Skrining Klon Terhadap Penyakit Layu Bakteri dan Busuk Lunak In Vitro dan Manipulasi Media Kultur Sumber Protoplas pada Tanaman Kentang

Latar BeIakang
Kentang

merupakan

tanaman

yang

mendapat

prioritas

&lam

pengembangannya karena merupakan tanaman pangan dunia setelah padi, gandum

dan jagung. Selain itu kentang juga merupakan tanaman sayuran yang populer di
Indonesia. Beberapa alasan pengembangan tanaman kentang adalah (1 ) mernpunyai
m a yang enak serta nutrisi yang berimbang antara protein, lemak, karbohidrat,
vitamin dan asam amino esensial yang baik; (2) dapat dipakai sebagai komoditi yang

ideal untuk diversifikasi pangan yang ideal (Wattimena, 1994); (3) sangat
menbwtungkan petani karena harganya cukup tingg, umbi relatif tidak mudah nrsak
dan fluktuasi harga d i p x u rendah (Watbmena, 1993); (4) sebagai bahan baku
penting pada industn french fries, chip dan berbagai makanan ringan lainnya.
Pengembangan tanaman kentang di daerah tropis ~ m a s u kIndonesia pada
umumnya dibatasi oleh sejumiah kendda seperti ketersediaan bibit bermutu,
keterbatasm lokasi tanam, serta kerusakm oleh hama dan penyakit. Produksi bibit
berrnutu di daerah tropis sulit dilakukan karena tidak adanya m u s h dm daerah yang
bebas penyakit atau vektor dari penyakit, sehingga bibit bennutu selalu diimpor dari
negara Iain dengan harga yang mahal, apalagi dengan perbanhngan nilai tukar rupiah
pa& saat ini.
Di daerah tropis, kentang hanya dapat ditanam di dataran tinggi yang suhunya
cukup rendah. Penanaman kentang di dataran rendah akan menyebabkan produksi
menwun, karena suhu yang tinggi menyebabkan semakin berkurang asirnilat yang
&simpan dalam umbi dan serangan penyakit yang lebih banyak. Tercatat sehtar 266
hama dan penyakit yang menyerang tanaman kentang yang terdiri dari 23 v i m , 38
cendawan, 6 bakteri, 2 mikoplasma, 1 vitoid, 68 nematoda dm 128 insekta
(Mendom, 1987).
Beberapa penyakit utama kentang yang sampai saat ini sukar dikendalikan
adalah penyakit degenerasi virus, hawar daun (Phytophfhoru infilstuns), layu bakteri

(Ralstonia solanaceam) clan busuk lunak (Eminia curotovora pv curotovora).
Penyakit layu bakteri dan busuk lunak dapat menmmkan produksi kentang sampai
80% (Wattimena, 1994).

Menurut Machmud ( 1 990), S a r a umum penyakit dabat serangan bakteri
lebih sukar dikendalikan dibanding penyakit lain. Tindakan tepat pengenchlian kimia

secara praktis dan efektif tidak ada (Martin & fiench, 1 997). Salah satu metode untuk
mengendaiikan penyakit tersebut adalah dengan menggunakan kultivar yang tahan
(French, 1994). Pengendalian dengan menanam varietas yang tahan merupakan m a
yang efektif, efisien dan aman bagi lingkungan.

Beberapa sifat ketahanan peny akit sebenamya telah terdapat pada beberapa

species liar Solanurn secara terpisah. Menurut Hawkes ( 1994) species-speciesthan
tersebut antara lain S. phureju, S. microdonturn, S. verney, S.

chucoense, S,

berthuoultii, S. verrucusum, yang khan terhadap bakteri hawar dam, S chacoease,


S. phureja, S microdonturn, tahan terhadap layu bakteri dm S. bulhocustcmum, S.
chacoenre, S phureja, S. microdonturn, S. pinnurisectum tahan terhadap busuk lunak

(sop rot) serta beberapa species lain yang tahan PVX, PVY, PLRV, nematoda dan
secangga. Untuk itu perlu dilakukan pengujian dari klon-klon yang diduga membawa

sifat ketahanan tersebut, sehingga dapat digunakan dalam pemuliaan tanaman
selanjutnya untuk mendapatkan klon baru yang juga membawa sifat ketaharm

tersebut dan berdaya hail tinggi serta kualitas yang baik.

Pengujian ketahanan tanaman melalui inokulasi alarni di lapangan telah

banyak dilakukan, namun metode ini sering mengalami diseuse escup. Disamping
itu lahan yang digunakan untuk pengujian tersebut &pat menjadi sumber penyalut

banr tenrtama untuk patogen-patogen yang bersifat tular tanah seperh R.
solanucear~imdm E. curomvora. Metode lain yang &pat ditempuh dan relatif lebih


aman adalah tehnik seleksi in vitro. Tehnik ini lebih efisien dan efektif karena &pat

mengurangt terjadinya escape, has11 seleksi dapat diulang d i m a h kaca, patogen
yang digunakan tetap terbatas di laboratorium dm umumnya rnemberikan hasil yang

relatif tidak berbeda dengan inokdasi di Iapang (Samanhudi, 200 1 ).
Untuk merakit suatu kultivar budidaya baru yang tahan terhadap serangan
penyakit, krproduksi tinggi dan memenuhi standar mutu umbi yang dibutuhkan
konsumen perlu dilakukan program pemuliaan tanaman. Program pemuliaan tanaman

dapat dilakukan melalui persilangan dengan spesies liar yang tahan rnaupun
penggunaan metode rekayasa genetik, mutasi buatan atau hibridisasi somatik .

Pemuliaan secara konvensional untuk mendapatkan kultivar kentang yang
tahan terhadap E. c pv curotovora rnaupun R solanacearum mempunyai beberapa
kendala. Kendala ini disebabkan pemuliaan tanaman kentang pada level tetraploid
merupakan pekejam yang sulit dan lama, krutama kmkternya yang dtturunkan
secara tetrasomik, heterosigositasnya tinggi, adanya self incompatibility dan mandul

jantan pada kberapa Mtivar (Wenzel, 1994). SeIain itu sifat ketahanan tersebut


seringkali terdapat pa& species liar yang mempunyai nilai EBN (Endosperm Balance
Number) krbeda (Purwito, 1999). Species liar yang mempunyai ketahanan texhadap
penyakit l a y bakteri dan busuk lunak seperh S. chacoense dan S. microdonturn

mempunyai nilai EBN 1, sehingga tidak bisa hsilangkan dengan kentang dhaploid
yang mempunyai nilai EBN 2 seperh BF 15 , Nicola, Cardid dan beberapa species

budidaya lainnya
Untuk mengatasi kendala tersebut maka penggunaan metode hibridisasi
somatik dengan h i protoplas merupakan suatu alternatif y ang &pat dilakukan. Fusi

protoplas mempunyai kemampuan yang tinggi untuk merakit kultivar-kdtivar banr
karena dapat mengatasi ketidakmampuan dan hibridisasi seksual maupun

transforrnasi genetik tanaman (Purwito, 1999). Selain dapat mentransfer gen-gen
yang belurn teriderrhfikasi, metode hibridisasi somatik juga dapat dgunakan untuk

memodifikasi dan rnemperbaiki sifat-sifat yang ditunlnkan secara poligenik (Milarn
st


al., 1995). Tujuan utama fusi protoplas pada kentang (S. ruberosum) d a h untuk

(I) mengintrogresi sifat-sifat ketahanan dan species atau genus Solarium lain dm (2)
meresintesis tingkat tetraploid untuk memaksimalkan heterosigositas (PuMrito, 1999).

