Biodegradasi Aerobik Senyawa Hidrokarbon Aromatik

BIODEGRADASI AEROBIK SENYAWA HIDROKARBON AROMATIK MONOSIKLIS OLEH BAKTERI
DWI SURYANTO Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN
Perputaran karbon di alam tergantung reaksi katabolik mikroorganisme. Biodegradasi hidrokarbon ini merupakan proses kompleks, yang aspek kuantitatif dan kualitatifnya tergantung kepada sifat alami dan jumlah hidrokarbon tersebut, kondisi lingkungan, dan komponen komunitas mikroba (Leahy and Colwell, 1990; Nicholson et al., 1992). Kapasitas mikroorganisme untuk mendegradasi secara alami bahan organik yang telah dilakukan jutaan tahun, sekarang ditantang dengan bahan kimia sintetik yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja dimasukkan ke dalam lingkungan (Portier, 1991; Semple and Cain, 1996).
Bioremediasi merupakan teknik yang potensial untuk membersihkan daerah terkontaminasi bahan pencemar (Blasco et al., 1997; Laine and Jorgensen, 1996). Teknologi bioremediasi secara sederhana merupakan usaha untuk mengoptimalkan kemampuan alami mikroorganisme untuk mendegradasi/mendaur ulang dengan memberikan reaktan anorganik esensial dan meminimumkan tekanan abiotik (Portier, 1991). Teknologi ini sangat berguna dan dapat digunakan pada berbagai tahapan perlakuan. Terdapat tiga prinsip dalam teknologi bioremediasi, yaitu pelepasan langsung mikroba ke lingkungan terkontaminasi, peningkatan kemampuan mikroba indigenous (asli), dan penggunaan mikroba dalam reaktor khusus (Portier, 1991).
Biodegradasi hidrokarbon oleh komunitas mikroba tergantung pada komposisi komunitas dan respon adaptif terhadap kehadiran hidrokarbon (Leahy and Colwell, 1990). Laju biodegradasi senyawa hidrokarbon kompleks dengan berat molekul besar seperti senyawa aromatik, resin, dan asfalten lebih lambat dibandingkan dengan senyawa dengan berat molekul rendah. Meski demikian beberapa studi menunjukkan bahwa degradasi pada kondisi optimum terhadap senyawa kompleks memiliki laju yang tinggi (Leahy and Colwell, 1990). Demikian juga dengan fenol dan klorofenol (Nicholson et al., 1992).
Salah satu bahan pencemar yang sering menimbulkan masalah adalah hidrokarbon aromatis. Hidrokarbon yang sering dijumpai, terutama di perairan, adalah fenol dan derivatnya dari karbonisasi batubara, bahan kimia sintetik, dan industri minyak (Semple and Cain, 1996). Senyawa fenolik ini merupakan polutan berbahaya (Dong et al. 1992). Fenol alami dapat dijumpai di berbagai tanaman. Tanin merupakan suatu kelompok senyawa polifenolik yang biasanya merupakan komponen tumbuhan, dan terdiri dari 2 kelas utama, yaitu yang terkondensasi dan hidrolisat. Disamping itu tumbuhan menghasilkan lignin yang merupakan kelompok polifenol sekerabat dengan tanin yang sangat sulit didegradasi oleh bakteri (Gamble et al., 1996).
Industri kimia mensintesis berbagai jenis derivat nitroaromatis yang digunakan sebagai komponen manufaktur. Parathion merupakan salah satu bahan kimia hasil sintetis, yang digunakan untuk pestisida (Blasco and Castillo, 1992). Derivat lainnya seperti senyawa aromatis halogen berbahaya telah digunakan dalam pertanian dan industri, dan dibuang ke lingkungan selama

