intercultural communication effectiveness (conflict management in the village Kebon Kelapa)

Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura
(Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan
Bogor Tengah Kota Bogor)

ROFI’AH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura
(Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan
Bogor Tengah Kota Bogor)

ROFI’AH
I352090111

Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Magister Profesional pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku
Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan
Bogor Tengah Kota Bogor),” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012


Rofi’ah
NRP I 352 090111

RINGKASAN
ROFI’AH. Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus
Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)
Dibimbing Oleh Sarwititi S. Agung dan Nurmala K. Panjaitan.
Salah satu dampak dari keberhasilan pembangunan infrastruktur transportasi
yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah terjadinya kontak budaya. Kontak
budaya antarsuku pada saat ini cenderung menimbulkan konflik antarbudaya, demikian
juga kontak budaya yang terjadi antara Suku Sunda dan suku Madura. Namun, suku
Sunda dan Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor memperlihatkan suatu
kehidupan yang harmonis. Kondisi ini menarik menjadi landasan penelitian dengan
tujuan: (1)Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku
Madura. (2)Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku
Madura. (3)Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku
Madura.
Ting-Toomey (1998) berpendapat bahwa konflik antarbudaya dapat diatasi
dengan diciptakannya komunikasi yang efektif antar individu dalam budaya yang
berbeda. Efektivitas komunikasi antar budaya adalah adanya saling pengertian, saling

menghargai dan saling mendukung diantara peserta komunikasi antarbudaya. efektivitas
komunikasi ini dipengaruhi oleh karakteristik individu yang diperoleh melalui
pengamatan, pembelajaran dan pengalaman terkait perbedaan-perbedaan kebudayaan.
Pengamatan, pembelajaran,
dan pengalaman tersebut akan melahirkan faktor
pengetahuan dan faktor motivasi dari individu dalam mengupayakan komunikasi yang
efektif. Dalam kasus komunikasi antarbudaya di Kelurahan Kebon Kelapa saling
pengertian, saling
menghargai dan saling mendukung yang tercipta melalui
pengamatan, pembelajaran dan pengalaman individu ini kemudian menimbulkan
manajemen konflik antarbudaya yang baik diantara mereka dan mengakibatkan
terciptanya harmonisasi antarsuku.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan strategi studi
kasus. Jumlah informan yang ditemui peneliti sejumlah 18 yang didapat dengan teknik
Snowball.
yang terdiri
dari 9 orang suku Sunda dan 9 orang suku
Madura.Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor, tepatnya di
RT 04 RW 10
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Bentuk komunikasi antarbudaya

antara suku Sunda dan suku Madura berupa penyelesaian konflik-konflik yang ada
diantara mereka. Bentuk komunikasi antarbudaya di antara mereka juga berupa arena
interaksi didalam area tinggal dan di luar area lingkungan tinggal. Melalui kedua bentuk
komunikasi ini suku Sunda dan suku Madura menjalin keakraban diantara mereka (2)
Jenis konflik yang terjadi dilokasi penelitian adalah menyangkut isu isi, relasi dan
identitas. Konflik yang menyangkut isu isi dan relasi cenderung dapat dikompromikan
disebabkan terpenuhinya kebutuhan akan kepentingan-kepentingan bersama. Sedangkan
konflik menyangkut isu identitas lebih sulit dikompromikan karena terdapat
kekhawatiran dianggap menyalahi kelompoknya menyangkut hal yang dianggap
melanggar inti didalam nilai budaya masing-masing. Berkat pengamatan, pembelajaran
dan pengalaman yang baik, generasi dua menggunakan gaya manajemen konflik berupa

mengkompromikan. Generasi ini menjadi panutan bagi generasi tiga dan generasi satu.
Generasi tiga menggunakan gaya konflik intergrasi. Hal ini dapat mereka akukan berkat
bimbingan dari generasi dua juga karena generasi ini mengalami pembauran budaya
sejak kecil. Generasi satu bergaya konflik menghindari. Hal ini diakibatkan kurangnya
pengetahuan dan motivasi diantara mereka (3) Efektivitas komunikasi antarbudaya antar
suku Sunda dan suku Madura terjadi ketika konflik-konflik diatara mereka dapat
diselesaikan, juga berkat adanya arena interaksi yang ada di dalam dan di luar
lingkungan tinggal mereka. hal ini dikarenakan pengamatan, pembelajaran dan

pengalaman yang terus berkembang pada seluruh generasi sehingga pengetahuan dan
motivasi antarbudaya semakin baik.

