Penelitian dan Analisis (Research and Analysis)
1. Penelitian dan Analisis (Research and Analysis)
Barbara Gemmill dan Abimbola Bamidele-Izu berpandangan bahwa NGO memiliki banyak hal untuk ditawarkan dalam peran pengumpulan, diseminasi, dan
analisis informasi. 138 Menurut Remi Parmentier, motivasi dan pekerjaan NGO
137 Kate O'Neill, The Environment and International Relations. (Cambridge: Cambridge University, 2009), Hal. 57
138 Barbara Gemmill dan Abimbola Bamidele-Izu, The Role of NGOs and Civil Society in Global Environmental Governance dalam Daniel C. Esty dan Maria H. Ivanova. Global Environmental 138 Barbara Gemmill dan Abimbola Bamidele-Izu, The Role of NGOs and Civil Society in Global Environmental Governance dalam Daniel C. Esty dan Maria H. Ivanova. Global Environmental
ilmiah. 139 Sifat dari pekerjaan ilmiah yang dilakukan oleh NGO dapat dibagi
menjadi dua kelompok yang berbeda, yaitu: tinjauan pengetahuan ilmiah dan asumsi yang timbul dari pengetahuan itu (dan dari kesenjangan pengetahuan); dan
penelitian ilmiah di laboratorium dan di lapangan.” 140
Dalam kasus Greenpeace, organisasi ini telah memiliki Science Unit lebih dari 20 tahun yang berbasis di University of Exeter, Inggris, di mana tim dari peneliti memberikan masukan kepada para jurukampanye organisasi tersebut dan
melakukan penelitian yang membantu kampanye Greenpeace, sedangkan database literatur ilmiah yang ekstensif telah dibangun sejak tahun 1986 dan
berfungsi sebagai sumber informasi inti mencakup sejumlah disiplin ilmu, termasuk toksikologi, analisis kimia organik dan anorganik, biokimia, serta
ekologi terestrial dan laut. 142 Greenpeace Research Laboratories tercatat telah meluncurkan laporan mengenai lingkungan laut sejak tahun 1998 dengan judul
“Greenpeace Report on the Worlds Oceans,” yang membahas tentang dampak lingkungan laut yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti pembuangan
limbah, perikanan, akuakultur, pelayaran, dsb. 143 Kemudian, Greenpeace bekerjasama dengan University of York meluncurkan laporan “Roadmap to
Governance: Options and Opportunities (Yale: Yale School of Forestry and Environmental Studies, 2002), Hal. 13
139 Remi Parmentier, Role and Impact of International NGOs in Global Ocean Governance, dalam Aldo Chircop, dkk., ed., Ocean Yearbook 26 (Leiden and Boston: Martinus Nijhoff Publisher,
2012), Hal. 223 140
Parmentier, Role and Impact of International NGOs, Hal. 223 141 Parmentier, Role and Impact of International NGOs, Hal. 224
142 Greenpeace, Greenpeace Research Labrotaties dari http:www.greenpeace.togreenpeace diakses pada 26 Mei 2017.
143 Paul Johnston, Greenpeace Report on the Worlds Oceans (Exeter: Greenpeace Research Laboratories Report, 1998)
Recovery: A Global Network of Marine Reserves” pada tahun 2006, 144 di mana, menurut Richard Page, laporan tersebut menjadi penelitian kunci untuk membantu
negara-negara dalam mengidentifikasi wilayah laut lepas mana yang potensial untuk dijadikan jaringan suaka laut berdasarkan kondisi lingkungan beserta
keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. 145
Selain Science Unit dari Greenpeace Internasional yang secara rutin melakukan penelitian, beberapa Greenpeace nationalregional offices (NROs) juga melakukan studi lapangan di wilayahnya masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh tim riset dari Greenpeace AS pada tahun 2007 dan 2012 di dasar Laut Bering
yang memimpin sebuah eksplorasi ngarai bawah laut pertama di dunia, 146 untuk meneliti ngarai bawah laut terbesar di dunia di Laut Bering, 147 bersama University California dan NOAA, 148 yang didokumentasikan pada suatu jurnal ilmiah berjudul “Structure-Forming Corals and Sponges and Their Use as Fish Habitat in Bering Sea Submarine Canyons.” 149
144 Callum M. Roberts, dkk., Roadmap to Recovery: A Global Network of Marine Reserves (York: University of York, 2006)
145 Wawancara Pribadi dengan Richard Page. Via Skype, 17 Mei 2017. 146 Jackie Dragon, The Best Science on Alaska’s Bering Sea Canyons Just Got Better (2015) dari
http:www.greenpeace.orgusathe-best-science-on-alaskas-bering-sea-canyons-just-got-better diakses pada 26 Mei 2017. 147
John Hocevar, Greenpeace Explores Underwater Canyons, Calls for Their Protection (2012) http:www.greenpeace.orginternationalennewsBlogsmakingwavesgreenpeace-explores- underwater-canyons-calls-blog41355 diakses pada 26 Mei 2017.
