Lembaga sertifikasi halal dalam UU No.33 Tahun 2014

yang profesional, serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi. Juga tantangan terbesar adalah membangun sistem beserta kelengkapan sarana dan prasarana, serta penegakan hukum yang berkeadilan tak diskriminatif. UU JPH perlu disempurnakan agar tak jadi kendala dalam menjamin kehalalan produk yang didambakan umat Muslim, terjangkau, dan tidak menjadikan Indonesia terkucil dari dunia global yang kian menurunkan daya saing Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 kian dekat. Mari bersiap diri. Mitra kita adalah pasar global, bukan pihak yang bertikai di dalam negeri dan menyulitkan diri sendiri. Pada dasarnya setiap manusia ingin mengkonsumsi produk-produk makanan dan minuman yang sehat dan bermanfaat untuk kesehatan. Mengonsumsi produk halal merupakan hak asasi ummat Islam sebagai ibadah dan penerapan syari‟ah. 1 Dalam hal ini Indonesia melalui MUI telah memenuhi kewajibannya dalam menjamin penyediaan produk halal bagi umat Islam sejak tahun 1989, MUI mengeluarkan fatwa tentang sertifikasi halal, dalam rangka untuk melindungi masyarakat Indonesia, khususnya ummat Islam agar terhindar dari produk makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan yang haram. Hal ini juga tidak luput dari pada perlindungan Konsumen dalam mengkonsumsi produk makanan dan minuman. Pada Undang-Undang No.88 Tahun 1999 pasal 4 tentang hak dan kewajiban konsumen telah dijelaskan : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang danatau jasa; Hak untuk memilih barang danatau jasa serta 1 http:doa-bagirajatega.blogspot.com201410kontroversi-uu-jaminan-produk-halal.html , DI unduh pada senin 9 juni 2015 mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa; c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan; d. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; e. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; f. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian, apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; h. Hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. 2 Dalam pasal ini sudah jelas dipaparkan bahwa konsumen memiliki hak-hak dan kewajiban nya.perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk sangat penting, sebab menyangkut baik atau tidak produk tersebut untuk di konsumsi bagi manusia. Indonesia telah memiliki teknologi pemindai kemasan produk halal. regulasi halal hendaknya tidak merusak tatanan jaminan produk halal yang sudah ada di 2 UU No.88 Tahun 1998 Pasal 4, Tentang Perlindungan Konsumen. Indonesia. sejak tahun 1989 telah membangun sistem yang diterima secara sains maupun syari‟ah dan menjadi rujukan lembaga sertifikasi halal dunia. Peran MUI dalam masalah pangan adalah melakukan sertifikasi halal, meliputi penetapan standar, pemeriksaan, penetapan fatwa, dan penerbitan sertifikasi halal. Pada tahun 2014 telah disahkannya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal JPH tepatnya pada tanggal 25 September 2014 di sahkannya UU NO.33 Tahun 2014 Oleh pemerintah dan DPR RI, lahirnya Undang-Undang tersebut adalah sebagai payung hukum bagi MUI yang diharapkan dapat menjadi pegangan dan untuk melindungi umat terhadap ketersediaan produk halal. namun demikian masih belum bisa menyerap aspirasi ulama dan umat islam Indonesia. Sebelum terbentuknya undang undang, masa berlaku sertifikasi halal adalah 2 tahun setelah dikeluarkan atau diterbitkan sertifikat halal. Sedangkan Dalam Undang Undang No.33 tahun 2014 bagian ke tujuh pasal 42 yang berbunyi “sertifikasi halal berlaku selama 4 empat tahun sejak diterbitkan Oleh BPJPH Kecuali terdapat Perubahan Komposisi bahan ”. Hal ini artinya telah terjadi perubahan dalam segi perpanjangan umur sertifikat. Perpanjangan ini bersifat wajib bagi pelaku usaha, termasuk didalam nya apabila terdapat perubahan maupun penambahan pengurangan bahan dalam produk . Pemberitaan di Majalah Tempo, mengenai pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri yang sebagian besar atau secara keseluruhan mengandung ketidaksesuaian tersebut dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan dapat memicu ekses yang lebih besar dalam memelihara ketentraman batin umat Islam, khususnya terhadap produk halal. Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI perlu menyampaikan sikap mengenai proses sertifikasi halal dan pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri sebagai berikut: 1. Proses Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal yang selama ini dijalankan merupakan sistem mulai pendaftaran melalui online CEROL SS-23000, proses preaudit, audit, dan pasca audit. a. Tahapan proses sertifikasi halal.  Pendaftaran melalui online CEROL SS-23000. Mekanisme pendaftaran dengan sistem elektronik ini dilakukan secara lebih efisien dan meningkatkan akurasi data.  Proses Pre Audit, meneliti kelengkapan dokumen bahan dan sistem jaminan halal perusahaan.  Proses Audit dengan melihat langsung proses produksi. Audit ke lokasi produksi dilakukan oleh auditor LPPOM untuk melihat langsung mengenai bahan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong dan proses produksi.  Proses Pasca Audit. Hasil audit dilaporkan dalam Rapat Auditor yang terdiri dari tenaga ahli untuk memutuskan dari sisi keilmuan. Selanjutnya laporan auditor yang sudah memperoleh pertimbangan ilmiah dan disusun berdasarkan temuan lapangan dilaporkan dalam rapat Komisi Fatwa MUI untuk ditetapkan status kehalalan suatu produk dari aspek pertimbangan syariah. Dari tahapan yang diatur di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa, proses sertifikasi halal yang ada sudah memenuhi kriteria pembuatan sekrtifikasi halal, hanya saja harus di sediakan juga bagi pelaku usaha menengah ke bawah yang jarang, atau bahkan tidak pernah sekalipun menyentuh dunia maya. b. Pembiayaan sertifikasi halal Biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya yang mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan rapat komisi fatwa, serta penerbitan sertifikat halal. Pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan berdasarkan suatu pedoman yang sudah sangat jelas, sehingga tidak dimungkinkan adanya pembiayaan lain yang tidak jelas invisibility cost . Pembiayaan sertifikat halal didasarkan pada banyaknya produk, bahan dan fasilitas produksi yang akan disertifikasi. Pembiayaan dikenakan sekali saat pendaftaran, MUI tidak mengenakan biaya bulanan berdasarkan kuota produk yang diperdagangkan. Persoalan pembiayaan adalah masalah krusial yang jika tidak seimbang akan menjadi konflik, menurut penulis ada baiknya jika pembiayaan tidak disesuaikan dengan banyaknya produk yang akan di produksi, akan tetapi mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan rapat komisi fatwa saja. c. Penerbitan Sertifikat halal Sertifikat halal diterbitkan berdasarkan penetapan status kehalalan produk dalam sidang Komisi Fatwa MUI. Masa berlaku sertifikat halal tersebut selama 2 dua tahun. Permasalahan penerbitan sertifikasi halal, ini juga harus menjadi pertimbangan bagi para auditor dan MUI dalam sidang komisi fatwa, khusus nya permasalahan umur sertifikasi halal. Artinya masa berlaku juga harus disesuaikan dengan pemasaran produk yang akan di produksi, karena tidak ada yang bisa menjamin akan banyaknya konsumen yang memakai produk tersebut. d. Pencantuman logo halal atau ijin labelisasi halal Pencantuman logo halal pada kemasan adalah wewenang Badan POM RI. Badan POM RI akan menerbitkan ijin labelisasi halal bagi perusahaan berdasarkan penerbitan Sertifikat Halal MUI. Berdasarkan hal ini, bagaimana apa bila ada pemalsuan Logo oleh pelaku usaha, pemerintah harus mencantumkan larangan dalam pemalsuan logo, dan menindak pelaku usaha yang memalsukan logo berupa sanksi pidana. 