Peranan Tenaga Kerja Sektor Tersier Dalam Perekonomian Jawa Barat

PERANAN TENAGA KERJA SEKTOR TERSlER
DALAM PEREKONOMIAN JAWA BARAT

Oleh :
OCTAVlA WULANDARI

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
OCTAVIA WULANDARI. Peranan Tenaga Keja Sektor Tersier Terhadap
Keragaan Ekonomi di Jawa Barat. Dibimbing oleh SJAFRI MANGKUPRAWIRA
sebagai Ketua, ANNY RATNAWATI dan RINA OKTAVlANI sebagai anggota
komisi pembimbing.
Propinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk tertinggi di Indonesia tercatat
sebanyak 43 552 923 jiwa dengan jumlah angkatan keja sebesar 17 613 853 jiwa
pada tahun 2000. Jumlah penduduk dan angkatan keja yang sedemikian besar ini
dapat menjadi potensi yang dapat dikerahkan sebagai usaha produktif untuk
menghasilkan barang dan jasa. Disisi lain, jumlah angkatan keja ini menunjukkan
besarnya tantangan yang dihadapi apabila tidak ditunjang oleh ketersediaan

kesempatan kej a yang memadai sehingga tersediannya kesempatan keja yang besar
sangat diperlukan untuk menginibangi banyaknya jurnlah penduduk yang mawk ke
pasar keja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan
tingkat produktivitas, tingkat penyerapar, tenaga kerja, dan tingkat upah riil tenaga
keja sektor tersier di Jawa Barat. Serta untuk mengetahui bagaimana dampak
kebijakan pemerintah terhadap keragaan tenaga keja sektor tersier di Jawa Barat.
Model keragaan pasar keja sektor tersier dan pendapatan daerah di Jawa
Barat merupakan model persamaan imultan, yang menggunakan pooling data dari
20 kabupaten di Jawa Barat dalam rentang waktu 1998-1999. Pendugaan parameter
menggunakan metode 2 SLS (Two Stage Least Square) dan pengolahan data
menggunakan program komputer SASIETS version 6.12. Simulasi model dilakukan
untuk mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah dan perubahan faktor ekonomi
yaitu peningkatan Upah M i m u m Regional Sektoral, peningkatan investasi,
peningkatan konsumsi kalori, penurunan inflasi dan kombinasinya terhadap keragaan
tenaga kej a pada sektor tersier.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat upah riil sektoral merupakan
faktor utama yang mempengaruhi keragaan tenaga keja sektor tersier dan pendapatan
daerah di Jawa Barat, ha1 ini berkaitan dengan teriadinya labor surplus di w a r keria.
Penyerapan tenga keja dipengaruhi oleh juklah knduduk produktif, tingk'at invest&
dan pendapatan daerah. Upah riil sektoral dipengaruhi oleh kebijakan Upah Minimum

~e~lonal/&o~insi
dan tingkat inflasi. ~ i n ~ kupah
a t yang diterik pekeja tergantung
pada tingkat produktivitas tenaga keja yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat
produktivitas maka sernakin tinggi upah yang akan diterima. Pendapatan daerah
dipengaruhi oleh produktivitas tenaga keja, penyerapan tenaga keja dan tingkat
pajak. Simulasi kebijakan yang dilakukan pada umumnya berpengaruh positif
terhadap keragaan tenaga keja sektor tersier. Peningkatan Upah Minimum Regional
Sektoral, investasi sektoral, penurunan inflasi dan peningkatan konsumsi kalori
berpengaruh positif terhadap keragaan tenaga keja sektor tersier. Dimana, secara
keseluruhan berpengaruh kepada peningkatan produktivitas dan kesempatan keja
yang secara langsung berpengaruh kepada perbaikan tingkat upah, dan secara tidak
langsung berpengaruh kepada peningkatan pendapatan daerah regional bruto.
Sedangkan simulasi kombinasi yang dilakukan juga berpengaruh positif pada
keragaan pasar kej a sektor tersier.

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang betjudul :
PERANAN


TENAGA

KERJA

SEKTOR

TERSIER

DALAM

PEREKONOMlAN JAW A BARAT
adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua
sumber data d m infonnasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas d m dapat
diperiksa kebenarannya.

Bogor, 28 Mei 2002

Octavia Wulandari
Nrp.990321EPN


PERANAN TENAGA KERJA SEKTOR TERSIER
DALAM PEREKONOMIAN JAWA BARAT

OCTAVIA WULANDARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi llmu Ekonomi Pertanian

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis
Nama Mahasiswa

:


Peranan Tenaga Kerja Sektor Tersier Dalam
Perekonomian Jawa Barat
Octavia Wulandari

:

Nomor Pokok

99032

Program Studi

Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,
1. Komisi Pembimhing

Dr;&ukza Ketua

Dr. Ir. Annv Ratuawati, MS

Anggota

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS
Auggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian

&
Dr. Ir. Bonar M. Sinaga. MA

Tanggal Lulus: 28 Mei 2002

RTWAYAT HIDW
Penulis dilahirkan di Salatiga pada tanggal 21 Oktober 1976 dari pasangan
Bambang Yudo Yuwono clan Siti Nurhayati. Penulis merupakan putri pertama dari
tiga bersaudara.
Tahun 1994 Penulis menyelesaikan studi pada SMA Negeri 2 Manado dan

pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Uiliversitas Sam Ratulangi di Manado, Sulawesi Utara. Penulis memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada tahun 1998. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan studi ke
jenjang S2 pada program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana,
lnstitut Pertanian Bogor.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
bimbingan dan Penyertaan-Nya jualah sehingga tesis ini berhasil di selesaikan.
Penelitian ini berjudul "Peranan

Tenaga Kerja Sektor Tersier Dalam

Perekonomian Jawa Barat".
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi llmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Tesis ini merupakan suatu penelitian mengenai bagaimana peranan
tenaga kerja sektor tersier di Propinsi Jawa Barat. Propinsi Jawa Barat dipilih karena

berdasarkan data yang diperoleh dari hasil Survei Angkatan Kerja, Propinsi Jawa
Barat memiliki tingkat migrasi masuk tertinggi di Indonesia. Sektor tersier dipilih
dengan asumsi bahwa para migran tersebut dengan segala keterbatasan pendidikan
dan keterampilannya akan lebih banyak tertampung di sektor tersier terutama pada
sektor jasa yang dapat dikatakan sebagai key problem solution ketenagakerjaan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira selaku ketua komisi pembimbing atas bimbingan,

saran, kritik, arahan serta perhatian kepada penulis mulai dari penyusunan usulan
penelitian, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis.
2. Dr.Ir. Anny Ratnawati, MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan,

saran, kritik, arahan serta perhatian kepada penulis mulai dari penyusunan usulan
penelitian, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis.
3. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan,

saran, kritik, arahan serta perhatian kepada penulis mulai dari penyusunan usulan
penelitian, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis.

4. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua program studi Ilmu Ekonomi Pertanian

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu pada
program studi yang dipimpin.
5. Yang terhormat papa, Bambang Yudo Yuwono dan Mama, Siti Nurhayati ,

adikku Agung dan Arief yang telah banyak berkorban dan selalu dengan sabar
memberikan dorongan, bantuan dan doa sehingga penulis dapat meyelesaikan
tesis ini.
6. Ir. H. Mas Wiyoto, MBA dan Siti Wahyuni, SH serta Mbak Erma dan Mas

Bregas, Mas Gatot dan Mbak Frida yang telah memberikan doa dan bantuan biaya
pendidikan kepada penulis.
7. Rekan-rekan Pada Program Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor Angkatan 99:

Mbak Rina, Mbak Letty, Fifi, Lia, Mbak Ernil, Mbak Lisa, Rasidin, uda Zul,
Zulkifli, Pak Azhar, Altian, atas segala perhatian, bantuan, persahabatan,
kesetiaan dan kerjasama mulai dari awal masa perkuliahan, penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis,

8. Sahabat terbaikku dalam suka dan duka Khres A. E. Senduk, STP dan H. Arief T.
Nurgomo, STP atas persahabatan yang diberikan selama 10 tahun ini.

Akhirnya, harapan

penulis

semoga tesis

ini

dapat berguna bagi

yang

membutuhkannya.

Bogor, Mei 2002

Octavia Wulandari

viii


DAFTAR IS1
DAFTAR TABEL........................................................

Halaman
xi

DAFTAR GAMBAR ....................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN..................................................

xiv

I. PENDAHULUAN........................................................

1

1.1. Latar Belakang .......................................................

1

1.2. Perumusan Masalah.................................................

8

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................

12

I1. PERAN AN SEKTOR TERSER DALAM PEREKONOMIAN...

13

2.1. Peranan Sektor Tersier Dalam Perekonomian Indonesia...

13

2.2. Peranan Sektor Tersier Dalam Perekonomian Jawa Barat ....

17

111. KEBIJAKAN PEMERINTAH Dl PASAR TENAGA KERJA ....

20

3.1. Kebijakan Upah Minimum Regional Sektoral..................

22

3.2. Kebijakan Peningkatan Gizi dan Kesehatan.....................

25

3.3. Perbaikan Tingkat Pendidikan dan Pelatihan ...................

28

3.4. Program Perluasan Kesempatan Kej a ...........................

30

IV . KERANGKA PEMIKIRAN ...........................................

4.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ......................................

32
32

4.1.1. Penduduk, Tenaga Keja dan Angkatan Kej a .........

32

4.1.2.Teori Permintaan Tenaga Kerja ...........................

36

4.1.3. Teori Penawaran Tenaga Kerja ...........................

42

4.1.4. Keseimbangan dalam Pasar Tenaga Kerja ...............

47

.

.

..

4.2. T~njauanEmp~ns
.....................................................

50

4.3. Kerangka Pemikiran Penelitian .....................................

55

V . PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS .........

57

5.1. Perumusan Model .................................................

57

5.1.1. Angkatan Keja ............................................

57

5.1.2. Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Tersier ....

60

5.1.3. Upah RIII...................................................

63

5.1.4. Produktivitas Pekej a ..........................................

65

..

5.1.5. Pendapatan Daerah ...........
5.2. Prosedur Analisis..............
5.2.1. Identifikasi Model .........................................
5.2.2. Metode Pendugaan Model ...............................
5.2.3. Validasi Model ............................................
5.1.4. Simulasi Model ...................................

5.3. Definisi Operasional Variabel ...................................
5.4. Jenis dan Surnber Data .....................................

Vl . KERAGAAN TENAGA KERJA SERTOR TERSIER DAN
PENDAPATAN DAERAH DI JAWA BARAT ....................
6.1. Keragaan Umum Model Dugaan ...................
6.2. Keragaan Model Tenaga Keja Sektor Tersier dan
Pendapatan Daerah di Jawa Barat ...........................
6.2.1. Angkatan Keja ...........
6.2.2. Penyerapan Tenaga Keja Sektor Tersier ..............
6.2.3. Upah nil Tenaga Kej a Sektor Tersier ..................
6.2.4. Produktivitas TenagaKej a Sektor Tersier ............
6.2.5. Pendapatan Daerah ....................................
V11. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH
TERHADAP
KERAGAAN PASAR KERJA SEKTOR TERSIER DAN
PENDAPATAN DAERAH Dl JAWA BARAT ....................
7.1. Hasil Validasi Model ...............................................
7.2. Peningkatan Upah Minimum Regional Sektoral Sebesar 25
Persen ................................................................
7.3. Peningkatan Investasi Sektoral Sebesar 20 Persen
7.4. Peningkatan Konsumsi Kalori Sebesar 20 Persin ........ ._
7.5. Kombinasi Kebijakan Peningkatan upah Minimum
Regional Sektoral 25 Persen dan Investasi Sektoral 20
Persen ...............................................................
7.6. Kombinasi Peningkatan UMRS, Investasi dan Konsumsi
Kalori ...............................................................

VIII . KESIMPULAN DAN SARAN ........................................

110

8.1. Kesimpulan ..........................................................

110

8.2. Saran ...................................................................

112

8.2.1 .Saran Kebijakan..............................................

112

8.2.2.Saran Penelitian Lanjutan ...................................

112

DAFTAR PUSTAKA ...................................................

115

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Perkembangan Tenaga Kerja dan Sumbangan Sektoral
Terhadap Produk Domestik Regional Bruto di Jawa Barat
Tahun 1999-2000....................................................
2. Jumlah dan Proporsi Kesempatan Kerja Menurut Lapangan
Usaha Tahun 1999-2000.............................................
3. Pertumbuhan Sektor Tersier Indonesia Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun 1996-1999.............................................

4. Sumbangan Sektor Tersier di Jawa Barat terhadap Produk
Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun
1999 - 2000 ............................................................
5. Penduduk dan Angkatan Indonesia Tahun 1961-2000
6. Definisi Variabel, Satuan Pengukuran dan Sumber Data
..
Penelihan.. .............................................................
7. Hasil Pendugaan Parameter Model Keragaan Pasar Kerja

Sektor Tersier dan Pendapatan Daerah di Jawa Barat.. ..........

8. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Angkatan Kerja.. ......
9. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyerapan Tenaga
Kerja.. .................................................................
10. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Upah Riil Sektoral
11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produktivitas Tenaga
.........................Kerja
...........
12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pendapatan Daerah di
Jawa Barat .............................................................
13. Hasil Validasi Model Keragaan Pasar Kerja Sektor Tersier
dan Pendapatan Daerah di Jawa Barat.............................
14. Upah Minimum Regional dan Kebutuhan Fisik Minimum
Pekerja Lajang 1 Kebutuhan Hidup Minimuin Pekerja
Lajang........................................................................................

