karena kelakuan Cak Lontong yang meminta sumbangan. Ndoro dengan rendah hati memperingatkan Cak Lontong karena kelakuannya dianggap tidak pantas
dimunculkan di depan orang penting seperti Pak Sapta Nirwandar.
Di dalam acara Sentilan Sentilun yang dijadikan sebagai objek penelitian, kebetulan hanya ditemukan satu data tuturan nilai rasa malu. Nilai rasa malu yang
ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun hanya dimunculkan melalui unsur intralingual kalimat dan ditandai oleh kata “malu” sebagai kata yang
mengindikasikannya. Namun kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan kadar rasanya baru diketahui setelah berada dalam kalimat. Penutur tidak memunculkan
tanda-tanda ketubuhan tertentu untuk mendukung nilai rasa malu yang diungkapkan, sedangkan unsur ekstralingual konteks hanya muncul melalui
fenomena referensi karena penutur merasa malu atas perilaku mitra tutur
sebelumnya sehingga mencoba memperingatkannya. Nilai rasa malu selalu dinyatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo berupa
sikap malu sebagai manifestasi sifat rendah hati.
4.3 Pembahasan
Berdasarkan analisis data ditemukan beberapa daya bahasa dan nilai rasa bahasa melalui unsur intralingual dan ekstralingual yang dapat dijadikan sebagai
penanda kesantunan di dalam berkomunukasi. Pembahasan disajikan sesuai dengan rumusan masalah penelitian sebagai berikut.
4.3.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi
Daya bahasa yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun sebagai sumber data mencakup 8 daya bahasa, yaitu 1 daya permintaan yang
didalamnya terdiri atas daya harap dan daya permohonan, 2 daya ancam yang didalamnya terdiri atas daya peringatan, daya kritikan langsung dan tidak
langsung, 3 daya perintah yang didalamnya terdiri atas daya suruh, daya larangan dan daya ajakan, 4 daya kelakar, 5 daya kabar yang didalamnya
terdiri atas daya informatif, daya ungkap, daya jelas, daya banding dan daya dukung, 6 daya penolakan yang didalamnya terdiri atas daya protes, daya
bantah dan daya ketidaksetujuan, 7 daya pikat yang didalamnya terdiri atas daya nasihat, daya rayuan, daya saran dan daya bujuk, serta 8 daya dugaan.
Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan Pranowo 2012,126:144. Berdasarkan aneka macam daya bahasa tersebut, sebagai penanda kesantunan
digunakan unsur intralingual dan unsur ekstralingual Pranowo, 2012:127. Unsur intralingual berupa unsur segmental, seperti kalimat, klausa, frasa, dan diksi.
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, unsur intralingual daya bahasa yang ditemukan pada acara Sentilan Sentilun sebagai penanda kesantunan
hanya berupa klausa dan kalimat. Satu daya bahasa ada yang ditandai oleh klausa atau kalimat saja, namun ada juga yang ditandai oleh keduanya. Unsur
intralingual berupa kalimat dapat dijumpai pada pemunculan daya dugaan. Unsur intralingual berupa klausa dan kalimat dapat dijumpai pada pemunculan daya
permintaan, daya ancam, daya perintah, daya kabar, daya kelakar, daya penolakan dan daya pikat.