Hal penting yang hams dipersiapkan untuk melakukan hi protoplas adalah
mempersiapkan s u m h eksplan yang mampu mem produksi protoplas &lam j wnlah

banyak, viabel dan &pat beregenerasi. Untuk itu perlu diketahui cara mernpersiapkan

donor eksplan yang baik yang d a p t menghasilkan protopias dalam jumlah banyak.
Selain itu juga hams diketahui tehnik isolasi yang tepat serta media kultur yang

sesuai untuk menumbuhkan dan meregenerasikan protoplas menjadi tanaman.

Seringkali pekerjaan dan media yang saw k&ka dilakukan pada labratorim atau
waktu yang berbeda memberikan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan lingkungan

dan perahtan yang digunakan sangat mempengaruhi keberhasif an isolasi, kultur dan

regenerasi protoplas tanarnan.
Tujuan Penelitiao

Penelitian ini bertujuan untuk :
( 1 ) Menguji tingkat ketahanan beberapa species kentang terhadap penyakit layu

W e r i dan busuk lunak secara in vitrcl
(2) Mencari media tumbuh in vipo tanaman kentang yang baik sebagai material
sumber protoplas
(3) Mencari

media ymg &pat meregenerasikan mesofil daun clan internode tanaman

kentang yang merupakan organ penghasil protoplas.
(4) Mendapatkan metode isolasi dan kultur protoplas beberap klon kentang

Kegunaan Penelitiao
Beberapa kegunaan dm penelitian ini adalah d l d a p a h y a beberapa
infomasi awal yang menunjang suatu penelitian yang terintegrasi h i a m perakitan


kultivar lmggul tanaman kentang yang rnempunyai ketahanm terhadap p y a k i t iayu
bakteri dan bus& lunak, khususnya dengan metode hibridisasi somatik. Beberapa

species kentang liar yang diketahui membawa sifat ketafianan terhadap Id
solunaceurecm dan E. c. pv carotovoru &pat digmakan sebagai material &am

pemuiiaan tanaman kentang baik yang berbasis konvensional maupun non
konvensional. Selain itu, beberapa informasi tentang penyiapan tanaman sumber

protoplas dan prduksi protoplas dm beberapa klon, metode isolasi dan kultur
protoplas yang telah dilakukan dapat menunjang pengembangan penelitian-penelitian

yang berbasis protoplas.

1. Selebi Ketahannn Terhadap Penyakit Layu Bakteri
dan Busuk Lueak
a) Inokulasi dengan R solanaceumm

b) Znokulasi dengan E. c.pv carotovora


Tahan

Agak Tahan

Agak Rentan

lnokulum
1.2 x 1 0~sellrn1

Rentan

I Pere. TI. Optirnasi Media Kultur In Yino

I

M1 = MS + Vit Morel + 30 gll gda pasir + 7 g/l Agar
M2 = MS + 2x Vit Morel + 30 g/l Sukrosa + 7 g/l Agar
M3 = MS + 2x Makro + Vit Morel + 30 gll gula pasir + 7 gll Agar
, M4 = MS + 2x Makro + Vit Morel + 30 gdl Sukrosa + 7 gr/l Agar ,


Percobaan 3. Studi Regenerasi Eksplsn Dauo dan Internode
Moo : Atlantic, BF 15, Aminca, Nicola, Cardinal dan S.
phureja, S. chacoense
+ Jenk dan Konsentrasi ZPT : IAA, NAA, BAP 2 ip, Zeatin

Percobaan IV. Isolasi dam Kultur Protoplas
I (Atlantic,
1
BF 15, Nicola, Aminca, Cardinal, S. phureja,

S. chacoense)

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

Daftar Pustaka
French, E. R. 1994. Strateges for integrated control of bacterial disease. Pp 249-446.
In: A. C. Hayward and G. L. Harbnan (eds). 1994. Bacterial Wilt: The disease
and its causative agent, P.solanaceanrm. CAB, International, WalIingford.

Hawkes, J.G. 1994. Origin of cultivated potato and species relationships, In: J.E.

Bradshaw and G.R.Mackay Vds). Potato Genetic. Pp. 342. CAB International.

Mahmud, 1990. Penyalut bakteri tanaman pangan dan hortiMtura d~ Indonesia
dalam perlindungan tanaman (Eds) Prawiro Soernardjo, S.D. Sudarrnadji,
Harsono d m I.S. Basuki. PT. Agricon. Hal 233-25 1.
Martin, C. and E. R. French. 1997. Bacterial wilt of potato. Bacterial wilt. A
Training Manual. International Potato Center (CIP), Lima, Peru.
Mendoza, H.A. 1987. Advance in population breeding and its potential impact on the
efficiency of breeding potatoes for developing countries. P. 234-246. In G.J .
Jeeiisand D.E. richardson (Eds): The Production of New Potato Varieties
Technology Advance. Cambridge Univ. Press. Cambridge.

Millam, S., L.A. Payne and G.R.Mackay. 1995. The integration of protoplast fusion
derived material a potato breehng programme: a review of progress and
problems. Euphytica 85:45 14 5 5 .
Purwito, A. 1999. Fusi protopla intra dan interspecies pada tanaman kentang.
Disertasi Program Pmasarjana IPB, Bogor. 223 hal.

Sarnanhudi. 2001. ldentifikasi ketahanan klon kentang hasil fusi protoplas BF15
dengan Solanurn stenotomum terhadap p y a k i t Iayu bakteri (Raistonia
solanuceurum). Thesis Pascasarjana IPB, Bogor. 88 ha1.
Wattimena, G.A. 1993. Studi pemdiaan tanaman kentang. Laporan Penelitian Riset
Unggulan Terpadu (RUT) I. Fakultas Pertanian LPB.

-----------------

1994. Merakit kultivar kentang toleran terhadap penyakit
degenerasi (PVX, PVY dan PLRV), penyakit layu bakteri dan penyalut hawar
dam melalui ekstraksi, trafisformasi dan h i . Laporan Hibah tim. Direktorat
Jendral Perguruan tinggi. Jakarta.

Wenzel, G. 1994. Tissue culture. In: J.E. Bradshaw md G.R.Mackay (Eds).Potato
Genetic. Pp. 173-197. CAB International.

TLNJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kentang
Kentang merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak atau

herbaciow. Batang tanaman cukup tebal berbentuk bulat sampai persegi , berwarna
hijau dan keunguan bila mengandung antosianin dengan susunan utama terdiri atas

stolon, umbi, batang, daun, bunga dan biji, serta akar. Stolon merupakan tunas lateral
yang twnbuh dari ketiak daun dibawah permukaan tanah (Rukmana, 1997).
Daun kentang adaiah daun rnajemuk yang menyirip ganjil dengan anak dam

primer tersusun diantara anak daun sekunder. Bentuk daun prime^ hulat sampai
lonjong, susunannya diakhiri dengan anak daun tunggal pada ujung tangkai. Wama

daun hrjau atau hjau keputih-putihan. Posisi tangkai daun terhadap batang tanaman
membentuk sudut kurang dari 45 derajat atau lebih. Pada dasar tangkai daun terdapat
tunas ketiak yang dapat berkembang menjadi cabang sekunder (Rukmana, 1 997).

Bunga tanaman kentang merupkm bunga hermapradit, setiap bunga
rnempunyai lima benang sari yang mengelilinp sebuah putik. Putik tanaman kentang

lebih cepat rnasak dibanding tepungsarinya (protogeni), sehingga terjadi penyerbukan
silang. Bunga tersusun dalam karangan bunga dan tumbuh pada ujung batang dan tiap

karangan memilib 7 - 15 kuntum bunga. Mahkota bunga berwarna putih, merah atau
biru (Thompson clan Kelly, 1957).