15. Dampak Kebijakan Peningkatan Upah Minimum Regional
Sektoral 25 Persen ....................................................

16. Dampak Kebijakan Peningkatan Investasi Sektoral sebesar 20
Persen..................................................................

103

17. Dampak Kebijakan Peningkatan Konsumsi Kalori sebesar 20
Persen..................................................................

105

18. Dampak Kombinasi Kebijakan Peningkatan Upah Minimum
Regional Sektoral 25 Persen dan Investasi Sektoral 20
Persen..................................................................

107

19. Dampak Kombinasi Kebijakan Peningkatan Upah Minimum
Regional Sektoral 25 Persen, lnvestasi Sektoral 20 Persen
clan Konsumsi Kalori 20 Persen....................................

109

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Hubungan Antara Produksi Total, Produksi Rata-Rata dan

Produksi Marginal Penggunaan Tenaga Keja.. ..................

39

2. Menentukan Kuwa Permintaan Tenaga Kerja....................

41

3. Menentukan Kuwa Penawaran Tenaga Keja.. ...................

45

4. Penentuan Keseimbangan di Pasar Tenaga Kej a . . ..............

50

5. Model Konseptual Penyerapan Tenaga Kej a Sektor Tersier
di Jawa Barat.. .........................................................

56

6. Diagram Keterkaitan Peubah-Peubah Dalam Model Keragaan
Pasar Keja Sektor Tersier dan Pendapatan Daerah di Jawa
Barat....................................................................

58

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Data Aktual Model Keragaan Pasar Kerja Sektor Tersier dan
Pendapatan Daerah di Jawa Barat ..................................

119

2. Diagram Pencar Data Aktual Model Keragaan Pasar Kerja
Sektor Tersier dan Pendapatan Daerah di Jawa Barat.. ..........

125

3. Hasil Pendugaan Parameter Model Keragaan Pasar Kerja
Sektor Tersier dan Pendapatan ~ k r a di
h Jawa Barat.. ..........

134

4. Hasil Validasi dan Simulasi Model Keragaan Pasar Kerja
Sektor Tersier dan Pendapatan Daerah di Jawa
Barat.. .....................................................................

146

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Salah satu aset pembangunan yang paling dominan dimiliii oleh banyak
negara berkembang adalah jumlah penduduk dan angkatan kerja yang cukup besar
jumlahnya. Jumlah penduduk dan tenaga kerja ini disatu pihak menggambarkan
potensi yang dapat dikerahkan unhk usaha produktif yang dapat menghasilkan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Disisi lain, jumlah
penduduk dan tenaga k e j a dapat menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi
apabila tidak ditunjang dengan ketersediaan kesempatan k e j a yang memadai
sehingga tidak memperbesar angka pengangguran. Konsekuensi dari pertumbuhan
penduduk yang besar tersebut adalah besarnya angkatan k e j a serta terbatasnya
kesempatan kerja.
Oleh sebab itu, untuk menghindari pennasalahan tersebut dibutuhkan
perencanaan ketenagakerjaan yang matang. Perencanaan ketenagakerjaan dapat
dikatakan sebagai posisi sentral dalam pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan
karena pertama, hampir semua kegiatan produksi untuk menghasilkan barang dan jasa
melibatkan tenaga kerja dan kedua, tenaga keja selalu berhubungan dengan faktor
manusia yang merupakan tnjuan akhir dari pembangunan itu sendiri.
Dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS,

2000) telah

diisyaratkan tentang perencanaan tenaga keja, dimana telah ditetapkan bahwa
perluasan dan pemerataan kesempatan kerja serta peningkatan perlindungan terhadap

tenaga kej a merupakan kebijaksanaan pokok yang sifatnya menyeluroh pada semua
sektor.
Menurut Hasibuan (1987), dalam bidang ketenagakerjaan di Indonesia
dihadapi dua masalah pokok yaittr:
1. Tidak ada keseimbangan dalam penyerapan tenaga kerja antara sektor pertanian
dan non pertanian.

2. Adanya kepincangan dalam penyerapan tenaga kerja produktif di sektor non
pertanian yaitu antara sektor-sektor pengolahan (manzrfactur) dibandingkan
dengan sektor jasa (services).
Kedua masalah tersebut mengakibatkan ketimpangan penyerapan tenaga kerja
pada sektor pertanian dan non pertanian yang pada akhimya dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan

alokasi

tenaga

kerja.

Sejalan

dengan

perkembangan

pernbangunan terdapat perubahan-penrbahan pada pendapatan dan kesempatan kerja
diantara berbagai sektor atau kegiatan ekonomi penduduk (Widarti, 1984). Alokasi
tenaga kerja menurut sektor yang dimaksud adalah status pekejaan dimana ha1 ini
sering digunakan sebagai indikator pembangunan suatu negara.
Proses perkembangan ekonomi di negara-negara maju ditandai oleh suatu
transparansi struktural dala~nstruktur ekonomi dan kesempatan kerja. Dari sektor
primer pada masa pembangunan akan mengalami penurunan diikuti oleh naiknya
kesempatan kerja pada sektor sekunder clan tersier. Perubahan lainnya adalah formasi
struktur produksi atau proses perubahan ko~nposisiProduk Do~nestikBnito menunrt
sektor atau sub sektor produksi. Pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan
pergeseran permintaan dari sektor primer (pertanian, pertambangan) ke sektor

sekunder (manufaktur dan industri) dan pada akhirnya kesektor tersier (angkutan,
komunikasi, perdagangan dan jasa-jasa lainnya).
Pembangunan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat di
segala bidang, teruta~na pembangunan ekonomi. Pembangunan infrastruktur
berkembang cukup pesat. Pembangunan dibidang transportasi, komunikasi dan
infonnasi membawa dampak terhadap semakin meningkatnya mobilitas sumberdaya
khususnya sumberdaya manusia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel I . Perkembangan Tenaga kerja clan Sumbangan Sektoral terhadap hoduk
Domestik Regional B n ~ t odi Jawa Barat

Lapangan Usaha

22 294 009

1

30 730 601

Pemsahaan
1 10511 222
.Jasa-Jasa
Sumber: Susenas, 1999-2000 (data diolah)

