REPRESENTASI PEREMPUAN BERGAYA MASKULIN DALAM MAJALAH CITA CINTA Analisis Semiotik Rubrik "Gaya & Cantik" Majalah "Cita Cinta"

REPRESENTASI PEREMPUAN BERGAYA MASKULIN
DALAM MAJALAH CITA CINTA
(Analisis Semiotik Rubrik “Gaya & Cantik” Majalah “Cita Cinta”
Edisi 16 tanggal 04 – 18 Agustus 2010)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh :
Yenny Paramasinta
05220066

Dosen Pembimbing :
1. Drs. Farid Rusman M.Si
2. Drs. Sugeng Puji Leksono M.Si

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MALANG
2011

PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
: Yenny Paramasinta
Tempat, tanggal lahir
: Tulung Agung, 17 Agustus 1986
Nomor Induk Mahasiswa
: 05220066
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan
: Ilmu Komunikasi

Menyatakan bahwa karya ilmiah (skripsi) dengan judul :
REPRESENTASI PEREMPUAN BERGAYA MASKULIN

DALAM MAJALAH CITA CINTA
(Analisis Semiotik Rubrik “Gaya & Cantik” Majalah “Cita Cinta”
Edisi 16 tanggal 04 – 18 Agustus 2010)
adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya,
kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya dengan benar.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini
tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 26 Maret 2011
Yang Menyatakan,

Yenny Paramasinta

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. Hanya dengan kuasa-Nya peneliti mampu
menjalani proses pengerjaan skripsi yang berjudul : REPRESENTASI PEREMPUAN
BERGAYA MASKULIN DALAM MAJALAH CITA CINTA (Analisis Semiotik Rubrik
“Gaya & Cantik” Majalah “Cita Cinta” Edisi 16 tanggal 04 – 18 Agustus 2010), dengan
penuh kejujuran dan keteguhan hati.

Penelitian ini berawal dari sebuah fenomena tentang era keterbukaan dan kebebasan
media terhadap informasi fashion kepada khalayak luas. Munculnya media-media yang
menghadirkan stimulus kepada khalayak bahwa Fashion merupakan kebutuhan. Fashion
sendiri pada masa ini tidak hanya terbatas pada pakaian yang di peragakan model di catwalk.
Namun lebih pada eksistensi diri serta pemberian nilai kelas atau status seseorang. Dalam
pakaian terdapat banyak sekali makna tersimpan untuk memberikan penegasan tentang rasa,
sifat, bahkan sikap kepada orang lain.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan peneliti
terhadap berbagai pandangan terhadap fashion yang mengiringi perkembangan media massa
di tanah air. Namun dalam hal ini, peneliti tidak bermaksud untuk memisahkan definisi
tentang fashion sendiri, melainkan sebagai sesuatu yang universal.
Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengajak pembaca untuk berfikir tentang
bagaimana kita memandang Fashion sebagai bukan kebutuhan yang primer, dengan tidak
terjebak pada kategori khalayak yang konsumtif.

DAFTAR ISI
Halaman Judul Skripsi……………………………………………………………..i
Lembar Persetujuan Skripsi……………………………………………………….ii
Lembar Pengesahan………………………………………………………………iii
Pernyataan Orisinalitas…………………………………………………………...iv

Bimbingan Acara Skripsi………………………………………………………….v
Abstraksi………………………………………………………………………….vi
Kata Pengantar…………………………………………………………………..viii
Daftar Isi…………………………………………………………………………...x
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………..1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………7
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………….7
D. Kegunaan Penelitian……………………………………………………….7
E. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………..8
1

Media Industri Budaya………………………………………………...8

2

Gaya Hidup dan Kebudayaan konsumen pada Perempuan…………..11

3


Perempuan sebagai Komoditi dalam Media…………………………16

4

Mitos Perempuan Indonesia………………………………………….21

5

Perempuan dalam Media Massa (Cetak) sebagai Realitas Simbol…..24

6

Semiotik sebagai Alat Analisis Tanda……………………………….26

7

Tinjauan Semiotik Fashion…………………………………………..33

8


Representasi Perempuan dalam Media………………………………37

F. Definisi Konseptual………………………………………………………43
G. Metode Penelitian………………………………………………………...44

1. Tipe Penelitian……………………………………………………….44
2. Dasar Penelitian……………………………………………………...45
3. Ruang Lingkup dan Fokus Penelitian………………………………..47
4. Unit Analisis Penelitian………………………………………………48
5. Sumber dan Cara Memperoleh data………………………………….48
6. Teknik Analisis Data…………………………………………………49
7. Teknik Keabsahan Data….................................................................51
BAB II. DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN……………………………………52
A. Perkembangan Majalah di Indonesia…………………………………….52
B. Sekilas tentang Majalah Cita Cinta………………………………………55
C. Sekilas tentang Perkembangan Fashion (industri) sebagai Gaya Hidup
dalam Majalah……………………………………………………………60
BAB III. PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN…………………………64
Penyajian Data…………………………………………………………………...67
A. Interpretasi Makna Analisis Gambar 1…………………………………..70

B. Interpretasi Makna Analisis Gambar 2…………………………………..73
C. Interpretasi Makna Analisis Gambar 3…………………………………..76
D. Interpretasi Makna Analisis Gambar 4…………………………………..79
E. Interpretasi Makna Analisis Gambar 5…………………………………..81
F. Interpretasi Makna Analisis Gambar 6…………………………………..85
G. Interpretasi Makna Analisis Gambar 7…………………………………..88
H. Interpretasi Makna Analisis Gambar 8…………………………………..90
BAB IV. PENUTUP……………………………………………………………..91
A. Kesimpulan………………………………………………………………93
B. Saran……………………………………………………………………..95

1. Akademis……………………………………………………………..95
2. Metodologis………………………………………………………….96
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………97

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, Malcolm. 1996. Fashion sebagai Komunikasi. Yogyakarta. Jalasutra.
Budiman, Kris. 2004. Jejaring Tanda-tanda Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik
Kebudayaan. Yogyakarta. Jalasutra.

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung. Rosdakarya.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Tranformasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Fiske, John. 1990. Culture and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Yogyakarta. Jalasutra.
Haryanto, Ignatius. 2003. Aku Selebritis Maka Aku Penting. Yogyakarta. Bentang.
Haryatmoko. 2001. Dominasi Laki-Laki Melalui Wacana. Dalam Nur Iman Subodo (Editor),
Feminis Laki-Laki: Solusi atau Persoalan?. Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan
Hidayat, Rachmat. 2004. Ilmu yang Seksis. Yogyakarta. Jendela
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta. Jalasutra.
McQuail, Dennis. 2000. Mass Communication Theories.
Moleong J, Lexy. 2006. Metode Kualitatif Edisi Revisi. Bandung. Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Rosdakarya.
Muniarti, A. Nunuk. P. 2004. Perempuan Indonesia dalam perspektif sosial, politik, ekonomi,
hukum, dan HAM. Magelang. Indonesiatera.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta. Jalasutra.
Rogers, Mary F. 2003. Barbie Culture. Yogyakarta. Bentang.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung. Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung. Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. RajaGrafindo Persada.