Penggunaan unsur intralingual di atas, disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu keefektifan kalimat, kepaduan klausa dengan klausa lain yang membentuk
kalimat, serta maksud dari susunan kata-kata yang membentuk klausa atau kalimat. Makna dan maksud unsur intralingual klausa dan kalimat tersebut sesuai
dengan daya bahasa yang ingin dimunculkan. Di samping itu, pemunculan daya bahasa sebagai penanda kesantunan juga
menggunakan unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual dapat berupa konteks tuturan atau gerak ketubuhan si penutur. Unsur ekstralingual berupa konteks dapat
dilihat pada munculnya setiap daya bahasa karena digunakan untuk mengetahui maksud tuturan. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual gerak ketubuhan
yang tidak selalu muncul dalam setiap daya bahasa yang ditemukan karena tergantung dari keekspresifan penutur. Temuan tersebut sejalan dengan Liliweri
1994:88 yang mengungkapkan bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa non- verbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan karena hanya digunakan sebagai
penegas dan pelengkap. Unsur ekstralingual berupa gerak ketubuhan dapat dilihat pada munculnya beberapa daya bahasa, seperti daya permintaan, daya ancam,
daya perintah, daya kelakar, daya kabar, daya penolakan dan daya pikat. Daya permintaan pada tuturan “Jadi aku ini bener-bener berharap bahwa
presiden baru kita ini benar-benar memenuhi dan menepati janjinya ” SSDB04-
08-20141 menggunakan fenomena konteks praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan kedua tangan ditangkupkan dan diangkat ke
depan dada sambil mata terpejam. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Jadi aku ini bener-bener berharap bahwa presiden
baru kita ini benar-benar memenuhi dan menepati janjinya ”. Unsur ekstralingual
dan intralingual dalam tuturan berdaya permintaan tersebut dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983 dalam
Pranowo,2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat
memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, unsur ekstralingual dan intralingual yang digunakan penutur mengindikasikan
bahwa penutur berprasangka baik terhadap ]mitra tutur orang yang dimaksud dalam tuturan bahwa orang tersebut akan benar-benar menepati janjinya.
Daya ancam pada tuturan “Sampean itu kan dapat amanah, wakil rakyat kok masih mau bikin usaha. Gi
mana lho, waktunya terus kapan?” SSDB29-09- 20147 menggunakan fenomena konteks referensi, sedangkan gerak ketubuhan
dapat dilihat pada gerakan tangan penutur yang menunjuk-nunjuk ke arah mitra tutur. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat
“Gimana lho, waktunya
terus kapan?”. Unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan berdaya ancam tersebut dapat dikatakan tidak santun karena melanggar indikator
kesantunan Pranowo 2008, dalam Pranowo 2012:111 berupa nilai-nilai luhur pendukung kesantunan, yaitu sikap tenggang rasa sebagai manifestasi sifat rendah
hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, penutur menanyakan secara langsung perihal kejanggalan perilaku yang dilakukan oleh mitra tutur dan menunjukkan
gerakan memojokkan mitra tutur tanpa mempertimbangkan perasaan mitra tutur.
Daya perintah pada tuturan “Sudah, sudah hakim meminta melepaskan tangan. Ayo semua kembali duduk
” SSDB08-09-201412 menggunakan fenomena konteks praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada
gerakan tangan yang menggebrak-nggebrak meja. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Ayo semua kembali duduk”. Unsur
ekstralingual dan intralingual dalam tuturan berdaya perintah tersebut dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesatunan Pranowo 2012:104,
yaitu empan papan. Di dalam tuturan tersebut, penutur mengetahui bahwa saat itu dirinya berperan hakim yang mempunyai wewenang meminta peserta persidangan
diam saat terjadi kekacauan. Perintah tersebut wajar dilakukan oleh seorang hakim saat mulai terjadi kekacauan di persidangan.
Daya kelakar pada tuturan “Ciri-cirinya pertama, pemimpin baru itu artinya bukan pemimpin lama. Yang kedua, pemimpin baru tidak boleh seperti
dibilang mas Anies. Terbebani oleh masa lalu, jadi harus berjalan maju ke depan, jangan mundur ke belakang. Kalau mundur namanya undur-
undur” SSDB04- 08-201415 menggunakan fenomena konteks latar belakang pekerjaan,
gedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan satu tangan ditarik ke belakang. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat
“Kalau mundur namanya undur-undur”. Unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan berdaya kelakar tersebut dapat dikatakan santun karena sesuai
dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan
kepada mitra tutur. Tuturan tersebut memberikan keuntungan kepada mitra tutur,
berupa hiburan bagi penonton di rumah maupun di studio dengan lelucon yang dibuat. Rasa terhibur penonton dapat dilihat dari tawa penonton di studio sesaat
setelah penutur mengungkapkan tuturan berdaya kelakar. Daya kabar pada tuturan “Karena ini kan negara sudah berkembang.
