oven 60
o
C sampai kadar air 13-15. Selanjutnya, hidrolisat bulu ayam digiling hingga halus.
Untuk limbah udang, bahan tersebut digiling terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan larutan HCl 6. Memberikan perlakuan dengan perbandingan
berat limbah tepung udang dan volume masing-masing 1: 1 100 g limbah tepung udang dalam 100 ml larutan. Mencampur limbah udang dengan larutan tersebut
secara merata, selanjutnya dilakukan pemeraman selama 6 hari. Setelah pemeraman, segera mengeringkan hidrolisat limbah udang dipanas matahari atau
oven 80 – 85
o
C selama 30 menit.
D. Fermentasi Tepung Bulu dan Tepung Limbah Udang
Tepung bulu dan limbah udang yang telah dihidrolisis kemudian difermentasi dengan mikroba proteolitik untuk mendegradasi kandungan keratin
dan khitin dalam kedua bahan tersebut.
E. Evaluasi In Vitro
Teknik in vitro dilakukan dengan simulasi kondisi rumen yang sebenarnya. Teknik ini dilakukan berdasarkan metode Tilley dan Terry 1963.
Teknik ini menggunakan rumen tiruan yang berupa tabung fermentor 100 mL, larutan McDougall sebagai pengganti cairan saliva dan cairan rumen segar sapi
berfistula rumen sebagai inokulum
F. Analisis Data
Data pengamatan hasil uji in vitro dianalisis. Hasil analisis setiap perlakuan dengan menggunakan rumus daya cerna secara in vitro dilakukan
perhitungan untuk mengukur besar daya cerna masing- masing perlakuan.
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koefesien Cerna Bahan Kering KCBK
Kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas dari pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka
semakin tinggi juga peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh pencampuran pakan, cairan
rumen dan inokulasi, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lama waktu inkubasi, ukuran sampel, dan larutan penyangga Selly, 1994. Koefisien
cerna bahan kering berdasarkan hasil analisa in vitro dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Koefisien Cerna Bahan Kering KCBK
Perlakuan Kelompok
Rataan I
II III
A 13,68
20,25 25,12
19,68 B
23,72 25,00
29,97 26,23
C 48,89
54,66 58,80
54,12 D
53,13 53,80
66,63 57,85
E 47,61
54,48 55,43
52,51 F
48,91 52,35
55,71 52,32
G 47,77
51,10 54,63
51,17 H
46,01 51,15
55,60 50,92
Rataan 41,22
45,35 50,24
45,60 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rataan persentase koefisien cerna
bahan kering bulu ayam tertinggi diperoleh pada perlakuan D sebesar 57,85 bulu ayam yang dipresto, dihidrolisis, digiling, dan difermentasi, dan yang
terendah pada perlakuan A sebesar 19,68 tepung bulu ayam tanpa pengolahan, sedangkan rataan koefisien cerna bahan kering limbah udang tertinggi diperoleh
Universitas Sumatera Utara
pada perlakuan E sebesar 52,51 tepung limbah udang tanpa pengolahan, dan terendah pada perlakuan H sebesar 50,92 limbah udang yang dipresto,
dihidrolisis, digiling, dan difermentasi. Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan
terhadap koefisien cerna bahan kering KCBK bahan pakan perlakuan, maka dilakukan analisis keragaman yang dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Sidik ragam Koefisien Cerna Bahan Kering KCBK SK
dB JK
KT F hitung
F5 F1
Kelompok 2
326,29 163,14
40,87 3,74
6,51 Perlakuan
7 4265,23
609,32 152,66
2,77 4,28
Galat 14
55,88 3,99
Total 23
4647,40
Keterangan : KK = 0,55 = berbeda sangat nyata
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang sangat nyata P1 terhadap
koefisien cerna bahan kering KCBK bahan pakan perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan pengaruh teknologi
pengolahan terhadap koefisien cerna bahan kering KCBK bahan pakan perlakuan, maka dilakukan Uji Beda Nyata Jujur BNJ yang dapat dilihat pada
Tabel 5 di bawah ini : Tabel 5. Uji Beda Nyata Jujur BNJ Koefisien Cerna Bahan Kering KCBK
terhadap berbagai teknologi pengolahan pada bulu ayam dan limbah udang.
Perlakuan Rataan
BNJ 5 BNJ 1
A 19,68
a A
B 26,23
b A
C 54,12
c B
D 57,85
d B
E 52,51
c B
F 52,32
c B
Universitas Sumatera Utara
G 51,17
c B
H 50,92
c B
Keterangan : Notasi yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak nyata.