Sutrisno, Mudji. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius.

Non Buku :
- http://aingkries.blogspot.com/2007/12/representasi-media-visual-semiotik.html
- id.wikipedia.org/wiki/semiotika.
- http://setabasri01.blogspot.com/2010/01/teori-sistem-budaya-indonesia.html
- http://duamata.blogspot.com/2006/02/majalah-bag-2-indonesia-punya-cerita.html

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Remaja perempuan di kota-kota besar atau biasa disebut dengan

remaja perempuan modern selalu mempunyai cara untuk berpenampilan
berbeda, meskipun tidak selalu “original” karena banyak mengadopsi gaya

selebritis idolanya masing-masing. Dengan demikian remaja perempuan
modern selalu berusaha untuk memperbaharui penampilannya sesuai
“trend” yang sedang berlaku. Disebut penampilan bukan hanya apa yang
melekat di tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan potensi
dalam diri memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri. Pesan
verbal dan non verbal yang disampaikan media massa dianggap sebagai
salah satu hal penting yang akan memberikan ciri khusus pada remaja
perempuan modern. Cara berpakaian dan pilihan warna dalam berbusana
ataupun dalam hal apa saja yang berkaitan dengan identitasnya sebagai
remaja adalah salah satu daru usaha dari remaja untuk membentuk citra
tertentu melalui penampilannya. Sebagian orang berpandangan bahwa
pilihan seseorang atas busana mencerminkan kepribadiannya (Mulyana,
2005;347).
Remaja perempuan kini sangat mudah terpengaruh dengan “trend”.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, mereka mencari informasi tersebut di
media massa seperti majalah dan televisi. Dengan adanya gambaran seperti

ini di kota-kota metropolitan seperti pada umumnya, dikarenakan masuknya
budaya luar ke Indonesia. Hal-hal yang dilakukan oleh selebritis luar negeri
dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang diliput oleh media massa dan

disebar-luaskan sehingga masuk ke Indonesia.
Kita mengetahui bahwa pengaruh dunia barat dengan nilai-nilainya
yang mempengaruhi nilai budaya kita. Hal tersebut akibat arus simbolik
global yang nyata yaitu nilai-nilai luar yang dapat mudah masuk ke dalam
kehidupan masyarakat melalui tranformasi teknologi komunikasi modern
dan industru komersil. Kemasan media massa yang menarik dapat membuat
khlayak tertarik untuk melihat atau membaca informasi tersebut, dan
bagaimana media massa mengkontruksikan realitas kedalam sebuah
kemasan medianya (Sobur, 2009;89).
Penempatan remaja perempuan dalam media massa saat ini
merupakan bagian dari hal yang penting, karena dunia remaja adalah dunia
yang menarik untuk terus kita ketahui dan kita simak. Media massa hanya
mempengaruhi serta menyibak gaya dan pola remaja saat ini. Pemenuhan
kebutuhan informasi dari remaja perempuan yang membuat banyak media
massa selalu berusaha memenuhi kebutuhannya tersebut. Penggambaran
yang terdapat di sebuah media massa menimbulkan rasa tertarik khalayak
untuk mengetahui lebih jauh tentang dunia remaja tersebut. Bagaimana
media massa menampilkan sebuah gambar, warna, lambang, dan tandatanda yang ada sebagai konstruksi realita yang ada. Isi media pada
hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa baik verbal dan

non verbal sebagai perangkatnya, sedangkan bahasa bukan saja alat
mempresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa
yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media
massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna
dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikan (Mulyana,
2005;376).
Kecepatan informasi untuk menjangkau penerima informasi tersebut
terbawa oleh berbagai macam medium informasi yang sudah menjadi
kebutuhan masyarakat modern, karena melalui berbagai media massa
tersebut itulah nilai-nilai sosial dan budaya tersosialisasikan yang
didalamnya terdapat tanda-tanda dan simbol-simbol. Teknologi informasi
yang semakin modern membawa konsekuensi kebutuhan informasi tersebut
kedalam relasi-relasi sosial dalam masyarakat dengan menghilangkan batasbatas sosial budaya juga sangat berperan aktif dalam menghilangkan fungsi
ruang dan waktu. Dengan konsekuensi hilangnya batas-batas sosial budaya
akibat hilangnya fungsi ruang dan waktu, arus informasi membawa,
menawarkan, dan dapat mengubah wajah sosial dan budaya dengan
perlahan, dan seringkali tanpa disadari (Weber;1864).
Banyak variasi media pada akhirnya menuntut sebuah media untuk
bersaing dalam meraih pasar (khalayak). Berbagai strategi pemasaran
diupayakan untuk sekedardapat bertahan hidup, mulai dari pemilihan cover,
gaya, penyajian, hingga pemilihan tema-tema pemberitaan atau informasi
yang cenderung mengikuti selera pasar. Dalam hal ini, tema perempuan

kemudian menjadi dominan dan perkembangan media massa di tanah air,
khususnya media cetak.
Umumnya, media massa tersebut menyajikan informasi seputar
dunia perempuan berupa artikel maupun berita dengan gaya bahasa yang
lebih terbuka. Bahkan, beberapa media cetak (majalah dan tabloid) baik
majalah-majalah kategori luar (franchise), seperti: Cosmopolitan, Lisa,
Alette, Playboy, Harpers Bazaars dan sebagainya, dan tabloid-tabloid lokal
(non-franchise) seperti: Liberty, Cantiq, Nyata, Cita cinta, dan lain
sebagainya, yang sengaja menampilkan cover (foto) perempuan dengan
pakaian yang minim dengan pose yang menantang sebagai nilai jual untuk
mensiasati daya saing media.
Majalah dan tabloid juga dapat diartikan media yang mempunyai
sifat komunikasi non verbal yang merupakan fungsi presentasional sejauh
kode tersebut dapat disajikan dalam pesan-pesan representasi. Teks tertulis
bisa memiliki “nada suara“, foto pada halaman muka sebuah majalah bisa
menunjukkan secara menyeluruh rasa senang atau suka cita. Foto pada
halaman muka sebuah majalah adalah salah satu contoh kode representasi.
Kode representasi adalah satu-satunya kode yang bisa menunjukkan fungsi
referensi. Kode ini juga sangat efektif untuk fungsi konatif dan emosional.
Representasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah fenomena yang dalam
bentuk-bentuk yang berbeda (peristiwa mental, pernyataan verbal, gambar,
suara, dll) memperlihatkan sebuah ciri simbolis yang menggantikan obyek
itu sendiri, dan dimana obyek itu bisa berasal dari dunia materi, peristiwa,