ABSTRACT
ROFI’AH. intercultural communication effectiveness (conflict management in the village
Kebon Kelapa) Supervised by SARWITITI S. AGUNG (Chairperson) and NURMALA K.
PANJAITAN (Members).
Indonesia has experienced several severe ethnic conflicts since 1998. One of the most
severe ethnic conflicts is Dayak and the Madurese conflict in Kalimantan. However there is a
case of successful Madurese adapt and resolve conflicts with Sundanese in the village Kebon
Kelapa. Identity Negotiation Theory, Hall’s cultural dimensions, and intercultural conflict
management styles serve as the theoretical foundations for this research. The research data
were collected by conducting indepth interviews with 9 Madurese residents and 9 Sundanese
residents who represent three generations of conflict parties. Focus group discussions with
Madurese and Sundanese were held to generate richer data. This study found that conflicts
related to the content and relational issues as cultural differences; Madurese’s low context
culture and Sundanese’s high context culture, resolved through compromise styles that led to
better intercultural interpersonal relationship and working relationship. Improving those
relationships were able to reduce an unresolved identity issue conflict that was usually
exacerbated by economic disparity issues. More importantly, the second and third generations

of those ethnic groups are found to have significant role on resolving conflicts. In this
situation, the opinion leader of each ethnic group is a critical component that can facilitate
dialog between conflicting parties, whereas the monumental event that symbolize the success
of resolving conflict also plays a role as media of uniting Madurese and Sundanese as an
community. It suggested principles or lessons for effectively handling intercultural conflicts.
Key words: social identity negotiation, ethnic conflict, intercultural communication,
management conflict style
 
 
 

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penyusunan kritik
atau tujuan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura
(Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan
Bogor Tengah Kota Bogor)

ROFI’AH
I352090111

Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: . Ir. Hadiyanto, MSi


Judul Tesis

:

Nama
NIM
Mayor

:
:
:

Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Pada Suku Sunda dan
Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon
Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)
Rofi’ah
I352090111
Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan


Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA
Anggota

Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS
Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

a.n Dekan Sekolah Pascasarjana
Sekretaris Program S2

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS


Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

Tanggal Pengesahan :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Efektivitas
Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik
di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor). Penulisan tesis ini
dilaakkan sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), Sekolah Pascasarjana IPB.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sarwititi S, MS dan Dr. Nurmala K.
Panjaitan, MS, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk
memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Terimakasih
juga penulis ucapkan kepada Ir. Hadiyanto, Msi selaku penguji luar komisi pada ujian, yang
telah memberikan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Penulis
mengucapan terimakasih kepada semua pihak yang tidak apat disebutkan satu-persatu atas
dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini bermnfaat bagi penulis sendiri, akademisi, serta
pihak lainnya. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan, karena itu
penulis meminta maaf atas ketidak sempurnaan dan kekurangan yang ada.


Bogor, Agustus 2012

Rofi’ah

 

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………. xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………. xvi
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………1
Latar Belakang …………………………………………………………….
Perumusan Masalah …………………………………………………………
Tujuan Penelitian ………………………………………………………….
Kegunaan Penelitian …………………………………………………………

1
5
5
6

TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………………….. 7
Komunikasi Antar Budaya………………………………………………..
7
Pengertian Komunikasi Antar Budaya………………………………… 7
Konflik dan Manajemen Konflik.........……………………………….. 10
Tahapan Perkembangan Kearah Terjadinya Konflik................. 11
Dampak Konflik........................................................................... 12
Strategi Mengatasi Konflik........................................................... 13
Strategi Mengatasi Konflik antarpribadi....................................... 13
Individualistik dan Kolektivistik..... …………………….……............. 15
Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi
Antar Budaya ……………………………………………….…..…….. 18
Efektifitas Komunikasi Antar Budaya …………………………..…… 19
KERANGKA BERPIKIR ………………………………………………………. 22
METODE PENELITIAN ……………………….………………………………. 25
Paradigma Penelitian …………………………………..…………………….
Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………………
Teknik Pengumpulan Data……………………………………………………
Analisa Data ………………………………………….……………………
Triangulasi …………………………….……………………………………

25
27
27
28
28

HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………. 31
Profil dan Kependudukan Kelurahan Kebon Kelapa………………………….. 31
Sejarah Kedatangan Suku Madura dan berbagai Tanggapannya …….. 40
Kelembagaan Warga RT 04 RW 10…..……………………………….. 42
Bidang Ekonomi
………..…………………………………. 42
Bidang Keagamaan …………………………………………. 48
Pernikahan Antar Suku ……………………………………… 50
Pendidikan
…………………………………………………… 53
Keberadaan Suku Lainnya …………………………………………… 58
Berbagai Arena Interaksi suku Sunda dan suku Madura..................... 59
Arena Interaksi dalam Lingkungan Tinggal…………………….. 59
Arena Interaksi di Luar Lingkungan Tinggal…………………….. 66
Berbagai Konflik Antara Suku Sunda dan Suku Madura………............. 75
Terjadinya Konflik di RT 04 RW10 ………………………………… 75
Kasus bermuka galak ….……………………………………… 75
Kasus Clurit
……………………………………………….. 77
Kasus Pembangunan Masjid...........................................................80
Kasus Kepanitiaan Maulid Nabi..................................................... 87
Kasus Penggunaan Jalan ................................................................92
Kasus Perdagangan Versus Jabatan.............................................. 94
Kasus Slametan...............................................................................95
Kasus Kaya Miskin...................................................................... 98
Jenis Konflik…………………………………………………………...100
Manajemen Konflik ...................................................................……. 111
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya di RT 04 RW 10 ……………. 122
Gambaran Budaya