Berdasarkan uji BNJ diketahui bahwa perlakuan A berbeda tidak nyata P0,01 terhadap B, dan berbeda sangat nyata P0,01 terhadap C dan D,
sedangkan perlakuan E berbeda tidak nyata P0,01 terhadap F, G, dan H. Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa rataan nilai KCBK dari bahan pakan A
yang hanya diolah secara mekanik memiliki nilai kecernaan yang sangat rendah yaitu 19,68. Penggunaan teknologi pengolahan perlakuan terhadap bahan pakan
bulu ayam tersebut ternyata dapat meningkatkan secara signifikan nilai KCBKnya. Dapat dilihat pada perlakuan B, terutama pada perlakuan C dan D
yang meningkat hingga mencapai batas normal nilai kecernaan bahan kering yang berkisar antara 50-60 Sutardi, 1979.
Hal ini berarti, teknologi pengolahan perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini ternyata mampu meningkatkan nilai KCBK dari bulu ayam yang
diketahui memiliki kendala utama penggunaan dalam ransum yaitu rendahnya daya cerna protein yang disebabkan karena sebagian besar kandungan protein
kasar berbentuk keratin Indah, 1993. Tillman et al. 1982 juga menjelaskan protein kasar bulu ayam termasuk dalam jenis protein serat, yaitu
keratin yang sulit dicerna baik oleh mikroorganisme rumen maupun oleh enzim- enzim pencernaan pascarumen. Agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan,
bulu ayam harus diberi perlakuan, dengan memecahkan ikatan sulfur dari sistin dalam bulu ayam tersebut Indah, 1993. Dengan teknologi perlakuan tersebut
ternyata mampu memecah ikatan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pada perlakuan E, F, G, dan H dapat dilihat pada Tabel 5, rataan nilai KCBKnya telah berada pada kisaran normal kecernaan bahan kering, hanya saja
mengalami penurunan dan ini berarti bahwa teknologi perlakuan yang digunakan tidak mampu meningkatkan nilai KCBK bahan yang berupa limbah udang
tersebut. Seperti halnya dengan bulu ayam, limbah udang ini pula memiliki keterbatasan dalam penggunaannya, karena mengandung khitin. Oleh karena itu,
kualitasnya dapat diperbaiki dengan melakukan pengolahan secara fisik, biologi, maupun kimia. Tujuan dari pengolahan tersebut adalah untuk meningkatkan nilai
kecernaan dan laju degradasi dalam rumen dan pascarumen, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ternak ruminansia Qisthon dan Adhianto, 2007.
Namun demikian, dari hasil yang diperoleh tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata.
Adanya penurunan nilai KCBK pada perlakuan limbah udang ini diduga dikarenakan kandungan khitin dari bahan tersebut memiliki ketahanan degradasi
yang tinggi. Soebarinoto 1986 menyatakan kandungan zat anti nutrisi yang terdapat pada bahan pakan akan menurunkan kecernaan pakan. Sutardi 1980
juga menjelaskan bahwa kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan
ketahanan degradasi yang berbeda-beda. Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang
digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel
berikut. Tabel 6. Sidik Ragam Ortogonal Kontras KCBK
SK Db
JK KT
Fhitung F0.05
F0.01
Universitas Sumatera Utara
Kelompok 2
326,29 163,15
Perlakuan 1. ABCD vs EFGH
7 1
4265,23 901,60
609,32 901,60
225,96 4,60
8,86 2. A vs BCD
1 1566,18
1566,18 392,53
4,60 8,86
3. B vs CD 1
1770,72 1770,72
443,79 4,60
8,86 4. C vs D
1 20,94
20,94 5,25
4,60 8,86
5. E vs FGH 1
2,42 2,42
0,61
tn
4,60 8,86
6. F vs GH 1
3,28 3,28
0,82
tn
4,60 8,86
7. G vs H 1
0,09 0,09
0,02
tn
4,60 8,86
Galat 14
55,88 3,99
Total 23
Keterangan : = berbeda sangat nyata = berbeda nyata
tn = berbeda tidak nyata
Hasil sidik ragam ortogonal kontras di atas menunjukkan bahwa teknologi
pengolahan yang digunakan mampu memberikan perbedaan yang sangat nyata P1 terhadap nilai KCBK pada perlakuan bulu ayam dengan limbah udang
ABCD vs EFGH. Hal yang sama juga dapat dilihat pada perlakuan antarbulu ayam dimana perlakuan A berbeda sangat nyata P1 terhadap perlakuan B, C,
dan D, dan perlakuan B berbeda sangat nyata P1 terhadap perlakuan C dan D, dan perlakuan C berbeda nyata P5 terhadap perlakuan D. Sebaliknya, teknologi
pengolahan yang digunakan tidak mampu memberikan pengaruh yang nyata P1 terhadap perlakuan antarlimbah udang dalam meningkatkan nilai
KCBKnya. Dari hasil sidik ragam di atas menunjukkan bahwa teknologi perlakuan
yang digunakan lebih berpengaruh terhadap bulu ayam dibanding terhadap limbah udang.