manusia, sosial, ide, dan imajiner. Penyebutan representasi dalam ilmu-ilmu
humaniora saat ini memiliki status yang lintas-ilmu dengan berbagai
pemakaian. Maka representasi disini merupakan wujud simbol yang dapat
menyampaikan komunikasi non verbal yang dilangsungkan melalui kodekode presentasional seperti gerak mata, gerak tubuh, dan sebagainya (dalam
www.google.com/http://aingkries.blogspot.com/2007/12/representasimedia-visual-semiotik.html).
Sejarah media menggambarkan dan merepresentasikan perempuan
sejajar dengan sejarah penggambaran orang kulit berwarna. Perempuan dan
kulit berwarna sering dimarjinalkan dalam semua bentuk media. Citra-citra
stereotipe tentang perempuan yang menyolok mendominasi tahun-tahun
awal media massa. Saat khalayak media dan industri media merasakan
pengaruh gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, citra
stereotipe ini meretas jalan ke arah keanekaragaman yang lebih luas dan
peran bagi perempuan.
Citra media tentang perempuan dan laki-laki merefleksikan dan
mereproduksi seluruh rangkaian stereotipe di samping perubahan peran
gender. Citra media bisa “mengajarkan” banyak hal. Berbagai media
menyajikan model yang kuat dan ideal. Media dianggap sebagai agen
sosialisasi gender yang penting dalam keluarga dan masyarakat. Media
mengungkapkan kepada kita tentang peran perempuan dan laki-laki dari
sudut pandang tertentu. Media menentukan dan mengukuhkan ideologi,
“sistem kepercayaan”, atau “pandangan dunia” tertentu

Peningkatan akses perempuan pada media dipandang tak hanya akan
menjadi tandingan untuk mengimbangi (counter balance) seleksi informasi
oleh laki-laki yang diyakini pada kondisi terbaik, bukan untuk melayani
kepentingan perempuan tetapi juga menghasilkan output media yang
berbeda. Kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada perpekstif
dan tafsir baru. Namun, akses perempuan dan partisipasi aktif perempuan
dalam produksi pesan media dalam perkembangannya dianggap bukanlah
satu-satunya cara untuk memperbaiki “nasib” perempuan dalam media dan
ruang publik. Munculnya studi yang memandang “khalayak aktif” dalam
menafsirkan pesan media, dianggap sebagai jalan untuk melakukan
perlawanan atas mitos atau makna-makna dominan yang disebarkan lewat
produk dan pesan media.
Begitu pula representasi perempuan dalam media massa juga akan
dipengaruhi bagaimana konstruksi sosial yang melingkupinya, termasuk di
dalam majalah wanita. Oleh karena sebagai politik kapitalis, industri media
sangat dipengaruhi berbagai hal, baik yang ada dalam organisasi media
maupun ekstra media, sebagaimana dikemukakan. Ada lima tataran yang
mempengaruhi isi media, yaitu tataran individual pekerja, tataran rutinitas
media, tataran organisasai media, tataran ekstra media, dan faktor ideologi.
Termasuk dalam tataran individual pekerja media adalah latar belakang
sosial, ekonomi, dan pendidikan wartawan. Rutinitas media menyangkut
kepentingan khalayak yang meliputi nilai berita, objektivitas, dan struktur

cerita. Organisasi media menyangkut gatekeeper, perspektif pemberitaan,
serta sumber eksternal seperti interview, dan lain-lain.
Objek penelitian ini adalah salah satu rubrik pada majalah CitaCinta.
Pemilihan media tersebut berdasarkan banyaknya rubrik yang hanya
memuat tentang masalah perempuan dari segi fisik seperti halnya artikel
tentang solusi perawatan tubuh yang dominan di setiap edisinya. Majalah
ini juga termasuk media yang sudah terkenal di Indonesia sebagai salah satu
referensi perempuan untuk mencari informasi tentang perawatan tubuh
hingga dunia fashion.
Penelitian ini memfokuskan pada salah satu rubrik tentang
perempuan, yaitu representasi perempuan yang digambarkan sebagai suatu
investasi dan kebutuhan oleh setiap perempuan. Dalam hal ini, perempuan
tidak lagi digambarkan sebagai objek yang pasif, melainkan kunci menuju
kesuksesan dengan menonjolkan sisi fisik dan juga penampilan luar
perempuan sebagai wujud ekspresi diri.

B.

Rumusan masalah

Bagaimana perempuan bergaya maskulin direpresentasikan dalam
majalah “Cita Cinta”?

C.

Tujuan penelitian
Untuk mengetahui representasi perempuan bergaya maskulin dalam

majalah Cita Cinta :

a) Untuk men getahui penggunaan teori konsumerisme dalam karya
jurnalistik (Cita Cinta), melalui teori Jean Baudillard yaitu
konsumer skizofrenik.
b) Untuk membongkar makna ideologis (mitos) dibalik simbolsimbol dalam produk jurnalistik (Cita Cinta), melalui konsep
signifikasi dua tahap (semiotik konotasi) Roland Barthes.

D. Kegunaan penelitian
1. Kegunaan Akademis
Secara akademis penelitian ini diharapkan menambah dan
melengkapi bahan referensi untuk jurusan Ilmu komunikasi
khususnya

konsentrasi

jurnalistik

yang

akan

melakukan

penelitian serta menambah wacana representasi perempuan.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat untuk memberikan gambaran
dan pengetahuan terhadap fenomena yang ada di masyarakat.
Bagaimana media mengemas fenomena tersebut ke dalam
sebuah majalah, yang menarik dan membuat khalayak ingin
mengetahui lebih jauh dan memberi pandangan tentang
fenomena tersebut.

E. Tinjauan Pustaka
E.1. Media Industri Budaya
Media Industri adalah dimana media dijadikan komoditas untuk
kegiatan ekonomi yang mengolah pesan dan informasi menjadi suatu hal
yang bisa dikonsumsi dengan nilai yang lebih. Media massa dan industri
menciptakan kebutuhan remaja perempuan demi kepentingan pasar, yang
disuarakan sebagai cara bagi remaja perempuan untuk keluar dari identitas
yang diinginkan oleh orang tua. Akhirnya budaya remaja perempuan sangat
identik dengan penampilan sebagai representasi identitas.
Tentunya remaja perempuan di kota-kota besar adalah kelompok
yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi yang dibutuhkan.
Mereka memungut informasi dari mana saja, dari televisi, majalah, radio,
bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk
memanfaatkan waktu luang di pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan
ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi
dan pertukaran informasi. (Prawito, 2009;91).
Kata kebudayaan berasal dari kata Sansakerta yaitu Buddhayah,
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi atau akal”. Dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan
dengan akal. Tetapi ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai
suatu perkembangan dari majemuk budi daya yang berarti daya dari budi.
Karena itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan (Soekanto,
1990;173).

