Inilah Pendidikan Hukum Di Indonesia
INILAH WAJAH PENDIDIKAN HUKUM INDONESIA1
Muhammad Rizal Rachman2
Pepatah mengatakan ‘Masa depan suatu bangsa berada di tangan Pemuda’. Pemuda yang
dikatakan sebagai agent of change memikul tugas berat dalam pembangunan nasional sebuah Negara.
Lahirnya seorang pemuda yang berintegritas (integrity), bertanggung-jawab (responsible), jujur
(reliable), berani (brave), adil (impartial), dan bermoral dapat diukur melalui pendidikan yang
diajarkannya mulai sejak di bangku sekolah hingga kuliah. Untuk mencetak seorang Sarjana Hukum
(Jurist) yang baikpun, juga diukur melalui pendidikan yang diajarkannya selama menjadi mahasiswa.
Kemerosotan nilai-nilai moral seorang mahasiswa dengan cara-cara yang tidak baik seperti
bentrok antar universitas maupun antar fakultas, demonstrasi yang berakhir anarkis membuktikan
bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan di negara kita. Salah dalam hal ini yaitu sistem
pendidikan hukum di Indonesia. Bagaimana bisa penegakan hukum (law enforcement) berjalan, jika
para calon penegak hukum memiliki moral yang buruk. Menurut Prof. Romli Atmasasmita dalam
bukunya yang berjudul ‘Teori Hukum Intergratif’ menyatakan bahwa salah satu kesalahan dalam
sistem pendidikan hukum di Indonesia adalah kurang menekankan pada pembangunan integritas dan
penanaman keper-cayaan diri yang berbasis kompetensi keilmuan, dan kurangnya menuntut
mahasiswa untuk berpikir kritis terhadap kondisi hukum dan penegakan hukum. Lanjutnya, beliau
menyatakan bahwa pada intinya pendidikan hukum di Indonesia kurang kompetitif bagi setiap anak
didik atau mahasiswa sehingga seolah pendidikan hukum sekedar hafalan tanpa makna sama sekali,
seperti pertanyaan tentang apakah hukum; tidak pernah didalami, baik aspek filosofis, sosiologis,
teleologis dan yuridis, dan cukup hanya sebatas aspek yuridis-normatif semata.
Hal senada namun lebih ekstrim disampaikan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmajda yang menyatakan bahwa sistem pendidikan hukum di Indonesia hanya mendidik mahasiswa menjadi “tukang”
(craftsmanship), tetapi tidak mampu menganalisis perubahan-perubahan dalam masyarakat dan
mampu menemukan solusi dari masalah penerapan hukum di dalam masyarakat. Menurutnya,
penyebab utamanya adalah berasal dari sistem pendidikan hukum warisan pendidikan hukum
Belanda. Tidak dipungkiri lagi bahwa negara kita menganut sistem hukum ‘Civil Law’ dalam tradisi
hukum Eropa Kontinental yang memposisikan hakim hanya sebagai corong undang-undang (qui
pronounce les paroles de la loi). Akibatnya, sistem pendidikan hukum bagi para mahasiswapun
dengan cara menghafal tanpa memaknainya.
1 Essai tentang Pendidikan Hukum di Indonesia, tanggal 25 November 2014 pukul 19.41
WIB
2 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember, anggota bidang penelitian UKM-F
Forum Kajian Keilmuan Hukum (FK2H) Universitas Jember, anggota muda bidang KSDAHE
UKM-F IMPA Akasia Universitas Jember
1
Permasalahan pendidikan hukum yang salah juga dirasakan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini, gravitasi pendidikan hukum di Indonesia tak ayal lagi masihlah berorientasi ke hukum, adab, dan tradisi sistem hukum Barat (Belanda)
yang bertegak untuk menegakkan kekusaan kolonial di bumi Timur ini. Bisa dimengerti (sine ira et
studio!) bahwasanya tradisi berpikir dan pelaksanaan praktik dalam hukum di Indonesia ini adalah
tradisi kolonial yang otoritarian dan sentralistik itu, dengan metode berpikir yang deduktif, bertolak
tanpa ayal sedikitpun dari norma-norma yang kesahan maupun kebenarannya sudah tidak boleh
diperbantahkan lagi.