Koefisien Cerna Bahan Organik KCBO
Kecernaan bahan organik, sama halnya dengan kecernaan bahan kering, juga dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai kualitas ransum. Nilai kecernaan
Universitas Sumatera Utara
bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan Sutardi, 1980. Rahmawati 2001 menambahkan bahwa bahan organik menghasilkan energi
untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Rataan nilai kecernaan bahan organik KCBO hasil penelitian dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Koefisien Cerna Bahan Organik KCBO Perlakuan
Kelompok Rataan
I II
III A
13,88 20,22
24,03 19,38
B 22,84
23,56 29,00
25,13 C
49,47 54,53
58,36 54,12
D 53,66
53,73 66,31
57,90 E
24,92 37,45
45,84 36,07
F 28,32
34,45 37,52
33,43 G
23,70 29,32
38,61 30,54
H 23,86
34,17 42,43
33,49 Rataan
30,08 35,93
42,76 36,26
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan nilai KCBO adalah 36,26 dengan rataan terendah pada perlakuan A yaitu 19,38 dan tertinggi pada
perlakuan D yaitu 57,90.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan terhadap nilai KCBO bahan pakan perlakuan, maka dilakukan analisis keragaman
yang dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik KCBO
SK dB
JK KT
F hitung F
0,05
F
0,01
Kelompok 2
644,55 322,28
35,07 3,74
6,51 Perlakuan
7 3733,61
533,37 58,04
2,77 4,28
Galat 14
128,66 9,19
Total 23
4506,82
Keterangan : KK = 1,05 = berbeda sangat nyata
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang sangat nyata P1 terhadap
koefisien cerna bahan organik KCBO bahan pakan perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan pengaruh teknologi
pengolahan terhadap nilai KCBO bahan pakan perlakuan, maka dilakukan Uji Beda Nyata Jujur BNJ yang dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini :
Tabel 9. Uji Beda Nyata Jujur BNJ Koefisien Cerna Bahan Organik KCBO Peralakuan
Rataan BNJ 5
BNJ 1 A
19,38 a
A B
25,13 a
A C
54,12 c
D D
57,90 c
D E
36,07 b
C F
33,43 b
B G
30,54 b
B H
33.49 b
B
Keterangan : Notasi yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak nyata.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uji BNJ di atas diketahui bahwa perlakuan A dan B berbeda sangat nyata P0,01 terhadap perlakuan C dan D, begitu juga perlakuan E
berbeda sangat nyata P0,01 terhadap F, G, dan H. Dari data di atas diketahui bahwa hasil yang diperoleh hampir sama
dengan hasil pada KCBK di mana pada perlakuan bulu ayam perlakuan A, B, C, dan D, nilai rataan KCBOnya mengalami peningkatan yang signifikan,
sedangkan pada perlakuan limbah udang perlakuan E, F, G, dan H mengalami penurunan nilai, akan tetapi kembali meningkat pada perlakuan H meskipun
masih lebih rendah dari perlakuan awalnya yaitu perlakuan E. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutardi 1980 bahwa nilai KCBK akan sesuai nilai KCBO
karena sebagian bahan kering ransum terdiri dari bahan organik. Seperti halnya pada KCBK, terjadinya penurunan nilai KCBO pada
perlakuan limbah udang ini pula diduga karena tingginya kandungan zat anti nutrisi di dalamnya sehingga mengakibatkan penurunan nilai kecernaan bahan
pakan tersebut dan teknologi pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini belum mampu mendegradasi zat tersebut untuk meningkatkan nilai kecernaan
bahan organiknya. Adanya perbedaan tingkat degradasi antarperlakuan terutama pada bahan
pakan bulu ayam dan limbah udang ini, di mana pada perlakuan bulu ayam terjadi peningkatan baik pada nilai KCBK maupun KCBOnya, sedangkan pada perlakuan
limbah udang mengalami penurunan, Sutardi 1979 menjelaskan dalam literaturnya bahwa perbedaan ini terjadi karena setiap sumber protein mempunyai
kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda, sehingga mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
perombakan sumber protein dalam rumen mengakibatkan perbedaan kecernaan dalam rumen dan organ pascarumen.
Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan
perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 10. Sidik Ragam Ortogonal Kontras KCBO SK
Db JK
KT Fhitung F0.05
F0.01 Kelompok
2 644.55
322.28 Perlakuan
7 3726.83
532.40 1. ABCD vs EFGH
1 197.28
197.28 21.47
4.6 8.86
2. A vs BCD 1
1558.67 1558.67
169.61 4.6
8.86 3. B vs CD
4. C vs D 1
1 1902.83
22.16 1902.83
22.16 207.06
2.41
tn
4.6 4.6
8.86 8.86
5. E vs FGH 1
28.89 28.89
3.14
tn
4.6 8.86
6. F vs GH 1
4.00 4.00
0.44
tn
4.6 8.86
7. G vs H 1
12.99 12.99
1.41
tn
4.6 8.86
Galat 14
128.66 9.19
Total 23
Keterangan : = berbeda sangat nyata tn = berbeda tidak nyata
Hasil sidik ragam ortogonal kontras di atas menunjukkan bahwa teknologi
pengolahan yang digunakan mampu memberikan perbedaan yang sangat nyata P1 terhadap nilai KCBO pada perlakuan bulu ayam dengan limbah udang
ABCD vs EFGH. Hal yang sama juga dapat dilihat pada perlakuan antarbulu ayam dimana perlakuan A berbeda sangat nyata P1 terhadap perlakuan B, C,
dan D, dan perlakuan B berbeda sangat nyata P1 terhadap perlakuan C dan D, akan tetapi perlakuan C tidak mampu memberikan perbedaan yang nyata P1
terhadap perlakuan D, begitu juga pada perlakuan antarlimbah udang, teknologi pengolahan yang digunakan tidak mampu memberikan pengaruh yang nyata
P1 terhadap perlakuan dalam meningkatkan nilai KCBOnya.
Universitas Sumatera Utara
Dari sidik ragam di atas menunjukkan bahwa teknologi pengolahan perlakuan yang digunakan lebih berpengaruh terhadap bulu ayam dibanding
terhadap limbah udang.
Kadar Nitrogen Amonia N-NH
3
Produksi amonia dipengaruhi oleh pH rumen, kelarutan bahan makanan Sutardi, 1980, jumlah protein ransum dan lamanya bahan makanan dalam rumen
Ranjhan, 1977. Untuk melihat rataan konsentrasi amonia, dapat dilihat pada Tabel.11.
Tabel 11. Rataan Konsentrasi N-NH
3
Perlakuan Kelompok
Rataan mM I
II III
A 6,72
5,34 28,94
13,67 B
6,41 14,83
15,90 12,38
C 13,40
15,43 25,18
18,00 D
8,18 24,04
27,16 19,79
E 5,74
8,93 10,05
8,24 F
16,16 17,64
20,60 18,13
G 8,96
12,83 18,58
13,46 H
9,59 16,18
13,87 13,21
Total 75,16
115,22 160,28
116,89 Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan konsentrasi amonia adalah
116,89 mM dengan rataan terendah pada perlakuan E yaitu 8,24 mM dan tertinggi pada perlakuan D yaitu 19,79 mM.
Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan terhadap konsentrasi amonia bahan pakan perlakuan, maka dilakukan sidik ragam
yang dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 12. Sidik Ragam Konsentrasi N-NH
3
SK dB
JK KT
F hitung F
0,05
F
0,01
Kelompok 2
453,36 226,68
9,69 3,74
6,51 Perlakuan
7 301,55
43,08 1,84
tn
2,77 4,28
Galat 14
327,47 23,39
Total 23
1082,38
Keterangan : KK = 4,14 tn = berbeda tidak nyata
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata P1
terhadap konsentrasi amonia bahan pakan perlakuan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa rataan konsentrasi amonia yang
dihasilkan dari semua perlakuan berkisar antara 8,24-19,79 mM. Nilai tersebut masih optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen. McDonald et al. 2002
menyatakan bahwa konsentrasi NH
3
yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM.