2. Proses Pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri. MUI melakukan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri LSHLN. Adapun Tahapan proses pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri oleh MUI dilakukan sebagai berikut : a. Kriteria Pengakuan MUI menetapkan 7 tujuh kriteria sebagai prasyarat yang harus dipenuhi oleh LSHLN yang ingin diakui oleh MUI. Pengakuan MUI terhadap LSHLN dilakukan berdasarkan permohonan dari LSHLN yang bersangkutan. b. Pemenuhan Data Kuesioner pengakuan Data pemenuhan 7 kriteria sebagai LSHLN yang dituangkan ke dalam kuesioner LPPOM MUI menitik beratkan pada kemampuan menerapkan standar dan prosedur sertifikasi halal LSHLN. Untuk dipelajari dan dikaji mendalam, Hasil kajian dan verifikasi data oleh LPPOM MUI selanjutnya disampaikan kepada MUI. Kemudian dewan pimpinan MUI akan melakukan audit lapangan secara langsung.audit lapangan ini bertujuan untuk menetapkan status kelayakan LSHLN apakah sesuai dengan pedoman MUI atau tidak. c. Kunjungan pegakuan Kunjungan lapangan sebagai bentuk audit yang dilakukan oleh MUI juga bertujuan untuk membuktikan keberadaan LSHLN. Selain itu akan diverifikasi tentang kebenaran prosedur dan standar yang tertulis dalam data yang dikirim ke MUI. Audit ini dilakukan oleh suatu tim yang ditunjuk oleh dewan pimpinan MUI yang terdiri dari beberapa pakar dalam bidang sains dan syariah. d. Penetapan status pengakuan Setelah itu auditor melakukan kunjungan lapangan ke LSHLN, maka tim auditor yang mengajukan permohonan akan menetapkan status kesesuaian dan pemenuhan berdasarkan ketentuan MUI. Andaikata hasil audit lapangan sesuai dengan data yang diberikan, maka akan diterbitkan surat yang berisi pengakuan lembaga sertifikasi halal tersebut. Adapun kategori kategori pengakuan MUI terhadap LSHLN. LSHLN Difokuskan pada tiga hal, yaitu; pemotongan slaughtering, industri pengolahan dan flavor. e. Masa Evaluasi pengakuan Setelah pengakuan LSHLN diberikan, MUI akan melakukan review atas pengakuan LSHLN setiap dua tahun sekali, sebagaimana yang tertulis dalam pedoman sertifikasi pengakuan MUI terhadap LSHLN hanya dalam proses sertifikasi halal untuk bahan baku yang digunakan pada produk akhir saja. Pemberlakuan sertifikat tersebut hanya untuk produk yang diproduksi di wilayah negara dimana LSHLN tersebut berada. Misalnya LSHLN di Australia, hanya berlaku di daerah Australia saja, dan tidak berlaku untuk di luar negara tersebut. Sedangkan Pembiayaan pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri, Penerbitan sertifikat pengakuan LSHLN diberikan secara gratis. Mengapa gratis ? Dalam proses pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri LSHLN, lembaga tersebut hanya memberikan biaya pengganti transport, yang meliputi; tiket, pembuatan visa, serta transportasi lokal di Indonesia, Viskal. Sedangkan honor auditor dari MUI, besarannya sesuai dengan kebijakan LSHLN masing masing. Sesuai kewenangan, atas dasar itu ketika Decree MUI diterbitkan tanpa dikenai biaya apapun ke MUI ,tetapi hsnya biaya ke audit saja. Hal ini bisa saja terjadi manipulasi atau transaksi suap. Dengan ketentuan ini bisa saja terjadi tindak pidana korupsi, Jika tidak ada nya pemantauan atau pengawasan, seperti kasus suap menyuap. Sistem Monitoring pada Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri Monitoring yang telah diakui MUI dilakukan dengan cara memastikan keabsahan otentisitas sertifikat halal yang diterbitkan. Komunikasi aktif antara MUI dan LSHLN dilakukan untuk menelusuri, apakah ada hal-hal yang tidak sesuai dengan standar dan prosedur MUI dan LPPOM MUI, pertemuan tahunan dilakukan untuk melakukan koordinasi antara MUI dan LSHLN. 