Perhatian terhadap permasalahan pendidikan hukum juga dirasakan oleh seorang ahli hukum
Amerika yaitu Duncan Kennedy dan Gerry Spence. Menurut Kennedy, dengan memberlakukan
aturan-aturan akademik yang kaku, berakibat mengurangi batas kekritisan mahasiswa dalam
menuangkan pikiran-pikiran kritisnya. Lebih lanjut, bagaimana mau menulis dengan bebas, jika
semuanya dibatasi dengan aturan-aturan yang konyol. Untuk menulis pikiran saja, dibutuhkan tata
tulisan mulai dari pendahuluan, tujuan, masalah, tinjauan pustaka, metodologi, dan tetek bengeknya.
Hal ini justru menumpulkan minat dan ketajaman mahasiswa yang selalu berkata intuitif , tidak hanya
rasionalistis. Pada kesimpulannya, Kennedy mengatakan bahwa mahasiswa bukan calon mesin.
Mahasiswa hukum adalah manusia yang terdiri dari darah, daging, pikiran, perasaan, impian dan
idealisme. Disamping itu, menurut Gerry Spence yang dikutip oleh Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa tradisi berhukum yang kita jalankan hingga hari ini, lebih banyak berurusan dengan bahanbahan hukum dan cara menggunakannya secara teknikal. Sejak awal masuk kelas hukum, orang
dipaksa mengenal pasal hukum, dan dilatih mengkonstruksi isu-isu yuridis atas dasar pasal-pasal itu
berikut logika-logika doktrin yang membentenginya. Tidak pernah diasah bertanya, untuk apa
sekalian pasal-pasal itu ada, apa yang sesungguhnya dipertaruhkan dalam pasal-pasal itu ada, dan lain
sebagainya meskipun pertanyaan tersebut dianggap terlalu filosofis.
Dari penjelasan-penjelasan para begawan hukum diatas, mulai dari Prof. Romli Atmasasmita, Prof.
Mochtar Kusumaatmadja, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, dan Prof. Satjipto Rahardjo, serta ahli
hukum Amerika Duncan Kennedy dan Gerry Spence telah jelas bahwa ada yang salah terhadap sistem
pendidikan hukum saat ini. Sehingga perlu adanya apa yang dikatakan dengan pembaruan hukum,
khususnya sistem pendidikan hukum, khususnya di Indonesia.
Berbagai pembaruan hukum agar dapat terlepas dalam warisan hukum kolonial Belanda dilakukan
semenjak setelah merdeka hingga sekarang, tapi belum terdapat perubahan signifikan yang dapat
dirasakan oleh masyarakat. Diantaranya membentuk Rancangan Undang-Undang tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, meskipun hingga saat belum disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Selain melakukan pembaruan hukum nasional, patutnya perlu pula adanya pembaruan
sistem pendidikan hukum di Indonesia yang bersifat progresif dan responsif. Pembaruan dalam arti
secara regulasi dengan membenahi metode pembelajaran yang ada dengan berbasis pemahaman,
secara aktualisasi membuka peluang mahasiswa berpendapat kritis, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain.
2
Jangan sampai mission sacrẻ dan bonum commune dari hukum itu sendiri pudar karena mahasiswa
hanya menghafal tanpa memaknai.
Sebagai tunas-tunas bangsa yang lahir di tanah air Indonesia, sudah seharusnya para mahasiswa
memiliki jiwa kepedulian, kepekaan, dan pemikiran kritis terhadap masa depan penegakan hukum di
Indonesia. Sehingga diharapkan dapat menjadi pelopor pembaruan hukum dalam masyarakat
(Mochtar Kusumaatmadja) serta menjadi agen yang kritis dalam proses pebaharuan hukum di
Indonesia (Romli Atmasasmita). Harapan dan asa senantiasa hadir sebagai api pembakar semangat
yang tidak akan padam sampai kapanpun. Pada akhirnya, semua itu merupakan sebuah keniscayaan
yang tidak mungkin dapat terwujud tanpa adanya usaha dan kerja keras dari semua pihak baik
Pemerintah, DPR, Pengajar, dan masyarakat (mahasiswa) yang bersinergi untuk mewujudkannya..
Bahan Bacaan:
Atmasasmita, Romli, Teori Hukum Intergratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan
dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing: Yogyakarta, 2012.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga
Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bina Cipta:
Bandung, 1976.
Mangesti, Yovita A., Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Genta Publishing: Yogyakarta, 2014.
Marwan, Awaludin, Studi Hukum Kritis dari Modern, Posmodern hingga Posmarxis, Thafa Media:
Semarang, 2010.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Konsep, dan Metode, Setara Press: Malang, 2013.
