Inisiatif-Inisiatif Muslim Cendekiawan

Inisiatif-Inisiatif Muslim Cendekiawan
Kamis, 16 December 2010
Ilham Akbar Habibie, putra pertama mantan Presiden BJ Habibie, akhirnya terpilih dan meraih
suara terbanyak dalam pemilihan Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI)
pada Muktamar V di Bogor, 6 Desember 2010.
Ilham memperoleh 410 suara, mengungguli 10 kandidat lain, Nanat Fatah Natsir (Rektor UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung), Marwah Daud Ibrahim (Presidium 2005–2010), Priyo Budi
Santoso (Ketua DPP Partai Golkar), dan Sugiharto (mantan Menteri BUMN). Kandidat lain yang
gagal masuk presidium adalah Zulkifli Hasan (Ketua DPP PAN yang juga Menteri Kehutanan
RI), Azyumardi Azra (Ketua Presidium ICMI 2005–2010), Sri Astuti Buchori, TA Sanny,
Zoerain Dzama, dan Musaad.(SINDO,7/12/2010). Di tangan Ilham, banyak yang berharap ICMI
tak lagi ―mati suri‖. Inisiatif-inisiatifnya ditunggu oleh tidak saja umat Islam yang mayoritas di
negeri ini, tetapi juga segenap komponen bangsa. Karena ICMI adalah organisasi ―intelektual
cendekia‖, maka tentu saja kegairahan intelektualitaslah yang penting.
Dia harus mampu menyodorkan isu-isu menarik, mendasar dan strategis, mewacanakannya, dan
bergerak menyusun agenda aksi yang nyata. ICMI harus inspiratif di segala bidang dan jangan
terkesan terlampau politis. Jelas Ilham bukan tokoh politik. Mudah-mudahan dia punya cukup
waktu dalam membawa gerbong ICMI dan menggairahkannya, mendialogkan kembali apa peran
dan aksi nyata muslim cendekiawan dalam dinamika dan kompleksitas umat dan bangsa detikdetik ini.
ICMI bisa memfungsikan diri kembali sebagai terminal dan resultan gagasan-gagasan,
menjadikan dirinya ―rumah‖ yang nyaman bagi kalangan intelektual Islam yang belakangan ini

terkesan ―jarang bersilaturahmi‖ secara gagasan— karena mungkin terlalu sibuk berbisnis dan
berpolitik. Ilham harus membuat ICMI menjadi menarik, bukan malah menjadikan ICMI ke
pojok wilayah yang semakin ―nyaris tak terdengar‖. Selain itu, dia harus bisa lepas dari bayangbayang kebesaran ayahnya, BJ Habibie, tapi melanjutkan warisan intelektualitasnya.
Blantik Sapi
Setahun setelah organisasi ini berdiri, saya kuliah Universitas Muhammadiyah Malang dan
bercengkerama dengan salah satu sosok penting yang terlibat dalam pendiriannya,A Malik
Fadjar. Saya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan turut merasakan kegairahan
intelektual yang dinyalakan oleh ICMI pada awal-awal pendiriannya di kota tempatnya didirikan.
Saya memang tak terlibat aktif di organisasi ini, tapi selalu berusaha menyimak perkembangan
dan mengajukan pertanyaan: apa yang menarik dari ICMI sekarang? Ketika Muktamar V ICMI
diselenggarakan, saya buka kliping lama dan ketemulah makalah budayawan Emha Ainun
Nadjib (Cak Nun) pada sarasehan cendekiawan muslim di Universitas Brawijaya, 1990 itu.
Cak Nun memaparkan konsep kecendekiaan menurut Alquran. Paparannya serius. Setidaknya
terkandung pesan, tugas muslim cendekia itu berat dan karenanya harus sungguh-sungguh. Cak

Nun mengusulkan frase muslim cendekiawan,bukan cendekiawan muslim. Subyeknya adalah
muslim. Muslim itu ada yang cendekiawan atau bukan cendekiawan. Muslim yang predikatnya
cendekiawan tentu ―beban amanatnya‖ jauh lebih berat ketimbang yang bukan
cendekiawan.Walau begitu, Cak Nun akan menerima apa saja nama organisasi cendekiawan
yang akan didirikan itu, termasuk apabila tetap memakai cendekiawan muslim.