Buah kentang be-

hijau tua s a m p keunguan, berbentuk bulat ($ 2.5

cm) dan berongga dua Buah mengandung sekitar 500 bakal biji, tetapi yang dapat

berkembang menjadi biji hanya berkisar 10 - 300 biji. Biji berwama krem, krukuran

kecil (4 0.5 mm) clan rnempunyai masa domansi lebih kurang 6 bulan (Rukrnana,
1997).

Dalam sisternatika tumbuhan, tanaman kentang termasuk dalam Kingdom
Plantae, Divisio Spermatophyta, Sub Divisio Angosperrnae, Kelas Dicotyledonae,

Ordo Solanales,

Famili Solanaceae, Genus Sulunurn

tuberosurn L (Rukrnana, 1997).

dan

Spesies Solanurn

Introduksi tanaman kentang di Indonesia dilakukan oleh Belanda pada bhun
1794 yang mulai ditanam didaerah Cisarua, Cimahi, kemudian menyebar ke daerah

lain seperti Lembang, Pangalengan, Wonosobo, Curug, Brastagi dm Tomohon
(Wattimena, 1994).

Soianum ruberosum terdiri dari dua subspecies, yaitu subsp. andigena

dan

subsp ruberosum. Keduanya mempunyai jurnlah kromosom 2n = 4x = 48. Perbedaan
dari kedua subspecies ini addah pada komponen sitoplasrniknya. Kemungkman S.
tuherosum subsp. t uberosum mendapatkan komponen sitoplasmiknya dari S.
chacoense

(Grun, 1990). Solanum catherosum subsp, andigena berasal dari

persilangan S. stenotomum (2n = 2X) dengan S. , ~ p ~ r . ~ i p i I(2n
u m= 2x) yang diikuti

dengan proses penggandaan kromosom. Kentang yang

sekarang urnum

dibudidayakan disel uruh dunia adalah kentang tetrapl oid (2n=4x=48) yang berasal

dari Peru dan Bolivia dan dikenal dengan tuherosum dan tuhermum barn. Demikian
juga hibrida antara kedua spesies tersebut atau hibrida dengan spesies lain, misdnya

dari species liar. Genus Solanurn mempunyai sekitar 2000 species dan 160

diantaranya benunbi (Hawkes, 1994).
Kondisi lingkungan dan iklim mempengaruhl perturnbuhan tanaman

kentang dan tingkat produksi wnbi. Tanaman kentang umumnya tumbuh baik di
daerah dataran tinggi dengan ketinggian 500

-

3000 m dari permukaan lad (dpl).

Selama pertumbuhan diperlukan curah hujan rata-rata 1000 mm atau sekitar 200

-

300 m m setiap bulan. Au yang berlebihan dapat menyebabkan umbi busuk,

sedangkan pada konhsi kering dapat terbentuk umbi abnormal. Suhu rendah 1 5

-

20

"C, cukup sinar matahari dan kelembaban udara tinggi 80 - 90 O h sangat baik untuk

pertumbuhan dan perkembangan bunga. Sebaliknya suhu tinggi, keadaan berawan

dan kelembaban yang rendah mmghambat perhrmbuhan dan perkembangan umbi

serta bunga. Pembentukan umbi kentang mernerlukan suhu udara rnaupun suhu tanah
yang dingin berkisar antara 1 0 - 20 "C. Jika selama pembentukm umbi suhu udara

berada dibawah atau diatas kisam tersebut, dengan suhu kritis 30 OC,maka produksi

umbi akan rendah. Suhu malam yang dingn serta perbedaan suhu siang dan malam
yang besar sangat membantu pengisisan umbi kentang (Wattimena, 1994).

Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Kentang
Penyalut layu sampai saat ini masih m e r u m kendala utama Warn

pertanian & Indonesia, terutama untuk fmili Solanaceae. Penyakit l a p dapat

disebabkan oleh bakteri dm jarnur patogen. Layu yang disebabkan oleh bakteri R
solunaceartrm mirip dengan layu yang disebabkan kekurangan air atau patogen-

patogen lainnya seperti Fmarium dan Verticillim Penyebab layu dapt diketahui
dengan cara merendam potongan batang atau umbi tanaman sskit dalarn air jernih.

Jika penyebab layu adalah e r i maka dalam beberapa menit ptongan batang
tersebut akan rnengeluarkan cairan putih kenrh yang merupakan eksudat bakteri, ha1

ini yang membedakannya dari Fwurium (Semangun, 1989).

Penyebab penyakit layu bakteri pertama kali dilaporkan oleh Smith pada
tahun 1896. Patogen penyebabnya dinarnakan Bacterium solanuceanmt kemudian
diganti namanya menjah Phytomonas solanacearum, P,vewlomonas ,~olanaceurum,
Rukhoderia solanacearum (Kelman et al-, 1 994). Termasuk dalam Ordo

Pseudomonadales, Fam il i Pseudornonadaceae dan Genus Pseudo~nonas (Hooker,
1981). Sekarang patogen tersebut dikenal dengan narna Rdstonia solanacearum

(Yabuuch ef n l , 1995). Penyakit layu bakteri merupakan penyakit utama pada
tanaman kentang, tomat, terung, la&, jahe, cabe,kacang tanah, pisang dm tembakau

baik d~daerah tropis maupun sub tropis.

Iherr h Sebaran Patogen
Daerah sebaran penyakit layu bakteri sangat luas dan mmbatasi perhrmbuhan
kentang di Asia, Afnka, Amerika Selatan dan Tengah, yang mengakibatkan kerugian

hebat di daerah tropis maupun sub tropis. Dalam beberap kasus, penyakit ini j u g
ditemukan didaerah beriklim dingin, seperb di damah tropis yang relatif tinggi atau

daerah bergaris lintang yang lebih tinggi (Martin dan French, 1 996). S e b a n besar

inang d m R. solanuceurum termasuk dalam famili Solanaceae, Musaceae, Asteraceae

dan Fabaceae (Kelman, 1953; French, 1996). Pada tahun 1994 dilaporkan bahwa
inang dari patogen ini telah mencapai 50 famili tanaman, baik spesies budidaya
maupun spesies liar. Sedangkan tanrunan yang sangat rentan terhadap penyakit ini
adalah kentang, tomat, tembakau, terong, cabai, paprika dan kacang tanah (Hayward,
1990).
Sumber utama penularan penyakit layu bakteri di lapangan adalah melalui
umbi bibit yang terinfeksi, termas.uk umbi yang terinfeksi secara laten, serta tanah
yang terinfeksi. Perpindahan umbi bibit yang terinfeksi yang dipanen di daerah yang

relatif panas ke lokasi yang lebih dingin terrnasuk dataran tinggi di daerah tropis juga
merupakan salah satu sebab tejadmya infeksi secara laten pada umbi yang di
prduksi ol eh tanaman yang kelihatannya sehat di lapangan (French, 1 994).

Di Indonesia, penyakit layu bakteri dijumpai di seluruh daerah sentra produksi
kentang di pulau Jawa. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian tanaman kentang
1&30 % bahkan kadang-kadang menurunkan hasil produksi kentang sampai 80 %

(Wattimena, 1994).
Ciri-ciri R solQmcearirutr

Bakteri R solanacearum W n t u k batang dan berujung bulat, gram negatif,

aerobik, tidak membentuk spra, tidak berkapsul, dan sering bersifat tidak motil
(Kelman, 1953; Martin dan French, 1996). Berukuran 0.5 - 1.0 x 1.5 - 4.0 pm
(Hildebrand et al., 1988). Ukuran ini tergantung dari kondisi pertumbuhan dari

bakteri tersebut. Isolat yang virulen umumnya ti&

berflagela dan tidak dapat

bergerak, sedangkan yang tidak v i d e n mengandung 1 - 4 flagela, &pat bergerak

dan ti&

membentuk spora istirahat ( K e h q 1953).