Sudah open mind. Udah bebas ya kan, sudah reformasi. Reformasi tu sebagai sebuah pintu gerbang menuju kebebasan berekspresi. Nah kadang-kadang
penonton kita belum siap ketika kita dihadapkan dengan tokoh-tokoh pahlawan yang sudah diapresiasi secara bebas oleh si seniman
” SSDB18-08-20147 menggunakan fenomena konteks praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat
dilihat pada gerakan kedua tangan diangkat ke depan dada yang dipersepsi sebagai
gerakan menjelaskan. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa
kalimat “Nah kadang-kadang penonton kita belum siap ketika kita dihadapkan dengan tokoh-tokoh pahlawan yang sudah diapresiasi secara bebas oleh si
seniman”. Unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan berdaya kabar tersebut dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech
1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim”
tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Penutur berbaik hati memberikan informasi untuk membuka pikiran publik agar mereka mempunyai
pengetahuan mengenai banyaknya film saat ini yang tidak sesuai dengan cerita aslinya karena telah diapresiasi oleh sutradara.
Daya penolakan pada tuturan “Ini Sentilun sebagai penuntut tidak umum. Ini sudah menurut saya melakukan sesuatu yang diluar nalar, menurut saya
terlalu berat. Bayangkan masak saya sampai dua puluh tahun, percobaan dimana
tadi? Nusa Kambangan, padahal saya kan hanya melakukan tindak pidana ringan, tipiring. Tindak pidana ringan, tipiring. Paling-paling ya Cuma tari
piring” SSDB08-09-201410 menggunakan fenomrna konteks referensi, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan menunjuk-nunjuk
ke arah orang yang dimaksud dalam tuturan. Tuturan tersebut menggunakan unsur
intralingual berupa kalimat “Ini sudah menurut saya melakukan sesuatu yang diluar na
lar, menurut saya terlalu berat”. Unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan berdaya bantah tersebut dapat dikatakan tidak santun karena
melanggar indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai luhur pendukung kesantunan 2008, dalam Pranowo 2012:111, yaitu sikap tenggang rasa sebagai
manifestasi sifat rendah hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, penutur secara langsung membantah secara keras pernyataan orang yang doimaksud dalam
tuturan tanpa memikirkan perasaannya. Selain itu, penutur juga mengekspresikan bantahannya melalui gerakan tangan menunjuk-nunjuk ke orang yang dimaksud
dalam tuturan. Gerakan tersebut dipersepsi tidak santun. Daya pikat pada tuturan
“Jadi pariwisata itu sekarang gini, kedatangan di kita ya? Walaupun kita banding-bandingkan setelah cukup bagus sudah sembilan
juta hampir. Bayangin kalau dia satu aja beli souvenir saking medite satu aja, kali tujuh hari, kali tiga kali makan berapa tu? Belum lagi kalau kita juga lihat
kita ini juga sudah banyak yang berwisata dalam negeri. Dan wisata dalam negeri juga tidak kalah. Mereka juga beli souvenir. Umpamanya ke Cirebon beli
batik” SSDB15-08-20149 menggunakan fenomena konteks praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan satu tangan diangkat dan
mengacukan satu jari. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Bayangin kalau dia satu aja beli souvenir saking medite satu aja, kali
tujuh hari, kali tiga kali makan berapa tu? ”. Unsur ekstralingual dan intralingual
dalam tuturan berdaya pikat tersebut dapat dikatakan santun karena sesuai dengan salah satu Indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103 yang
mengungkapkan bahwa tuturan santun dapat memberikan keuntungan kepada
mitra tutur maksim kebijaksanaan “tact maxim”. Tuturan tersebut memberikan
keuntungan bagi orang yang dimaksud dalam tuturan rakyat Indonesia, yaitu berupa bujukan untuk membuat industri kreatif dalam bidang souvenir karena
dapat mendatangkan laba yang besar. Jika dilihat dari unsur intralingual dan ekstralingual sebagai penanda
kesantunan dalam berkomunikasi, daya bahasa yang menunjukkan kesantunan terdapat dalam daya permintaan, daya kabar, daya kelakar dan daya pikat.