1

16236217

1.Pertanian,Peternakan, Kehutanan

Perkembangan
Tenaga Kerja
( orang )
1999 1 2000

Domestik
Regional Bruto
( juta rupiah )
1999
2000

1

5 203 953

1

4 865 547

2344531

1

2272831

Menurirut Benu (1990), bahwa jika pendapatan meningkat, maka semakin
kecil peranan sektor primer dalam kesempatan kerjanya, sedangkan peranan sektor
tersier dan sekunder adalah sebaliknya. Transformasi stn~kturkesempatan kerja
menurut sektor dicapai karena: pettumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan

peningkatan produktivitas pekerja di setiap sektor dan pekerja yang berpindah dari
sektor yang lebih rendah produktivitasnya ke sektor yang memiliki produktivitas
lebih tinggi. Pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang
tinggi harus memperhatikan pemerataan pendapatan clan penyerapan tenaga kerja
(Thee Kian Wie, 1983). Jadi, dalam strategi pembangnnan haruslah mengingat
kepadatan penduduk yang merupakan suatu kharateristik dari pembangunan di
Indonesia.
Tidak seimbangnya jumlah penduduk dan kemampuan negara berkembang
untuk menciptakan pembangunan dan kesempatan kerja bagi penduduk telah
menimbukan berbagai implikasi yang buruk terhadap beberapa aspek pembangunan
ekonomi, diantaranya adalah tingginya angka pengangguran yang secara tidak
langsung berdampak negatif terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
Menurut Rostow dalam Baldwin (1986), sebuah negara hams malnpu
~nelakukantransformasi dari pembangunan industri setelah modernisasi pada sektor
pertanian serta penyediaan modal sarana sosialnya meningkat. Selanjutnya Rostow
telah membagi pertumbuhan ekonomi suatu negara ke dalam !ima tahap dimana pada
tahap-tahap awal kesempatan kerja yang paling tinggi terjadi pada sektor pertanian
yang kemudian ben~bah dengm suatu pembangunan indt~strialisasi, sehingga
pergeseran kesempatan kerja terjadi dari sektor manufaktur ke sektor jasa.
Lebih lanjut, Kusnetz dalarn Baldwin (1986), menyimpulkan tiga keadaan
pada negara berkembang mengenai proporsi tenaga kerja yang mencari pekejaan di
berbagai sektor dalarn proses pembangunan ekonomi. Kesimpulan tersebut adalah
sebagai benkut:

1. Peranan sektor pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja menurun ditiap
negara
2. Peranapl sektor industri &lam menyediakan kesempatan kerja menjadi bertambah
penting akan tetapi kenaikan tersebut sangat kecil
3. Peranan sektor jasa dalam menyediakan kesempatan k e j a tidak banyak

mengalami pen~bahan.
Ketiga ha1 tersebut diatas menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan
pen~bahan masing-masing sektor dalam mencipakan produksi nasional dengan
perubahan setiap sektor dalam menampung tenaga kerja. Dari sektor jasa, sektor
pemerintah dan sektor perdagangan menyediakan tenaga kerja yang semakin
tneningkat.
Berdasarkan apa yang diperoleh Clark dalam Sukirno (1985), semakin tinggi
pendapatan perkapita suatu negara maka peranan sektor pertanian dalam
menyediakan kesempatan kerja akan semakin kecil. Namun sebaliknya sektor industri
makin penting peranannya dalam menampung tenaga kerja.
Perubahan pendapatan secara sektoral akan berpengaruh terhadap peningkatan
tenaga kerja. Namun, besarnya perubahan pendapatan secara sektoral hdak selalu
diikuti oleh penlbahan yang sama pada kesempatan kerja yang tersedia. Hubungan
pertumbuhan pendapatan atau produksi dengan penyerapan tenaga kerja dinyatakan
dengan elastisitas kesempatan k e j a atau penyerapan tenaga kerja (Simanjuntak,
1993) yang didefinisikan sebagai perbandingan antara laju pertumbuhan kesempatan

kerja dengan laju perttunbuhan ekonomi. Elastisitas tersebut dapat ditentukan dari
selluuh perekonomian atau dapat pula ditentukan dari masing-masing sektor.

Akibat dari pergeseran-pergeseran yang terjadi, maka kesempatan kerja di
sektor tersier d i n lama makin meningkat. Menurut Clark dalam Sukirno (1985),
sektor-sektor yang masuk dalam sektor tersier adalah angkutan dm perhubungan,
pemerintahan, perdagaogan danjasa perorangan. Sedangkan menurut Widarti (1984),
kegiatan yang dikelompokkan pada sektor tersier ini meliputi perdagangan,
transportasi, keuangan dan jasa.
Pembagian sektor tersier yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik
mencakup perdagangan, hotel dan restoran; bangunan; pengangkutan dan
komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; jasa-jasa yang mencakup jasa
pemerintahan umum dan swasta.
Proses pembangunan di Indonesia dilakukan secara berkesinambungan yang
dalam pelaksanaannya mempunyai strategi yang mengarah kepada pen~bahan
shuktural, umumnya dari sifat agraris tradisional menjadi industri modem, perubahan
struktur ini mempunyai tiga dimensi, yaitu:
1. Sumbangan sektor pertanian secara relatif akan merosot, sedangkan sektor non

pertanian sebaliknya.
2. Ji~mlah tenaga kerja pada sektor pertanian secara absolut jumlahnya akan
me;lingkat namun persentase dalam jumrah tenaga kerja keselun~han akan
semakin kecil, sebaliknya tenaga kerja yang bekerja di sektor-sektor lain akan
meningkat.
3. Peringkat produksi di semua bidang akan menjadi leb~hbersifat industri. Produksi

pertanian akan semakin banyak me~nakaisistem industri, yaitu hasil pertanian

akan diproduksi secara besar-besaran unhk dijual ke pasar dengan menggunakan
teknologi modem.
Selanjutnya, proses transformasi shuktural yang terjadi ini juga didukung oleh
diberlak~lkannyakebijakan-kebijakan pemerintah yang akan mendukung terciptanya
pemerataan dan kehidc~panyang lebih baik bagi tenaga kerja Indonesia.
Dan data registrasi penduduk tahun 1999-2000 tercatat bahwa propinsi Jawa
Barat memiliki jumlah periduduk sebesar 42 428 584 jiwa pada tahun 1999 dan
meningkat menjadi 43 089 300 jiwa pada tahun 2000. Laju pertumbuhan penduduk di
Jawa Barat sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaih~migrasi masuk dan angka
kelahiran. Angka migrasi propinsi Jawa Barat tercatat sebesar 2.7 juta jiwa pada
tahun 2000, sedangkan angka kelahiran masih cukup tinggi yaitu sebesar 2.2 juta

jiwa. Hal ini disebabkan oleh pola perkawinan usia pada kelompok umur kurang dari
18 tahun yang rnasih tinggi, yaitu sebesar 64 persen. Lebih lanjut, perlu adanya
pendewasaan i~siaperkawinan. Hal ini terkait dengan kondisi stnlkh~rumur pendudnk
Jawa Barat yang telah mengalami transisi dari struktur umur muda yaitu sebanyak
33 893 619 jiwa ke struktw umur produktif. Dalam ha1 migrasi penduduk, bahwa
dengan adanya sentra-sentra indusm dan bisnis secara pusat-pusat pendidikan
menjadi daya tarik yang sangat kuat bag1 timbulnya migrasi masuk dan luar Jawa
Barat. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa jumlah angkatan kej a yang tersedia
di Jawa Barat semakin besar sehingga diperlukan penanganan serius dari pemerintah
menyangkut ketersediaan lapangan pekerjaan.