3
Muhammad Rizal Rachman2
Pepatah mengatakan ‘Masa depan suatu bangsa berada di tangan Pemuda’. Pemuda yang
dikatakan sebagai agent of change memikul tugas berat dalam pembangunan nasional sebuah Negara.
Lahirnya seorang pemuda yang berintegritas (integrity), bertanggung-jawab (responsible), jujur
(reliable), berani (brave), adil (impartial), dan bermoral dapat diukur melalui pendidikan yang
diajarkannya mulai sejak di bangku sekolah hingga kuliah. Untuk mencetak seorang Sarjana Hukum
(Jurist) yang baikpun, juga diukur melalui pendidikan yang diajarkannya selama menjadi mahasiswa.
Kemerosotan nilai-nilai moral seorang mahasiswa dengan cara-cara yang tidak baik seperti
bentrok antar universitas maupun antar fakultas, demonstrasi yang berakhir anarkis membuktikan
bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan di negara kita. Salah dalam hal ini yaitu sistem
pendidikan hukum di Indonesia. Bagaimana bisa penegakan hukum (law enforcement) berjalan, jika
para calon penegak hukum memiliki moral yang buruk. Menurut Prof. Romli Atmasasmita dalam
bukunya yang berjudul ‘Teori Hukum Intergratif’ menyatakan bahwa salah satu kesalahan dalam
sistem pendidikan hukum di Indonesia adalah kurang menekankan pada pembangunan integritas dan
penanaman keper-cayaan diri yang berbasis kompetensi keilmuan, dan kurangnya menuntut
mahasiswa untuk berpikir kritis terhadap kondisi hukum dan penegakan hukum. Lanjutnya, beliau
menyatakan bahwa pada intinya pendidikan hukum di Indonesia kurang kompetitif bagi setiap anak
didik atau mahasiswa sehingga seolah pendidikan hukum sekedar hafalan tanpa makna sama sekali,
seperti pertanyaan tentang apakah hukum; tidak pernah didalami, baik aspek filosofis, sosiologis,
teleologis dan yuridis, dan cukup hanya sebatas aspek yuridis-normatif semata.
Hal senada namun lebih ekstrim disampaikan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmajda yang menyatakan bahwa sistem pendidikan hukum di Indonesia hanya mendidik mahasiswa menjadi “tukang”
(craftsmanship), tetapi tidak mampu menganalisis perubahan-perubahan dalam masyarakat dan
mampu menemukan solusi dari masalah penerapan hukum di dalam masyarakat. Menurutnya,
penyebab utamanya adalah berasal dari sistem pendidikan hukum warisan pendidikan hukum
Belanda. Tidak dipungkiri lagi bahwa negara kita menganut sistem hukum ‘Civil Law’ dalam tradisi
hukum Eropa Kontinental yang memposisikan hakim hanya sebagai corong undang-undang (qui
pronounce les paroles de la loi). Akibatnya, sistem pendidikan hukum bagi para mahasiswapun
dengan cara menghafal tanpa memaknainya.
1 Essai tentang Pendidikan Hukum di Indonesia, tanggal 25 November 2014 pukul 19.41
WIB
2 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember, anggota bidang penelitian UKM-F
Forum Kajian Keilmuan Hukum (FK2H) Universitas Jember, anggota muda bidang KSDAHE
UKM-F IMPA Akasia Universitas Jember
1
Permasalahan pendidikan hukum yang salah juga dirasakan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini, gravitasi pendidikan hukum di Indonesia tak ayal lagi masihlah berorientasi ke hukum, adab, dan tradisi sistem hukum Barat (Belanda)
yang bertegak untuk menegakkan kekusaan kolonial di bumi Timur ini. Bisa dimengerti (sine ira et
studio!) bahwasanya tradisi berpikir dan pelaksanaan praktik dalam hukum di Indonesia ini adalah
tradisi kolonial yang otoritarian dan sentralistik itu, dengan metode berpikir yang deduktif, bertolak
tanpa ayal sedikitpun dari norma-norma yang kesahan maupun kebenarannya sudah tidak boleh
diperbantahkan lagi.