Sebaliknya, daya bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan terdapat dalam daya dugaan. Selain itu, ditemukan juga daya bahasa yang dapat menunjukkan
kesantunan dan ketidaksantunan, yaitu dalam daya ancam, daya perintah dan daya penolakan.
4.3.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi
Nilai rasa bahasa yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun sebagai sumber data mencakup 15 nilai rasa bahasa, yaitu 1 nilai rasa takut yang terdiri
atas nilai rasa khawatir, nilai rasa ragu, nilai rasa sia-sia dan nilai rasa curiga, 2 nilai rasa sedih yang terdiri atas nilai rasa prihatin, nilai rasa susah dan nilai rasa
iba, 3 nilai rasa gembira yang terdiri atas nilai rasa berbahagia, nilai rasa bangga dan nilai rasa puas, 4 nilai rasa marah yang terdiri atas nilai rasa
jengkel, nilai rasa kecewa, nilai rasa tersinggung, nilai rasa cemburu dan nilai rasa sakit hati, 5 nilai rasa halus yang terdiri atas nilai rasa hormat, nilai rasa sopan,
nilai rasa merasa terima kasih, nilai rasa merasa bersyukur dan nilai rasa sungkan, 6 nilai rasa yakin yang terdiri atas nilai rasa optimis dan nilai rasa
mantap, 7 nilai rasa simpatik yang terdiri atas nilai rasa merasa setuju, nilai rasa kagum dan nilai rasa merasa peduli, 8 nilai rasa cengang yang terdiri atas
nilai rasa kaget dan nilai rasa heran, 9 nilai rasa menyesal, 10 nilai rasa ikhlas, 11 nilai rasa religius, 12 nilai rasa sombong, 13 nilai rasa serius, 14 nilai
rasa kasar dan 15 nilai rasa malu. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan Suryani 2013,92:93.
Berdasarkan aneka macam nilai rasa tersebut, sebagai penanda kesantunan digunakan unsur intralingual dan unsur ekstralingual. Unsur intralingual nilai rssa
bahasa dapat digali melalui kalimat, klausa, frasa, dan diksi Pranowo, 2013. Unsur intralingual nilai rasa bahasa yang ditemukan dalam acara Sentilan Sentilun
sebagai penanda kesantunan berupa diksi, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur intralingual yang ditemukan dalam setiap nilai rasa terkadang hanya terdiri satu
unsur intralingual, namun ada juga yang terdiri dari beberapa unsur intralingual. Unsur intralingual berupa diksi dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa
kasar. Unsur intralingual berupa klausa dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa serius. Unsur intralingual berupa kalimat dapat dijumpai pada pemunculan
nilai rasa merasa bersalah, nilai rasa ikhlas, nilai rasa sombong dan nilai rasa
malu. Unsur intralingual berupa klausa dan kalimat yang dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa takut, nilai rasa sedih, nilai rasa gembira, nilai rasa marah,
nilai rasa yakin, nilai rasa simpatik dan nilai rasa cengang. Unsur intralingual berupa diksi dan frasa dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa religius. Unsur
intralingual berupa diksi, klausa dan kalimat dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa halus.
Penggunaan unsur intralingual di atas, disebabkan oleh beberapa alasan, seperti keefektifan kalimat, kepaduan klausa dengan klausa lain yang membentuk
kalimat, ketepatan frasa dan ketepatan penggunaan diksi sesuai dengan nilai rasa bahasa yang ingin dimunculkan.