R. solunacemrn mempunyai pertumbuhan optimum pa& kisaran suhu antara
25 sampai 35 "C clan tidak dapat tumbuh pada suhu 40 "C. Patogen ini

memperlihatkan tolemsi yang rendah terhadap NaCI . lsolat bakteri tidak dapat
tumbuh pada media yang mengandung 2 % NaCl dan terhambat perturnbuhannya
pa& medium yang mengandung 0.5 - 1.5 % NaCl (Mehan et al., 1 994).

Bentuk koloni bakteri bervariasi dan tidak tembus cahaya sampai bintik-

bintik kecil atau intermediet. Strain virulen sering dapt d i k e d i dengan bentuk

koloni yang berlendir atau fluidal yang kemudian berubah menjadi tidak virulen
dengan bentuk koloni kecil-kecil atau bintik-bintik. Perbedaan bentuk koloni dm
derajat virulensinya dihubungkan dengan produksi cairan yang mengmdung

polisakarida.

Klasifikasi R solanacearum dibedakan &lam dua sistem, yaitu sistern ras dan
sistem biovar. Ras dan biovar ini merupkan pengelompokan informal pada tingkat

inm sub-species d m bukm dikembangkan melalui pengkodean nomenklatur bakteri .
Pengelompokan dalam sistem ras didasarkan pa&

herah asal hang dan kisaran

inangnya, morfologi koloni, tramrnisi oleh insekta dm adaptasi suhu serta hubungan
patogenitas dengan inang. Sedangkan si stem bi ovar didasarkan p d a perkdaan sifat

biokimia, serologi dan si fat-sifat lainnya pada media biakan, yaitu kemampuan

bakteri menggunakan atau menghidrolisi s tiga senyawa disakarida (selubiosa, laktosa

dan maltosa) dan tiga alkohol heksosa (manitol, sorbitol dan dubitol).
Berdasarkan sistem ras, saat ini isolat R solanaceurum hbedakan menjadi 5
ras, yaitu : ras 1 mempunyai kisluan inang yang sangat luas di daerah tropis dan sub

tropis, menyerang famili Solanaceae (Solunaceaestrum), Leguminosae, dan beberapa
species gulma. %ring terjadi di areal panas clan dataran rendah di daerah tropik.

Anggotanya termasuk biovar 1 , 3 dan 4. Ras 2 menyerang pisang, Heliconia ssp., dan

famili Musac-

lainnya (Musaceae strain), dengan kisaran inang di daerah tropik

Amerika dm Asia. Ras 3 menyerang kentang (Potato strain) dan tomat dengan
kisaran inang urnumnya dt daerah d a m t i n e tropik

dan beranggota biovar 2. Ras

4 terutama menyerang tanaman jahe (Ginger struin), dengan kisaran inang terutama
di Filipina dan b e m g g ~ t d mbiovar 3 dan 4. Isolat dengan virulensi yang tinggi
umumnya hanya diperoleh dari tanaman jahe yang sakit. Ras 5 menyerang tanaman
murbei (Mulberry strain) di Cina dan anggotanya biovar 5 (Hayward, 1986; Martin

and French, 1996).

Isolat R solanacearum dibedakan menjadi 5 biovar berdasarkan reaksi

biokimianya (tabel 1). H
a
m (1991) melaporkan bahwa biovar 1 dominan
ditemukan di Arnerika Serikat, sedangkan biovar 3 banyak dijumpai di Asia. Biovar
2, 3, dan 4 umumnya ditemukan di Australia, Cina (&lam ras 51, India, Indonesia,

Papua New Genea dan Srilangka. Biovar 1 s a m p 4 secara lengkap hanya ditemukan
& Filipina dan biovar 5 hanya terdapat pada tanaman Murbei di Cina.

Tabel 1. Pengelompokan isolat R. soIanucearum dalam biovar berdasarkan
kem-mp-Ya
menggunakan senyawa karbohidrat (He et ol., 1983)
w w
8 i m
2
karmidM
1
3
1 4
I 5
I

,

Selubiosa

I

Sorbitol
Bulsitol

+

-

1

-

1

-

-

+

1

+

-

Keterangan : (+) = reaksi positif (tumbuh);

1
+

+

-

+

1
-t

-

1

-

(-1 = reaksi negatif (tidak tumbuh)

Hubungan antara ras dan biovar belum banyak diketahui, namun ras 3

dinyatakan identik dengan biovar 2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Machmud,
Hifni dan Hayward ( I 987) diketahui bahwa R solanacearum yang ditemukan di

Indonesia adalah ras 1 dm 3, yang berdawkan sistem biovar tennasuk biovar 2, 3

dm 4. Biovar 2 (m3)diternukan pda tanman kentang di daerah dengan ketinggan
1000 m (dpl). Biovar 3 (rasl) ditemukan pada cabai, tembakau, jahe, h a n g tanah,

buncis, terong, tomtit kentang dan gulrna, sedangkarn biovar 4 (ras3) btemukan pada
kentsng di Malang (Jawa Timur).

Pada media biakan padat dan disimpm &lam jangka waktu yang lama, R
solanacearum cenderung rnembentuk koloni ti&

virulen atau tingkat vimlensinya

rendah. DaIam media SPA (Sucrose Peptone Agar) koloni berwarna putih keruh,

tidak b e r a m , halus, bercahaya, kebasd-bas&
yang virulen dan tidak virulen &pat di-n

dan berdiameter 3-5 mm. Koloni

dengan menumbuhkan isolat bakteri

pada medurn yang mengandung 2,3,5 -triphenyl tetrazolium chloride (media TZC ).
Koloni yang virulen berwarna putih dengan pusat berwarna merah muda dan

berbentuk bulat tak beraturan, sedangkan yang tidak virulen koloninya berbentuk
bulat kecil dan berwama rnerah tua. Pada media cair bakteri yang virulen biasanya
non motil, s e h g k a n yang a h f bergerak biasanya adalah bakteri yang tidak virulen
(Kelman, 1953; Hooker, 1 990).
Gejala Penyakit

Gejala penyakit layu yang disebabkan R salanuceurum d a p t terlihat pada
setiap fase perhmbuhan tanaman kentang, baik pada bagian tanaman di atas maupun

di bawah tanah. Gejala khas di atas permukaan tanah ditandai dengan tejadinya

kelayuan pada pucuk, rontok, tanaman kerdil dan daun rnenguning. Kadangkala

kelayuan kurang berkembang, akan tetapi tejadi pengerdilan pada tanaman muda,
terutama pada varietas-varietas yang rentan (Kelman, 1953; Martin dan French,
1996).

Pada tanaman kentang gejala penyakit pertama kali biasanya terlihat pada

tanaman yang befufnur sekitar enam minggu. Dam-daun layu biasanya dimulai dari

dam muda dan awalnya hanya pa& satu cabang yang lam kemudian jika penyakit
berkembang cept maka seluruh daun dapat layu tanpa banyak mengalami perubahan
warna. hundaun b e ~ w n as

m sampai hijau pucat, akhimya benrbab menjadl

coklat tanpa ctiikuti penggulungan tepi daun. Kelayuan yang hebat disertai dengan
robohnya batang lebih sering terjadi pada tanaman muda dan s M e n dari varietas-

vari etas yang rentan (Semangun, 1 989).
Pada umbi kentang, gejala p y a k i t layu bakteri dibedakan antara gejala Iuar
dan gejala dalarn, Gejala Iw tidak selalu terlihat pada umbi terinfeksi. Pa& kasus

infeksi berat b&ri

akan mengumpul @a mata umbi atau ujung titik stolon dan

menyebabkan tanah akan menempel di bagan tersebut atau tam@

berupa bercak-

krcak atau cekungan benvarna hitam. Pada patongan umbi a h krlihat pengotoran
di lingkaran vaskuler dm jika ditekan akm rnengeluarkan eksudat putih keruh yang
merupakm massa bakteri, sehingga mernpercepat umbi menjadi busuk. Tidak semua