©2003 Digitized by USU digital library

0

beberapa dekade terakhir, sering terakumulasi dalam sedimen anaerobik, tanah, dan lingkungan perairan (Kuo and Genthner, 1996). Klorofenol misalnya terdapat dalam limbah cair pulp dan dari proses lain. Senyawa ini dapat mengkontaminasi berbagai tanah dan air bawah tanah (Laine and Jorgensen, 1996; Mohn and Kennedy, 1992).
Degradasi fenol dan homolognya dilakukan oleh berbagai organisme berupa bakteri, jamur, kapang, ganggang, dan tumbuhan tungkat tinggi (Semple and Cain, 1996). Pengetahuan tentang jalur biotransformasi merupakan hal penting untuk melihat resiko pada daerah terkontaminasi dan penerapan perlakuan biologi. Bagaimanapun, jalur yang diamati di laboratorium dengan organisme tanpa aklimatisasi sering berbeda dengan yang diobservasi di lapangan atau pada proses perlakuan dengan konsorsium mikroba yang dipaparkan dalam kontaminan untuk waktu yang lama (Nicholson et al., 1992).
Pada kasus kloroaromatik, alasan lambatnya atau tidak adanya biodegradasi dalam lingkungan disebabkan oleh jumlah yang tidak memadai dari mikroba pendegradasi poliklorofenol (Blasco et al., 1997; Miethling and Karlson, 1996) dan inhibisi oleh konsentrasi toksik senyawa ini, atau oleh kontaminan lain (Heipieper et al., 1992; Miethling and Karlson, 1996). Namun kadang-kadang mikroba khusus yang diintroduksikan bekerja tidak sesuai dengan harapan, karena faktor seperti ketahanan (survival) rendah, predasi, dan pengaturan kemampuan degradasi yang tidak baik (Blasco et al., 1997).
II. PROSES DEGRADASI
Degradasi senyawa fenol dapat dilakukan lebih mudah dibandingkan dengan senyawa hasil sintetik derivat atau homolog aromatis. Hal ini lebih disebabkan karena senyawa ini telah lebih lama dikenali bakteri pendegradasi sehingga bakteri mampu mendegradasi jauh lebih baik dibandingkan dengan dengradasi senyawa derivat sintetiknya.
Proses pemecahan fenol dan mineralisasi dilakukan berbagai organisme melalui destabilisasi cincin aromatis fenol. Senyawa fenol mengalami oksidasi dengan bantuan enzim dioksigenase-cincin (ring-dioxygenase) menghasilkan dihidrodiol. Senyawa katekol (dihydric phenol) dihasilkan dari senyawa dihidrodiol dehidrogenase. Melalui pemecahan orto dengan enzim katekol 2,3dioksigenase menghasilkan cis-cis-mukonat, atau pemecahan meta dengan enzim katekol 2,3-dioksigenase, senyawa katekol diubah menjadi hidroksi mukonat semialdehid, dan pemecahan lain. Hasil metabolit ini dapat masuk ke siklus TCA. Beberapa homolog fenol juga mempunyai jalur reaksi yang sama sebelum masuk siklus TCA (Gambar 1).
Kemampuan degradasi mikroba terhadap senyawa fenol dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis mikroba, proses aklimatisasi, senyawa toksik, dan toleransi mikroba terhadap senyawa toksik. Beberapa mikroba tercatat mampu mendegradasi fenol dengan baik. Ganggang eukaryot, Ochromonas danica, mampu tumbuh pada fenol sebagai satu-satunya sumber karbon. Ganggang ini mengoksidasi fenol dan memineralisasi fenol menjadi katekol melalui pembelahan meta. Konversi fenol menghasilkan CO2 sebanyak 60%, 15% tetap dalam medium cair, dan sisanya dikonversi menjadi biomassa (Semple and Cain, 1996). Jamur Ceriporiopsis subvermispora dan Cyathus stercoreus mampu mendegradasi senyawa tannin (Gamble et al., 1996).

Senyawa toksik berupa logam berat juga mengganggu mikroba pendegradasi. Kontaminasi logam berat secara alami (erosi, kebakaran,

©2003 Digitized by USU digital library

1

pencucian, aktifitas gunung api, dan transformasi mikroba) dan oleh kegiatan manusia (limbah industri, pembuangan sampah, dan pembakaran bahan bakar fosil) menyebabkan akumulasi logam dalam relung lingkungan yang anaerobik (Kuo and Genthner, 1996). Keadaan ini membuat perlunya diketahui kemampuan mikroba untuk mendegradasi senyawa aromatik di daerah yang juga tercemar logam berat. Pertumbuhan bersama antara pereduksi Cr(VI), Escherichia coli ATCC 33456, dan pendegradasi fenol, Pseudomonas putida DMP-1, secara simultan mereduksi Cr(VI) dan mendegradasi fenol (Shen and Wang, 1995). Penambahan Cr(VI) sebanyak 0.01 ppm meningkatkan biodegradasi fenol sampai 179% dan benzoat sampai 169%, sedang penambahan Cd(II) dan Cu(II) sebanyak 0.01 ppm meningkatkan laju biodegradasi benzoat sampai 185% dan 2-klorofenol sampai 168%. Untuk Hg(II) 1.0-2.0 ppm, 2-klorofenol dan 3klorobenzoat terdegradasi 133-154% lebih cepat daripada kontrol setelah periode aklimatisasinya diperpanjang (Kuo and Genthner, 1996). Peningkatan toleransi sel melawan substrat beracun dapat meningkatkan kemampuan degradasi bahan pencemar oleh mikroba terkait. Perubahan komposisi lemak membran dari cis menjadi trans menyebabkan peningkatan derajat saturasi lemak membran. Modifikasi ini berhubungan dengan peningkatan toleransi membran terhadap senyawa toksik, seperti fenol dan klorofenol (Heipieper et al., 1992).