Menurut E. B. Tylor, kebudayaan adalah kompleks yang
menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Kajian budaya dan pemikiran postmodern, yang berusaha menolak paksaan (determinasi) budaya dan narasi
sejarah besar perkembangan kapitalis dan modernitas di mana konsepkonsep determinasi tersebut bersandar, dan mendominasi kajian media dan
budaya, pada saat ketika teori tentang sebuah masyarakat informasi yang
menempatkan pengembangan informasi dan komunikasi sebagai jantung
perkembangan dan restrukturisasi kapitalis. Untuk menggambarkan media
sebagai industri budaya adalah untuk menunjuk kepada realitas yang dapat
didemonstrasikan bahwa bentuk-bentuk simbolik secara umum diproduksi,
disebarkan dan dikonsumsi dalam bentuk komoditi dan di bawah kondisi
persaingan

pasar

kapitalis

dan

pertukaran

kapitalis

(dalam

www.google.com/http://setabasri01.blogspot.com/2010/01/teori-sistembudaya-indonesia.html).
Media juga berfungsi sebagai media budaya. Media budaya
merupakan media yang berada dalam budaya masyarakat dan sebenarnya
menjembatani kepentingan salah satu pihak, yaitu pihak budaya masyarakat
industri dengan budaya masyarakat pengguna. Pengguna media budaya
adalah individu-individu yang menikmati bentuk-bentuk media budaya,
seperti majalah, surat kabar, atau tayangan yang muncul di televisi. Individu
dan masyarakat pengguna diperkenalkan dengan semboyan atau slogan

yang menjanjikan. Dan kebudayaan yang masuk ditiru oleh kaum
metropolis khususnya para remaja perempuan metropolitan. Mereka
umumnya berasal dari kalangan menengah-keatas dan termasuk kategori A
dalam strata sosial ekonomi. Pergeseran nilai dan budaya itu terjadi karena
sikap dari respon remaja metropolitan yang menerima pengaruh dari luar
dan mereka merasa pas atau cocok dengan kehidupan remaja metropolitan.
Dominic Strinati menjelaskan bahwa popular culture merupakan
lawan dari High Culture yang elitis. Peluang komersialisasi High Culture
adalah lebih kecil tinimbang popular culture. Sebab itu kaum bisnisindustrialis lebih melirik komersialisasi popular culture karena pendukung
dan penikmat budaya ini jauh lebih besar dan luas melintasi segala sekat
sosial

(dalam

www.google.com/http://setabasri01.blogspot.com//teori-

sistem-budaya-indonesia.html).
E.2. Gaya Hidup dan Kebudayaan Konsumen pada Perempuan
Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam
aktivitas, minat dan opini khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk
merefleksikan status sosialnya. Gaya hidup merupakan frame of reference
yang dipakai sesorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan
membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana dia ingin
dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan
bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status
sosial yang disandangnya. Untuk merefleksikan image inilah, dibutuhkan

simbol-simbol status tertentu, yang sangat berperan dalam mempengaruhi
perilaku konsumsinya.
Selayaknya status sosial merupakan penghargaan masyarakat atas
prestasi yang dicapai oleh seseorang. Jika seseorang telah mencapai suatu
prestasi tertentu, ia layak di tempatkan pada lapisan tertentu dalam
masyarakatnya. Semua orang diharapkan mempunyai kesempatan yang
sama untuk meraih prestasi, dan melahirkan kompetisi untuk meraihnya.
Membicarakan gaya hidup ini juga berkaitan dengan perempuan
yang modern, feminim, dan selalu “up to date”. Perilaku ini yang kadang
menciptakan seorang manusia dalam hal ini perempuan, selalu dikaitkan
dengan sikap konsumtive yang berlebihan. Sering kita mendengar bahwa
kata shopping, diskon, dan sejenisnya, merupakan milik perempuan pada
umumnya. Berbelanja kebutuhan rumah tangga merupakan “hak milik” dari
setiap perempuan. Oleh karena itu, perempuan merupakan alat komoditi
paling handal untuk urusan berbelanja.
Gaya hidup modern selalu berkaitan erat dengan sifat konsumtif
yang dimiliki perempuan. Banyak sekali industri membidik pangsa
perempuan untuk dijadikan sasaran utama untuk penjualan produk mereka.
Demikian pula dengan majalah yang banyak sekali majalah yang bersifat
perempuan dan tak lupa memanfaatkan sifat alamiah perempuan yaitu sifat
konsumtifnya. Tak lepas dari itu ada teori Barbie Culture yang
menyebutkan barbie merupakan ikon budaya konsumtif, terutama

perempuan cantik yang digambarkan sempurna oleh barbie (Roger,
2003;128).
Dalam hal berbelanja perempuan adalah seorang yang sangat
dipercaya, namun juga tidak demikian. Banyak perempuan yang
menghabiskan waktu dan uangnya ditempat perbelanjaan hanya dengan
membeli barang-barang yang tidak diperlukan. Selain itu, perempuanjuga
sangat menyukai tempat-tempat yang bersifat memanjakan diri seperti salon
atau spa. Ditempat-tempat yang berbau feminisme, perempuan sering
menghabiskan waktunya untuk hanya sekedar melepas kepenatan dan
kebosanan akan kesehariannya. Bisa saja ini disebut “budaya” berdasarkan
fenomena yang terjadi pada masyarakat saat ini. Masyarakat Konsumen
berputar di sekitar simbol dan tanda.
Dick Hebdige, melihat kemungkinan untuk mengategorikan gayagaya yang dikembangkan oleh subkultur-subkultur sebagai satu bentuk
subversi budaya, kalau tidak dapat dikatakan subversi politis. Melalui
kajiannya pada gaya-gaya subkultur, ditemukan empat konsep gaya pada
subkultur.
1. Gaya sebagai suatu praktek pertandaan. Gaya digunakan untuk
membaca pakaian kelompok subkultur sebagai satu bahasa tanda
yang mengandung makna-makna semiotika tertentu.
2. Gaya sebagai resistensi, penggunaan gaya pakaian atau musik
subkultur yang bersifat ironis merupakan satu bentuk resistensi
simbolis terhadap kebudayaan yang mapan.