Di samping itu, pemunculan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan juga menggunakan unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual dapat berupa konteks
tuturan atau gerak ketubuhan si penutur. Unsur ekstralingual berupa konteks dapat dilihat pada munculnya setiap nilai rasa bahasa karena digunakan untuk
mengetahui kadar rasa suatu tuturan. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual gerak ketubuhan yang tidak selalu muncul dalam setiap nilai rasa
bahasa yang ditemukan karena tergantung dari keekspresifan penutur. Temuan tersebut sejalan dengan Liliweri 1994:88 yang mengungkapkan bahwa unsur
ekstralingual berupa bahasa non-verbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan karena hanya digunakan sebagai penegas dan pelengkap. Unsur ekstralingual
berupa gerak ketubuhan dapat dilihat pada munculnya beberapa nilai rasa bahasa, seperti nilai rasa takut, nilai rasa sedih, nilai rasa gembira, nilai rasa marah, nilai
rasa halus, nilai rasa yakin, nilai rasa simpatik, nilai rasa cengang, nilai rasa ikhlas, nilai rasa religius dan nilai rasa sombong.
Nilai rasa takut pada tuturan “Kelihatannya problem yang akan datang ini, DPRnya...he....
”SSNRB01-09-201419 menggunakan fenomena konteks praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan kanan
penutur yang menggaruk-garuk pipi. Gerakan tersebut menandakan bahwa
penutur sedang berpikir mengenai dampak yang akan terjadi ke depan. Tuturan
tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Kelihatannya problem yang akan datang ini, DPRnya...he....
”. Unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan bernilai rasa takut dapat dikatakan tidak santun karena melanggar
maxim Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Unsur
ekstralingual dan intralingual tersebut menimbulkan kerugian bagi orang yang dimaksud dalam tuturan karena penutur berprasangka buruk terhadapnya.
Nilai rasa sedih pada tuturan “Ehm . . .ehm . . .kalau saya prinsipnya gini, berharapnya Jakarta itu semakin indah, semakin nyaman dan aman untuk
warganya, terutama wanita-wanita, perempuan-perempuan yang cantik-cantik ini. Jadi jangan sampai ada pelecehan. Dimana aja lah. Mau di angkot, mau di
kereta KRL itu, mau dimana aja lah, bis kota, jangan. Ada, makanya saya sedih. Aku sedih hmmm” SSNRB11-08-201421 menggunakan fenomena konteks
praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada ekspresi wajah
termangu sambi kedua tangan menopang kepala. Tuturan tersebut menggunakan
unsur intralingual be rupa kalimat “Aku sedih hmmm”. Unsur ekstralingual dan
intralingual dalam tuturan bernilai rasa sedih dikatakan santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
simpati “sympathy maxim” tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, penutur
mengungkapkan rasa simpatinya dalam bentuk keprihatinan melihat banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta. Sebagai seorang perempuan, penutur
merasakan kesedihan karena rendahnya tingkat keamanan di Jakarta. Nilai rasa gembira pada tuturan
“Pakdemu ini lagi bahagia. Bahagia, siapa yang nggak bahagia punya pemimpin baru. . .waha. . .” SSNRB04-08-
20143 menggunakan fenomena konteks praanggapan, sedangkan gerak
ketubuhan dapat dilihat pada ekspresi wajah bahagia. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat
“Pakdemu ini lagi bahagia”. Unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan bernilai rasa gembira dapat
dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo 2012:103, yaitu
maksim simpati “sympathy maxim” tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur. Di alam
konteks tuturan tersebut, penutur mengungkapkan rasa simpatinya dengan wujud turut merasakan kebahagiaan yang dialami oleh orang yang dimaksud dalam
tuturan. Nilai rasa marah pada tuturan “Huh, aku udah sebel ah, aku udah
ngambek, aku marah, aku nggak suka, pokoknya aku kesel” SSNRB08-09- 20142 menggunakan fenomena konteks praanggapan, sedangkan gerak
ketubuhan dapat dilihat pada gerakan membalikan tubuh saat penutur datang
sambil kedua tangan bersedekap, menunjukkan ekspresi wajah marah sambil
kedua tangan diangkat kemudian dihempaskan ke bawah. Tuturan tersebut
menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Huh, aku udah sebel ah, aku
udah ngambek, aku marah, aku nggak suka, pokoknya aku kesel”. Unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan bernilai rasa marah dapat dikatakan
tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai luhur pendukung kesantunan 2008, dalam Pranowo 2012:111, yaitu sikap
tenggang rasa. Di dalam konteks tuturan tersebut, penutur tidak menghargai perasaan mitra tutur karena ia langsung meluapkan kejengkelannya tanpa mau
mendengarkan alasan mitra tutur. Penutur hanya mengedepankan emosi dan tidak bisa kontrol diri sehingga tuturannya terkesan tidak menghargai perasaan mitra
tutur. Nilai rasa halus pada tuturan “Selamat datang Pak Andrinof, silahkan,
silahkan, silahkan Pak Andrinof” SSNRB11-08-20149 menggunakan fenomena konteks latar belakang budaya, sedangkan gerak ketubuhan dapat
dilihat pada gerakan angan kanan diulurkan untuk bersalaman. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat
“Selamat datang Pak Andrinof, silahkan, silahkan, silahkan Pak Andrinof” . Unsur ekstralingual dan intralingual
dalam tuturan bernilai rasa halus dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai pendukung kesantunan
Pranowo,2012:111, yaitu rasa hormat sebagai manifestasi sifat rendah hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, penutur menunjukkan rasa hormatnya kepada
mitra tutur sebagai tamu dengan mengucapkan selamat datang dan mempersilahkannya untuk duduk.
Nilai rasa yakin pada tuturan “Ini memang sebagai apa ya, saya ini pelaku usaha di industri kreatif ini memang masih banyak kendala dan masalah. Tapi
saya yakin wong masalahnya pasti bisa kita selesaikan” SSNRB25-08- 201416 menggunakan fenomena konteks praanggapan, sedangkan gerak
ketubuhan dapat dilihat pada gerakan satu tangan diangkat dan mengepal untuk
mengindikasikan keyakinan penutur. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat
“Tapi saya yakin wong masalahnya pasti bisa kita selesaikan”. Unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan bernilai rasa yakin
dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983,
dalam Pranowo 2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” tuturan
dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, penutur berbaik hati mengungkapkan kemantapan hatinya bahwa setiap
masalah dalam industri kreatif pasti bisa diselesaikan. Nilai rasa simpatik pada tuturan “Pak Anies juara, berarti saya tahu
jawabannya setelah sekian lama. Kenapa Mas Sentilun tidak bisa menjabat dan tidak bisa menjadi pemimpin negara, karena terlalu banyak masalah dalam
hidupnya” SSNRB04-08-201422 menggunakan fenomena konteks referensi,
sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan acungan jempol. Tuturan
tersebut menggunakan unsur intralingual berupa klausa “Pak Anies juara”. Unsur
ekstralingual dan intralingual dalam tuturan bernilai rasa simpatik dapat dikatakan karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Leech 1983, dalam Pranowo
2012:103, yaitu maksim perimbangan “consideration maxim” tuturan dapat
mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada mitra tutur. Di dalam
konteks tuturan tersebut, penutur mengungkapkan rasa senangnya terhadap pernyataan mitra tutur sebelumnya yang menurutnya memang benar dan sesuai
dengan pemikirannya. Nilai rasa cengang pada tuturan “Ha di dunia?” SSNRB04-08-201425
menggunakan fenomena konteks referensi, sedangkan gerak ketubuhan dapat
dilihat pada ekspresi wajah kaget dan satu kanan menahan dagu. Tuturan tersebut
menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Ha di dunia?”. Unsur
ekstralingual dan intralingual dalam tuturan bernilai rasa cengang dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983 dalam Pranowo
2012:103, yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” tuturan dapat memberikan
keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, penutur
berusaha memberikan keuntungan kepada mitra tutur dengan merespon pemberian informasinya. Penutur memberikan keuntungan berupa respon agar mitra tutur
merasa bahwa apa yang disampaikan memang benar-benar memberikan informasi baru.