Gambar 1. Metabolisme senyawa aromatik umumnya melalui katekol sebagai intermediet sentral.
Beberapa derivat aromatis atau homolog fenol juga mampu didegradasi oleh mikroba. Strain bakteri MVI, suatu kelompok bakteri Gram-negatif dan basilus aerobik, yang diisolasi dari lumpur yang diperkaya yang diambil dari tempat pengolahan air limbah pabrik plastik memperlihatkan kemampuan mendegradasi bisfenol A. Sebanyak 60% bisfenol A termineralisasi menjadi CO2, dan 20% menjadi bagian sel. Bisfenol dipecah menjadi 4-hidroksibenzoat dan 4-

©2003 Digitized by USU digital library

2

hidroksiasetofenon untuk kemudian dimineralisasi dan diasimilasi menjadi karbon dalam sel. Dua puluh persen lainnya dihidroksilasi membentuk 2,2-bis(4hidroksifenil)-1-propanol, kemudian ditransformasi menjadi 2,3-bis(4hidroksifenil)-1,2-propanediol. Sel yang ditumbuhkan pada bisfenol A ternyata mampu mendegradasi juga bisfenol alkana, asam benzoat terhidroksilasi, dan asetofenon terhidroksilasi (Lobos et al., 1992). Selama degradasi difenil eter yang dilakukan oleh bakteri Sphingomonas sp. strain SS3 terbentuk intermediet fenol dan katekol yang kemudian menuju jalur 3-oksoadipat. Bakteri ini juga mampu menggunakan derivat 4-floro, 4-kloro, dan sedikit 4-bromo dari difenil eter sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi. Langkah inisiasi degradasi mengikuti mekanisme 1,2-dioksigenase yang menghasilkan fenolat hemiasetal yang tidak stabil dari struktur difenil (Schmidt et al., 1992). Rhodobacter capsulatus E1F1, bakteri non sulfur ungu fototrofik yang mampu memfotoasimilasi nitrat atau nitrit, tumbuh secara fototrofik pada medium dengan mono dan dinitrofenol dengan asetat sebagai sumber karbon. Pertumbuhan terbesar diperoleh pada kondisi mikroaerobik (Blasco and Castillo, 1992).
Pada kasus biodegradasi senyawa aromatik seringkali terbentuk intermediet yang lebih toksik dari senyawa asli. Karena tingkat kelarutan yang tinggi menyebabkan senyawa ini mudah menyebar. Oleh sebab itu, proses mineralisasi harus merupakan tujuan akhir dari degradasi senyawa aromatis, bukan hanya sekedar telah terjadi konversi senyawa ini (Blasco et al., 1997; Laine and Jorgensen, 1996).
Pada senyawa kloroaromatis, mineralisasi biasanya dilakukan oleh enzim melalui jalur klorokatekol. Sayangnya hanya sedikit bakteri yang mampu mentransformasi klorofenol menjadi klorokatekol untuk kemudian menuju proses mineralisasi (Blasco et al., 1997). Reduksi dehalogenasi kelihatannya merupakan langkah inisiasi dalam degradasi anaerobik seluruh klorofenol (Mohn and Kennedy, 1992; Nicholson et al., 1992). Reduksi ini memiliki nilai penting terhadap lingkungan karena produk metabolik yang lebih sedikit mengandung klorin umumnya kurang beracun dan lebih mudah didegradasi oleh bakteri aerob dibandingkan dengan senyawa induk yang memiliki klorin lebih banyak (Nicholson et al., 1992). Nicholson et al. (1992) juga mencatat bahwa reduksi deklorinasi terjadi pada lumpur buangan anaerobik yang tidak diaklimatisasi dan yang diaklimatisasi, sedimen, tanah yang ditambah dengan lumpur buangan, dan lingkungan perairan.
Jalur lain dalam degradasi homolog fenol selain jalur klorokatekol dapat saja terjadi melalui pembelahan meta dan 3-oksoadipat yang menghasilkan protoanemonin (Gambar 2), suatu intermediet yang lebih toksik daripada senyawa induk. Protoanemonin merupakan suatu senyawa antibiotik spektrum luas yang biasanya dihasilkan oleh tumbuhan keluarga Ranunculaceae (Blasco et al., 1997). Pembentukan protoanemonin ini dibuktikan dengan percobaan menggunakan tanah disterilisasi dan tanah yang tidak disterilisasi. Pemberian katekol, 4-klorokatekol, dan 4-klorobenzoat pada tanah disterilisasi tidak mempengaruhi pertumbuhan Pseudomonas sp. strain LB400, bakteri yang mampu memetabolisme klorobifenil. Benzoat dan bifenil dirombak tanpa akumulasi intermediet, atau mengalami mineralisasi. Pada tanah yang tidak disterilisasi, pemberian senyawa tersebut menyebabkan penurunan viabilitas bakteri LB400. Penurunan ini dapat terjadi karena pengaruh kompetisi terbatas dan/atau predasi, namun penurunan yang lebih besar dapat terjadi karena


©2003 Digitized by USU digital library

3

adanya akumulasi senyawa toksik berupa protoanemonin yang dibentuk oleh mikroorganisme indigenous (Blasco et al., 1997).