……………………………………………………….. 130

Suku Sunda ………………………………………………………….. 130
Suku Madura ………………………………………………………. 132
SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………..... 135
Simpulan…………………………………………………………......... 135
Saran ………………………………………………………………. 136
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Percampuran budaya yang terjadi di Indonesia dilatar belakangi oleh
beragam suku bangsa Indonesia yang berasal dari Sabang sampai Merauke.
Berbagai suku tersebut mencirikan diri dengan bahasa yang khas, kebiasaankebiasaan yang unik, bahkan sistem nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Kekhasan, keberbedaan dan keunikan masing-masing suku tersebut selanjutnya
menentukan ciri-ciri keanggotaan setiap suku, juga menentukan interaksi dengan
pola tertentu. Menurut Ting-Toomey (1998) identitas kultural merupakan
perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of
belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbagi
kedalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural
(cultural identification), yaitu masing-masing orang mempertimbangkan diri
mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Identifikasi kultur ini
akan menentukan individu-individu yang termasuk dalm ingroup dan outgroup
(Roger&Steinfatt dalam Raharjo 2004) Beragam suku tersebut selanjutnya
menyebar dan menempati wilayah Indonesia yang luas. Hal ini memungkinkan
terjadinya dua suku atau lebih menempati lingkungan sosial yang sama.
Kelompok suku tersebut bertemu, berinteraksi dan menciptakan hubungan sosial
yang khas.
Masyarakat Indonesia yang multikultural ini secara demografis maupun
sosiologis potensial bagi terjadinya konflik. dalam konteks identifikasi kultur ini,
dimana para anggota kelompok suku dilahirkan, dididik,dan dibesarkan dalam
suatu suasana askriptif primodial suku mereka yang mengakibatkan perbedaan
antara “siapa saya” dengan “siapa anda” terlihat nyata, membutuhkan komunikasi
yang efktif sebagai upaya menjalin hubungan antarsuku.
Hubungan yang terjalin dengan baik akan menciptakan interaksi yang
efektif, sebaliknya, hubungan yang tidak baik menyebabkan interaksi tidak
efektif, tidak harmonis dan pada akhirnya mengarah kepada konflik. Salah satu
contoh hubungan yang tidak harmonis antar dua suku yang menyebabkan konflik
yaitu antara suku Dayak dan suku Madura di Sambas, Kalimantan Barat.

2

Penelitian mengenai konflik yang melibatkan kedua suku tersebut pernah
dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005. Bahari (2005) menyebutkan
bahwa konflik kekerasan antara suku Dayak dan suku Madura di Sambas selama
ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam budaya suku
Dayak, sedangkan dari sisi suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura
yang tinggal di Kalimantan, baik yang sudah lama maupun masih baru, tidak
banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di tempat asalnya di pulau
Madura. Keberanian orang Madura berbicara terus terang dan apa adanya
dianggap tidak sopan dan terkesan sebagai suatu perlawanan pada suku pribumi.
Oleh karena itu dalam pandangan suku Dayak, orang Madura merespon masalah
atau kekerasan dengan tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan.
Dapat dilihat dari sini bahwa komunikasi memegang peran penting dalam
menentukan bentuk suatu hubungan. Perbedaan

keinginan dalam cara

berkomunikasi pada suku Madura dan suku Dayak dalam penelitian Bahari
mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis sehingga menimbulkan
konflik.
Penelitian Wuysang (2003) menunjukkan bahwa dalam interaksi antara
suku Melayu dan suku Madura di Sampit Kalimantan Tengah, salah satu pesan
yang disampaikan yakni: ciri, sifat dan atribut negatif yang dilekatkan pada suatu
suku tertentu. Perasaan negatif terhadap suku lain ini merupakan prasangka yang
akan menjadi penghambat komunikasi. Padahal, perasaan negatif tersebut
sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi karena perbedaan penafsiran pesan
yang dibawa komunikator dan komunikan hingga akhirnya memperbesar jarak
sosial. Konflik-konflik yang terjadi menyiratkan makna bahwa sebagai bagian
dari masyarakat multikultural, kita selama ini tidak atau belum melakukan
komunikasi antarbudaya yang efektif. Sebuah relasi antarmanusia yang bertujuan
untuk meminimalisir kesalahpahaman budaya. Interaksi antar individu dan
kelompok budaya selama ini tidak lebih dari komunikasi semu, tidak sungguhsungguh, cenderung tidak mencerminkan ketulusan, yaitu tidak mengatakan yang
sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran dan hatinya. Dalam keadaan demikian
komunikasi menjadi sekedar basa-basi, bukan untuk tujuan menyampaikan pesan
yang sebenarnya.

