9 Siswa dalam menyesuaikan diri dengan perasaan takut akan berakibat buruk dan
menghancurkan kemampuan mereka. Sedangkan prajurit yang ketakutan dapat menjadi penyerang yang terbaik, namun pelajar yang ketakutan akan selalu menjadi siswa yang
bodoh.
3. Belajar yang sesungguhnya Real Learning
Kegiatan seperti mencari kosakata, menghafal sebuah puisi, mengoperasikan komputer, dan aktivitas-aktivitas lainnya termasuk dalam kegiatan belajar. Kegiatan
belajar dapat dilakukan di mana saja baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kegiatan belajar tidak selalu berarti senyatanya sungguh-sungguh belajar real learning. Real
Learning atau belajar yang sesungguhnya berhubungan dengan perbedaan antara apakah yang diharapkan dapat diketahui oleh anak dengan apakah yang sebenarnya
mereka ketahui. John Holt 1981;63 mengatakan dalam bukunya How Children Fail: What
seem simple, natural and self evident to us, may not seem to a child. yang kelihatan sederhana, alami dan percaya diri kita, tidak demikian dilihat oleh anak. John Holt
memberi contoh tentang pemahaman angka 10. Orang dewasa telah terbiasa dengan angka 10 sehingga tidak pernah membayangkan perbedaan angka satu dan nol untuk
bilangan sesuatu, apakah lebih besar atau sama. Kita harus akui, kesulitan guru terjadi pada saat pertama mengenalkan angka kepada anak-anak, agar mereka tidak merasa
mendapat teka-teki yang tidak jelas. Dikhawatirkan, pada saat pertama dikenalkan angka 10 anak-anak akan kaget sehingga mereka tidak pernah memahami atau akan
membekukan penalarannya waktu memikirkan hal tersebut. Seorang guru Bahasa Indonesia di SLTP, harus sangat bijak dalam mengajarkan
Countable and Uncountable Nouns. Siswa berpikir bahwa benda yang Countable adalah benda yang dapat diberi bilangan satu, dua dan seterusnya. Dalam otak siswa
tidak pernah atau tidak terbiasa memikirkan perbedaan Countable dan Uncountable Nouns, karena tidak dikenal dalam Bahasa Indonesia.
10
4. Yang Dipikirkan Siswa dalam Mengikuti Pelajaran
Orang dewasa sering tidak mengetahui apakah yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh anak. Jika anak tidak dapat memahami hal yang sangat umum, hal itu
dimungkinkan karena bahasa yang digunakan sulit dipahaminya, atau paling tidak disebabkan adanya kontradiksi antara kebiasaan yang mereka alami dengan yang kita
bicarakan. Kita tidak dapat mengatakan anak itu bodoh bila ia tidak dengan cepat memahami ide kita ketika diminta membagi angka 6 dengan ½. Contoh : siswa yang
memahami definisi pembagian akan menjawab dengan benar yaitu 12. Namun, bagi siswa yang merasa telah ahli dalam perkalian pecahan yang dipelajari beberapa hari
sebelumnya, mereka akan mengartikan pembagian dengan definisi yang berbeda. Kalau membagi 6 kedalam tengahan, berapa besar tiap-tiap tengahan, sehingga mereka
berfikir berapa separuhnya 6, maka jawabannya adalah 3. Di sini guru menemukan kesulitan, karena tidak menjelaskan perbedaan definisi pembagian, sehingga definisi
kedua ini tidak dapat diterapkan pada kasus tersebut. Penjelasan yang keliru oleh guru akan menyebabkan salah pengertian siswa.
Oleh karena itu, sebaiknya menanyakan masuk akal atau tidak atau dapat dipahami atau tidak daripada menanyakan salah atau benar.
5. Penyebab Kegagalan Siswa