Gambar 2. Jalur degradasi aerobik 4-klorobenzoat. 1). dehalogenasi hidrolitik 4klorobenzoat menghasilkan 4-hidroksibenzoat, 2). dioksigenasi 4klorobenzoat dikatalisis oleh benzoat dioksigenase membentuk 4klorokatekol, 3). pembelahan meta 4-klorokatekol oleh katekol 2,3dioksigenase, 4). pembelahan orto 4-klorokatekol oleh katekol dan klorokatekol 1,2-dioksigenase, 5). pembentukan cis-dienelakton dari 3kloro-cis,cis-mikonat dikatalisis oleh kloromukonat sikloisomerase, 6). 1,4-sikloisomerasi dari 3-kloro-cis,cis-mukonat dikatalisis oleh mukonat sikloisomerase Trichosporan cutaneum, 7). Pembentukan protoanemonin dikatalisis oleh mukonat sikloisomerase (dari Blasco et al., 1997).

©2003 Digitized by USU digital library

4

Inokulasi LB400 bersama dengan Pseudomonas PS121 yang mampu

mendegradasi 4-klorobenzoat melalui 4-klorokatekol dan jalur orto ke dalam

tanah tidak disterilisasi menunjukkan tidak adanya penurunan viabilitas LB400.

Hal yang sama juga terlihat pada kombinasi LB400 dengan P. putida KT2442


yang memiliki plasmid TOL yang mampu merubah 4-klorobenzoat menjadi 5-

kloro-2-hidroksimukonat semialdehid, sehingga tidak terjadi akumulasi 4-

klorokatekol dan protoanemonin (Blasco et al., 1997).

Beberapa mikroba lain yang mampu mengkonversi klorofenol telah

dilaporkan. Meski tidak menyebutkan secara spesifik, Mohn and Kennedy (1992)

melihat adanya beberapa mikroba anaerob yang mampu mendegradasi klorofenol

dan mungkin dapat digunakan pada limbah yang mengandung klorofenol.

Biodegradasi anaerobik merupakan suatu pilihan yang murah untuk

mengeluarkan bahan pencemar organik in situ dari lingkungan (Kuo and

Genthner, 1996). Setelah aklimatisasi pada 3,4 µM pentaklorofenol selama 6


bulan, konsorsium metanogen mampu mengeluarkan klorin dari posisi orto,

meta, dan para dari pentaklorofenol dan produk reduktif deklorinasinya.

Pentaklorofenol didegradasi menjadi 2,3,4,5-tetraklorofenol, 2,3,4,6-

tetraklorofenol, dan 2,3,5,6-tetraklorofenol. Proses deklorinasi 2,3,4,5-

tetraklorofenol menghasilkan 3,4,5-triklorofenol untuk kemudian didegradasi

menjadi 3,4-diklorofenol dan 3,5-diklorofenol. Deklorinasi melalui orto dan meta

dari 2,3,4,6-tetraklorofenol menghasilkan 2,4,6-triklorofenol dan 2,4,5-

triklorofenol, sedang 2,3,5,6-tetraklorofenol menghasilkan 2,3,5-triklorofenol

dilanjutkan dengan pembentukan 3,5-diklorofenol. Degradasi 2,4,6-triklorofenol

menghasilkan 2,4-diklorofenol, sedang deklorinasi 2,4,5-triklorofenol pada dua


posisi menghasilkan 2,4-diklorofenol dan 3,4-diklorofenol. Dari tiga diklorofenol

yang dihasilkan hanya 2,4-diklorofenol yang dapat didegradasi dalam waktu

relatif singkat untuk membentuk 4-klorofenol (Nicholson et al., 1992). Inokulasi tanah dengan Sphingomonas chlorophenolica RA2 sebanyak 108 sel/g mampu

memperpendek secara mengesankan waktu mineralisasi 30 µg pentaklorofenol

dengan sekitar 80% diubah menjadi CO2. Inokulasi dengan Mycobacterium chlorophenolicum PCP1 meningkatkan mineralisasi sedikit di atas bakteri

indigenous. Kemampuan yang buruk dari strain ini mungkin berhubungan dengan

sifat sensitifnya terhadap pentaklorofenol, juga mungkin karena kondisi tanah

yang sedikit asam (Meithling and Karlson, 1996).

Penambahan bahan tertentu yang mengandung inokulan ke dalam tanah

terkontaminasi klorofenol dapat mempercepat proses degradasi klorofenol.


Setelah adaptasi dengan pentaklorofenol, kompos jerami mampu memineralisasi

56% pentaklorofenol. Sedang tanah teremediasi (remediated soil) yang telah

diperkaya mampu memineralisasi 24% pentaklorofenol (Laino and Jorgensen,

1996). Biodegradasi anaerobik senyawa klorofenol dan klorobenzoat juga

tergantung kepada elektron yang tersedia dan posisi klorin tersubstitusi

(Haggblöm et al., 1993).