3

Dalam studi komunikasi antarbudaya, ketidaktulusan dalam menjalin
interaksi dicerminkan oleh sebuah konsep yang dikenal dengan mindlessness,
yaitu orang yang sangat percaya pada kerangka referensi yang sudah dikenal,
kategori-kategori yang bersifat rutin, dan melakukan sesuatu dengan cara-cara
yang sudah lazim (Ting-Toomey, 1998). Artinya, ketika melakukan kontak
antrbudaya individu yang berada dalam keadaan mindless menjalankan aktifitas
komunikasinya tanpa dilandasi kesadaran dalam berpikir. Ia hanya menggunakan
sudut pandangnya dalam menilai dan memperlakukan orang lain. Seseorang yang
mindless tidak menyadari bahwa ada perbedaan-perbedaan dalam masing-masing
kelompok budaya disamping juga terdapat kesamaan-kesamaan diantara mereka.
Bahwa komunikan merupakan individu-individu yang unik dan memerlukan
pemahaman yang baik untuk dapat berperilaku yang tepat terhadap masingmasing individu tersebut. Konsep ini dikenal dengan emotional vulnerability,
yaitu ketika seseorang berkomunikasi dengan dissimilar others, maka ia akan
mengalami emotional vulnerability. Dalam arti bahwa identitas kelompok
(misalnya identitas kultural) dan identitas individu (seperti sifat-sifat kepribadian)
akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam mempersepsi, berpikir dan
bertingkah laku dalam suatu lingkungan sosial (Ting-Toomey, 1998).
Cara komunikasi yang mindless ini disebabkan oleh munculnya situasi
ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety). (Gudykunst & Kim, 1997)
ketidakpastian merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memprediksi atau
menjelaskan perilaku, perasaan, sikap atau nilai-nilai yang diyakini oleh orang
lain. Sedangkan kecemasan merupakan perasaan gelisah, tegang, atau khawatir
tentang sesuatu yang akan terjadi.
Penelitian ini melihat, suku Madura, sebagai salahsatu suku di Indonesia,
sebagaimana menurut (Rahman, 2007) merupakan suku pengembara terbesar dan
menempati banyak lokasi di Indonesia, Suku ini menyebar hampir di seluruh
penjuru tanah air bahkan hingga manca negara. Di sebagian tempat sebagaimana
dijelaskan di atas, suku ini mengalami konflik dengan suku lain. Di sebagian
tempat lainnya suku Madura berhasil menjalin hubungan yang baik dengan suku
setempat (Rifa‟i 2007).

4

Salah satunya di kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota
Bogor. Di daerah ini terdapat keragaman suku bangsa. Suku yang dominan adalah
suku Sunda dan suku Madura. Suku Sunda sebagai penduduk asli sedangkan suku
Madura sebagai suku pendatang. Mereka berdomisili di kelurahan Kebon Kelapa
sejak tahun 70-an.
Pernah terjadi beberapa konflik diantara kedua suku ini, diantaranya dalam
kegiatan pembangunan mesjid serta memilih dan menetapkan pengurus masjid.
Kegiatan ini ternyata memancing terjadinya konflik. Perbincangan santai dan
musyawarah kerukunan warga yang diselenggarakan atas inisiatif salahsatu
warganya dan berkat dukungan ketua RW setempat, untuk membahas konflik
dalam perkara kepengurusan masjid dan beberapa kasus kesalahpahaman di antara
keduanya, diduga memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk
memahami dan menegosiasikan perbedaan budaya yang menjadi penyebab dari
ketegangan dan permasalahan yang terjadi.
Kemampuan suku Madura bersama-sama dengan suku Sunda di Kelurahan
Kebon Kelapa untuk menanggulangi konflik dan bertahan di lingkungan bersama,
diduga tidak lepas dari kemampuan mereka untuk menjalin komunikasi dan
interaksi yang baik, yaitu menciptakan suatu situasi komunikasi antarbudaya yang
di sebut mindfullness,

yaitu ketika seseorang berpikir tentang kecakapan

komunikasinya dan terus menerus berusaha merubah apa yang dia lakukan supaya
menjadi lebih efektif (Gudykunst & Kim, 1997). Suatu situasi komunikasi
antarbudaya dimana masing-masing peserta komunikasi berusaha meningkatkan
kecakapan komunikasinya serta mamapu merubah apa yang dilakukannya
menjadi lebih baik adalah berkat kemampuan menghilangkan ketidakpastian dan
kecemasan, serta mengaplikasikan pegetahuan budaya dan motivasi kedalam
suatu kecakapan perilaku yang tepat disebut komunikasi antarbudaya yang efektif
(Gudykunst & Kim, 1997). Mindfulness juga merupakan proses memfokuskan
kognitif yang dipelajari melalui praktik yang diulang-ulang. (Ting-Toomey,
1998). Dalam teori Negosiasi Identitas milik Ting-Toomey (1998), ia
menegaskan bahwa mindful intercultural communication menekankan pentingnya
mengintegrasikan pengetahuan antarbudaya yang penting, motivasi, dan
kecakapan-kecakapan untuk berkomunikasi secara memuaskan, layak dan efektif,

5

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku
Madura?
2. Bagaimana konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku
Madura ?
3. Bagaimana efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku
Madura?
Tujuan Penelitian
Berbagai identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku
Madura.
2. Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku
Madura.
3. Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan
suku Madura.
Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini bertujuan memperkaya khasanah
penelitian mengenai komunikasi yang berkaitan dengan konflik antar etnik.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dalam mengupayakan
harmonisasi budaya atau memperbaiki kondisi pasca konflik untuk mengambil
langkah-langkah terbaik.