Berdasarkan data SUSENAS (1999), persentase angkatan kerja yang bekeja
adalah sebesar 48.44 persen sedangkan yang mencari kerja sebesar 4.95 persen
dengan angka pengangguran sebesar 46.61 persen. Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa Propinsi Jawa Barat juga memiliki potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan (dalam ha1 jumlah angkatan keja) sebagai penyumbang Produk
Domestik Regional B ~ t seperti
o
yang teiah disajikan pada Tabel 1 . Oleh karena itu
penelitian ini dirasa perlu untuk rnelihat seberapa besar sektor tersier ini dapat
menampuny jumlah angkatan kerja yang kebanyakan ben~siamuda dengan tingkat
pendidikan dan keterampilan yang kurang memadai.

1.2. Perumusan Masalah
Seperti halnya pada tingkat nasional, masalah pokok yang dihadapi oleh
pemerintahan Jawa Barat masih berkisar pada masalah ketenagakerjaan. Penyediaan
kesempatan kerja yang besar sangat diperlukan untuk

mengimbangi banyaknya

jumlah penduduk yang memasuki pasar keqa. Tidak tertampungnya pencari kerja
pada tingkat kesempatan kerja yang tersedia akan menyebabkan terjadinya
pengangguran yang akan membawa masalah yang lebih besar lagi.
Ke~najuansuatu wilayah tercermin dari kernampuan sektor-sektor ekonomi
dalam menyerap angkatan k e j a dan peningkatan produktivitas angkatan kerja.
Demikian pula unti~kPropinsi Jawa Barat, analisis ketenagakerjaan sering dikaitkan
dengan Prodtik Domestik Regional Bmto. Pada tahap awal perttimbuhan tenaga kerja
di propinsi Jawa Barat lebih banyak terserap di sektor pertanian. Namun, seiring

dengan proses industrialisasi terlihat terjadinya perpindahan tenaga kerja dari sektor
pertanian ke sektor non pertanian dan industri.
Selanjutnya di propinsi Jawa Barat juga mengalami pergeseran struktur
kesempatan kerja. Adanya ~nigrasidari beberapa daerah ke daerah lain terutama para
migran yang berpendidikan rendah menyebabkan bertambahnya tenaga kerja yang
tnasuk pada sektor tersier khususnya pada sektor jasa. Penyerapan tenaga kerja
menurut sektor menunjukkan adanya pembahan yang cukup signifikan untuk sektor
perdagangan, pertanian, dan industri pengolahan (manufaktur). Proporsi kesempatan
kerja di Jawa Barat tahun 1999 umumnya mengalami perkembangan yang
menggembirakan kecoali pada sektor pertambangan dan perhubungan serta listrik,
gas dan air yang inengalami sedikit penurunan (Tabel 2)

Tabel 2. Jumlah dan Proporsi Kesempatan Kerja Menurnt Lapangan Usaha di Jawa
Barat.

1 Lapangan Usaha

I

Jumlah Kesempatan

Sumber: Susenas 1999-2000 (data diolah)

I

Perkembangan

I

Menun~tpendapat para pakar kependudukan, dimasa mendatang negaranegara agraris seperti Indonesia akan bergeser (shijting) dari sektor pertanian ke
sektor industri untuk selanjutnya berpindah ke sektor jasa (services). Hal tersebut
dapat teqadi karena berbagai alasan, diantaranya adalah:

1. Sekalipun terjadi kemunduran akibat dampak krisis ekonomi tetapi tuntutan hidup
agar tetap bertahan hidup menjadikan sebagian besar korban PHIS berusaha untuk
tetap bekeja sekalipun tidak pada sektor lapangan usaha yang sama seperti
sebelumnya.

2. Krisis ekonomi sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar rupiah justru menjadi
stimulasi bagi sejumlah sektor yang berorientasi ekspor clan rendah kadar muatan
bahan baku impornya, sehingga memiliki daya saing di pasar internasional untuk
menambah tenaga kerja.
3. Penciptaan lapangan kerja baru sebagai antisipasi terhadap semakin terbukanya
peluang benlsaha karena terjadinya pen~bahansosial dan politik seperti deregt~lasi

dan debirokratisasi pada sektor-sektor tertentu.
4. Oleh karena kelesuan usaha dan tindakan efisiensi perusahaan, maka dilakukan
penggantian peran (replacement) tenaga kerja asing yang terpaksa harus kembali
ke negeri asalnya dengan tenaga kerja Indonesia pada level jabatan yang sama.
5. Sektor perdagangan mungkin dapat menjadi lapangan usaha yang semakin

kondusif untuk dikembangkan dan dioptimalkan daya serap tenaga kerjanya.
Apabila menilik perkembangan yang terjadi, pemulihan (recovery) akibat
terjadinya krisis moneter menyebabkan terjadinya perbaikan dalam ha1 penyerapan
tenaga kerja sektor nil dimana sektor industri termasuk didalamnya. Dengan

demikian peningkatan dalam kapasitas penyerapan tenaga kerja pada sektor yang
sebelumnya terpuruk, lambat laun terlihat semakin membaik, sekalipun belum
mencapai tingkat yang sama dengan masa sebelum tejadinya krisis moneter.
Secara umum peningkatan laju pertumbuhan kesempatan kerja dapat
disimpulkan sebagai beriknt:
I . Masa pemulihan sebagai dampak krisis ekonomi menyebabkan penciptaan

kesempatan k e j a yang semakin membaik.

2

Penciptaan lapangan kerja bani sebagai antisipasi terliadap semakin terbilkanya
peluang berusaha karena tejadinya penibahan sosial dan politik seperti deregulasi
dan debirokratisasi pada sektor-sektor tertentu.

3. Iklim investasi dengan semakin membaiknya nilai tukar mata uang Rupiah
terliadap Dollar, menyebabkan para investor kembali ke Indonesia unhk secara
bertahap membuka usaha sehingga memperbesar penciptaan lapangan kej a .

4. Peningkatan dalam penyerapan sektor pertanian dan jasa tenaga kerja dapat
diasumsikan telah beralih profesi ke sektor yang dianggap masih kondusif dan
mempunyai peluang perluasan kesempatan kerja setelah sebelumnya bekeja di
sektor industri dan sektor lainnya, walaupun tingkat produktivitas kedua sektor
tersebut masih c i ~ k i ~rendah
p
dibandingkan dengan sektor illdushi.

5. Sulitnya perluasan kesempatan kerja sektor formal mengakibatkan perlunya
penataan sektor informal untuk menyerap tenaga kerja yang tidak tertampung di
sektor modem.
Berdasarkan hal-lial yang diuraikan di atas maka dalam penelitian ini
dikemukakan permasalalian sebagai berikut:

1 . Bagaimana perkembangan angkatan kej a sektor tersier di Jawa Barat.
2. Bagaimana produktivitas tenaga kerja sektor tersier di Jawa Barat.
3. Bagaimana penyerapan tenaga kej a pada sektor tersier di Jawa Barat

4. Bagaimana tingkat upah riil di Jawa Barat.
5. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan tenaga kerja pada

sektor tersier dan pendapatan daerah di Jawa Barat.

