BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan
pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah selama ini telah mengeluarkan biaya yang besar, tenaga yang banyak, dan waktu yang
lama untuk meningkatkan mutu pendidikan, baik melalui penataran tenaga kependidikan, pengembangan kurikulum, perbaikan sarana dan prasarana
pendidikan, dan sebagainya, namun demikian, mutu pendidikan masih tetap kita rasakan sebagai tantangan Depdiknas, 2005: 1.
Hal tersebut tercermin antara lain, dari hasil studi International Educational Achievement IKA yang menunjukkan bahwa kemampuan
membaca siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Data juga menunjukkan bahwa, sekolah lanjutan tingkat Pertama
SLTP, studi untuk kemampuan matematika siswa SMP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan ilmu
pengetahuan alam IPA hanya berada pada urutan ke 40 dari 42 negara peserta Depdiknas, 2005: 238. Laporan mengenai hasil survei The Political
and Economics Risk Consultation PERC menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada pada peringkat ke-12 dari 12 negara kawasan
Asia yang disurvei Suderadjat, 2004: 3. Kondisi di atas sejalan dengan yang
1
2
dirasakan masyarakat selama ini dalam menilai kualitas pendidikan dengan indikator hasil Ebtanas Ujian Akhir-Nasional. Laporan Depdikbud
menunjukkan bahwa NEM sekolah menengah pada lima tahun terakhir berfluktuasi, namun berada pada kategori rendah, kecuali bidang studi PKn
dan Bahasa Indonesia Mardapi, 2001: 2. Laporan Bank Dunia dalam Eduction in Indonesia: from Crisis to
Recovery mengidentifikasi kelemahan institusional penyebab potensial terhambatnya kemajuan pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan dasar.
Beberapa kelemahan itu adalah 1 sistem organisasi yang kompleks pada tingkat pendidikan dasar, 2 manajemen yang terlalu sentralistik pada tingkat
SMP, 3 terpecah belah dan kakunya proses pembiayaan pendidikan pada tingkat SMP, dan 4 manajemen yang tidak efektif pada tingkat sekolah.
Jalal dan Supriadi, 2001: 153. Depdiknas 2005: 1-2 menyebutkan bahwa sedikitnya ada tiga faktor
yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional dengan
pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pelaksanaanya lebih difokuskan pada
faktor input masukan dan kurang memperhatikan prosesnya. Padahal proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan. Kedua, penyelenggaraan
pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan kehilangan kemandirian, keluwesan,
motivasi, kreativitasinisiatif untuk mengembangkan dan memajukan
3
lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan. Ketiga, peran serta warga sekolah khususnya guru, masyarakat dan orang tua siswa dalam
penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Tilaar 2008: 21 mengemukakan bahwa krisis pendidikan yang
dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini berkisar pada krisis manajemen, dimana manajemen pendidikan merupakan mobilisasi segala sumber daya pendidikan
untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Perbaikan manajemen pendidikan menurut Sidi 2006: 12, diarahkan untuk lebih memberdayakan sekolah menjadi lebih mandiri, kreatif, kompetitif, dan
bertanggung jawab terhadap stakeholders’ khususnya orang tua dan masyarakat.
Sebagai tindak lanjut dalam memperbaiki kualitas pendidikan, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasioanl UU
Sisdiknas. Dalam UU Sisdiknas Pasal 2 disebutkan bahwa demokrasi penyelenggaraan pendidikan harus mendorong pemberdayaan masyarakat
dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Di dalam ayat 1 disebutkan bahwa masyarakat tersebut dapat
berperan sebagai sumber pelaksana dan pengguna hasil pendidikan. Oleh sebab itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis
masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan
4
evaluasi pendidikan serta manajemen pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan Pasal 55 ayat 1 dan 2.