Perhatian terhadap permasalahan pendidikan hukum juga dirasakan oleh seorang ahli hukum
Amerika yaitu Duncan Kennedy dan Gerry Spence. Menurut Kennedy, dengan memberlakukan
aturan-aturan akademik yang kaku, berakibat mengurangi batas kekritisan mahasiswa dalam
menuangkan pikiran-pikiran kritisnya. Lebih lanjut, bagaimana mau menulis dengan bebas, jika
semuanya dibatasi dengan aturan-aturan yang konyol. Untuk menulis pikiran saja, dibutuhkan tata
tulisan mulai dari pendahuluan, tujuan, masalah, tinjauan pustaka, metodologi, dan tetek bengeknya.
Hal ini justru menumpulkan minat dan ketajaman mahasiswa yang selalu berkata intuitif , tidak hanya
rasionalistis. Pada kesimpulannya, Kennedy mengatakan bahwa mahasiswa bukan calon mesin.
Mahasiswa hukum adalah manusia yang terdiri dari darah, daging, pikiran, perasaan, impian dan
idealisme. Disamping itu, menurut Gerry Spence yang dikutip oleh Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa tradisi berhukum yang kita jalankan hingga hari ini, lebih banyak berurusan dengan bahanbahan hukum dan cara menggunakannya secara teknikal. Sejak awal masuk kelas hukum, orang
dipaksa mengenal pasal hukum, dan dilatih mengkonstruksi isu-isu yuridis atas dasar pasal-pasal itu
berikut logika-logika doktrin yang membentenginya. Tidak pernah diasah bertanya, untuk apa
sekalian pasal-pasal itu ada, apa yang sesungguhnya dipertaruhkan dalam pasal-pasal itu ada, dan lain
sebagainya meskipun pertanyaan tersebut dianggap terlalu filosofis.
Dari penjelasan-penjelasan para begawan hukum diatas, mulai dari Prof. Romli Atmasasmita, Prof.
Mochtar Kusumaatmadja, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, dan Prof. Satjipto Rahardjo, serta ahli
hukum Amerika Duncan Kennedy dan Gerry Spence telah jelas bahwa ada yang salah terhadap sistem
pendidikan hukum saat ini. Sehingga perlu adanya apa yang dikatakan dengan pembaruan hukum,
khususnya sistem pendidikan hukum, khususnya di Indonesia.
Berbagai pembaruan hukum agar dapat terlepas dalam warisan hukum kolonial Belanda dilakukan
semenjak setelah merdeka hingga sekarang, tapi belum terdapat perubahan signifikan yang dapat
dirasakan oleh masyarakat. Diantaranya membentuk Rancangan Undang-Undang tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, meskipun hingga saat belum disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Selain melakukan pembaruan hukum nasional, patutnya perlu pula adanya pembaruan
sistem pendidikan hukum di Indonesia yang bersifat progresif dan responsif. Pembaruan dalam arti
secara regulasi dengan membenahi metode pembelajaran yang ada dengan berbasis pemahaman,
secara aktualisasi membuka peluang mahasiswa berpendapat kritis, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain.
2
Jangan sampai mission sacrẻ dan bonum commune dari hukum itu sendiri pudar karena mahasiswa
hanya menghafal tanpa memaknai.
Sebagai tunas-tunas bangsa yang lahir di tanah air Indonesia, sudah seharusnya para mahasiswa
memiliki jiwa kepedulian, kepekaan, dan pemikiran kritis terhadap masa depan penegakan hukum di
Indonesia. Sehingga diharapkan dapat menjadi pelopor pembaruan hukum dalam masyarakat
(Mochtar Kusumaatmadja) serta menjadi agen yang kritis dalam proses pebaharuan hukum di
Indonesia (Romli Atmasasmita). Harapan dan asa senantiasa hadir sebagai api pembakar semangat
yang tidak akan padam sampai kapanpun. Pada akhirnya, semua itu merupakan sebuah keniscayaan
yang tidak mungkin dapat terwujud tanpa adanya usaha dan kerja keras dari semua pihak baik
Pemerintah, DPR, Pengajar, dan masyarakat (mahasiswa) yang bersinergi untuk mewujudkannya..
Bahan Bacaan:
Atmasasmita, Romli, Teori Hukum Intergratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan
dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing: Yogyakarta, 2012.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga
Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bina Cipta:
Bandung, 1976.
Mangesti, Yovita A., Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Genta Publishing: Yogyakarta, 2014.
Marwan, Awaludin, Studi Hukum Kritis dari Modern, Posmodern hingga Posmarxis, Thafa Media:
Semarang, 2010.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Konsep, dan Metode, Setara Press: Malang, 2013.
3