1.3. Tujuail d s n Kegunaan Penelitian

Secara ulnum, tujuan clan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
peranan sektor tersier dalam penyerapan tenaga kerja dan pendapatan daerah di
propinsi Jawa Barat. Tetapi secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis perkembangan angkatan kej a , produktivitas tenaga keja, penyerapan
tenaga kerja, tingkat upah riil tenaga kerja, clan dampak kebijakan pemerintah yaitu
kebijakan peningkatan Upah Minimum Regional Sektoral, peningkatan investasi dan
peningkatan konsumsi kalori terhadap keragaan tenaga kerja pada sektor tersier dan
pendapatan daerah di Jawa Barat.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah
daerah Jawa Barat mengenai keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja. Sehingga
dapat menjadi acilan dalam pengambilan keputusan untuk menyusun kebijakankebijakan yang dapat menunjang pembangunan daerah Jawa Barat ten~tama
kebijakan di bidang ketenagake rjaan, khususnya mengenai perluasan dan pemerataan
keseinpatan kerja.

11. PERANAN SEKTOR TERSIER DALAM PEREKONOMIAN

2.1. Peranan Sektor Tersier dalam Perekonomian Indonesia
Pembangunan perekonomian yang tangguh sangat erat kaitannya dengan
petnbangunan sektor tersier yang andal. Sektor tersier terdiri atas empat sektor, yaihl
sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan kotnunikasi, sektor keuangan,
persewaan dan jasa penlsahaan dan sektor jasa lainnya. Keempat sektor ini
memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Sektor perdagangan
merupakan jembatan penghubttng antara prodnsen dan konsumen. Sedangkan
pendistribusian hasil produksi tidak lepas dari peranan sektor penganykutan. Sektor
keuangan sangat dibutuhkan dala~npemodalan dunia usaha. Sementara sektor jasa
lainnya juga tidak dapat diabaikan peranannya dalam menciptakan perekonomian
yang sellat.
Peranan sektor tersier terhadap Produk Domestik Bmto pada tahun 1999
sebesar 37.73 persen. ini berarti lebih tinggi dari tahun 1998 yang hanya sebesar
37.07 persen. Namun bila dibanhngkan dengan tahun 1996 dan 1997, peranan sektor
tersier pada tahon 1999 terlihat menurun. Pada tahun 1996 kontribusi sektor tersier
mencapai 39.87 persen, sedangkan pada tahun 1997 konhibusinya sebesar 39.58
persen.
Selatna periode 1996-1999, diantara sektor-sektor lain yang tercaki~pdalam
sektor tersier, kontribusi sektor perdagangan mendolninasi nilai tambah sektor tersier
terhadap Produk Domestik Bruto, yaitn sekitar 16 persen. Sektor yang berperan
sebagai pentmjang kegiatan ekonomi untuk menghasilkan produk barang dan jasa ini

kontribusinya pada tahun 1999 sebesar 16.51 persen , tnrun dari 16.67 persen pada
tahun 1998. Namun dibandingkan dengan tahi~n1996 dan 1997, kontribusi sektor
perdagangan meningkat.
Sektor jasa-jasa merupakan penqumbang kedua terbesar setelah sektor
perdagangan dengan konhibusi sebesar 8.89 persen pada tahun 1999. Bila
dibandingkan dengan tallun sebelumnya sumbangan ini menunjukkan adanya
peningkatan. Pada tahun 1998 sektor ini hanya mampu memberikan kontribusi
sebesar 8.23 persen. kontribusi sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
sebagai sektor finansial pada tahun 1998 dan 1999 turun jika dibandingkan dengan
kontribusi pada tahun 1996 dan 1997. sementara sektor pengangkutan dan
komunikasi sebagai sektor yang mendukung aktivitas sektor riil, sampai dengan
tahun 1998 kontribusinya turun dari 6.56 persen pada tahun 1996 menjadi 5.1 8 persen
pada tahun 1998. Namun, pada tahun 1999 kontribusi sektor pengangkutan dan
komunikasi meningkat menjadi 5.97 persen.
Badai krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi
yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, masih terlihat dampaknya
hingga saat ini. Hampir semtua sesekt ekonomi masih beltnn dapat berjalan seperti
sedia kala, ter~nasuksektor tersier. Hal ini terlihat dari pertumbuhan sektor tersier
pada tahun 1998 menunji~kkanperhumbuhan negatif yaitu sebesar -16.52 persen.
Penurunan tertinggi pada tahun 1998 terjadi pada sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan. Sektor ini mengalami penunman sebesar 26.67 persen. Penumnan
yang ci~kup besar ini lebih dikarenakan terjadinya penunman dari sub sektor
perbankan sebesar 37.90 persen. Sektor perbankan memang merupakan sektor yang
bersentuhan langsung dengan krisis moneter yang terjadi sejak beberapa waktu yang

lalu. Walaupun telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untt~kmelakt~kan
restrukturisasi perbankan, tetapi ternyata masih belum mampu mengembalikan agar
sektor ini kembali berjalan dengan normal.
Sektor perdagangan pada tahun 1998 menurun drastis, dengan pertumbuhan
-1 8.05 persen . Penurunan ini disebabkan mentuimnya sub sektor perdagangan besar

dan eceran sebesar -18.48 persen demikian juga dengan sub sektor hotel yang turut
berperan dalam penurunan nilai tambah sektor perdagangan, pertumbuhan sub sek~or
ini sebesar -1 8.02 persen. Penumnan jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia
diduga berpenganih terhadap penurunan nilai tambah sub sektor hotel.
Sektor pengangkutan dan komunikasi pada tahun 1998 mengalami penurunan
15.13 persen. penurunan ini hanya terjadi pada subsektor pengangkutan, sedangkan
subsektor kornimikasi justru mengalami peningkatan. Penurunan sebesar 1.10 persen
dialami oleh sektor perdagangan.
Satit-sahmya sektor tersier yang mengalami peniuilnan terendah adalah sektor
jasa-jasa. Pada tahun 1998 sektor jasa - jasa mengalami perti~mbuhan-3.15 persen,
dimana sub sektor pemerintahan umum tumbuh sebesar -7.32 persen dan sub sektor
swasta tumbuh sebesar -9.19 persen.
Walaupun perekonomian Indonesia pada tahun 1999 belum pulih seperti sedia
kala, tetapi tanda-tanda ke arah perbaikan sudah mulai nampak. Hal ini dapat dilihat
dari membaiknya laju pertumbuhan seluruh sektor termasuk sektor tersier. Sektor jasa
berhasil mencatat pertumbuhan 2.82 persen. sektor-sektor lainnya walaupun masih
menunjukkan pertumbuhan negatif, namun telal~menunjukkan kemajuan.

