mitra tuturnya.
Setiap tuturan tidak santun mengandung maksud tertentu yang ingin disampaikan kepada mitra tuturnya. Meskipun termasuk dalam subkategori
mengejek, pada kenyataannya tuturan D4 memiliki maksud untuk sekadar mengajak bercanda mitra tuturnya. Lain halnya dengan tuturan D9 yang
disampaikan dengan maksud memberi informasi kepada mitra tuturnya. Sayangnya, kedua maksud tersebut disampaikan dengan cara yang kurang santun
sehingga terdengar seperti sebuah ejekan terhadap mitra tuturnya.