3. Gaya sebagai bricolage, secara sederhana berarti mengambil satu
cuplikan kecil dari satu tempat dan menempatkannya pada tempat
lain untuk menciptakan satu makna baru. Inilah yang dilakukan
anak-anak punk, mereka menggunakan lambang Swastika pada
jaket atau atribut mereka lainnya, bukan untuk menghormati
fasisme, akan tetapi untuk menentang orde yang mapan.
4. Gaya sebagai homologi. Istilah homologi digunakan untuk
menjelaskan kesesuaian antara nilai-nilai dan gaya yang
digunakan oleh satu kelompok. Bahkan pada kelompok konsumer
mereka tidak dapat di samakan dengan kelompok sosial lainnya.
(Piliang, 2003;249 ).
Di dalam masyarakat konsumer, media massa dan komoditi adalah
wahana di mana seseorang dapat menemukan makna eksistensinya.
Pembelokkan perhatian dan kesadaran masyarakat luas melalui gaya-gaya
yang ditawarkan menjadi ciri dari kebudayaan masyarakat konsumer.
Penciptaan gaya adalah satu proses penciptaan citraan-citraan melalui
komoditi secara total untuk dpercayai dan diikuti oleh masyarakat luas.
Menurut Baudrillard,

kita hidup dalam era di mana masyarakat

tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna
(seperti model Marxisme), melainkan pada komoditas sebagai tanda dan
simbol yang signifikansinya sewenang-wenang (arbitrer) dan tergantung
kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya “kode”.

Dalam era konsumsi, gejala sosial yang signifikan adalah makin
umum dan meluasnya penataan ulang (reorganisasi) aneka macam
kebutuhan dari levelnya yang mendasar menjadi sebuah sistem tanda.
Sistem tanda ini telah menjadi cara atau moda yang spesifik dalam transisi
dari alam ke budaya di era ini. Masyarakat konsumen adalah masyarakat
yang di mana orang-orang berusaha mengkonfirmasi, meneguhkan identitas
dan perbedaannya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli
dan mengkonsumsi sistem tanda bersama. Konsumsi adalah aturan berbagai
signifikasi seperti sistem bahasa atau pertemanan dalam masyarakat
primitif.
Masyarakat konsumen berputar di sekitar simbol dan tanda. Tak
heran jika media massa, kenikmatan, dan seksualitas-sensualitas merupakan
kata-kata kunci dalam segala jenis analisis sosial budaya masa kini. Media
massa menjadi mukjizat dalam liturgi objek kenikmatan dipahami sebagai
“penjelmaan kebebasan”, dan tubuh manusia adalah objek konsumen yang
utama.
Dalam consumer society, Baudillard menganalogikan konsumsi pada
masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat
primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja
dan disembah. Jika dahulu ada pohon, patung, masyarakat masa kini pun
punya kultur-kultur sendiri seperti terhadap kemasan benda-benda, citra,
televisi, serta terhadap konsep kemajuan dan pertumbuhan.

Kita menganggap dalam kondisi yang paling dasar pakaian berfungsi
sebagai penutup tubuh untuk melindungi dari panas, dingin, debu dan
banyak keuntungan fisikal lainnya. Selanjutnya kita mengenakan pakaian
untuk memperoleh kenyamanan fisik dan psikis. Pada tingkatan tertinggi
pakaian bisa menjadi jembatan aktualisasi diri dan identitas kelompok.
Istilah fashion pertama kali dinisbahkan pada pola berbusana yang
bertujuan untuk fungsi aktualisasi diri. Kata fashion masuk dalam lingkup
perbusanaan dalam era yang menjadikannya sebagai komoditi yang
diperdagangkan. Sebagai sebuah komoditas ekonomi, strategi pemasaran
yang cermat dan jitu akan mempengaruhi kauntitas penjualan. Ajang
promosi

diciptakan dengan pergelaran fashion-fashion show.

Pada

akhirnya fashion hanyalah penampakan luar dari sebuah gaya yang tidak
tetap. Pergantian fashion setiap musim dan tahun bertujuan menjaga
kebaruan relatif dan mencegah kejemuan masyarakat konsumen. Mitosmitos tentang suatu produk tertentu sengaja diciptakan produsen dengan
memanfaatkan layanan iklan dan promosi.
Selera pasar yang dimaksud adalah Konsumer Skizofrenik. Di dalam
model komoditi total masyarakat konsumer, terjadi perubahan dalam
hubungan antara manusia dengan objek. Dalam hal seperti ini, kita tidak
lagi mengontrol objek-objek, akan tetapi, sebaliknya dikontrol oleh sistem
objek-objek. Kita hidup sesuai iramanya, sesuai dengan siklusnya yang tak
putus-putusnya. Kita hidup di dalam ekstasi konsumsi, dan konsumsi ini,
menurut Baudrillard dikendalikan oleh apa yang disebutnya logika hawa

nafsu. Gilles Deleuze dan Felix Guattari di dalam Anti-Oedipus: Capitalism
and Schizoprenia, mengungkapkan bahwa hawa nafsu di dalam masyarakat
kapitalisme diproduksi oleh apa yang disebutnya mesin hawa nafsu dalam
arti psikoanalisis yang digunakarmya untuk menjelaskan mekanisme
produksi ketidak cukupan di dalam diri. Kita menginginkan objek-objek
bukan disebabkan ketidak cukupan alamiah, melainkan ketidak cukupan
yang kita produksi dan reproduksi sendiri (Baudilard, dalam Sutrisno,
2005;261).
Masyarakat konsumer dilingkupi oleh tanda-tanda dalam wujud
komoditi dan tontonan, yang muncul dan menghilang dalam kecepatan
tinggi. Di hadapan hutan rimba tanda-tanda ini, menurut Deleuze dan
Guattari, konsumer skizofrenik mengambil posisi bagaikan sebuah jaring
laba-laba. Ia menjaring apa pun (tanda, produk, citra, atau gaya) yang
lewat, tanpa mampu memahami keterkaitan maknanya. Dalam konteks
arsitektur, memunculkan semacam ekstetika elemen-elemen arsitektur dulu
maupun sekarang. Semacam gejala yang ditiru oleh Mangun Wijaya,
“recuorse cataloque of the past” arsitektur sehingga, seperti apa yang
dikatakan Jameson, mereka hidup selamanya dalam apa yang disebutnya
chronos (ini-lalu-ini-lalu-ini-lalu), tanpa mampu lagi masuk ke dalam siklus
kairos (kehidupan yang bermakna siklus, ideologis, dan mitos).