6

7

TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Antarbudaya
Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Gudykunts (1991) membedakan antara komunikasi lintasbudaya dengan
komunikasi antarabudaya, yaitu jika komunikasi lintas budaya lebih menekankan
pada perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi di antara peserta
komunikasi yang berbeda kebudayaan, maka studi komunikasi antarbudaya lebih
mendekati objek melalui pendekatan kritik budaya. Aspek utama dari komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi di antara komunikator dan
komunikan yang kebudayaannya berbeda.
Komunikasi lebih dari sekedar menolong seseorang untuk mengumpulkan
informasi atau untuk memenuhi kebutuhan interpersonal. Komunikasi juga
berperan dalam menentukan dan menjelaskan identitas, baik sebagai pribadi,
kelompok maupun suatu identitas budaya. Interaksi seorang individu dengan yang
lainnya menentukan siapakah dirinya. Identitas merupakan hal yang penting
dalam komunikasi antarbudaya dalam menentukan jatidiri yang ditawarkan oleh
seorang individu untuk dapat diterima oleh individu yang lainnya. Oleh karena itu
pembahasan komunikasi antarbudaya adalah membahas ciri-ciri penting dan
berbeda pada suatu individu yang disebabkan perbedaan budayanya (Mulyana,
2008)
Berbagai definisi yang menyangkut komunikasi antarbudaya antara lain
adalah sebagai berikut:
Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2002) menyatakan komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,
misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras dan antar kelas sosial.
Samovar (2010), mengatakan komunikasi antarbudaya yaitu komunikasi
yang terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada
anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antarbudaya
melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem
simbolnya cukup berbeda dalam suatu komunikasi

8

Dood (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya
meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,
antarpribadi dan kelompok. Dengan tekanan pada perbedaan latar belakang
kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta
Chen dan Starosta (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi
antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang
membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan
fungsinya sebagai kelompok.
Ting-Toomey (1998) menyatakan komunikasi antarbudaya adalah suatu
proses komunikasi simbolik antara orang-orang dari budaya yang berbeda.
Manusia merupakan makhluk pembuat simbol. Dalam komunikasi manusia,
simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang
lainnya. Salah satu karakteristik simbol yang harus diingat adalah bahwa simbol
itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga
dapat berubah-ubah. Simbol dapat dalam bentuk suara, tanda, gerakan, dan lainlainnya yang dapat digunakan dalam berbagi fakta dengan orang lain. Dalam
interaksi sehari-hari hal ini mungkin terjadi. Bahwa seseorang menggunakan
simbol untuk memberikan makna, menggambarkan apa arti sesuatu, memperluas
perspektif, memeriksa ulang persepsi dan menamai perasaan-perasaan sehingga
menjadi nyata. Dengan cara ini seseorang secara aktif memberikan arti melalui
simbol-simbol.
Menurut Ting-Toomey (1998) beragamnya latar belakang budaya dari
para peserta komunikasi memungkinkan terjadinya keberagaman pemikiran
diantara mereka. Hal ini yang menyebabkan

dibutuhkannya simbol untuk di

pertukarkan dan disepakati maknanya dalam suatu komunikasi. Karena itu agar
menjadi efektif komunikasi antarbudaya memerlukan suatu situasi yang disebut
mindfullness untuk dapat melakukan negosiasi terkait simbol dan pemaknaannya
dalam suatu budaya tertentu, yang menjadi latarbelakang individu dalam suatu
interaksi

antarbudaya.

mengembangkan

sebuah

dari
teori

latarbelakang
dalam

antarbudaya, yaitu teori negosiasi identitas.

pendapat

menjelaskan

ini

kejadian

Ting-Toomey
komunikasi

9

Teori Negosiasi Identitas yang dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey
memberikan sebuah dasar dalam memperkirakan bagaimana manusia akan
menunjukan citra dirinya dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Citra diri
adalah bagaimana seseorang menggambarkan dan menampilkan dirinya di
hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi,
kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Citra diri selanjutnya menjadi dasar
perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi
identitas mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam identitas
orang lain.
Beberapa asumsi teori Negosiasi Identitas

mencakup komponen-

komponen penting dari teori ini: citra diri, konflik, dan budaya. Dengan demikian
poin-poin berikut menuntun teori dari Ting-Toomey:
1. Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individuindividu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam
budaya yang berbeda.
2. Manajemen konflik dimediasi oleh citra diri dan budaya.
3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang
ditampilkan.
Asumsi pertama menekankan pada (self identity). Self identity ini adalah
identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar identitas tersebut diterima orang
lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide,
memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan
dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran
akan identitasnya dan identitas orang lain. Bagaimana persepsi seseorang tentang
dirinya sendiri dan bagaimana seseorang ingin orang lain mempersepsi dirinya
merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi.
Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen
utama dari teori ini. Konflik dapat merusak identitas seseorang dan dapat
mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. konflik adalah „forum” bagi
kehilangan identitas dan penghinaan terhadap diri ketika terdapat negosiasi yang
tidak berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina
orang lain, memaksakan kehendak, dan lain sebagainya), Dalam hal ini cara