umbi terinfeksi bakteri berasal dari tanaman layu dan juga tidak semua umbi
terinfeksi dapat menunjukkan gejala atau umbi salut dapat berasal dm tanaman yang

sehat (infeksi laten). lnfeksi laten dapat di deteksi dengan cara umbi di inkubasi pada

suhu 30 "C dengm kelembahan yang tinggi. Setelah 2-3 minggu gejala yang khas
dapat diamati (Martin and French, 1997).
Penyakit Busuk Lunak pada Tanaman Kentang
Penyaht kaki hitam (black leg) pada tanaman kentang dan busuk lunak (soft

rot) pada umbi merupakan penyakit yang tersebar luas, dan merupakan pengharnbai

pertumbuhan pertanaman kentang yang penting di berbagai belahan dunia. Di
Indonesia yang rnerupakan &erah tropis penyakit ini disebabkan oleh bakteri E. c. pv
curotovora. Salah satu upaya menghindari k m a k a n oleh penyakit ini dilakukan

dengan ti&k menanam kentang di Man-lahan basah atau tidak melakukan pengairan
y ang berlebihan. Memanen umbi pa& waktunya (setelah tua) d m tidak menempatkan

umbi hasil panen dihwah sinar matahari dapat mengurangi resi ko terserang penyakit
ini. Sebaiknya umbi harus kering dulu sebelurn disimpan atau di kernas (Bradbwy,

1986; Lelliot, 1 987).
Daerah Sebaran Patogen

Daerah sebaran penyakit ini cukup Iuas terutamst daerah beriklim hangat yaitu
E.

c.

ssp curr~fovora.Sedangkan di daerah benklim sejuk (dingin) biasanya di

dominasi oleh E.

c.

ssp atroseptica dan di daerah panas di dominasi oleh h'.

chrysunthemi (French dan Lindo, 1979). E. c. pv carolovora dan E. ch?ysunthernr

mempunyai kisaran inang yang luas termasuk famili Solanaceae,sedangkan E. c. pv
atrosepticu mernpunyai hang yang spesifik yaitu tanaman kentang.

Berbagai faktor yang mendorong berkembangnya penyakit bus& lunak telah

banyak diidentifikasi, namun bagaimam mekanisme serangan penyakit ini masih
belum banyak dikehbui (Peromklon, 1 979). Pada d a e d ternperate, dirnansl hanya

terkontaminasi oleh patogen ini . Penyebaran penyalut busuk lunak seringkali terjadi
melalui penggunaan bibit urnbi yang telah terkontaminasi oleh patogen ini.
Pertumbuhan tanaman yang b e r d dan bibit yang terinfeksi oleh penyakit (busuk

kering, layu, late blight, dll) atau kenrsakan secara fisiolog sering rnembuat level

busuk Iunak b e d diatas rata-rata. Dari beberapa penelitian juga dilaporkan adanya
hubungan antara blackleg dan rendahnya level keseburan tanah (Semangun, 1989).
Ciri-ciri E. c. pv carotovora.
Bakteri E. c. pv carofovora merupakan bakteri pektolitik, berbentuk batang,

berukuran 0.5 - 3 pin, bentuk tunggal, berpasangan atau d a m keaderan tertentu
dapat membentuk rantai dan merupdan organisme prohotik yang tidak
mempunyai klorofil. Termasuk gram negatif, sebagian besar bersifat saprofit

fakultatif, anaembik, tidak membentuk s p a , tidak berkapsul, bergerak
menggunakan flagel yang terdapat disekeliling batang dan mampu memproduksi

enzim pektinase dalarn jumlah ksar. E. c pv carotovora merupakan bakteri tular

tanah yang &pat menyerang apa saja dari bagan tanaman. Sebagan besar strain
tidak marnpu mernpraduksi polisakarida ekstra seluler daiam jumlah besar pada

media yang kaya gula (French and Lindo, 1979).

Ddam media biakan mumi, E. c pv carotavara berbentuk bulat dengan
pin-r

tidak rata, berwarna kekuningan (krem), cembung dm agak encer. Untuk

r n e m b d a h kaloni yang virulerr dm ti&

vinzlen dapat dilakukan dengan

rnenumbuhkan isol at bakteri pada medi urn yang mengindung 2,3,5 -tnphenyl
tetrazolium chloride. KoIoni yaag vinden berwarna krem dengan pusat

berwama

rnerah muda sedangkan yang tidak virulen koloninya berbentuk bulat kecil dan
berwarna merah tua.
Envinia berdasarkan taxonomi dikelompkkan menjadi 2 species yaitu E.
~ktysunthem~
dan E. carotovoru. E. curobovoru dibag menjah dua patovar yaitu E.c.

pv carotovora dan E.c. pv atroseptico. Selanjutnya species tersebut d i k e d dengan

strain Carotovoru, strain Atrosepfrca clan strain C,'iysantherni(Bradbury, 1986).

Klasifikasi utama Ewinia yang meyebabkan penyakit pada kentang oleh

Graham (1979) yang didasarkan pada h i 1 uji terhadap kemampuan Envinia untuk
tumbuh pada senyawa biokimia yang diujikan, dikelompokan menjah tiga seperti

Tabel 2. Karakteristi k m a E m inza penyebab penyakit busuk lunak (so8r ~dan)
Kaki hitam (black leg) pada tanaman berdasarkan kemampuan untuk
turnbuh pada senyawa kimia (Graham, 1979)

1 a-methyl glucosida i

-

I Platinosa

-

I

I
I

+
+

I

I

-

+

I

I

Trehalose
+
Reduksi sucrosa
+ atau +
Indole
+
Lektinase
Phophatase
+
Pertumbuhan pd 5%
+
+
NaCl
Ketemgan : (+) = reaksi positif (tumbuh); I-)
= reaksi negatif (tidak twnbuh)

I

Suhu optimum untuk pertumbuhan E. c pv atroseprica addah 27 - 27,l "C,

17.c pv carotovora berkisar antara 28 sampai 30,5 "C dan E. crysunthemi 34 sampai
36 OC. Dan tidak dapat tumbuh atau sangai terhambat perkembangannya d i m suhu
41

OC

serta dibawah 15 '
C (Singh, 1973).

Gejala Penyakit
Penyakit kaki hitarn dm busuk lunak &pat terjadr pada setiap fase
perhmbuhan tanarnan dan akan menyebar ke pucuk, terutama bila kelembaban

udaranya tinggi. Infeksi Erwinia pada tanaman menyebabkan pembusukan pads
jaringan parenkim. Gejala penyakit dicirikan dengan busuk lunak pa& hapan dasar

dari batang dan selalu krhubungan dengan kerusakan dari umbi bibit. Penyakit kaki

hitam dan busuk luinak terjadi secara sporadis pa& umbi sehingga membusuk atau

sebaliknya hitam. Luka berlendir seringkdi menyebabkan batang menjadi kunak

secara cepat karena umbi bibit yang membusuk.Infeksi pada tunas muda atau stolon
yang lanjut biasanya menyebabkan kematian pada tatlaman.Busuk pa& ujung stolon
terjad pada umbi-urnbi mu&. Tanaman muda umumnya kerdil dan tegak. Dam-dam
menguning clan menggulung ke atas, seringkali diikuti dengan l a p dm matinya

tanaman. Ketika tunas yang lebih tua terinfeksi, pada awal perkernbangan penyakit

daun rnenjadi tegak dan pada daun yang lebih mudanya menggulung kedalam seperti
gejala yang disebabkan leafroll virus. Bedanya, pada busuk lunak hanya keberapa

dam yang menggulung sedangkan leaftoll virus menyebabkan seluruh daun
menggulung (French dan Lindo, 1979).

