34
buruk bagi perkembangan generasi. Demikian pula pendidikan di rumah serta pergulan. Dalam kontek ini al-Ghazali setuju dengan aliran
konvergensi yang menyatakan pendidikan ditentukan oleh titik temu faktor pembawaan anak dan pendidikan yang dibuat secara khusus atau melalui
interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai
metode.
17
c. Tujuan Pendidikan Akhlak
Al-Ghazali menjelaskan yang disebut dengan al- sa’adah yaitu
mampu hidup dengan baik di dunia dan bahagia di akhirat. Tujuan ini dapat dicapai kalau dalam kehidupan manusia ada satu nilai baik al-khair
atau nilai tambah al-fhadail, oleh al-Ghazali dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Nilai intelektual dan sikap moral yang meliputi ilmu
pengetahuan, hikmah, kebijaksanaan, kesucian, sifat-sifat baik, keberanian, moral, dan cinta keadilan.
b. Nilai fisik dan energi yang meliputi kesehatan jasmani dan
rohani, kemampuan psikis, ketampanan, dan kecantikan serta umur panjang.
c. Nilai tambah yang bersifat spiritual berupa hidayah Allah
SWT, petunjuk kebenaran-Nya serta perlindungan-Nya.
18
Senada yang dikatakan Ibnu Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong
melakukan perbuatan yang benilai baik atau pribadi susila, sehingga akan memperoleh kebahagian disisi Allah di akhirat kelak dan hidup dengan
prilaku yang baik di dunia. Dengan begitu diharapkan akan memperoleh kebahagian al-
sa’adah.
19
Pendapat al-Ghazali ini tidak berbeda dengan
17
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, cet. 1, h. 113.
18
Mahjuddin, Konsep Pendidikan Akhlak dalam al- Qur’an dan Petunjuk Penerapannya
Dalam Hadis, Jakarta: Kalam Mulia, 2000, cet. 1, h. 5.
19
Busyairi Majidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin press, 1997, h. 70.
35
Abdul Hak Ansari yang mengatakan “al-sa’adah” merupakan konsep
komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagian happiness, kemakmuran
prosperity, keberhasilan
success, kesempurnaan
perpection, kesenangan blessedness, dan kecantikan beautifulness ”.
20
Sama halnya yang dikatakan Abuddin Nata bahwa tujuan pendidikan akhlak akan membawa kebahagian bagi individu dan masyarakat pada
umumnya, juga kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
21
Dari penjelasan tersebut, al-Ghazali menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak
adalah al- sa’adah yaitu kebahagian di dunia dan akhirat, bahwa individu
yang memiliki akhlak yang baik akan mendapat kebahagian di dunia maupun di akhirat. Dan untuk mencapai kebahagian tersebut, individu
tersebut harus memiliki tiga hal dalam dirinya yaitu nilai intelektual dan moral, nilai fisik dan energi serta nilai tambah yang berasal dari Allah
SWT. d.
Metode Pendidikan Akhlak Perhatian Islam dalam pendidikan akhlak dapat dianalisis pada
muatan akhlak yang terdapat pada seluruh aspek ajaran Islam. Hasil analisis al-Ghazali terhadap rukun Islam yang lima telah menunjukkan
dengan jelas, bahwa dalam rukun Islam yang lima itu terkandung konsep pendidikan akhlak. Seperti rukun Islam yang ketiga yaitu zakat, yang
mengandung pendidikan akhlak, yaitu agar orang yang melaksanakan zakat membersihkan dirinya dari sifat kikir, dan membersihkan hartanya
dari hak orang lain. Al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat zakat adalah membersihkan jiwa dan mengangkat derajat manusia ke jenjang yang lebih
mulia.
22
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Abuddin Nata pendidikan akhlak yang ditempuh Islam adalah menggunakan cara atau sistem yang
20
Abuddin Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000, h. 11-12.
21
Abuddin Nata, op.cit., h. 170-171.
22
Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, terj. Moh. Rifa’i dari judul asli Khluk
al-Muslim, Semarang: Wicaksana, 1993, h. 12.
36
integrated, yaitu sistem yang menggunakan berbagai sarana peribadatan dan lainnya secara simultan untuk diarahkan pada pembinaan akhlak.
23
Al-Ghazali mengemukakan metode mendidik akhlak dengan mencontoh, latihan, pembiasaan drill kemudian anjuran dan larangan
sebagai alat pendidikan dalam rangka membina anak sesuai dengan ajaran Islam. Proses pembentukan kepribadian ini berlangsung secara perlahan
dan berkembang sehingga merupakan proses menuju kesempurnaan. A.