Pada perlakuan dengan bahan pakan bulu ayam, rataan konsentrasi amonianya mengalami sedikit penurunan pada perlakuan B, akan tetapi kembali
meningkat secara signifikan pada perlakuan C dan D. Hal ini berarti, teknologi pengolahan yang digunakan pada perlakuan C dan D telah mampu menjadikan
bahan pakan tersebut, terutama proteinnya mudah didegradasi oleh mikroba rumen. McDonald et al. 2002 menjelaskan bahwa konsentrasi NH
3
yang tinggi dapat menunjukkan proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses
pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen.
Sebaliknya, pada perlakuan dengan bahan pakan limbah udang, konsentrasi amonia pada perlakuan E merupakan yang paling rendah yaitu 8,24.
Universitas Sumatera Utara
Rendahnya nilai ini dipengaruhi oleh masih tingginya kandungan protein fibrous pada perlakuan tersebut karena teknologi pengolahannya masih sederhana. Satter
dan Slyter 1974 menyatakan jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi N-NH
3
rumen akan rendah dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat. Pada perlakuan F mengalami
kenaikan konsentrasi amonia yang signifikan, dimana teknologi pengolahan yang digunakan sama dengan perlakuan B kimiawi dan mekanik yang justru
menurunkan konsentrasi amonianya. Hal ini berarti teknologi pengolahan yang digunakan pada kedua perlakuan tersebut lebih mampu bekerja pada limbah
udang dibanding pada bulu ayam. Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang
digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel
berikut. Tabel 13. Sidik Ragam Ortogonal Kontras Konsentrasi N-NH
3
SK dB
JK KT
Fhitung F0.05
F0.01 Kelompok
2 453.36
226.68 Perlakuan
7 301.55
43.08 1. ABCD vs EFGH
1 43.74
43.74 1.8700
tn
4.60 8.86
2. A vs BCD 1
21.05 21.05
0.9000
tn
4.60 8.86
3. B vs CD 1
84.98 84.98
3.6329
tn
4.60 8.86
4. C vs D 1
4.81 4.81
0.2055
tn
4.60 8.86
5. E vs FGH 1
100.84 100.84
4.3109
tn
4.60 8.86
6. F vs GH 1
46.05 46.05
1.9686
tn
4.60 8.86
7. G vs H 1
0.09 0.09
0.0038
tn
4.60 8.86
Galat 14
327.47 23.39
Total 23
Keterangan : tn = berbeda tidak nyata
Dari tabel sidik ragam ortogonal kontras di atas, dapat dilihat bahwa
teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak nyata P1
Universitas Sumatera Utara
terhadap nilai konsentrasi amonia antarperlakuan. Hal ini berarti kemampuan teknologi pengolahan yang digunakan tersebut dalam meningkatkan konsentrasi
amonia, tidak memberi perbedaan yang nyata pada semua perlakuan.
Kadar Volatile Fatty Acid VFA
Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta
pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak Sakinah, 2005. Rataan nilai konsentrasi VFA hasil penelitian dapat dilihat dalam
tabel berikut. Tabel 14. Rataan Konsentrasi VFA
Perlakuan Kelompok
Rataan mM I
II III
A 83,93
99,09 167,90
116,97 B
147,35 179,37
156,73 161,15
C 149,39
142,15 171,32
154,29 D
165,68 163,20
181,00 169,96
E 146,91
96,69 135,61
126,40 F
146,08 144,95
147,71 146,25
G 156,37
119,53 143,05
139,65 H
150,46 153,09
108,14 137,23
Rataan 143,27
137,26 151,43
143,99 Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan konsentrasi amonia adalah
143,99 mM dengan rataan terendah pada perlakuan A yaitu 116,97 mM dan tertinggi pada perlakuan D yaitu 169,96 mM.
Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan terhadap konsentrasi VFA bahan pakan perlakuan, maka dilakukan analisis
keragaman yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 15. Sidik Ragam Konsentrasi VFA SK
dB JK
KT F hitung
F5 F1
Kelompok 2
809.74 404.87
0.73 3.74
6.51 Perlakuan
7 6551.23
935.89 1.69
tn
2.77 4.28
Galat 14
7745.47 553.25
Total 23
15106.44
Keterangan : KK = 2,04 tn = berbeda tidak nyata
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata P1
terhadap konsentrasi VFA bahan pakan perlakuan. Dari hasil penelitian didapat bahwa rataan konsentrasi VFA yang
dihasilkan dari semua perlakuan berkisar antara 116,97-169,96 mM. Hasil ini dapat dikatakan tinggi dan masih dalam kisaran normal yang mendukung
pertumbuhan mikroba. Sutardi 1980 menyatakan kisaran produk VFA cairan rumen normal yang mendukung pertumbuhan mikroba adalah 80 sampai 160 mM,
sedangkan konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh ternak sapi rata-rata 111 mM Hungate, 1966.