Tabel 3.

Pertumbuhan Sektor Tersier Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku 19961999
(%)

SektorISub sektor

1999

11

I

I . Perdagangan

15.86

16.36

1

1

16.67

1.2.Hotel

0.61

0.62

1
i

1.3. ilestoran

2.72

2.89

i

6.56

6.14

2.1. Pengangkutan
2.2. Komunikasi

1.I .Perdagangan besar dan eceran

Pe-buhan

13.03

12.35

~

16.51

1998 ( 1999
I

-18.05

-1.10

13.24 1 12.68 / -18.48
~~

1

-1.81

--

~

--

0.54

o 56

-8.91

2.90

3.26

-18.02

518

5.97

-15.13

4.72-

5.49

5.02) 4.17

4.68

-19.94

-3.43

1.07

1 . 1 2 ; 1.01

4.83

7.88

8.26

8.66

1

129

6.98

6.36

-26.63

-8.67

3.1. Bank

3.33

3.23 1

2.58

2.15

-37.90

3.2. Lembaga Keuangan tanpa Bank

0.72

0.72

/

0.55

0.55

-17.21

3.3. Iasa Penunjang Keuangan

006

0.06

0.05

0.05

-26.65

3.42

3.4. Sewa Bangunan

2.56

2.82

2.31

2.19

-19.87

-6.01

3.5. Jasa Pe~sahaan

1.59

1.82

1.50

1.42

-16.73

-2.72

8.23

8.89

-3.15

2.82

2. Angkutan dan Komunikasi

3.Keuangan3Penewaandan JasaPerusahaan

i

,

i

-

3.17

/

1.31

-17.34

0.25

I

4. Jasa-Jasa

8.92 /

8.69
I

I

4.1.1.Adm.Pemerintahan dan pertahanan

1

1

1

3.11

3.66

,
/

1.45

1.33

4.1.2. Jasa Pemerintahan lain
4.2. Swasta

4.26

1

3.80

\

2.84
1.22

/

4.17

3.48

1

3.76

0.66

1

0.61

0.61

4.4. Hiburan dan Rekreasi

0.20

0.22

1

0.19

0.17

4.5. Perorangan dan Rumah tangga
Jumlah Tersier

2.91

2.27
I

I

1

1

2.98
I

3.73

3.92

1

4.54

-9.19

5.21

-12.58

-1.92

~

-16.25
8

0.89

I

8.24

39.87 39.58 137.07 37.73
I

1

-3.75

.