10

manusia bersosialisasi dalam budaya mereka memengaruhi bagaimana mereka
akan mengelola konflik.
Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh
suatu tindakan terhadap citra diri. Pertama, penyelamatan citra diri (face-saving)
mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan
kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan citra diri sering kali
menghindarkan rasa malu. Pemulihan citra diri (face restoration) terjadi setelah
adanya peristiwa yang dianggap mempermalukan citra diri. Orang akan selalu
berusaha untuk memulihkan citra diri dalam merespon suatu peristiwa. Misalnya,
alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari teknik-teknik
pemulihan citra diri ketika suatu peristiwa yang dianggap memalukan terjadi.
Konflik dan Manajemen Konflik
Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu dihadapkan dengan berbagai
macam masalah atau konflik. Konflik adalah hal yang akan selalu terjadi, entah
konflik dengan orang lain atau dengan keluarga kita sendiri. Konflik dalam
kehidupan pasti selalu ada dan tidak dapat dihilangkan. Konflik hanya dapat
dicegah agar masalah yang timbul tidak semakin besar dan parah (Agus, 2003).
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Dengan dibawasertanya ciri ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri (Syarif, 2003)
Menurut Nardjana (dalam Wijono,1993), konflik adalah suatu situasi
dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu
dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Menurut
Killman dan Thomas (dalam Wijono,1993), konflik merupakan kondisi terjadinya
ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada
dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang
telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya
emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja

11

Dalam konflik setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan
maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun
kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran, atau adanya nilai-nilai atau
norma yang saling berlawanan. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh
gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi,
dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti
status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik
seperti sandang pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan
tertentu seperti mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis
seperti rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri. Hal
ini mengakibatkan munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai
akibat pertentangan yang berlarut-larut, munculnya ketidakseimbangan akibat dari
usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial,
pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya
(Wijono, 1993).
Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik
1. Konflik masih tersembunyi (laten). Berbagai macam kondisi emosional
yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal
yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition). Tahap perubahan dari
apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya,
kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan
nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat
dirasakan (felt conflict) Muncul sebagai akibat antecedent condition yang
tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan
berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.

12

5. Penyelesaian atau tekanan konflik. Pada tahap ini, ada dua tindakan yang
perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan
berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka
dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya
bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga
mempengaruhi produkivitas kerja (Rahardjo, 2007)
Dampak Konflik
1. Dampak Positif Konflik
Apabila upaya penanganan dan pengelolaan suatu konflik

dilakukan

secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku para
pelaku konflik berupa saling mendukung, saling menghargai dan saling
pengertian. Semua ini bisa menjadikan tujuan bersama dapat tercapai bahkan
berdampak pada produktivitas kerja yang meningkat sehingga akhirnya
kesejahteraan bersama dapat terwujud dan terjamin. (Wijono, 1993).
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektifnya
pengelolaan terhadap konflik yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik
tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik yang efektif. Akibatnya muncul
keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan semua pihak berupa hilangnya
kondusifitas lingkungan bahkan menurunnya produktivitas kerja. (Wijono, 1993).
Strategi Mengatasi Konflik
1. Pengenalan. Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan
bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi
perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan
masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis. Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah
diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil
dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada
hal-hal sepele.

13

3. Menyepakati suatu solusi. Yaitu mengumpulkan masukan mengenai jalan
keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Serta bersedia untuk menanggung secara bersma-sama keuntungan dan
kerugian.
4. Evaluasi. Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah
baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkahlangkah sebelumnya dan cobalah lagi. (Rahardjo, 2007)
Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
1. Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy). Beroientasi pada dua individu
atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok
yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar
sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa
orang atau kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam strategi kalah-kalah,
konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila
perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk
campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak
atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak
ketiga yaitu: a. Arbitrasi (Arbitration). Arbitrasi merupakan prosedur di
mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak
ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan
penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. b. Mediasi
(Mediation). Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan
konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang
mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihakpihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2. Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy). Dalam strategi saya menang
anda kalah (win-lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang
sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh
kemenangan. Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan

win-lose

strategy

Hal

ini

dapat

melalui:

a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih
pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task

14

independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan
perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi
terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja
(jurisdictioanalambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya
untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan
dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication
barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal
dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena
dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran
persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh
dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan
persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara
optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy). Penyelesaian yang
dipandang manusiawi karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan
keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat
membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman,
merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya
penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah
pihak-pihak

yang

terlibat

dalam

konflik,

bukan

hanya

sekedar

memojokkan orang. Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam
organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat
dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problem Solving). Usaha untuk
menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan
kedua belah pihak.