148 Juliet Eilperin, Fishery Managers Could Call for a Review of Massive Underwater Canyons (2012) dari https:www.washingtonpost.comnationalhealth-sciencefishery-managers-could-
call-for-a-review-of-massive-underwater- canyons20120402gIQAfjN6rS_story.html?utm_term=.6db8edd1988e diakses pada 26 Mei 2017.
149 Robert J. Miller, dkk., Structure-Forming Corals and Sponges and Their Use as Fish Habitat in Bering Sea Submarine Canyons (Amerika Serikat: PLoS ONE, 2012)
Menurut Gulardi Nurbintoro dan Haryo Budi Nugroho, dalam proses negosiasi UNCLOS, negara memiliki sedikit pengetahuan tentang keberadaan
sumber daya hayati di luar wilayah yurisdiksi nasional, khususnya di the Area. 150 Pada era tersebut, negara mengasumsikan bahwa minimnya sinar matahari di laut
dalam membuat fotosintesis tidak mungkin terjadi, sehingga tidak ada kehidupan di wilayah tersebut. Kurangnya pengetahuan ini membuat perancang UNCLOS
fokus pada sumber daya mineral dan mengabaikan sumber daya hayati. 151 Padahal, menurut Dr. rer. nat. Mufti Petala Patria, Marine Biologist Universitas
Indonesia, adanya hydrothermal vent atau “black smoker,” memungkinkan organisme di dasar laut dapat hidup meskipun minim intensitas sinar matahari yang menembus di laut dalam, karena cerobong gunung bawah laut tersebut
mengeluarkan nutrisi yang dibutuhkan oleh organisme untuk hidup. 152 Argumen ilmiah ini pun juga dijelaskan oleh Greenpeace di dalam salah satu laporannya: 153
As well as providing for coral growth, seamounts have a great influence over other life in the high seas. Where they rise near to the surface they can throw off circling current gyres that drag nutrients from the deep toward sunlit waters. This stimulates plankton growth, and these patches of high production attract fish, birds and marine mammals to feed.
Sehingga, hal tersebut menggambarkan bahwa Greenpeace mencoba mematahkan asumsi sebelumnya dengan menunjukkan bahwa di wilayah laut lepas, baik di dasar laut maupun di kolom airnya, terdapat banyak keanekaragaman hayati yang unik dan bersifat rentan, sehingga menjadi dasar argumen untuk menjadikan wilayah laut di luar yurisdiksi nasional sebagai wilayah suaka laut.
150 Nurbintoro dan Nugroho, Biodiversity Beyond National Jurisdiction, Hal. 286. 151 Nurbintoro dan Nugroho, Biodiversity Beyond National Jurisdiction, Hal. 286.
153 Wawancara Pribadi dengan Dr. rer. nat. Mufti Petala Patria. Depok, 17 Mei 2017.
Roberts, Roadmap to Recovery, Hal.14
Selain membuat penelitian ilmiah di lapangan, Greenpeace juga melakukan analisis hukum untuk menunjukkan kekosongan maupun kesenjangan regulasi dari instrumen hukum serta kelemahan dari institusi internasional yang telah ada berkaitan dengan tata kelola laut lepas. Laporan analisis hukum Greenpeace pertama pada isu BBNJ diluncurkan pada tahun 2004, “Protecting the Deep Sea Under International Law: Legal Options for Addressing High Seas Bottom Trawling” yang secara khusus membahas tentang pengaturan penggunaan pukat
dasar laut dalam yang menjadi kegiatan ekstraktif utama di laut lepas. 154 Greenpeace bahkan juga meluncurkan suatu draft text untuk perjanjian yang
diajukan pada tahun 2008, berjudul “Suggested Draft High Seas Implementing Agreement for the Conservation and Management of the Marine Environment in
Areas Beyond National Jurisdiction.” 155 Atas dasar argumen adanya kekosongan dan kesenjangan regulasi dalam tata kelola laut lepas, memperkuat argumen
Greenpeace untuk mengatur serta melindungi laut lepas melalui perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS. 156
Selain berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tentang keanekaragaman hayati di laut lepas, menurut Dr. rer. nat. Mufti Petala Patria, NGO juga berperan dalam mengolah data-data ilmiah serta menyampaikan informasi tersebut kepada para pembuat kebijakan agar dapat dijadikan sebagai
154 Duncan E.J. Currie, Protecting the Deep Sea Under International Law: Legal Options for Addressing High Seas Bottom Trawling (Amsterdam: Greenpeace, 2004)
155 Greenpeace, Suggested Draft High Seas Implementing Agreement for the Conservation and Management of the Marine Environment in Areas Beyond National Jurisdiction (Amsterdam:
Greenpeace, 2008) 156
Greenpeace, Black Holes in Deep Ocean Space, Hal. 4.
dasar pembuatan kebijakan oleh pemerintah. 157 Oleh karena itu, dari berbagai riset lapangan yang dilakukan oleh peneliti dari Greenpeace Internasional dan NROs
serta analisis hukum yang dilakukan oleh para penasehat hukum dari Greenpeace Internasional, 158 selanjutnya dirangkum menjadi sebuah policy briefing yang
dikirimkan oleh para jurukampanye kepada para pemerintah nasional maupun diajukan para delegasi Greenpeace pada pertemuan Kelompok Kerja BBNJ. 159