Pada cuaca kering pucuk yang terinfeksi rnenjadi kering dan mati, kemudian
gugur, biasanya pada pangkal batang berwama coklat tua atau hitam. Gejala kaki

hitam dan busuk lunak dapat krkembsng di setiap masa pertumbuhan tanaman dan

serangan di distribusikan secara acak (Semangun, 1989).
Dalam penyirnpanan, Erwinia menyebabkan kerusakan pa& umbi dengan
terjadinya busuk lunak. Bakteri busuk lunak menpnfeksi lentisel rnelalui permukaan

umbi yang basah, menyebabkan permukaan tersebut tertekan (terdepresi) secara
sirkuler (melingkar). Umbi busuk menyebar dengin cepat pada saat pengangkutan
atau penytmpanan d~ gudang. Di Iapangan atau digudang bus&

lunak sering dipicu

oleh kemakan mekanik atau kerusakan oleh serangan hama dan penyakit lainnya

pada umbi. Jaringan yang terinfeksi menjah basah, berwarna krem kehitam-hiiaman
dan lunak, sehingga mudah dibedakan dari jaringan yang sehat (CIP dm Balitsa,

I 999).
ktahansn Tsnaman Kentang terhadap Penyakit

Tanaman akan memberikan reaksi tertentu terhadap faktor luar, termasuk
infeksi oleh patogen. Betat ringannya infeksi tergantung pada ketahanan tanaman itu

sendiri ,vidensi patogen serta faktor lingkungan (Agnos, 1 988).

Gen virulensi patogen dan gen kerentmm pa& umumnya bersifat spesifik

untuk satu atau beberap species tanaman yang masih berhubungan secara taxonomi.
Spesifitas gen vindensi dm gen kerentanan dapat menerangkan mengapa suatu gen
patogen virulen pda satu species tanaman dm tidak pa& species tanaman lain atau
sebaliknya mengapa suatu species tanaman rentan terhadap patogen tertentu tapi

tahan terhadap patogen yang lainnya.
Ketahanan suatu tanaman terhadap patogen dapat dibedakm menjadi
ketahanan horizontal dm ketahanan veriikal. Ketahanan horiwntal di kontrol oleh
banyak gen sehingga disebut ketahanan poligenik atau rnultigenik. e n - g e n yang

k p a n dalam ketahanan horimntscl mernberi pengaruh d q g n cam mengontrol
tahaptahap fisiologrs tanaman yang menyebabkan terjadkya mekanisme pertahanan.
Ketahanan horizontal tidak melindungi tanaman dm infeksi, tetapi menghambat
perkembangan patogen sehmgga penyebaran penyakit j uga terhambat dan ini akan
r n e m p e n m epidemi penyakit di1apanga.n (Semangun, 199 I ).

Ketahanan vertikal dikontrol oleh satu atau beberap gen sehingga disebut
j uga ketahamn monogenik atau oligogenik. Gen monogenik mengontrol sebagian

besar tahaptahap dalm interaksi inang dm patogen, sehingga besar peranannya
dalm ekspresi ketahmm. Oleh karena itu terdapat tanaman yang sangat tahan
terhadap satu atau bekrapa ras patogen namun rentan terhadap ras lainnya dari
patogen yang sama. Interaksi inang-patogen yang tidak cocok menyebabkan patogen

tidak dapat bertahan dan memperbanyak diri dalam tanaman inang. Ketahanan
vertikaI meqbambat epidemi dengan cara membatasi inokulwn (Agnos, 1988).

Pemuliaan tanaman kentang terhadap penyakit layu b&eri di Indonesia telah

dimulai sejak tahun 1975, dengan rnemperkenalkan sebanyak 25 klon kentang yang
berasal dari persilangan S. phureja dun S tubero.~um,yang memberikan tingkat

ketahanan yang k a r i a s i . Untuk rnendapatkan tanaman kentang yang benar-benar
tahan terhadap R. solanacearum bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, sehingga
sampai saat ini di Indonesia belum dijirmgsi klon kentang yang mempunyai

ketahanan yang tinggi terhadap penyakit layu bakteri tersebut (Sahat dan Sulaiman,
1990).

Sahat (1985) menyimpulkan bahwa sifkt ketahmm tanaman terhadap layu
bakteri dikontrol oleh tiga gen dominan. Sedangkan Hooker ( 1990) rnengatakan
bahwa setidaknya terdapst tiga gen dominan dan gen bebas yang mengontrol sifat

ketahanan kentang terhadap penyakit l a p bakteri. Pada tanaman kacang tanah
ketahanan terhadap penyakit layu bakteri bersifat dominan dan dikendalikan oleh tiga
pasang gen mayor dan tingkat ketahanan populasi hibridnya lebih besar jika

dibandingkan dengan rata-rata tetuaaya.
Rowe (1 970) mengemukakan bahwa sumber Iretahanan terhadap penyakit
Iayu bsskteri terdapat pada s p i e s kentang liar seperh S. phzaqa, dan berkesirnpuian

bahwa sifat ketahmannya dikontrol oleh beberapw gen yang bersifat oligogenik

dominan, S. phure~atelah digunakan ddam program pemuliaan kentang s
emi
sumber utama gen ketahanan terhadap R. solanaceunmr (Elphinstone, 1994). Reaksi
k e t a h m klon-klon hasil silangan S phweja bervariasi terhadap strain-strain R
solanacearum. Hal ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan terhadap strain tertentu

& p e n m i oleh banyak gen. Selain dari S. phureja, Schimiediche (1986)

mengatakan Mwa sumber ketahanan terdapat pula pada species S. spustprlum, S.
chucoense dan S. microdontm dan sifat ketahmnya tersebut kemungkinan

dlwariskan secara poligenik oleh gen mayor. Sedangkan Iwanaga (1980)
menyebutkan bahwa species liar seperti S chucoeme, S. sparspilum dm S.
stenoronurn juga merupkan sumbw ketahanan terhadap penyakit layu bakteri.

Namun demikian gen yang terlibat Uarn ekspresi ketahanan tersebut s a m p saat ini
belurn diketahui.
Tung et al., (1 992) menyatakan bahwa kestabilan ekspresi k e t a h m pada

kondi si daerah tropis meningkat apabila gen tahatl bkombinasi dengan gen adaptasi
terhadap linghangan, seperti toleransi terhadap panas. Ditmbahkan pula M w a
frekwensi gen tahan terhadap strain patogen tertentu meningkat apabila sumber
ketahanan berbeda berasosiasi dalam populasi.

Tingkat ketahanan yang dapat diterirna tergantung pada kepentingan produksi
kentang yang dihasilkan (French, 1996). Apabila dig&

untuk konsumsi segar

maka persentase infeksi masih dapat ditoleransi, akan tetapi jika digunakan untuk
produksi benih, maka persentase layu dalam jumlah kecl sekalipun tidak bisa di

tolerir (Hakim, 1999). Hal ini karena dengan beberapa bibit saja terinfeksi, maka

sudah dapat I m p a n untuk menye-

penyakit dalam areal yang lebih luas.

Seleksi ketahanan trtnaman kentang terhadap patogen secara ~n vitro
rnerupakan salah satu metode yang memberikan harapan, karena mempunyai

beberap keuntungan antara hn dapat mengwangi kemuagluaan terjadinya escape
yang biasa teqadi melalui inokulasi alami dilapang, hasil seleksi &pat diulang di

rumah kaca atau di lapang, dan patogen yang digunakan tetap &tas
laboratoriurn. Metade seleksi

in

di

vrtro dapat menghemat biaya dan waktu pengujian

dengan hasil yang relatif m a dmgm pmmjian di lapwng karena hmya klon-lrlorr
yang tahan dalam p g u j i a n in vltro saja yang dilanjutkan pengujiannya di lapang.
Metode ini mudah dikerjakan dan telah dipelajari pada beberap tanman dalam
program pemuliaan untuk mendapatkan sifat ketahanm terhadap penyakit
Samanhudi (200 1).