Apabila konsentrasi VFA yang dihasilkan tinggi, akan mengindikasikan bahwa energi yang tersedia bagi mikroba rumen juga semakin tinggi, sehingga
aktivitas fermentasi mikroba rumen juga meningkat. Mc Donald et al., 2002 menjelaskan konsentrasi VFA sangat dipengaruhi oleh jenis pakan, VFA yang
tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut dari pakan.
Universitas Sumatera Utara
Pada perlakuan menggunakan bahan bulu ayam, konsentrasi VFA meningkat pada perlakuan B, sedikit menurun pada perlakuan C, dan kembali
meningkat pada perlakuan D hingga melebihi batas normal tertinggi yang mencapai 169,96 mM. Dari hasil ini, dapat diketahui bahwa penggunaan
teknologi pengolahan ternyata dapat memberi pengaruh positif terhadap peningkatan konsentrasi VFA meskipun hasilnya tidak menunjukkan pengaruh
yang nyata pada sidik ragam. Hal ini berarti penggunaan teknologi pengolahan bahan pakan mampu mendegradasi komponen dalam bulu ayam tersebut sehingga
mudah difermentasi oleh mikroba rumen. Hartati 1998 menyatakan peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh
mikroba rumen. Begitu juga halnya pada perlakuan menggunakan bahan limbah udang.
Meskipun peningkatannya tidak menunjukkan hasil yang nyata pada sidik ragam namun tetap berpengaruh pada peningkatan yang diakibatkan oleh teknologi
pengolahan yang digunakan tersebut. Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang
digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel
berikut. Tabel 16. Sidik Ragam Ortogonal Kontras Konsentrasi VFA
SK Db
JK KT
Fhitung F0.05
F0.01 Klpk
2 809.74
404.87 Perlk
7 6551.23
935.89 1. ABCD vs EFGH
1 1047.02
1047.02 1.8925
tn
4.60 8.86
2. A vs BCD 1
4520.99 4520.99
8.1717 4.60
8.86 3. B vs CD
1 1.89
1.89 0.0034
tn
4.60 8.86
4. C vs D 1
368.48 368.48
0.6660
tn
4.60 8.86
Universitas Sumatera Utara
5. E vs FGH 1
482.17 482.17
0.8715
tn
4.60 8.86
6. F vs GH 1
121.89 121.89
0.2203
tn
4.60 8.86
7. G vs H 1
8.78 8.78
0.0159
tn
4.60 8.86
Galat 14
7745.47 553.25
Total 23
Keterangan : = berbeda nyata tn = berbeda tidak nyata
Dari tabel sidik ragam ortogonal kontras di atas, dapat dilihat bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak nyata P1
terhadap nilai konsentrasi VFA antara perlakuan bulu ayam dengan limbah udang ABCD vs EFGH. Hal ini berarti kemampuan teknologi pengolahan yang
digunakan tersebut dalam meningkatkan konsentrasi VFA, tidak memberi perbedaan yang nyata di antara kedua perlakuan tersebut. Begitu juga dengan
perlakuan lainnya kecuali pada perlakuan antarbulu ayam yang menunjukkan hasil yang nyata P5 pada perlakuan A terhadap perlakuan B, C, dan D. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pengolahan pada perlakuan B, C, dan D, secara signifikan mampu meningkatkan konsentrasi VFA bahan tersebut
sehingga dibandingkan dengan perlakuan A, ketiga perlakuan tersebut dengan teknologi pengolahan pada masing-masingnya mampu merubah komponen dalam
bulu ayam tersebut menjadi mudah difermentasi oleh mikroba rumen.
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan teknologi pengolahan bahan pakan terhadap bulu ayam dalam penelitian ini mampu meningkatkan nilai KCBK dan KCBO secara signifikan,
sedangkan terhadap limbah udang, teknologi pengolahan yang sama tidak mampu meningkatkan nilai KCBK dan KCBOnya.