E.3. Perempuan sebagai komoditi dalam media
Seorang Baudillard memandang bahwa komoditi bukanlah tentang
nilai tukar (penanda palsu), yang berseberangan dengan nilai guna (petanda)
yang benar, akan tetapi teralienasi. Nilai guna (petanda) dan kebutuhan
(referensi) saling silang dan melebur satu sama lain. Kombinasi antara nilai
guna plus kebutuhan dan petanda dan referensi (Piliang, 2003:106).
Banyak yang berpendapat bahwa citra perempuan dalam dunia
fashion, iklan, media populer dan majalah gosip ikut mempengaruhi para
wanita dan perempuan dalam meyakini sejumlah mitos tentang tubuh yang
ideal, tubuh yang didamba, tubuh yang sempurna tetapi tetap cantik dan
alami, dan bagaimana perilaku para model dalam dunia fashion dan bintang
yang menghiasi sampul majalah gadis dan wanita. Kontruksi aura dan citra
tubuh dalam teks-teks budaya populer ikut mengubah dan membentuk cita
rasa budaya anak muda tentang tubuh yang ideal secara budaya populer.
Dengan cara demikian pula, kita bisa memahami bahwa teks budaya
populer tentang tubuh dan citra diri hampir tak bisa dilepaskan bila kita
berbicara tentang penampilan perempuan dan laki-laki yang diidealkan di
pentas budaya populer yang terkomersialkan.
“Wanita-wanita itu sendiri memang sensual karena mereka memiliki
kecantikan yang istimewa. Mereka memperlihatkan kecantikan mereka
sehingga tubuh mereka yang indah dapat diperhatikan dan dihargai.”
(Helen Gurley Brown, 1997).

“Tubuh muncul sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk
menjual komoditi dan jasa sekaligus sebagai suatu objek yang dengan
sendirinya dikonsumsi. Agar bisa digunakan sebagai objek untuk menjual
berbagai hal, tubuh harus ‘direka ulang’ oleh ‘pemiliknya’ dan dilihat secara
marsistik ketimbang secara fungsional” (Jean Baudrillard, 1998).
Keberadaan media iklan, baik media massa ataupun media
elektronik (televisi, internet) merupakan element yang penting bagi sarana
promosi komoditi suatu produk dari industri. Dalam perjalanannya, ternyata
keberadaan media yang lebih banyak dikemudikan oleh “mesin kapitalis”
telah memberikan andil yang sangat besar terhadap proses dehumanisasi
dan penindasan terhadap kaum perempuan. Memang tidak dinafikkan juga
bahwa eksistensi media, disisi yang lain juga telah memblow up dan
memberikan kontribusi bagi dekonstruksi wacana perempuan selama ini.
Atau dengan kata lain, adanya media memberikan wacana kepada publik,
bahwa saat ini telah terjadi pergeseran yang cukup tajam akan peran
perempuan. Yakni dari ranah domestik ke ranah publik. Ini berarti bahwa
keberadaan perempuan dalam dunia publik sudah harus menjadi sesuatu
yang diperhitungkan. Dalam perkembangannya, keberadaan perempuan
dalam dunia publik, dalam konteks ini adalah media iklan (massa,
elektronik).
Relevansinya dengan proses humanisasi dalam kerangka menuju
pemberdayaan perempuan di era kapitalis ini, maka keberadaan akan cara
pandang yang sensitive gender menjadi sebuah keniscayaan. Sayangnya,

kesadaran seperti ini belum dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Tidak
sedikit warga masyarakat yang bersikap menerima apa adanya, bahkan
sebagian tanpa

sadar

justru

ikut

beranggapan seolah paradigma

pembangunan yang diterapkan misalnya sudah benar dan karena itu harus
didukung. Hal yang sama berlaku atas nilai-nilai yang dianut masyarakat
tentang keberadaan kaum perempuan. Karena itu muncul pemikiran bahwa
kepekaan setiap lapisan masayarakat agar dapat menangkap fenomena sosial
yang

tengah berkembang melalui perspektif

gender

perlu

untuk

ditumbuhkan. Dengan kata lain, ada upaya untuk mendesak berbagai
komponen dalam masyarakat untuk menggunakan perspektif gender dalam
melihat masalah sosial. Langkah ini sekaligus dapat diposisikan sebagai
bagian dari upaya demokratisasi kehidupan masyarakat menuju kehidupan
yang lebih baik serta terbebas dari struktur yang hegemonik (Fakih,
1996;79)
Adanya pemahaman atas perspektif gender diharapkan tidak saja
mengubah cara pandang warga masyarakat dalam menghadapi keberadaan
kaum perempuan termasuk perlakuan negatif yang dihadapi oleh kaum
perempuan khususnya dan kelompok yang mengalamai marginalisasi
umumnya. Lebih dari itu, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman dan
cara pandang baru terhadap dinamika kehidupan yang ada. Perbedaan
gender masih dianggap layk dipertanyakan karena secara umum masih
banyak masalah yang menyangkut persoalan gender. Komoditas sangat erat
hubungannya dengan kekuasaan yang tidak mungkin dipisahkan dengan

relasi antar gender, terutama bila kesetaraan adalah tujuannya sehingga
pembebasan perempuan harus mempertimbangkan faktor kekuasaan (Evans,
1995). Dalam relasi kekuasaan antar gender, kekuasaaan menjelaskan
kenestapaan perempuan sebagai korban asli supremasi kemahakuasaan lakilaki, tanpa harapan, dan tanpa pertolongan dalam hukum-hukum kekuasaan
yang semestinya. Kekuasaan dikaitkan dengan dominasi, pengekangan,
kontrol bahkan kekerasan (Clare, 1987 dalam Fakih, 1996;81).
Sejarah media menggambarkan dan merepresentasikan perempuan
sejajar dengan sejarah penggambaran orang kulit berwarna. Perempuan dan
kulit berwarna sering dimarjinalkan dalam semua bentuk media. Citra-citra
stereotipe tentang perempuan yang menyolok mendominasi tahun-tahun
awal media massa. Saat khalayak media dan industri media merasakan
pengaruh gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, citra
stereotipe ini meretas jalan ke arah keanekaragaman yang lebih luas dan
peran bagi perempuan.
Citra media tentang perempuan dan laki-laki merefleksikan dan
mereproduksi seluruh rangkaian stereotipe di samping perubahan peran
gender. Citra media bisa “mengajarkan” banyak hal. Berbagai media
menyajikan model yang kuat dan ideal. Media dianggap sebagai agen
sosialisasi gender yang penting dalam keluarga dan masyarakat. Media
mengungkapkan kepada kita tentang peran perempuan dan laki-laki dari
sudut pandang tertentu. Media menentukan dan mengukuhkan ideologi,
“sistem kepercayaan”, atau “pandangan dunia” tertentu. Media juga