Wenzel dan Forough-Wehr (1990) memperlihatkan bahwa ketahanan @a
barley, gandum dan kentang dihasilkan melalui seleksi secara m vitro. Fock et ul.,
(2000) juga telah melakukan seleksi secara In vltro terhadap klon-klon kentang hasil

fusi protoplas antara BF15 (2x1 dengan S. phureja (2x) mtuk mendapatkan klon yang

tahan terhadap penyakit layu bakteri den- metode inokulasi memasukkan inokdum
ke akar tanaman. Sedangkan Samanhud (2001) menguji tingkat ketahanan beberapa
klon kentang hasil fusi protoplas antara BF15 (2x) dengan S. stenotomum dengan
metode inokulasi gunting pucuk dm siram.

Regeaerasi pada Tansmaa Kentang

Regenemi tanaman mmpakan salah satu tahapan penting dalam
pengembangan tehnik pemuliaan tanaman melalw kultur j aringan, seperb
tmsformasi, kultur dan fusi protoplas atau induksi variasi somaklonal untuk
mendapatkan tanaman baru dengan sifat-sifat tertentu. Keberhasilan regenerasi
tanaman tidak hanya dipense-

oleh faktor genetik tetapi juga faktor-faktor kimiawi

media tumbuh dan faktor fisiolog seperh pH, temperatur m a n , cahaya dm

lain-lain.
Menurut George dan Sherrington (1984), Pierik (1987) dm Phillips &

Hubstenberg (19951, regenerasi &pat dilakukan melalui proses organogenesis atau
embriogenesis. Cara pertama rtkan diperoleh tunas atau akar sedangkm cam kedua
akan dihasilkan suatu bentuk bipolar dimana tunas dan akar dalam suatu kesatuan

yang utuh. Pada umumnya penel itian regenerasi yang berhasil pada tanman kentang

adalah dengan menggunakan dua tahap media. Tahap pertama adalah induksi kalus
dengan penmbahsrr! auksir! dm z m i n atau zeatin ribasida serta media tahap kadua
untuk regenmi tunas dengan menggunakm sitokinin selain zeatin (DeBlock, 1988;
Yadaf clan Sticklen, 1995).

Peranan media dan zat pengatclr twnbuh penting dalarn mengatur arah
pertumbuhan dan perkembangan eksplan (George d m sherrington, 1984; Pierik,
1987). Penggunaan sitokinin selain zeatin clan pengmngan tahap media regenerasi
akan menguntungkan, karena mengurangi biaya dan lamanya kultur beregenerasi .

Sitokinin 2 ip merupakm salah satu altematif yang sering diwbakan sebagai
pengganti zeatin dalam proses regenerasi pada tanaman kentang. 2 ip mempunyai

struktur molekd yang lebih mendekati zeatin daripada sitokinin lainnya, sehingga

kemungkinan mempunyai aktivitas yang mendekati zeatin (Weaver, 1972).
Di ddam perbanyakan zn vim, peranan auksin adalah merangsang
pembentukm kalus, pernanjangan sel, p k s a r a n jaringan dm pembentukm aka.

Beberapa eksplan secara alamiah rnemproduksi cukup auksin. Jeais auksin indogen

adalah IAA sedangkan yang sintetik adalah 2,443, NAA, LBA dan pCPA. Menwut

Pierik ( 1 9871, NAA sebagai auksin sintetik dipergunakan pada selang 0.001 mgll
sampai 10 mglI. Pengaruh sitokinin &lam perbanyakan in vitro adalah merangsang

pemklahan sel dm rnultifikasi tunas (George dan Sherrington, 1984). Sitokinin yang
biasa digunakan dab BAP, kinetin, 2 ip dan zeatm. Keseimbangan ~11t.a.m
auksin

dan sitokinin yang yang tambahkan pada media tumbuh akan menentukan arah
perkembangan eksph (Wattirnena, 1992). Tunas akan terkntuk apabila
perbandingan konsentrasi sitokinin lebih tinm dan pada auksin, sedangankan akar

akan terbentuk apabila perbandingan auksin lebih t i n a dari sitokinin.
bolasi dan Kultur Protoplas

Media Tumbuh Tamman In Vr~ro
Media tumbuh bag^ tanaman in vitru sangat memegang peranan penting
terhsdap arah perturnbuhan dari eksplan. Media tumbuh yang sesuai akan

rnenghasilkan tanaman in vitro sesuai dengan harapan. Mesofil daun dari tanaman in
vitro paling banyak digunakan sebagai sumber protoplas pada Solanuceae (Nyman

dan Waara, 1997; Jar1 et ul., 1999). Hal ini karena tingkat keseragaman tanaman m
vitro lebih tinggi, dapat tersedia s&ap saat dan ti& perlu melakukan sterilisasi.
Pada tanaman kentang in vitro, pengaturan cam clan intensitas penyinaran,

peningkatan konsentmi media dasar dan sukrosa, serts pemberian aerasi pada kultur
dapat rnemperbailu ukuran dam dan meningkatkan produksi protoplas yang

dihasilkan (Purwito, 1999). Pertumbuhan tanaman in vitro yang kurus, banyak
percabangan dengan daun yang kecil biasanya hsebabkan kurangnya sirkulasi udara
sehingga tejadi akumulasi gas etilen di dalam tabung kultur (Cassells et al., 1980;

Mollers er nl., 1992). Untuk mengatasi hd tersebut &pat dilakukan dengan cara

memperbesar ukuran tabung kultur, memberikan aerasi atau dengan memaaipulasi

media hunbuh,
b o k i ProtopIas
Protoplas dapat diisolasi dari harnpir seluruh bagian tanaman, seperti akar

(Cocking, 19601, dam (Wenzel, 19801, nodul akar (Davey

et

al., 19731, coleoptil

(Hall dan Cocking, 1974), jaringan buah (Cocking, 1970), tajuk bunga (Potrykus,
19731, serbuk sari (Bajaj, 19771, kultur Wus (Schenk dm Hildebrandt, 1969; Gosch
e6 ul., 1975), daun in vitro (Binding el aL , 1 982, Serraf er a[., 1 99 1 ).

lsolasi protoplas umumnya dilakukan secara enzimatik. Jenis dan konsentrasi
enzim yang Q gmakan sangat menentukan keberhasilan dari isolasi protoplas.

Menurut Punvito (1999), sedikitnya a& 15 en*

yang dapat digunakan untuk

mengsolasi protoplas tanaman, yaitu pektin glikosidase, pektinase, selulase R 1 0,

silanase, maseroenzim, meiselase, rohamen P, selulase Onozuka RS, driselase,
pektoliase Y-23, hemisellulase, selulisin, maserase dan rozim.

1sol;tsi protoplas s e w enzimatik dapt dilakukan dengan dua cara, yaitu (1 )
metode langsung dan (2) metode tidak langsung. Metode langsung dilahkan dengan
cara memasukkan cacahan dam dalam petri yang berisi campuran enzim steril(0.5 %

maseroenzim + 2 % selulase onozuka R-1 0 dalam 13 % sorbitol atau manitol pada pH
5.4) kemuctian diinkubasi semalam (15-18 jam) pda suhu 25 "C (Power et al., 1970).

Setelah diinkubasi, potongan dam dig0yang agar protoplasnya terlepas kedalam

larutan, kemudian disaring dm supernatan disentifuse I00 g selarna 1 menit.