3 Setelah ada UU JPH kewenangan MUI “dibatasi”, dimana penyelenggara jaminan produk halal bukan lagi MUI, melainkan BPJPH Pemerintah RI untuk itu BPJPH bekerja sama dengan kementrian dan atau lembaga terkait atau LPH, baik itu MUI, atau Ormas lain nya. Pasal 7 UU JPH, bahwa dalam pasal tersebut Menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, BPJPH Bekerja sama dengan : 1.Kementrian dan atau lembaga terkait 2 . LPH dan 3. MUI” secara jelas bahwa fungsi dan peran MUI yang selama ini dilakukan telah di ambil alih oleh BPJPH. Kewenangan BPJPH tertuang dalam pasal 6 yang menyatakan bahwa “Dalam penyelenggaraan JPH ,BPJPH berwenang : a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH b.menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH c. menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal pada produk d. melakukan registrasi sertifikasi halal pada produk luar negeri e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal f. melakukan akreditasi terhadap LPH g. melakukan registrasi Auditor Halal h. melakukan pengawasan terhadap JPH i.melakukan pembinaan auditor halal; dan j.melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.” Dalam pasal 10 dijelaskan kembali ,bahwa “ 1kerjasama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk : a. sertifikasi auditor halal b. penetapan kehalalan produk ;dan c.akreditasi LPH. 2 3 http:mui.or.idmuihomepageberitaberita-singkatpernyataan-sikap-majelis-ulama- indonesia-tentang-sertifikasi-halal-dan-pengakuan-lembaga-sertifikasi-halal-luar-negeri.html , di unduh, kamis 30 april 2015 ,10.24 penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk keputusan penetapan halal produk. ” Sudah jelas di paparkan dalam pasal 6 bahwa yang berwenang menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk adalah BPJPH. BPJPH kemudian yang menjalin kerjasama dengan instansi terkait dan atau lembaga terkait lain MUI. Dalam pasal 7 dan 10 dijelaskan bahwa keterlibatan MUI hanya sebatas mitra, kerja sama antara BPJPH dan MUI. MUI hanya mengeluarkan fatwa setelah memeriksa kandungan pada produk tersebut, dan selanjutnya penerbitan sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH. Pemberlakuan UU JPH sebagaimana termaktub dalam Pasal 61 “LPH yg sudah ada sebelum undang undang ini berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 dua tahun terhitung sejak BPJPH Dibentuk”. Dengan kata lain, pada tahun 2016 seluruh LPH yang ada di Indonesia, baik MUI atau Ormas lainnya wajib menaati UU JPH. Dalam hal auditor yang telah ada, Pasal 62 menyatakan bahwa “auditor halal yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku diakui sebagai auditor halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 15 paling lama 2 dua tahun terhitung sejak undang- undang ini di undangkan”. Status Hukum Auditor Halal yang telah ada tetap di Akui keberadaannya dan selanjutnya dibina Oleh BPJPH. Pembentukan BPJPH tidak saat UU ini disahkan namun menunggu 3 tahun kemudian ,yaitu pada tahun 2017. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 64 “pembentukan BPJPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 3 harus dibentuk paling lambat 3 tiga tahun terhitung sejak undang-undang ini di undangkan. 4 Dalam penjelasan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pemeriksa halal LPH yg sudah ada, masih tetap berjalan dan di akui kedudukannya sebagai lembaga pemeriksa halal, dengan ketentuan memenuhi syarat yang tertera dalam UU tersebut. LPH yang sudah ada harus memiliki persyaratan sebagaimana yang tertera dalam pasal 13 UU No.33 Tahun 2014. Penyelenggara UU tersebut adalah pemerintah sebagai eksekutor atau pelaksana Undang Undang. Hal tersebut tertulis pada Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU No.33 Tahun 2014 yang berbunyi: Pas al 5 ayat 1 “Pemerintah Bertanggung Jawab dalam Penyelenggaraan JPH ”. Pemerintah, dalam hal ini kementrian agama yang bertanggung jawab pebuh atas pelaksanaan sertifikasi halal. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 5 ayat 2 “Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat 1 di laksanakan oleh menteri“. Pasal 5 ayat 3 “Untuk Melaksanakan Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dibentuk BPJPH Yang Berkedudukan dibawah dan Bertanggung jawab Kepada Menteri ”. Pasal ini menjelaskan bahwa, pemerintah yang bertanggung jawab atas terselenggaranya JPH, dalam hal ini pemerintahan disini adalah kementrian agama, sebagaimana dicantumkan pada ayat 2, dan dipertegas dalam ayat 3 bahwa untuk terbentuknya BPJPH berkedudukan atas tanggung jawab di bawah Kementrian Agama. 4 Undang-Undang No.33 Tahun 2014, Pasal 61, 62, 64. Dari paparan diatas, secara jelas menyatakan, bahwa sertifikasi halal yang masih berjalan saat ini masih berlaku. Sertifikasi halal masih berjalan sebagaimana mestinya, dibentuknya BPJPH Sebagai lembaga dibawah tanggung jawab Kementrian Agama. Jika dalam batas waktu 3 tahun sampai dengan tahun 2017 pemerintah belum membentuk lembaga yang dimaksud, maka kewenangan sertifikasi halal yang sudah ada masih tetap berjalan sebagaimana adanya.

B. Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca Undang Undang No. 33

Tahun 2014 Dalam pembentukan Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ini, banyak terjadi perdebatan. Proses yang sangat panjang seperti yang diberitakan di media massa, karena menyangkut kehidupan masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas muslim bahwa masalah pemberian sertifikasi halal menuai banyak sorotan. UU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir masa tugas periode 2009-2014. Hingga akhirnya disahkan oleh presiden pada Tahun 2014 yang lalu. LPPOM MUI sebagai lembaga non pemerintah yang selama ni menangani setifikasi halal, atau bisa dikatakan sebagai penjamin kehalalan suatu produk. Harus beradabtasi Pasca lahirnya UU No.33 Tahun 2014, dalam Undang-Undang No.33 Tahun 2014 P asal 1 ayat 6 yg berbunyi “Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang Selanjutnya disingkat BPJPH Adalah Badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk M enyelenggarakan JPH”. Dalam pasal di atas, telah jelas dipaparkan, bahwa badan penyelenggara Jaminan Produk Halal disini dibentuk oleh pemerintah, pemerintah yang membentuk team work untuk pengesahan sertifikasi halal. Dalam pasal lain, tentang ketentuan jaminan produk halal. Dalam penjelasan Bab II mengenai penyelenggara jaminan produk halal, pada Pasal 5 ayat 1 dijelaskan bahwa “Pemerintah Bertanggung Jawab dalam Menyelenggarakan JPH ”. Dalam hal ini dipertegas oleh Pasal 5 ayat 2 yg berbunyi “Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Pemerintah ”. Artinya, penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah kementrian agama. Jika melihat penjelasan dari pasal diatas Huruf a-J sudah jelas bahwa dalam pelaksanaan nya, perumusan dan penetapan Jaminan Produk Halal JPH dikerjakan oleh pemerintah, walaupun dalam Hal ini BPJPH belum terbentuk, karena tugas, fungsi dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan pemerintah. 5 Pada ayat selanjutnya pun demikian, penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Jaminan produk halal, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk, melakukan registrasi sertifikasi halal pada produk luar negeri, melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal, melakukan akreditasi terhadap Lembaga Produk Halal, melakukan registrasi auditor halal, melakukan pengawasan terhadap JPH, melakukan pembinaan Auditor Halal dan melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH, dalam hal ini semua keterangan yang ada pada Pasal 6 UU 5 UU No.33 Tahun 2014 Bab II, Pasal 5 ayat 5 No.33 Tahun 2014 tentang kewenangan BPJPH, menegaskan kewenangan BPJPH dalam mengurus sertifikasi halal, yang dalam hal ini belum ditentukan oleh pemerintah. Didalam pasal 6 tentan wewenang Badan penyelenggara jaminan produk halal sebagaimana termaktub “Dalam Penyelenggaraan JPH, BPJPH Berwenang: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH c. Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk d. Melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri e. Melakukan sosialisasi, edukasi dan publikasi produk halal f. Melakukan akreditasi terhadap LPH g. Melakukan registrasi auditor Halal h. Melakukan pengawasan terhadap JPH i. Melakukan pembinaan Auditor Halal dan j. Melakukan Kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH ”. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU No.33 Tahun 2014 dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang tercantum pada Pasal 6 UU No.33 Tahun 2014, BPJPH bekerja sama dengan : a. Kementrian dan atau lembaga terkait ; b. LPH ;dan c. MUI Kerja sama BPJPH dengan kementrian danatau lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementrian dan atau lembaga terkait. Pada pasal selanjutnya, kerja sama BPJPH dengan LPH sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan pemeriksaan dan atau pengujian produk. Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk : a. Sertifikasi Auditor Halal; b. Penetapan kehalalan produk dan c. Akreditasi LPH Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, pasal 9 dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. 6 LPH yang dijelaskan pasal 12 Undang Undang jaminan produk halal “1 pemerintah danatau masyarakat dapat mendirikan LPH 2 LPH sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH Melakukan pemeriksaan danat au pengujian kehalalan produk ”. Pada pasal ini secara terang dijelaskan bahwa ,lembaga pemeriksa halal LPH dapat didirikan oleh Masyarakat ,guna membantu kinerja BPJPH dalam pelaksanaan jaminan Produk halal. Undang undang ini membatasi ruang gerak MUI yang selama ini berjalan, disisi lain memberikan ruang untuk masyarakat dalam membantu pemerintah . peran serta masyarakat dalam JPH ini adalah perwujudan 6 UU No.33 Tahun 2014, Pasal 7,8,9,10. dari demokrasi yang telah dijalankan . selain itu, peran serta masyarakat menegakkan nilai utama dari menjadikan negara ini bagian dari good governence. Lembaga penjamin halal dapat didirikan oleh siapapun dengan memenuhi kriteria yang tertera dalam pasal 13 UU JPH. pertama , harus memiliki kantor sendiri dan perlengkapan yang menunjang kinerja BPJPH. kedua memiliki akreditasi dari BPJPH ketiga memiliki auditor halal paling sedikit 3 orang dan ke empat memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium . Selain itu, LPH Harus diajukan oleh lembaga keagamaan islam berbadan hukum, melihat kasus di indonesia tentunya banyak ormas yang berbadan hukum seperti NU dan MUHAMMADIYAH, maka ormas tersebut dapat mendirikan LPH sebagaimana yang dimandatkan dalam undang undang, agar tidak terjadinya bentrok antara ormas satu dengan ormas lainnya. Dengan penjelasan dalam pasal ini, bahwa MUI tidak sepenuhnya sebagai lembaga pemeriksa halal sebagaimana sebelum undang undang ini ada. Selanjutnya, tergantung kepada produsen makanan akan mengajukan pemeriksaan kehalalan produk ke lembaga manapun yang telah sejalan dengan undang undang tersebut. Ini berarti produsen bebas menentukan pilihannya. Dengan berdirinya banyak lembaga pemeriksa halal LPH dalam UU No.33 Tahun 2014, maka dengan ini akan terjadinya kompetisi yang sehat antar lembaga. dengan adanya persaingan ini maka perlu adanya pengendalian mutu atau kualitas oleh pemerintah terhadap Kinerja dan Sumber Daya Manusia LPH.