15

b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam
penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan
proses,

dimana

keduanya

tidak

mempunyai

kewenangan

untuk

menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau
kedua belah pihak yang terlibat konflik. (Rahardjo, 2007)
Individualistik dan Kolektivistik
Ting-Toomey memfokuskan pembahasan penyebabka konflik berdasarkan
latarbelakang perbedaan budaya. Menurut (Ting-Toomey 1998) salah satu
penyebab konflik terjadi adalah karena adanya perbedaan budaya individualis dan
kolektivis. Budaya individualis adalah budaya “kemandirian” dan budaya
kolektivis adalah budaya “saling ketergantungan”. Budaya di seluruh dunia
memiliki kadar dan ragam yang berbeda-beda dalam hal individualis dan
kolektivis. Kedua dimensi ini memainkan peranan yang penting dalam cara
bagaimana citra diri dan konflik dikelola.
Individualisme merujuk pada kecenderungan orang untuk mengutamakan
identitas

individual

dibandingkan

identitas

kelompok,

hak

individual

dibandingkan hak kelompok, dan kebutuhan individu dibandingkan kebutuhan
kelompok. Individualisme adalah identitas “Aku. Iindividualisme menekankan
inisiatif individu, kemandirian, ekspresi individu, dan bahkan privasi. Nilai-nilai
individualistik

menekankan

adanya

antara

lain

kebebasan,

kejujuran,

kenyamanan, dan kesetaraan pribadi. Individualisme melibatkan motivasi diri,
otonomi, dan pemikiran mandiri. Individualisme menyiratkan komunikasi
langsung (to the point) dengan orang lain yang sering dikenal dengan
budaya komunikasi konteks rendah.
Apabila individualisme berfokus pada identitas personal seseorang,
kolektivisme melihat ke luar diri sendiri. Kolektivisme adalah penekanan pada
tujuan

kelompok dibandingkan

tujuan

individu,

kewajiban

kelompok

dibandingkan hak individu dan kebutuhan kelompok dibandingkan kebutuhan
pribadi.

Kolektivisme

adalah

identitas

“Kita”.

Orang-orang

di

dalam

budaya kolektivistik menganggap penting berkerja sama dan memandang diri
mereka sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Masyarakat kolektivistik
mementingkan keterlibatan. Beberapa nilai kolektivistik diantaranya adalah

16

menekankan keselarasan, menghargai keinginan orang yang lebih tua, dan
pemenuhan kebutuhan orang lain. Kolektivisme menyiratkan komunikasi tidak
langsung

(lebih

banyak

basa-basi),

istilah

sering

dikenal

dengan

budaya komunikasi konteks tinggi. Ting-Toomey berargumen bahwa anggotaanggota dari budaya yang mengikuti nilai-nilai individualistik cenderung lebih
berorientasi pada citra diri, sementara anggota-anggota yang mengikuti nilai yang
berorientasi pada kelompok cenderung lebih berorientasi pada citra orang lain
atau identitas bersama dalam sebuah konflik. Budaya kolektivistik berkaitan
dengan

kemampuan

adaptasi.

Kemampuan

beradaptasi

memungkinkan

munculnya ikatan yang saling tergantung dengan orang lain. Maksudnya adalah
anggota dari komunitas kolektivistik mempertimbangkan hubungan mereka
dengan orang lain ketika mereka mendiskusikan sesuatu dan merasa bahwa suatu
percakapan membutuhkan keberlanjutan dari kedua komunikator.
Konflik sering kali terjadi ketika anggota-anggota dari budaya berbeda,
atau memiliki tingkat individualistik dan tingkat kolektivistik yang berbeda
bertemu, sehingga individu-individu yang berbeda tersebut akan menggunakan
beberapa gaya konflik yang berbeda. Gaya-gaya ini merujuk pada respon yang
berpola, atau cara khas untuk mengatasi konflik pada berbagai peristiwa
komunikasi.
Menurut Ting-Toomey (1998) manajemen konflik mencakup Avoiding
(menghindar), Obliging (menurut), Compromising (berkompromi), Dominating
(mendominasi), dan Integrating (mengintegrasikan). Dalam menghindar, orang
akan berusaha menjauhi ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak
menyenangkan dengan orang lain. Pada gaya menurut, orang yang berkonflik
akan melakukan akomodasi pasif, yaitu berusaha memuaskan kebutuhan
kebutuhan orang lain atau sepakat dengan saran-saran dari orang lain. Dalam
berkompromi, individu-individu berusaha menemukan jalan tengah untuk
mengatasi jalan buntu dan menggunakan pendekatan memberi-menerima sehingga
kompromi dapat tercapai. Gaya mendominasi mencakup perilaku-perilaku yang
menggunakan pengaruh, wewenang atau keahlian untuk menyampaikan ide atau
mengambil keputusan. Terakhir gaya mengintegrasikan digunakan untuk
menemukan solusi masalah. Tidak seperti berkompromi, integrasi membutuhkan