Hasil proses degradasi tidak

seluruhnya dapat dimineralisasi.

Beberapa intermediet ternyata bersifat resisten terhadap degradasi lanjut. Dua

produk yaitu 3-dan 4-monoklorofenol merupakan produk yang resisten terhadap


degradasi, sedang 2 monoklorofenol dapat didegradasi lebih lanjut (Mohn and

Kennedy, 1992). Melihat kenyataan ini pemilihan mikroba yang lebih sesuai

untuk aplikasi sehingga meminimalkan produk tak terdegradasi lanjut maupun

terbentuknya intermediet toksik menjadi penting.

©2003 Digitized by USU digital library

5

III. APLIKASI DAN BIOTEKNOLOGI Fenol dan homolognya seperti klorofenol memerlukan suasana aerob dan anaerob agar dapat terdegradasi. Reduktif dehalogenasi dilakukan dalam suasana anaerob, namun tahap pembentukan katekol atau klorokatekol pada reaksi yang menggunakan ring-dioxygenase dan ring-cleavage dioxygenase memerlukan oksigen. Reaktor degradasi, liquid solid contact reactor (LSC), mungkin merupakan salah satu alternatif reaktor bioremediasi senyawa fenol dan homolog atau derivat aromatis (Gambar 3). Pada reaktor terdapat suatu alat pengaduk dan aerator dalam ruang tertutup yang menerima contoh tanah dan air tanah secara terus menerus atau semi-continuous (Portier, 1991). Reaktor sejenis mampu untuk membioremediasi tanah dan sedimen dengan bahan organik berbahaya yang melebihi 1% total bahan organik (Portier, 1991).

Gambar 3. Skema unit reaktor liquid/solid contact (LSC) (dari Portier, 1991). Bioremediasi dengan LSC didekati dengan 2 langkah proses perlakuan,
yaitu tahap pencampuran sel yang di dalamnya tanah terkontaminasi dihomogenasi dan diinokulasi dengan nutrien dan biomassa mikroba, dan tahap perlakuan biologi yang di dalamnya terjadi proses mineralisasi. Langkah ketiga yang mungkin diperlukan yaitu air limbah yang dibuang dari reaktor juga diberikan perlakuan biologi. Tanah residu yang dikeluarkan dapat dibuang di tanah pertanian atau ditempatkan secara permanen di suatu tempat pembuangan (Portier, 1991).
Pendekatan bioteknologi dalam bioremediasi fenol dan homolognya seperti klorofenol dilakukan dengan memilih atau mungkin merekayasa mikroba pendegradasi, sehingga kemampuan bioremediasi terhadap senyawa ini dapat ditingkatkan. Proses biodegradasi senyawa aromatik yang menghasilkan senyawa berbahaya seperti protoanemonin (Gambar 4a) yang dapat menurunkan laju biodegradasi dapat dihindarkan dengan pendekatan berupa inokulasi bersama antara bakteri pemetabolisme klorobifenil dengan pemecah klorobenzoat (Gambar 4b). Pendekatan lain yang juga dapat dilakukan berupa perekayasaan mikroba sehingga mikroba memiliki 2 kemampuan tersebut sekaligus (Gambar

©2003 Digitized by USU digital library


6

4c) (Blasco et al., 1997). Seleksi dan adaptasi juga diperlukan dalam upaya lebih meningkatkan laju biodegradasi.

Gambar 4. a). skema pembentukan protoanemonin oleh mikroba asli tanah, b). inokulasi bersama bakteri pemetabolisme klorobifenil dengan pendegradasi klorobenzoat, c). mikroba hasil rekayasa yang memiliki dua kemampuan sekaligus (dari Blasco et al., 1997).

©2003 Digitized by USU digital library

7

Meskipun keuntungan membersihkan lingkungan tercemar dengan mikroba rekayasa terlihat jelas, namun tingkah laku dalam waktu lama dari mikroba hasil rekayasa ini di lingkungan terbuka belum diketahui. Salah satu upaya agar mikroba ini dapat bertahan hidup adalah dengan cara mematikannya segera setelah aplikasi selesai, dengan cara memberi mereka kandungan biologi aktif (active biological containment). Sistem active biological containment didasarkan pada pengendalian ekspresi fungsi letal. Sistem ini didasarkan pada sirkuit regulator ekpresi jalur pembelahan meta dari plasmid pWW0 Pseudomonas putida, gen xylS dengan promotor Pm dan gen gef dari Escherichia coli, yang menyandi protein membran yang dapat merusak potensial membran sel dengan membuat lubang pada membran. Model yang ditunjukkan pada Gambar 5. memprediksi bahwa dengan adanya efektor XylS, ekpresi protein Gef dihambat sehingga strain dapat hidup dan membersihkan bahan pencemar. Ketika senyawa target habis, tidak adanya induksi Pm mengakibatkan hilangnya LacI dalam sel inang, sehingga menyebabkan terekspresinya protein letal (Molina et al. 1998).