Protoplas akan mernbentuk pelet sedangkan debris pada supernatan &bung dengan

hati-hati. Proses ini diulang tiga kali, dan terakhir protoplas dicuci dengan 13 %
sorbitol. Pada akhir pencucian sorbitol & g a d dengan 20 % sukrosa kemudian

disentrifbse 200 g selama 1 menit. P r o s e h ini menghasilkan protoplas yang tercuci
melayang diatas lamtan. Protoplas yang berada diatas tersebut kemudian dipipet

secara hati-hati dengan pipet steril (Power et uL., 1970).
Metode dua tahap adalah modifikasi dari metode Otsuh dm Takak el ai
(1996). Pada tahap prtama cacahan dam dimasukkan dalam campuran enzim A

(maseroenzim 0.5 %, kalium dextran sulphate 0.3 % dalam 13 % manitol, pH 5.8)
selama 5 menit dalam desikator, kemudian ditransfer &lam waterbath pada suhu 25
O C

dengan penggoyangan lamhat. Setelah 1 5 menit campuran enzi m kemudi an

dibuang perlahan dan digantikan dengan enzirn baru dengan komposisi yang sarna

dan diinkubasi dengan cara yang sama pula. Campwan enzim kemudian disaring dan

disentifuse 100 g selama 1 menit dm dicuci 3 kali dengan 13 % manitol untuk
mendapatkan sel yang terisolasi. Tahap kedua adalah menginkubasi has11dari tahap 1

dengan campuran enzim B (2 % selulase, 13 % larutan manitol, pH 5.4) selama 90
menit pada suhu 30 "C. Setelah itu disentifuse lagi pada 100 g selama 1 menit,
sehingga protoplas mengendap sebagai pelet. Supematan dibuang dm protoplas

dicuci 3 kali dengan manitol dan selanjutnya diisolasi dengan cara melayangkan
protoplas tersebut pada 20 - 30 % lamtan sukrosa (Power ei u.,1970).
Umumnya protoplas yang didapat dari metode langsung leblh banyak dari

pada metode 2 tahap, namun berisi campuran protoplas dari mesofil spongi dan
mesofil palisade,Sedangkan penggrrnaan metode dua tahap hanya diisolasi protoplas

dari mesofil palisade (Bajaj, 1 977).
Kultur dan Regenerasi ProtopIas

Beberapa publikasi menunjukkan bahwa keberhasilan kultur protoplas dm
regenerasinya menjadi tanaman ditenmkan oleh banyak faktor seperti genotipe,
jaringan yang dipergumkm, kondisi fisiologis dari jaringan, kemurnian enzim,
periode clan konhsi inkubasi, media kultur serta zat pengatur tumbuh (Serraf el a/.,
1991; Bradsaw dan Mackay, 1994).
Protoplas yang ditanam dalam media kultur dapat meregenerasikan dinding
sel disekelilingnya untuk mernbentuk sel sempurna yang &pat rnembelah diri

mernbentuk rnikro kalus. Dengan rnemanipulasi nutnsi dan kondisi fisiologis, kultur

kalus tersebut dapat terinduksi menjadi anaman (Vasil dan Vasi I, 1 973). Umumnya
untuk menginduksi pembelahan, protoplas h a m ditanam dalam kernpatan tidak lebih
dari 1 o4 protopladm1 (Abersheim, 1974).

Regenerasi tanaman dari protoplas merupakan tahap yang paling sulit dengan

metode yang berbeda-beda dan sering tidak dapat hulang dengan keberhasilan yang
sama pada waktu yang berbeda (Evan dan Bravo, 1 983). Metode regenemi protoplas

berbeda-beda tergantung dari jaringan donor dan jenis tanamannya. Penggunaan
zeatin dan IAA dilaporkan dapat meregenerasib beberapa species tanaman seperti
ubi kayu, asparagus, kubis dan jeruk (Binding

ef

al., 1981; Chand et ul., 1990).

Menurut Evan dm Bravo (1 983) paling tidak 28 species protoplas telah dapat
diregenemilcan menjad tanaman. Walaupun demikim regenerasi masih merupakm

masalah p d a beberapa tanaman.

Media Kultur Protoplair

Media kultur protoplas merupakan faktor sentral yang banyak diteliti, baik
yang berkenaan dengan isolasi, pembentukan mikrokali dan regenerasi menjadi

tanaman (Nagata dan Takebe, 1971; Hakrlach et aL, 1985; Sihachakr et al., 1989).
Meda KM8p (Kao clan Michaluk, 1975) dm media V-KM yang merupakan

kombinasi media V-47 (Binding, 1974) dan KM8p banyak digunakan sebagai media
dalam percobam-percobaan kultur protoplas untuk Solanaceae (Binding dan Nehls,
1977; Kowalczyk et al., 1983; Serraf et al., 1991; Mollers et d.,1992; Thach el aJ.,

1993). Thach er a1 (1993) menggunakan media VKM, SKM clan SKMmod dengan

menambahkan 0.1 M manit01 atau 0.2 mg.1 zeatin dalarn kdtur somatik hibrid untuk
menghasilkan kentang tahan virus.
Shepard dan Totten (1 977) j u g telah mmgembangkan media yang terdiri dar~

media A (pernumian protoplas), media B (induksi kalus), media C dan media I3
(regenerasi tunas) serta media E (perkembangan !mas serta inisiasi a h ) . M d a ini
berhasil meregenerasikan protoplas dari mesofil daun kentang kultivar Russet

Burbank. Media yang banyak dipaJrai untuk kultur protopias Solanuceae adalah
KM8p (Kao dan Michaluk, 19751, VKM (Binding dan Nehls, 1977), SKM (Hunt dan

Hegelson, 1 989) dan ST (Shepard dan Totten, 1977).Beberap media lain yang clapat

dipakai wltuk kultur protoplas yaitu media Thomas (1981), DPD (Durand er al.,
1973) dan VKCLG (Foulger ddn Jones, 1986).

Meskipun beberapa kdtivar dan gefibs Solarium telah dapat diregenerasikan

dari protoplas, prosedur kultur dan regenetasi pa& banyak kasus masih hams
diperbaiki (Purwito, 1999). Proses pra isolasi , sumber protoplas, genotipe tanaman

dan kondisi inkubasi pasca isolasi dan saat kultur sangat berpenganrh terhadap
keberhasilan kultur dan regenerasi protoplas (Ferreim dan Zelcer, 1989). Demikiam
pula zat pengatur tumbuh yang d i p a h pada suatu proses akan beqmgamh pada

proses berikutnya. Sebagai contoh adalah pemberian 0.5 - 2 mgll BAP atau zeatin
pada tahap penaburan protoplas mengmngi pembelahan sel S. phureja, akan tetapi
adahya zat pengatur tumbuh tersebut dan tidak adanya 2,443 sangat penting dalarn

regenerasi tunas (Craig el al., 1994).

SELEKSI KETAHANAN TANAMAN KENTANG
TElUiADAP PEWYAKIT LAYU BAKTERI DAN
BUSUK LUNAK SECARA IN WTRO

Penyakit yang sarnpai saat ini masih mengancam produksi kentang dan sangat

ditakuti oleh para petani adalah penyakit layu bakteri, kalau penyakit ini menyerang
tanaman maka pupustah harapan petani untuk mendapatkan hasil panen yang bai k.

Penyakit dapat tejadi akibat interaksi antara patogen yang vimien, inang yang

rentan dan lingkungan yan g rnendukung. Penyakit 1ayu bakteri ( R solanucearum)

terdapat di semua daerah penanaman kentang hampir di seluruh dunia termasuk di
Indonesia. R. soianacearurn adalah bakteri yang hidup di dalam tanah krsama
dengan mikroorganisme lainnya. Penyakit ini &pat terjadi pada kisaran i m g yang

sangat Iuas mulai daerah tropis sampai daerah subtropis dan rnerupakan penyakit
yang paling serius di Asia (Perdey ei ul., 1986).

Bak