Metode pembiasaan Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan:
Apbila anak dibiasakanuntuk mengamalkan apa-apa yang baik, dibeeri pendidikan kearah itu, pastilah ia akan tumbuh diatas
kebaikan tadi akibat positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya dan semua pendidik, pengajar serta
pengasuhnya ikut serta memperoleh pahalanya. Sebaliknya jika anak itu sejak kecil sudah dibiasakan mengerjakan keburukan dan
dibiarkan
begitu saja
tanpa dihiraukan
pendidikan dan
pengajarannya, yakni sebagaimana seseorang yang memelihara binatang, maka akibatnya anak itupun akan celaka dan rusak binasa
akhlaknya, sedang dosanya yang utama tentulah dipikulkan kepada orang orang tua, pendidik yang bertanggung jawab untuk
memelihara dan mengasuhnya.
24
Berkenaan dengan ini al-Ghazali mengatakan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan
melalui pembiasaaan. Jika manusia membiasakan berbuat jahat, menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melatih kepada
pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah, maka ia harus dibiasakan dirinya melakukan
pekerjaan yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabi’atnya yang mendarah daging.
25
B. Metode keteladanan
23
Abuddin Nata, op.cit., h. 162.
24
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan …, h. 107.
25
Imam al-Ghazali, Kitab al-Arbain fi Ushul al-Din, Kairo: Maktabah al-Hindi, t.t, h. 99, lihat pula Asamaran. AS, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali Pers, 1992, cet. II, h.
162-163.
37
Al- Ghazali mengatakan: “Akhlak yang baik baik tidak dapat
dibentuk dengan pelajaran, intruksi dan larangan, sebab tabiat jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup hanya dengan seorang guru
mengatakan kerjakan ini dan kerjakan itu. Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan yang
lestari. Pendidikan itu tidaka akan sukses, melainkan jika disertai dengan pemberian contoh teladan yang baik dan nyata”.
26
C. Metode Latihan Drill
Al-Ghazali berkata: Jikalau anak itu sudah mencapai usia antara tujuh tahun hingga
sepuluh tahun pada saat itu tentulah ia sudah dapat disebut tamyiz yakni dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan buruk,
maka janganlah sekali-kali anak itu diberi kesempatan atau diizinkan meninggalkan beersuci secara agama dan lebih-lebih lagi
shalat. Dalam bulan Ramadhan hendaklah ia diperintahkan puasa dengan cara yang baik, tentu saja sebagai latihan bolehlah beberapa
hari dulu dan tahun berikutnya ditambah lagi sehingga akhirnya berpuasa penuh selama sebulan.
27
D. Metode Anjuran dan Larangan
Al- Ghazali mengatakan: “Dan janganlah anak itu diperkenalkan
biasa berludah di tempat yang bukan semestinya, yakni dimana saja ia berada di situlah ia berludah dengan semaunya, jangan pula beringus
dengan menguap tanpa menutupi mulutnya di hadapan orang lain, tidak baik pula kialau ia membelakangi orang lain”.
28
Menurut al-Ghazali ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu mujahadah dan membiasakan
latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan memohon karuni Allah dan
sempurnanya fitrah kejadian, agar nafsu sahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu
berilmu a’lim tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu itu disebut
26
Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Terj. Moh. Rifa’i dari judul asli
Khulukal-Muslim, Semarang: Wicaksana, 1993, h. 16.
27
Zainuddin, op.cit, h. 116.
28
Ibid., h. 112.
38
juga dengan ladunniah.
29
Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-
perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, berubah dengan pendidikan latihan.
30
Begitu terincinya penjelasan al-Ghazali tentanng metode pendidikan akhlak al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan akhlak telah
tercermin di seluruh aspek ibadah dalam rukun Islam. Secara tidak langsung ibadah-ibadah tersebut telah mendidik mereka yang
melaksanakannya menjadi pribadi-pribadi yang baik dan bahagia. Selanjutnya al-Ghazali memaparkan metode-metode untuk mendidik
akhlak diantaranya metode pembiasaan, metode latihan, metode keteladanan, metode anjuran dan larangan. Selain itu pendidikan akhlak
juga dapat dilakukan dengan cara mujahadah dan pembiasaan untuk berbuat baik atau dengan cara mujahadah dan riyadhoh.