Suryadi 2003: 3 beranggapan bahwa satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi,
partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Keberhasilan MBS dapat ditentukan dengan meningkatnya partisipasi masyarakat, dengan mengakomodasi
pandangan, aspirasi, dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Pada konsep Manajemen Berbasis Sekolah MBS, sekolah memiliki kewenangan dan keleluasaan yang sangat lebar dalam kaitannya dengan
pengelolaan dana untuk mencapai efektifitas pencapaian tujuan sekolah. Sekolah harus memiliki strategi dalam menggali dana pendidikan. Hal ini
berkaitan dengan bagaimana seorang kepala sekolah melakukan upaya-upaya pengelolaan sumber daya dan sumber dana yang terdapat di dalam lingkungan
sekolah. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat, khususnya yang tergabung dalam
keanggotaan komite sekolah dalam setiap pengambilan kebijakan sekolah. Suyanto 2004 mengemukakan bahwa peran serta masyarakat diharapkan
lebih bernuansa advokasi, mediasi, pemberdaya, dan demokratisasi. Pembentukan komite sekolah pada satuan pendidikan telah diatur
dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044U2002 tanggal 2 April 2002 tentang Pembentukan Dewan Pendidikan DP dan Komite
Sekolah KS. Tujuan pembentukan komite sekolah adalah 1 mewadahi dan
5
menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan, 2 meningkatkan
tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan 3 menciptakan suasana dan kondisi
transparan, akuntabel, demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
Sekolah sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan memiliki berbagai perangkat dan unsur yang saling berkaitan baik secara internal maupun
eksternal. Dalam konteks pendidikan, sekolah memiliki stakeholders yang antara lain murid, guru, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan sebagainya.
Berkaitan dengan optimalisasi, sekolah memerlukan manajemen yang akurat agar menghasilkan produk yang optimal sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan stakeholders. Optimalisasi sumber-sumber daya yang berkenaan dengan
pemberdayaan sekolah merupakan alternatif yang paling tepat untuk mewujudkan suatu sekolah yang mandiri dan memiliki keunggulan tinggi.
Semua komponen yang ada di sekolah perlu diberdayakan dan diberikan otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengembangkan sekolah
yang bermutu. Keberadaan komite sekolah pada setiap satuan pendidikan perlu lebih dioptimalkan dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan
untuk dapat meningkatkan layanan pendidikan yang berkualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Kehadiran komite sekolah dengan fungsi dan perannya
6
diharapkan akan dapat menciptakan pendidikan yang lebih demokratis, partisipatif, dan akuntabel.
Peranan komite sekolah pada beberapa satuan pendidikan belum dapat dilaksanakan dengan baik. Hasil studi Irawan, dkk 2004: 74 tentang studi
kebijakan MBS di DKI Jakarta menggambarkan bahwa keberadaan peran dan fungsi komite sekolah masih menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan
dengan kenyataan di lapangan. Sebagian anggota masyarakat belum pernah mendengar dan mengetahui keberadaan Komite Sekolah, selanjutnya
disebutkan pula banyak keluhan orang tua murid bahwa keberadaan komite sekolah bukan wakil mereka tapi mirip wakil pihak kepala sekolah, sehingga
keberadaannya tidak jauh beda dengan BP3 yang hanya berfungsi menarik dana dari orang tua murid.
Komite sekolah tidak saja bertugas memberikan sumbangan dana kepada sekolah, tetapi juga berperan secara lebih luas untuk ikut serta dalam
penyelenggaraan pendidikan khususnya di sekolah. Bentuk peran sertanya adalah keikutsertaannya dalam merencanakan, menentukan kebijakan,
mengendalikan, mengawasi, dan mengevaluasi apa yang terjadi di sekolah agar sekolah dapat menunjukkan akuntabilitasnya kepada stakeholder dan
akan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan. Komite sekolah dapat membantu sekolah dalam membuat program pembelajaran, menciptakan
budaya belajar, membantu melakukan capacity building bagi terciptanya profesionalisme di sekolah, meskipun demikian komite sekolah tidak boleh
mencampuri urusan teknis manajerial sekolah, sehingga berubah menjadi
7
kepala sekolah tandingan. Komite sekolah harus mampu menjadi mediator dan partner sekolah dalam mencari berbagai dukungan masyarakat untuk
mengembangkan sekolah ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu. Keberadaan komite sekolah pada akhirnya diharapkan akan berdampak
terhadap peningkatan mutu pendidikan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti mengenai unjuk kerja komite sekolah di SMA Negeri 3 Semarang. Unjuk kerja tersebut berkaitan dengan peningkatan mutu
pendidikan, terutama dalam hal penyelenggaraan pendidikan di sekolah,
B. Fokus Penelitian