17

perhatian yang tinggi untuk diri anda dan orang lain, yang mengharuskan masingmasing kelompok yang bertikai memperhatikan kelompok lainnya demi
tercapainya kepentingan bersama.
Keputusan untuk menggunakan satu atau lebih dari gaya-gaya ini akan
bergantung dari variabilitas budaya dari komunikator. Manajemen konflik juga
menganggap penting persoalan citra diri dan citra orang lain. Sehubungan dengan
perbandingan yang melintasi lima budaya (Jepang, Cina, Korea Selatan, Taiwan
dan Amerika Serikat), Ting-Toomey beberapa hal:
1. Anggota-anggota dari budaya Amerika Serikat menggunakan lebih banyak
gaya mendominasi dalam manajemen konflik.
2. Orang Taiwan menyatakan bahwa lebih banyak menggunakan gaya
mengintegrasikan dalam manajemen konflik.
3. Orang Cina dan Taiwan menggunakan lebih banyak gaya menurut.
4. Orang Cina lebih banyak menggunakan tingkat menghindar yang tinggi
sebagai gaya konflik dibandingkan kelompok budaya lainnya.
5. Orang Korea menggunakan tingkat kompromi yang lebih tinggi dari
budaya-budaya lainnya.
Budaya kolektivistik (Cina, Korea dan Taiwan) memiliki tingkat
perhatian terhadap citra diri orang lain yang lebih tinggi. Dari sini jelaslah bahwa
penelitian mengenai citra diri dan konflik menunjukkan variabilitas budaya
memengaruhi bagaimana konflik dikelola. Dalam budaya kolektivis, keanggotaan
dalam kelompok biasanya merupakan sumber utama identitas. Bagi masyarakat
Jepang, wajah melibatkan, “kehormatan, kesopanan, kehadiran, dan pengaruh
pada orang lain”. Di antara masyarakat Cina, “memperoleh dan kehilangan wajah
dekat hubungannya dengan masalah harga diri, martabat, penghingaan, rasa malu,
aib, kerendahan hati, kepercaayaan, rasa curiga, rasa hormat dan gengsi”.
Sikap yang berbeda menyangkut apa yang mewakili citra diri memiliki pengaruh
yang nyata pada bagaimana budaya memandang dan mendekati konflik. Dalam
budaya kolektif, konflik dalam kelompok-dalam “dianggap merusak citra sosial
dan keharmonisan hubungan, jadi harus dihindari sedapat mungkin”. ketika
berhadapan dengan sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik, masyarakat
dari budaya kolektivis cenderung menghindar. Masyarakat dari budaya

18

individualistis bagaimanapun, lebih peduli pada citra sendiri dan cenderung
menghadapi dan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada solusi untuk
mengatasi konflik. Perilaku berbeda terhadap konflik menimbulkan gaya
komunikasi budaya yang cukup berbeda. Selama komunikasi antarbudaya terjadi,
gaya yang berlawanan ini dapat menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman,
atau bahkan kebencian di antara pelaku komunikasi. Hal yang sama juga berlaku
pada gaya komunikasi tidak langsung (seperti pada budaya konteks tinggi) dalam
rangka mempertahankan hubungan baik dapat menimbulkan efek yang sebaliknya
di antara peserta individualistis yang menganggap bahwa interaksi dapat
mengancam identitas. (Ting-Toomey, 1998).
Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi Antarbudaya
Kata competence adalah state of being capable, atau dapat diartikan
sebagai suatu keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang
sehingga ia dapat berfungsi dalam keadaan yang mendesak dan penting.
Kompetensi komunikator adalah sebuah kompetensi yang dimiliki oleh seorang
komunikator, atau kemampuan tertentu dari seorang komunikator untuk
menghindari

perangkap

atau

hambatan

komunikasi.

Misalnya,

mampu

meminimalisasi kesalahpahaman, kekurangmengertian, dan memahami perbedaan
sikap dan persepsi orang lain.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi antarbudaya adalah
kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok,
organisasi, atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, keterampilan,
pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang yang
berbeda kebudayaannya. Kompetensi antarbudaya merupakan suatu perilaku yang
konkrit beserta sikap, struktur dan kebijakan yang datang bersamaan atau
menghasilkan kerja sama dalam situasi antarbudaya.
Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi
antarbudaya, antara lain adanya perbedaan nilai antarbudaya, tata aturan budaya
cenderung mengatur dirinya sendiri, kesadaran untuk mengelola dinamika
perbedaan,

pengetahuan

kebudayaan

yang

sudah

institusionalisasi,

dan

mengadaptasikan kekuatan semangat layanan dalam keragaman budaya demi
melayani orang lain. (Liliweri, 2002).

19

Dengan kata lain, kompetensi