B. Kriteria Akhlak Guru yang Ideal
Sebelum membahas akhlak guru yang ideal menurut al-Ghazali, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu pengertian akhlak, pengertian
guru, profesi guru serta tugas dan kewajiban guru menurut al-Ghazali. Akhlak guru yang ideal yang akan dibahas dalam bab ini adalah akhlak
guru terhadap dirinya sendiri kepribadian guru dan akhlak guru kepada murid.
1. Pengertian Akhlak
Menurut al- Ghazali akhlak adalah “al-Khuluk” jamaknya al-
akhlak ialah ibarat sifat atau keadaan dari prilaku yang konstan tetap dan meresap dalam jiwa, dari jiwanya timbul perbuatan-perbuatan
dengan wajar
dan mudah,
tanpa memerlukan
pikiran dan
pertimbangan”.
31
Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak,
29
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, Terj. Nailul Umam Wibowo, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003, h. 72-73.
30
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo: Daar al-Takwa, 2000, h. 601-602.
31
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan …,h. 102.
39
bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu. Dengan
kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu perbuatan baik dan
keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa
cenderung kepada kekejian.
32
Akhlak bukan merupakan “perbuatan” bukan “kekuatan”, bukan “ma’rifah” mengetahui dengan mendalam. Yang lebih sepadan dengan
akhlak itu “hal” keadaan atau kondisi, dimana jiwa mempunyai potensi
yang bisa memunculkan dari padanya menahan atau member. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari” keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah”.
33
Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang dikemukakan
Ibnu Miskawaih, tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan
seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Ia tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu.
34
Sama seperti yang dikatakan Ibrahim Anis bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan, baik dan buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
35
M. Abdullah Dirroz juga berkata bahwa akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak
mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar dalam hal akhlak yang baik atau pihak yang jahat dalam
hal akhlak yang jahat.
36
Sementara untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan tokoh lainnya. Ia membagi akhlak menjadi yang baik
32
Al-Ghazali, Ihya Ulumu al-Din, Kairo: Dar al-Takwa, 2000, jilid II, h. 599.
33
Ibid, h. 599.
34
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Bandung: PT. Raja Grafindo, 2003, cet. II, h. 4.
35
Ibid., h.4.
36
H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV. Pustaka Setia, 2005, cet. III, h. 14.
40
atau mahmudah dan madzmumah atau buruk.
37
Dalam Ihya Ulumu al- Din, al-Ghazali membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab,
akhlak yang menghancurkan muhlikat dan akhlak yang menyelamatkan munjiyat. Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara,
dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabur serta riya. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar,
syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.
38
Jadi akhlak berasal dari kata al-khuluq yang berarti prilaku, selanjutnya al-Ghazali menerangkan adalah perilaku yang tetap yang
berasal dari dalam jiwa, sehingga menghasilkan perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa adanya pemikiran sehingga menghasilkan perbuatan
yang baik atau buruk. 2.
Pengertian Guru Kata guru beasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang
mengajar. Dalam bahasa inggris dijumpai kata teacher yang berarti pengajar.
39
Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan gu dan ru yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu dipercaya
karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasandan pandangan yang luas dalam melihat
kehidupan ini. Dikatakan ditiru diikuti karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patutu
dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya. Al-Ghazali mempergunakan istilah guru dengan kata seperti, al-
muallimin guru.
40
pendapat al-Ghazali ini berasal dari istilah bahasa Arab yaitu al-alim jamaknya ulama atau al-Mualim, yang berarti orang
yang mengetahui dan banyak digunakan para ulamaahli pendidikan
37
Abuddin Nata, op.cit., h. 43.
38
Abdullah Amin, Antara Ghazali dan Kant, Bandung: Mizan, 2002, h. 2.
39
John M Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Bandung: Gramedia, 1982, h. 581.selain itu terdapat kata tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah,
mengajar ekstra, memberi les tambahan pelajaran, educator, pendidik, ahli didik, lecturer, pemberi kuliah, penceramah dalam kamus bhasa Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1982, h. 608, 207,
dan 353.
40
Zainuddin, dkk, op.cit., h. 50.
41
pendidikan untuk menunjuk pada arti guru.
41
Selain itu, kata al-alim diungkap dalam bentuk jamak, al-Alimuun yang terdapat dalam surat al-
Ankabut 29 ayat 43. Kata tersebut dalam ayat yang dimaksud digunakan dalam hubungannya dengan orang-orang yang mampu
menangkap hikmah atau pelajaran yang tersirat dalam berbagai perumpamaan yang diceritakan dalam al-
Qur’an.