menanamkan kesadaran dan mitos dan sekaligus sarana pengukuhan mitos
dan sekaligus sarana pengukuhan mitos tertentu tentang gender, perempuan,
dan laki-laki.
Berbagai mitos yang mendistorsi lewat penggambaran dan citra
perempuan yang selama ini hidup dalam teks-teks budaya pop sudah lama
memperoleh perhatian pengkaji gerakan wanita, terutama kaum feminis.
Kaum feminis telah mengevaluasi kaum perempuan dan memperhatikan
perlunya sesuatu yang sebelumnya dianggap tak berharga. Mereka mencoba
mengerti bagaimana kaum perempuan membaca dan memahami berbagai
teks budaya pop, juga mencari titik-titik perlawanan kaum perempuan
terhadap makna-makna yang dominan (Rakow, 1991 dalam Ibrahim,
2007;58).
Peningkatan akses perempuan pada media dipandang tak hanya akan
menjadi tandingan untuk mengimbangi (counter balance) seleksi informasi
oleh laki-laki yang diyakini pada kondisi terbaik, bukan untuk melayani
kepentingan perempuan tetapi juga menghasilkan output media yang
berbeda. Kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada perpekstif
dan tafsir baru. Namun, akses perempuan dan partisipasi aktif perempuan
dalam produksi pesan media dalam perkembangannya dianggap bukanlah
satu-satunya cara untuk memperbaiki “nasib” perempuan dalam media dan
ruang publik. Munculnya studi yang memandang “khalayak aktif” dalam
menafsirkan pesan media, dianggap sebagai jalan untuk melakukan

perlawanan atas mitos atau makna-makna dominan yang disebarkan lewat
produk dan pesan media.

E.4. Mitos Perempuan Indonesia
Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk
menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas alam. Mitos
merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk
memahami sesuatu. Seperti halnya perempuan lain di seluruh dunia, posisi
perempuan Indonesia masih berada dalam posisi di bawah. Proses sejarah
lah yang membuat perempuan telah dikontruksikan oleh berbagai macam
mitos (Barthes, 1973).
Dalam buku Muniarti, mitos perempuan dibagi menjadi tiga yaitu,
Pertama, mitos penciptaan telah menganggap perempuan adalah pembantu
laki-laki. Mitos ini dinyatakan dalam pernyataan politik pemerintah yang
memposisikan lelaki selalu sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai
pembantu lelaki (misalnya dalam Darma Wanita) (Muniarti, 2004;128).
Kedua, mitos kecantikan, merupakan satu dari mitos terhadap
steoreotip perempuan. Perusahaan kosmetik mendukung mitos ini, tentu saja
untuk keuntungannya sendiri. Dalam mitos ini, perempuan harus punya
keinginan untuk mewujudkannya, dan lelaki harus mendapatkan wujud dari
keinginan itu untuk memiliki perempuan yang serba cantik dan sempurna.
Perwujudan itu merupakan imperatif bagi perempuan, bukan untuk laki-laki.
Situasinya merupakan keharusan dan alamiah, karena situasinya merupakan

hal yang biologis seksual dan evolusioner. Laki-laki yang perkasa
bertempur bagi perempuan yang cantik dan perempuan cantik dijamin
secara produktif lebih berhasil. Perempuan cantik harus berkolerasi dengan
kesuburan mereka.
Ketiga, adalah mitos yang lebih besar yaitu mitos perempuan
sebagai ibu bangsa. Mitos ini megajarkan tentang tanggung jawab ibu,
peran, atau beban ganda perempuan dalam keluarga. Mitos-mitos ini, hingga
sekarang masih merupakan hasil asuhan dan dimanupulasi secara politis.
Pengaruh dari ideologi gender masih solid. Dampaknya sebagai berikut :
a) Perempuan sebagai objek pola konsumsi
Pekerjaan domestik bagi perempuan menyebaban perempuan
memiliki kebijakan dalam menentukan pola konsumsi
keluarga. Ia merupakan aktor pelaku dari konsumsi keluarga.
Ia harus memilih, membeli, menentukan jenis barang untuk
keluarganya. Posisi perempuan ini sangat strategis untuk
diterobos oleh para produsen melalui berbagai promosi
barang-barang baru.
b) Perempuan sebagai buruh murah.
Banyak barang-barang industri perlu dikerjakan secara
teratur. Stereotip terhadap perempuan mengatakan bahwa
perempuan harus mengerjakan hal tertentu, tetapi oleh pihak
lain perempuan dipandang sebagai buruh yang tidak
produktif. Berdasarkan cara berfikir demikian, timbul

justifikasi bila perusahaan apa pun memberikan upah lebih
rendah kepada kaum perempuan pekerja adalah wajar atau
biasa.
c) Pekerja migran perempuan.
Kehidupan yang keras di pedesaan mendorong perempuan,
khususnya

yang berusia muda untuk pergi mencari

pekerjaan. Pekerja perempuan merupakan salah satu pilihan
karena terdapat banyak promosi dari pemerintah. Mereka
tidak memliki alternatif lain, karena tidak memiliki
ketrampilan, kecakapan, dan modal.
d) Tubuh perempuan sebagai mekanisme komoditi seksual.
Ide-ide tentang kecantikan (perempuan), telah melibatkan
setahap demi setahap ide tentang uang. Sebelum perempuan
secara massal memasuki lapangan kerja sebagai buruh,
terdapat kelas tertentu yang secara eksplisit membayar
kecantikan

mereka.

Para

perempuan

pekerja

yang

mempunyai profesi dalam dunia hiburan, siap menemani
kesenangan para konsumennya di mana saja, kapan saja, dan
siapa saja. Semua bentuk komoditi ini secara cepat merasuk
pada pasar internasional yang terbuka dengan segala
implikasinya. Komoditi seksual, hanyalah salah satu contoh,
bagaimana perempuan berada dalam posisi sebagai objek
semata. Bahkan, berdasarkan mitos-mitos ideologi tubuh

perempuan. Mereka mencari pekerjaan karena problem
ekonomi mereka. Mereka datang di kota besar masih polos
dan percaya kepada sistem penerimaan pegawai, namun pada
kenyataannya mereka ditipu mentah-mentah, karena mereka
adalah bagian dari komoditi yang dijual itu.