Terhadap konsentrasi NH
3
, teknologi pengolahan yang digunakan terhadap bulu ayam juga mampu meningkatkan konsentrasinya meskipun sedikit menurun
pada perlakuan B pengolahan secara kimiawi dengan hidrolisis HCl 12 namun mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada perlakuan C pengolahan
secara mekanik presto + kimiawi dengan HCl 12 dan perlakuan D perlakuan C yang difermentasi dengan Penicillium sp. Sedangkan terhadap limbah udang,
hasilnya berbanding terbalik dengan bulu ayam dimana peningkatan yang sangat signifikan justru terjadi pada perlakuan F pengolahan secara kimiawi dengan
hidrolisis HCl 6, dan pada perlakuan G dan F juga mengalami peningkatan hanya saja tidak sebesar pada perlakuan F.
Terhadap konsentrasi VFA, teknologi pengolahan yang digunakan terhadap bulu ayam juga mampu meningkatkan konsentrasinya secara signifikan
terutama pada perlakuan D yang peningkatannya paling tinggi. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
terhadap limbah udang, peningkatan juga terjadi namun tidak signifikan, dan peningkatan tertinggi diperoleh pada perlakuan F.
Saran
Disarankan penggunaan teknologi pengolahan sebaiknya dilakukan secara kombinasi untuk lebih meningkatkan daya degradasi nutrisi bahan pakan yang
tidak mampu dicerna oleh mikroba rumen sehingga pemanfaatan nutrisi bahan pakan terutama bulu ayam lebih optimal, sedangkan terhadap limbah udang,
teknologi pengolahan yang dilakukan sebaiknya secara kimiawi dengan HCl 6. Untuk mengetahui penggunaan bulu ayam dan limbah udang yang telah
diolah dengan beberapa teknologi pengolahan secara maksimal sebaiknya dilakukan uji kecernaan secara in vivo sehingga dapat diketahui sejauh mana
pengaruhnya terhadap peningkatan tubuh ternak.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Adiati, U. dan W. Puastuti. 2004. Bulu Unggas untuk Pakan Ternak Ruminansia. Balai Peternakan. Ciawi, Bogor.
Adiati, U., W. Puastuti dan I-W. Mathius. 2002. Peluang Pemanfaatan Tepung Bulu Ayam sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Balai Penelitian
Ternak, Bogor.
Afdal, M. dan Edi E. 2007. Penggunaan Feses sebagai Pengganti Cairan Rumen pada Teknik In Vitro : Estimasi Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik Beberapa Jenis Rumput. Artikel ilmiah, Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi.
Agrotek. 2004. Pakan ternak bergizi tinggi dari limbah sawit. Artikel. Http:www.indomedia.com
. Diakses pada 12 Mei 2009. Aurora, S. P. 1995. Pencernaan Mikrobiologi pada Ruminansia. UGM Press,
Yogyakarta. Barry, Thomson, and Amstrong. 1977. Peran Mikroba Rumen pada Ternak
Ruminansia. Http:Jajo66.wordpress.com
. Diakses tanggal 12 Mei 2009. Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan
from Prower Shells. The Qween’s of Belfast. England. Batubara,Z. 2000. Limbah Udang sebagai Sumber Protein Pintas Rumen. Tesis
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Blakely, J. and Bade. 1982. Journal of Ruminan. London.
Cunningham, K.D.; M.J. Cecava; and T.R. Johnson. 1994. Flows of nitrogen and amino acids in dairy cows fed diets containing supplemental feather meal
and blood meal. J. Dairy Sc. 77 : 3666-3675
Garg, M.R. 1998. Role of bypass protein in feeding ruminants on crop residue based diet . Review. Asian Aust. J. Anim. Sci . 112 : 107-116.
Hanafiah, K. A. 2002. Rancangan Percobaan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hardjo, SS., N. S. Indrasti, B. Tajuddin. 1989. Biokonveksi : Pemanfaatan
Limbah Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Universitas Sumatera Utara
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Haurowitz, F. 1984. Biochemistry An Introduction Text Book. 6
th
Edition. W. B. Ders Company. Philadelpia and London.
Hirano, S. 1986. Chitin and Chitosan. Ulmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. Republicka of Germany. 5
th
. ed. A 6: 231 – 232. Indah, S. 1993 . Pengaruh lama pengolahan dan tingkat pemberian tepung bulu
terhadap performans ayam jantan broiler. Skripsi . Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Jetana, T., N. Abdullah, R. A . Halim, S . Jalaludin and Y.W. Ho. 1998. Effects of protein and carbohydrate supplementation on fibre digestion and microbial
population of sheep . Asian-Aust. J. Anim. Sci . 115 : 510-521.