Menurut Cak Nun, jangankan ―cendekiawan muslim‖, mau mendirikan ikatan blantik sapi pun
dia akan menerima sejauh organisasi tersebut dimaksudkan untuk kemaslahatan umat dan
bangsa. Di tengah kritik sentimen primordial, organisasi itu kemudian hadir, tetap bernama
ICMI, bukan IMCI. Cendekiawan muslim tentu bukan ―blantik sapi‖dalam guyonan Cak Nun.
Cendekiawan tentu lebih mengedepankan nilai, etos, dan cara pandang yang luas multiperspektif,
ketimbang blantik atau makelar yang pragmatis-transaksional. Yang diharapkan dari
cendekiawan adalah produk pemikirannya, bukan semata-mata figurfigurnya. ICMI memang
memerlukan ―pendekar-pendekar‖, tetapi jauh daripada itu adalah ―kesaktiannya‖,
kemanfaatannya.
Defisit Tokoh
Dalam perkembangannya, merujuk pada uraian legendaris ICMI BJ Habibie, pemaknaan politis
atasnya tidak dapat dilepaskan. ICMI menjadi simbol prestisius politik kelas menengah muslim
Indonesia, dari yang semula dirasakan di pinggiran ke tengah. Jargon-jargon ―santri-isasi
priyayi‖ mengemuka. Dekade 1990-an tercatat sebagai titik balik ―politik muslim‖ atau kelas
menengah muslim di Indonesia. Kegairahan ―politik‖ masih terasa diimbangi kegairahan
―intelektual‖ saat itu, dengan aktivitas ―sayap intelektual‖ CIDES yang aktif memproduksi
wacana-wacana tertulis yang bermutu.
Tetapi, dalam perkembangannya, seiring dengan menguatnya fenomena ketergantungan dan
―personalisasi organisasi‖, ICMI ―menurun‖. Dinamika politik memang ingar-bingar setelah
1998. ICMI, dan kelihatannya juga ormas-ormas Islam lain, ―tertimpa politik‖. Kegairahan

politik meningkat, tetapi sayangnya tak diimbangi dengan kegairahan intelektual. Nurcholish
Madjid, yang berkontribusi memberikan catatan semacam nilai-nilai dasar ICMI, kian terkesan
tidak begitu at homedi dalam organisasi cendekiawan yang ―penuh sesak‖ oleh para birokrat dan
politisi itu. Demikian pula tampaknya dengan Imaduddin Abdurrahim, yang saat itu kian uzur.
Tokoh lain seperti Adi Sasono, Umar Juoro, dan yang lain tampak tak kuat menahan bebanbeban alamiah yang membuat ICMI dan CIDES merosot aktivitasnya.
Maka lantas terkesan bahwa ICMI adalah organisasi cendekiawan yang sedang ―defisit
cendekiawan‖. Persoalan yang dihadapi ICMI sendiri kian kompleks. Maka, sebagai wadah, ia
perlu tampil semenarik mungkin. Struktur insentif apalagi yang dapat ditawarkan organisasi ini
kepada para muslim cendekiawan? Yang jelas, bukan lagi ―kekuasaan‖. Karenanya
sesungguhnya dapat dipahami, mengapa ICMI ―menurun‖. ICMI lahir karena ―topangan
kekuasaan‖, walaupun tak sepenuhnya. Ketika tak ada lagi ―topangan kekuasaan‖, maka
demikianlah konsekuensinya. ICMI kini berada di era ―kompetisi politik bebas‖.
Para tokohnya dari beragam partai politik. Problem ICMI dalam konteks ini nyaris sama dengan
organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai ormas pemuda yang plural, yang

para tokohnya juga dari beragam partai politik. Tidak menjadi soal, kalau realitas objektifnya
demikian. Tapi karena telanjur memilih predikat cendekiawan muslim, maka sesungguhnya
masyarakat atau umat, masih sangat berharap bahwa ―bara intelektual‖ ICMI tetap lebih
mengedepan.
Bara Intelektual

Inisiatif-inisiatif muslim cendekiawan dalam menyalakan ―bara intelektual‖ alias apa yang
dipopulerkan Bung Karno sebagai ―api Islam‖ itu tetap ditunggu. ICMI bisa mewadahi potensipotensi kreatif umat secara inklusif, bukan korporatis-eksklusif. ICMI harus menginisiatifi
berbagai dialog kultural dan peradaban dalam arti yang luas. Harus proaktif. ICMI harus dinamis
karena hakikat cendekiawan itu sendiri adalah dinamis dalam berpikir. Berpijak dari
pengalaman, sebagai kekuatan masyarakat madani, ICMI harus mandiri dari negara (state).
ICMI harus tetap menjadi kekuatan independen-kritis, selayaknya citra yang melekat pada sosok
cendekiawan. ICMI tidak boleh turut dalam politik praktis, kecuali terus-menerus mewacanakan
politik nilai atau nilai-nilai islami dalam berpolitik. Singkat kata, ICMI harus ―kebul-kebul‖
dengan produk-produk intelektualitasnya, dengan agenda-agenda aksi nyatanya, untuk umat,
untuk bangsa. Akhirnya, selamat bekerja, Ilham Akbar Habibie. Inisiatif-inisiatifAnda ditunggu.
Wallahua’lam.(*)
M Alfan Alfian
Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Sumber : http://suar.okezone.com/read/2010/12/16/58/403972/58/inisiatif-inisiatif-muslimcendekiawan