42
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Abuddin Nata bahwasanya guru berasal dari kata al-alim berarti seorang guru yang harus memiliki
kecerdasan intelektual yang tinggi, sehingga mampu menangkap pesan- pesan, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala ciptaan Tuhan serta
memiliki potensi batiniyah yang kuat sehingga ia dapat mengarahkan hasil kerja dari kecerdasan untuk diabdikan kepada Tuhan.
43
Menurut al- Ghazali guru adalah seorang yang bekerja menyempurnakan,
membersihkan, dan membawakan hati muridnya mendekatkan kepada Allah SWT.
44
Abuddin Nata menambahkan, al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas
dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan
secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat
melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
45
Pendapat al-Ghazali diperkuat oleh Ramayulis yang menyatakan bahwa seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah “orang yang
memikul tanggung jawab untuk me mbimbing”.
46
Di buku lain Ramayulis memaparkan, pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu
41
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf …, h.41.
42
Ibid., h. 43.
43
Ibid., h. 47.
44
Zainuddin, dkk, op.cit., h. 53.
45
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000, cet. I, h. 95-99.
46
Ramayulis, Didaktik Metodik, Padang: Fakults Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, 1982, h. 42.
42
hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi tertinggi yang dapat dicapai seorang pengajar apabila ia berhasil
membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung
jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.
47
Suryasubrata menjelaskan bahwa guru berarti juga orang dewasa dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat
kedewasaan, mampu
berdiri sendiri
dan memenuhi
tingkat kedewasaanya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai
hamba dan khalifah Allah SWT. Dan meampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai mahkluk individu yang mandiri.
48
Senada yang dikatakan Ahmad Tafsir bahwa pendidik sebagaimana teori barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang beertanggung
jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan potensi peserta didik, baik potensi afektif rasa,
kognitif cipta, maupun psikomotorik karsa. Pendidik disini adalah mereka yang memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu
mata pelajaran tertentu di sekolah.
49
Selanjutnya dijumpai pula pendapatnya al-Ghazali hendaknya seorang guru tidak mengharapkan imbalan, balas jasa ataupun ucapan
terima kasih, tetapi dengan mengajar itu bermaksud mencari keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
50
Sama seperti pendapat Zakiah Daradjat, dan kecintaan terhadap pekerjaan guru akan bertambah besar
apabila dihayati benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas ini, karena boleh jadi karena boleh jadi itu sebenarnya tidak sengaja mengajar, akan
47
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1998 cet. II, h. 36.
48
Suryasubrata. B, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, Jakarta: Bina Aksara, 1983, h. 26.
49
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, h. 74-75.
50
Muhammad al-Ghazali, Ihya ulumu al-Din, terj. Moh. Rifa’i, Semarang: CV. Mizan,
1979, cet. IV. H. 214.
43
tetapi ia menjadi guru hanyalah untuk mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai guru dinilai dari segi material. Apabila yang
dipandang mater atau hasil lansung yang diterimanya tidak seimbang dengan beban kerja yang dipikulnya, maka ia akan mengalami
kegoncangan. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal itupun dapat merusak nilai pendidikan yang
diterima oleh anak didik.
51
dapat dipahami bahwasanya pendapat al- Gazhali tentang guru hampir sama dengan pendapat para tokoh
pendidikan masa kini, akan tetapi al-Ghazali lebih luas dalam memberi pengertian guru. Al-Ghazali menggunakan istilah dalam memberikan
pengertian guru yang berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Muallim guru. Muallim
adalah orang
yang menguasai
ilmu dan
mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan,
menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi dan implementasi. Secara luas
al-Ghazali menjelaskan bahwa guru adalah seorang yang bekerja menyempurnakan, membersihkan, dan membawakan hati muridnya
mendekatkan kepada Allah SWT, juga seorang guru harus memiliki kesempurnaan akal dan fisiknya, memiliki akhlak yang baik dan
mengharapkan gaji. 3.
Profesi Guru Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi alas an
dalam profesi guru yaitu: a.
Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriyah Dalam kitab Ihya Ulum al-Din
ia menyebutkan “apabila ilmu itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari
yang lebih mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu”.
52
Jadi profesi guru sebagai pengajar dan pendidik adalah sangat mulia, karrena cara naluri orang yang berilmu
51
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,Jakarta: Bumi Aksara, 1996, h. 41-42.
52
Zainuddin, dkk, op.cit, h. 50.