Gambar 5. Model sistem active biological containment (dari Molina et al., 1998). IV. GENETIKA BAKTERI PENDEGRADASI
Pengetahuan tentang genetika mikroba menjadi sangat penting dalam penerapan bioteknologi untuk mendegradasi senyawa fenol dan homolognya. Analisis biokimia dan genetika degradasi aerob dilakukan umumnya pada Pseudomonas (Altenschmidt et al. 1993; Dunaway-Mario and Babbitt, 1994; Powlowski and Shingler, 1994; Williams and Sayers, 1994; Shield et al., 1995; de Sauza et al., 1995; Blasco et al., 1997; Fuenmayor et al., 1998). Degradasi senyawa hidrokarbon aromatik disandikan dalam plasmid atau kromosom (Harayama et al., 1991; Jeffrey et al., 1992; Brenner et al., 1993). Beberapa elemen loncat serti Tn4651 dan Tn4653, transposon toluena, dan Tn4655, transposon naftalena juga membawa gen degradatif (Wyndham et al., 1994). Shield et al. (1995) melihat bahwa plasmid TOM, plasmid degradatif berukuran 108 kb, bertanggung jawab terhadap katabolisme toluena dan fenol. Plasmid ini memiliki gen penyandi toluene ortho monooxygenase dan catechol 2,3dioxygenase. Plasmid berukuran besar yang secara kolektif disebut plasmid TOL membawa gen xyl untuk toluena/xilena merupakan subjek telaah yang intensif (Assinder and Williams, 1990). Beberapa gen degradatif lain juga telah diidentifikasi, termasuk di dalamnya bph, dmp, nah dan tod (Williams and Sayers, 1994), gtd (Werwath et al., 1998), ben (Jeffrey et al., 1992), and nag (Fuenmayor et al., 1998).

©2003 Digitized by USU digital library

8

Beberapa telaah homologi gen-gen degradatif telah dilakukan. Kim et al. (1996) melakukan telaah homologi gen degradatif pada Sphingomonas. Harayama et al. (1991) mengamati bahwa xylXYZ dari Pseumonas putida and benABC dari Acinetobacter calcoaseticus memiliki induk yang sama. Bundy et al. (1998) melihat kesamaan antara antABC yang menyandikan anthranilate dioxygenase and benABC yang menyandikan benzoate dioxygenase dari Acinetobacter sp. strain ADP1. Substitusi antC dari mutan Acinetobacter dengan benC ketika ditumbuhkan dalam antranilat menunjukkan bahwa BenC mempunyai spesifitas subtrat yang luas. Sebaliknya, benAB tidak dapat mensubstitusi antAB (Bundy et al., 1998) mengindikasikan sempitnya subtrat untuk BenAB (Harayama et al., 1991; Bundy et al., 1998). Gen yang bertanggung jawab mengkonversi naftalena menjadi gentisat, nag, dari Pseudomonas sp. strain U2 yang diisolasi dari tanah terkontaminasi minyak telah disekuen. Perbandingan sekuen menunjukkan bahwa gen novel yang diwakili arketipe untuk strain naftalena menggunakan jalur gentisat ketimbang jalur meta (Fuenmayor et al., 1998).

Telaah perbandingan pada enzim yang bertanggung jawab dalam degradasi senyawa aromatik dilakukan oleh Dong et al. (1992) dan Neidle et al. (1991). Catechol 2,3-dioxygenase B. stearothermophilus mempunyai fungsi yang sama dengan enzim yang disandikan xylE dari P. putida, meskipun kestabilan panas dan homologinya agak berbeda (Dong et al., 1992). Neidle et al. (1991) menunjukkan bahwa perbandingan sekuen deduksi asam amino BenABC dari A. calcoaceticus dengan sekuen sekerabat termasuk multikomponen toluate, toluene, benzene, dan naphtalene 1,2 dioxygenase mengindikasikan adanya ukuran yang sama dari sub-unit komponen hidroksilase yang diturunkan dari induk yang sama.
Klon gen-gen degradatif telah dilaporkan. Kim and Oriel (1995) berhasil mengklon pheA dan pheB dari B. stearothermophilus BR219 ke dalam E. coli. Gen ini menyandikan konversi fenol menjadi katekol dan katekol menjadi 2hidroksimukonat semialdehida. Klon dan pemetaan gen pendegradasi fenol melalui jalur meta dari B. stearothermophilus FDTP-3 ke dalam E. coli juga telah dilakukan oleh Dong et al. (1992). Springael et al. (1994) melaporkan transfer gen degradatif ke dalam strain resisten logam berat dari Alcaligenes eutrophus. Goyal and Zylstra (1996) mengklon gen degradatif yang berbeda dari gen klasik nah dari Comamonas testosteroni GZ39, mampu mendegradasi hidrokarbon aromatik polisiklik. Klon dan sekuen sebagian dari gen degradasi atrazin dari Pseudomonas sp. strain ADP telah dilakukan (de Sauza et al., 1995). Mereka mengamati bahwa gen tersebar luas di alam dan berperan dalam pembentukan hidroksiatrazin di tanah.