Nilai rasa ikhlas pada tuturan “Alhamdulillah” SSNRB11-08-201418 menggunakan fenomena konteks referensi, sedangkan gerak ketubuhan dapat
dilihat pada gerakan kepala menunduk. Tuturan tersebut menggunakan unsur
intralingual berupa kalimat “Alhamdulillah”. Unsur ekstralingual dan intralingual
dalam tuturan bernilai rasa ikhlas dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai pendukung kesantunan
Pranowo,2012:120, yaitu sikap mau berkorban. Di dalam konteks tuturan tesebut, penutur rela berkorban dengan menerima tuturan mitra tutur sebelumnya
yang terkesan menempatkannya dalam posisi rendah. Penerimaan tanpa membalas tuturan mitra tutur tersebut mengindikasikan bahwa penutur mempunyai sikap
mau berkorban. Nilai rasa religius pada tuturan “Kita mesti berdoa ini. Ya Allah, kami
mudah- mudahan cepat terbebas dari suasana wani piro” SSNRB04-08-
201437 menggunakan fenomena konteks praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan kedua tangan menengadah yang dipersepsi
sebagai gerakan tangan ketika berdoa. Tuturan tersebut menggunakan unsur
intralingual berupa frasa “Ya Allah” Unsur ekstralingual dan intralingual dalam
tuturan bernilai rasa religius dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983, dakam Pranowo 2012:103, yaitu maksim
kebijaksanaan “tact maxim” tuturan memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Di dalam konteks tuturan tersebut, penutur memberikan keuntungan kepada orang
yang dimaksud dalam tuturan para petinggi negara berupa sindiran secara tidak langsung agar mereka yang melakukan politik uang segera sadar dan tidak
melakukan hal tersebut lagi. Nilai rasa sombong pada tuturan “Nggak bakalan cowok secakep saya
nggodain dia, justru saya yang biasa digoda cewek- cewek cantik” SSNRB29-
09-20144 menggunakan fenomena konteks referensi, sedangkan gerak
ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan menunjuk-nunjuk diri sendiri.
Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Nggak bakalan
cowok secakep saya nggodain dia, justru saya yang biasa digoda cewek-cewek cantik” . Unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan bernilai rasa sombong
dapat dikatakan tidak santun karena melanggar salah satu indikator kesantunan Pranowo berupa nilai-nilai prndukung kesantunan 2012:111, yaitu sifat rendah
hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, penutur merasa bahwa dirinya tidak mungkin menggoda orang yang dimaksud dalam tuturan karena dirinya biasa
digoda oleh gadis cantik, melalui ungkapan tersebut secara tidak langsung penutur menyombongkan dirinya dan merendahkan orang yang dimaksud dalam tuturan.
Jika dilihat dari unsur intralingual dan ekstralingual sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi, nilai rasa bahasa yang menunjukkan
kesantunan terdapat dalam nilai rasa sedih, nilai rasa gembira, nilai rasa halus, nilai rasa yakin, nilai rasa simpatik, nilai rasa merasa bersalah, nilai rasa ikhlas,
nilai rasa religius, nilai rasa serius dan nilai rasa malu. Sebaliknya, nilai rasa bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan terdapat dalam nilai rasa sombong dan
nilai rasa kasar. Selain itu, ditemukan juga nilai rasa bahasa yang dapat menunjukkan kesantunan dan ketidaksantunan, yaitu dalam nilai rasa takut, nilai
rasa marah dan nilai rasa cengang.
340
BAB V PENUTUP