Kanjanapruthipong, J., N. Buatong and S . Buaphan. 2001 . Effects of roughage neutral detergent fiber on dairy performance under tropical conditions .
Asian- Aust . J. Anim. Sci . 1410 : 1400-1404.
Ketaren, N. J. 2008. Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam sebagai Sumber Protein Ayam Pedaging dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tesis Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Klemesrud, M.J., T.J. Klopfenstein, and A.J. Lewis. 1998. Complementary responses between feather meal and poultry by-product meal with or
without ruminally protected methionine and lysin in growing calves. J. Anim. Sci. 76: 1970.
Ledyastuti, M. 2007. Sintesis dan Karakterisasi Membran Berbasis Kitosan dalam Aplikasi Fuel Cell. Tesis Program Studi Kimia ITB, Bandung.
Muhtarudin, T. Kurtini, dan D. Septinova. 2008. Pemanfaatan Limbah Udang Terolah dalam Ransum terhadap Performans Broiler. Seminar Nasional
Sains dan Teknologi-II. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Muhtarudin. 2002. Pengaruh Amoniasi, Hidrolisat Bulu Ayam, Daun Singkong, dan Campuran Lisin-Zn-Minyak Lemuru terhadap Penggunaan Pakan
pada Ruminansia. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Mulyono. 2001. Kamus Kimia Untuk Siswa dan Mahasiswa Sains dan Teknologi. PT. Genesindo. Bandung.
Nawani, N.N. and B.P. Kapadnia. 2001. One-Step Purification of Chitinase from
Serratia marcescens NK1, A Soil Isolate. Journal of Applied Microbiology. 90: 803 -808.
Universitas Sumatera Utara
Offer, Y. and Robert. 1996. Peran Mikroba Rumen pada Ternak Ruminansia. Http:Jajo66.wordpress.com
. Diakses tanggal 12 Mei 2009. Papadopoulos, M. C., A .R . EL Boushy and E. H .Ketelaars. 1985. Effect of
different processing condition on amino acid digestibility of feather Meal Determined by Chicken Assay. Poultry Sci . 64 : 1729-1741.
Prasetyo, K. W. 2004. Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang sebagai Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan. Jurnal
Preston, dan Leng. 1987. Peran Mikroba Rumen pada Ternak Ruminansia. Http:Jajo66.wordpress.com
. Diakses tanggal 12 Mei 2009. Qisthon, A. dan K. Adhianto. 2007. Optimalisasi Bioproses Rumen dan
Pascarumen melalui Suplementasi Asam Amino Pembatas dengan Menggunakan Hidrolisat Limbah Udang untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Kambing Peranakan Ettawa Jantan. Loporan Penelitian Dosen Muda Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Rasyaf, M. 1994. Makanan Ayam Broiler. Kanisius, Jakarta. Saono, S. 1976. Koleksi Jasad Renik Suatu Prasarana yang Diperlukan Bagi
Pengembangan Mikrobiologi. Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 224: 1-11.
Sauvant, Dijkstra, and Martens. 1995. Peran Mikroba Rumen pada Ternak Ruminansia.
Http:Jajo66.wordpress.com . Diakses tanggal 12 Mei 2009.
Schumm, D.E. 1992. Intisari Biokimia. Diterjemahkan oleh Moch. Sadikin. 1993. Binarupa Aksara. Jakarta.
Scott, M. L., Nesheim, M. L., and Young, R. J. 1982. Nitrition 3
th
Edtion. Scott, M. L. and Associates Publisher. Itacha. New York.
Tillman, A. D., S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1982. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas
Petemakan UGM. Yogyakarta.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadimodjo dan S. Prawiryokusumo., 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Titgemeyer. 2002. Effect Hydrogen Feroxida in Feather Meal. On-line. http:www.google.com
. Diakses pada 15 April 2009. Tokura, S. and N. Nishi. 1995. Specification and Characterization of Chitin and
Chitosan. Collection of Working Papers. 28. Univesiti Kebangsaan Malaysia 8 : 67 – 78.
Universitas Sumatera Utara
Wanasuria, S. 1990. Tepung Kepala Udang dalam Pakan Broiler. Poultry Indonesia.
Widjaya, S. 1993. Tepung Limbah Udang dan Tepung Ikan. Poultry Poduction. Indonesia.
Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
Winugroho, M. 1999 . Nuritive values of major feed ingredient in tropics: A Review . Asian-Aust. J Anim. Sci. 12 3 : 493-502.
Universitas Sumatera Utara