©2003 Digitized by USU digital library

9

Daftar Pustaka
Altenschmidt, U., B. Oswald, E. Steiner, H. Herrmann, and G. Fuchs. 1993. New aerobic benzoate oxidation pathway via benzoyl-coenzyme A and 3hydroxybenzoyl-coenzyme A in a denitrifying Pseudomonas sp. J. Bacteriol. 175:4851-4858.
Assinder, S.J. and P.A. Williams. 1990. The TOL plasmids: determinants of the catabolism of toluene and the xylenes. Adv. Microb. Physiol. 31:1-62.
Blasco, R. and F. Castillo. 1992. Light-dependent degradation of nitrophenols by the phototrophic bacterium Rhodobacter capsulatus E1F1. Appl. Environ. Microbiol. 58(2): 690-695.
Blasco, R., M. Mallavarapu, R. Wittich, K.N. Timmis, and D.H. Pieper. 1997. Evidence that formation of protoanemonin from metabolites of 4chlorobyphenyl-cometabolizing microorganisms. Appl. Environ. Microbiol. 63(2): 427-434.
Brenner, V., B. S. Hernandez, and D. D. Focht. 1993. Variation in chlorobenzoate catabolism by Pseudomonas putida P111 as a consequence of genetic alternations. Appl. Environ. Microbiol. 59: 2790-2794.
Bundy, B. M., A. L. Campbell, and E. L. Neidle. 1998. Similarities between the antABC-encoded anthranilate dioxygenase and the benABC-encoded benzoate dioxygenase of Acinetobacter sp. strain ADP1. J. Bacteriol. 180: 4466-4474.
de Sauza, M.L., L.P. Wackett, K.L. Boundy-Mills, T. Mandelbaum, and M.J. Sadowsky. 1995. Cloning, characterization, and expression of a gene region from Pseudomonas strain ADP involved in the dechlorination of atrazine. Appl. Environ. Microbiol. 61: 3373-3378.
Dunaway-Mariano, D. & P.C. Babbitt. 1994. On the origins and functions of the enzymes of the 4-chlorobenzoate to 4-hydroxybenzoate converting pathway. Biodegrad. 5: 259-276.
Dong, F., L. Wang, C. Wang, J. Cheng, Z. He, Z. Sheng, and R. Shen. 1992. Molecular cloning and mapping of phenol degradation genes from Bacillus stearothermophilus FDTP-3 and their expression in Escherichia coli. Appl. Environ. Microbiol. 58(8): 2531-2535.
Fuenmayor, S. L., M. Wild, A. L. Boyes, and P. A. Williams. 1998. A gene cluster encoding steps in conversion of naphthalene to gentisate in Pseudomonas sp. strain U2. J. Bacteriol. 1998. 180: 2522-2530.
Gamble, G.R., D.E. Akin, H.P.S. Makkar, and K. Becker. 1996. Biological degradation of tannins in sericea lespedeza (Lespedeza cuneata) by the white rot fungi Ceriporiopsis subvermispora and Cyathus stercoreus analysed by sold-state 13C nuclear magnetic resonance spectroscopy. Appl. Environ. Microbiol. 62(10: 3600-3604.
Goyal and Zylstra. 1996. Molecular cloning of novel genes for polycyclic aromatic hydrocarbon degradation from Comamonas testoteroni G239. Appl. Environ. Microbiol. 62: 230-236.