E.5. Perempuan dalam Media Massa (Cetak) sebagai Realitas Simbol
Menurut Sobur, realitas berasal dari bahasa lati, res, yang artinya
benda, yang kemudian menjadi kata realis yang berarti sesuatu yang
membenda, aktual, dan atau mempunyai wujud. Sedangkan simbol, secara
etimologis, berasal dari bahasa Yunani, sym-ballein, yang berarti
melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide,
atau symbolos, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu
hal kepada orang lain. Dalam konsep Peirce, simbol diartikan sebagai tanda
yang mengacu pada objek tertentu diluar tanda itu sendiri. Hubungan antara
simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda), bersifat
konvensional. Dalam hal ini, kata salah satu bentuk simbol, karena
hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah
kebahasaannya,

yang

ditentukan

berdasarkan

konvensi

masyarakat

pemakainya. Dengn demikian, realitas simbolik merupakan ekspresi
simbolik dari realitas empiris dalam berbagai bentuk.
Sobur mengatakan bahwa simbol memiliki bentuk dan makna.
Berbeda dengan tanda, simbol memiliki keterkaitan dengan penafsiran

pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, serta kreasi
pemberian makna sesuai dengan intensi pemakai dalam hal ini, simbol telah
menjadi bentuk simbolik. Mulyana mengemukakan bahwa simbol adalah
suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari
manusia, dan respon manusia terhadap simbol dalam pengertian maknanya
dan nilainya ketimbang dalam pengertian stimulasi fisik dan alat-alat
inderanya.
Keindahan yang terdapat pada tubuh perempuan berbeda dengan
keindahan pada tubuh laki-laki. Keindahan yang khas dari tubuh perempuan
memuat cita rasa estetis yang unik. Seringkali apa yang dikenakan
perempuan dikaitkan dengan keindahan. Sama halnya dengan inspirasi
seorang penulis. Dari perempuanlah tercipta banyak sekali karya sastra yang
pada akhirnya begitu melegenda. Perempuan seakan tak pernah kehilangan
kisah-kisah untuk diceritakan. Dalam kehidupannya, perempuan sering
dihadapkan pada permasalahan betapa sulitnya menjadi seorang perempuan.
Begitu banyak masalah yang harus ia hadapi, sampai kemudian ia dapat
mencapai

kebijaksanaan

sebagai

perempuan.

Untuk

mencapai

kebijaksaannya, perempuan dihadapkan pada proses pencarian jati diri,
mencintai, dicintai, terluka, menangis, bahagia, dan masih banyak lagi.
Semua itu merupakan bagian yang selalu menarik untuk dikuak dan
diceritakan.
Tubuh perempuan dinilai indah secara anatomi, simbolik, modal
atau otoritas, semiotika, dan juga fotografi. Oleh karenanya, tubuh dapat

dimaknai beragam.

Ditinjau

dari segi anatomi tubuh merupakan

kompleksitas biologis yang mengagumkan, rumit, dan signifikan bagi
kelangsungan hidup manusia. Keindahan tubuh diagungkan dalam kegiatan
ritual manusia dan dimaknai keindahannya secara simbolik lewat karya seni
(lukisan, hasil foto dan lain-lain). Bagi perempuan pemilik tubuhnya, ia
menjadikan tubuh miliknya tiu sebagai modal untuk menciptakan dan
membentuk manusia baru atau untuk berekspresi. Pemilik tubuh perempuan
adalah dirinya sendiri. Dengan mengenali tubuh, perempuan tahu
bagaimana ia memperlakukannya. Kesadaran akan tubuhnya menjadi modal
dasar bagi perempuan untuk melakukan kontrol diri. Sebagai pemilik
sekaligus penentu, perempuan akan membentengi diri dari segala bentu
kekerasan yang ditujukan kepadanya, karena sadar tubuh indah adanya dan
berharga.

E.6. Semiotik sebagai Alat Analisis Tanda
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada
ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa
sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang
berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda atau sign dalam bahasa
Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti bahasa, kode,
sinyal, dan sebagainya. semiotik
Dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini,
fungsi

bahasa

adalah

sebagai

tanda.

Tanda

mengartikan

atau

merepresentasikan (menyimbolkan) konsep-konsep, gagasan atau perasaan
sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang membaca, men-decode
atau menginterpretasikan maknanya. Persoalan tanda ini secara lebih serius
terangkum dalam satu disiplin yang disebut sebagai semiologi atau
semiotik. Terobosan penting pada disiplin ini adalah diterimanya linguistik
sebagai model beserta penerapan konsep-konsepnya dalam fenomena lain
yang bukan hanya bahasa, dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai
teks. Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang
pemberi makna melalui bahasa.
Analisis kritis media berupaya mempertautkan hubungan antara
media massa dan keberadaan struktur sosial. Analisis kritis menguji
kandungan-kandungan pesan media, bagaimana teks atau bahasa media
dikaji, dan bagaimana makna yang dapat dimunculkan dari teks. Bagian
berikut akan sedikit mengetengahkan gagasan-gagasan semiotis yang
dikemukakan oleh seorang penganut Saussure dari Perancis, Roland
Barthes. Gagasan-gagasannya memberi gambaran yang luas mengenai
media kontemporer. Boleh jadi Barthes merupakan orang terpenting kedua
dalam tradisi semiotika Eropa setelah Saussure. Melalui sejumlah karyanya
ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa
dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia
menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa

Dokumen yang terkait

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM MAJALAH PRIA DEWASA (Analisis Wacana pada Majalah Pria Dewasa ME Rubrik Gallery Edisi 2012)

0 9 63

DIKSI DAN GAYA BAHASA PADA IKLAN MAJALAH CITA CINTA EDISI 2010

0 3 16

DIKSI DAN GAYA BAHASA PADA IKLAN MAJALAH CITA CINTA EDISI 2010

0 2 16

Konstruksi Gender Perempuan dalam Artikel MajalahGADIS Konstruksi Gender Perempuan dalam Artikel Majalah GADIS (Analisis Semiotik Sosial Artikel pada Rubrik ‘CINTA’ dalam Majalah GADIS Edisi 08 – 11, Bulan Maret – April 2012).

0 3 11

A. Latar Belakang Konstruksi Gender Perempuan dalam Artikel Majalah GADIS (Analisis Semiotik Sosial Artikel pada Rubrik ‘CINTA’ dalam Majalah GADIS Edisi 08 – 11, Bulan Maret – April 2012).

0 2 31

PENUTUP Konstruksi Gender Perempuan dalam Artikel Majalah GADIS (Analisis Semiotik Sosial Artikel pada Rubrik ‘CINTA’ dalam Majalah GADIS Edisi 08 – 11, Bulan Maret – April 2012).

0 4 26

Representasi Perempuan dalam Media Cetak Lokal (Analisis Semiotik Representasi Perempuan dalam Rubrik “Sesrawungan” Representasi Perempuan dalam Media Cetak Lokal (Analisis Semiotik Representasi Perempuan dalam Rubrik “Sesrawungan” di Kabare Magazine Per

1 2 15

DIKSI DAN GAYA BAHASA WACANA IKLAN PADA MAJALAH CITA CINTA EDISI BULAN DESEMBER 2009 – FEBRUARI 2010.

0 2 10

Representasi Perempuan dalam Majalah Pri (1)

0 0 5

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM MAJALAH Analisis Tekstual terhadap Artikel-Artikel Rubrik Feature Majalah Cita Cinta Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 166