3.34

-4.48

I

0.64

~~~

1

1.65

4.3. Sosial Kemasyarakatan
-

1

I

1,

4.77
I

-1.49

Sumber: BPS (1999)

Catatan : Pertu~nbuhan dihitung berdasarkan harga konstan 1993, dihitung
berdasarkan rumus pertumbuhan
Pn - 1'0
yaitu:
~100%
Po
di~nanaPn = tahun 1998 & 1999
Po = tahun 1993

I

2.2. Peranan Sektor Tersier Dalam Perekonomian Jawa Barat
Dalam mendukung terwujudnya s h k t u r ekonomi yang semakin seimbang
dan kokoh antara sektor industi maju dan sektor pertanian tangguh, peran serta
sektor tersier yang terdiri dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, angkutan dan
komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa pentsahaan, serta sektor jasa-jasa. Hal
tersebut diperlukan sebagai penunjang sektor primer dan sekunder.
Keteriibatan sektor perdagangan dalam dinamika perekonomian secara
langsung erat kaitannya dengan beberapa sektor. Untuk pendistribusian dan
pemasaran hasil produksi sektor primer dan sekunder dibutuhkan peranan sektor
angkutan dan komunikasi guna memperlancar terjadinya transaksi. Disisi lain,
peranan sektor keuangan juga sangat diharapkan mengingat kebutuhan uang sebagai
dana dalam proses prodt~ksi sektor primer dan sekunder. Tentunya subsektor
pemerintahan dan pertahanan, yang tergabung dalam sektor jasa-jasa, juga tidak dapat
diabaikan sebagai penunjang dalam mewujudkan struktur ekonomi yang kokoh,
misalnya unti~kmenciptakan lingkungan perdagangan yang sehat.
Karena itu peran sektor tersier sangat diharapkan dapat meningkatkan nilai
tambah bruto dari sektor-sektor lain. Sehingga sumbangannya dapat meningkatkan
pendapatan nasional lnaupun regional, dan sekaligus diharapkan dapat menambah
penerimaan masyarakat yang bergerak dalam proses prodi~ksipada masing-masing
sektor.
Peranan sektor perdagangan sedikit berfluktuasi, namun masih cukup tinggi
dibanding sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1998, sebanyak 59.04 persen distribusi
Produk Dornestik Regional Bruto berasal dari sektor tersier. Sektor perdagangan

masih menjadi motor penggerak dari sektor tersier ini dalam andilnya terhadap
Produk Domestik Regional Bruto. Dari 59.04 persen peranan sektor tersier dalam
Produk Domestik Regional Bruto tersebut 18.79 persen berasal dari sektor
perdagangan. Hal ini dapat disebabkan karena sektor perdagangan memiliki investasi
yang cukup besar sehingga lebih mudah umtuk dikembangkan. Sebagian besar
sumbangan sektor perdagangan ini diberikan oleh sub sektor perdagangan besar dan
eceran yaitu 14.69 persen. Sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan andil
3.88 persen, sektor bank dan lembaga keuangan dan sewa bangunan masing-masing
sebesar 1.88 persen dan 1.92 persen. Sedangkan sektor pemerintahan dan keamanan
seita jasa-jasa mempunyai peran 4.39 persen dan 7.81 persen.
Tahun 1999, sumbangan sektor tersier secara total terhadap Produk Domestik
Regional Bruto meningkat menjadi 67.41 persen. Penumnan nampak pada sektor
hotel dan restoran yaitu menjadi 0.11 persen. Meskip~mdi daerah Jawa Barat banyak
memiliki tempat pariwisata. yang cukup banyak (termasuk didalamnya hotel dan
restoran), namun krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tah~m1997 tidak
hanya dirasakan di Indonesia tetapi juga dinegara-negara lain, sehingga turis lokal
maupun domestk yang datang menurun jumlahnya. Sektor perdagangan meningkat
menjadi 16.19 persen. sektor pengangkutan dan komunikasi juga mengalami
kenaikan menjadi 5.62 persen . Sektor Bank dan Lembaga keuangan menurun
menjadi 0.08 persen, sedangkan untuk sewa bangunan meningkat sebesar 0.63 persen
sehingga menjadi 2.55 persen.

Tabel 4.

Sumbangan Sektor Tersier di Jawa Barat Terhadap Produk Domestik
Rruto atas dasar harga berlaku 1993

Sumber: BPS (2000)

Dari Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2000, sumbangan sektor
tersier terhadap Produk Domestik Regional Bn~tomeningkat sebesar 1.57 persen
sehingga menjadi 68.98 persen. Sumbang* sektor tersier ini masih didominasi oleh
sektor perdagangan yang meliputi perdagmgan besar dan eceran, serta hotel d m
restoran. Sumbangan dari sektor perdagangan besar dan eceran mengalami penurunan
sebesar 0.67 persen, tetapi sumbangan sektor hotel dan restoran meningkat cukup
signifikan yaih~sebesar 3.8 persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor jasa-jasa yang
memberikan sumbangan sebesar 9.05 persen.

111. KEBIJAKAN PEMERINTAH DI PASAR TENAGA KERJA

Kebijakan dan program pembangunan pada hakekatnya berttljuan untnk
melindungi kehidupan pekerja yang memil~kiposisi lemah di pasar kerja. Situasi ini
juga berkaitan dengan pasar kerja sendiri yang cenderung bersifat labor surplus,
sehingga pekerja tidak memiliki kekuatan tawar menawar di pasar kerja.
Kebijakan ketenagakejaan khususnya bidang pengupahan diarahkan pada
sistem pembayaran upah secara keselumhan, tetapi tldak termasuk uang lembur.
Sistem ini didasarkan atas presentasi seorang pekeja dan tidak dipengamhi oleh
tunjangan-tunjangan yang tidak berhubungan dengan bentuk uang, namun tidak
mengurangi kemungkinan pemberian sebagian upah dalam bentuk barang yang
jumlahnya dibatasi.
Upah tidak dibayar bila pekeja tidak melakukan pekerjaan. Ketentuan ini
mempakan suah azas yang pada dasarnya berlaku terhadap semua golongan pekerja,
kecuali bila pekerja yang bersangkutan tidak dapat bekerja disebabkan bukan karena
kesalahan pekeja tersebut (Safrida, 1999)
Pada prinsipnya, kebijaksanaan pengupahan dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaito:
a. Kebijakan umum

I . Dalam melaksanakan kebijaksanaannya, pemerintah memandang upah pekeja

bnkan hanya sekedar sebagai bagian dari biaya prodtlksi, akan tetapi men~pakan

biaya untuk memenuhi kebutuhan dasar agar dapat hidup layak bersama
keluargany a.
2. Tingkat upah yang sangat rendah secara bertahap harus segera ditingkatkan,
sehingga minimal sama dengan nilai kebutuhan dasar hidup minimum.
3. Sektor produksi barang dan jasa yang bersifat strategis dan vital di masing-

masing daeral~yang inempekerjakan pekeja dengan tingkat upah yang sangat
rendah atau dibawah kelayakan perlu segera diadakan penetapan-penetapan upah
minimuinnya.

4. Peningkatan kesejahteraan tidak saja diberikan melalui peningkatan upah akan
tetapi dengan penyelenggaraan program-program jaminan sosial misalnya
pengobatan, perurnahan, dana pensiunan dan upaya-npaya lainnya seperti
penilaian peningkatan produktivitas melalui peningkatan keterampilan.
5. Usaha peningkatan upah harus sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

nasional, perkembangan pen~sahaan dengan pertimbangan-pertimbangan pada
segi sosial, ekonomi dan perluasan kesempatan kerja.
b. Kebijakan Khusus
1. Upah minimum mencakup upah pokok ditarnbah tunjangan tetap.
2 . Kebijaksanaan upah minimum wajib unttuk dilaksanakan oleh setiap pen~sahaan.

3 . Bagi perusahaan yang belum mampu tnelaksanakan kebijaksanaan upah
minimum, dimungkinkan untuk mengajukan pelaksanaannya kepada Menteri
Tenaga Kerja untuk berlaku tnaksi~nu~n
12 bulan.
4. Kebijaksanaan upah minimum hams ditinjau sekurang-ku~angnyasekali dalam

dtia tahun.

3.1. Kebijakan Upah Minimum Regional Sektoral
Menurut kamus ekonomi, upah didefinisikan sebagai harga yang dibayar untuk
mereka yang menyelenggarakan jasa-jasa, biasanya dibayar per jam, perhari, per
minggu atau per bulan. Dalam ilmu ekonomi semua jenis kompensasi untuk jasa-jasa
men~pakanupah (Winardi, 1996).
Peraturan pemerintah No.8 tahun 1981 tentang perlindungan upah dalam pasal 1
dan undang-undang No.3 tahun 1992 Jaminan Sosial Tenaga Kerja, pasal 1 angka 5,
disebutkan sebagai berikut: Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada buruh untuk suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha
kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilak~dcan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan dalam suatu persetujuan
atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu persetujuan atau
peraturan perundangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pengusaha dengan buruh, termasilk timjangan baik i~ntilkbunlh sendiri maupiln
keluarganya.
Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan.
Sistem pengupahan di Indonesia pada umurnnya didasarkan kepada tiga fungsi upah,
yaitu:
1 . Menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya

2. Mencenninkan imbalan atas hasil kerja seseorang, dan
3. Menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja
Ketidaksempurnaan pasar kerja di Indonesia, dimana labor slrrpltts terjadi di
pasar kerja, memaksa pemerintah melakukan intervensi terhadap penentuan upah

sehingga pekerja tetap memperoleh upah yang mencukupi kehidupan pekerja dan
keluarganya secara wajar. Pemerintah telah mengembangkan sistem pengupahan
yaitu upah minimum. Sebagaimana telah diattlr dalam PP No.811981, upah minimum
merupakan upah yang ditetapkan secara minimum regional, sektoral regional maupun
sub sektoral. Dalam ha1 ini upah minimum adalah npah pokok dan tunjangan. Jumlah
upah minimum hams dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja secara minimal yaitu
kebutuhan untuk pangan, sandang, kebutuhan mmah tangga dan kebutuhan dasar
lainnya. Di Indonesia ketentuan upah minimnmtelah dimillai sejak tahun 1956.
Selanjutnya berdasarkan keputusan Presiden No.5811969, dibentuk Dewan ~dnelitian
Pengupahan Nasional (DPPN), dengan anggota mewakili Departemen Tenaga Kej a ,
Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan,
Departemen Pertanian, Departemen Perhitbungan, Departemen Pertambangan,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Bank Sentral, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Universitas, Serikat pekerja dan Organisasi
Pengusaha (Simanjnntak, 1998).
Masalah pengupahan yang dihadapi saat ini adalah mengenai keanekaragaman
cara pengupahan dan tingkat upah yang rendah. Keanekaragaman cara pengupahan
berbeda antar daerah, antar sektor, antar pemsahaan bahkan di dalam pemsahaan itu
sendiri. Upah yang terlalu rendah tidak dapat dipertanggungjawabkan dari segi moral
maupun dari segi kemanusiaan. Oleh karena itu, pemerintah berkepentingan untuk