©2003 Digitized by USU digital library

10

Haggblöm, M.M., M.D. Rivera, and L.Y. Young. 1993. Influence of alternative electron acceptors on the anaerobic biodegradability of chlorinated phenols and benzoate acids. Appl. Environ. Microbiol. 59(4): 1162-1167.
Harayama, S., M. Rekik, A. Bairoch, E.L. Neidle, and L.N. Ornston. 1991. Potential DNA slippage structures acquired during evolutionary divergence of Acinetobacter calcoaceticus chromosomal benABC and Pseudomonas putida TOL pWW0 plasmid xylXYZ, genes encoding benzoate dioxygenases. J. Bacteriol. 173: 7540-7548.
Heipieper, H., R. Diefenbach, and H. Keweloh. 1992. Conversion of cis unsaturated fatty acids to trans, a possible mechanism for the protection of phenol-degrading Pseudomonas putida P8 from substrate toxicity. Appl. Environ. Microbiol. 58(6): 427-434.
Jeffrey, W. H., S. M. Cuskey, P. J. Chapman, S. Resnick, and R. H. Olsen. 1992. Characterization of Pseudomonas putida mutants unable to catabolize benzoate: Cloning and characterization of Pseudomonas genes involved in benzoate catabolism and isolation of a chromosomal DNA fragment able to substitute for xylS in activation of the TOL lower-pathway promotor. J. Bacteriol. 174: 4986-4996.
Kim, I.C. and P.J. Oriel. 1995. Characterization of the Bacillus stearothermophilus BR219 phenol hydroxylase gene. Appl. Environ. Microbiol. 61: 1252-1256.
Kim, E., P.J. Aversano, M.F. Romine, R.D. Schneider, and G.J. Zylstra. 1996. Homology between genes for aromatic hydrocarbon degradation in surface and deep-subsurface Sphingomonas strains. Appl. Environ. Microbiol. 62: 1467-1470.
Kuo, C. and B.R.S. Genthner. 1996. Effect of added heavy metal ions on biotransformation and biodegradation of 2-chlorophenol and 3chlorobenzoate in anaerobic bacterial consortia. Appl. Environ. Microbiol. 62(7): 2317-2323.
Laine, M.M. and K.S. Jorgensen. 1996. Straw compost and bioremediated soil as inocula for the bioremediation of chlorophenol-contaminated soil. Appl. Environ. Microbiol. 62(5): 1507-1513.
Leahy, J.G. and R.R. Colwell. 1990. Microbial degradation of hydrocarbons in the environment. Microbiol. Rev. 54(3): 305-315.
Lobos, J.H., T.K. Leib, and T. Su. 1992. Biodegradation of bisphenol A and other bisphenols by Gram-Negative aerobic bacterium. Appl. Environ. Microbiol. 58(6): 1823-1831.
Miethling, R. and U. Karlson. 1996. Accelerated mineralization of pentachlorophenol in soil upon inoculation with Mycobacterium chlorophenolicum PCP1 and Sphingomonas chlorophenolica RA2. Appl. Environ. Microbiol. 62(12): 4361-4366.
Mohn, W.W. and K.J. Kennedy. 1992. Limited degradation of chlorophenols by anaerobic sludge granules. Appl. Environ. Microbiol. 58(7): 2131-2136.
Molina, L., C. Ramos, M-C. Ronchel, S. Molin, and J.L. Ramos. 1998. Construction of an efficient biologically contained Pseudomonas putida strain and its suvival in outdoor assays. Appl. Environ. Microbiol. 64(6): 2072-2078.
Neidle, E.L., C. Hartnett, L.N. Ornston, A. Bairoch, M. Rekik, and S. Harayama. 1991. Nucleotide sequences of the Acinetobacter calcoaecticus benABC genes for benzoate 1,2-dioxygenase reveal evolutionary relationship among multicomponent oxygenases. J. Bacteriol. 173: 5385-5395.


©2003 Digitized by USU digital library

11

Nicholson, F.D.K., S.L. Woods, J.D. Istok, and D.C. Peeks. 1992. Reductive dechlorination of chlorophenols by a pentachlorophenol-acclimated methanogenic consortium. Appl. Environ. Microbiol. 58(7): 2280-2286.
Portier, R.J. 1991. Applications of adapted micro-organisms for site remediation of contaminated soil and ground water. In Biological degradation of wastes. Ed. A.M. Martin. Elsevier Applied Science. London. pp. 247-259.
Powlowski, J. and V. Shingler. 1994. Genetics and biochemistry of phenol degradation by Pseudomonas sp. CF600. Biodegrad. 5: 219-236.
Schmidt, S.R. Wittich, D. Erdmann, H. Wilkes, W. Francke, and P. Fortnagel. 1992. Biodegradation of diphenil ether and monohalogenated derivatives by Sphingomonas sp. strain SS3. Appl. Environ. Microbiol. 58(9) 27442750.
Semple, K.T. and R.B. Cain. 1996. Biodegradation of phenols by the alga Ochromonas danica. Appl. Environ. Microbiol. 62(4): 1265-1273.
Shen, H. and Y. Wang. 1995. Simultaneous chromium reduction and phenol degradation in a coculture of Escherichia coli ATCC 33456 and Pseudomonas putida DMP-1. Appl. Environ. Microbiol. 61(7): 2754-2758
Shield, M.S., M.J. Reagin, R.R. Gerger, R. Campbell, and C. Somerville. 1995. TOM, a new aromatic degradative plasmid from Burkholderia (Pseudomonas) cepacea G4. Appl. Environ. Microbiol. 61(4): 1352-1356.
Wyndham, R.C., A.E. Cashore, C.H. Nakatsu, and M.C. Peel. 1994. Catabolic transposons. Biodegrad. 5: 323-342.
Werwath, J., H. A. Arfmann, D. H. Pieper, K. N. Timmis, and R. Wittich. 1998. Biochemical and genetic characterization of a gentisate 1,2-dioxygenase from Sphingomonas sp. strain RW5. J. Bacteriol. 180: 4171-4176.
Williams, P. A. and J. R. Sayers. 1994. The evolution of pathways for aromatic hydrocarbon oxidation in Pseudomonas. Biodegrad. 5: 195-217.

©2003 Digitized by USU digital library

12